BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang Masalah Pulau Jawa merupakan tempat yang paling banyak menjadi tujuan
para calon mahasiswa di Indonesia untuk menggali ilmu. Berdasarkan data Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), dari 3.011 perguruan tinggi di Indonesia terdapat 1.508 perguruan tinggi yang tersebar di pulau Jawa. Bahkan khusus wilayah Jawa Timur terdapat 333 perguruan tinggi. Berdasarkan 4 International Colleges & Universities (Guntur, 2012), dari 100 rangking Universitas terbaik di Indonesia, 10 diantaranya adalah Universitas yang terletak di Surabaya. Universitas inilah yang mendapatkan reputasi baik di masyarakat berdasarkan berbagai penilaian, mulai dari prestasi akademis dan non akademis, fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh universitas (ruang kelas, perpustakaan, kafetaria, dan sebagainya), terdapat keringanan biaya pendidikan, tingginya kesempatan kerja, dan lingkungan sosial yang baik. Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya merupakan salah satu universitas yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat. Terbukti tidak hanya siswa dari Pulau Jawa yang memilih menjadi mahasiswa di Universitas ini, namun juga terdapat siswa dari luar Pulau Jawa. Berdasarkan
data
dari
BAAK
(Badan
Akademik
Administrasi
Kemahasiswaan) Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, terdapat 212 mahasiswa angkatan 2010 yang berasal dari luar pulau. Terdapat banyak alasan mengapa masyarakat yang ada di luar Pulau Jawa memilih untuk kuliah di Surabaya khususnya Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Hasil wawancara dan data angket awal yang disebarkan oleh 1
2
peneliti menunjukkan bahwa alasan memilih kuliah di UKWMS adalah karena terdapat beasiswa atau SMA tempat mereka menimba ilmu melakukan kerjasama dengan memberikan beasiswa dengan batasan nilai IPK tertentu. Mereka menyatakan bahwa di Surabaya mereka bisa mendapatkan fasilitas penunjang belajar yang lebih memadai daripada di daerah asal mereka, seperti laboratorium, komputer, perpustakaan. Alasan lain untuk memilih kuliah di UKWMS karena adanya kemauan dari diri sendiri dan karena di Surabaya ada kerabat atau keluarga. Mahasiswa dalam Santrock (2002: 73) dikategorikan sebagai remaja akhir atau masa muda (youth) yang diartikan sebagai masa transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa yang mencangkup perubahan fisik, kognitif, dan sosio-emosional. Masa remaja dimulai dari usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir pada usia 18 sampai 22 tahun yang disebut remaja akhir (Santrock, 2003: 26). WHO menetapkan batasan usia remaja awal 10 sampai 14, dan remaja akhir 15 sampai 20 tahun. Sementara di Indonesia batasan usia remaja mengikuti ketentuan PBB tentang youth yaitu 14 sampai 24 tahun (Sarwono, 2002: 10). Menurut Erikson (dalam Monks, Knoers, & Haditono, 1998: 279), remaja dalam tahap perkembangannya sebagai proses mencari identitas ego. Remaja berusaha menemukan dirinya dan melepaskan diri dari orangtua. Remaja mampu memiliki pengalaman yang seharusnya dimiliki remaja yaitu dengan menghayati pribadinya sendiri, mampu memahami apa yang menjadi haknya, perasaannya, pikirannya, tentang suatu hal, dan mampu mengungkapkannya secara tepat, sehingga individu mendapat respon yang positif dari lingkungannya. Dalam hal ini, asertivitas penting untuk dimiliki remaja. Jika remaja sulit bertanya dan mengungkapkan pendapat, remaja bisa saja tidak memahami materi akademis yang ada, dan ini bisa berpengaruh pada prestasi akademisnya.
