BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Yogyakarta dan Kazan merupakan dua kota multikultur yang menarik untuk dibahas dalam hal toleransi dan kerukunan antar umat beragama karena masyarakat pada kedua kota ini dapat hidup berdampingan dan harmonis ditengah perbedaan yang ada. Yogyakarta kini dikenal bukan hanya sebagai “kota pelajar” namun juga sebagai “city of tolerance” atau “kota toleransi”. Slogan ini pertama kali dicetuskan di Yogyakarta pada tanggal 3 Maret 2011, oleh Wali Kota Yogyakarta Henry Zudianto bersama Aliansi Jogja Untuk Indonesia Damai (Aliansi) di Kompleks Balai kota.1 Pada dasarnya konsep toleransi di Yogyakarta berasal dari konsep kearifan lokal “teposeliro” yang secara harafiah dapat diartikan sebagai semangat saling menghormati perbedaan dan adanya timbal balik dalam harmoni.
Namun,
dalam
perkembangannya
banyak
media
yang
mempertanyakan mengenai implementasi konsep teposeliro yang menjadi identitas Yogyakarta sejak awal tahun 2002. Dalam Kompas.com disebutkan bahwa slogan “Yogyakarta City of Tolerance” dinilai belum sepenuhnya mampu diaplikasikan dalam dinamika kehidupan sosial di masyarakat karena dari tahun ketahun data menunjukan bahwa tingkat sikap intoleransi masyarakat Yogyakarta semakin meningkat.2 Salah satu contohnya adalah aksi pengecaman oleh masa organisasi masyarakat yang mengatasnamakan islam agar umat GKII (Gereja Kemah Injil Indonesia) tidak lagi menggunakan gereja untuk kegiatan keagaman. Mereka juga mengajukan penolakan atas perayaan
1 Danang Prabowo, “Yogyakarta Dikukuhkan sebagai Kota Toleran,” Okezone.com, 2011, http://news.okezone.com/read/2011/03/03/340/431098/yogyakarta-dikukuhkan-sebagai-kota-toleran (diakses 30 Juni 2014). 2 Wijaya Kusuma. “Slogan “Yogyakarta City of Tolerance” Dipertanyakan,” Kompas.com, Januari 31, 2014, http://regional.kompas.com/read/2014/01/31/0621376/Slogan.Yogyakarta.City.of.Toleran.Dipertanya kan (diakses 17 Mei 2014).
2
paskah yaang digelar ppada tanggaal 31 Mei 20014.3 Di tahuun 2013 tercaatat ada 17 kasus kek kerasan agaama yang taak terselesaiikan. Namunn, secara tootal ada 25 kasus. Paadahal, dari tahun t 1990--2008 tercataat hanya terjjadi 4 kasuss kekerasan keagamaaan di Yogyaakarta.4
Gaambar 1. Lapporan Peneliitian Yayasaan Wakaf Parramadina5 Salah satu neggara yang dianggap d meemiliki tolerransi tinggi dalam hal keagamaaan adalah Taartarstan. Seebuah negaraa pecahan Uni Soviet yaang terletak di Eropaa Tengah daan masuk ke k dalam w wilayah keddaulatan Russia. Kazan merupakaan sebuah kota k yang memiliki m tinggkat multikulturalisme yang y cukup
3 Wijaya Kusuma,, “Aparat Didesak Tindak Teggas Aksi Intoleeransi di Yogyya,” Kompas.coom, Mei 12, 20144, httpp://regional.kom mpas.com/readd/2014/05/12/15541276/Aparatt.Didesak.Tinddak.Tegas.Aksii.Intoleransi. di.Y Yogya. (diaksess 15 Juli 2014)). 4 Ihssan Ali-Fauzi et e al., Laporan penelitian polaa-pola Konflikk Keagamaan di d Indonesia (19990-2008), (Jakkarta: Yayasan Wakaf Paramaadina, 2009), hal. h 20. 5 Alli-Fauzi et al., Laporan L peneliitian pola-pola Konflik Keagamaan di Indonnesia (1990-20 008), hal. 20.
