1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi masyarakat merupakan salah satu tahap penting kehidupan bahkan sebagai salah satu peristiwa hidup yang dinanti-nantikan. Pesta dan berbagai upacara sakral serta meriah biasanya digelar sebagai wujud dari ungkapan suka cita, rasa syukur serta doa dan harapan akan kehidupan rumahtangga yang langgeng, rukun dan bahagia bagi pasangan yang menikah. Di Indonesia, wanita yang melewati usia matang tetapi belum juga memiliki pasangan atau menikah oleh masyarakat biasa disebut “perawan tua” begitu juga dengan pria yang sudah dewasa tetapi tidak kunjung menikah disebut “bujang lapuk”, yang secara tidak langsung mereka dikatakan tidak laku atau bukan orang yang tepat untuk dijadikan sebagai pasangan hidup. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam masyarakat budaya Timur khususnya di Indonesia, masih memiliki pandangan bahwa menikah adalah sebuah keharusan bagi setiap individu. Proses mendapatkan pasangan pun dapat
dilalui dengan berbagai
cara, mulai dari cara tradisional dalam bentuk perjodohan atau dengan memilih pasangan sendiri. Bagaimanapun proses yang dilalui dalam memperoleh pasangan hidup, pada dasarnya setiap orang tentu memimpikan kehidupan pernikahan yang langgeng, harmonis dan bahagia. Selain adanya beberapa tujuan dan alasan pernikahan yang diantaranya untuk melanjutkan keturunan, ekonomi, agama dan emosi, pernikahan sebenarnya juga diketahui banyak memberi dampak positif bagi kehidupan
1
2
individu. Dampak positif pernikahan tersebut diperkuat dengan adanya beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa orang yang menikah ternyata lebih bahagia dan sehat dibandingkan dengan orang yang tidak menikah (Compton, 2005). Lebih lanjut dijelaskan bahwa kualitas pernikahan juga merupakan prediktor yang signifikan untuk kesehatan seseorang dan memberi keuntungan pada kesehatan psikologis. Proses memilih pasangan hidup untuk hubungan resmi (menikah) ditemukan di setiap individu dalam semua budaya, dan 90% orang di dunia dalam keadaan tertentu memiliki keinginan untuk menikah (Campbell dan Ellis, 2005). Berdasarkan beberapa pernyataan tersebut, maka dapat dilihat bahwa pada dasarnya setiap individu pasti memiliki keinginan untuk memiliki pasangan hidup. Pernikahan merupakan sebuah tahapan hidup yang penting dalam kehidupan, di dalamnya menyimpan banyak harapan dan tujuan yang jika dijalankan dengan baik, maka pernikahan sebenarnya banyak memberi keuntungan dan dampak positif bagi pasangan. Westermarck (2013) seorang antropolog, mendefinisikan pernikahan sebagai kelebihan atau kekurangan hubungan antara pria dan wanita hingga memberikan keturunan, sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 di Indonesia, perkawinan adalah ikatan lahir batin seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan definisi tersebut, maka jelas bahwa di negara manapun bahkan di Indonesia, mengakui bahwa pernikahan adalah suatu hal yang suci dan patut diakui dan dilindungi
3
secara hukum. Menurut Stenberg (1987) cinta adalah salah satu alasan yang merupakan faktor utama individu untuk menikah, maka dapat dilihat bahwa pernikahan sebenarnya merupakan salah satu bentuk dari komitmen terhadap cinta. Pernikahan adalah sebuah komitmen dan kelanjutan hubungan serius pada pria dan wanita dalam sebuah ikatan legal (rumah tangga) sebagai suami istri. Sebuah rumah tangga diawali oleh pasangan yang tentu memiliki latar belakang yang berbeda. Bukanlah hal yang mudah untuk menyatukan dua individu dalam sebuah komitmen yang di dalamnya harus melangkah bersama untuk mewujudkan visi dan misi menjadi rumah tangga yang bahagia dan sejahtera, terbukti dengan banyaknya kegagalan pernikahan dengan peningkatan jumlah perceraian dari tahun ke tahun baik di Indonesia maupun negara lain. Perlu diketahui bahwa ternyata data dari BPS (Badan Pusat Statistik) menyebutkan jika pada tahun 2004 saja angka