BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Negara Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 bertekad bulat untuk membela, mempertahankan dan menegakkan kemerdekaan, serta kedaulatan negara dan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Tekad tersebut kemudian dinyatakan dengan tegas dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 bahwa “Negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Pemaknaan “segenap bangsa” dapat diartikan warganegara secara menyeluruh yang meliputi rakyat dan pemerintah.Sedangkan “tumpah darah Indonesia” dapat dimaknai sebagai wilayah Indonesia, yang termaktub dalam Pancasila sila ke-3 “Persatuan Indonesia”. Dalam mewujudkan tujuan negara yang tercantum dalam pembukaan UUD NRI 1945 dan Pancasila diperlukan peran serta warga negara dalam bidang pertahanan dan kemanan negara. Secara yuridis termuat dalam Pasal 27 ayat 3 UUD NRI 1945tentang setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara dan pasal 30 ayat 1-5 UUD NRI 1945 tentang pertahanan dan keamanan negara. Sedangkan UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang pertahanan negara pasal 9 ayat 2 tentang “keikutsertaan warga negara dalam usaha pembelaan negara diselenggarakan melalui Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), pelatihan dasar kemiliteran, pengabdian sebagai prajurit TNI secara suka rela ataupun wajib dan pengabdian sesuai dengan profesi”. Upaya pembelaan negara kaitannya dengan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai salah satu pilar yang harus dibangun dalam menjaga eksistensi negara, Kerr (Winataputra dan Budimansyah, 2012:5): Citizenship or civics education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their roles and responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (through schooling, teaching, and learning) in that preparatory process atau, “citizenship or civics education”
Jamaludin, 2014 Sikap dan tindakan bela negara siswa etnik Tionghoa dan pola pembinaannya Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
1
2
Melihat
pendapat
sebagaimana
dijelaskan
di
atas,
Pendidikan
Kewarganegaraan dirumuskan secara luas untuk mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil peran dan tanggungjawabnya sebagai warganegara, dan secara khusus, peran pendidikan termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran, dan belajar, dalam proses penyiapan warganegara tersebut. Pendidikan Kewarganegaraan atau istilah Amerika Serikat disebut dengan civic education yang menjadifokus kajian Pendidikan Kewarganegaraan terletak pada upaya konsolidasi melalui pembelajaran yang mengarah kepada tujuan dan kebutuhan negara sesuai dengan falsafah dan ideologi yang menjadi landasan berfikir dalam sistem kenegaraannya, kemudian civic study melihat kondisi masyarakat
mejemuk dan multikultural yang dianggap rawan konflik sosial
mengidentifikasikan memunculkan kesensitifan SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Selanjutnya Kerr (Winataputra dan Budimansyah, 2012:5) berpandangan sama bahwa secara ontologis studi PKn mencakup mata pelajaran “citizenship, civis, social sciences, social studies, world studies, society, studies of society, slife skills, and moral education” serta mata pelajaran lain yang relevan, yakni: “history, geography, economics, law, politics, environmental studies, values education, religious studies, language, and science” artinya bahwa PKn sebagai suatu domain pendidikan yang bersifat multidimensional dan tersebar secara programatik dalam keseluruhan tatanan kurikulum. Karena itu, hadirnya Pendidikan Kewarganegaraan sebagai wadah yang tersistemik atau kurikuler atas dasar cita-cita dan harapan negara dalam mempertahankan negaranya, upaya penjebatanan sosialisasi sebagai media keberagaman multietnik atau etniknation yang tertuang dalam pembelajaran pendidikan multikulturalisme mengupayakan agar terintegrasi semua ranah kultur, budaya, ras, agama, dan golongan menjadi kesatuan dan persatuan masyarakat yang seutuhnya. Geertz (Anshory, 2008:3) “Indonesia sedemikian kompleksnya sehinga sulit melukiskan anatominya secara persis, negeri ini bukan hanya multietnis (jawa, batak, bugis, flores, bali dan sebagainya) melainkan juga menjadi arena Jamaludin, 2014 Sikap dan tindakan bela negara siswa etnik Tionghoa dan pola pembinaannya Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
3
