BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penyandang disabilitas merupakan bagian dari anggota masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara dan perlu mendapatkan perhatian khusus. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Pasal 1 Ayat 1 menyebutkan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Penyandang disabilitas terdiri dari tiga kelompok yaitu disabilitas fisik, disabilitas mental, maupun disabilitas fisik dan mental (Undang-Undang Nomor 4, 1997). Populasi penyandang disabilitas di dunia sekitar 15% dari total penduduk yang ada. Kurang lebih satu milyar orang memiliki disabilitas yang cukup parah sehingga membatasi partisipasi mereka di dalam keluarga, masyarakat, dan kehidupan politik. Sebanyak 80% dari mereka tinggal di negara dengan ekonomi menengah ke bawah, di mana akses pelayanan kesehatan dan sosial masih terbatas untuk semua warga negara (WHO, 2014).
1
1
2
Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional tahun 2012 yang dilaksanakan Biro Pusat Statistik berdasarkan kesepakatan dengan Kementrian Sosial melaporkan bahwa jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebanyak 2,4% atau sekitar 5,8 juta orang. Persentase jumlah penyandang disabilitas perempuan lebih tinggi (56%) dibanding disabilitas laki-laki (44%) (ILO, 2014). Hal tersebut menggambarkan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia lebih banyak perempuan daripada lakilaki. Jumlah penyandang disabilitas di Indonesia memiliki potensi mengalami peningkatan terutama disabilitas fisik, hal ini salah satunya dikarenakan tingginya faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya disabilitas di Indonesia. Potensi risiko tersebut antara lain adanya konflik sosial yang terjadi di beberapa daerah maupun potensi bencana alam yang dapat terjadi seperti gempa bumi, tsunami, tanah longsor dan sebagainya yang dapat memicu terjadinya disabilitas fisik (Sukaton, 2011). Gempa yang melanda Daerah Istimewa Yogyakarta telah menyebabkan bertambahnya penduduk Yogyakarta yang menjadi penyandang disabilitas. Data dari Dinas Sosial DIY jumlah penyandang disabilitas pada tahun 2004 sebanyak 0,5% dari jumlah penduduk keseluruhan. Setelah terjadi peristiwa gempa bumi pada tahun 2006 meningkat menjadi 0,7% dari jumlah penduduk keseluruhan dan kepala keluarga yang menjadi penyandang disabilitas mencapai 3.000 orang (Pelita, 2015). Jumlah penderita disabilitas menurut jenis dan kabupaten/kota di D.I. Yogyakarta disajikan
3
dalam tabel 1. Berdasarkan tabel tersebut, penyandang disabilitas fisik yang memiliki cacat tubuh dengan nama lain tuna daksa memiliki jumlah tertinggi di DIY tahun 2013. Tabel 1. Jumlah Penderita Disabilitas menurut Jenisnya dan Kabupaten/Kota di D.I.Yogyakarta Tahun 2003-2013 Kabupaten/
Tuna
Bisu/
Cacat
Cacat
Penyakit
Kota
Netra
Tuli
Tubuh
Mental
Kronis
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Ganda
(7)
Kulonprogo
547
368
1210
1279
184
206
Bantul
659
547
1856
1739
178
371
1331
1131
3315
2138
505
514
Sleman
592
671
1741
2060
309
261
Yogyakarta
213
164
581
514
335
101
DIY 2013
3342
2881
8703
7730
1511
1453
2012
2568
2485
7772
6984
1272
1217
2011
3917
3425
9831
7989
2005
1943
2010
4636
3966
11389
9251
2166
2330
2009
4517
3921
11244
12120
2134
2345
2008
6233
5413
13225
11465
3078
1805
2007
3595
3453
9197
6394
1266
3232
2006