perceraian di Indonesia cukup tinggi dibandingkan dengan negara tetangga di Asia seperti Malaysia, Singapura dan lainnya. Perkara perceraian terus menerus meningkat meskipun pada kenyataannya diketahui bahwa dari enam level dalam skala yang ada dalam data American Psychiatric Association, perceraian menempati level ke-empat sebagai salah satu penyebab stres tertinggi setelah stres akibat kehilangan orangtua yang disebabkan karena kematian (Stevenson & Black, 1995). Setiap orang tentu menginginkan pernikahan sekali seumur hidup, tetapi pada kenyataannya menjalani hidup berumahtangga bukanlah hal yang mudah. Menjadi sebuah keprihatinan bahwa angka perceraian meningkat setiap
4
tahunnya. Angka perceraian di Indonesia sendiri sesuai data Bimbingan Masyarakat (Bimas) Kementrian Agama (2012) Indonesia meningkat setiap tahunnya. Data tersebut menyebutkan bahwa sekitar 250.000 pasangan yang menikah secara sah pada akhirnya bercerai setiap tahunnya. Peningkatan
angka
perceraian
sebenarnya
sudah
terlihat
melalui
pengamatan Camnack (2013), seorang guru besar dari Southwestern School of Law-Los Angeles yang menyebutkan bahwa sejak tahun 1950-an angka perceraian di Asia Tenggara tidak terkecuali Indonesia termasuk tinggi, dari setiap 100 perkawinan akan terdapat 50 perkawinan yang berakhir dengan perceraian dan 70% perkawinan diantaranya adalah cerai gugat. Tetapi pada tahun 1970-an hingga 1990-an, tingkat perceraian yang tercatat di Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara menurun drastis, tetapi kemudian meningkat secara signifikan di tahun 2001 hingga 2009. Data dari media informasi perkara pengadilan agama seluruh Indonesia
pada tahun 2014
menyebutkan bahwa cerai gugat mendominasi jenis perkara perceraian, yaitu sebanyak 3.086 perkara dibanding dengan 1.402 perkara karena cerai talak (www://perkara.net/framework). Lebih lanjut lagi mengenai data jumlah perceraian terbaru untuk tahun 2014
di
pengadilan
agama
seluruh
Indonesia
yang
diperoleh
dari
www.infoperkara.badilag.net/ dapat dilihat dalam gambar 1.1. mengenai data perkara perceraian Pengadilan Agama seluruh Indonesia sebagai berikut:
5
Sumber: www.infoperkara.badilag.net/
Gambar 1.1. Data Perkara Perceraian Pengadilan Agama Seluruh Indonesia
5
6
Perceraian merupakan sebuah aturan legal mengenai perpisahan antara pasangan (suami-istri). Dalam pandangan beberapa agama seperti di Indonesia, perceraian dimaknai dengan berbagai macam sudut pandang. Agama Kristen Katolik tidak memperbolehkan adanya perceraian, tetapi agama Islam memiliki aturan yang lebih longgar dan fleksibel, meskipun disebutkan secara jelas dalam pandangan Islam bahwa pada dasarnya perceraian merupakan salah satu hal yang paling dibenci oleh Tuhan (Allah). Secara formal,
hukum
perkawinan
Agama Katolik memang tidak
memperbolehkan adanya perceraian pada pasangan yang sudah menikah karena pernikahan Katolik bersifat monogram atau tidak terceraikan (Dokumen Konsili Vatikan II, 1993), akan tetapi pada kenyataannya banyak terdapat kendala dan masalah dalam rumah tangga yang pada akhirnya tidak dapat membendung keputusan suami istri untuk bererai . Indonesia memiki hukum yang telah memberikan fasilitas dalam upaya pencegahan kasus perceraian, pada pasangan yang menikah dalam hukum Islam, terdapat proses konseling dan penanganan pertama dalam pencegahan perceraian dilakukan oleh BP4 (Badan Penasihat Pembinaan Pelestarian Perkawinan), sedangkan pernikahan hukum Katolik memiliki Komisi Keluarga yang menangani konseling pernikahan dan penanganan pencegahan perceraian. Pemicu perceraian memiliki variasi di setiap wilayah, seperti di Pulau Jawa pada tahun 2010 tercatat bahwa ketidakharmonisan rumah tangga memiliki prosentase pemicu perceraian terbesar yaitu 56%, sedangkan masalah ekonomi menempati urutan kedua sebesar 33%, faktor cemburu 9% dan masalah politik sebesar 2%. Hal ini ditunjukkan dalam gambar 1.1 sebagai berikut.