pengaruh multimental (India, Cina, Belanda, Portugis, Hinduisme, Budhaisme, Konfusianisme, Islam, Kristen, Kapitalis, dan sebagainya)”. Kemudian Geertz menyatakan “Indonesia adalah sejumlah bangsa dengan ukuran, makna, dan karakter yang berbeda-beda yang melalui sebuah narasi agung yang bersifat historis, ideologis, religius, atau semacam itu disambung-sambung menjadi sebuah struktur ekonomi dan politik bersama”. Pendidikan Kewarganegaraan dengan pemahaman pluralistik yang sadar akan kebersamaan dan tujuan cita-cita bangsa dijadikan sebagai upaya preventif konflik yang terjadi dalam tatanan masyarakat yang kompleks dalam menyongsong peradaban globalisasi, arus globalisasi membawa dampak positif dan negatif jika saja tidak ada pengendali ruang publik maka antara kosmopolitas dengan etnisitas rentan sekali terjadi gesekan yang menimbulkan konflik, misalnya masalah etnis Tionghoa di Indonesia. Beberapa hasil penelitian yang mengkaji tentang pemasalahan tersebut dengan konsentrasi pembahasan merujuk pada rasa nasionalisme sebagai wadah pluralistik, menjadikan dasar negara akan tantangan dampak kemajemukan SARA. Penelitian Suhaida (2011) mengkaji tentang hak dan kewajiban warganegara khususnya entis Tionghoa yang berawal dari persoalan persepsi, pola sikap dan budaya politik seseorang atau kelompok masyarakat terhadap berbagai masalah politik dan peristiwa politik serta membentukan struktur dan proses kegiatan politik masyarakat maupun pemerintahan. Orientasi disini adalah bagaimana tingkat pengetahuan, perasaan, keterlibatan dan penolakan, serta penilaian terhadap objek kekuasaan aturan dan wewenang dalam sistem politik dan pemerintahan yang sedang berlangsung, dengan hasil penelitiannya yaitu orientasi masyarakat etnis Tionghoa kota Pontianak secara perlahan semakin tinggi karena meningkatnya aspek kognitif, afektif, dan evaluatif, dan strategi politik masyarakat etnis Tioghoa dalam aktivitas politik dilakukan dengan berbagai tahapan dengan persiapan administrasi, rancangan misi, analisis misi, pengambilan misi strategi yang digunakan, merencanakan waktu dan aksi dan adanya faktor naluriyah dan merasa sebagai bagian anak bangsa kemudian digulirkannya Undang-Undang no. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Jamaludin, 2014 Sikap dan tindakan bela negara siswa etnik Tionghoa dan pola pembinaannya Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
4
Etnis Tionghoa di Indonesia bukan dari kelompok minoritas homogen melainkan adanya perbedaan latar kebudayaan dan sejarah.Suryadinata (2002:2) “penduduk Tionghoa terdiri dari kelompok.Kelompok paling umum ialah kaum peranakan yang kebudayaannya sudah mengindonesia dan kaum totok yang masih tebal ketionghoaannya”. Lambat laun jumlah kaum peranakan makin bertambah, sedangkan kaum totok makin berkurang, jika tidak bisa dikatakan sudah senyap sama sekali. Kelompok etnis Tionghoa yang berbeda ini juga memiliki pikiran politik berlainan.Namun, yang paling mempengaruhi pikiran politik Tionghoa adalah kebijakan negara zaman kolonial, karena dasar politiknya berdasarkan ras, maka politik etnis Tionghoa berkisar pada ras.Setelah Indonesia merdeka, karena aliran asimilatif mulai menonjol, bahkan dominan pikiran politik masyarakat Tionghoa juga mengarah kesana.Namun perbedaan pikiran politik tidak pernah lenyap.Dengan timbulnya demokratisasi, pikiran politik etnis Tionghoa pun mulai lebih beraneka ragam. Selanjutnya Suryadinata (2002:17) “orang Tionghoa terbagi atas peranakan dan totok”.Peranakan adalah orang Tionghoa yang sudah lama tinggal di Indonesia dan umumnya sudah berbaur.Mereka berbahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari dan bertingkah laku seperti pribumi.Sedangkan Totok adalah pendatang baru, umumnya baru satu sampai dua generasi dan masih berbahasa Tionghoa.Namun dengan terhentinya imigrasi dari daratan Tiongkok, jumlah totok
sudah
menurun
dan
keturunan
totok
pun
telah
mengalami
peranakanisasi.Karena itu, generasi muda Tionghoa di Indonesia sebetulnya sudah menjadi peranakan atau keturunan. Secara yuridis digulirkannya UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan dan UU No. 40 Tahun 2008 sebagai landasan hukum yang mengupayakan legalitas status persamaan hak dan kewajiban warganegara dalam segala aspek kehidupan memiliki persamaan dalam peranan menjaga keutuhan eksistensi bangsa, jika dilihat dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia dari prakolonial hingga pascakolonial digambarkan secara umum etnis Tionghoa di Indonesia berkontribusi dalam peradaban tatanan sosial masyarakat. Peran itu dipengaruhi kondisi politik atau sistem pemerintahan yang berkuasa dari tahun Jamaludin, 2014 Sikap dan tindakan bela negara siswa etnik Tionghoa dan pola pembinaannya Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
5
1900 sebelum perang dunia II hingga reformasi, orientasi politik etnis Tionghoa menganggap dirinya hanya sebagai penduduk, sementara Hindia Belanda (Hwa Chiao) menganggap etnis Tionghoa sebagai Nederlandsch Onderdaan (Kaula negara Belanda). Setelah Indonesia merdeka, banyak etnis Tionghoa menjadi warga negara Indonesia. Pemimpin etnis Tionghoa turut berpartisipasi dalam kancah politik di negara Republik Indonesia dengan membentuk berbagai macam organisasi politik untuk melindungi kepentingan mereka seperti Chung Hwa Hwee, tahun 1948 berdiri Persatuan Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI), tahun 1954 Badan Permusyawaratan
Kewarganegaraan
Indonesia
(Baperki).
