BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perdagangan manusia merupakan bagian dari cerita kelam bangsa Indonesia. Artinya persoalan trafficking manusia adalah realitas yang tidak dapat dipungkiri. Namun, persoalan ini belum mendapat perhatian khusus dan kurang maksimalnya fasilitas hidup yang memadai untuk korban trafficking itu sendiri. Pada dasarnya kasus-kasus trafficking sering menjadi sensualitas pemberitaan di media massa. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian pihak-pihak yang berwenang agar pihak tersebut mau berpikir tentang kelangsungan dan kesejahteraan hidup anak-anak korban trafficking. Banyak orang belum memahami tentang trafficking walaupun dalam kehidupan sehari-hari sering terjadi. Berbicara tentang trafficking maka korban yang paling rentan adalah perempuan dan anak, terutama yang berasal dari keluarga miskin dan pedesaan serta perempuan dan anak putus sekolah yang mencari pekerjaan. Sedangkan trafficking merupakan paksaan, penipuan, ancaman kekerasan serta penyalahgunaan kekuasaan dengan tujuan eksploitasi (Nizarli, 2006). Salah satu bentuk dari trafficking yang sangat memperihatinkan adalah kasus penjualan anak di bawah umur sebagai pemuas nafsu seks atau biasa disebut dengan pelacuran anak. Pelacuran anak disini sebenarnya adalah masalah kemanusiaan yang membutuhkan perhatian khusus serta serius, karena
1
2
dampaknya sangat merugikan dan sangat membahayakan kelangsungan hidup serta masa depan anak sebagai korban. Anak yang dilacurkan, bukan saja rentan terhadap hinaan, eksploitasi, penipuan dan marjinalisasi, tetapi banyak di antara mereka yang tidak dapat menikmati hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, serta tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya untuk berkembang secara sehat (Irwanto, dalam Suyanto 2010). Sedangkan menurut konvensi PBB tentang tindak kejahatan terorganisasi transnasional menyatakan bahwa siapa saja yang berusia kurang dari 18 tahun yang bekerja di bidang pelacuran maka mereka dianggap sebagai korban perdagangan manusia (human trafficking). Akan tetapi karena berbagai alasan, sering terjadi anak perempuan tiba-tiba terjerumus dalam kehidupan malam dan dipaksa untuk melayani kebutuhan syahwat para lelaki hidung belang. Pelacuran anak sendiri secara konseptual adalah tindakan menawarkan pelayanan langsung seorang anak perempuan oleh mucikari atau germo, untuk melakukan tindakan seksual demi uang atau imbalan lain dengan seseorang atau kepada siapapun (Suyanto, 2002). Di berbagai komunitas disadari bahwa pelacuran adalah sebuah masalah sosial yang sulit dihilangkan begitu saja dan dalam beberapa kasus, bahkan ditoleransi. Namun, khusus untuk anak-anak perempuan yang karena berbagai sebab, kemudian terpaksa dilacurkan dengan alasan apapun keberadaannya tidak bisa diterima dan karena itu harus dihapuskan. Seperti diamanatkan konferensi ILO no.182 yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia pada tanggal 08 maret 2000 lalu, bahwa pelacuran anak di bawah umur adalah salah satu pekerjaan yang
3
sama sekali tidak dapat ditoleransi, dan karena itu, harus dihapuskan dari bumi Indonesia. Fenomena perdagangan perempuan dan anak sudah lama berkembang di berbagai negara, seperti; Saudi Arabia, Jepang, Malaysia, Hongkong, Taiwan, Singapura dan termasuk juga Indonesia. Tidak ada negara yang kebal terhadap trafficking, setiap tahunnya diperkirakan 600.000-800.000 perermpuan dan anak diperdagangkan menyeberangi perbatasan-perbatasan internasional (Nizarli, 2006). Di Asia pada tahun 1996, diperkirakan jumlah anak perempuan yang dilacurkan mencapai 840 ribu jiwa. Di Taiwan tercatat sebanyak 60 ribu anakanak perempuan terpaksa bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial). Di India angkanya lebih memprihatinkan lagi, yakni lebih dari 400-500 ribu anak perempuan dilaporkan terjerumus dalam dunia pelacuran. Di Indonesia berbagai estimasi menyebutkan jumlah anak yang dilacurkan dibandingkan PSK dewasa yang ada adalah 2:8 atau 3:7 (Zubairi dalam Suyanto, 2010). Menurut perkiraan UNICEF tahun 1998, di Indonesia jumlah anak yang dilacurkan setiap tahunnya mencapai 40.000–150.000 anak walaupun banyak sumber lain yang menyebutkan jumlah tersebut masih jauh dari realita (Pulungan, 2004). Dalam beberapa studi menemukan bahwa sangat sedikit anak perempuan yang telah terjerumus menjadi PSK bisa keluar dengan mudah dari pekerjaan yang PSK lakukan. Selain stigma masyarakat yang tidak bersahabat dan tekanan kemiskinan, para PSK anak itu biasanya juga harus siap mengeluarkan uang