7
Gambar 1.2. Pemicu Terjadinya Perceraian di Pulai JawaTahun 2010
Dari gambar 1.3 di bawah ini maka terlihat bahawa di Pulau Jawa pada tahun 2010, Jawa Barat memiliki angka tertinggi dalam kasus perceraian sebesar 33.684 kasus, sedangkan Jawa Timur menempati urutan kedua sebanyak 21.324 kasus dan Jawa tengah sebanyak 12.019 kasus.
Sumber: www.jakartamagazine.com/tahun-2012-perceraian-di-indonesia-meningkat/
Gambar 1.3. Kasus Perceraian di Pulau Jawa Tahun 2010
Proses perceraian melalui beberapa tahap atau proses. Sebelum mengajukan permohonan perceraian di pengadilan, pihak penggugat harus
8
meminta pengantar dari pihak-pihak terkait termasuk perangkat desa yang sebelum menyerahkan pengantar dan sidang perceraian dilanjutkan di pengadilan, penggugat akan mendapat konsultasi singkat terlebih dahulu agar mempertimbangkan kembali keputusannya, bahkan diberi kelonggaran waktu untuk mediasi. Suami-istri yang sudah bercerai disebut janda (wanita) dan duda (pria). Pengalaman emosional yang kompleks selama masa perselisihan dengan pasangan, proses selama dan sesudah perceraian tentu bukanlah hal yang mudah dilalui oleh individu, sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu single mother berisial (R) dalam sebuah wawancara pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti bahwa proses perceraian adalah salah satu pengalaman yang menguras air mata selain karena proses dan prosedurnya yang berbelit-belit, harapan akan pernikahan yang langgeng dan bahagia secara legal dan nyata harus berakhir dan dihadapi sejak saat itu. Kekerasan yang dialami dari mantan suaminya memberikan trauma tersendiri selama menjalani pernikahan begitu juga setelah perceraian terjadi. Masalah ekonomi dan stigma negatif dari masyarakat diungkapkannya sebagai hal berat yang paling dirasakan. Dampak perceraianpun tidak hanya ia yang merasakan, tetapi orangtua dan anak juga ikut menangggungnya. Ada berbagai macam reaksi single mother dalam menghadapi berbagai macam permasalahan hidupnya. Dukungan keluarga dan lingkungan diketahui merupakan salah satu faktor pendukung pencapaian resiliensi single mother sebagaimana diketahui melalui sebuah wawancara pendahuluan pada seorang single mother bernisial (Yi) yang mengungkapkan bahwa setelah bercerai ia banyak dibantu oleh keluarga dan teman, baik bantuan tersebut berupa
9
dukungan moril maupun materiil berupa bantuan keuangan dan lain-lain. Hal itu diungkapkan merupakan faktor penting yang akhirnya membuat ia menjadi lebih kuat dan dapat bangkit dari keterpurukan setelah bercerai. Perceraian memang akan berdampak besar pada kehidupan kedua belah pihak (pasangan yang sudah bercerai), terlebih lagi jika sudah memperoleh keturunan (anak), salah satu dampaknya diungkap melalui penelitian Wallerstain (2005) yang menjelaskan bahwa dampak perceraian pada anak melalui pengalaman tumbuh dalam perceraian orangtua akan mempengaruhi konflik pernikahan serta kecemasan akan cinta dan komitmen di masa dewasa. Penemuan
terhadap
131
anak
dengan
orangtua
yang
bercerai
baru