Badan
ini
memperjuangkan persamaan status hak yang menyatakan entis Tionghoa ingin diakui sebagai rakyat Indonesia. Sampai pada akhirnya memberntuk sekolah pertama dengan namaTiong Hoa Hwe Koan (THHK) yang dibentuk pada tgl 17 maret 1900 atas inisiatif kaum peranakan di Batavia. Permasalahan Tionghoa tidak kunjung selesai walaupun Indonesia sudah merdeka setengah abad lebih, asumsi ini dikarenakan persoalan mendasar tentang Identitas Tionghoa yang masih dipertanyakan yaitu orang Tionghoa masih mempertahankan kebudayaan asing, tidak memiliki identitas Indonesia, ada juga yang mengatakan bahwa orang Tionghoa hanya setengah berbaur, belum seratus persen yaitu mereka masih belum menjadi pribumi. Dalam pandangan banyak pribumi orang Tionghoa harus menjadi pribumi baru bisa diterima sebagai orang Indonesia. Lain halnya yang dikemukakan Jusuf (2013:89) “gerakan kebangsaan Tionghoa Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) juga diikuti oleh komunitas lain yang mendirikan organisasi bernafaskan kebangsaan, seperti Boedi Oetomo. Dari kajian identitas akan masuk pada persoalan politik, ekonomi dan hubungan luar negeri”.Tetapi salah satu kunci dari penyelesaian masalah Tionghoa di Indonesia tidak saja terletak pada sistem ekonomi yang lebih adil dan merata atau sistem politik yang lebih demokratis, tetapi yang paling penting adalah konsep penegakan kebangsaan Indonesia.
Jamaludin, 2014 Sikap dan tindakan bela negara siswa etnik Tionghoa dan pola pembinaannya Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
6
Lahirnya UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaran dan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis adalah merupakan perncerminan dari komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan, kepastian, dan kesamaan kedudukan didalam hukum pada semua warganegara untuk hidup bebas dari diskriminasi ras dan etnis. Suryadinata (2002:20) “konsep bangsa nationIndonesia yang ketat rigid, yaitu, konsep bangsa pribumi, merupakan suatu rintangan yang besar untuk masuknya orang Tionghoa, terutama peranakan Tionghoa kedalam wadah Indonesia”.Senada dengan Greetz (Anshory, 2008:2) “bangsa dijelaskan sebagai kumpulan orang dengan bahasa, darah, sejarah dan tanah.Selanjutnya bangsa seharusnya lebih dilihat sebagai civic-nation dari pada ethnic-nation.” Renan (Loomba, 2003:252) mengatakan “suatu bangsa adalah suatu jiwa, suatu asas spiritual dan dari semua pemujaan leluhur yang paling absah, karena para leluhur telah menjadikan kita sebagamana kita sekarang, suatu masa lalu yang heroic, tokoh-tokoh besar, kejayaan inilah yang menjadi modal sosial yang menjadi dasar suatu gagasan kebangsaan”. Oleh karena itu adanya sistem yang menciptakan nilai-nilai sosial dari perjuangan leluhur yang merupakan hasil kebudayaan yang patut dilestarikan dan dijaga keutuhannya.Senada dengan Hobsbawm dan Ranger (Loomba, 2003:253) bahwa: Bagaimana tradisi itu tidak tradisonal sama sekali, melainkan terus menerus diciptakan dan diciptakan kembali baik oleh kolonialisasi maupun nasionalis yang terus-menurus saling terlibat dalam ciptaanciptaan masing-masing untuk memperkuat atau menentang otoritas, tentu saja bukan hanya tradisi, malahan bangsa-bangsa itu sendiri di berbagai bagian dunia terjajah telah diciptakan oleh kaum kolonialisasi. Bangsa ciptaan baru ini mengubah konsepsi-konsepsi sebelumnya tentang komunitas, atau masa lalu. Fenomenal sejarah yang sangat fundamental menghantarkan bangsa Indonesia sebagai bentuk keberagaman multikultur yang sangat kompleks, meskipun demikian adanya keterlibatan atau tidak diantara sub kultur tersebut tetapi memperjuangkan atas dasar kesatuan yang utuh walaupun diantaranya berbeda-beda tetapi satu jua “Bhinneka Tunggal Ika” sebagaikekuatan nasionalisme yang menumbuhkan jiwa patriotisme dan semangat bela negara Jamaludin, 2014 Sikap dan tindakan bela negara siswa etnik Tionghoa dan pola pembinaannya Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
7
