BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang banyak terjadi di zaman modern ini. Obesitas merupakan suatu kelainan atau penyakit dimana terjadi penimbunan lemak yang berlebihan. Prevalesi obesitas di Indonesia menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 meningkat jika dibandingkan dengan Riskesdas 2010. Angka obesitas pada laki-laki tahun 2010 sekitar 15% dan sekarang meningkat menjadi 20% (Riskesdas, 2013). Menurut WHO, remaja adalah bila anak telah mencapai umur 10-19 tahun. Masa remaja berlangsung melalui tiga tahapan, yaitu masa remaja awal (10-14 tahun), menengah (15-16 tahun), dan akhir (17-20 tahun) (Pardede, 2002). Obesitas pada remaja meningkat secara pesat di negara barat selama beberapa waktu terakhir. Di kalangan remaja, obesitas merupakan permasalahan yang merisaukan karena dapat menurunkan rasa percaya diri seseorang dan menyebabkan gangguan psikologis yang serius. Belum juga kemungkinan diskriminasi dari lingkungan sekitar. Dapat dibayangkan jika obesitas terjadi pada remaja, maka remaja tersebut akan tumbuh menjadi remaja yang kurang percaya diri (Suryaputra, 2012). Obesitas pada remaja penting untuk diperhatikan karena remaja yang mengalami obesitas 80% berpeluang untuk mengalami obesitas pada saat dewasa (Suryaputra, 2012). Depkes RI (2009) menunjukkan prevalensi obesitas pada remaja usia 13-15 tahun yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 2,9% dan
1
perempuan 2,0%, sedangkan untuk usia 16-18 tahun masing-masing sebesar 1,3% dan 1,5%. Menurut Riskesdas (2013), diketahui bahwa prevalensi obesitas pada kelompok umur 13 – 15 tahun di Indonesia sebesar 2,5% dan prevalensi obesitas di Provinsi Yogyakarta sebesar 2,6%. Hal tersebut menunjukkan bahwa prevalensi di Provinsi Yogyakarta lebih tinggi dibandingkan prevalensi nasional. Sedangkan prevalensi obesitas di Indonesia pada kelompok umur 16 – 18 tahun adalah 1,4%. Prevalensi obesitas pada kelompok usia tersebut
di Provinsi
Yogyakarta tergolong lebih tinggi dari prevalensi nasional, yaitu sebesar 4,1%. Mortalitas obesitas erat hubungannya dengan sindroma metabolik yang memiliki manifestasi klinis berupa penyakit kardiovaskuler (Malik et al., 2004). Obesitas sentral merupakan jenis obesitas yang terjadi karena adanya penimbunan lemak di abdomen dan paling berisiko terhadap kejadian sindroma metabolik dan penyakit kardiovaskuler (Wildman et al., 2005).Hasil Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa prevalensi obesitas sentral di Indonesia meningkat dari 18,8% pada tahun 2007 menjadi 26,6% pada tahun 2013. Ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menentukan status gizi kelompok umur lebih dari 15 tahun, salah satunya adalah lingkar pinggang. Lingkar pinggang merupakan indikator untuk melihat kejadian obesitas sentral. Dikategorikan obesitas sentral apabila lingkar pinggang >90 cm pada laki-laki dan >80 cm pada perempuan (Riskesdas,2013). Selain itu banyaknya jaringan adiposa atau tingkat obesitas seorang individu dapat diukur dengan memeriksa Indeks Massa Tubuh (IMT). Pemeriksaan ini mudah dilakukan dengan cara mengukur berat badan seseorang dalam satuan kilogram kemudian dibagi dengan tinggi badan dalam satuan meter pangkat dua (Sugondo, 2006). Pada
2
remaja pengukuran IMT sangat terkait dengan umurnya, karena dengan perubahan umur pada remaja masih terjadi perubahan komposisi tubuh dan densitas tubuh hingga umur 19 tahun (WHO, 2007). Karena itu, pada remaja digunakan indikator IMT menurut umur (IMT/U). Obesitas juga dipengaruhi oleh hormon, salah satunya adalah leptin. Kadar leptin dalam serum yang berasal dari jaringan adiposa dapat mengindikasikan banyaknya timbunan lemak yang terdapat dalam tubuh dan defek pada leptin akan mengakibatkan kebiasaan makan yang berlebihan sehingga terjadi obesitas (Wauters et al., 2000). Leptin dapat bekerja secara sentral sebagai hormon metabolik melalui mekanisme umpan