2384
2871
8122
5138
1266
2590
2005
2468
2015
6656
5779
1359
809
2004
3188
2637
8800
7606
1359
999
2003
3978
3926
6255
6392
1337
1103
Gunungkidul
Sumber: Dinas Sosial D. I. Yogyakarta tahun 2014 Hasil penelitian (Ahmmad & Islam, 2014) menunjukkan bahwa disabilitas memiliki dampak buruk pada pernikahan mereka, pencapaian pendidikan, pekerjaan, dan kondisi emosional dimana disabilitas juga dapat mengancam kehidupan pribadi,
4
keluarga dan sosial mereka. Hasil penelitian tersebut juga memaparkan bahwa perempuan dan anak gadis penyandang disabilitas lebih menderita terhadap sikap buruk dari rekan-rekan pria mereka, sehingga efek yang sangat kritis muncul pada psikologi dan kehidupan sosial mereka. Sedangkan hasil penelitian (Samuel et al. 2013) disebutkan bahwa penyandang disabilitas sering merasa terisolasi dari masyarakat, yang pada akhirnya mempengaruhi kesejahteraan emosional dan keseluruhan kualitas hidup mereka. Penyandang disabilitas fisik membutuhkan adanya pengakuan akan keberadaan mereka sebagai individu dan makhluk sosial yang memiliki kemampuan dan potensi yang tidak jauh berbeda dengan orang normal. Mereka membutuhkan adanya pengakuan dan penerimaan dari orangtua, keluarga, dan masyarakat dengan kondisi disabilitasnya. Selain itu mereka juga membutuhkan pelayanan umum atau aksesibilitas yang dapat mendukung segala aktivitasnya dan akses pekerjaan sesuai dengan kemampuannya (Hikmawati & Rusmiyati, 2011). Fasilitas umum di Indonesia sendiri belum begitu banyak memperhatikan kebutuhan penyandang disabilitas sehingga dibutuhkan dukungan sosial bagi penyandang disabilitas fisik agar dapat melakukan aktivitas dan pekerjaan sesuai kemampuannya. Dukungan sosial dibutuhkan individu untuk meningkatkan kepercayaan dirinya, memotivasi individu untuk beradaptasi dengan lingkungannya, dan menjadi pengalaman berharga karena individu merasa diperhatikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seseorang dengan dukungan sosial yang kurang akan
5
mempengaruhi status mood menjadi negatif sehingga membutuhkan implementasi dukungan sosial sesuai yang dibutuhkannya (Blumgart, 2014). Dukungan sosial penting dibutuhkan bagi penyandang disabilitas terutama untuk beradaptasi di lingkungan sosialnya karena keterbatasan fisik yang dialaminya. Salah satu bentuk dukungan sosial yaitu dukungan informasi bagi penyandang disabilitas fisik sangat dibutuhkan untuk mencari fasilitas kesehatan salah satunya melalui media internet. Kualitas hidup penyandang disabilitas secara signifikan menurun karena keterbatasan fisik serta lingkungan sosialnya yang kurang mendukung untuk mencapai fasilitas kesehatan secara langsung (Liang, 2011). Dukungan informasi sangat dibutuhkan oleh penyandang disabilitas fisik untuk mencapai pelayanan kesehatan, mengetahui bentuk pelayanan kesehatan yang dibutuhkan, dan pembiayaannya. Dukungan sosial yang bersumber dari pembina asrama, instruktur, teman, orangtua, dan saudara berupa dukungan fasilitas atau instrumen dan kepercayaan emosional memiliki efek positif bagi kemandirian penyandang disabilitas fisik (Hamidah, 2012). Sedangkan efek negatif apabila seseorang tidak mendapatkan dukungan sosial adalah stres. Stres termasuk dalam komponen kesehatan mental dari kualitas hidup, sehingga dukungan sosial yang kurang akan menurunkan kualitas hidup seseorang (Antari, 2012).