dalam menjaga eksistensi baik secara teritorial, ideologi, dan kedaulatan Negara Republik Indonesia. Ditegaskan menurut Anderson (2008:8) sebagai berikut: bangsa atau nasional adalah komunitas politisi dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan, bangsa adalah sesuatu yang terbayang karena anggota bangsa terkecil sekali pun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan mereka itu, bahkan tidak pernah mendengar tentang mereka. Pengaruh kolonial Hindia Belanda membawa masa transisi nasionalisme, catatan sejarah bangsa Indonesia mengemukakan semangat nasionalisme dipicu adanya ketidakpuasan atas penindasan para penjajah kolonial. Keselarasan adalah pandangan penting dalam budaya politik dalam bentuk kebangkitan nasional, embrio semangat nasionalisme telihat dari pergerakan Boedi Oetomo yang dijadikan sebagai titik balik satu abad Kebangkitan Nasional 20 mei 1908 kemudian menjadi sebuah pergerakan yang sangat integratif dikalangan pemuda dengan semangat kesatuan dan persatuan yang terdiri dari jong-jong kalangan pemuda yang mewakili tiap-tiap daerah memuat sebuah ikrar dengan nama sumpah pemuda 28 Oktober 1928. Sumpah pemuda adalah sebuah pilar utama dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia karena dalam sumpahnya sebagai kritalisasi semangat untuk menegaskan cita-cita berdirinya Negara Indonesia. Melalui proses semangat nasonalisme maka keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia dicetuskan pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan proklamasi kemerdekaan kedaulatan Negara Republik Indonesia. Menjaga eksistensi negara untuk keberlangsungan hidup rakyat dan bangsanya, melihat masa depan berada di tangan generasi muda khususnya pelajar. Sudah sepantasnya energi dan perhatian di curahkan kepada pelajar demi terwujudnya masa depan bangsa yang memiliki ketahanan nasional yang tangguh. Ancaman dan hambatan untuk pelajar dalam menumbuhkembangkan rasa bela negara dan cinta tanah air adalah gejolak lingkungan dan arus globalisasi. Sebagaimana dikemukakan Bestari (2011:34) bahwa: Jamaludin, 2014 Sikap dan tindakan bela negara siswa etnik Tionghoa dan pola pembinaannya Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
8
Mengisi kemerdekaan dapat dikatakan sebagai usaha bela negara, sebab melalui usaha-usaha positif dalam mengisi kemerdekaan dapat membuat keberlangsungan Indonesia sebagai sebuah negara dapat tetap dipertahankan dan senantiasa mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa ditengah kerasnya tantangan globalisasi yang justru mengikis rasa kebangsaan dan kecintaan warganegara terhadap tanah airnya. Peran warganegara khususnya pelajar sebagai estapet perubahan dituntut memiliki reaktifitas pribadi berkemauan, berkemampuan, dan berkomitmen dalam aspek hak dan kewajiban sebagai warganegara untuk berpartisipasi dalam stabilisasi nasional dengan usaha pembelaan negara sebagai wujud eksistensi negara.Orientasi
usaha
pembelaan
negara
berkaitan
dengan
upaya
mempertahankan negara dari ancaman dan gangguan yang disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal sehingga pembelaan negara sangat penting dilakukan oleh setiap warganegara. Hal ini mengarah kepada kelangsungan hidup bangsanya agar tetap terpelihara dengan baik, untuk itu sikap dan perilaku setiap warganegaranya harus memcerminkan dan menanamkan nilai-nilai luhur kebangsaan.Jika warganegara bersifat aktif dan peduli terhadap kemajuan bangsanya maka kelangsungan hidup bangsa akan tetap terpelihara. Sebaliknya jika warga negara tidak peduli terhadap persoalan yang dihadapi bangsanya kelangsungan hidup bangsa akan terancam dan cepat atau lambat negara akan bubar, dikarenakan banyaknya persoalan negara yang memudarkan Negara Republik Indonesia. Thomas Hobbes pernah melukiskan kehidupan manusia sebelum adanya Negara yaitu manusia merupakan serigala bagi manusia lainnya “Homo Homini Lupus” dan perang manusia lawan manusia “Bellum Omnium Contra Omne”. Dengan demikian, jika tidak ada negara pasti tidak akan ada ketertiban, keamanan, dan keadilan. Supaya hidup tertib, aman, dan damai maka diperlukan negara. Negara akan tegak berdiri jika dipertahankan oleh setiap warganegaranya dalam keberlangsungan hidup bernegara ditentukan oleh dasar ideologi sebuah negara yang mempola sistem tatanan masyarakat sosial, karenanya kekuatan sistem yang termuat didalamnya sebagai tolak ukur pembangunan estapet regenerasi selanjutnya dalam sebuah keutuhan bangsa dan negara. Jamaludin, 2014 Sikap dan tindakan bela negara siswa etnik Tionghoa dan pola pembinaannya Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