balik negatif untuk menekan nafsu makan dan meningkatkan pembakaran kalori melalui peningkatan aktivitas tubuh (Auwerx et al., 1998). Obesitas dibedakan menjadi obesitas abdominal atau viseral dan obesitas perifer atau non viseral (Wajchenberg, 2000; Klein, 2008), yang membedakan keduanya adalah bahwa lemak viseral memiliki metabolisme yang lebih aktif, lebih sensitif terhadap lipolisis, dan lebih resisten insulin. Viseral Adipose Tissue (VAT) memiliki kapasitas lebih besar menghasilkan Free Fatty Acid (FFA) (Ibrahim, 2009). Menurut Hastuty et al. (2012), tidak ada perbedaan yang nyata antara rerata kadar leptin pada kelompok obesitas viseral dengan non viseral. Hal ini disebabkan oleh karena leptin lebih terkait dengan akumulasi lemak di tubuh dan bukan pada region dimana lemak berada. Orang dengan obesitas memiliki nilai IMT yang tinggi dan memiliki nilai lingkar pinggang lebih dari normal pada obesitas sentral . Obesitas tubuh bagian atas lebih banyak didapatkan pada pria, oleh karena itu tipe obesitas ini lebih dikenal sebagai “android obesity” (David, 2004). Obesitas juga dipengaruhi oleh
3
faktor nafsu makan . Orang dengan nafsu makan yang tinggi cenderung akan mengalami obesitas. Nafsu makan dan rasa kenyang sendiri dipengaruhi oleh hormon leptin. (Friedman et al.,1998). Karena diketahui bahwa kadar leptin berbanding lurus dengan obesitas, obesitas berbanding lurus dengan IMT, dan lingkar pinggang berbanding lurus dengan obesitas sentral, maka pada penelitian ini akan melihat pengaruh kadar leptin terhadap IMT dan lingkar pinggang. Selain itu karena bentuk obesitas “apple shape” banyak dialami oleh laki-laki (David, 2004) yang berpotensi memiliki lingkar pinggang yang besar, maka penelitian dilakukan pada remaja laki-laki. Obesitas pada remaja tidak dapat dipandang sebelah mata. Semakin banyak remaja yang mengalami obesitas saat ini menjadi indikasi masalah kesehatan yang akan terus berkembang. Selain itu, berdasarkan hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa obesitas saat remaja lebih berisiko mengalami penyakit jantung yang berujung pada kematian (Indika, 2009). Karena hal tersebut, penelitian pada remaja dengan obesitas ini penting untuk dilakukan. Penelitian tentang obesitas dan kadar leptin masih belum banyak dilakukan di Indonesia. Di Yogyakarta khususnya, penelitian mengenai korelasi antara kadar leptin, IMT, dan lingkar pinggang sudah pernah dilakukan tetapi belum ada penelitian yang dilakukan pada subjek remaja laki-laki.
B. Rumusan Masalah Bagaimana hubungan antara kadar leptin plasma dengan IMT dan lingkar pinggang pada remaja laki-laki dengan obesitas di SMA kota Yogyakarta.
4
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui kadar leptin plasma pada remaja laki-laki dengan obesitas di SMA kota Yogyakarta. 2. Mengetahui bagaimana hubungan antara kadar leptin plasma dengan IMT pada remaja laki-laki dengan obesitas di SMA kota Yogyakarta. 3. Mengetahui bagaimana hubungan antara kadar leptin plasma dengan lingkar pinggang pada remaja laki-laki dengan obesitas di SMA kota Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian 1. Untuk subjek penelitian Memberikan informasi kepada subjek penelitian bahwa obesitas sentral dapat menyebabkan
risiko
terjadinya
sindroma
metabolik
dan
penyakit
kardiovaskuler sehingga perlu mengatasinya, seperti mengatur asupan makanan dan meningkatkan aktivitas fisik. 2. Untuk peneliti Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam penerapan keterkaitan aktivitas hormonal dengan status gizi manusia dalam hal ini adalah IMT dan lingkar pinggang. 3. Untuk instansi pendidikan a. Menambah referensi dalam penelitian keterkaitan antara hormon leptin dengan status gizi manusia khususnya pada remaja dan dapat menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut terkait dengan hormon leptin. b. Memberikan informasi tentang status gizi siswa SMA di Kota Yogyakarta.