4
dalam jumlah besar sebagai tebusan pada mucikari yang mengklaim telah merawat dan menghidupinya (Suyanto, 2010). Menurut catatan Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, daerah yang memiliki kasus trafficking tertinggi di Indonesia adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Barat. Namun tidak berarti wilayah lain "bersih". Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Timur adalah wilayah lain yang potensial. Sedangkan Jakarta, Riau, Batam, Bali, Balikpapan, dan Papua dikenal sebagai daerah tujuan perdagangan orang, khususnya untuk keperluan eksploitasi seksual. Di Provinsi NAD pasca Tsunami juga dikejutkan dengan adanya berita di media massa yang mengatakan bahwa sebanyak 300 anak korban Tsunami telah di bawa ke luar Aceh secara diam-diam dan beberapa kasus lainnya diperdagangkan ke Riau dan Medan. Berbagai
kasus
perempuan
dan
anak
yang
diperdagangkan
seringkali
dipekerjakan di sektor yang berbahaya, pekerjaan terlarang, kurir narkoba, kerja paksa, pembantu rumah tangga, korban ekploitasi seksual dalam pornografi, prostitusi dan tidak jarang anak diperdagangkan untuk kepentingan adopsi atau dimanfaatkan organ tubuhnya untuk kepentingan medis bagi transplantasi untuk orang-orang kaya yang membutuhkan (Achmad, 2004). Salah satu bentuk trafficking yang terjadi adalah adanya pelacuran terhadap anak. Fenomena pelacuran yang terjadi pada anak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, bukan lagi sebagai rahasia umum dalam kehidupan sosial bermasyarakat yang berimplikasi pada munculnya eksploitasi seksual komersial khususnya terhadap perempuan dan anak. Problematika tentang
5
pelacuran khususnya perempuan dan anak termasuk eksploitasi seksual komersial anak (ESKA). Hal ini menjadi persoalan yang sangat kompleks dan rawan karena menyangkut tata kelakuan manusia yang immoral, berlawanan dengan hukum dan bersifat merusak tatanan nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat majemuk (Kartono, 2005). Kondisi ayla yang terjadi di lapangan pada saat dilakukan penelitian awal menunjukan bahwa ayla merasa diri mereka tidak berguna serta kehilangan harga diri, dikarenakan mereka harus mendekam di dalam balai. Pada beberapa contoh kasus yang terdapat di Balai Rehabilitasi mereka memilih untuk berkumpul bersama rekan-rekan yang juga terjaring dalam razia dan melupakan permasalahan yang telah mereka alami. Di dalam balai sendiri, ayla diberi banyak kegiatan yang bertujuan untuk mengembalikan rasa percaya diri mereka dan memunculkan kreatifitas baru untuk kehidupan mereka setelah keluar dari balai. Kegiatan-kegiatan inipun di respon dengan berbagai pandangan oleh ayla. Namun dari kondisi mereka dapat disimpulkan bahwa pada dsarnya mereka ingin mencari kegiatan yang bertujuan untuk melupakan bahkan tidak menghiraukan permasalahan yang mereka hadapi saat ini maupun yang telah menjadi masa lalu. Lain halnya dengan kasus yang terjadi melalui pengalaman peneliti. Kejadian yang dialami seorang anak berinisial S kira-kira berusia 12 tahun yang pada saat itu telah putus sekolah. Ia bekerja pada salah satu lokalisasi di daerah Dangkrong, Karanganyar pada tanggal 8 januari 2011. Sebelumnya S adalah anak yang pandai atau memiliki kemampuan lebih dalam bidang kesenian yaitu tari. Menurut salah satu guru yang mengampu di sekolah S, S diperkosa oleh ayah
6