9
Pelestarian nilai kebangsaan mengakibatkan adanya dorongan (motivasi) untuk berbuat dan bertindak dalam menegakkan serta mengisi kemerdekaan dengan pembangunan, dan ini membutuhkan peran untuk semua kalangan terutama didunia pendidikan. Sejarah perjuangan bangsa juga memberi bukti yang nyata bahwa hanya dengan semangat persatuan dan kesatuan, rasa cinta tanah air, kesadaran bela negara serta wawasansebagai satu bangsalah yang memungkinkan kita mampu menjaga dan menegakkan kemerdekaan NRI sampai sekarang.Untuk itu, seluruh warganegara harus mempunyai semangat pembelaan yang tangguh terhadap eksistensi NRI, dimana hal ini lazim disebut sebagai semangat usaha pembelaan negaramaka harus ditanamkan kepada seluruhwarganegara secara dini, terpadu dan teruji disemua strata kehidupan bermasyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Budimansyah (2010:139) “anak adalah warganegara hipotetik, yakni warganegara yang “belum jadi” Karena masih harus dididik menjadi warganegara dewasa yang sadar akan hak dan kewajibannya”. Mempersiapkan cikal bakal akanlebih optimal apabila ditanamkan secara dini dimana warga negara itu sudah mulai nalar daya pikirnya dan ini berarti sasaran atau obyeknya adalah generasi muda atau kaum pelajar dalam lingkup pendidikan. Menurut Henderson (Sadulloh, 2012:55) “pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir”. Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran, agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (UU No 20 Tahun 2003). Selanjutnya disebutkan bahwa fungsi dan tujuan pendidikan nasional “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, Jamaludin, 2014 Sikap dan tindakan bela negara siswa etnik Tionghoa dan pola pembinaannya Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
10
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Amanat UU No 20 Tahun 2003 sangat jelas bahwa pendidikan pada hakekatnya adalah mengembangkan potensi diri peserta didik menjadi kemampuan dengan dilandasi oleh keimanan dan ketaqwaan, kepribadian, akhlak mulia, dan kemandirian. Sebagai peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan satuan pendidikan tertentu. Fenomena yang tampak saat ini justru generasi muda tampak seperti kehilangan kepribadian sebagai anak bangsa, seiring dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang maka secara otomatis pola pikir manusia mengalami perubahan. Hal ini dianggap beresiko tinggi ketika pengaruh itu bisa membawa pada kesemrawutan bangsa ini oleh karena itu peran pendidikan dituntut adanya inovasi moderenisasi yang dapat mengimbangkan atau dapat menimbulkan perubahan secara kualitatif seiring globalisasi untuk lebih baik. Menurut Sa’ud (2008 : 20) “inovasi moderenisasi keduanya merupakan perubahan sosial, perbedaannya hanya pada penekanan ciri dari perubahan itu”. Maka tanggung jawab inovasi ini diantaranya terletak pada penyelenggaran pendidikan di sekolah, dimana guru berperan utama dan bertanggung jawab terhadap siswa maupun masyarakat melalui pendidikan. Peran pendidikan dalam mengantisipasi dampak globalisasi perlu kesetaraan kurikulum yang diharapkan dapat mencapai tujuan pembelajaran dengan lebih baik lagi, kurikulum yang diberlakukan sekarang yaitu pembelajaran berbasi karakter bangsa. Diharapkan dapat berjalan secara operasional, sehingga dapat memberikan kompetensi yang cukup bagi siswa untuk mengembangkan dirinya, tetapi tidak menyimpang dari aturan dan norma yang berlaku dimasyarakat, ditegaskan Sadulloh (2012:1) “pendidikan merupakan kegiatan yang hanya dilakukan manusia dengan lapangan yang sangat luas, yang mencakup semua pengalaman serta pemikiran manusia tentang pendidikan baik secara praktik maupun teori”.
