BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penggunaan sinar X telah lama dikenal dalam bidang kedokteran umum maupun kedokteran gigi sebagai suatu alat yang sangat membantu dalam suatu diagnosa penyakit gigi. Penemuan sinar-X oleh Wilhelm Conrad Rontgen merupakan salah satu peristiwa penting dalam dunia kedokteran karena sinar X dapat dipakai untuk aplikasi maupun diagnosa medis. Penggunaan sinar X sebagai radiasi pengion dapat dilihat dari hasil citra yang diperoleh karena sinar X mudah menembus jaringan biologis seperti kulit dan daging tetapi susah menembus tulang atau gigi. Salah satu pemanfaatan sinar X yaitu untuk dental radiography. Mulut adalah jendela kesehatan. Melalui kondisi mulut, seorang dokter tidak hanya bisa mendeteksi penyakit gigi saja, namun dapat juga digunakan untuk mendeteksi risiko berbagai penyakit kronis seperti diabetes, penyakit jantung, dan osteoporosis. Osteoporosis merupakan penyakit sistemik yang ditandai dengan karakteristik
densitas tulang yang rendah dan perubahan
mikroarsitektur tulang yang berdampak pada kerapuhan sehingga tulang rentan terhadap patah (White, 2002). Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Tjandra Yoga Aditama mengatakan bahwa kenaikan insiden patah tulang akibat osteoporosis terus meningkat sejak 2007-2010. Dari sekitar 20 ribu kasus pada 2007 meningkat menjadi sekitar 43 ribu kasus pada 2010. Data tersebut juga diperkuat dengan data dari Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2010, angka insiden patah tulang paha atas tercatat sekitar 200/100.000 kasus pada wanita dan pria di atas usia 40 tahun diakibatkan osteoporosis. WHO menunjukkan bahwa 50% patah tulang paha atas osteoporosis ini akan menimbulkan kecacatan seumur hidup dan menyebabkan angka kematian mencapai 30% pada tahun pertama akibat komplikasi imobilisasi (Depkes, 2012). Oleh karena dampak yang cukup significant atas osteoporosis dan penyakit tulang, maka dikembangkan suatu 1
2
pendeteksian penyakit tulang melalui analisis citra dental radiography. Osteoporosis ini juga berhubungan dengan densitas tulang rahang. Tulang yang mengalami osteoporosis kurang dapat menahan beban yang disebabkan berkontaknya gigi dengan antagonisnya. Hal ini akan memicu menyusutnya tulang rahang secara cepat. Kualitas tulang ditunjukkan dengan tingkat densitas tulang (Aminah et al., 2009). Penelitian di University of Manchester oleh Devlin dan Horner (2008) telah mencoba memberikan solusi dengan menganalisis citra radiografi panoramik gigi untuk menangani permasalahan tulang seperti halnya penyakit osteoporosis dengan melihat tanda-tanda awal penyakit dan menggabungkan informasi ini dengan beberapa pertanyaan klinis sederhana. Dalam penelitiannya, mereka merintis serangkaian alat yang dirancang untuk mendeteksi resiko osteoporosis dengan hanya melihat sejarah gigi-geligi selama beberapa tahun. Dalam serangkaian percobaan, Devlin menemukan bahwa kondisi tulang rahang dan gigi-geligi sangat identik dengan kondisi keseluruhan tulang. Gangguan yang muncul di daerah rahang dan gigi menunjukkan adanya masalah dengan kepadatan atau densitas tulang dalam tubuh. Temuan inilah yang kemudian mendorong Devlin untuk mengembangkan metode yang dapat menilai risiko osteoporosis. Pendeteksian penyakit-penyakit tersebut tidak lepas dari peran dental radiography. Menurut Knezovic-Zlataric dan Celebic (2005), pengukuran linier analisis kualitatif pada radiograf panoramik dapat dipergunakan sebagai penentu kualitas tulang, sekaligus untuk mengidentifikasi adanya resobsi dan osteoporosis.
