1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan 1.
Permasalahan Masa 1970-an di Yogyakarta mulai bergolak dengan seni kontemporer yang
dipengaruhi oleh posmodernisme. Bambang Sugiharto (1996: 25) menguatkan pernyataann tersebut, bahwa: “Pertengahan tahun 1970-an, Ihab Hasan tampil memproklamirkan diri sebagai pembicara utama postmodernisme. Ia mencoba menerapkan label postmodernisme ini pada eksistensialisme seni dan kecenderungan ultrateknologi dalam arsitektur.” Kehadiran seni kontemporer menjadi trend mode berkarya sseni bagi pelajar dan pemuda di kampung melalui mural (lukis dinding). Perkembangan seni kontemporer berbasis posmodernisme ini kurang diimbangi dengan pembelajaran apresiasi seni di sekolah. Pembelajaran seni rupa sebagai salah satu materi kurikulum pendidikan seni di Indonesia relatif lamban dibandingkan dengan perkembangan penciptaan karya seni rupa kontemporer. Persoalan keterbatasan apresiasi seni kontemporer di sekolah disebabkan oleh beberapa hal. (1) Apressiasi guru seni rupa di sekolah masih terikat oleh kurikulum yang belum menjelaskan jenis karya seni rupa kontemporer. (2) Pendidikan seni seolah menjadi ‘anak tiri’ program regenerasi peseni dalam pendidikan fromal. Pembelajaran seni di sekolah terjadi mismatch; materi pelajaran seni diampu oleh guru yang tidak mempunyai kompetensi pendidikan seni. (3) ) Jadwal pelaksanaan
2
pembelajaran pendidikan seni hanya diberi 2 jam pelajaran perminggu dengan materi: seni tari, seni rupa, seni musik dan sebagian ditambah dengan seni drama. (4) Pemahaman tentang pendidikan seni belum dipahami secara utuh, sebagian pendidikan seni digolongkan sebagai mata pelajaran vokasional sebagai calon seniman. Kondisi nyata ini menyebabkan pendidikan seni berjalan tidak sesuai dengan esensi serta prinsip pembelajaran pendidikan seni di sekolah. (5) Pemerintah sedang fokus melaksanakan program pelestarian kesenian tradisi yang dianggap mampu memberikan pemasokan nonmigas dan pencarian nilai kearifan lokal. Kejadian ini dapat diprediksi bahwa regenerasi pelaku seni berjalan tidak seimbang. Merunut perkembangan kesenian di Yogyakarta hadir disangga oleh pilar seni tradisi yang bersumber dari budaya Jawa dan seni nontradisi yang mendapat pengaruh dari budaya luar. Sumber ide dari budaya Jawa dapat dikatakan mempunyai linieritas sejarah kesenian di Yogyakarta. Linieritas sejarah tersebut berangkat dari sejarah seni yang hadir untuk kebutuhan pengabdian kepada kepercayaan atau agama (theory of magic and relligion). Seni merupakan media dan alat komunikasi manusia dengan penciptanya melalui simbol bermakna spiritual. Perkembangan selanjutnya, simbolsimbol spiritual berkembang menuju nilai ekspresi bebas yang tidak berhubungan langsung dengan sejarah keberadaan seni di Yogyakarta (bersifat lateral atau nonlinier). Simbol diciptakan dengan intelegensi perupa menjadi sifat rasional. Kreasi simbol seni ini dikaitkan
dengan kehidupan; seni menjadi medan eksplorasi
3
kehidupan batin, lengkap dengan lembaganya (museum, galeri, sanggar) dan para nabinya (maestro) (Sugiharto, 2013:33). Konteks penciptaan karya seni rupa, para perupa posmodern mulai berani mengibarkan kebebasan berkarya. Bebas dalam arti otonom mengobjektivikasikan, merepresentasikan, memvisualkan maupun memilih medium. Objektivikasi yang dimaksud adalah penentuan sasaran estetika pada suatu objek visual (material) maupun nonvisual (formal) melalui proses induction. Objektivikasi ini dipengaruhi oleh pikiran untuk menumbuhkan imajinasi perupa. Proses objektivikasi mengarah kepada penemuan bentuk seperti yang representative. Pada saat kebebasan berkarya dimajukan oleh para perupa seni kontemporer, kesenian di Yogyakarta dalam suasana politik yang kurang kondusif untuk kebebasan berkarya seni. Kondisi politik yang berasas tunggal ini dirasakan oleh para perupa Seni Rupa Baru Indonesia sebagai penyempitan ruang gerak mencipta. Proses objektivikasi dan ekspresi berkarya sangat terbatas, maka Ronald Manulang mengungkapkan kepahitan berkarya dalam pagelaran seni instalasi ‘Kepribadian Apa’ tahun 1977 sebagai berikut: “ Mulanya adalah kekecewaan, kebosanan, kalau boleh kemuakan yang beralasan terhadap berbagai prinsip kesenian dalam pola mapan yang mati. Ketidakpuasan yang serius. Begitulah bentuk keinginan untuk lebih meronta sekalian mendobrak sistem konvensi yang menggemaskan sekali. Kami ingin meneriakkan koor yang mengguntur di telinga kesenian mummi yang beku; hiyaaaatt!!” (Manulang, 1997: 1). Pernyataan tersebut mengundang kontroversi dengan pemerintah yang pada saat itu masih menguatkan asas tunggal. Semua gerakan sosial, politik serta kesenian harus berasaskan Pancasila. Permasalahan ini diartikan secara sempit sehingga
4
muncul kecurigaan politik, pemerintah mengidentifikasi karya Seni Rupa Baru merusak tatanan sosial. Gerakan mereka dicurigai sebagai perusak ketahanan nasional ataupun ketahanan budaya; penguasa menganggap kebebasan mengarah kepada pembiaran pengaruh budaya asing masuk. Beberapa hal dianggap membahayakan adalah terjadinya infiltrasi budaya (Kedaulatan Rakyat, 15 Januari 1975, hal. 11, kolom 4) lewat jalur ekonomi, budaya, akademik dan teknologi. Di sisi lain, perupa menyatakan tindakan pemerintah sebagai pemasungan kreativitas (Manulang, 1977:1). Tindakan ini oleh para perupa Seni Rupa Ruang Publik diartikan pemasungan inovasi penciptaan karya seni rupa. Pameran tersebut terpaksa ditutup oleh pemerintah pada tanggal 3 September 1977 pukul 17.00 melalui Polres Kota Yogyakarta (Horison/XII/232, hal x., Wiyanto, 2012: 79). Penutupan pameran ini ditandai dengan dicabutnya surat izin pameran ‘Kepribadian Apa’ oleh Komres Kepolisian, no 961/PKN/ 268-50/1977 (Bernas, 13 September 1977, hal. 11, kolom 4). Kenyataan ini merupakan tanda kuasa organisasi dan ketidaksatuan mengemas prinsip pengembangan seni dan budaya di Indonesia. Konteks suasana seni akademik di kampus seni Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) saat itu menunjukkan kontroversi antara pemimpin kampus dan otorita akademik dengan mahasiswa. Beberapa mahasiswa menentang kebijakan akademis sebagai pemasungan kreativitas. Para mahasiswa menolak seni akademis yang dianggap mengurangi kebebasan mencipta dan mendiskreditkan lembaga akademi tersebut mendapat asupan model berpikir rasional dalam berkarya seni. Atkins
5
(1970:37) menyebutkan karakter seni akademis; “Academic art – thats is art based on academic principles. Having now acquired a negative connotation. It is often used to describe an artist or art work is long on received knowledge and technical finesse but short on imagination or emotion.” Penciptaan karya seni dianalogkan menulis karya ilmiah, diberlakukan persyaratan sebagai patokan (kanon). Prinsip berpikir rasional ini dijadikan alasan pertentangan oleh lima orang mahasiswa. Pertentangan dimulai tahun 1973, ‘Kelompok Lima (Pelukis Muda Yogyakarta): Bonyong Muniardhi, Hardi, Nanik Mirna, dan Siti Adiati (Harsono, 2010: 69). Gerakan secara terbuka melakukan penentangan terhadap keputusan Dewan Kesenian Jakarta dalam acara pemberian anugerah pemenang seni dalam rangka Bienal Seni Rupa (Pameran tanggal 11 – 31 Desember 1974) di Jakarta merembet kepada intimidasi dugaan warisan keturunan organisasi terlarang. Beberapa seniman muda (mahasiswa ASRI) dengan kelompok Desember Hitam (DH) mengajukan protes terhadap kemenangan lukisan dekoratif yang tidak melihat perkembangan seni lukis. Buntut penolakan adalah mahasiswa terkait dilarang mengikuti kuliah sampai batas waktu tidak ditentukan (Tempo, 11 Januari 1975: 15) (Turner, 2005:202). Kondisi ini merupakan penguatan tradisi berpikir rasional dalam berkesenian. Berpikir rasional yang dimaksudkan adalah pemaksaan penyadaran penciptaan karya seni berbasis ilmiah, seperti menulis dan mengaji masalah dengan mencari metoda berpola positivistik. Ide ini mendapat asupan dari berpikir teknologis, sehingga