6
Dari hasil penelitian didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dan kualitas hidup. Seseorang akan terdorong berupaya menjalani pengobatan dengan baik untuk mencapai kualitas hidup yang tinggi ketika merasa memiliki dukungan sosial yang tinggi, khususnya ketika dukungan sosial dinilai positif untuk membantunya (Kusumawardani, 2014). Dari studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti, Balai Rehabilitasi Terpadu Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta (BRTPD DIY) pada awalnya berdiri untuk memberikan pelayanan lebih lanjut seperti pelayanan kesehatan, konsultasi psikologis dan pelatihan vokasional bagi penyandang disabilitas karena peristiwa bencana gempa bumi tektonik 27 Mei 2006 lalu di Bantul. Saat ini balai tersebut telah menjadi pusat rehabilitasi untuk penyandang disabilitas tingkat propinsi. Di dalam balai ini terdapat penyandang disabilitas fisik yaitu tuna netra sebanyak 29 orang, tuna rungu wicara 15 orang, tuna grahita 13 orang, dan tuna daksa 60 orang yang hidup terpisah dari keluarganya dalam waktu satu tahun atau lebih di asrama sehingga dukungan sosial dari orang terdekat dan keluarganya menjadi berkurang. Berdasarkan wawancara dengan dua tuna daksa di sana, diketahui bahwa mereka selalu membutuhkan dukungan perhatian dan kasih sayang dari keluarga dan temanteman terdekat. Mereka puas apabila ada anggota keluarga yang menjenguk pada jam di luar kegiatan rehabilitasi seperti yang sudah dianjurkan di sana. Namun belum semua penyandang disabilitas dapat merasakan dukungan keluarga, ada yang puas
7
dengan dukungan teman-teman dan petugas di sana. Penyandang disabilitas fisik yang sudah menyelesaikan pendidikan vokasional dan akan dipulangkan terasa berat meninggalkan teman-teman dan pengajar kegiatan vokasional yang sudah akrab berada di asrama. Sudah dianjurkan bagi keluarga untuk mengunjungi penyandang disabilitas di luar jam kegiatan pelatihan vokasional namun belum semua dapat merasakan dukungan anggota keluarga karena tidak semuanya dijenguk. Seseorang yang kurang mendapatkan dukungan sosial akan berdampak pada psikologis akibat stres atau depresi yang akan mempengaruhi kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatannya. Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai gambaran dukungan sosial pada penyandang disabilitas fisik di Balai Rehabilitasi Terpadu Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini, “Bagaimana gambaran dukungan sosial pada penyandang disabilitas fisik di Balai Rehabilitasi Terpadu Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta?”
8
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui gambaran dukungan sosial pada penyandang disabilitas fisik di Balai Rehabilitasi Terpadu Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus a) Untuk mengetahui dukungan sosial ditinjau dari jumlah pemberi dukungan yang diterima oleh penyandang disabilitas fisik di Balai Rehabilitasi Terpadu Penyandang Disabilitas DIY. b) Untuk mengetahui dukungan sosial ditinjau dari kepuasan dukungan yang diterima oleh penyandang disabilitas fisik di Balai Rehabilitasi Terpadu Penyandang Disabilitas DIY. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas ilmu pengetahuan tentang dukungan sosial pada penyandang disabilitas fisik. 2. Manfaat Praktis a) Bagi Profesi Keperawatan Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang dukungan sosial pada penyandang disabilitas fisik, sehingga perawat
9
dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat dan mengetahui dukungan sosial yang dibutuhkan pasien penyandang disabilitas fisik. b) Bagi Pengelola Balai Rehabilitasi Terpadu Penyandang Disabilitas DIY Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan untuk pengelola BRTPD mengenai dukungan sosial yang dibutuhkan penyandang disabilitas fisik dan mengoptimalkan pelayanan yang diberikan. c) Bagi Peneliti Melatih kemampuan berpikir secara logis dan rasional dalam penelitian, menambah pengetahuan, dan pemahaman tentang dukungan sosial pada penyandang disabilitas fisik. d) Bagi Peneliti Lain Dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan pengembangan untuk penelitian lebih lanjut. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengetahuan peneliti, penelitian mengenai gambaran dukungan sosial pada penyandang disabilitas fisik di Balai Rehabilitasi Terpadu Penyandang Disabilitas Daerah Istimewa Yogyakarta belum pernah dilakukan. Namun terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan dukungan sosial antara lain: 1. Hamidah (2012) meneliti tentang Hubungan antara Penerimaan Diri dan Dukungan Sosial dengan Kemandirian pada Penyandang Cacat Tubuh di Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (BBRSBD) Prof. Dr. Soeharso Surakarta.