3
tinggi, seperti Yogyakarta. Namun, masyarakat kota ini lebih bisa memanfaatkan keberagamaan yang mereka punya dan mentransformasikannya menjadi sebuah kekuataan nasional dengan cara menjadikan multikuturalisme dan toleransi sebagai sebuah identitas yang di jual untuk menarik turis asing datang berkunjung ke kota ini. Kota yang berpenduduk 1.1 juta jiwa ini ditinggali oleh kurang lebih seratus etnis berbeda namun di representasikan oleh 8 etnis besar yaitu, Tartar 53% (mayoritas Islam) dan Rusia 40% (mayoritas Kristen Ortodox), sisanya adalah Chuvas, Udmurt, Ukranian, Mordovian, Mari, Baskhir sebesar 7 %.6 Kota ini disebut sebagai kota toleransi karena dua kubu besar Islam dan kelompok Kristen Orthodox dapat hidup berdampingan dan berbagi. Sejak awal tahun 1991, pasca runtuhnya Uni Soviet, Kazan merupakan salah satu ‘kota model’ dan ‘tanah air etnik’ di Rusia, karena kota ini memiliki keunikan sendiri dalam hal toleransi. Salah satu contohnya adalah ketika etnis Rusia (mayoritas Kristen Ortodox) membantu etnis Tartar (Muslim) untuk membangun masjid dan begitupun sebaliknya. Melihat latar belakang kedua kota yang cukup serupa, seperti mayoritas masyarakat yang beragama Muslim yang terdiri dari banyak etnis serta multikultur, Yogyakarta juga bisa menjadikan toleransi dan multikultur sebuah kekuatan nasional dan identitas. Namun, melihat data yang disebutkan oleh media Yogyakarta seperti belum siap untuk menopang nama “city of tolerance”. Berdasarkan permasalahan ini penulis ingin menganalisis lebih jauh faktor apa saja yang membuat Kota Yogyakarta yang diklaim sebagai “city of tolerance” mengalami degradasi toleransi dengan membandingkan dengan salah satu kota yang dianggap paling toleran dalam hal keagamaan di benua Eropa yaitu Kota Kazan di Tartarstan.
6
Admin, “Interconfessional relations,” The City of Kazan. 2013, http://www.kzn.ru/old/eng/kazan/page3724 (diakses 22 April 2014).
4
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis mengajukan sebuah pertanyaan penelitian, yaitu: Mengapa terdapat perbedaan tingkat toleransi dalam kehidupan beragama masyarakat Kazan dan Yogyakarta?
1.3. Landasan Konseptual Teori Toleransi Peter Byrne dalam jurnalnya yang berjudul Religious Tolerance, Diversity, and Pluralism memandang toleransi jauh lebih luas dari pada sekedar aksi “menerima”. Byrne menekankan bahwa toleransi tidak hanya diartikan sebagai sebuah bentuk penerimaan kepada hal yang dianggap tidak sesuai. Namun, lebih kepada istilah yang serius untuk mengartikan sebuah kebaikan moral dan politik individu dalam sebuah masyarakat pada kondisi tertentu, yaitu: 1. Difference (Perbedaan) Perbedaan adalah disaat seorang individu dapat menerima nilai, kepercayaan berbeda dengan yang mereka anut. 2. Importance (Kepentingan) Kepentingan adalah sesuatu yang ditoleransi bukan merupakan hal yang sepele. 3. Opposition (Oposisi) Ketika individual atau kelompok menyadari ada yang berbeda tetapi sesuatu yang berbeda itu adalah sesuatu yang tidak mereka sukai atau terima. 4. Power (Kekuasaan).7 Kekusaan adalah ketika salah satu pihak memiliki kemampuan, otoritas atau kekuasaan untuk menekan atau menginterfensi tapi tidak dilakukan tetapi justru melindungi.
7
Peter Byrne, “Religious tolerance, Diversity, and Pluralism,” Cambrige Journals 68, (2011), hal. 290.
5
Dengan
menggunakan
landasan
konseptual
ini
penulis
akan
menganalisis implementasi budaya toleransi pada kedua kota, sehingga ada ukuran yang jelas mengenai konsep toleransi dalam pengaplikasiannya.