6
konsep akademik ilmiah berhasil memengaruhi idealisme Timur menuju Barat (modern). Peresapan ideologi penciptaan pun secara infiltratif dipengaruhi, akhirnya penciptaan karya seni rupa dilandasi oleh kebebasan berpikir dan bergerak. Persoalan modernitas Giddens menjelaskan bahwa modernitas berdasarkan empat intuisi dasar: ”Kapitalisme, Industrialisasi, Kapasitas pengawasan dan Kontrol atas sarana kekerasan” (Kusuma Djaya, 2012:33). Kapitalisme dalam kreasi penciptaan seni rupa diidentikkan penguasa kampus menetapkan aturan penciptaan dan evaluasi. Industrilasisasi diidentikkan dengan kekuasaan penggunaan sumber rujukan khas dianggap sebagai hegemoni produksi aturan ilmiah, serta kapasitas pengawasan dirujukkan dengan peraturan ketat penciptaan mulai dengan mengusung permasalahan menjadi sentuhan penciptaan yang terukur (berdasarkan proposal penciptaan). Ciri khas ini terdapat peraturan akademik Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) berakibat kelompok mahasiswa tersebut menentang pola-pola modernisasi di kampus yang dianggap memasung kreativitas. Mahasiswa menolak dan kemudian masuk dalam ruang dan gerakan ekspresi bebas penciptaan karya seni. Perkembangan kebebasan mencipta ini tidak merata pada beberapa kampus seni dan daerah, baik secara aglomerasi, akademik, maupun budaya sehingga muncul kekhawatiran dari berbagai pihak menjadi gejolak budaya. Seiring dengan pergerakan ‘kebebasan’ sebagai dasar penciptaan ini, Seni rupa Ruang Publik (SRP) muncul dengan mengemukakan seni rupa kontemporer. SRP adalah sebutan salah satu kelompok seni rupa beraliran seni kontemporer yang bercirikan kebebasan pemolaan
7
estetika (keindahan terukur) dari kesenian tradisi di Yogyakarta. Kesenian tradisi di Yogyakarta terbagi dalam dua pilahan besar: seni tradisional dan seni kerakyatan. Seni tradisional berbasis rakyat yang tumbuh sebagai tradisi budaya, misalnya penyelenggaraan upacara adat. Seni klasik merujuk kepada seni tradisi yang berada pada kelas tertinggi, dan dianggap mempunyai otoritas claim estetika atas atau tinggi. Kesenian klasik ini berpusat di keraton dijadikan patokan atau kanon (ukuran) penggarapan maupun pelestarian atau pembelajarannya bagi pengikutnya. Istilah estetika kanonik diangkat dari kesenian yang dijadikan pola dan disupremasikan sebagai kesenian adiluhung. Kanon adiluhung diangkat dari bentuk, isi dan latar penciptaan (contour, content dan context) penampilan. Bertolak dari konsep bentuk, prinsip estetika kanonik terukur untuk menunjukkan keterukuran dari sudut material maupun formal. Segi bentuk ditandai dengan keterukuran figur terhadap deformasi alamiah, sedangkan keterukuran formal dapat dilihat dari isi, makna maupun konteks. Isi atau muatan pesan dan pelajaran dikaitkan dengan ukuran moral dan etika (courtesy) budaya Jawa berupa piwulang dan piweling. Karya seni ini mengklaim diri sebagai karya adiluhung berkait dengan konsep aglomerasi (wilayah keluasaan pengaruh kerajaan), hegemonial, kapitalisme. Konsepsi adiluhung ini ditujukan kepada masyarakat di luar kerajaan untuk dijadikan patokan, pola dan sekaligus panutan model penciptaan dan produksi seni selanjutnya. Komunitas keraton mengemas estetika dalam bentuk simbol budaya yang sarat dengan makna, dan sekaligus dijadikan dasar objektivikasi komunitasnya (hegemoni).
8
Artinya, unsur estetika suatu objek diikat oleh peraturan dan menjadi tata krama bagi hegemoni keraton (kerajaan). Kesenian adiluhung ini disebut sebagai estetika atas yang dianggap telah mapan (established). Analog kata atas atau tinggi, dilihat dari epistemologi estetika yang diapresiasi menggunakan pengetahuan yang luas; pemahaman terhadapnya didasari oleh a prioritas estetika tradisional yang terukur. Pengertian tinggi ditunjukkan oleh simbolisasi pesan (piweling) dan ajaran (piwulang) yang rumit penuh konotasi arti namun menuju satu maksud (Pamadhi, 2010: 5-6). Terhadap oposisi (binary) kesenian tinggi terdapat kesenian rendah; kesenian ini ditujukan untuk menyebut kesenian rakyat (di luar kerajaan) sebagai kesenian berestetika bawah atau estetika kawula alit. Giddens (2003: 42) menyindir kaum bawah sebagai: “orang lemah untuk menciptakan penderitaannya penuh makna dengan menyalahkan orang lain dan menggunakan khayalan balas dendam.” Konsep estetika terukur adalah keindahan suatu karya seni: (1) Mempunyai kebenaran tunggal, dengan meyakini metafisika kehadiran simbol-simbol budaya hegemoni sebagai jawaban atas kebenaran ontologis; di dalamnya diwarnai dengan asumsi posisi pusat yang paling stabil. (2) Mempunyai patokan apresiasi dengan logosentrisme yang disusun berdasarkan kekuasaan, yaitu usaha untuk meyakinkan bahwa memahami kesenian atas perlu penyerahan diri dalam pemahaman tunggal. (3) Menggunakan penampilan penuh simbolisme dan ideologi penciptaan dikembangkan dengan metafisika dan logosentrisme, sehingga diperlukan penerjemah atau pembaca khusus. Hal ini dapat diartikan sebagai jarak antara rakyat (komunitas lain) terhadap
9
hegemoni klasik. (3) Mengangkat isu-isu a priori dikemas simbolis dengan muara politik, contoh: mengaitkan simbol-simbol piwulang lan piweling dengan ketugasan hegemonial, sehingga kebenaran yang dirasionalkan tidak pernah mengalami pertanyaan. (4) Karya seni dihadirkan sebagai bagian dari upacara tradisi, dan mitos untuk menguatkan kedudukan dalam konstelasi kekuasaan dan hegemoni. (5) Merupakan puncak momen estetik dari penciptaan setelah melalui reward dan reinforcement serta justice secara musyawarah oleh para pakar khusus, (6) pembacaan estetika dipersyaratkan dengan metoda, prinsip serta suasana tertentu dengan tujuan untuk mendapatkan legitimasi penguatan kekuasaan. Estetika kawula alit adalah rakyat dengan kedudukan di bawah. Estetika bawah dianggap sebagai pengetahuan rendah dengan struktur bentuk sederhana, ditunjukkan oleh penyimbolan pesan yang mudah diinterpretasi oleh orang awam seni. Estetika ini dimiliki oleh kalangan rakyat yang berada di luar keraton dan menempati posisi di luar kota praja. Kesenian ini dianggap tidak mempunyai estetika terukur. Estetika bawah ini juga untuk menyebutkan seni rupa bawah. Istilah seni rupa bawah, mengambil ide dari pendapat Yuliman (2001: v) bahwa karya tersebut diidentikkan dengan karya seni diproduksi oleh massa rakyat (yang tidak mempunyai kuasa politik maupun budaya) dan jauh dari kanon estetika tinggi, atau karya seni yang diperuntukkan rakyat. Karya seni ini bisa berupa seni rakyat, dan seni kerakyatan (pop art) yang didukung oleh: kelompok rakyat pedesaan. Karakteristik pedesaan
10
adalah berapropriasi kesenian terhadap seni modern dan seni klasik yaitu komunitas seni urban, seni diaspora dan sebagian seni akademik. Kenyataan kekuasaan aglomerasi dianggap oleh komunitas SRP sebagai borjuis seni, yaitu seni yang diciptakan oleh hegemoni borjuis seperti halnya istilah yang dikemukakan oleh Marx bahwa kaum atas yang mengeksploitasi dan mengalienasi kelompok bawah. Alienasi yang dimaksudkan adalah “hubungan yang diselewengkan ... terkait dengan beragam hal, termasuk pekerjaan, produk kelima indra, kehidupan komunal dan sesama manusia itu sendiri” (Kusuma Djaya, 2012: 8). Bujono (2012:xxii) mengidentifikasi pola tersebut terkait dengan penciptaan karya seni: “keindahan yang diciptakan oleh kaum romantik adalah keindahan semu dan elitis sebagai bagian dari budaya borjuis... kemudian kelompok bawah dikonotasikan sebagai kaum terpinggirkan oleh sejarah.” Pola borjuis seni ini dianggap biang pertentangan ideologi estetika dengan kelompok rakyat. Dalam konteks pertentangan ini, komunitas SRP menolak borjuitas dan berpihak kepada rakyat (kelompok bawah). Penyebab utama penolakan adalah kebebasan mencipta dipunyai oleh individu, karena estetika dalam proses objektivasi maupun objektivikasi merupakan kebabasan perupanya. Identik dengan pernyataan Ritzer yang mengomentari dan menyimpulkan pendapat Marx sebagai berikut; “Manusia menciptakan sejarah, namun mereka tidak dapat melakukannya sesuka hati; mereka tidak menciptakannya dalam situasi yang mereka pilih sendiri, namun dalam situasi yang begitu saja dihadapi, diterima, dan ditransmisikan dari masa lalu” (Kusuma Djaya, 2012: 28). Ide
11
estetika kerakyatan yang digagas oleh SRP mendekatkan karya seni dengan estetika yang menyentuh rasa rakyat atau kalangan bawah, non pemerintah dan akademik. Ide estetika kerakyatan berangkat dari karya seni yang diciptakan sebagai wacana komunikasi sosial dan bercirikan perjuangan melawan estetika atas atau estetika status quo. Dampak dalam penciptaan karya adalah para peseni SRP mengembangkan ide fragmentatif dengan mendistorsi, mengganti dan mendislokasi unsur rupa dengan gerak maupun suara yang dapat dicerna oleh rakyat atau kelas bawah. Estetika bawah juga disebut dengan estetika pembebasan dengan dasar penciptaan karya senirupa dengan mencari alternatif baru berupa kejutan, kekacauan, terhadap kemapanan dan kanon disebut oleh Foster (1991: xi) the anti - aesthetic. Estetika ini juga mendapat julukan juggernaut yang melepaskan kendali kebebasan penciptaan sebagai kemajuan dari modernitas – modernitas radikal, tinggi atau akhir (Giddens dalam Kusuma Djaya, 2012: 30). SRP tidak menyekat diri dengan istilah seni seperti perkembangan modernisme di Eropa pada abad ke 17, seperti istilah: lukis, patung, maupun grafis. Para perupa SRP mengutamakan ekspresi spontan seperti perilaku rakyat mengolah seni sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari seperti tidak disengaja. Sasaran penciptaan SRP adalah kreativitas; ditunjukkan pada penampilan (performansi) dengan memanfaatkan ruang publik sebagai medium, bahan, unsur penciptaan. Ruang publik diartikan sangat luas, ruang fisik dan ruang ideologi. Ruang fisik diantaranya seperti: jalan, dinding, pagar, ruang kosong yang dirasa oleh perupa strategis untuk menampilkan
12
idenya dan dianggap dapat berkomunikasi langsung dengan massa atau penikmatnya. Ruang ideologi adalah kesempatan melakukan dialog dengan dialektika yang bebas jarak, bebas berpikir untuk mengutarakan pendapat (Simmel dalam Kusuma Djaya, 2012: 26). Dilihat dari sisi epistemologi, pemikiran SRP merupakan usaha pelepasan dari konsep atomisme seni yang tersekat oleh medium dan gaya ini akan dicermati dari enerji batin dibalik misteri bentuk, ide serta aura yang dipancarkan. Konsepsi penciptaan berasal dari perpaduan seni posmodernisme berdasar dekonstruksi. Sebagai penganut aliran posmodernisme, SRP mengumandangkan anti historianisme namun tetap mengapresiasi kehadiran budaya lokal sebagai isoterik ide penciptaan. Sebagai penganut dekonstruksi, SRP berusaha mengembangkan bentuk dan konsep konfrontatif terhadap kemapanan. Karya dirancang berdasarkan ide kerakyatan dan ditata dengan pendekatan teori permainan (theory of play) yang sering digunakan anak berkarya seni, misalnya pola eksperimentasi seni instalasi dan happening art. Ide tersebut diangkat menjadi sebuah ideologi penciptaan karya senirupa. Berangkat dari uraian ini, penulisan disertasi menyangkutkan penelitian ideologi penciptaan, karena pemilihan pokok masalah ideologi adalah: ” studi ideologi mensyaratkan kita untuk menginvestigasi cara-cara bagaimana makna dikonstruk dan disampaikan melalui bentuk-bentuk simbol dalam jenisnya yang bervariasi, dari ungkapan bahasa sehari-hari hingga citra dan teks yang kompleks; ia mensyaratkan kita untuk menginvestigasi konteks sosial tempat diterapkan dan disebarkannya bentuk-bentuk simbol; dan ia mempertanyakan apakah, demikian juga bagaimana, makna yang dimobilisir bentuk-bentuk simbol digunakan, dalam konteks tertentu, untuk membangun dan mempertahankan relasi dominasi” (Thompson, 1990: 19).
13
Terminologi ideologi penciptaan dalam disertasi ini adalah gambaran idea dan pikiran yang memengaruhi ide penciptaan karya seni rupa, oleh karenanya dalam penelitian memotret ideologi penciptaan SRP Yogyakarta dari fakta sejarah dan pemikiran para perupa konteks perkembangan kesenian di Yogyakarta. Penelitian ideologi penciptaan dimulai dengan mengungkap pikiran dari perilaku dalam penciptaan karya SRP, seperti: (a) cara mengobjektivikasi keindahan, (b) menyubjekkan hasil objektivikasi ke dalam karya seni, (c) state of the art yang diwacanakan ke dalam bahasa rupa di ruang publik, dan langkah ini diawali dengan menarik garis sejarah perkembangan kesenian untuk merunut nutfah estetika perjuangan dalam karya SRP. Kata dimensi dalam judul tulisan ini diambil dari bahasa Latin: dimensio, berarti ukuran. Kata dimensi dimanfaatkan oleh beberapa disiplin Fisika berarti besaran. Besaran adalah susunan unsur yang menyatukan prinsip maupun bentuk ke dalam hubungan satu dengan lain hingga membentuk satuan; antara suatu besaran terhadap besaran-besaran pokoknya. Kata ‘dimensi’, dalam Ilmu Ukur Ruang, dimaksudkan cara pandang proyeksional terhadap objek. Dalam webster’s Dictionary (1979: 512) dijelaskan: “ dimension is a measuring, measurement in length, breadth, and, often, height; as the dimension of room. Of a ship, of a farm, of a kingdom, etc.... in physics, a fundamental quantity, as mass, length, or time, in termof which allother physical quantities, as those of area, velocity, power, etc. are measured; as, the dimension of density are mass divided by the cube of length”.
14
Contoh: dalam bangun kubus; garis lurus merupakan unsur bujur angkar, sedangkan bujungsangkar merupakan unsur bangun kubus. Proyeksi potongan merupakan unsur dari bangun kubus. Dimensi kubus dapat dilihat dari susunan garis-garis yang membentuk bangun segi empat. Susunan ini menjadi lebih solid dengan bentuk tiga dimensi yang mempunyai matra: muka-belakang, samping kanan-kiri, atas - bawah. Berdasarkan uraian di atas, istilah dimensi estetika dimaksudkan estetika sebagai titik sumbu koordinat proyeksi pikiran yang membentuk gagasan sekaligus ide dalam penciptaan suatu karya seni. Besaran ide dan pikiran dipengaruhi oleh besaran latar belakang, sejarah, hasrat, minat, ideologi, maupun imajinasi. Konsep dimensi estetika adalah penempatan estetika menjadi titik koordinat pikiran bergambar (pictorial thinking) yang menumbuhkan gagasan cara cipta karya seni berkait antara ide penciptaan, latar belakang sebagai besaran terciptanya karya seni. Dimensi estetika Seni rupa Ruang Publik (SRP) adalah struktur tiga dimensi kubus dengan menempatkan estetika menjadi titik sumbu koordinat besaran penciptaan karya SRP. Estetika sebagaai titik sumbu koordinat tersebut berangkat dari: ideologi penciptaan, latar belakang penciptaan, visi penciptaan maupun tujuan penciptaan. Dimensi estetika bagi komunitas SRP mempunyai ruang, berupa ruang ideologi, ruang gagasan dan platform penciptaan dan ruang untuk mengobjektivikasi. Secara ringkas, kata dimensi berisi makna pikiran sebagai koordinat terhadap besaran yang menjadi proyeksi bentuk.
15
2.
Rumusan Masalah Permasalahan di atas dijadikan rujukan penelitian dalam bentuk kalimat
pertanyaan sebagai berikut: a. Apa hakikat Seni rupa Ruang Publik (SRP) di Yogyakarta? b. Apa dimensi estetik yang terkandung dalam Seni rupa Ruang Publik (SRP) di Yogyakarta? c. Apa relevansi estetika Seni rupa Ruang Publik (SRP) di Yogyakarta dengan pengembangan Pendidikan Kesenian di Indonesia?
3. Keaslian Penelitian Penelitian tentang seni rupa kontemporer di Yogyakarta telah dilakukan oleh peneliti lain, dalam ranah berbeda dengan penelitian disertasi ini, di antaranya: a.
Asikin, 1992 Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia’, penelitian mengambil objek material karya seni rupa (karya senirupa baru), dan objek formal berupa latar belakang penciptaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa latar belakang kehidupan memengaruhi penciptaan karya Seni Rupa Baru.
b.
Tjetjep Rohendi Rohidi, 1993: Ekspresi Seni Orang Miskin; objek material seni yang diciptakan orang miskin dan objek formal perilaku berkesenian orang miskin di desa dan di kota. Hasil penelitian menunjukkan bentuk, cara dan gaya berekspresi orang desa dan kota berbeda.
c.
Heidi Leanne Arbuckle, 2000: Taring Padi and the Politics of Radical Cultural Practice in Contemporary Indonesia; merupakan penelitian untuk menempuh derajat BA (Hons). Objek material karya seni rupa dan objek formal latar belakang penciptaan karya seni dari komunitas Taring Padi. Hasil penelitian menunjukkan karya seni sebagai ungkapan politik.
d.
M. Agus Burhan, 2000; Sejarah Seni Lukis Indonesia (dari Mooi Indie sampai ke Persagi), objek material berupa karya seni dari masa perkembangan seni lukis di Indonesia, sedangkan objek formal adalah gaya dan karakteristik lukisan. Hasil penelitian menunjukkan era sejarah sosial-politik, budaya setempat, dan tujuan berpengaruh terhadap corak dan gaya seni lukis.
16
e.
I Ngurah Suryawan, 2006: Dari Moii Bali ke Mendobrak Hegemoni, Pergulatan Seni dan Rezim Kekuasaan 1930-2005 di Bali, objek material berupa karya senirupa Kontemporer Bali dan objek formal berupa latar belakang penciptaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karya seni rupa kontemporer merupakan resistensi sosial dan politik penguasa.
f.
Acep Iwan Saidi, 2008: Narasi Simbolik Seni Rupa Kontemporer Indonesia, objek material berupa karya senirupa kontemporer di Indonesia, dan objek formal berupa ide penciptaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa simbol politik diujudkan dalam karya senirupa kontemporer Indonesia.
g.
Outlet, tt: Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia, merupakan penelitian kelompok; objek material berupa karya Seni Rupa Kontemporer dan objek material berbeda-beda, diantaranya: 1) Sumartono: Peran Kekuasaan Dalam Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta, dengan objek formal ide penciptaan; hasil penelitian menunjukkan bahwa kekuasaan personal maupun organisasi memengaruhi munculnya gerakan kebebasan berkarya senirupa dan pengaruhnya pada latar penciptaan karya senirupa. 2) Asmudjo Jono Irianto: Konteks Tradisi dan Sosial Politik Dalam Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta Era ’90-an, objek material: karya senirupa baru dan objek formal latar belakang penciptaan. Hasil penelitian menunjukkan karya seni rupa dipengaruhi oleh kondisi sosial politik dan budaya, serta peseni ingin membangun konteks situasi dan kondisi yang dibacanya. 3) Rizki A. Zaelani: Menyoal Karya Seniman Yogyakarta Angkatan ’90-an, Sebuah Kasus Perkembangan Seni Rupa Kontemporer Indonesia; objek formal berupa latar belakang penciptaan: sejarah sosial politik di Indonesia menciptakan kondisi antagonistik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan seni rupa kontemporer dipengaruhi oleh kondisi sosial politik yang sedang berlangsung. 4) M. Dwi Marianto: Gelagat Yogyakartta Menjelang Milenium Ketiga. Objek formal berupa fenomena politik dan latar belakang penciptaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebebasan ekspresi sebagai alur kontemporer berpengaruh terhadap konsep, ide dan media berkarya.
h. Kasiyan (2009): Dimensi Tradisi dan Budaya Lokal dalam Sejni Rupa Kontemporer Yogyakarta. Objek formal budaya tradisi Yogyakarta yang dijadikan ide penciptaan karya SRP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunitas SRP Yogyakarta mengapresiasi karya seni tradisi sebagai seni rakyat dalam ujud penciptaan. i. Hajar Pamadhi (2010): Ideologi Penciptaan SRP Yogyakarta. Objek formal penelitian adalah estetika SRP dan objek material adalah presentasi karya di ruang
17
publik di Yogyakarta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa objek formal karyakarya senirupa ruang publik dipengaruhi dan berapropriasi dengan prinsip sosialisme-realisme yang pernah dibangun oleh kelompok seniman kerakyatan.
B.Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a. Mendeskripsikan hakikat Seni Rupa Ruang Publik Yogyakarta dari pendekatan epistemologi seni, ontologi seni dan aksiologi seni. b. Menggali dan mendeskripsikan dimensi estetika karya Senirupa Ruang Publik Yogyakarta dilihat dari dimensi visual maupun ideologi penciptaan. c. Menemukan relevansi estetika Seni Rupa Ruang Publik Yogyakarta dan menyusun serta merefleksikan hasil penelitian tentang dimensi estetika SRP untuk pengembangan Pendidikan Kesenian di Indonesia.
2.
Manfaat Penelitian
a.
Bagi Ilmu Pengetahuan 1) Bagi Ilmu Filsafat, temuan penelitian tentang dimensi estetika pada seni rupa kontemporer yang mengangkat habitus budaya tradisi dapat digunakan untuk mengukuhkan filsafat keindahan atau Estetika Bawah sebagai estetika kontemporer. Eksistensi Estetika seni bawah ini ternyata mampu berperan sebagai filsafat nilai seni dalam pergaulan, baik komunikasi maupun etika sosial yang dapat diajarkan melalui pembelajaran Pendidikan Kesenian.
18
2) Bagi Pendidikan Kesenian di Indonesia, hasil penelitian tentang estetika bawah yang diteliti lewat karya SRP diharapkan dapat mengembangkan Pendidikan Seni di Indonesia, terutama untuk mendasari arah kurikulum pendidikan formal, dan strategi pembelajaran yang menyenangkan (joy full learning), yaitu: approach, method and technic (AMT). b. Bagi Masyarakat dan Pembangunan Negara 1) Kehadiran SRP merupakan fenomena perkembangan seni Seni Kontemporer yang berkembang secara khusus dengan karakter estetika kerakyatan. Perkembangan selanjutnya kelompok SRP diterima oleh masyarakat awan seni, dan dianggap sebagai gerakan senirupa baru di Indonesia. Kebaruan tersebut terletak pada tema-tema kerakyatan serta dianggap representasi urban. Representasi merupakan:” persepsi visual dikode dalam satu cara atau cara lain .. dan tidak dikode sebelumnya, oleh sebab itu Seni Urban selalu merupakan tiruan dari suatu tiruan (copy) dan tidak ada subjek seperti dalam pemahaman terma tradisional” (Bertens, 1995: 85-87) 2) Bagi pengembangan penelitian selanjutnya, yaitu sebagai entry point penelitian tentang habitus estetika Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan penyusunan blue print Filsafat Seni Nusantara. 3) Metoda pendekatan belajar kesenian, filsafat nilai keindahan, dan pendidikan karakter yang sedang diimplementasikan dalam pembelajaran di kelas dapat
19
dilakukan melalui pendekatan naturalistik, yaitu pendidikan rasa indah melalui pemahaman, penerapan dan pengungkapan melalui berkesenian. 4) Sebagai masukan penguatan konsep Pendidikan Kesenian sebagai Pendidikan Estetika dan memerankan dalam konteks pendidikan: multi lingual, multi dimensi dan multi kultural. Multi lingual adalah memahami karya seni sebagai simbol dan bahasa visual; melalui memahami cara menggambar anak dapat memahami jiwa serta pemikiran kritis (filsafat). Multi dimensi, artinya memahami karya anak sebagai ungkapan estetika tentang diri dan lingkungannya (sejarah sosial dan produk sosial) dikemas menjadi bahan pembelajaran pendidikan estetika. Multi kultural artinya menempatkan pendidikan estetika sebagai ungkapan dan representasi budaya anak, lingkungan dan mampu mengapresiasinya untuk tujuan pendidikan toleransi berbasis pendidikan multikultural.
C. Tinjauan Pustaka Perbincangan mengenai estetika terkait dengan permasalahan: nilai, fungsi atau peran, dan ujud. Pertama, Estetika sebagai nilai, merujuk sebagai kajian atau bahasan Filsafat Nilai (Aksiologi); estetika adalah nilai keindahan atau kecantikan (beauty) karya SRP. Keindahan dipelajari melalui pemahaman (verstehen) dalam karya maupun proses berkarya seni. Memahami karya SRP dimulai dari memahami esensi karya dan ide penciptaan. Pemahaman ini melalui belajar, mengolah keindahan
20
menjadi sebuah karya seni (John Ruskin dalam Gie, 1997:15), (Gie, 1996:31). Kedua, peran estetika; estetika sebagai besaran pikiran mampu memicu pictorial thinking sebuah karya seni. Perupa melakukan objektivasi, objektivikasi serta subjektivitasi sehingga mewujudkan karya seni. Peran estetika sebagai bahan objektivasi adalah mengapresiasi objek seperti adanya dan objek sebagai konsepsi metafisik sebuah karya seni. Estetika mempunyai fungsi sebagai pelatuk penciptaan karya, media menampung gagasan, mewujudkan impian, serta menampung pikiran. Isi hati dan aspirasi masa sosial yang dituangkan ke dalam karya seni. Ketiga, ujud atau bentuk estetika merupakan abstraksi fisik, abstraksi bentuk dan abstraksi metafisik. Estetika dalam abstraksi fisik membangun imajinasi bentuk melalui benda sebentuk, abstraksi bentuk atau ujud membangun ide gagasan sesuai dengan gambaran imajniasi melalui prinsip karya seni, dan abstraksi metafisik membangunkan imajinasi baru berdasarkan bentuk yang sudah ada. Keempat, berkarya seni merupakan proses merekayasa kognisi(cognitive engeneering) yang ada dalam besaran estetika. Bagi perupa SRP, karya seni sebagai produk berpikir paralogisme; berupa hakikat kognisi secara terus menerus berkembang serta sebagai upaya pemahaman dengan mengkaji ulang ‘apa artinya memahami ini’ (Sugiharto, 2013: 35). Pernyataan Sugiharto ini memberi gambaran bahwa estetika sebagai ruh karya seni selalu memiliki kaitan isoterik dengan kehidupan seseorang. Seorang perupa selalu membawa kognisinya dalam proses sosial dan produk sosial, baik secara kelompok maupun personal.
21
Secara kelompok, para perupa merasa terdapat kesamaan merasakan sesuatu, dan terdapat ikatan ideologi. Ideologi seseorang menjadi pengarah melakukan pemikiran ulang kognisi terhadap jawaban secara terus menerus. Pelajaran Estetika yang pertama dari Plato menyebutkan bahwa alam sebagai sumber keindahan (ars immitatur naturam) (Anwar, 1980:13). Objektivasi keindahan alam itu dipikirkan agar ‘ada’; artinya keindahan dianggap ada jika dipikirkan keberadaan oleh seseorang. Titik tumpu pandangan ini adalah mata sebagai instrumen pencarian substansi indah. Kemudian dikembangkan oleh Rene Descartes (1596 – 1650) dengan instrumen pokoknya pikiran atau rasio untuk menyadarkan visi anorganis suatu bentuk karya seni. Kemudian Immanuel Kant (1724 -1804) yang mendasarkan rasionalitas keindahan melalui mata dan pikiran dengan mengajukan asumsi kanon estetika. Mata merupakan instrumen penilaian terhadap keindahan bentuk dan objek, sebab keindahan terletak pada bentuk atau rupa. Perkembangan berikutnya, hubungan estetika dengan realita hidup, estetika berperan menjadi alat sosial untuk memperjuangkan nasib. Gagasan ini dalam perspektif Marxian diidentikkan dengan realisme. Dalam hal ini, pemahaman estetika menjadi besaran ideologi sebagai refleksi proses (sejarah) sosial manusia, misalnya hubungan sosial yang menimbulkan gejala: pertentangan, perselisihan, pemujaan, permasalahan dengan kehidupan di sekitarnya (sosial) atau permasalahan dirinya yang terciptakan menjadi kelompok yang tersisihkan. Estetika memihak komunitas bawah sebagai pembanding kekuatan borjuis terhadap eksploitasi proletar dengan ide rasionalitas
22
(Althusser, 1969: 233). Marxian mengusulkan seni yang sempurna adalah seni memihak rakyat. Sejarah sosial dan produk sosial menjadi titik pandang utama dalam objektivikasi maupun representasinya. Objektivitas keindahan berada pada telesis harus dikeluarkan dari dunia ide dan imajinasi menjadi kontur maupun konten karya seni. Telesis adalah gambaran bentuk yang dipaksakan ada ketika seseorang sedang berimajinasi dan mengharapkan hadirnya pictorial thinking. Ide tersebut dipengaruhi oleh pengalaman ingatan (bersifat intuitif bawaan dalam diri) manusia setelah memahami (verstehen); ide tersebut akan ditampakkan visinya dalam karya seni rupa. Henry James menjelaskan bahwa seni harus menunjukkan jiwa peseninya dan muncul dalam visi penciptaan: art is nothing more than the shadow of humanity (Dictionary of Quotation1998: 22). Berbicara perihal jiwa dalam lukisan, Sudjoyono (1946:23) juga berpendapat ”... wataklah yang harus menjadi pedoman kandidat seniman, yang hendak menjadi seniman tadi.” Ungkapan ini mengandung arti bahwa seni sebagai media representasi bagi pencipta seni. “... karena seni bertujuan menciptakan realitas baru dari kenyataan pengalaman nyata. Bentuk seni sendiri adalah realitas yang dihayati secara inderawi” (Sumardjo 2000: 5) sehingga berseni berarti memikirkan tentang keberadaan dunia. Seni berisi interpretasi terhadap situasi, seperti: sosial politik, kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi. Permasalahan tersebut menjadi ideologi dan melalui estetika diwacanakan dalam karya seni rupa.
23
Pembicaraan tentang ideologi penciptaan dalam disertasi ini didasari oleh pengertian ideologi oleh Thompson (1990:17-20) sebagai berikut: “ Ideologi adalah suatu pemikiran yang lain, memikirkan beberapa hal lain selain dirinya. Sebuah pandangan disebut ideologis berarti secara implisit mengkritisinya, Karena konsep ideologi selalu membawa makna negatif, berdasarkan pemahaman kritis. …….Ideologi hadir dalam setiap program politik dan menjadi ciri dari setiap gerakan organisasi politik. Untuk melengkapi konsepsi ini, seorang analis dapat melukiskan dan menggambarkan sistem pemikiran dan keyakinan utama untuk menjiwai tindakan sosial politik…… konteks hal ini, ideologi kecenderungan berdasarkan istilah ‘isme’ – konservativisme, komunisme, Reaganisme Tatcherisme, Stalinisme, Marxisme. Sistem pemikiran dan keyakinan tersebut serta lainnya, ideologi-ideologi tersebut dapat dikategorisasikan berdasarkan elemen-elemen penganutnya dan dilacak dari sumber aslinya. Inti uraian merujuk pengertian ideologi memengaruhi seseorang (perupa) dalam kinerja objektivikasi. Objektivikasi yang dilakukan oleh perupa berjalan secara simultan dan hasilnya menjelaskan gambaran pemikiran perupa dalam satuan bahasa visual berupa simbol khas. Dilihat dar sudut pandang seni rupa, simbol adalah struktur organis sebuah karya seni yang berhubungan dengan cerita, dan tumbuh menjadi bahasa bentuk (visual). Simbol merupakan hubungan yang terbangun antara ide bentuk, struktur visual dalam ikatan tema dan cara penyimbolannya (Primadi, 2005: 9). Pemahaman simbol dalam bahasa visual dapat diuraikan berdasarkan diksi, leksikon dan tatabahasa khusus, sebagai berikut: 1. Cerita disimbolkan dan diberi ruh estetika berdasarkan tatasusun dan wimba (Primadi, 2005: 9). Tatasusun tersebut berisi teks dan bahasa ujaran merupakan sumber lisan bagi setiap karya tertulis (Ricoeur, 2006: 19).
24
Melalui ungkapan bahasa, teks terdapat metafora, leksikon, gaya atau langgam. Bahasa rupa berisi teks ujaran syair yang terwujud secara fisik. Osborn (tt) menyebutkan: ut picture puisis atau gambar adalah puisi, di dalamnya terdapat makna, harapan dan cerita. 2. Seni sebagai bahasa menampakkan pola ungkapan: register dan diglosia. Pola ini menunjukkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa visual. 3. Karya seni rupa mengandung wacana praktik sosial, yaitu memasukkan ideologi, mengungkap fenomena dan fakta, maka wacana sebagai alat memproduksi gagasan, konsep, ide, opini, dan pandangan hidup untuk mengkritisi hubungan kekuasaan yang tidak imbang. Kata wacana menunjuk tindakan serta pola-pola yang menjadi ciri jenis-jenis bahasa. Titscher (2009:42) menjelaskan: “ ….. kata discursive yang artinya penalaran pengenalan melalui konsep dan berpikir dalam konsep (Eisler 1927: 286), sedangkan secara garis besar pemikiran Vass (1992: 9) tentang wacana adalah: tuturan atau percakapan, diskusi, penyajian diskursif sederet pemikiran dengan menggunakan serangkaian pernyataan atau ujaran; bentuk sebuah rangkaian pernyataan/ ungkapan; yang dapat berupa: wacana ilmiah, puitis, religious; perilaku yang diatur kaidah yang menggiring kearah lahirnya serangkaian atau sistem pernyataan-pernyataan yang saling terkait (berbagai bentuk pengetahuan).” 4. Wacana menjadi media komunikasi untuk percakapan dan mendorong tindakan komunikatif dan dikemukaan di ruang publik; yaitu “ruang publik politis
(politische
öffentlichkeit),
ruang
publik
sastra
(literarische
öffentlichkeit) dan perepresentasian/ perwakilan publik (repräsentative öffentlichkeit). Di dalam wacana ditunjukan kekuatan spiritual yang inheren
25
kehormatan di depan khalayak atau publik. Kata publik mempunyai tujuh makna, yaitu: society, social, people, common, general, citizen, dan popular’ (Habermas, 2007: xiv). Ruang publik konteks SRP merujuk pengertian sebagai wacana ideologi dan politik ditampilkan dengan kekuatan spiritual. Ruang publik sebagai sarana komunikatif perupa mengutarakan persoalan ke publik (representasi rakyat). Dilihat secara visual, unsur rupa dapat berbentuk gerakan atau objek diam. SRP sebagai unsur rupa yang dinamis dapat dikaitkan dengan seni pertunjukan yaitu sebagai medium rupa atau visual, bertujuan membangun komunikasi langsung seperti karakteristik seni popular, dan seni kontemporer. Seni Kontemporer hadir atas dorongan filsafat kontemporer yang dipelopori oleh Derrida. Filsuf ini menolak kemapanan bentuk, artinya menolak objektivitas tunggal dan kestabilan makna. Ruang kreatif sebagai pertunjukan terbuka menimbulkan pemaknaan dan penafsiran ganda. Ide ini ditangkap oleh peseni Andi Warhol (tahun 1960-an) ingin melepas estetika mapan (estetika kanonik) yang dipopulerkan pada masa kejayaan seni modern dan sebelumnya dengan tujuan menghadirkan seni berestetika kerakyatan (Popular Art atau Pop Art). Jim Supangkat menjelaskan Pop Art sebagai berikut: “ Pop Art is known as an early sign of the contemporary art. Several Pop Art works that are often seen as the harbingers of the contemporary art are 200 Campbell’s Soup Cans (1962) by Andy Warhol, Numbers (1963) by Jasper Johns, and Noise (1963) by Ed Ruscha. At the end of the sixties and early seventies, Pop Art grew to be a controversial issue—giving rise to vehement debates and fiery polemics” (http://galerisemarang.com/ exdetails.php?id=232 &ex=73, diunduh tanggal 12 September 2009)
26
Kata pop merupakan singkatan dari popular bermakna rakyat (merakyat) atau dipahami oleh rakyat dan masa. Seni pop merupakan perkembangan seni modern yang hadir di akhir abad 19 merujuk pada pendekatan baru terhadap seni, yang memberi penekanan pada emosi senimannya. Keindahan yang semestinya menjadi inti suatu karya seni, akhirnya digantikan posisinya oleh makna dan kebenaran realita kehidupan seperti gejolak kehidupan, persoalan manusia di bidang politik maupun kebudayaan. Seni pop tersebut dihasilkan oleh budaya pop atau budaya massa; kata masa mempunyai dua makna, yaitu berkaitan dengan kerumunan (mob), atau orang banyak yang tidak teratur, bebal, tidak memiliki budaya, kecakapan dan rasionalitas (Concept, vol 4 edisi 19, 2007:10). Kata massa diartikan kekuatan dan solidaritas di kalangan kelas pekerja biasa saat mencapai tujuan kolektif (Quail, 1994:31). Seni pop sebagai seni rakyat bersifat kolektif, disebut juga seni kolektif. Dalam kontek sosial, seni rakyat mempunyai kekuatan dan akar dari kebutuhan masyarakat yang tidak memahami estetika kanonik. Seni pop yang bertumpu pada seni rakyat mengemukakan estetika nonkanonik, yang meninggalkan metafisika kehadiran seni adiluhung yang dipelopori oleh seni Kontemporer. Kata kontemporer berasal dari kata co (bersama) dan tempo (waktu); maka seni kontemporer merupakan kesenian yang hadiri kekinian; kesenian ini menjadi gerakan yang mengembangkan prinsip kemerdekaan berpendapat serta mendekat kepada rakyat (publik). Yasraf Amir Piliang memberikan pengertian: “ seni yang dibuat masa kini, jadi berkaitan dengan waktu. Sedangkan seni postmodern adalah seni yang mengumpulkan idiom-idiom baru. Lebih
27
jelasnya dikatakan bahwa tidak semua seni masa kini (kontemporer) itu bisa dikategorikan sebagai seni posmodern, seni posmodern sendiri di satu sisi memberi pengertian, memungut masa lalu tetapi di sisi lain juga melompat ke depan” (http://diskusisenirupa.wordpress.com/ diakses 15 November 2010) SRP sebagai representasi seni kontemporer mempunyai karakteristik: 1. Tiadanya sekat antara berbagai disiplin seni, alias meleburnya batas-batas antara seni lukis, patung, grafis, kriya, teater, tari, musik, anarki, omong kosong, hingga aksi politik. 2. Punya gairah dan nafsu “moralistik” yang berkaitan dengan matra sosial dan politik sebagai tesis. 3. Seni yang cenderung diminati media massa untuk dijadikan komoditas pewacanaan, sebagai aktualitas berita yang fashionable. (http://diskusisenirupa.wordpress.com/ diakses 15 November 2010). Yustiono menjelaskan seni Kontemporer yang terjadi di Indonesia merupakan isu seni posmo: “ G. Sidharta menjelaskan: “istilah kontemporer muncul awal 70-an, yaitu untuk menamai pameran seni patung pada waktu itu”, sedangkan Suwarno Wisetrotomo berpendapat “seni rupa kontemporer pada konsep dasar adalah upaya pembebasan dari kontrak-kontrak penilaian yang sudah baku atau mungkin dianggap ussng." (http://diskusisenirupa.wordpress.com/ diakses 15 November 2010). Gerakan seni kontemporer diwakili oleh komunitas SRP ‘Apotik Komik’ mendesiminasikan ide lukis dinding (mural) kepada siswa di Yogyakarta melalui workshop mural. Kegiatan diimplementasikan pada corat-coret dinding (lukisan dinding atau mural), jalan (street art) serta pengungkapannya dalam fashion. Dasar penciptaan adalah kebebasan: (a) berpendapat, (b) menggunakan medium karya, (c) memilih prinsip-prinsip penyusunan, (d) menentukan ide serta aliran dalam berkarya seni. Prinsip-prinsip kebebasan ini menjadi pola anak muda.