10
Populasi dalam penelitian ini 98 orang, dan sampel diambil secara purposive sampling sehingga didapatkan sampel 60 orang. Alat ukur menggunakan skala penerimaan diri bagi penyandang cacat tubuh, skala dukungan sosial bagi penyandang cacat tubuh, dan skala kemandirian bagi penyandang cacat tubuh di BBRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta. Terdapat hubungan yang signifikan antara penerimaan diri dan dukungan sosial dengan kemandirian pada penyandang cacat tubuh. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan peneliti adalah subjek yaitu penyandang disabilitas fisik atau cacat tubuh, sedangkan perbedaannya yaitu instrumen dukungan sosial yang akan dipakai peneliti adalah SSQ (Social Support Questionnaire) dari Sarason. Perbedaan lainnya adalah pengambilan sampel pada penelitian tersebut menggunakan purposive sampling, sedangkan peneliti menggunakan total sampling. 2. Kusumawardani (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan antara Dukungan Sosial dan Kualitas Hidup pada Lansia Penderita Hipertensi. Sampel merupakan lansia penderita hipertensi tanpa komplikasi yang sedikitnya sudah tiga kali diperiksa petugas medis, dengan purposive sampling didapatkan 30 sampel. Hasilnya terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dan kualitas hidup pada lansia penderita hipertensi. Perbedaan penelitiannya adalah instrumen dukungan sosial yang digunakan Kusumawardani dari Alan Vaux sedangkan peneliti menggunakan Social Support Questionnaire (SSQ) dari Sarason. Selain itu adalah variabel penelitian yaitu peneliti menggunakan satu
11
variabel dukungan sosial sedangkan Kusumawardani menggunakan dua variabel yaitu dukungan sosial sebagai variabel bebas dan kualitas hidup sebagai variabel terikat. Perbedaan lainnya yaitu sampel penelitian yang dalam penelitian ini adalah penyandang disabilitas fisik sedangkan sampel pada penelitian tersebut yaitu lansia penderita hipertensi. 3. Penelitian oleh Chiung-Yu Huang dan Mei-Chi Hsu (2013) yang berjudul “Social Support as a Moderator between Depressive Symptoms and Quality of Life Outcomes of Breast Cancer Survivors”. Penelitian ini merupakan penelitian jenis deskriptif dengan rancangan cross-sectional. Subjek penelitian ini sebanyak 150 responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial secara signifikan menjadi moderator gejala depresi pada kualitas hidup. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Chiung-Yu Huang dan Mei-Chi Hsu dengan yang dilakukan peneliti antara lain variabel penelitian di mana peneliti sebelumnya menggunakan variabel bebas yaitu dukungan sosial dan variabel terikat yaitu depresi, sedangkan yang digunakan oleh peneliti adalah variabel tunggal yaitu dukungan sosial. Perbedaan selanjutnya terletak pada responden, peneliti sebelumnya menggunakan breast cancer survivor sedangkan responden pada penelitian ini adalah penyandang disabilitas fisik. 4. Penelitian oleh Heo, Lennie, Moser, & Kennedy (2014) yang berjudul “Types of Social Support and Their Relationships to Physical and Depressive Symptoms and Health-related Quality of Life in Patients with Heart Failure”. Penelitian ini
12
merupakan penelitian kuantitatif dengan 71 responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan emosional berhubungan dengan semua gejala fisik dan depresi dan Health-related Quality of Life. Perbedaan dari penelitian tersebut yaitu variabel penelitian di mana peneliti menggunakan variabel dukungan sosial sebagai variabel tunggal, sedangkan pada penelitian tersebut terdapat dua variabel yaitu dukungan sosial dan health-related quality of life. Perbedaan yang lain yaitu responden dalam penelitian tersebut adalah pasien dengan gagal jantung sedangkan peneliti melakukan penelitian pada penyandang disabilitas fisik.