Dalam pendeteksian penyakit tulang, resolusi spasial memiliki pengaruh yang cukup penting. Resolusi spasial merupakan ukuran terkecil dari suatu objek pada citra yang masih dapat disajikan, dibedakan dan dikenali. Resolusi spasial mengacu pada jumlah pixel yang digunakan dalam pembangunan citra digital (Parry-Hill et al., 2006). Resolusi spasial dari citra digital berhubungan dengan spatial density dari citra dan resolusi optik yang digunakan untuk menangkap citra. Jumlah pixel yang terdapat dalam citra digital dan jarak antara setiap pixel
3
merupakan fungsi dari akurasi dari perangkat digitalisasi (Parry-Hill et al., 2006). Pengukuran linier seperti pengukuran indeks radiomorfometri pada radiograf panoramik dapat dipergunakan untuk menilai densitas atau kualitas tulang rahang bawah (Widyaningrum, 2012). Pada dental radiography dari tulang gigi, terdapat perbedaan spasial density pada citra yang dikarenakan proses penekanan saat pengunyahan sehingga menimbulkan perbedaan densitas tulang yang akan mempengaruhi hasil citra digital dan dapat menimbulkan distorsi citra. Hal inilah yang menjadikan kalibrasi spasial menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Salah satu bentuk dental radiography yaitu pengambilan citra rontgen panoramik gigi-geligi pasien. Pencitraan panoramik digunakan untuk melihat gigi -geligi secara keseluruhan beserta jaringan tulang penyangganya sehingga dapat digunakan oleh seorang dokter gigi untuk mendiagnosa penyakit atau kelainan gigi pasien. Radiografi panoramik mencitrakan seluruh gigi-geligi dalam satu film (White dan Pharoah, 2009). Pencitraan panoramik merupakan pencitraan ekstraoral dengan menggunakan film atau detektor yang diletakkan di luar mulut. Citra yang dihasilkan oleh sinar X panoramik gigi dari seorang pasien sangat penting bagi seorang dokter gigi terutama untuk melihat adanya kelainan pada tulang dan gigi-geligi. Penerapan dental radiography juga terdapat pada teknik penanaman dental implant. Teknik ini sangat memerlukan akurasi dan ketepatan yang sangat tinggi, karena letak dental implant pada daerah yang sangat minimal, begitu juga dengan interpretasi pasca pemasangannya. Dalam proses ini dibutuhkan lebih dari satu citra radiography sebagai penunjang diagnosa, minimal foto panoramik, foto lateral dan foto periapikal. Sebelum pemasangan gigi implan, seorang dokter biasanya melakukan panoramic radiography untuk menilai kualitas tulang, kuantitas, dan anatomi gigi. Panoramic radiography mencitrakan tulang rahang atas dan rahang bawah sehingga dapat digunakan untuk mengukur densitas tulang secara radiografis (White dan Pharoah, 2009). Tingkat densitas pada area tulang yang akan dirawat dengan dental implant berpengaruh pada stabilitas primer implant yang lebih lanjut akan menentukan keberhasilan tingkat perawatan dental implant (Turkyilmaz dan McGlumphy, 2008). Dalam banyak kasus studi
4
pencitraan panoramik sinar X sekarang sudah berbentuk digital dan sejumlah studi menunjukkan bahwa dalam menilai citra rahang atas dan rahang bawah terdapat keterbatasan dalam hal distorsi dan struktur superimposisi yang membatasi penggunaannya (Burgess, 2011). Distorsi ini terjadi karena adanya perbedaan densitas tulang karena proses tekanan gigi saat mengunyah makanan. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu koreksi untuk meminimalisir distorsi pada citra yang didapat dan salah satunya dengan melakukan kalibrasi spasial. Menurut Knezovic-Zlataric dan Celebic (2005), kondisi gigi-geligi dan pemakaian gigi tiruan akan mempengaruhi densitas tulang rahang. Hal tersebut berkaitan erat dengan tekanan dan pembebanan mekanis yang diterima oleh tulang rahang selama proses pengunyahan. Gruber et al.. (2008) menyatakan bahwa pembebanan yang berimbang akan memicu proses modeling tulang, namun pembebanan yang berlebihan akan memicu aktivitas osteoklas untuk meresorpsi tulang. Hal-hal inilah yang akan menyebabkan terjadinya distorsi pada citra panoramik yang diambil. Kualitas dan ketelitian citra yang baik akan membuat ketepatan diagnosa dari seorang dokter sehingga tidak terjadi kesalahan dalam mendiagnosa penyakit gigi pasien. Oleh karena itu diperlukan suatu proses yang dapat memperbaiki ketelitian citra. Hal ini dapat dilakukan dengan kalibrasi spasial citra. Beberapa pengambilan citra gigi-geligi dan rahang di Rumah Sakit Gigi dan Mulut (RSGM) Prof. Soedomo UGM dari mesin panoramik gigi dihasilkan dalam bentuk citra digital. Namun sebagian masih konvensional dengan menggunakan detektor analog yang berupa pelat film. Citra digital didapatkan dengan pengambilan citra menggunakan suatu alat digitizer dan dihubungkan dengan monitor atau komputer yang telah dilengkapi software penganalisis dan pengolahan citra digital (Foley, 2011). Dengan bantuan sofware ini maka citra digital akan mudah dianalis dan diproses. Pengambilan citra panoramik secara digital akan mempermudah dan mempercepat seorang dokter melakukan diagnosa terhadap penyakit pasien. Radiograf panoramik memiliki sejumlah keterbatasan karena citra yang dihasilkan mengalami perbesaran dan distorsi jika dibandingkan dengan ukuran
