1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia hidup di alam selalu kontak dengan mikroorganisme, bakteri, virus, fungi, dan berbagai bentuk kehidupan parasit. Mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh akan menyebabkan berbagai gangguan fisiologis dalam tubuh sehingga timbul penyakit infeksi. Penyakit infeksi mempunyai kemampuan menular pada orang yang sehat sehingga populasi penderita dapat meluas. Penyakit infeksi dapat disebabkan oleh empat kelompok besar hama penyakit, yaitu: bakteri, jamur, virus, dan parasit (Jawetz et al., 2001). Salah satu jenis penyakit infeksi yang seringkali dijumpai adalah pneumonia. Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang menyerang jaringan paru-paru (alveoli). Pneumonia merupakan masalah kesehatan dengan angka kematian yang tinggi, tidak saja di negara berkembang tapi juga di negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara Eropa. Di Amerika Serikat misalnya, terdapat dua juta sampai tiga juta kasus pneumonia per tahun dengan jumlah kematian rata-rata 45.000 orang. Di Indonesia, pneumonia merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah kardiovaskuler dan tuberkulosis (Anonima, 2010). Pneumonia yang ada di masyarakat umumnya disebabkan oleh bakteri, virus atau mikoplasma (bentuk peralihan antara bakteri dan virus). Bakteri yang umum adalah Streptococcus pneumoniae, Staphylococcus aureus, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas sp, virus misalnya virus influensa. Bakteri Gram 1
2
negatif seperti Klebsiella sp dan Pseudomonas sp menyebabkan pneumonia yang cenderung berat. Bakteri ini paling sering menyerang anak-anak, orang tua, peminum alkohol, dan penderita penyakit menahun (terutama penderita gangguan sistem kekebalan tubuh). Bakteri Gram negatif bisa dengan cepat merusak jaringan paru-paru, sehinggga Pneumonia Gram negatif cenderung cepat menjadi berat (Anonimb, 2010). Telah banyak dilakukan penelitian yang menguji aktivitas tanaman obat sebagai antibakteri penyebab infeksi. Tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai obat salah satunya adalah ceremai (Phyllantus acidus (L.) Skeels). Tanaman ceremai terbukti mempunyai khasiat hepatoprotektif (Lee et al., 2006), antibakteri dan antijamur (Melendez dan Capriles, 2006; Satish et al., 2007; Jagessar et al., 2008). Buah dan daun ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) mengandung adenosin, kaempferol (flavonoid), dan hypogallic acid (DHBA) (Sousa et al., 2007). Buah ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) juga mengandung karbohidrat, asam organik non volatil, dan komponen volatil (Quijano et al., 2007). Hasil penelitian Melendez dan Capriles (2005) menunjukkan bahwa ekstrak metanol buah ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) mampu menghambat pertumbuhan bakteri E. coli sebesar 11 mm dan S. aureus sebesar 20 mm. Sedangkan ekstrak etanol buah ceremai terbukti mempunyai aktivitas antibakteri terhadap S. aureus dengan KBM sebesar 0,5% dan terhadap E. coli mempunyai KBM sebesar 1% (Erwiyani, 2009). Dalam penelitian lain fraksi etil asetat ekstrak etanol buah ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) terbukti
3
memiliki aktivitas antibakteri terhadap S. aureus multiresisten antibiotik dengan KBM sebesar 0,25% dan 0,5% terhadap E. coli multiresisten antibiotik (Hapsoro, 2010). Fraksi residu ekstrak etanol buah ceremai mempunyai aktivitas antibakteri terhadap S. aureus dan E. coli multiresisten antibiotik dengan nilai KBM adalah 1% (Laksono, 2010). Ekstrak etanol mengandung senyawa yang bersifat polar maupun semi polar, sehingga masih bersifat ekstrak kasar. Oleh karena itu perlu dilakukan fraksinasi
untuk
mendapatkan
kelompok
senyawa
berdasarkan
tingkat
kepolarannya. Untuk menguji aktivitas antibakteri dan mengetahui Kadar Bunuh Minimum (KBM) digunakan metode dilusi padat karena memiliki keunggulan yaitu homogenitas antara bahan uji dan media lebih baik dan tidak dipengaruhi oleh tebal tipisnya media, jika digunakan metode dilusi cair dikhawatirkan dapat mengganggu saat pengamatan karena kekeruhan yang terjadi bukan disebabkan oleh suspensi bakteri tetapi dari sampel yang berupa ekstrak. Sedangkan untuk mengetahui senyawa aktif yang mempunyai aktivitas sebagai antibakteri, maka dalam penelitian ini digunakan metode bioautografi. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai aktivitas antibakteri fraksi etil asetat dari ekstrak etanol buah ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella pneumoniae.
4
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1.
Apakah fraksi etil asetat ekstrak etanol buah ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) memiliki aktivitas antibakteri terhadap Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella pneumoniae, serta berapa Kadar Bunuh Minimal (KBM) nya?
2.
Senyawa kimia apakah yang terkandung dalam fraksi etil asetat ekstrak etanol buah ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella pnumoniae?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Mengetahui Kadar Bunuh Minimal (KBM) fraksi etil asetat ekstrak etanol buah ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) terhadap Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella pneumonia.
2.
Mengetahui senyawa yang terkandung dalam fraksi etil asetat ekstrak etanol buah ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella pneumoniae dengan metode bioautografi.
5
D. Tinjauan Pustaka 1. Tanaman Ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) a. Sistematika tanaman Berikut adalah sistematika tanaman ceremai: Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Anak Kelas
: Rosidae
Bangsa
: Euphorbiales
Suku
: Euphorbiaceae
Marga
: Phyllanthus
Jenis
: Phyllanthus acidus (L.) Skeels
(Cronquist, 1981)
b. Nama daerah Nama daerah tanaman ceremai sebagai berikut: Sumatera
: ceremoi (Aceh), cerme (Gayo), cerme (Batak), camincamin (Minangkabau)
Jawa
: cerme (Sunda), cerme (Jawa), careme (Madura)
Bali
: carmen (Bali)
Nusa Tenggara : saruma (Bima), cerme (Sasak) Sulawesi
: caramele (Makasar), tili (Gorontalo), cara-mele (Bugis)
Maluku
: ceremin (Ternate)
c. Khasiat dan kandungan kimia
(Hutapea, 1991)
6
Daun ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) berkhasiat untuk urus-urus dan obat mual. Akar tanaman ceremai digunakan untuk obat asma dan daun muda untuk obat sariawan (Hutapea, 1991). Daun ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) telah terbukti memiliki aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Candida albicans (Jagessar et al., 2008). Buah dan daun ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) mengandung adenosin, kaempferol (flavonoid), dan hypogallic acid (DHBA) (Sousa et al., 2007). Fraksi residu ekstrak etanol buah ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) telah terbukti mengandung senyawa polifenol yang memiliki aktivitas antibakteri terhadap S. aureus dan E. coli multiresisten antibiotik dengan kadar bunuh minimal 1% (Laksono, 2010). Fraksi etil asetat ekstrak etanol buah ceremai terbukti mengandung polifenol dan saponin dengan kadar bunuh minimal 0,25% terhadap Staphylococcus aureus dan 0,5% terhadap Escherichia coli multiresisten antibiotik (Hapsoro, 2010). 2. Metode Penyarian Ekstraksi atau penyarian merupakan peristiwa perpindahan massa zat aktif larut dalam cairan penyari. Pada umumnya penyarian akan bertambah baik jika permukaan serbuk simplisia yang bersentuhan dengan penyari semakin luas (Anonim, 1989). Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua pelarut diuapkan dan serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Anonim, 2000).
7
Metode dasar penyarian ada beberapa yaitu maserasi, perkolasi dan soxhletasi. Pemilihan dalam metode penyarian tersebut sebaiknya disesuaikan dengan kepentingan untuk memperoleh sari yang baik (Anonim, 1986). Pemilihan metode ekstraksi juga tergantung pada sumber bahan alami dan senyawa yang akan diujikan. Oleh karena itu terdapat beberapa pilihan metode penyarian, antara lain: maserasi, boiling, sokletasi, supercritical fluid extraction, sublimasi, dan destilasi uap (Sarker et al., 2006). Maserasi merupakan metode penyarian yang sangat sederhana dan paling banyak digunakan untuk menyari bahan obat yang berupa serbuk simplisia yang halus. Sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan seterusnya (Anonim, 2000). 3. Bakteri Mikroorganisme yang bisa hidup bebas adalah prokariot, yang terdiri dari bakteri dan archaea. Bakteri merupakan mikroorganisme yang dapat hidup secara individu maupun secara berkelompok (Hugo dan Russell, 2005). Bakteri mempunyai diameter 0,2-5 µm, asam nukleat berupa DNA dan RNA dan ribosom 70S, bereplikasi secara pembelahan biner dan hidup pada sel tuan rumah untuk pertumbuhannya (Levinson, 2004). Bakteri diklasifikasikan berdasarkan bentuknya menjadi tiga kelompok, yakni kokus, basil, dan spirosites. Kokus berbentuk bulat, basil berbentuk batang dan spirosites berbentuk spiral. Bentuk dari bakteri ditentukan oleh kekakuan dari dinding sel bakteri. Bakteri memiliki ukuran sekitar 0,2-5 µm. Bakteri paling kecil (Mycoplasma) memiliki ukuran yang sama dengan virus yang paling besar
8
(poxyvirus) dan organisme terkecil yang bisa hidup di luar inang. Bakteri yang paling panjang menyerupai beberapa jamur dan sel darah merah pada manusia (7µm) (Levinson, 2004). Bakteri dibagi dalam golongan Gram positif dan Gram negatif berdasar reaksinya terhadap prosedur pewarnaan Gram. Sel pertama kali diwarnai dengan kristal violet dan yodium, kemudian dicuci dengan aseton atau alkohol. Langkah terakhir menghilangkan warna pada bakteri Gram negatif, tapi tidak pada bakteri Gram positif (Jawetz et al., 2005). Kemudian dilihat di bawah mikroskop, bakteri Gram negatif akan nampak berwarna merah sedangkan bakteri Gram positif berwarna ungu (Hugo dan Russell, 2005). a. Pseudomonas aeruginosa Klasifikasi dari bakteri ini adalah: Divisi
:
Protophyta
Kelas
:
Schizomycetes
Bangsa :
Pseudomonadales
Suku
:
Pseudomonadaceae
Marga
:
Pseudomonas
Jenis
:
Pseudomonas aeruginosa
(Salle, 1961)
Pseudomonas aeruginosa menyebabkan infeksi pada luka dan luka bakar, menghasilkan nanah warna hijau; meningitis jika masuk melalui fungsi lumbal dan infeksi saluran kencing jika masuk melalui kelenjar dan ekstruna. Bakteri ini sering ditemukan pada otitis eksterna ringan pada perenang. Hal ini dapat menyebabkan otitis ekstema berat pada pasien diabetes. Pada bayi atau orang
9
yang lemah Pseudomonas aeruginosa masuk melalui aliran darah dan mengaktifkan sepsis yang kebal, hal ini biasanya terjadi pada pasien leukemia/limfoma yang mendapatkan terapi antineoplastik atau terapi radiasi dan pada pasien dengan luka bakar yang berat. Nekrosis hemoragik pada kulit serius terjadi dalam sepsis karena Pseudomonas aeruginosa, luka yang disebut ekstema gansienosum, dikelilingi daerah kemerahan dan sering tidak berisikan nanah (Jawetz et al., 2001). b. Klebsiella pneumonie Klebsiella pneumoniae dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Divisi
: Protophyta
Kelas
: Schizomycetes
Bangsa
: Eubacteriales
Suku
: Enterobacteriaceae
Marga
: Klebsiella
Jenis
: Klebsiella pneumoniae
Klebsiella pneumoniae banyak terdapat dalam saluran nafas dan feses sekitar 5% orang normal. Klebsiella pneumoniae dapat menyebabkan konsolidasi luas disertai nekrosis hemoragik pada paru-paru. Klebsiella pneumoniae kadangkadang menyebabkan infeksi saluran kemih dan bakteremia dengan lesi fokal pada pasien yang lemah. Klebsiella pneumoniae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk batang, non motil, koloni besar, sangat mukoid dan cenderung bersatu pada pergerakan yang lama, meragikan laktosa dan banyak karbohidrat, negatif terhadap tes merah motil (Jawetz et al., 2001).
10
Patogenesis infeksi bakteri meliputi permulaan awal dari infeksi hingga mekanisme timbulnya tanda dan gejala penyakit. Ciri-ciri bakteri patogen yaitu mampu untuk menularkan, melekat pada sel inang, menginvasi sel inang dan jaringan, mampu untuk meracuni, dan mampu untuk menghindar dari sistem kekebalan inang (Jawetz et al., 2005). Bakteri menyesuaikan diri dengan lingkungan, termasuk manusia dan binatang, dimana bakteri secara normal bertempat tinggal dan hidup. Dalam bekerja, bakteri meningkatkan kemampuannya untuk bertahan dan meningkatkan kemungkinan penyebaran. Jalan masuk bakteri patogen ke dalam tubuh adalah melalui membran mukus yang bertemu dengan kulit, pernafasan, gastrointestinal, genital, dan saluran urin (Jawetz et al., 2005). 4. Antibakteri Antibakteri adalah salah satu senyawa yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme dan dalam konsentrasi kecil mampu menghambat bahkan membunuh proses kehidupan suatu mikroorganisme (Jawetz et al., 2005). Hal yang paling penting mengenai konsep antimikrobia adalah selective toxicity, yaitu selektif dalam menghambat pertumbuhan organisme tanpa merusak inang. Toksisitas selektif dicapai dengan memanfaatkan perbedaan metabolisme dan struktur dari mikroorganisme dan bentuk sel manusia yang cocok (Levinson, 2004).
Mekanisme kerja antibakteri yaitu: a.
Menghambat sintesis dinding sel
11
Dinding sel bertindak sebagai suatu struktur corseting, melindungi sel dari lisis osmotik (Jawetz et al., 2005). Dinding sel terdiri lapisan dalam yakni peptidoglikan, membran luar dengan memiliki ketebalan bervariasi dan komposisi kimia berdasarkan tipe bakteri (Levinson, 2004). Peptidoglikan menjaga bentuk sel dan kekuatan mekanik dari sel bakteri. Jika hal tersebut dirusak atau dihambat sintesisnya, maka bentuk dari sel akan berubah dan lisis sesuai dengan tingginya tekanan osmosis dari dalam sel (Hugo dan Russell, 2005). Salah satu antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri adalah β-lactam (Jawetz et al., 2005). b.
Membran sitoplasma. Integritas dari membran sitoplasma sangat vital untuk fungsi normal sel
(Hugo dan Russell, 2005). Jika fungsi integritas membran sitoplasmik dirusak, makromolekul dan ion keluar dari sel, kemudian sel rusak atau terjadi kematian. Contoh dari mekanisme ini adalah polimiksin pada bakteri gram negatif dan kerja polien pada fungi (Jawetz et al., 2005). c.
Penghambatan sintesis protein. Protein terdapat lipatan, bentuk 3 dimensi ditentukan oleh linkage disufid
kovalen intramolekular dan jumlah linkage nonkovalen seperti ionik, hidrofobik dan ikatan hidrogen. Keadaan ini dinamakan struktur protein tersier yang dengan cepat diganggu oleh sejumlah agen fisik atau kimia, menyebabkan protein menjadi tidak berfungsi. Gangguan struktur protein tersier dinamakan denaturasi protein (Jawetz et al., 2005). d.
Antagonis folat
12
Asam folat merupakan kofaktor yang penting dalam semua kehidupan sel (Hugo dan Russell, 2005). Asam p-aminobenzoat (PABA) merupakan metabolit penting. Bentuk khusus dari kerja PABA adalah pada pembentukan adenosin trifosfat yang berasal dari pteridin dengan PABA untuk menghasilkan asam dihidropteroat, yang secara berangkai berubah jadi asam folat, PABA penting untuk sintesis asam nukleat. Sulfonamid adalah struktur yang analog dengan PABA dan menghambat enzim dihidropteroat sintetase (Jawetz et al., 2005). e.
