1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penggunaan obat-obat kemoterapi seperti doxorubicin memiliki efek samping menurunkan sistem imun yang dapat menyebabkan tubuh mudah terkena serangan penyakit. Penggunaan obat-obat kemoterapi menyebabkan semua populasi limfosit akan berkurang kecuali sel limfosit T helper khususnya CD4+ akan kembali normal secara lambat (Hutnick et al., 2005). Doxorubicin dapat menurunkan fungsi sistem imun melalui beberapa mekanisme antara lain menurunkan proliferasi sel limfosit dan rasio CD4+/CD8+ (Zhang et al., 2005). Oleh karena itu dibutuhkan suatu senyawa sebagai agen imunostimulator yang mampu bekerja mengatasi efek imunosupresi (efek samping) dari doxorubicin. Salah satu agen imunostimulator yang berasal dari bahan alam adalah ekstrak kacang merah (Phaseolus vulgaris) yang dikenal mengandung senyawa phytohemagglutinin-M (PHA-M). Senyawa ini merupakan agen imunostimulan bentuk mucoprotein dan merupakan ekstrak kasar yang
digunakan sebagai
stimulan proliferasi sel limfosit (Biowest, 2014). Phytohemagglutinin (PHA) itu sendiri merupakan agen imunostimulator yang digunakan sebagai stimulan sel limfosit untuk melakukan mitosis (Sharon and Lis, 2004). PHA mempunyai beberapa jenis yang dibedakan berdasarkan subunitnya yaitu PHA-E dan PHA-L. Beberapa jenis lain yaitu PHA-M dan PHA-P. PHA-L pernah diteliti oleh sumardi
2
(2011), dengan hasil bahwa PHA-L memiliki aktivitas proliferasi lebih besar dibandingkan kontrol normal, PHA-P pernah diteliti oleh sofiakmi (2014), dengan hasil bahwa PHA-P mempunyai aktivitas imunostimulator. PHA merupakan mitogen yang poten dalam menginduksi proliferasi sel limfosit. PHA secara umum terbukti memiliki efek stimulan pada sel normal manusia (Movafagh, et al., 2013; Hill, et al., 1994), sehingga perlu juga diketahui apakah berbagai jenis PHA, terutama PHA-M mampu meningkatkan proliferasi sel limfosit yang ditambah doxorubicin secara in vitro.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu sebagai berikut: 1.
Apakah Phytohemagglutinin-M (PHA-M) dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit mencit yang ditambah doxorubicin secara in vitro?
2.
Dosis berapakah phytohemagglutinin-M (PHA-M) dapat berefek sebagai imunostimulator yang paling tinggi?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, dapat ditentukan tujuan penelitian ini adalah: 1.
Mengkaji pengaruh PHA-M dalam meningkatkan proliferasi sel limfosit mencit Galur Balb/C yang ditambah dengan doxorubicin secara in vitro.
2.
Mengetahui dosis PHA-M yang berefek sebagai imunostimulator paling tinggi.
3
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan dan informasi tentang efek imunostimulator PHA-M dalam meningkatkan proliferasi sel limfosit, sehingga dapat menjadi acuan bagi para peneliti selanjutnya untuk pengembangan obat yang berkhasiat sebagai imunostimulator.