Teori Sistem Sosial Teori sistem sosial pertama kali diperkenalkan oleh Ilmuan Amerika Talcott Parsons. Dengan menggunakan teori ini Parsons ingin membuktikan bahwa sebuah proses pengambilan keputusan atau tindakan oleh seseorang tidak hanya didasarkan kepada hanya preferensi individu, tetapi sebagian besar dipengaruhi oleh struktur masyarakat. Oleh karena itu, Parsons mencoba mematahkan argumen ketidakpastian dalam pengambilan keputusan individu dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Menurut Parsons, definisi tindakan adalah suatu proses dalam sebuah sistem aktor-situasi yang di dalamnya terdapat motivasi dari aktor individu atau kolektif.8 Berdasarkan definisi inilah dapat
disimpulkan
bahwa
proses
sebuah
tindakan
biasanya
akan
dilatarbelakangi dan dipengaruhi oleh sebuah pencapaian kepuasan atau menghindari perampasan dari aktor lainnya. Tindakan yang mereka (individu) lakukan biasanya berdasarkan preferensi yang tidak semata berhubungan dengan mereka sebagai organisme biologis (manusia) melainkan lebih kepada mereka sebagai aktor yang memiliki peran dalam sebuah situasi dan lingkungan sosial. Teori sistem sosial ini merupakan salah satu bagian dari sistem aksi sosial yang diperkenalkan juga oleh Talcott Parsons. Sistem aksi sosial merupakan sebuah sistem yang terdiri dari tiga sub-sistem yang saling berkaitan dan mendukung satu sama lain, yaitu sistem budaya, sosial, dan kepribadian. 9 Asumsi dasar dari teori tindakan sosial ini adalah masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan, menyatu dalam keseimbangan dan memiliki fungsi
8
Bryan S.Turner, ed., The Social System (London: Routledge & Kegan Paul Ltd, 1991), hal. 3. Admin, “Talcot Parsons,” Sociology Guide, 2014 http://www.sociologyguide.com/socialaction/talcott-parsons.php (diakses 26 Mei 2014). 9
6
masing-masing. Dengan demikian, apabila perubahan terjadi pada satu bagian maka bagian lainnya akan ikut berubah. Berangkat dari pemikirian ini Parsons dengan menggunakan skema yang dikenal dengan istilah AGIL dan terdiri dari 4 elemen yaitu, Adaptation (Ekonomi), Goal-attainment (Politik), Latency (Nilai, Komitmen Moral) Integration (Sistem Hukum).10 Parsons ingin melihat bagaimana individu atau faktor apa saja yang memengaruhi preferensi seseorang dalam mengambil keputusan. a. Adaptation (Ekonomi) Unsur sistem yang berhubungan langsung dengan individu bahwa objek harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya untuk bertahan hidup. Parsons melihat unsur ini sebagai unsur ekonomi yang disimbolkan sebagai uang. Bagaimana masyarakat sekitar memanfaatkan lingkungannya untuk memproduksi sesuatu guna menghasilkan keuntungan untuk mempertahankan masyarakat kohensif dan mempengaruhi tingkat ekonomi seseorang atau kelompok
dan
bagaimana
tingkat
perekonomian
dapat
mempengaruhi pola pikir seseorang. Dengan menggunakan alat analisis ini penulis akan melihat bagaimana tingkat ekonomi dikedua kota. b. Goal attainment (Politisi) Parsons
medefinisikan
unsur
ini
sebagai
sesuatu
yang
berhubungan dengan politik. Bagaimana politisi yang ada menggunakan kekuasaan mereka untuk kesejahteraan masyarakat. Secara garis besar unsur ini melihat melalui sudut pandang masyarakat tentang bagaimana kekuasaan di distribusikan. c. Latency (Institusi) Sistem seharusnya melengkapi, memelihara, dan memperbaiki baik motivasi individual maupun pola-pola kultural yang menciptakan dan menopang motivasi, bukan sebaliknya. Parsons 10
Turner, ed. The Social System, hal. 19
7
melihat ini sebagai sebuah nilai dan moral komitmen apa yang dibangun
oleh
institusi
sekitar
individu
seperti
institusi
keagamaan, pendidikan, dan organisasi. d. Integration (Hukum) Sebuah sistem harus mengatur hubungan antara bagian-bagian yang menjadi komponen sistem. Dengan kata lain hukum apa yang digunakan untuk mengatur kebiasaan, norma yang berkembang dan implementasinya dan bagaimana hal ini diimplementasikan, tetapi tidak melanggar nilai yang ada di masyarakat secara luas. Dengan menggunakan pendekatan ini penulis akan menganalisis mengapa kota Kota Yogyakarta dan Kazan memiliki tingkat implementasi toleransi yang berbeda walaupun kedua kota sama-sama diklaim sebagai kota toleransi dilihat dari sudut pandang fungsi struktur sosial. Dengan melihat bagaimana masing-masing fungsi bekerja akan terlihat hasil dari preferensi masyarakat akan pilihan yang diambil terkait budaya toleransi.
