BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Zaman sekarang, hampir semua profesi pekerjaan memiliki risiko cidera di lapangan kerja. Cidera yang paling banyak terjadi di lapangan kerja adalah cidera muskuloskeletal. Gangguan pada muskuloskeletal dapat merupakan salah satu gangguan yang paling umum di negara maju ataupun negara berkembang (Erick, Smith, 2011). Pada studi kasus di Saudi, profesi dengan prevalensi angka kejadian yang tinggi untuk cidera muskuloskeletal adalah guru dengan angka kejadian 79.1% dan pada area ekstremitas bawah sebesar 40.0% (Darwish, Al-Zuhair, 2013). Menurut UU No. 14 Tahun 2005, guru adalah seorang pengajar suatu ilmu, yang pada umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Sedangkan menurut Drs. Muhammad Uzer Usman, guru ialah setiap orang yang memiliki tugas dan wewenang dalam dunia pendidikan dan pengajaran pada lembaga pendidikan formal. Peneliti menarik kesimpulan bahwa guru adalah seorang profesional yang memiliki wenenang untuk menyampaikan ilmu kepada peserta didik. Saat mengajar di kelas, terutama guru sekolah dasar dituntut harus aktif berdiri dan menjelaskan di depan kelas. Hal ini menyebabkan guru harus
1
2
berdiri setidaknya 6 jam sehari. Padahal, menurut survey di Inggris yang dilakukan oleh College of Podiatry pada tahun 2013 mengatakan bahwa sekitar 75% wanita mengaku merasa nyeri pada betis setelah berdiri selama 1 jam lebih 6 menit. Nyeri adalah rasa tidak nyaman pada fisik yang diduga disebabkan oleh kerusakan jaringan baik sengaja maupun tidak disengaja (International Association for the Study of Pain, 2015). Nyeri pada gastroknemius bisa terjadi saat manusia berdiri secara terus menerus tanpa istirahat sehingga membebani ekstremitas bawah. Otot pada betis harus berkontraksi secara konstan untuk mempertahankan posisi berdiri yang seimbang. Hal tersebut dapat membuat otot kelelahan sehingga nyeri pun timbul (Cronin, 2014). Setelah mengetahui tentang nyeri musculoskeletal pada guru, peneliti melakukan suvey di beberapa sekolah yang ada di Surakarta. Survey dilakukan dengan membagikan kuisioner yang berupa Nordic’s Body Map kepada seluruh guru yang ada di sekolah dengan tujuan untuk mengetahui nyeri apa yang paling banyak dirasakan oleh guru. Hasil yang didapati pada SD Muhammadiyah 16 Surakarta menunjukkan bahwa 57.14% guru mengeluhkan nyeri pada betis mereka dengan intensitas nyeri yang berbeda. Sedangkan pada SD Muhammadiyah Program Khusus, guru
yang
mengeluhkan nyeri pada betis mereka adalah sebanyak 25.00 %. Peneliti juga melakukan pra-eksperimen dengan responden selain guru SD Muhammadiyah 16 Surakarta dan SD Muhammadiyah Program Khusus
3
Kota Barat. sebanyak 6 orang. Sebelum diberikan perlakuan sesuai prosedur, peneliti mengukur derajat nyeri pasien dengan menggunakan VDS (verbal descriptor scale). Setelah itu, peneliti memberikan perlakuan berupa kontras bath dengan campuran epsom salt. Kemudian derajat nyeri diukur kembali menggunakan VDS. Hasilnya, 83.33% menunjukkan adanya perubahan pada rasa nyeri di gastroknemius dan 16.7% tidak merasakan adanya perubahan. Banyak sekali cara untuk mengurangi atau menghilangkan nyeri pada otot, diantaranya dengan memberikan terapi kontras bath ataupun rendaman air campuran epsom salt. Kontras bath adalah salah satu cabang hidroterapi dimana bagian yang akan diterapi dicelupkan ke air hangat (40-41.1C) dan dingin (10-15.5C) secara bergantian dan berulang-ulang. Terapi ini biasa digunakan untuk mengurangi inflamasi dan nyeri (French, et al, 2008). Cukup banyak variasi waktu perbandingan pada pengaplikasian kontras bath. Inti dari terapi ini adalah dimulai dengan rendaman air hangat dan diakhiri dengan rendaman di air hangat juga. Studi yang dilakukan pada 26 laki-laki dengan keluhan nyeri yang diukur dengan VAS (Visual Analogue Scale) didapati hasil nyeri berkurang walaupun tidak hilang 100%. Metode yang diberikan adalah 3 menit di air hangat dan 1 menit di air dingin (French, et al, 2008). Sedangkan epsom salt atau di Indonesia dikenal sebagai ‘urus-urus’ adalah garam yang mengandung 2 mineral alami yaitu magnesium dan sulfat
4
(MgSO4.7H2O). Garam ini sering digunakan dengan konsep mirip kontras bath, yaitu dengan teknik rendaman. Magnesium pada epsom salt merupakan elektrolit penting bagi tubuh kita. Tubuh akan menyerap ion yang ada dan selanjutnya ion tersebut akan menggangu pengiriman sinyal ke reseptor nyeri sehingga nyeri berkurang (Waring, 2012). Dari uraian singkat di atas, maka peneliti ingin menemukan apakah ada perbedaan hasil perlakuan metode kontras bath konvensional dengan kontras bath yang dicampur epsom salt terhadap nyeri gastroknemius pada guru SD 16 Muhammadiyah dan SD Muhammadiyah Program Khusus Surakarta.
B. Rumusan Masalah Apakah ada perbedaan hasil perbandingan pemberian kontras bath terhadap nyeri gastroknemius pada guru di SD 16 Muhammadiyah dan SD Muhammadiyah Program Khusus Kota Barat?
C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui perbedaan hasil perbandingan pemberian kontras bath terhadap nyeri miogenik gastroknemius pada guru di SD 16 Muhammadiyah dan SD Muhammadiyah Program Khusus Kota Barat.
5
D. Manfaat Penelitian 1) Manfaat Teoritis a) Fisioterapis Menambah ilmu pengetahuan tentang dua model kontras bath terhadap nyeri gastroknemius. 2) Manfaat Praktis a) Bagi Peneliti Sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya. b) Bagi Guru dan Masyarakat Meningkatkan pengetahuan tentang kontras bath dan epsom salt.