Jamaludin, 2014 Sikap dan tindakan bela negara siswa etnik Tionghoa dan pola pembinaannya Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
11
Senada dengan Brownhill (Affandi, 2009:23) ”Melalui metode edukasi dimaksudkan untuk menanamkan dasar yang kuat dalam berpolitik seperti melalui kurikulum persekolahan salah satunya melalui pendidikan kewarganegaraan”. Dari ontologi Pendidikan Kewarganegaraan tentang objek kajian yang dicerna oleh manusia dengan daya tangkap berfikir, bertanya, lalu menjawab dalam perilaku bermasyarakat yang berbangsa dan bernegara menghantarkan pada nilainilai standar tatanan sosial.Budimansyah & Suryadi (2008:19) menjelaskan Pendidikan kewarganegaraan terdiri atas aspek idiil, instrumental dan praksis. Idiil PKn adalah landasan kerangka filosofik yang menjadi titik tolak dan sekaligus sebagai muaranya pendidikan kewarganegaraan di Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945 dan UU no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional serta perundang-undanganya lainnya yang relevan. Instrumental PKn adalah sarana programatik kependidikan yang sengaja dibangun dan dikembangkan untuk menjabarkan substansi aspek-aspek idiil tentang kurikulum, bahan ajar, guru, media dan sumber belajar, alat belajar, dan lingkungan. Praksis PKn adalah perwujudan nyata dari sarana programatik pendidikan yang kasat mata, yang pada hakikatnya merupakan konsep, prinsip, prosedural, nilai, dalam PKn sebagai dimensi interaksi belajar dikelas dan atau diluar kelas, pergaulan sosial-budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang memberi dampak edukatif kewarganegaraan. Objek pengembangan dalam bentuk orientasi pada masyarakat majemuk dikaitkan dengan PKn mengarah pada ranah sosial-psikologis ini dilihat dari potensi keseluruhan manusia misalnya dalam perkembangan baik secara kompetensi atau kemampuan itu disajikan dalam bentuk pengetahuan untuk kebermanfaatannya baik untuk dirinya dan atau lingkunganya.Senada dengan Hamidi & Lutfi (2010:73) “pada hakikatnya Pendidikan Kewarganegaraan berkaitan dengan warganegara dan Negara.Oleh sebab itu, perlu suatu pemahaman yang holistik dan komprehensif mengenai Pendidikan Kewarganegaraan yang sesungguhnya”. Secara Yuridis, UU Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 9 Ayat 2 menjelaskan “Keikutsertaan warga negara dalam usaha pembelaan negara diselenggarakan melalui Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), pelatihan dasar kemiliteran, pengabdian sebagai prajurit TNI secara suka rela ataupun wajib Jamaludin, 2014 Sikap dan tindakan bela negara siswa etnik Tionghoa dan pola pembinaannya Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
12
dan pengabdian sesuai dengan profesi”. Pendidikan kewarganegaraan sebagai wadah yang tersistemik atau kulikuler atas dasar cita-cita dan harapan negara dalam mempertahankan negaranya, upaya penjebataan sosialisasi keberagaman multietnik atau ethnic nation yang tertuang dalam pembelajaran pendidikan multikulturalisme mengupayakan agar terintegrasi semua ranah kultur, budaya, ras, agama, dan golongan menjadi kesatuan dan persatuan masyarakat yang seutuhnya.Melihat kondisi masyarakat mejemuk atau multikultural yang dianggap rawan konflik sosial mengidentifikasikan memunculkan kesensitifan SARA. Dari beberapa hasil penelitian yang mengkaji tentang pemasalahan nasionalisme menjadikan ketertarikan penulis untuk mengkaji lebih dalam tentang bagaimana nasionalisme menjadikan kesiapan sebuah negara yang siap akan tantangan globalisasi dalam peran dan tanggung jawab pendidikan. Pada tahun 1900 Berdirinya perkumpulan etnis Tionghoa THHK berkembang pesat dengan membawa perubahan sebutan “Tjina menjadi Tionghoa” yang dipengaruhi oleh nasionalisme Tiongkok, menggunakan istilah itu untuk menyatakan solidaritas mereka dengan pribumi yang kemudian mengubah tradisi dan adat istiadat kaum Tionghoa peranakan yang boros dan berlebihan dalam mengadakan pesta pernikahan, adat perkabungan, dan upacara pemakaman sesuai dengan ajaran Konghuchu. Organisasi THHK menjadi perintis sekolah swasta di Hindia belanda (Indonesia) yang dibentuk pada tahun 1900 yang menjadi contoh untuk mewujudkan semangat nasionalisme bangsa Indonesia, pada masa Soekarno sekolah ini dipecah menjadi dua yaitu Pa Hoa untuk murid berstatus warga negara asing dan sekolah JPP (jajasan pendidikan dan pengadjaran) untuk pengantar bahasa Indonesia dan mengikuti kurikulum yang ditetapkan oleh kementrian pendidikan, pengajaran dan kebudayaan RI untuk siswa yang berstatus warganegara Indonesia. Masa orde baru telah meneggelamkan keberadaan Pa Hoa karena terjadi konflik politik partai komunis Indonesia PKI dan organisasi sayap kiri lainnya termasuk Baperki dibubarkan yang terlibat dalam kudeta yang gagal, maka semua organisasi Tionghoa asing dinyatakan ilegal dan imbasnya pada sekolah Pa Hoa Jamaludin, 2014 Sikap dan tindakan bela negara siswa etnik Tionghoa dan pola pembinaannya Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
13
ditutup oleh pemerintah Orde Baru
dan matilah sekolah THHK/Pa Hoa.