kandungnya sehingga S sempat mengalami trauma seperti takut beremu dengan orang lain terutama laki-laki. Hal ini menyebabkan S tidak melanjutkan sekolahnya. Saat ini, ia bekerja sebagai pekerja malam pada lokalisasi tersebut. Kasus selanjutnya adalah kasus yang terjadi di tempat penampungan atau tempat rehabilitasi PSK yang terjaring dari razia tepatnya pada Balai Rehabilitasi Sosial Wanita Utama Surakarta-1. Pada balai tersebut terdapat beberapa orang anak di bawah umur yang sudah terjerat dan terjebak dalam dunia kelam pelacuran, contoh kasus yang di alami oleh N.A berusia 17 tahun, ia ditipu oleh rekannya ketika berada di dalam rehabilitasi diiming-imingi untuk bekerja keluar kota namun ketika ia telah di ajak sampai ke kota Solo ia diperdagangkan dengan tarif 300.000-400.000 rupiah dengan system on call, tidak hanya itu selain terkena kasus pengadilan berupa trafficking ia juga dilibatkan dalam kasus penggelapan mobil oleh rekannya yang pada saat itu menjanjikan dirinya untuk bekerja di Kalimantan dengan bayaran 850.000/bulan pada sebuah restauran. Maka dari beberapa kasus di atas, pelacuran merupakan masalah sosial yang dapat merugikan keselamatan, ketentraman dan kemakmuran baik jasmani, rohani maupun sosial dari kehidupan bersama. Hal tersebut menjadi nyata bila dihubungkan dengan penularan penyakit kelamin, pandangan beberapa agama dan adat tradisi suku–suku bangsa di Indonesia (Alam, 1984). Dalam masyarakat istilah Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) belum banyak didengar bahkan belum dipahami dengan baik, walaupun sebenarnya kasus-kasus yang terkait dengan ESKA sudah banyak ditemui baik lewat media cetak ataupun media elektronik. ESKA merupakan singkatan dari Eksploitasi Seksual Komersial
7
Anak yang meliputi tiga bentuk yaitu pornografi, prostitusi/pelacuran, dan perdagangan anak untuk tujuan seksual (Suyanto, 2010). Penelitian ini akan difokuskan pada salah satu balai rehabilitasi PSK yang terletak di kota Surakarta. Balai yang berlandaskan “Profesi Pekerjaan Sosial melaksanakan rehabilitasi sosial bagi eks, wanita tuna susila, agar mereka dapat menjalankan fungsi sosialnya secara wajar dan menjadi anggota masyarakat secara normatif” berdiri sejak zaman Pemerintahan Kerajaan Surakarta dengan sebutan “Wangkung” ( dibuang dan dikungkung ), dengan harapan balai tersebut dapat berfungsi sebagai tempat penampungan bagi orang-orang yang mengalami permasalahan sosial. Seiring berjalannya waktu, pada tgl 11 September 1971 Pamardi Wanita mulai dikelola oleh Kanwil Departemen Sosial Propinsi Jawa Tengah, dan berdasarkan SK Mensos. RI No. : 41/HUK/Kep/XI/79 namanya diubah menjadi Sasana Rehabilitasi Wanita “Wanita Utama” Surakarta. Dengan adanya liquidasi Departemen Sosial dan pelaksanaan otonomi daerah, pengelolaan Panti diserahkan kepada Pemerintah Propinsi Jawa Tengah. Dinas Kesejahteraan Sosial dan berdasarkan Perda No. 1 Tahun 2002 namanya menjadi Panti Karya Wanita “Wanita Utama” Surakarta. Mulai 1 Januari 2011 berubah nama menjadi Balai Rehabilitasi " Wanita Utama " Surakarta-1. Adanya Balai Rehabilitasi Sosial tersebut merupakan bentuk kepedulian pemerintah terhadap pemenuhan hak-hak anak yang dilacurkan. Menurut Prihantono (2008), hak-hak seorang anak yang menuntut untuk dipenuhi meliputi hak atas kelangsungan hidup, hak untuk berkembang, hak partisipasi dan hak perlindungan. Akan tetapi tak jarang hak-hak tersebut hanya menjadi sebuah
8
wacana yang kerap kali diabaikan, bahkan dilakukan oleh kerabat maupun keluarga. Hal ini menyebabkan anak tidak mendapatkan hak sepenuhnya atas apa yang seharusnya ia dapat, seperti kehilangan masa bermain dan belajar. Bahkan tak jarang diantara mereka kini mengalami gangguan-gangguan yang diakibatkan oleh tekanan fisik, psikis dan mental akibat hak yang seharusnya mereka dapat telah dilanggar. Seorang
dewasa
yang
dihadapkan
pada
sebuah
kondisi
yang