E. Tinjauan Pustaka 1. Phytohemagglutinin-M (PHA-M) Peter C. Nowell (1960) telah menemukan lectin dalam red kidney bean (Phaseolus vulgaris) yang dikenal dengan nama phytohemagglutinin (PHA) yang digunakan sebagai senyawa yang poten untuk proliferasi sel limfosit, bersifat sebagai mitogenik yaitu memiliki kemampuan merangsang limfosit untuk melakukan mitosis (Sharon and Lis, 2004). PHA terdiri dari fraksi yang mengandung protein yang terikat gula dan komponen hemaglutinasi (Hamelryck et al., 1996), mengikat karbohidrat pada permukaan mikroba yang dapat mengaktifkan sel T. Oleh karena itu PHA dapat memacu aktivasi sel T (Baratawidjaja, 2009). Phytohemagglutinin terdiri dari dua subunit yang memiliki bentuk tetramer, yaitu E dan L. PHA-E memiliki sifat erythroagglutinating sedangkan PHA-L bersifat leucoagglutinating (Hamelryck et al., 1996). Beberapa jenis PHA yang lain yaitu P dan M. PHA-P merupakan bentuk protein PHA yang belum dilakukan pemisahan dan pemurnian dari kedua subunit PHA( E dan L). PHA-M merupakan bentuk mucoprotein dan merupakan ekstrak kasar yang digunakan
4
sebagai stimulan proliferasi sel limfosit (Biowest, 2014). Dosis penggunaan yang dianjurkan untuk PHA-M adalah 2-10 µg/mL (Roche, 2004). Struktur kristal phytohemagglutinin dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Struktur kristal phytohemagglutinin ( Hamelryck et al., 1996 )
2. Sistem Imun Sistem imun merupakan sistem yang dibutuhkan oleh tubuh untuk melindungi tubuh dari bahaya yang dapat ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam lingkungan hidup (Baratawijaya, 2010). Sistem imun meningkatkan perlindungan individu terhadap serangan agen patogen seperti mikroorganisme (virus, bakteri), parasit dan fungi; menghilangkan sel neoplastik dan menolak komponen non self (Juvekar et al., 2009). Sistem imun yang terpapar pada zat asing kemungkinan akan menimbulkan dua jenis sistem imun yaitu, sistem imun nonspesifik dan sistem imun spesifik (Abbas et al., 2007). Sistem imun non spesifik bersifat bawaan (semua individu memilikinya sejak dilahirkan) sedangkan sistem imun spesifik muncul ketika suatu individu mengalami suatu respon imun (Virella, 2001). Beberapa komponen yang berperan dalam sistem imun non spesifik diantaranya adalah fagosit (makrofag), basofil, sel mast, sel darah merah dan sel
5
NK (Natural killer cells) dan komponen yang berperan dalam sistem imun spesifik adalah sel limfosit (Baratawidjaja, 2012). a.
Sel Limfosit Limfosit adalah sel-sel berinti, yang sedikit lebih besar daripada eritrosit
(Tjay dan Rahardja, 2007).Sel limfosit merupakan sel yang berperan utama dalam sistem imun spesifik, spesifitas dan memori (Abbas et al., 2007). Terdapat dua lokasi yang berbeda pada limfosit yaitu organ limfoid primer meliputi sumsum tulang dan timus, serta organ limfoid sekunder meliputi limpa, getah bening, Peyer’s patches pada saluran cerna dan amandel. Sistem limfatik sangat penting dalam perkembangan, diferensiasi serta fungsi limfosit (Ciesla, 2007). Sel limfosit terdiri atas sel T dan sel B. Sel T berperan dalam respon imunologik seluler dan sel B pada imunitas humoral. Sel T dan sel B merupakan pengontrol sistem imun (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009). Distribusi limfosit B dan T pada manusia dengan jumlah seimbang terletak pada organ limpa, yaitu masing-masing sebesar 50% (Virella, 2001). b.
Aktivasi dan Proliferasi Sel Limfosit Proliferasi sel limfosit adalah proses perbanyakan sel melalui pembelahan
sel atau mitosis sebagai respon terhadap antigen. Kemampuan berproliferasi sangat penting sebagai bagian dari sistem imun spesifik ketika limfosit terpapar oleh patogen. Kapasitas fungsional dari fungsi limfosit dapat dinilai melalui respon proliferasi limfosit ke berbagai mitogen seperti PHA (phytohemagglutinin) dan PMW (pokeweed mitogen) secara in vitro yang dilakukan di laboratorium untuk diukur tingkat proliferasinya (Koch, 2010).