Perbedaan antara sekolah THHK/Pa Hoa dengan sekolah Terpadu Pahoa terjadi karena perbedaan zaman rezim yang memimpin. THHK/Pa Hao didirikan pada zaman hindia belanda tahun 1900 sedangkan sekolah Terpadu Pahoa didirikan setelah reformasi pada tahun 2008, dengan perbedaan yang paling signifikan yaitu; tentang ajaran konghuchu, pelajaran bahasa Tionghoa, menjadi sekolah nasional. Pendidikan sekolah formal untuk etnikTionghoa menjadikan sebuah wadah yang para generasi muda sebagai estapet generasi sebelumnya.Faktanya pasca reformasi kalangan mereka sudah bisa merambah kesegala penjuru lini kehidupan masyarakat dari ekonomi, politik, dan sosial budaya bahkan bisa menajadi publik figur dimasyarakat. Jusuf (2013:156) “pasca reformasi sekolah terpadu Pahoa dapat berdiri dan berkembang karena ditunjang oleh empat pilar yang kokoh yaitu perkumpulan pancaran hidup, PT Pahoa, yayasan pendidikan dan pengajaran Pahoa (YPP Pahoa), dan para karyawan administrator sekolah yang handal serta guru-guru yang kompeten”. Visi dan misi sekolah terpadu Pahoa sudah sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang no 20 tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Berdasarkan ketentuan UU Nomor 3 Tahun 2002 siswa yang mengikuti mata pelajaran PKn disekolah dapat dikatakan telah ikut serta dalam upaya pembelaan negara dalam menjaga keutuhan negara dengan merealisasikan sikap bela
negaranya
seperti
mengikuti
organisasi
OSIS,
Pramuka,
PMR,
PASKIBRAKA, penghayatan dalam mengikuti pelaksanaan upacara bendera, selalu mamakai produk dalam negeri, melestarikan budaya bangsa, mendukung kebijakan pemerintah, belajar keras dan lain sebagainya yang sifatnya membangun kemajuan suatu bangsa. Pengamatan sementara penulis, siswa SMA sebagian masih belum sepenuhnya mengimplementasikan sikap bela negara, seperti contoh dalam pelaksanaan upacara bendera guru masih harus berteriak-teriak untuk mengatur barisan siswa sehingga banyak waktu terbuang hanya untuk mengatur barisan saja, dan dalam pelaksanaannya siswa masih banyak yang ribut dibelakang Jamaludin, 2014 Sikap dan tindakan bela negara siswa etnik Tionghoa dan pola pembinaannya Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
14
sehingga siswa kurang menghayati pelaksanaan upacara bendera, mestinya penghayatan dalam pelaksanaan upacara bertujuan untuk mengenang betapa besar jasa para pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan negara kita. Siswa masih kurang aktif dalam organisasi di sekolah seperti OSIS, Pramukadan Paskibra. Dalam berbusana di luar sekolah siswa lebih suka bergaya ala barat, berpakaian seksi, hal ini tentu bertolak belakang dengan kepribadian dan budaya bangsa Indonesia. Berdasarkan permasalahan diatas serta hasil kajian terhadap beberapa literatur, maka pengembangan judul dan teori penelitian yang akan penulis lakukan mengarah pada fenomena aktivitas bela negara etnis Tionghoa dalam konteks sekolah.Mengingat, beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya sebagian besar mengkaji ikhwal tersebut dalam konteks masyarakat. Untuk itu penulis ingin mengetahui potret sikap dan tindakan bela negara secara umum siswa etnikTionghoa dilembaga pendidikan khususnya di SMA kota Pekanbaruyang murid-muridnya mayoritas keturunan Tionghoa, untuk itu penulis tertarik untuk mengangkat penelitian dengan judul “Sikap dan Tindakan Bela NegaraSiswa Etnik Tionghoa dan Pola Pembinaannya (SurveiCross Sectional terhadap Siswa SMA di Kota Pekanbaru)”.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang dan sumber literatur terkait, maka secara umum penelitian ini ingin mengkaji hal apa saja yang berkontribusi terhadap pembentukan sikap dan tindakan bela negara siswa etnik Tionghoa di kota Pekanbaru, berkaitan dengan itu maka dikaji lebih lanjut mengenai kecenderungan tentang rasa nasionalisme siswa etnik Tionghoa berdasarkan pola pembinaan yang dilakukan di sekolah.
Jamaludin, 2014 Sikap dan tindakan bela negara siswa etnik Tionghoa dan pola pembinaannya Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
15
C. Perumusan Masalah Penjabaran identifikasi masalah di atas maka penulis memfokuskan kajian dalam penelitian ini dengan membatasi masalah ke dalam beberapa rumusan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah karakteristik siswa SMA etnik Tionghoa di kota Pekanbaru? 2. Bagaimanakah gambaran sikap dan tindakan bela negara para siswa SMA etnik Tionghoa di kota Pekanbaru? 3. Bagaimanakah gambaran pola pembinaan sikap dan tindakan bela negara para siswa SMA etnik Tionghoa di kota Pekanbaru? 4. Apa saja faktor-faktor determinan terhadap pembentukan sikap dan tindakan bela negara pada siswa SMA etnik Tionghoa di kota Pekanbaru? 5. Bagaimanakah dampak pola pembinaan, karakteristik siswa, dan faktor-faktor determinan di sekolah terhadap sikap dan tindakan bela negara para siswa SMA etnik Tionghoa di kota Pekanbaru?
D. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengkajihal-hal yang berkontribusi dalam membentuk sikap dan tindakan bela negara siswa etnik Tionghoa di kota Pekanbaru. Selain tujuan umum, penelitian ini mempunyai tujuan yang lebih khusus sebagai berikut: 1. Untuk mengidentifikasi dan mengkaji karakteristik siswa SMA etnik Tionghoadi kota Pekanbaru. 2. Untuk mengidentifikasi dan mengkaji gambaran mengenai sikap dan tindakan bela negara pada siswa SMA etnik Tionghoa di kota Pekanbaru. 3. Untuk mengidentifikasi dan mengkaji gambaran mengenai pola pembinaan sikap dan tindakan bela negara para siswa SMA etnik Tionghoadi kota Pekanbaru.
Jamaludin, 2014 Sikap dan tindakan bela negara siswa etnik Tionghoa dan pola pembinaannya Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
16
4. Untuk mengidentifikasi dan mengkaji faktor-faktor determinan terhadap pembentukan sikap dan tindakan bela negara pada siswa SMA etnik Tionghoa di kota Pekanbaru. 5. Untuk mengidentifikasi dan mengkajidampak pola pembinaan, karakteristik siswa, dan faktor-faktor determinan di sekolah terhadap sikap dan tindakan bela negara para siswa SMA etnik Tionghoa di kota Pekanbaru.
E. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan mampu memberi gambaran dan penguatan terhadap pembinaan sikap dan tindakan bela negara pada siswa etnik Tionghoa yang pada akhirnya menemukan suatu formulasi untuk diterapkan di sekolah, khususnya melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan atau program sekolah. 2. Secara Praktis Harapan terbesar peneliti dari pelaksanaan penelitian ini memiliki manfaat praktis, yaitu; a. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengembangan sikap dan tindakan bela negara siswa etnik Tionghoa baik secara teori maupun praktek melalui pendidikan di sekolah. b. Bagi kepala sekolah, hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam upaya pembinaan sikap dan tindakan bela negara siswa etnis Tionghoa melalui program-program sekolah. c. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan dalam menemukenali strategi yang dapat dilakukan di kelas dalam rangka pembinaan sikap dan tindakan bela negara siswa etnik Tionghoa. d. Bagi universitas, hasil penelitian dapat bermanfaat bagi para pemikir dan dijadikan referensi bagi peneliti berikutnya yang akan melakukan kajian terkait dengan upaya mempertahankan kedaulatan negara.
Jamaludin, 2014 Sikap dan tindakan bela negara siswa etnik Tionghoa dan pola pembinaannya Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
17
F. Struktur Organisasi Tesis Bab I menyajikan latar belakang masalah yang memberi konteks munculnya masalah; identifikasi dan perumusan masalah; tujuan penelitian; kegunaan penelitian; dan struktur organisasi tesis. Bab II menyajikan kajian pustaka, kerangka pemikiran, dan hipotesa penelitian.Kajian pustaka berisikan deskripsi, analisis konsep, teori-teori, dan penelitian
terdahulu
yang
relevan
mengenai
penelitian
pendidikan
kewarganegaraan dalam kaitannya dengan bela negara.Kerangka pemikiran disajikan untuk menggambarkan cakupan pola penelitian peneliti. Bab III mengenai metode penelitian yang menguraikan lokasi dan subjek populasi/sampel penelitian, desain penelitian dan justifikasi pemilihan desain penelitian, metode penelitian dan justifikasi penggunaan metode penelitian tersebut, definisi operasional yang dirumuskan dalam setiap indikator, instrumen penelitian, proses pengembangan instrumen, teknik pengumpulan data dan alasan rasionalnya, serta analisis data. Bab VI menyajikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai pengolahan atau analisis data untuk menghasilkan temuan berkaitan dengan masalah penelitian, pertanyaan penelitian, hipotesis, tujuan penelitian dan analisis temuan. Bab V menyajikan Simpulan dan saran.Simpulan menyajikan gambaran atas penafsiran dan pemaknaan peneliti terhadap hasil temuan penelitian.Saran atau rekomendasi yang ditujukan kepada pembuat kebijakan, pengguna hasil penelitian, dan kepada peneliti selanjutnya yang berminat melakukan penelitian selanjutnya.
Jamaludin, 2014 Sikap dan tindakan bela negara siswa etnik Tionghoa dan pola pembinaannya Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu
18
Jamaludin, 2014 Sikap dan tindakan bela negara siswa etnik Tionghoa dan pola pembinaannya Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu