BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Karies merupakan salah satu masalah dalam penyakit gigi dan sering dijumpai dalam kehidupan. Penyebab utama karies gigi adalah adanya plak yang terbentuk di permukaan (enamel) gigi. Di Indonesia, survei Direktorat Kesehatan Gigi tahun 2004 menyebutkan bahwa prevalensi karies gigi di Indonesia berkisar antara 85%-99%. Pada usia 12 tahun, angka prevalensi karies gigi sebesar 97,5% dengan DMF-T (Decayed, Missing, Filled-Teeth) rata-rata sebesar 2,5. Adanya karies gigi dapat menyebabkan nyeri, penanggalan gigi, gigi berlubang, infeksi, dan bahkan kematian. Oleh karena itu, perlu adanya pencegahan timbulnya plak dan karies gigi. Bakteri yang berperan penting dalam pembentukan plak dan karies gigi ini adalah bakteri yang membentuk polisakarida seluler. Salah satu yang paling berperan besar, yaitu Streptococcus mutans, bakteri yang termasuk dalam kelompok Streptococcus hemolitik alfa (Roeslan, 1996). Bakteri S. mutans ini banyak ditemukan di rongga mulut. Plak dan karies yang diakibatkan oleh bakteri Gram positif tersebut dapat dicegah dengan pemberian antibakteri (Mollet and Grubenmann, 2001). Ekstrak daun sirih memiliki aktivitas antibakteri yang dapat mencegah pembentukan plak gigi (Fathilah et al., 2000), dengan hydroxychavicol sebagai senyawa utama yang dinilai berperan dalam aktivitas antibakteri dalam ekstrak daun sirih (Nalina dan Rahim, 2007). Penggunaan ekstrak secara langsung sebagai 1
2
antibakteri dalam mulut dinilai tidak praktis dan mengurangi estetika, seperti pada kegiatan menyirih dan berkumur menggunakan air seduhan daun sirih seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Indonesia sejak dulu. Hal inilah yang menyebabkan ekstrak daun sirih dibuat dalam sediaan buccal mucoadhesive patch. Buccal mucoadhesive patch merupakan bentuk sediaan yang sesuai karena dapat melekat pada mukosa dalam mulut, nyaman digunakan, fleksibel, dapat dilepas bila sudah tercapai dosis yang diharapkan, dan tidak terpengaruh first pass metabolism (Kaul et al., 2011). Penggunaan
polimer
diperlukan
untuk
membentuk
sistem
buccal
mucoadhesive. Chitosan merupakan polimer yang banyak dipakai dalam pembuatan bukal adhesif karena non-toksik dan dapat meningkatkan absorpsi serta dapat melekat pada mukosa mulut (Rasool and Khan, 2010). Pemberian ekstrak daun sirih dengan konsentrasi yang semakin besar dapat meningkatkan aktivitas antibakteri patch. Namun, penambahan ekstrak daun sirih saja tanpa penambahan suatu bahan plasticizer dan release enhancer dapat menyebabkan patch menjadi mudah rusak, kurang fleksibel, dan tidak elastis karena ekstrak daun sirih tidak mudah menyerap air dan mempertahankan kelembaban dalam sediaan. Bahan plasticizer sendiri mampu meningkatkan kelenturan dari patch (Semalty and Semalty, 2008). Sementara itu, bahan release enhancer dapat meningkatkan persentase pengembangan patch yang terkait dengan sifat fisiknya (Patel et al., 2007). Pada kesempatan ini, penelitian difokuskan pada pengaruh variasi konsentrasi ekstrak daun sirih terhadap aktivitas antibakteri dan sifat fisik buccal mucoadhesive patch.
3
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, dapat dirumuskan suatu permasalah sebagai berikut : 1.
Bagaimanakah pengaruh variasi konsentrasi ekstrak daun sirih terhadap sifat fisik buccal mucoadhesive patch ekstrak daun sirih?
2.
Bagaimanakah pengaruh variasi konsentrasi ekstrak daun sirih terhadap aktivitas antibakteri buccal mucoadhesive patch ekstrak daun sirih?
C.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini akan memberikan informasi mengenai pengaruh peningkatan konsentrasi ekstrak daun sirih terhadap sifat fisik dan aktivitas antibakteri dari sediaan patch. Dengan demikian, formulasi patch dengan konsentrasi ekstrak daun sirih yang optimal dapat digunakan sebagai salah satu alternatif sediaan antibakteri untuk mencegah penyakit karies gigi yang menyenangkan dan mudah digunakan oleh masyarakat. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk penelitian sejenis yang bisa dikembangkan mengenai formulasinya, sehingga menghasilkan patch dengan aktivitas antibakteri yang optimal dan sifat fisik yang memenuhi standard.
D. 1.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum Menemukan alternatif dalam pencegahan karies gigi dan gigi berlubang menggunakan sediaan baru yang lebih efisien dan nyaman untuk digunakan di masyarakat.
4
2.
Tujuan khusus Mengetahui pengaruh variasi konsentrasi ekstrak daun sirih sebesar 1%, 2%, dan 3% (b/v) yang telah dikombinasikan dengan chitosan terhadap aktivitas antibakteri dan sifat fisik patch.
E. 1.
Tinjauan Pustaka
Tanaman Sirih (Piper betle L.) a.
Klasifikasi Kindom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledone
Bangsa
: Diperales
Suku
: Diperaceae
Marga
: Piper
Jenis
: Piper betle Linn (Depkes RI, 2000)
b.
Nama simplisia : Piperis Folium (daun sirih)
c.
Nama daerah
Sumatera
: Ranub (Aceh), Blo, Sereh (Gayo)
Kalimantan
: Uwit (Dayak), Sirih (Sampit)
Jawa
: Seureuh (Sunda), Sedah, Suruh (Jawa), Sere (Madura)
Bali
: Base, Sedah
Sulawesi
: Ganjang, Gapura (Bugis)
5
Maluku
: Amu
(Rumakai,
Elpaputi,
Ambon,
Alias)
(Depkes RI, 1989)
Gambar 1. Tanaman Sirih (Junaidi, 2011)
d.
Deskripsi Tanaman Tumbuh memanjat, tinggi 5 m sampai 15 m. Helaian daun berbentuk bundar telur atau bundar telur lonjong, pada bagian pangkal berbentuk jantung atau agak bundar, tulang daun bagian bawah gundul atau berambut agak pendek, tebal, berwarna putih, panjang 5 cm sampai 18 cm, lebar 2,5 cm sampai 10,5 cm, bunga bentuk bulir berdiri sendiri di ujung cabang dan berhadapan dengan daun. Daun pelindung berbentuk lingkaran, bundar telur terbalik atau lonjong, panjang kirakira 1 mm. Bulir jantan, panjang gagang 1,5 cm sampai 3 cm, benang sari sangat pendek. Bulir betina, panjang gagang 2,5 cm sampai 6 cm. Kepala putik 3 sampai 5. Buah buni, bulat dengan ujung gundul. Bulir masak berambut kelabu, rapat, tebal 1 cm sampai 1,5 cm. Biji membentuk lingkaran. Tanaman sirih tumbuh subur pada tanah yang kaya akan humus, subur, dan pengairan yang baik (Dalimartha, 2000).
6
d.
Budidaya Untuk memperbanyak tanaman, selalu digunakan stek sulur. Stek diambil dari sulur yang tumbuh di bagian ujung atas sepanjang 40 cm sampai 50 cm. Untuk pertumbuhan, sirih memerlukan sandaran hidup pohon seperti dadap, kapok randu, kelor, waru atau gamal. Stek dari pohon-pohon ini disiapkan penanamannya dalam musim hujan sebelum menanam sirih. Sandaran ditanam dengan jarak 1,5 m panjang stek atau stump 3 m atau 4 m. Tiap selang dua baris dibuat selokan atau parit untuk mengalirkan air karena sirih tidak tahan terhadap tanah yang terlalu basah. Selokan ini digunakan juga untuk mengairi sirih dimusim kemarau, karena dalam keadaan kering pembentukan daunnya akan berkurang atau berhenti sama sekali (Depkes RI, 1989).
e.
Kandungan Kimia Daun sirih mengandung 1-4,2% minyak atsiri, mengandung chavikol, chavibetol, allylpyrocatechol, karvakrol, eugenol methylether, cineole (Dalimartha, 2000). Selain itu, terdapat juga terpeneba, seskuiterpena, fenil propan, tanin: diastase 0,8% - 1,8% gula; pati (Depkes RI, 1989). Kandungan senyawa fenolik hydroxychavicol berperan sebagai antibakteri (Nalina dan Rahim, 2007).
f.
Khasiat tanaman Daun Piper betle L. berkhasiat sebagai antisariawan, antibakteri, anti batuk, adstringen, dan antiseptik (Depkes RI, 1980). Daun sirih digunakan untuk obat sakit kulit, obat bisul, hidung berdarah, radang
7
selaput lender mata, trachoma, mulut berbau, keputihan, gigi goyah, gusi bengkak, radang tenggorokan, encok, jantung berdebar-debar, kepala pusing, terlalu banyak keluar air susu, batuk kering, demam nifas, sariawan, dan anti bau badan (Aliadi et al., 1996). Getahnya digunakan untuk menghentikan gusi berdarah, sakit gigi, obat kumur, mengurangi produksi air susu (Depkes RI, 1989). 2.
Streptococcus mutans Secara taksonomi, Streptococcus mutans diklasifikasikan sebagai berikut Kingdom : Bacteria Divisio
: Firmicutes
Class
: Bacilli
Order
: Lactobacilalles
Family
: Streptococcaceae
Genus
: Streptococcus
Species
: Streptococcus mutans (Marsh, 2004)
Gambar 2. Streptococcus mutans (Facklam, 2010)
8
S. mutans merupakan bakteri gram positif, bersifat nonmotil (tidak bergerak), bakteri anaerob fakultatif, memiliki bentuk single coccus, bentuk bulat, atau bulat telur tersusun dalam rantai dengan diameter 0,6 – 1,0 μm. Bakteri ini tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 18o – 40o C dengan pH antara 7,4 - 7,6 (Marsh, 2003). Habitat utama S. mutans adalah pada mulut, faring, dan usus (Loesche, 1986) dan menjadi bakteri yang paling kondusif menyebabkan karies pada gigi. S. mutans merupakan bakteri patogen pada mulut yang menjadi agen utama penyebab timbulnya plak, gingivitis, dan karies gigi (Pratama, 2005). Bakteri ini bersifat asidogenik, yaitu menghasilkan asam dan bersifat asidurik, mampu tinggal pada lingkungan asam. S. mutans mampu menghasilkan suatu polisakarida yang lengket disebut dextran. Konsentrasi asam yang tinggi dapat mengakibatkan demineralisasi email gigi dan menghancurkan fosfat (zat kapur) yang terkandung di dalam email, sehingga mengakibatkan terbentuknya rongga atau lubang (Nugraha, 2008). Oleh karena kemampuan ini, S. mutans bisa menyebabkan kelengketan dan mendukung bakteri lain hidup di email gigi dan meningkatkan pertumbuhan bakteri asidodurik yang lainnya. Ada korelasi antara infeksi Streptococcus mutans dengan timbulnya karies gigi yang signifikan pada remaja (Zickert et al., 1982). Dengan adanya senyawa chlorhexidine (suatu agen antimikroba) mampu menekan inkesi S. mutans yang jumlahnya melebihi 250 x 103 CFU/mL saliva. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Zickert. (1982) mendukung konsep bahwa S. mutans adalah suatu mikroorganisme kariogenik yang dapat membentuk plak pada gigi.
9
3.
Antibakteri Antibakteri ialah obat pembasmi bakteri, khususnya bakteri yang merugikan
manusia. Obat yang digunakan untuk membasmi bakteri harus bersifat toksisitas selektif, artinya suatu obat berbahaya bagi parasit, tetapi tidak membahayakan inang. Toksisitas selektif lebih bersifat relatif, artinya suatu obat yang pada konsentrasi tertentu dapat ditoleransi oleh inang, dapat merusak parasit (Ganiswarna, 1999). Berdasarkan sifat toksisitas selektif, antibakteri terbagi menjadi dua, yaitu bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri) dan bakteriosidal (membunuh bakteri) (Pelczar and Chan, 1988). Konsentrasi minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan bakteri disebut konsentrasi hambat minimal (KHM), sedangkan konsentrasi minimal yang diperlukan untuk membunuh mikroba disebut konsentrasi bunuh minimal (KBM). Secara garis besar, terdapat empat mekanisme kerja antibakteri, yaitu mekanisme penghambatan sintesis dinding sel, penghambatan fungsi selaput sel, penghambatan sintesis protein, dan penghambatan metabolisme sel bakteri (Jawetz et al., 2008). Mekanisme pertama ditujukan untuk dinding sel bakteri yang terdiri dari polipeptidoglikan, yaitu suatu kompleks polimer mukopeptida (glikopeptida). Karena tekanan osmotik dalam sel bakteri lebih tinggi daripada luar sel, kerusakan dinding sel bakteri akan menyebabkan terjadinya lisis. Sedangkan mekanisme penghambatan fungsi selaput sel dilakukan oleh bakteri yang mengubah tegangan permukaan, sehingga dapat merusak permeabilitas selektif dari membran sel bakteri. Kerusakan membran sel menyebabkan
10
keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel bakteri, yaitu protein, asam nukleat, nukleotida, dan lain-lain. Penghambatan sintesis protein dilakukan melalui aktivitas penghambatan translasi dan transkripsi bahan genetik. Mekanisme kerja lainnya adalah dengan penghambatan metabolisme sel bakteri, yaitu dengan penghambatan kerja enzim yang penting bagi pembunuhan bakteri. Faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas antibakteri, diantaranya pH lingkungan, komponen pembenihan, stabilitas zat aktif, besarnya inokulum, masa pengeraman, dan aktivitas metabolik bakteri (Jawetz et al., 2008). Bakteri yang aktif dan tumbuh cepat lebih peka terhadap daya kerja zat aktif daripada bakteri yang berada dalam keadaan istirahat. 4.
Mekanisme Kerja Antibakteri Senyawa Fenolik Mekanisme dan cara kerja senyawa fenolik sebagai zat antibakteri adalah
dengan cara meracuni protoplasma, merusak dan menembus dinding sel, serta mengendapkan protein sel mikroba. Komponen fenol juga dapat mendenaturasi enzim yang bertanggung jawab terhadap germinasi spora atau berpengaruh terhadap asam amino yang terlibat dalam proses germinasi. Senyawa fenolik bermolekul besar mampu menginaktifkan enzim esensial di dalam sel mikroba meskipun pada konsentrasi yang sangat rendah. Senyawa fenol mampu memutuskan
ikatan
peptidoglikan
saat
menerobos
dinding
sel.
Ikatan
peptidoglikan ini secara mekanis memberi kekuatan pada sel bakteri. Jenis bakteri yang digunakan dalam penelitian ini sebagai bakteri uji adalah bakteri Gram positif dengan dinding selnya mengandung 90% peptidoglikan serta lapisan
11
tipis asam teikoat dan asam teikuronat yang bermuatan negatif (Madigan et al., 2003). Menurut Naidu (2000) dalam Yulianti (2009) dalam Lela (2010), setelah menerobos dinding sel, senyawa fenol akan menyebabkan kebocoran isi sel dengan cara merusak ikatan hidrofobik komponen membran sel (seperti protein dan fosfolipida) serta larutnya komponen-komponen yang berikatan secara hidrofobik yang berakibat meningkatnya permeabilitas membran. Kerusakan pada membran sel mengakibatkan terhambatnya aktivitas dan biosintesis enzim-enzim spesifik yang diperlukan dalam reaksi metabolisme. 5.
Uji Aktivitas Antibakteri Tingkat aktivitas suatu senyawa antimikroba dapat dilakukan dengan
beberapa metode, diantaranya adalah metode difusi agar. Metode difusi agar adalah suatu prosedur yang bergantung pada difusi senyawa antimikrobial ke dalam agar. Senyawa antimikrobial tersebut diserapkan pada kertas cakram yang berdiameter 6 mm. Kertas cakram ditempatkan pada permukaan media yang telah diinokulasikan dengan bakteri patogen atau jamur yang akan diuji. Setelah diinkubasi selama 24 jam pada temperatur 37oC, diamati diameter daerah hambatan di sekitar kertas cakram. Daerah hambatan yang terbentuk sebagai daerah bening di sekitar kertas cakram menunjukkan mikroorganisme yang diuji telah dihambat oleh senyawa yang berdifusi ke dalam kertas cakram (Jawetz, 2008).
12
a. Metode difusi agar Metode yang paling sering digunakan adalah metode difusi agar yang digunakan untuk menentukan aktivitas antimikroba. Kerjanya dengan mengamati daerah yang bening, yang mengindikasikan adanya hambatan pertumbuhan mikroorganisme oleh antimikroba pada permukaan media agar (Jawetz et al., 2008). Metode difusi ini dibagi atas beberapa cara (Pratiwi, 2008), diantaranya adalah 1)
Cara silinder plat Cara ini dengan memakai alat pecadang berupa silinder kawat. Pada
permukaan media pembenihan dibiakkan mikroba secara merata lalu diletakkan pencadang silinder harus benar-benar melekat pada media, kemudian
diinkubasi
inkubasi,pencadang
pada
silinder
suhu diangkat
dan dan
waktu diukur
tertentu.
Setelah
daerah
hambat
pertumbuhan mikroba. 2)
Cara cakram Cakram kertas yang berisi antibiotik diletakkan pada media agar yang
telah ditanami mikroorganisme yang akan berdifusi pada media agar tersebut. 3)
Cara cup plat Cara ini juga sama dengan cara cakram, dimana dibuat sumur pada
media agar yang telah ditanami dengan mikroorganisme dan pada sumur tersebut diberi antibiotik yang akan di uji.
13
b. Metode dilusi Metode dilusi dibedakan menjadi dua, yaitu dilusi cair (broth dilution) dan dilusi padat (solid dilution). Saat ini, para peneliti lebih memilih metode dilusi cair yang dimodifikasi, yaitu mikrodilusi sebagai metode pengujian aktivitas antibakteri dari suatu senyawa. 1)
Metode dilusi cair Metode ini mengukur MIC (minimum inhibitory concentration atau
konsentrasi hambat minimum, KHM) dan MBC (minimum bacteriocidal concentration atau konsentrasi bunuh minimum, KBM). Caranya dengan membuat pengenceran antimikroba pada medium cair yang ditambahkan dengan mikroba uji. Larutan uji antibiotik pada konsentrasi terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang ditetapkan sebagai KHM selanjutnya dikultur ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji ataupun antibiotik, dan diikubasi selam 18-24 jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah diinkubasi ditetapkan sebagai KBM (Pratiwi, 2008). 2)
Metode dilusi padat Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun menggunakan
media padat (soil). Keuntungan metode ini adalah suatu konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji.
14
3)
Metode mikrodilusi Metode mikrodilusi saat ini sedang dikembangkan karena metode
difusi agar yang sering digunakan memiliki keterbatasan. Metode mikrodilusi memungkinkan penentuan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dari beberapa macam sampel dan sampel yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit. Hal ini penting jika senyawa antimikroba yang ingin diuji jumlahnya terbatas, seperti yang terjadi pada banyak bahan alam. Metode ini juga dapat digunakan untuk mikroorganisme yang beragam, tidak mahal, dan menghasilkan hasil yang dapat diulang (Eloff, 1998). Selain itu, dengan menggunakan
metode
mikrodilusi,
dapat
dibedakan
antara
efek
bakteriostatik dan bakterisidal, serta dapat menentukan nilai KHM secara kuantitatif (Langfield et al., 2004). Mikrodilusi lebih sensitif dibandingkan dengan metode lain. Pengerjaan teknisnya tidak membutuhkan keahlian yang tinggi dan hemat waktu. Metode mikrodilusi menggunakan microplate sebagai instrumennya. Setiap sumur pada microplate diisi oleh media pertumbuhan, ekstrak yang ingin diuji aktivitasnya, dan kultur bakteri. Jumlah kulturbakteri yang digunakan pada metode mikrodilusi biasanya 1x106CFU/mL (Basri dan Fan, 2005). Beberapa peneliti menggunakan kultur bakteri yang memiliki optical density 0,4 (fase log) pada panjang gelombang 620 nm atau kultur cair yang telah distandardisasi dengan larutan standar kekeruhan McFarland 0,5. Larutan McFarland dibuat dari campuran barium klorida dan asam sulfat sehingga menghasilkan larutan yang keruh. Kultur cair bakteri disamakan
15
absorbannya dengan absorban McFarland 0,5 (antara 0,08 sampai 0,1) sehingga dihasilkan bakteri dengan jumlah 1,5 x 108CFU/mL. Beberapa teknik digunakan dalam pengamatan pertumbuhan bakteri pada metode mikrodilusi, yaitu menggunakan larutan indikator, pengamatan kekeruhan, atau dengan pembacaan absorban menggunakan microplate reader. Beberapa peneliti menggunakan larutan pewarna indikator (Ellof, 1998) atau spektrofotometri untuk menentukan keberadaan pertumbuhan di microplate (Devienne and Raddi, 2002). Penggunaan indikator kolorimetrik menghilangkan kebutuhan untuk microplate reader dan mencegah keambiguan dengan pengamatan visual. Larutan indikator yang digunakan diantaranya adalah garam tetrazolium (Ellof, 1998) dan diasetat fluorescein (Chand et al., 1994). c. Metode bioautografi Merupakan metode spesifik untuk mendeteksi bercak pada kromatogram hasil KLT (kromatografi lapis tipis) yang mempunyai aktivitas antibakteri, antifungi, dan antivirus. Keuntungan metode ini adalah sifatnya yang efisien untuk mendeteksi senyawa antimikroba karena letak bercak dapat ditentukan walaupun berada dalam campuran yang kompleks sehingga memungkinkan untuk mengisolasi senyawa aktif tersebut. Kerugiannya adalah metode ini tidak dapat digunakan untuk menentukan KHM dan KBM (Pratiwi, 2008). 6.
Karies Gigi Dua kelainan gigi yang paling umum adalah karies dan maloklusi. Karies
gigi berarti erosi pada gigi, sedangkan maloklusi berarti adanya kegagalan
16
proyeksi gigi atas dan gigi bawah untuk saling berinterdigitasi dengan tepat (Guyton dan Hall, 1997). Foto karies gigi dapat dilihat pada gambar 3.