5
E. Keaslian Penelitian 1. Penelitian oleh Omar (2010) yang berjudul “Relationship of Leptin Hormones with Body Mass Index and Waist Circumference in Saudi Female Population of the Makkah Community” mempelajari obesitas dengan mencari hubungan antara hormon leptin, IMT, dan lingkar pinggang pada subjek penelitian yang normal, obes, dan mengalami diabetes mellitus. Hasil penelitian ini yaitu ratarata kadar leptin terbesar pada obes group (56,3 ± 18,8 ng/mL). Selain itu kadar leptin berhubungan dengan IMT pada obese group dan diabetic group (r=0,350, p=0,001) dan (r=0,350, p=0,001). Kadar leptin juga berhubungan dengan lingkar pinggang pada obes group (r=0,299, p=0,007). Persamaannya yaitu meneliti apakah IMT berhubungan dengan kadar leptin dan apakah lingkar pinggang berhubungan dengan kadar leptin pada obesitas. Analisa statistik yang digunakan juga menggunakan pearson correlation. Perbedaan penelitian terletak pada sampel dibedakan menjadi 3 grup, yaitu grup normal, grup obesitas, dan grup obesitas dengan diabetes. Selain itu subjek penelitian ini adalah perempuan pada usia 18-65 tahun. 2. Penelitian oleh Taleb (2014) yang berjudul “Relationship of Serum Leptin, BMI, Waist Circumference, and Cholesterol Level among Teenagers in the Gaza Strip” bertujuan untuk menilai efek dari hormon leptin, profil lipid, IMT, dan lingkar pinggang pada siswa SMA laki-laki dan perempuan usia 15-19 tahun di wilayah Gaza, Palestina. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kadar leptin dengan kolesterol total, high density cholesterol (HDL), dan low density cholesterol (LDL) tetapi tidak ada hubungan antara kadar leptin dengan trigliserida. Selain itu terdapat hubungan yang signifikan antara kadar leptin dengan lingkar pinggang, pada
6
laki-laki nilai r=0,519 (p<0,05) dan pada perempuan nilai r= 0,544 (p<0,05). Namun tidak ada perbedaan yang signifikan hubungan kadar leptin dengan IMT pada IMT subjek normal dan obes. Persamaan dengan penelitian ini adalah mencari hubungan antara kadar leptin dengan IMT dan lingkar pinggang, subyek penelitian sama yaitu remaja laki-laki siswa SMA dengan rentang umur 15-19 tahun, dan analisa statistik untuk mencari hubungan kadar leptin dengan lingkar pinggang menggunakan pearson correlation. Perbedaan dengan penelitian ini adalah subjek penelitian terhadap remaja laki-laki dan perempuan, pada penelitian ini juga mencari hubungan antara kadar leptin dengan profil lipid, selain itu dilakukan uji beda (t-test) antara kadar leptin dengan IMT pada kelompok normal dan obes. 3. Penelitian oleh Martins et al. (2012) yang berjudul “Relationship between leptin and body mass and metabolic syndrome in an adult population” meneliti hubungan antara leptin dengan IMT serta komponen dari sindrom metabolik pada populasi dewasa pada usia >30 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara leptin dengan IMT baik pada laki-laki dan perempuan (r=0,524 dan r=0,603; p<0,001). Selain itu diketahui bahwa hiperinsulinemia
dan
resistensi
insulin
berhubungan
kuat
dengan
hiperleptinemia baik pada laki-laki maupun perempuan dan keduanya merupakan prediktor terbaik untuk hiperleptinemia setelah IMT. Persamaan penelitian yaitu mencari hubungan antara kadar leptin dengan IMT. Perbedaan penelitian ada pada komponen sindrom metabolik, yaitu insulin, HDL kolesterol, dan trigliserida juga dicari korelasinya dengan kadar leptin pada subjek dengan obesitas. Selain itu subjek penelitian adalah dewasa
7
yang tidak mengalami diabetes tetapi memiliki riwayat pribadi atau keluarga dengan penyakit kardiovaskular.
8