1.4. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, penulis menggunakan studi literatur baik buku maupun jurnal yang bertemakan toleransi, konflik beragama, studi perdamaian, multikulturalisme, dan riset online seperti melalui koran elektronik serta website resmi dari pemerintah kedua kota Yogyakarta dan Kazan. Setelah data terkumpul penulis akan menganalisis data sesuai dengan pertanyaan yang penulis ajukan. Proses analisis akan dimulai dari pembandingan tingkat toleransi dikedua kota melalui alat analisis toleransi Peter Byrne untuk melihat sejauh apa tingkat penerapan toleransi dikedua kota. Setelah ditemukan perbedaan, penulis kemudian menganalisis faktor apa saja yang memengaruhi perbedaan penerapan budaya toleransi.
8
1.5 Argumentasi Utama Yogyakarta dan Kazan memiliki tingkat penerapan budaya toleransi yang berbeda. Kazan dapat dikatakan memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Yogyakarta, walaupun keduanya merupakan kota toleran. Dari empat parameter, yaitu perbedaan, kepentingan, oposisi dan kekuasaan, Yogyakarta berada pada posisi campuran. Masih ada kelompok masyarakat atau individu yang merasa perbedaan agama, praktek ibadah, dan ideologi merupakan hal yang dapat diterima. Tapi ada juga kelompok yang melihat bahwa perbedaan perbedaan agama, praktek ibadah, dan ideologi merupakan hal yang salah dan membawa pengaruh buruk kepada masyarakat karena tidak sesuai dengan dogma yang selama ini mereka anut. Perbedaan tingkat toleransi ini terjadi karena rendahnya tingkat perekonomian (adaptation) masyarakat Yogyakarta dibandingkan dengan Kazan. Yogyakarta cenderung didominasi oleh masyarakat yang memiliki tingkat perekonomian lebih rendah. Dari sisi institusi pendidikan islam, Kazan dan Yogyakarta memiliki kurikulum institusi yang berbeda (latency), moderat dan tradisional. Selain itu, respon pemerintah, politisi (GoalAttaiment) dan penegak hukum yang cenderung lamban (Intergration) dalam menyikapi permasalahan kekerasan agama dibandingkan dengan Kazan.
1.6. Sistematika Penulisan Skripsi ini akan terdiri dari empat bab. Bab pertama berisi pendahuluan yang terdiri dari sub bagian 1.1-1.6. Pada Bab kedua, penulis akan membahas persoalan yang diangkat secara lebih substantif. Uraian diawali dengan penjelasan mengenai konflik dan yang berada pada level negara, lalu dilanjutkan dengan penjelasan konsep agama yang memiliki potensi sebagai besar sebagai penyebab utama konflik. Pada bab ketiga, penulis akan mencoba menganalisis rumusan masalah yang telah diangkat yaitu “Mengapa terdapat perbedaan tingkat toleransi dalam kehidupan beragama masyarakat Yogyakarta dan Kazan?”, serta membahas lebih mendalam permasalahan dengan melihat struktur masyarakat kedua kota dengan menggunakan landasan konseptual
9
teori sistem sosial dan toleransi. Bab keempat akan berisikan kesimpulan yang dapat ditarik dari temuan penelitian.
10