mengharuskan untuk dipekerjakan sebagai PSK, akan mengalami dampak yang luar biasa bagi kehidupannya. Bagaimana dengan seorang anak yang tidak pernah tahu alasan pasti dan mengapa ia harus diperkosa serta dipekerjakan menjadi pekerja malan/ PSK, ketika orang dewasa tidak mampu untuk melalui masa-masa tidak menyenangkan seperti ini, maka disini peneliti akan mencoba untuk menggali dan mendalami pemecahan masalah yang dilakukan oleh anak-anak yang dilacurkan dengan menggunakan media berupa tarot psikologi. Harapannya dengan metode bermain tarot yang akan dibawakan oleh peneliti. Hal ini akan membantu informan dalam mengungkap dan memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi ataupun sedang berusaha untuk dilupakan. Sebagai sarana atau media agar anak yang dilacurkan dapat menjadi seseorang yang baru dan memiliki rasa percaya diri serta mampu mengembangkan potensi dirinya di lingkungan masyarakat, maka akan digunakan media kartu tarot sebagai sarana untuk menemukan solusi-solusi dari permasalahan yang menyebabkannya susah untuk mengembangkan potensi diri maupun mengungkap permasalahan selama ia dilacurkan.
9
Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan tarot menjadi media dalam pengungkapan masalah. Pertama tarot merupakan sebuah instrumen yang ramah terhadap informan. Maksudnya gambar, motif dan corak pada kartu tarot yang diperlihatkan kepada informan dapat merangsang untuk mengekspolrasi kehidupan yang telah dijalani sebelumnya (Fachri, 2010). Kedua, dalam kurung waktu ± 5- 10 tahun, tarot mulai dikembangkan di Indonesia hingga saat ini dan kartu tarot yang akan digunakan oleh peneliti merupakan penemuan yang dasardasarnya diambil dari penelitian Carl Gustav Jung, salah satu penemu teori struktur kepribadian pada bidang ilmu psikologi. Menurut pencipta tarot psikologi Hisyam Fachri, ia gencar melakukan pelatihan-pelatihan eksplorasi alam bawah sadar dengan menggunakan media tarot psikologi sebagai stimulus dan alat pengungkapan masalah. Ia sendiri telah mengikuti sekolah khusus yang di dalamnya mempelajari ilmu pengungkapan masalah menggunakan media tarot dan hypnotherapy. Hingga saat ini daerah jangkauan pelatihan dan pengembangan tarot psikologi telah mencapai pulau Jawa, Kalimantan dan daerah timur dari wilayah Indonesia lainnya, buku yang telah diterbitkan oleh pencipta tarot psikologi kurang lebih telah mencapai 3 buah, dengan buku pertama berjudul The Real Art of Hypnosis, kemudian yang kedua berjudul The Real Art of Tarot, dan buku ketiga yang berjudul Tarot Psikologi, dimana buku pertama berisi tentang dasar-dasar hypnosis kolaborasi seni hypnosis Timur-Barat sedangkan buku kedua dan ketiga berisi tentang karakteristik masing-masing kartu, pola pembagian kartu dan asal muasal kartu tarot itu sendiri.
10
Penggunaan tarot psikologi adalah sebagai media alat ungkap masalah dalam eksplorasi bawah sadar melalui ketidaksadaran kolektif (Fachri, 2010). Menurut Carl Gustav Jung dalam tarot psikologi (2010), setiap manusia memiliki ketidaksadaran kolektif dan segala sesuatu saling berhubungan dengan sesuatu yang lain melalui ketidaksadaran kolektif. Selain itu, Fachri (2010) juga mengungkapkan bahwa penggunaan tarot itu sama saja ketika kita mempelajari kartu Rorschach (alat tes psikologi proyektif berupa gambar bercak tinta yang dimina untuk diinterpretasikan oleh informan). Adapun alat tes proyektif lain yang hampir sama penggunaanya dengan Rorschach meliputi TAT, Wartegg, DAP, BAUM, HTP, SCCT (proyektif tes) hanya saja berbeda dalam kualifikaasinya sama seperti alat-alat tes proyektif lain yang tidak sama persis dalam kualifikasi (Urbina, 2007). Salah satu teknik ungkap yang akan digunakan adalah dengan menggunakan teknik TEMAS. Kata TEMAS berasal dari bahasa Spanyol yang berarti “tema” dan pada bahasa Inggris merupaka singkatan yang cerdik dari “Tell-Me-A-Story”, TEMAS merupakan instrumen yang dirancang khusus untuk penaksiran atas ciri-ciri kognitif, afektif dan kepribadian anak-anak dari usia 5-18 tahun (Costantino, Malgady & Rogler, 1988), kemudian dikarenakan pada masing-masing kartu merupakan perwujudan dari arkhetipe-arkhetipe yang ditemukan oleh CG. Jung, maka sesekali peneliti yang akan menceritakan kejadian yang dialami informan sesuai dengan karakteristik arkhetipe yang dikemukakan oleh jung dan diwujudkan pada kartu tarot.