28
Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam penciptaan SRP terdapat prinsip permainan dan kebebasan. Kedua prinsip ini dapat dijadikan sebagai basis pembelajaran kesenian di Indonesia, yaitu untuk menumbuhkembangkan kreativitas, sensibilitas, keberanian mengemukakan pendapat dikelola berdasarkan minat dan kesenangan peserta didik. Hal ini sesuai dengan tujuan penyelenggaraan Pendidikan Kesenian adalah: “(1) mengembangkan fungsi jiwa seperti cipta, rasa dan karsa, (2) kepekaan rasa, (3) memberikan fasilitas yang seluas-luasnya untuk mengekspresikan ide dan gagasan agar tumbuh kreativitas”(Soedarso 1976:15). Bambang Sugiharto menyitir pendapat Schiller (2004) tentang seni sebagai permainan: “ (1) Dalam bermain kita menyatu, lebur dengan kenyataan di luar, tanpa jarak, hingga pemilahan subjek-objek disini tidak relevan lagi, subjek melebur dalam objek dan sebaliknya, yang bermain dan yang dipermainkan tak jelas lagi (seorang pemain bola memang memainkan bola tapi sekaligus juga dipermainkan oleh bola; seorang penyair memainkan kata-kata, sekaligus juga dipermainkan oleh kata-kata. (2) penghayatan yang terjadi bersifat total, mencakup pikiran, perhitungan, perasaan, intuisi dan imajinasi sekaligus. Karena saat bermain adalah justru saat-saat manusia paling serius, keseriusan total. Ini memang paradoks. Itu sebabnya saat asyik bermain orang lupa makan, tidur, dsb. (3) pada saat seniman bermain dalam proses penciptaan, tak jelas mana yang lebih dahulu isi atau bentuk: apakah yang terjadi adalah isi pesan (subjek matter) diwujudkan dalam bentuk atau sebaliknya, pengolahan bentuk duluan lantas melahirkan isi pesan. Kedua aspek itu berinteraksi secara sirkuler dan dialektis. (4) yang jelas dalam proses bermain macam itu yang akhirnya tampil bukanlah si senimannya, isi pesannya ataupun bentuk sosok karyanya itu sendiri, melainkan: kesadaran baru/perasaan baru tentang kenyataan baru bagi si senimannya maupun apresiatornya. Proses disclosure, kata Heidegger, yaitu: tersingkapnya aspek-aspek baru dalam kenyataan. Seni adalah proses dan hasil permainan tingkat tinggi” (Sugiharto, 2013: 37-38). Seni sebagai permainan menjadi dasar pembelajaran penciptaan karya seni bagi peserta didik. Linderman dan Herbertholz (1981: 96) menegaskan bahwa arah
29
pelajaran seni di sekolah adalah pembinaan ”artistic motivation, intellectual motivation, imaginative motivation”. Tiga sasaran pendidikan seni ini sebenarnya merupakan landasan pembelajaran seni di sekolah formal. Ide pengembangan aspek formal pendidikan seni juga dikemukakan oleh Eisner (1972: 80): “ 1. Art is a way to develop skills in the use of art materials through experimentation, manipulation, and practice. 2. Art is a way to enrich critical appreciation of artists, art works, and aesthetic forms. 3. Art is a way to become a creative person. 4. Art is a way to become a flexible, confident person through telling and saying your ideas in a visual language. 4. Art is a way to clarify and fix ideas in the mind through visual reiteration, by strengthening what has been learned about something.”
D. Landasan Teori Berangkat dari pola penciptaan dan bentuk penampilan, SRP berasaskan seni posmodernisme dan berkarakter seni kontemporer. Karya senirupa ini telah dimulai dari Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) dengan menyatakan diri sebagai gelombang seni kontemporer maupun seni pop. Konsep dan prinsip penciptaan ini memberi gambaran pada teori membaca karya dengan strategi dekonstruksi dari Derrida. Ciri khas dekonstruksi adalah mempertanyakan metafisika kehadiran, dengan jalan: (1) memberi arti sebuah objek tidak satu atau tunggal, sehingga dekonstruksi disebut menolak kebenaran tunggal, (2) anti kemapanan sebagai konsekwensi dari menolak kebenaran tunggal, (3) menolak logosentrisme dalam arti penguatan hegemoni yang diciptakan melalui budaya dan pikirannya, (4) menghadirkan karya seni alternatif
30
dengan menyerahkan apresiasi terhadap estetika kepada penikmat itu sendiri, (5) kebebasan berekspresi namun bertanggungjawab atas nilai artistik, (6) mewacanakan sejarah dan produk sosial dalam karya seni, baik proses sosial perupa maupun orang lain (7) memperjuangkan kelas, (8) berkiblat kepada estetika bawah (9) melegitimasi estetika anti estetika, (10) merayakan seni kerakyatan, (11) mengakomodasi terjadinya mediamorfosis karya dari seni klasik terbatas oleh ruang menuju seni ruang publik tanpa sekat dan bebas memanfaatkan media, (12) memanfaatkan ruang publik sebagai: media, alat, suasana, wacana representasi dan presentasi. Berdasarkan prinsip di atas, dekonstruksi digunakan untuk membahas karya SRP dalam disertasi ini bertujuan (1) mengapresiasi perbedaan penanda dan petanda; petanda merupakan ekspresi nyata dari perupa dan petanda diberikan kebebasan bagi penikmat untuk memberikan makna; (2) mengangkat petanda dan penanda sebagai mata rantai penandaan yang tidak terbatas dalam konteks tidak adanya petanda yang transendental, artinya tidak ada petanda akhir yang paling sempurna. Disertasi ini mengajukan asumsi bahwa karya seni merupakan petanda yang berisikan wacana. Oleh karenanya, pembacaan teks dan wacana estetika sebagai objek formal melalui prinsip dekonstruksi dari Jacques Derrida adalah memberikan makna secara kontekstual. Gambaran secara umum teori tersebut adalah: (1) Mengasumsikan karya SRP sebagai teks visual, di dalamnya memuat huruf, kata dan kalimat yang di latarbelakangi oleh bahasa. Kata dan huruf merupakan pictorial thinking yang dapat diartikan secara bebas oleh penikmat. (2) Karya seni sebagai
31
wacana politis, oleh karenanya pembacaan wacana dengan artikulasi politik; di dalamnya terdapat: situs konkrit tentang proses dan produk sosial yang diungkapkan, peran perupa dalam pewacanaan, memberi arti relasi kuasa terhadap keberadaan topik. (3) Bahasa merupakan budaya dan dialektika perupanya, maka terdapat penyebutan sebagai tertanda dan pembilangan dan juga sebagai bahasa atau penanda. Implementasinya dalam analisis karya SRP adalah (1) memahami kontur melalui pembacaan teks (penanda) menurut dekonstruksi, (2) memahami konten atau isi (petanda) melalui kajian histori terutama sejarah sosial perupanya. Dalam hal ini, peneliti tidak memberikan keputusan tunggal (3) membaca petanda dan penanda sekaligus pada konteks penampilan dari sudut ideologi penciptaan namun menguraikan secara konteks penciptaan. (4) mencari hakikat pertentangan tentang metafisika kehadiran petanda oleh SRP sebagai relasinya dengan penanda.
E. Metode Penelitian Penelitian desertasi ini adalah studi pustaka (library research) dengan pendekatan kualitatif, dengan objek formal adalah estetika SRP dan objek material adalah karya SRP. Dalam penelitian ini, peneliti berperan sebagai instrumen (key instrument) (Kaelan, 2005:19). Secara garis besar data yang dibutuhkan adalah: ` a. Sumber Penelitian 1. Primer Sumber primer diajukan dalam penelitian adalah:
32
a) Antariksa, 2005, Tuan Tanah Kawin Muda: Hubungan Seni Rupa-LEKRA 1950-1965, Yayasan Cemeti, Yogyakarta. b) George, Kenneth M., 2005, Politik Kebudyaan Di Dunia Seni Rupa Kontemporer: A.D.Pirous Dan Medan Seni Indonesia, Yayasan Cemeti, Yogyakarta. c) Outlet, tt: Yogya dalam Peta Seni Rupa Kontemporer Indonesia, merupakan penelitian kelompok oleh: 1) Sumartono: Peran Yogyakarta.