Gambar 3. Karies Gigi (Veira, 2010)
Karies disebabkan oleh pengaruh kerja bakteri pada gigi dan bakteri yang paling umum adalah S. mutans (Roeslan, 1996). Peristiwa awal timbulnya karies adalah pengendapan plak. Plak merupakan suatu lapisan tipis/film atau hasil pengendapan liur dan makanan pada gigi tersebut. Sejumlah besar bakteri menempati plak ini dan siap menyebabkan karies. Bakteri ini bergantung pada karbohidrat. Bila tersedia karbohidrat, sistem metabolismenya segera diaktifkan dan bakteri itu memperbanyak diri. Selain itu, bakteri memproduksi asam dan enzim proteolitik. Asam ini merupakan bahan perusak utama yang menyebabkan timbulnya karies, sebab pada media yang sangat asam secara lambat garam-garam kalsium gigi akan dilarutkan dan sekali garam diabsorpsi, maka matriks yang tersisa dengan cepat dicerna oleh enzim proteolitik. Dibandingkan dengan dentin, enamel lebih tahan terhadap proses demineralisasi oleh asam. Hal ini terutama terjadi karena kristal yang terdapat pada enamel sangat padat dan juga voluemnya kira-kira 200 kali lebih besar dari pada volume kristal pada dentin. Oleh karena
17
itu, enamel pada gigi dianggap sawar utama terhadap kemungkinan tumbuhnya karies (Guyton dan Hall, 1997). 7.
Buccal Mucoadhesive Patch Buccal mucoadhesive patch adalah bentuk sediaan obat yang berdasar pada
mukoadhesif sistem dan digunakan di daerah antara bagian dalam pipi dengan gusi bagian atas. Menurut Mathiowitz et al. (1999) ukuran ketipisan patch bukal antara 0,5-1,0 mm, apabila lebih kecil akan menyulitkan dalam pemakaiannya. Pelepasan zat aktif pada suatu patch dikenal dengan metode tidak langsung. Menurut Lenaerts et al. (1990), patch terdiri dari 3 lapisan yaitu (1) Permukaan dasar mukoadhesif terdiri dari polimer biodhesif polikarbopil, (2) permukaan membran yang merupakan tempat terlepasnya obat, (3) permukaan impermeable, yang langsung bersentuhan dengan mukosa. Guna mendukung sistem tersebut, dibutuhkan eksipien yang berfungsi sebagai polimer mukoadhesif. Menurut Grabovac et al. (2005), polimer mukoadhesif adalah makromolekul natural sintesis yang mampu bekerja pada permukaan mukosa. Polimer mukoadhesif dianggap dapat sebagai terobosan baru sebagai sediaan lepas lambat dan meningkatkan sistem penghantaran obat secara lokal. Beberapa jenis polimer dapat digunakan untuk pembuatan buccal patch dan basis hydrogel. Beberapa turunan polimer alam yang dapat digunakan meliputi agarose, gelatin dan turunan selulosa dari asam hialuronik serta chitosan. Sedangkan polimer sintesis mukoadhesif yang dapat digunakan seperti poliakrilat dan co-polimer dari asam poliakrilik. Selain polimer tersebut di atas, masih ada
18
beberapa polimer yang dimungkinkan dapat digunakan sebagai polimer mukoadhesif, antara lain polisakarida, guar, karboksimetilselulosa dan DEAEdextran (Harding, 2003). Polimer mukoadhesif terdiri dari polimer anionik (PAA, karbopol, PCP, Na-CMC, Na-Hialuronik, Na-Alginat), polimer kationik (Chitosan), polimer non-ionik (hidroksietilsellulosa, hidroksipropilsellulosa, PVP4400, PEG6000) dan polimer thiomer (konjugat cysteine dan PAA, polikarbopil dan Na-CMC) (Grabovac et al., 2005). Bentuk sediaan bukal patch didesain menjadi bentuk sediaan controlled release, di mana controlled release dibagi menjadi extended release, sustained release dan prolonged release. Sediaan prolonged release mulanya membuat ketersediaan obat di dalam tubuh dalam jumlah yang cukup untuk dapat menghasilkan respon farmakologis yang diinginkan. Bentuk sediaan tersebut juga memungkinkan untuk dapat mengisi kembali pasokan obat di dalam tubuh dan memperpanjang waktu respon farmakologis sehingga dapat dipertahankan dibandingkan dengan obat dosis tunggal. Pada prolonged release, ketersediaan obat pada indeks terapi tidak dijaga konstan. Sustain release adalah desain obat yang didesain untuk melepaskan sejumlah kecil dari dosis total yang telah ditentukan ke dalam sistem pencernaan. Pelepasan dosis tersebut harus sejumlah dosis yang dapat mengakibatkan respon farmakologis sesegera mungkin, dimana obat tersebut harus konsisten dengan ketersediaan intrinsik obat untuk diabsorbsi dari saluran pencernaan. Dosis sisa kemudian dilepaskan secara cepat guna menjaga ketersediaan obat di dalam tubuh untuk beberapa periode waktu yang diinginkan.
19
8.
Komponen Dasar Sediaan Buccal Mucoadhesive Komponen dasar dari sediaan buccal mucoadhesive menurut Gandhi et al.,
(2011) adalah obat/zat aktif, polimer bioadhesif, backing membrane, dan bahan pengembang. a. Obat/zat aktif Obat/zat
aktif
yang
digunakan
dalam
formulasi
sediaan
buccal
mucoadhesive harus memenuhi persyaratan, antara lain dosis tunggal obat harus kecil, mempunyai T1/2 antara 2-8 jam untuk sediaan controlled release, Tmax obat menunjukkan nilai yang besar saat diberikan secara peroral, dan obat harus bisa diabsorpsi secara pasif pada pemakaian peroral. b. Polimer bioadhesif Pemilihan polimer yang tepat merupakan tahap yang penting dalam formulasi sediaan buccal mucoadhesive karena dapat mengontrol durasi dari pelepasan obat dari sediaan. Polimer bioadhesif yang dapat membentuk ikatan dengan rantai musin secara efektif menghasilkan sistem penghantaran yang lebih baik terhadap obat yang dipakai. Polimer bioadhesif yang ideal harus memenuhi karakteristik, antara lain inert dan kompatibel dengan obat/zat aktif, non-toksik dan mudah didegradasi oleh tubuh, mudah membentuk ikatan dengan rantai musin, tidak mudah terdekomposasi saat penyimpanan, dan mudah didapatkan di pasar.
20
Tabel I. Polimer yang sering Digunakan pada Sediaan Buccal Mucoadhesive (Kaul et al., 2011)
Kriteria
Kategori Semi-natural/natural
Asal Sintetik
Kelarutan
Larut air Tidak larut air Kationik
Muatan
Ikatan yang terbentuk
Anionik Non-ionik Kovalen Ikatan hidrogen Interaksi elektrostatik
Contoh Agarosa, chitosan, gelatin, karagenan, pektin, natrium alginat, xanthan Turunan selulosa: CMC, NaCMC, HPMC, HPC, metilhidroksietilselulosa Asam poliakrilat polimer: poliakrilat, PAA, PC, polioksietilen, PVP CP, HEC, HPC, HPMC (dalam air dingin), PAA, NaCMC, natrium alginat Chitosan (dalam asam), EC, PC Aminodekstran, chitosan, TMC Chitosan-ADTA, CP, CMC, pektin, PAA, PC, natrium alginat, xanthan Amilum hidroksietil, HPC, polietilen oksida, PVP Sianoakrilat Akrilat, CP, PC, PVA Chitosan
c. Backing membrane Backing membrane berperan penting saat proses perlekatan antara sediaan buccal mucoadhesive dengan membran mukosa. Bahan yang digunakan sebagai backing membrane harus inert dan impermeabel untuk obat/zat aktif dan bahan pengembang. Backing membrane yang memenuhi syarat tersebut dapat mencegah berkurangnya jumlah obat/zat aktif dalam sediaan. Bahan yang biasa digunakan sebagai backing membrane adalah carbopol, magnesium stearat, HPMC, HPC, polikarbofil, dan sebagainya. d. Bahan pengembang Bahan pengembang merupakan bahan yang memfasilitasi keluarnya obat dari sediaan menuju membran mukosa. Pemilihan bahan pengembang didasarkan
21
pada sifat fisikakimia obat, tempat administrasi obat, karakteristik bahan pengembang dan eksipien lainnya. 9.
Sistem Penghantaran Buccal Mucoadhesive Sistem penghantaran buccal mucoadhesive merupakan salah satu bentuk
penghantaran obat yang diaplikasikan dengan cara meletakkan obat diantara gusi dengan membran mukosa pada pipi bagian dalam. Sediaan mukoadhesif yang baik harus mempunyai kriteria sebagai berikut : a. Cepat melekat pada mukosa dan mempunyai kekuatan mekanik yang cukup untuk melepaskan obat. b. Pelepasan obat terkendali. c. Memfasilitasi laju dan tingkat absorp obat. d. Memberikan kenyamanan pada pasien (Kaul et al., 2011) Keuntungan sistem penghantaran bukal antara lain : a.
Pada bukal mukosa lebih banyak pembuluh darah dibanding dengan jaringan mukosa yang lain.
b.
Mengurangi efek metabolisme lintas pertama oleh hepar.
c.
Mudah dipakai dan mudah dilepas dari tempat pengaplikasian bila pengobatan harus dihentikan.
d.
Meningkatkan kerja dari banyak obat karena berlekatan langsung dengan mukosa.
e.
Penerimaan dari pasien yang lebih baik dibanding dengan sistem penghantaran oral karena nyaman digunakan (Andrews et al., 2009; Gandhi et al., 2011).
22
Sedangkan kerugian sistem penghantaran bukal antara lain : a. Daerah absorpsi bukal mukosa terbatas. b. Terbatas penyerapan daerah total luas permukaan selaput rongga mulut yang tersedia untuk penyerapan obat adalah 170 cm2 yang bisa diserapa hanya 50 cm2. c. Sekresi terus menerus dari air liur (0,5-2 L/hari) menyebabkan pengenceran obat. d. Bahaya sediaan tertelan saat makan ataupun minum. Penghantaran bukal mukoadhesif dibagi menjadi 3 tipe, yaitu tipe I yang merupakan sistem single layer dimana pelepasan obat ke semua arah. Pelepasan obat akibat sediaan yang mengembang. Tipe II merupakan sistem double layer dengan ditambahkan backing membran dibagian atas dari patch tersebut untuk menghindari kehilangan obat dari bagian atas sediaan menuju rongga mulut. Tipe III merupakan sistem yang memberikan pelepasan obat secara tidak langsung. Seluruh permukaan pada sediaan dilapisi dengan impermeable backing layer kecuali sisi yang kontak dengan bukal mukosa (Kaul et al., 2011).
Gambar 4. Desain sediaan bukal mukoadhesif (Kaul et al., 2011)
23
Patel et al. (2007) mengungkapkan bahwa kelekatan waktu mukoadhesi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain massa molekul dari polimer, waktu kontak antara polimer dan mukosa, rata-rata indeks pengembangan polimer dan membran biologi yang digunakan. 10.
Anatomi Mukosa Oral Mikroskop cahaya memperlihatkan perbedaan pola pematangan di epitel mukosa mulut manusia. Terdapat tiga lapisan pada mukosa di rongga mulut, yaitu jaringan epitel, jaringan ikat dan jaringan dasar. Rongga mulut dilapisi oleh jaringan epitel, dibawahnya terdapat jaringan dasar yang didukung oleh jaringan ikat (Gandhi et al., 2011). Epitel sebagai lapisan pelindung untuk jaringan dibawahnya, dibagi menjadi : 1) epitel non-keratin, pada langit-langit rongga mulut bagian lunak, bagian tengah permukaan lidah, dasar mulut, bibir dan pipi. 2) epitel ber-keratin, pada langit-langit rongga mulut bagian keras. Sel-sel epitel yang berasal dari sel dasar, mengalami pendewasaan, mengubah bentuk dan memperbesar ukuran saat bergerak menuju permukaan. Ketebalan epitel bukal pada manusia, anjing, dan kelinci telah ditetapkan sekitar 500-800 µm.
24
oral epithelium
papillary layer
reticular layer
Sub-mucosa
Gambar 5. Struktur mukosa oral (Kaul et al., 2011)
Membran basal membentuk lapisan khas antara jaringan ikat dan epitel. Dibutuhkan suatu kesatuan yang diperlukan antara epitel dan jaringan ikat pokok, dan berfungsi sebagai mekanisme pendukung untuk epitelium. Jaringan ikat pokok tersebut memberikan banyak properti mekanis dari mukosa mulut. Bukal epitel diklasifikasikan sebagai jaringan non-kreatin. Bukal epitel dapat ditembus oleh jaringan ikatan yang berbentuk kerucut. Jaringan ini, yang juga disebut lamina propria, terdiri dari serat kolagen, lapisan pendukung jaringan ikat, pembuluh darah, dan otot halus. Arteri bukal merupakan terminal dari beberapa cabang arteri wajah, arteri alveolar
25
posterior, dan arteri infra orbital adalah sumber utama pasokan darah ke lapisan pipi di rongga bukal (Kaul et al., 2011). 11.
Pemerian Bahan yang Digunakan a.
Polimer Kontak antara patch dan mukosa bukal adalah salah satu faktor kunci
dalam penghantaran bukal yang optimal. Hal ini menyebabkan penggunaan suatu bahan adhesive polimer dalam formulasi sistem penghantaran bukal (Kaul et al., 2011; Patel et al., 2007). Polimer yang tidak larut dalam saliva dapat digunakan sebagai matriks yang efisien. Matriks ini dapat mengendalikan kecepatan pelepasan obat sesuai dengan keinginan. Sementara itu, polimer yang larut saliva dapat digunakan untuk mngendalikan kecepatan pelepasan dimana laju disolusi polimer akan menekan laju pelepasan (Shojaei, 1998). 1)
Chitosan Chitosan adalah produk alamiah yang merupakan turunan dari
polisakarida chitin. Chitosan mempunyai nama kimia Poly Dglucosamine [beta (1-4) 2-amino-deoxy-D-glucose], bentuk chitosan padatan amorf berwarna putih dengan struktur kristal tetap dari bentuk awal chitin murni. Chitosan mempunyai rantai yang lebih pendek daripada rantai chitin. Kelarutan chitosan dalam larutan asam orrganik encer maupun kental dan sampai batas tertentu larut pada asam mineral anorganik (Rowe et al., 2006). Kelarutan chitosan adalah sedikit larut dalam air, tidak larut dalam etanol 95%, dan larutan netral
26
atau alkali lainnya di atas pH 6,5. Chitosan kering tidak mempunyai titik lebur. Bila chitosan disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama pada waktu sekitar 100oF, sifat kelarutannya dan viskositasnya akan berubah. Bila chitosan disimpan lama dalam keadaan terbuka (terjadi kontak dengan udara), akan terjadi dekomposisi, warnanya menjadi kekuningan, dan viskositas larutan menjadi berkurang. Hal ini dapat digambarkan seperti kapas atau kertas yang tidak stabil terhadap udara, panas, dan sebagainya. Chitosan dapat dimanfaatkan di berbagai bidang biokimia, obat-obatan atau farmakologi, pangan dan gizi, pertanian, mikrobiologi, penanganan air limbah, industri-industri kertas, tekstil membran atau film, kosmetik dan lain sebagainya. Pemilihan
chitosan
sebagai
polimer
didasarkan
atas
sifat
biodegradabilitas, biokompatibilitas, dan sifatnya yang tidak toksik. Dalam
cangkang
udang,
chitin
terdapat
sebagai
mukopolisakarida yang berkaitan dengan garam-garam anorganik, terutama kalsium karbonat (CaCO3), protein dan lipida termasuk pigmen-pigmen. Untuk memperoleh chitin dari cangkang udang melibatkan proses-proses pemisahan protein (deproteinasi) dan pemisahan mineral (demineralisasi). Sedangkan untuk mendapatkan chitosan dilanjutkan dengan proses deasetilasi. Reaksi pembentukan chitosan dari chitin merupakan reaksi hidrolisa suatu amida oleh suatu basa (Rifai, 2007). Chitin bertindak sebagai amida dan NaOH sebagai basanya. Mula-mula terjadi reaksi
27
adisi, dimana gugus –OH masuk ke dalam gugus NHCOCH3 kemudian terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga dihasilkan suatu amida, yaitu chitosan.
Gambar 6. Struktur Molekul Chitosan (Rifai, 2007)
b.