menunjukkan adanya tanda pemulihan secara psikologis setelah dua tahun perceraian. Tahap ini ditandai dengan (1) berkurangnya pertengkaran orangtua (2) pengaturan ekonomi secara adil (3) anak sudah mulai melanjutkan hubungan dengan kedua orangtua. Pasangan yang telah bercerai juga akan menerima konsekuensi dari keputusan mereka. Gambaran konsekuensi yang harus diterima adalah perubahan
pemenuhan kebutuhan seksual, finansial dan psikologis, single
parent, serta adanya stigma sosial negatif bagi wanita yang bercerai (janda) karena bagi sebagian masyarakat timur berpendapat bahwa perceraian adalah hal yang memalukan dan menjatuhkan martabat (Sudarto dan Wirawan, 2001). Tentu hal-hal tersebut akan menambah beban bagi seseorang yang tadinya memiliki pasangan untuk berbagi, tetapi kemudian harus memenuhi semua kewajibannya seorang diri. Beban dan konsekuensi yang dihadapi tersebut dapat menjadi pemicu adanya tekanan psikologis pada individu yang mengalami perceraian.
10
Dalam sebuah penelitian di India, wanita yang mengambil risiko bercerai memiliki kesulitan yang akhirnya menimbulkan stres karena setelah bercerai harus meninggalkan anak untuk mencari nafkah (bekerja) untuk memenuhi kebutuhan hidup karena kecemasan akan masa depan anaknya (Rani, 2006). Hal ini diperkuat dengan adanya hasil penelitian pada tahun berikutnya dari Cakir (2010) yang menginvestigasi tentang pengalaman stres dua puluh lima partisipan dengan status single mother di Turki. Penelitian ini menggunakan wawancara melalui telepon dengan pertanyaan semi terstruktur dan membuktikan bahwa masalah finansial atau ekonomi, pemenuhan atau menggantikan peran pasangan, serta perilaku atau reaksi budaya setempat pada janda merupakan hal-hal yang harus dihadapi oleh seorang janda. Penelitian tersebut juga mengungkapkan akan pentingnya sumber dukungan dari keluarga (68%, N=17), dukungan dari teman (36%, N=9), dukungan emosional berupa bantuan dan nasihat dari nenek (28%, N=7), dukungan dari diri sendiri (28%, N=7), dukungan mantan suami baik finansial, sosial maupun emosional (20%, N=5), dukungan finansial dari teman (16%, N=4). Sumber dukungan lain yang disebutkan oleh partisipan adalah adanya pertolongan psikologis, dukungan finansial dari tetangga dan lingkungan kerja. Dari beberapa penelitian tersebut diatas maka dapat dilihat gambaran kehidupan dan konsekuensi sebagai single mother yang tentunya tidak mudah. Gambaran dan data riil tersebut akan lebih lengkap jika didukung dengan adanya penelitian kembali sebagai pelengkap dan tambahan data mengenai single mother di Indonesia yang menganut karakter serta paradigma budaya Timur. Budaya patriarchy yang banyak digambarkan dalam perkawinan Jawa yang memiliki konsep wanita (istri) sebagai “kanca wingking” (teman di belakang)
11
dan “surga nunut neraka katut” (ke surga turut, ke nerakapun ikut) dikonstruksikan sebagai wujud bahwa istri Jawa diharuskan untuk selalu taat dan patuh pada suami (Sari, 2008). Konsep tersebut terasa sebagai sesuatu yang pakem, mendasar dan tidak dapat diubah lagi serta menyengsarakan pihak istri baik disadari maupun tidak. Dari hal tersebut terlihat kesan bahwa istri atau wanita memiliki kedudukan lebih rendah dari laki-laki, begitu juga ketika seorang wanita
menjadi
janda.