11
Jung mengemukakan tentang struktur dari ketidaksadaran kolekif yang disebutkan dengan berbagai nama seperti arkhetipe-arkhetipe, dominan-dominan, gambaran-gambaran primordial, imago-imago, gambaran mitologi dan pola-pola tingkah laku (Jung dalam Teori-teori psikodinamika (klinis), 2009). Arkhetipe sendiri adalah suatu bentuk pikiran (ide) universal yang mengandung unsur emosi yang besar. Bentuk pikiran ini menciptakan gambaran-gambaran atau visi-visi yang dalam kehidupan sadar berkaitan dengan aspek tertentu dari situasi. Adapun beberapa arkhetipe berdasarkan dengan penemuan Jung meliputi kelahiran, kelahiran kembali, kematian, kekuasaan, sihir, kesatuan, pahlawan, anak, Tuhan, setan, laki-laki tua yang bijaksana, ibu pertiwi dan binatang (Supratiknya, 2009). Ditambah dengan cara meminta informan menceritakan kembali kejadian yang ingin kita ketahui setelah diberi stimulus berupa kata kunci dari tiap lembar kartu tarot yang telah dipilih kemudian memberikan gambaran apabila itu diterapkan pada permasalahan yang dialami. Tarot dalam penelitian ini akan digunakan sebagai jembatan untuk membantu menemukan solusi, dari akar permasalahan. Tarot menggunakan hukum sebab akibat di masa lalu hingga saat ini, dengan sistem ketidaksadaran kolektif yang menurut Jung diwarisi oleh seseorang secara turun temurun yang di dalamnya memuat nilai, gagasan atau kebijaksanaan yang bersifat universal. Bukti dari Jung telah mengungkapkan bahwa ia mengetahui tentang tarot dan pernah membawakan diskusi yang membicarakan tarot terdapat dalam blog yang sengaja di buat oleh salah seorang peneliti yang juga mengembangkan tarot
12
beserta informasi tarot oleh jung yang bernama Marry K. Greer. Berikut adalah kutipan dari diskusi yang dilakukan oleh Jung pada 16 September 1930. Jung wrote to a Mrs. Eckstein: “Yes, I know of the Tarot. It is, as far as I know, the pack of cards originally used by the Spanish gypsies, the oldest cards historically known. They are still used for divinatory purposes (Marry, wordpress.com, 2008). “ dari kutipan tersebut dapat juga diketahui bahwa menurut perkiraan Jung, ia mengetahui tentang kartu tarot dan menurutnya kartu tersebut dibawa oleh gipsi yang berasal dari Spanyol berujuan untuk kepeningan divinatory. Selain kutipan dari diskusi yang dilakukan oleh Jung, Marry juga mengutip penjelasan Jung pada sebuah seminar yang didalamnya juga membahas tentang tarot dan alam bawah sadar manusia. Kutipan tersebut adalah sebagai berikut: On 1 March 1933, Carl Jung spoke about the Tarot during a seminar he was conducting on active imagination, demonstrating that he was a little more familiar with these images than we would have thought from just the preceding letter. This is a transcript of his actual spoken words: “Another strange field of occult experience in which the hermaphrodite appears is the Tarot. That is a set of playing cards, such as were originally used by the gypsies. There are Spanish specimens, if I remember rightly, as old as the fifteenth century. These cards are really the origin of our pack of cards, in which the red and the black symbolize the opposites, and the division of four—clubs, spades, diamonds, and hearts—also belongs to the individuation symbolism. They are psychological images, symbols with which one plays, as the unconscious seems to
13