Kekuasaan
Dalam
Seni
Rupa
Kontemporer
2) Asmudjo Jono Irianto: Konteks Tradisi Dan Sosial Politik Dalam Seni Rupa Kontemporer Yogyakarta Era ’90-an. 3) Rizki A. Zaelani: Menyoal Karya Seniman Yogyakarta Angkatan ’90-an, Sebuah Kasus Perkembangan Seni Rupa Kontemporer Indonesia. 4) M. Dwi Marianto: Gelagat Yogyakartta Menjelang Milenium Ketiga. d) Syamsul Barry, 2008: Jalanan Seni Jalanan Yogyakarta: Studium kerjasama dengan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta, Yogyakarta e) Dokumentasi Video Klipping Indonesian Visual Art Archive, 1) Dwi Rahmanto, Nunuk Ambarwati,., 2004, Di sini Akan Dibangun Mall. 2) Dwi Rahmanto, 2007 Compilation Performance Art Yustiono Volunterro 2004-2006: Wed Action #2, 14 Mei 2004., Musim Hujan, 10 Juni, 2004., Wed Action #07, 18 Agustus 2005., Perfurbanc#01, 30 Mei 2005., So Far so Good, 3 April 2005., Banjir Bukan Budaya, 25 February 2006., Perfurbance#02, 30 April 2006. 3) Aisyiah Hilal, Farah Wardani, Dwi Rahmanto, Nunuk Ambarwati, 2007, Jogja Berhati Mural:Mural Kota Sama-sama Apotik Komik, 2002., Dialog Seni Kita (DSK) bersama Eko Nugroho, 2002., Mural SMU 9 Yogyakarta, 2003., Republik Art, 2005.m, Counter Attract, 2005., Tribute to Codit-Wedhar, 2006., Midnight Live Mural Project Jogja Mural Forum, 2007., Pilot Project Mural Apotik Komik Desa Nitiprayan, 1997., Publiki Art “Sakit Berlanjut”, Apotik Komik, 1997., Galeri Apotik Komik, 2000., Mural Sama-sama Seniman Yogyakarta, 2002., Mural Sama-sama 2; Exchange Yogyakarta-San Francisco” Courtesy; Megan Wilson, Arie Daryanto, Samuel Indratma, Arya Panjalu, Nano Warsono, 2003., Mural Kampung Prawirodirjan, Eko Nugroho, 2003., Mural Kampung Ontoseno, Bambang Toko, 2003. 4) Katalog Pameran ‘Kepribadian Apa” diselenggarakan tanggal 1 – 7 September 1977, di Art Gallery Senisono, Yogyakarta.
33
2. Sumber Sekunder a) Dokumentasi: Foto karya SRP dari IVAA b) Dokumentasi: wawancara tentang Sanggar Bumi Tarung dalam bentuk Video kliping: Amrus Natalsa dan Misbach Tamrin di Studio Amrus Natalsa, Sleman, Yogyakarta, 26 September 2003. c) Dokumentasi tertulis: 1) Surat Ijin dan Proposal pelaksanaan pameran kepada Kepala Polisi Resort Kota Yogyakarta 2) Katalog Pameran 3) Kliping berita dan artikel dalam Surat Kabar: Harian Bernas, Kedaulatan Rakyat, Kompas. b. Jalan Penelitian 1) Membaca simbol karya SRP melalui dekonstruksi Derrida: (a) menempatkan bentuk fisik sebagai penanda serta arti sebagai petandanya. (b) memberi arti seni rupa ruang publik dari sudut pandang sejarah maupun aliran kesenian yang memengaruhi perkembangan seni indigeneusnya, (c) memahami makna ruang publik untuk menemukan konsep ruang bagi SRP, sebagai ruang fisik maupun ruang ideologis. (d) mendeskripsikan wacana estetika dalam bahasa visual karya SRP melalui kajian hermeneutik, termasuk penolakan terhadap metafisika kehadiran simbol rupa dalam karya seni rupa. (d) menggali petanda yang dipengaruhi oleh ideologi perupa sebagai penyebab terjadinya penolakan metafisika estetika kanonik. 2) Membaca tingkat semantik: yaitu membaca data visual maupun uraian karya SRP untuk menangkap esensi estetika dalam ideologi penciptaan, berdasarkan
34
penanda dan petanda secara hermeneutik dari: buku bacaan, dokumen karya seni dan video klipping. 3) Klasifikasi data; data yang diperoleh dianalisa setiap langkah sesuai dengan telaah buku, kemudian diklasifikasikan berdasarkan prinsip petanda dan penanda. Penyimpulan data tidak melalui generalisasi, melainkan diurutkan beradasarkan karakteristik karya untuk kebutuhan analisis. 4) Analisis Data, yaitu: mendeskripsikan isi simbol budaya sebagai simbol kekuasaan karya senirupa berdasarkan rujukan pustaka. Tujuan deskripsi untuk memahami: struktur seni, simbol budaya, dan prinsip penyusunan unsur visual (the principle of design) yang terdapat pada karya senirupa: Klasik, Akademik, Pejuang, Kerakyatan, Komoditas, Ruang Publik pada pameran, galeri atau pun kolektor untuk memahami dimensi estetika masing-masing komunitas atau hegemoni. Pendeskripsian ini menggunakan teori gestalt. Rakhmat (1995: 131) menjelaskan: “ dalam bahasa Jerman berarti bentuk, konfigurasi, kesatuan yang terorganisir, pola: kesatuan yang terpadu, seperti sebuah organisma, memiliki bagian-bagian yang bertindak dalam suatu cara terpadu, sesuatu yang memiliki eksistensi substantif di atas interaksi bagianbagian individualnya, dan mampu memengaruhi perilaku bagianbagiannya. Sedangkan secara nonmetafisikal, gestalt merujuk pada konfigurasi atau rasa totalitas yang dimiliki sebuah persepsi.” 5) Interpretasi estetika karya SRP melalui Hermeneutika Radikal dari Derrida, dengan mengasumsikan karya SRP adalah teks visual berisi ideologi, tujuan penciptaan: (a) Penafsiran karya SRP (penanda) melalui teori gestalt, teori ini
35
akan membaca susunan dan komposisi bentuk maupun makna (petanda) berdasarkan pandangan global (komprehensif). Sejumlah susunan teks diasumsikan sebagai sebuah organisasi aksi, posisi dan identitas perupa. (b) Pembacaan fenomena sosial tersebut untuk memperoleh jawaban tentang: “(1) tindakan, (2) konteks, (3) historis, (4) kekuasaan, (5) ideologi.” (Eriyanto, edisi 2009: 9) yang dilakukan oleh perupa sehari-hari agar dapat dibandingkan dengan ideologi penciptaan yang sesungguhnya.
F. Sistematika Penulisan Disertasi ini terdiri 6 bab. Bab I. Pendahuluan, berisikan latar belakang penulisan, permasalahan, tinjauan pustaka, landasan teori, metoda penelitian dan sistematika penuilisan. Bab II tentang objek formal penelitian ini berupa konsep estetika dalam karya SRP sebagai wacana estetika; berisikan: persoalan dasar estetika dan pengetahuan seni, objektivikasi, pencitraan dan sebagai telesis (gambaran yang diharapkan muncul secara utuh) tentang keindahan bentuk dan persoalan visualisasi estetika. Bab III tentang objek material disertasi, berupa: Pemaknaan Ruang Publik bagi SRP, berisi konsep mediamorfosis bentuk dan mediumnya, Karya SRP sebagai wacana yang mempunyai simbol visual dan sebagai ujaran teks dan konteks, karya SRP sebagai arena produk budaya dan sebagai simbol fenomena sosial-politik. Bab IV
merupakan
pembahasan
temuan
penelitian
dari
dekonstruksi
Derrida
mengungkap: dimensi-dimensi estetika karya SRP berisikan dimensi formal dan nilai.
36
Bab V merupakan implementasi hasil penelitian estetika yang dimanfaatkan dalam pendidikan kesenian di Indonesia. Bab ini berisi: estetika ergonomi sebagai pembanding logika, konsep pendidikan estetika sebagai nutfah pendidikan seni dan budaya, dan rancangan kurikulum pembelajaran. Bab VI Penutup berisi kesimpulan dan saran.