5
obyek sesungguhnya, sehingga diperlukan pengetahuan serta keahlian khusus untuk menghindarkan kesalahan informasi saat menginterpretasikan citra radiograf panoramik (Watanabe et al., 2008). Kalibrasi spasial berkaitan dengan proses menghubungkan pixel dari suatu citra dengan fitur nyata obyek. Proses ini dapat digunakan untuk menghasilkan suatu pengukuran yang lebih akurat pada satuan obyek sebenarnya (Wu Qiang et al., 2008). Kalibrasi spasial ini dapat digunakan untuk melihat bagaimana distorsi atau perubahan bentuk dan ukuran pada citra radiografi yang terdapat pada citra dan cara menganalisisnya. Distorsi dihasilkan dari variasi magnifikasi obyek yang berlainan tempat dan arah dari obyek tersebut terhadap berkas sinar X. Hal ini yang akan menyebabkan terjadinya distorsi pada citra yang dihasilkan sehingga perlu dilakukan kalibrasi spasial. Mesin panoramik sinar X yang digunakan dalam pencitraan digital tidak terlepas dari bahaya paparan dosis radiasi yang akan diterima pasien dan lingkungan. Kalibrasi dosis dibutuhkan untuk melihat bangaimana pengaruh dosis yang dipancarkan mesin panoramik dengan dosis yang diterima oleh lingkungan di sekitar mesin panoramik pada ruang radiografi. Hal ini dilakukan sebagai upaya proteksi radiasi sehingga dapat diketahui keamanan paparan dosis sinar X dalam jangkauan aman dengan melakukan pemetaan laju dosis yang terdistribusi pada ruang radiografi. Dengan melakukan hal ini maka akan dapat mengantisipasi bahaya radiasi. Salah satu cara untuk mengetahui paparan radiasi sinar X ketika penyinaran pada daerah sekitar ruang radiografi adalah mengukur laju dosis menggunakan dosimeter digital yang diletakkan dengan variasi jarak yang berbeda, sedangkan sumber sinar X tetap. Nilai laju dosis ini akan dibandingkan dengan Nilai Batas Dosis (NBD) radiasi sesuai dengan Surat Keputusan Kepala BAPETEN No.07 Tahun 2009 tentang ketentuan keselamatan kerja dengan radiasi, yang memuat Nilai Batas Dosis (NBD) efektif pekerja radiasi sebesar 20 mSv/tahun rata-rata selama 5 tahun berturut-turut, dosis efektif sebesar 50 mSv dalam tahun tertentu, dan masyarakat umum sebesar 1 mSv dalam satu tahun (Bapeten, 2009)
6
Dari uraian sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa kalibrasi spasial sangatlah penting dan berkaitan dengan ketelitian pengukuran citra digital panoramik gigi untuk mendiagnosa penyakit pasien. Kalibrasi dosis juga sangat penting dengan pengukuran dan pemetaan distribusi laju dosis pada ruang radiografi sebagai salah satu upaya menjaga keamanan pasien dari bahaya radiasi selama proses paparan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan citra panoramik yang memiliki tingkat ketelitian yang baik dan mengurangi kesalahan pembacaan citra yang dikarenakan peristiwa distorsi. Citra yang terkalibrasi dapat memberikan informasi yang signifikan kepada para dokter gigi untuk membantu diagnosa sehingga dapat menentukan tindakan perawatan berikutnya dengan mempertimbangkan paparan radiasi yang diterima obyek dan lingkungan radiografi.
1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang masalah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, maka rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu 1. Bagaimana hubungan antara ukuran spasial obyek sebenarnya dengan hasil citra radiograf panoramik? 2. Bagaimana persamaan kalibrasi spasial pada masing-masing posisi kawat pada citra radiograf panormaik dan berapa besar faktor kalibrasinya? 3. Bagaimana hubungan antara besarnya radiasi yang dipancarkan mesin sinar X dan radiasi yang diterima lingkungan pada ruang radiografi? 4. Bagaimana pemetaan distribusi laju paparan radiasi yang diterima dosimeter dalam ruang radiografi?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui hubungan dan ukuran spasial antara obyek sebenarnya dengan citra digital yang terdiri dari banyak pixel yang didapat dari pencitraan mesin sinar X panoramik gigi.
7
2. Mendapatkan persamaan kalibrasi spasial pada masaing-pasing posisi kawat pada citra radiograf panormaik dan berapa besar faktor kalibrasinya. 3. Mendapatkan hubungan besarnya radiasi yang dipancarkan mesin sinar X dan radiasi yang diterima lingkungan pada ruang radiografi. 4. Mendapatkan hasil pemetaan distribusi laju paparan radiasi yang diterima dosimeter dalam ruang radiografi.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1.
Memberikan informasi mengenai akurasi pengukuran dari kalibrasi spasial pada citra panoramik gigi yang selanjutnya diharapkan dapat diaplikasikan untuk memprediksi ukuran obyek sebenarnya.
2. Memberikan informasi mengenai distribusi laju dosis pada ruang radiografi yang selanjutnya diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui jangkauan aman dari radiasi dosis yang dipancarkan mesin panoramik gigi.