Ekstrak Daun Sirih Ekstrak daun sirih yang digunakan merupakan ekstrak kental yang diekstraksi dengan aquadest menggunakan teknik ekstraksi infundasi dan penguapan, sehingga mendapatkan konsistensi yang cukup tinggi. Ekstrak daun sirih berwarna coklat hitam pekat dengan bau yang khas. Daun sirih mengandung minyak atsiri, terdiri atas chavicol,
chavibetol,
allylpyrocatechol,
karvakrol,
eugenol
methylether, cineole (Dalimartha, 2000). Kandungan hydroxychavicol diketahui mempunyai aktivitas sebagai antibakteri (Nalina dan Rahim, 2007). c.
Asam Asetat Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka adalah senyawa kimia, asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk CH3-COOH, CH3COOH,
28
atau CH3CO2H. Asam asetat murni (disebut asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis tak berwarna, dan memiliki titik beku 16.7oC. Atom hidrogen (H) pada gugus karboksil (-COOH) dalam asam karboksilat seperti asam asetat dapat dilepaskan sebagai ion H+ (proton), sehingga memberikan sifat asam. Asam asetat adalah asam lemah monoprotik dengan nilai pKa = 4.8. Basa konjugasinya adalah asetat (CH3COO-). Sebuah larutan 1.0 M asam asetat (kira-kira sama dengan konsentrasi pada cuka rumah) memiliki pH sekitar 2.4 (Billqys, 2008). Struktur kristal asam asetat menunjukkan bahwa molekulmolekul
asam
asetat
berpasangan
membentuk
dimer
yang
dihubungkan oleh ikatan hidrogen. Dimer juga dapat dideteksi pada uap bersuhu 120oC. Dimer juga terjadi pada larutan encer di dalam pelarut tak berikatan hidrogen, dan kadang-kadang pada cairan asam asetat murni. Dimer dirusak dengan adanya pelarut berikatan hidrogen, misalnya air. Entalpi disosiasi dimer tersebut diperkirakan 65.0-66.0 kJ/mol, entropi disosiasi sekitar 154-157 J mol-1 K-1. Sifat dimerisasi ini juga dimiliki oleh asam karboksilat sederhana lainnya.
F.
Landasan Teori
Sediaan perasan, infus, ekstrak air-alkohol, ekstrak heksan, ekstrak kloroform, maupun ekstrak etanol dari daun sirih mempunyai aktivitas sebagai antibakteri terhadap gingivitis, plak dan karies (Suwondo et al.,1991). Penyebab
29
utama karies gigi adalah suatu bakteri Gram positif fakultatif anaerob S. mutans yang dapat menghasilkan asam (asidodurik) dan membentuk plak pada gigi (Nugraha, 2008; Loesche, 2006). Ekstrak air daun sirih terbukti memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri S. mutans dengan KHM sebesar 4,69 mg/mL (Fathilah et al, 2000) dengan senyawa aktif hydroxychavicol sebagai antibakteri (Nalina dan Rahim, 2007). Peningkatan konsentrasi ekstrak air daun sirih menghasilkan aktivitas antibakteri yang semakin besar pada bakteri Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus mutans (Arifin, 1990). Penggunaan ekstrak langsung pada mukosa oral sulit dan tidak praktis, sehingga perlu bentuk sediaan yang sesuai, praktis, dan efektif. Buccal mucoadhesive patch merupakan bentuk penyampaian obat pada mukosa oral yang tepat karena bentuknya yang tipis dan kecil, sehingga mudah, efektif, dan efisien untuk digunakan, dapat dilepas bila sudah tercapai dosis yang diinginkan, serta menghindari pengaruh dari first phase metabolism (Kaul et al., 2011; Lenaerts and Gurny, 1990). Dalam pembuatan buccal mucoadhesive patch, bahan polimer diperlukan untuk membentuk sistem mucoadhesive. Polimer mucoadhesive terdiri dari polimer kationik (Aminodekstran, chitosan, TMC), polimer anionik (ChitosanADTA, CP, CMC, pektin, PAA, PC, natrium alginat, xanthan), polimer non-ionik (Amilum hidroksietil, HPC, polietilen oksida, PVP), dan polimer thiomer (konjugat cysteine dan PAA, polikarbopil, dan Na-CMC) (Kaul et al., 2011; Grabocav et al., 2005). Chitosan banyak dipilih sebagai bahan polimer karena
30
bersifat biodegradable, biokompatibel, non-toksik, dapat melekat pada mukosa mulut, dan dapat meningkatkan absorpsi obat (Rasool dan Khan, 2010), serta kekuatan adhesifnya lebih besar dibanding polimer natural/seminatural lainnya (Gandhi et al., 2011). Pemberian ekstrak daun sirih dengan konsentrasi yang semakin besar dapat meningkatkan jumlah zat aktif dalam sediaan, sehingga mampu meningkatkan aktivitas antibakteri patch (Hamida, 2013). Penambahan suatu bahan pengembang (release enhancer substances) dan suatu plasticizer dapat meningkatkan persentasi swelling index dari patch karena sifatnya yang mudah menyerap air dan dapat berpengaruh terhadap sifat elastisitas patch (Patel et al., 2007), sehingga penambahan ekstrak daun sirih ke dalam formula patch tanpa adanya release enhancer substances tidak akan berpengaruh optimal terhadap sifat fisik sediaan buccal mucoadhesive patch.
G. Hipotesis Berdasarkan uraian landasan teori tersebut, hipotesis yang dirumuskan yaitu 1.
Kenaikan konsentrasi ekstrak pada formulasi patch sebesar 1%, 2%, dan 3% b/v tidak berpengaruh terhadap sifat fisik sediaan buccal mucoadhesive patch ekstrak daun sirih.
2.
Kenaikan konsentrasi ekstrak pada formulasi patch sebesar 1%, 2%, dan 3% b/v berpengaruh terhadap aktivitas antibakteri dari sediaan buccal mucoadhesive patch ekstrak daun sirih.