Lebih
lanjut
Sari
(2008)
dalam
penelitiannya
mengungkapkan bahwa budaya “isin” atau malu menjadi salah satu alasan mengapa wanita Jawa harus berpikir berulang kali jika memutuskan untuk bercerai dengan suaminya (Harjowirogo, 1983). Meskipun di jaman modern dan adanya emansipasi wanita dalam berkarier dan berekspresi, bagaimanapunwanita di Indonesia cenderung tetap memiliki ketergantungan dan keterikatan ekonomi, emosional dan peran terhadap pasangan (suami). Lebih dari itu, kaitannya dengan kehidupan sosial, wanita yang mengalami perceraian (janda) adalah sasaran yang akan mendapat stigma negatif dari masyarakat, sedangkan pada umumnya laki-laki tidak mengalaminya. Penelitian dari Biblarz dan Gottainer (2000) membuktikan bahwa wanita yang menjadi janda karena perceraian memiliki tingkat kesulitan hidup dan stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang menjadi janda karena kematian pasangan. Dari berbagai pemaparan diatas, maka dapat dilihat bahwa menjadi single mother dengan latar belakang budaya Jawa yang mengusung konsep patriarchy dan stigma negatif masyarakat akan janda bukanlah hal yang mudah. Seorang single mother dengan latar belakang dan hidup dalam masyarakat dengan
12
budaya tersebut membutuhkan ketahanan psikis yang baik agar tetap dapat melanjutkan hidup sebagaimana mestinya. Perceraian memang menjadi salah satu stressor hidup yang pahit untuk dijalani, tetapi jika individu dapat melewati semua kesulitan yang terjadi dan memiliki resiliensi yang baik, maka segala kesulitanpun dapat dilewati dengan baik pula, termasuk bagaimana single mother menghadapi berbagai tekanan hidup sebagai konsekuensi perceraian. Topik ini tentu menjadi sangat menarik karena single mother pasti melalui banyak tantangan dan kesulitan hidup setelah bercerai. Penyesuaian yang dialami setelah tidak ada pasangan, berikut berbagai tanggung jawab yang harus dilakukan seorang diri tentu bukanlah hal yang mudah. Setiap single mother pasti memiliki cerita dan pengalaman sendiri mengenai perjalanan hidup yang cenderung berat setelah perceraian terjadi hingga mereka dapat menata hidup kembali dan mulai menyesuaikan diri dengan hidup baru tanpa pasangan. Hal tersebut menjadi motivasi peneliti untuk melanjutkan penelitian-penelitian mengenai single mother karena perceraian, tetapi dalam penelitian ini peneliti bermaksud untuk lebih mengupas tentang dinamika resiliensi single mother karena perceraian, khususnya pada single mother dengan latar belakang budaya Jawa, sebagaimana diketahui bahwa setiap budaya membawa karakteristik sendiri dalam pola dan perspektif masyarakatnya. Hal ini didukung dengan penelitian sebelumnya dari Bernando, Cocano dkk (2007) yang membuktikan bahwa latar belakang dan karakter budaya akan mempengaruhi faktor resiliensi seseorang.