6
1.b) Sel limfosit T Sel limfosit T berperan penting dalam respon imun seluler dan memodulasi responsivitas imun untuk melawan mikroorganisme intraseluler seperti mycobacteriumtuberculosa yang hidup dalam makfofag sehingga sulit dijangkau oleh antibodi. Sel limfosit T atau sel T pada orang dewasa dibentuk di sumsum tulang, tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi di timus. Sembilan puluh hingga Sembilan puluh lima persen dari semua sel T dalam timus tersebut mati dan hanya 5-10% menjadi matang dan selanjutnya meninggalkan timus untuk masuk ke dalam sirkulasi (Baratawidjaya, 2009). Satu sel limfosit hanya mengekspresikan reseptor untuk satu jenis antigen sehingga sel tersebut hanya dapat mengenal satu jenis antigen saja. Reseptor sel T ditemukan pada semua sel T matang, dapat mengenal peptida antigen yang diikat MHC (Major Histocompatibility Complex) dan dipresentasikan APC atau antigen Presenting Cell (Baratawidjaja, 2010). Sel limfosit T terdiri dari dua bagian yaitu sel T helper dan sel sitotoksik atau Cytolytic T Lymphocytes (CTLs). Sel T helper pada respon terhadap rangsangan antigen akan melepaskan protein yang disebut sitokin yang berfungsi merangsang terjadinya proliferasi dan diferensiasi sel T itu sendiri, dan mengaktifkan sel-sel lainnya termasuk sel limfosit B, makrofag dan leukosit lainnya. Sel sitotoksik atau Cytolytic T Lymphocytes (CTLs) berfungsi membunuh sel-sel yang memproduksi antigen asing, seperti sel yang terinfeksi oleh virus atau mikroba intraseluler (Abbas et al., 2007).
7
2.b) Sel limfosit B Sel limfosit B merupakan sistem imun spesifik humoral yang memiliki fungsi pertahanan terhadap mikroba ektraseluler (Baratawidjaja, 2009). Sel B digunakan untuk mengenali antigen dari jenis bahan kimia yang berbeda-beda, Selain bisa diaktifkan oleh sel T helper, sel limfosit B juga menggunakan reseptor antigen mereka (ikatan antara membran dan molekul antibodi). Keterlibatan reseptor antigen dengan sinyal akan memicu terjadinya proliferasi dan diferensiasi sel limfosit B (Abbas et al., 2007). Sel B yang berperan dalam respon imun humoral, merupakan 5-25% dari limfosit dalam darah yang berjumlah sekitar 1000-2000 sel/mm3 (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009). Aktivasi sel limfosit B dapat melalui dua cara yaitu dengan diaktifkan oleh sel T helper dan aktivasi sel B oleh penggunaan reseptor antigen terhadap antigen
yang
dikenali
dan
akan
membentuk
ikatan
antara
molekul
immunoglobulin (Ig) yang spesifitasnya sama dengan reseptor antibodi yang dilepaskan. Keterlibatan molekul reseptor tersebut akan memicu terjadinya proliferasi dan diferensiasi sel limfosit B (Subowo, 2009). Limfosit B yang imunokompeten jika diaktifkan mengalami proliferasi dan diferensiasi menjadi plasmit. Plasmit ini akan melepaskan molekul-molekul imunoglobulin. Pada saat itu plasmit kehilangan molekul reseptornya, sehingga dapat dilepaskan 40% dari protein yang berada dalam sitoplasmanya, selama sekresi antibodi tersebut dapat dilepaskan ribuan molekul Ig antara lain IgG, IgM, IgA, IgE, dan IgD (Subowo 2010).
8
3. Imunomodulator Imunomodulator
adalah
obat-obatan
yang
dapat
mengembalikan
ketidakseimbangan sistem imun. Obat imunomodulator digolongkan menjadi tiga yaitu imunorestorasi, imunostimulasi dan imunosupresi. Imunorestorasi dan imunostimulasi
disebut
imunopotensiasi
atau
upregulation,
sedangkan