play with its contents. They combine in certain ways, and the different combinations correspond to the playful development of events in the history of mankind. The original cards of the Tarot consist of the ordinary cards, the king, the queen, the knight, the ace, etc.,—only the figures are somewhat different—and besides, there are twenty-one cards upon which are symbols, or pictures of symbolical situations. For example, the symbol of the sun, or the symbol of the man hung up by the feet, or the tower struck by lightning, or the wheel of fortune, and so on. Those are sort of archetypal ideas, of a differentiated nature, which mingle with the ordinary constituents of the flow of the unconscious, and therefore it is applicable for an intuitive method that has the purpose of understanding the flow of life, possibly even predicting future events, at all events lending itself to the reading of the conditions of the present moment. It is in that way analogous to the I Ching, the Chinese divination method that allows at least a reading of the present condition. You see, man always felt the need of finding an access through the unconscious to the meaning of an actual condition, because there is a sort of correspondence or a likeness between the prevailing condition and the condition of the collective unconscious (Visions: Notes of the Seminar given in 1930-1934 by C. G. Jung, edited by Claire Douglas. Vol. 2. (Princeton NJ, Princeton University Press, Bollingen Series XCIX, 1997), p. 923, dalam Marry, Wordpress.com, 2008). Maka dari kutipan di atas dapat diartikan sebagai berikut: pada tanggal 1 Maret 1933 Jung mengadakan sebuah seminar yang di dalamnya membahas tentang tarot. Ia berbicara dan mendemonstrasikan tarot melalui gambar-gambar dengan penjelasan dari pemahamannya terdahulu. Dalam seminar
14
gersebut ia mengatakan bahwa, bidang ilmu baru yang muncul secara alamiah yang mengulas alam bawah sadar adalah tarot. Menurutnya, tarot berisi satu set kartu yang biasa digunakan oleh gipsi yang berasal dari Spanyol kira-kira pada abad ke 15. Dimana masing-masing kartu adalah simbolisasi dari individu. Kartukartu tersebut adalah merupakan gambar psikologis perwujudan dari arketip yang sifatnya berbeda dan berbaur antara konstituen biasa dari aliran bawah sadar. Oleh sebab itu berlaku sebuah hukum aliran intuitif yang memiliki tujuan pemahaman aliran kehidupan, bahkan mungkin saja meramalkan kejadian di masa datang. Sejauh ini manusia selalu merasakan kebutuhan untuk menemukan akses melalui bawah sadar dan mencari makna dari kondisi yang sebenarnya dengan cara memahami korespondesi serta mencari kemiripan dari suatu peristiwa. Dari adanya uraian diatas, penulis merasa tertarik untuk mengadakan penelitian dan penulis juga ingin mengetahui masalah-masalah apa saja yang muncul pada anak yang dilacurkan dan pemecahan masalah yang akan muncul melalui media tarot. Oleh karena itu, penulis memilih judul, Proses Pemecahan Masalah pada Anak yang Dilacurkan (Pengungkapan dengan Media Tarot Psikologi). B. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui secara mendalam, masalah-masalah yang dihadapi pada anak yang dilacurkan. 2. Mengetahui proses pemecahan masalah pada anak yang dilacurkan dengan media kartu tarot sebagai alat ungkap masalah.
15
C. Manfaat Melalui penelitian ini, diharapkan anak yang dilacurkan akan menemukan solusi-solusi atas permasalahan yang dihadapi, adapun manfaat yang bisa dicapai adalah: 1. Manfaat praktis a. Untuk informan, melalui media kartu tarot, mereka dapat mengetahui permasalahan yang sedang dihadapi, serta dapat menemukan pemecahan masalah atau solusi dari masalah tersebut. b. Untuk masyarakat, penelitian ini dapat dijadikan sebagai pertimbanganuntuk menerima kembali keberadaan anak yang dilacurkan. 2. Manfaat teoritis a. Penelitian ini di harapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang ilmu psikologi kepribadian dalam mengungkap dan menemukan macam-macam kepribadian dari diri informan melalui media kartu tarot b. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu sosial khususnya psikologi sosial, karena setelah diberikan media tarot psikologi, maka informan akan mengerti apa yang sebenarnya ia hadapi dan dapat mengubah pola andang mereka tentang lingkungan sesuai dengan apa yang seharusnya ia lakukan.