13
B. Pertanyaan Penelitian Dari berbagai pandangan mengenai penelitian sebelumnya mengenai topik yang berhubungan dengan penelitian ini dan berbagai fakta permasalahan yang ada, maka peneliti memiliki pertanyaan, yaitu: 1. Bagaimana dinamika resiliensi single mother? 2. Stressor apa saja yang dihadapi single mother sebelum, selama dan sesudah perceraian terjadi? 3. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi single mother hingga pada akhirnya dapat mencapai resiliensi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sebagaimana penjelasan yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menggali bentuk tekanan psikologis, dinamika psikologis serta faktor-faktor yang mempengaruhi single mother dalam mencapai resiliensi yang baik. Sejalan dengan itu, penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk: 1. Secara teoritis, penelitian ini dapat memberi sumbangan untuk kekayaan keilmuan khususnya dalam psikologi klinis dan keluarga, serta menjadi rujukan untuk penelitian-penelitian selanjutnya. 2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran dan menambah pengetahuan, gambaran sekaligus masukan dalam penanganan kasus perceraian bagi pihak-pihak terkait, baik bagi individu, keluarga, lingkungan, konselor, terapis maupun instansi.
14
D. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Beberapa penelitian terdahulu yang relevan yang dapat menjadi acuan penelitian ini diantaranya adalah penelitian dari Bergeman dan Bisconti (2006) “Psychological Resilience, Positive Emotions, and Successful Adaptation to Stress in Later Life” yang menginvestigasi tentang resiliensi psikologis dan emosi positif dalam kaitannya dengan proses mengatasi stres. Peneliti memakai janda sebagai subjek penelitian dan akhirnya mengambil kesimpulan bahwa ternyata emosi positif akan mempengaruhi resiliensi yang baik dalam mengatasi stres sehari-hari. Terdapat pula penelitian “Changes in family financial circumtances and the physical health of married and recently divorced mothers” dari Wickrama, Lorenz, Conger, dkk (2006). Penelitian tersebut mengambil single mother sebagai subjek penelitian dan menemukan bahwa kesulitan ekonomi atau masalah finansial adalah salah satu perubahan yang harus dihadapi dan menjadi stressor oleh single mother karena harus bekerja untuk kelangsungan hidup dan masa depan anak setelah perceraian. Penelitian selanjutnya dengan mengambil subjek yang sama dan topik seputar perceraian adalah “Child Care by Poor Single mothers: Study of MotherHeaded Families in India” yang dilakukan oleh Rani (2006). Penelitian ini mengambil latar belakang kehidupan single mother di India yang harus bekerja dan meninggalkan anak karena peran suami sebagai pencari nafkah setelah bercerai harus digantikan single mother sendiri dan kecemasannya akan masa depan anaknya. Cakir (2010) membuat penelitian “A pilot study on stress and support sourcesof single mothers in Turkeys” yang bertujuan untuk menginvestigasi
15
pengalaman stres pada single mother. Pada akhirnya penelitian menunjukkan bahwa beberapa masalah yang dialami oleh single mother diantaranya adalah masalah finansial seebagai konsekuensi ketiadaan pasangan sebelumnya, adanya pemenuhan atau penggantian peran pasangan, respon atau perilaku budaya pada single mother dan menekankan pentingnya dukungan keluarga, teman dan mantan suami baik dalam bentuk dukungan finansial, emosional dan sosial. Sejalan dengan penelitian-penelitian di atas, Chen, Gu, dan Chen (2012) yang menggunakan 271 subjek penelitian single mother di Cina menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa gaya pengelolaan sumber daya keluarga tergantung pada pengetahuan single mother dan adanya pengaruh latar belakang pendidikan. Dari berbagai gambaran penelitian diatas, peneliti pada dasarnya mengambil karakteristik subjek penelitian yang sama dengan penelitianpenelitian tersebut, yaitu single mother. Perbedaan dari penelitian sebelumnya adalah variabel dan metode penelitian yang dipakai, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif berupa wawancara dan observasi dengan tujuan untuk mendapatkan informasi lebih mendalam. Penelitian ini juga dilakukan di Indonesia (Yogyakarta) sehingga memungkinkan latar belakang budaya akan mempengaruhi hasil penelitian.