imunosupresi disebut down regulation (Baratawidjaja, 2009). Imunorestorasi adalah suatu cara untuk mengembalikan fungsi sistem imun yang terganggu dengan memberikan berbagai komponen sistem imun, seperti imunoglobulin. Imunostimulasi adalah cara memperbaiki fungsi sistem imun dengan menggunakan imunostimulan yaitu bahan yang merangsang sistem imun. Bahan yang dapat meningkatkan respon imun disebut imunostimulator. Imunostimulator dapat berupa imunostimulan biologis (hormon timus, limfokin, interferon dan antibodi monoklonal) maupun imunostimulan sintetis (levamisol, isoprenosin dan muramil dipeptida). Berbagai agen imunostimulan dapat memacu fungsi berbagai komponen sistem imun nonspesifik (fagosit, sel NK) dan sistem imun spesifik (proliferasi sel T, sel B yang memproduksi antibodi) serta produksi sitokin sehingga dapat digunakan dalam klinik sebagai ajuvan untuk meningkatkan penyembuhan berbagai penyakit infeksi (Patil et al., 2012 ; Tjay dan Rahardja, 2007). Phytohemaglutinin (PHA) adalah salah satu agen imunostimulan yang dapat memacu aktivasi sel T (Baratawidjaja, 2009). Imunosupresi merupakan suatu tindakan untuk menekan respons imun. Kegunaannya di klinik terutama pada transplantasi dalam usaha mencegah reaksi
9
penolakan dan berbagai penyakit inflamasi yang menimbulkan kerusakan (Baratawidjaja, 2009). 4. Uji Aktivitas Imunostimulator dengan MTT Assay Senyawa MTT (3-(4,5-dimethylthiazol-2-yl)-2,5-diphenyltetrazoliumbromide) merupakan garam tetrazolium, lazim digunakan dalam penetapan kuantitatif sel mamalia yang hidup atau proliferasi dengan metode kolorimetri secara in vitro. MTT Assay pertama kali ditemukan oleh Tim Mosmann (1983) dan mengalami perbaruan oleh peneliti lain. Metode ini didasarkan pada kapasitas enzim suksinat tetrazolium reduktase yang terdapat dalam jalur respirasi sel pada mitokondria yang aktif pada sel limfosit yang hidup, untuk mereduksi garam MTT yang berwarna kuning menjadi kristal formazan yang berwarna ungu. Kristal
formazan
yang
memberikan
warna
ungu
dapat
dibaca
absorbansinya pada panjang gelombang 500-600 nm dengan menggunakan ELISA reader (Mosmann, 1983). Jumlah kristal formazan yang terbentuk, berbanding lurus dengan jumlah sel limfosit yang hidup (Avila and Pugsley, 2011). Keuntungan metode ini adalah cepat, teliti dan tidak memerlukan suatu radioisotop (Mosmann, 1983). Reduksi MTT menjadi garam MTT formazan dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Reduksi MTT menjadi garam MTT formazan (Brescia dan Banks., 2009)
10
5. Doxorubicin Doxorubicin merupakan obat antibiotik golongan anthracycline pada pengobatan kanker yang diperoleh dari biakan Streptomyces peuticus. Doxorubicin memiliki efek sitotoksik yang dapat menghambat sintesis DNA dan RNA melalui daya kerjanya terhadap topoisomerase II (Tjay dan Rahardja, 2007). Doxorubicin dapat menurunkan fungsi sistem imun melalui beberapa mekanisme antara lain menurunkan proliferasi sel limfosit, rasio CD4+/CD8+ (Zhang et al., 2005) dan menurunkan fungsi sel makrofag (Asmis et al., 2006). Penggunaan
jangka
panjang
pada
doxorubicin
dapat
menyebabkan
kardiotoksisitas. Oleh karena itu penggunaannya secara klinis menjadi terbatas. Efek samping pada pemakaian kronisnya bersifat irreversibel, termasuk terbentuknya cardiomyopathy dan congestive heart failure (Childs et al., 2002).
F. Landasan Teori Proliferasi sel limfosit dapat diinduksi oleh suatu senyawa mitogen. Mitogen yang sering digunakan dalam proliferasi limfosit dapat berupa senyawa lektin yang memiliki afinitas terhadap gula pada permukaan sel limfosit seperti phytohemagglutinin (PHA) (Baratawidjaja, 2002). Phytohemagglutinin (PHA) merupakan mitogen yang bekerja sangat baik dalam menstimulasi sel limfosit T pada biakan limfosit manusia (Hill, et al., 1994). Kemampuan mitogen PHA yang dibandingkan dengan mitogen yang lain seperti Staphlylococcal Enterotoxin A (SEA) lebih baik (Lubis, et al., diaskes 2015). Hal ini menunjukkan bahwa PHA merupakan
mitogen yang memang terbukti sebagai mitogen yang mampu
11
merangsang proliferasi sel limfosit. Phytohemagglutinin-M (PHA-M) adalah mitogen yang memiliki bentuk mucoprotein dan merupakan ekstrak kasar yang digunakan sebagai stimulan proliferasi sel limfosit (Biowest, 2014).
G. HIPOTESIS Berdasarkan landasan teori di atas, dapat diambil hipotesis bahwa phytohemaglutinin (PHA-M) dapat meningkatkan proliferasi sel limfosit mencit Galur Balb/C yang ditambah doxorubicin secara in vitro.