Mengganggu fungsi kromosom Sejumlah agen anti mikrobia bekerja dengan merusak DNA, termasuk
dalam hal ini radiasi ionozing, Sinar UV dan DNA re-active chemicals. Diantara kategori terakhir adalah alkylazing agents dan senyawa lain yang bereaksi secara kovalen dengan basa purin dan pirimidin untuk membentuk DNA dengan beberapa cara sinar UV. Induksi radiasi dan kimia dapat membunuh sel dengan mengganggu replikasi DNA (Jawetz et al., 2005). 5. Uji Aktivitas Antibakteri Pengujian terhadap aktivitas antibakteri dilakukan untuk mengetahui obat yang paling poten untuk kuman penyebab penyakit terutama penyakit kronis. Pengujian ini dapat dilakukan dengan cara yaitu:
a.
Metode Dilusi Metode ini menggunakan antimikrobia dengan kadar yang menurun secara
bertahap, baik dengan media cair atau padat (Jawetz et al., 2005). Dilusi ganda
13
antimikrobia (biasanya pada kisaran 0,12-256 mg/L) disiapkan pada media broth yang sesuai dan volume fase log ditambahkan pada tiap dilusi hingga menghasilkan densitas sekitar 5x105 CFU/ml. Setelah inkubasi pada 350C selama 18 jam, konsentrasi antimikrobia yang menghasilkan daerah bersih dibaca sebagai MIC (Hugo dan Russell, 2005). Uji kepekaan cara dilusi cair dengan menggunakan tabung reaksi, tidak praktis dan jarang dipakai, namun kini ada cara yang lebih sederhana dan banyak dipakai, yakni menggunakan microdilution plate. Keuntungan uji mikrodilusi cair adalah bahwa uji ini memberikan hasil kuantitatif yang menunjukkan jumlah anti mikrobia yang dibutuhkan untuk mematikan bakteri (Jawetz et al., 2005). Metode dilusi padat atau cair pada prinsipnya adalah antibakteri diencerkan sampai diperoleh beberapa konsentrasi. Pada dilusi cair, masingmasing konsentrasi obat ditambah suspensi kuman dalam media. Sedang pada dilusi padat tiap konsentrasi obat dicampur dengan media agar, lalu ditanami bakteri. Metode dilusi cair adalah metode untuk menentukan konsentrasi minimal dari suatu antibakteri menghambat atau membunuh mikroorganisme konsentrasi terendah yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri ditunjukkan dengan ketidaksamaan adanya kekeruhan disebut Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) atau Minimal Inhibitory Concentration (MIC) (Anonim, 2007).
b.
Metode Difusi Metode yang paling sering digunakan untuk uji aktivitas antibakteri adalah
metode difusi agar (Jawetz et al., 2005). Metode ini dilakukan dengan
14
menyiapkan suspensi standar yang digunakan (0,5 standar McFarland) untuk pertumbuhan fase log (Hugo dan Russell, 2005). Cakram kertas saring berisi sejumlah tertentu obat ditempatkan pada permukaan medium padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji pada permukaannya. Setelah inkubasi, diameter zona hambatan sekitar cakram digunakan untuk mengukur kekuatan hambatan obat terhadap organisme uji (Jawetz et al., 2005). Penggunaan cakram tunggal pada setiap antibiotik dengan standardisasi yang baik, bisa menentukan apakah bakteri peka atau resisten dengan cara membandingkan zona hambatan standar bagi obat yang sama (Jawetz et al., 2005). Metode difusi ini pada dasarnya adalah untuk pengukuran kualitatif, meskipun hal ini mungkin saja untuk mendapatkan beberapa informasi tentang derajat aktivitas tergantung dari ukuran zona hambatan (Hugo dan Russell, 2005). 6. Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar, selain kromatografi kertas dan elektroforesis (Rohman dan Gandjar, 2007). Pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam pada permukan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat alumunium atau pelat plastik (Rohman, 2009). Prinsip KLT tradisional sangat sederhana, yakni campuran solut yang akan dipisahkan ditotolkan pada permukaan lempeng tipis lalu dikembangkan di dalam chamber menggunakan fase gerak yang sesuai. Kekuatan interaksi yang berbeda antara solut dengan fase diam atau fase gerak akan menghasilkan mobilitas dan pemisahan yang berbeda (Rohman dan Gandjar, 2007).
15
Fase diam yang paling sering digunakan pada KLT adalah silika dan serbuk selulosa. Lapis tipis yang digunakan sebagai fase diam juga dapat dibuat dari silika yang telah dimodifikasi, resin penukar ion, gel eksklusi dan siklodekstrin yang digunakan untuk pemisahan kiral (Rohman, 2009). Fase gerak dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencobacoba karena waktu yang diperlukan hanya sebentar. Sistem yang paling sederhana ialah dengan menggunakan campuran dua pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal (Rohman, 2009). Retensi solut pada kromatografi lapis tipis dan kromatografi lapis tipis kinerja tinggi dicirikan dengan faktor retardasi solut (Rf) yang didefinisikan sebagai jarak migrasi solut terhadap jarak ujung fase geraknya. Rf =
Jarak yang ditempuh solut Jarak yang ditempuh fase gerak
(1) (Rohman dan Gandjar, 2007).
7. Bioautografi Bioautografi merupakan metode yang spesifik untuk menentukan hasil pada kromatogram yang mempunyai aktivitas sebagai antibakteri, antifungi, dan antiviral sehingga mendekatkan metode separasi dengan uji biologis. Keuntungan metode ini adalah sifatnya yang efisien untuk mendeteksi adanya senyawa antimikroba karena letak bercak dapat ditentukan walaupun berada dalam campuran yang kompleks sehingga memungkinkan untuk mengisolasi senyawa aktif tersebut. Ada dua metode bioautografi yang dapat digunakan, yaitu: a.
Metode langsung
16
Pada prakteknya KLT diletakkan pada permukaan media agar di dalam permukaan petri yang telah diinokulasi dengan mikroorganisme yang sensitif untuk antibiotik yang akan dipelajari. Setelah diinkubasi pada waktu tertentu akan tampak zona yang jernih pada lapisan media agar, antibiotik berdifusi kelapisan tersebut dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme, sedangkan lapisan media agar yang ditumbuhi mikroorganisme akan tampak buram (Pratiwi, 2008). b.
Metode overlay Metode biautografi secara overlay dilakukan dengan menuangkan media
agar pada lempeng KLT yang sudah dicampur mikroorganisme, kemudian media ditunggu hingga padat kemudian diinkubasi. Area hambatan ditunjukan dengan penyemprotan tetrazolium klorida. Senyawa antimikroba ditandai dengan area jernih dengan latar ungu (Pratiwi, 2008).
E. Landasan Teori Tanaman ceremai (Phyllanthus Acidus (L.) Skeels) memiliki aktivitas antibakteri (Melendez, 2006; Satish et al., 2007; Jagessar et al., 2008). Hasil penelitian Jagessar et al., (2008) menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) memiliki aktivitas antibakteri terhadap
Escherichia coli dengan zona hambat sebesar 11 mm dan 20 mm untuk Staphylococcus aureus. Penelitian Erwiyani (2009) menunjukkan bahwa ekstrak etanol buah ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) mengandung senyawa polifenol dan saponin serta mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus
17
dan Escherichia coli dengan Kadar Bunuh Minimal (KBM) terhadap
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli berturut-turut sebesar 0,5% dan 1%. Sedangkan pada penelitian Prasetya (2010) ekstrak etanol buah ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) terbukti mengandung senyawa polifenol yang mempunyai aktivitas antijamur terhadap Candida albicans dengan Kadar Bunuh Minimal (KBM) sebesar 15%. Dalam penelitian lain fraksi etil asetat ekstrak etanol buah ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) memiliki aktivitas antibakteri terhadap
Staphylococcus aureus multiresisten antibiotik dengan KBM sebesar 0,25% dan 0,5% terhadap Escherichia coli multiresisten antibiotik (Hapsoro, 2010). Sedangkan pada fraksi residu ekstrak etanol buah ceremai terbukti mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli multiresisten antibiotik dengan nilai KBM adalah 1% (Laksono, 2010).
F. Hipotesis Fraksi etil asetat ekstrak etanol buah ceremai (Phyllanthus acidus (L.) Skeels) mempunyai aktivitas antibakteri terhadap Pseudomonas aeruginosa dan
Klebsiella pnumoniae.