3
Hal ini juga ditemukan peneliti pada mahasiswa Fakultas Psikologi UKWMS yang berasal dari luar pulau Jawa. Di Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, terdapat 53 mahasiswa yang berasal dari luar pulau angkatan 2009-2012 yang termasuk kategori usia remaja akhir. Fakultas Psikologi UKWMS menggunakan metode pembelajaran learning by experience (belajar dari pengalaman) yang diterapkan pada mahasiswa. Hal ini berarti mahasiswa Fakultas Psikologi dituntut untuk berpikir kritis dan reflektif mengenai diri sendiri dan lingkungannya, serta mahasiswa sebagai subjek pendidikan untuk mengalami, bereksplorasi dan berkembang sebagai pribadi (Pedoman Akademik Fakultas Psikologi, 2009: 5). Dengan kata lain, mahasiwa Fakultas Psikologi diharapkan mampu mengkritisi dan merefleksikan diri sendiri dan lingkungannya dimana ia tinggal dengan menyampaikan hal-hal yang dikritisi berupa pendapat yang tidak menyinggung atau mengganggu kepentingan orang lain, sehingga individu bisa berkembang dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Namun, justru dalam proses penerapannya pada mahasiswa Fakultas Psikologi dari berasal dari luar pulau Jawa, banyak terdapat masalah dalam mencapai tuntutan yang ada di Fakultas. Berdasarkan hasil angket awal yang disebar peneliti (2012), 5 dari 6 angket menyatakan mereka sulit menyatakan pendapat kepada dosen, mahasiswa, bahkan juga ke asisten dosen yang membantunya.
Hal ini
disebabkan karena mahasiswa dari luar Pulau Jawa mengalami kendala dalam hal bahasa. Bahasa yang digunakan di Surabaya berbeda dengan tempat asal mereka. Kesulitan memahami bahasa yang dialami mahasiswa Psikologi yang berasal dari luar pulau ketika di Surabaya ini didukung oleh hasil wawancara. Berikut adalah pernyataan yang didapatkan peneliti dari hasil wawancara tersebut:
4 “Ya..kendalanya itu kak pertama, faktor bahasa atau dialeg, kedua faktor cuaca yang panas, dan yang ketiga faktor makanan..” “Kalau yang bahasa itu dampaknya, saya tidak ngerti ketika dijelaskan ketika saya bertanya..” (mahasiswa asal Papua, inisial T, 2010) Wawancara di atas menunjukkan bahwa perbedaan budaya khususnya dalam hal bahasa menjadi salah satu kesulitan bagi mahasiswa luar pulau Jawa yang tinggal di Surabaya. Mahasiswa luar pulau Jawa harus beradaptasi dengan budaya khususnya bahasa yang digunakan di Surabaya. Mahasiswa luar pulau Jawa harus memahami bahasa yang digunakan untuk menangkap informasi yang ada. Salah satu contoh berdasarkan hasil wawancara di atas menunjukkan dalam bidang akademis, perbedaan bahasa membuat mahasiswa luar pulau tidak mengerti apa yang dijelaskan dosen. Budaya
masyarakat
Jawa
pada
umumnya
berbeda
dengan
masyarakat luar pulau Jawa. Masyarakat Jawa memegang teguh dua prinsip penting, yakni tatakrama hormat dan kerukunan. Pada sikap hormat, merupakan unsur psikologis dalam menciptakan unggah-ungguh sosial. Hormat kepada orang yang lebih tua, sebagai misal kepada orangtua, dosen, dan sebagainya. Sikap hormat tersebut terbagi lagi dalam konsep khas Jawa, yakni wedi, isin dan sungkan. Pada fase pertumbuhan anak hingga menuju dewasa, seseorang akan mulai mengenal konsep ini. Hal tersebut diperoleh dari lingkungan keluarga, dan dari masyarakat. Anak akan terbiasa bagaimana ia harus belajar menempatkan diri sebagai seorang Jawa, yang memahami dan mengerti akan toto kromo. Sebagai pendatang, mahasiswa yang berasal dari luar pulau Jawa yang tinggal di Jawa berusaha menyesuaikan diri dengan budaya masyarakat setempat (Kompasiana. 2012. Pola pengasuhan ala keluarga Jawa, para. 8). Bagi mahasiswa luar pulau
5
Jawa sebenarnya bisa saja selalu mengutarakan apa yang mereka rasakan, pemikiran mereka, namun ketika berada di Jawa mereka harus menahan untuk tidak mengatakannya secara langsung. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan peneliti, mahasiswa yang dari daerah timur seperti Papua, Flores atau Kupang lebih sulit dalam hal adaptasi daripada mahasiswa luar pulau lainnya seperti Sulawesi, Kalimantan, Sumatera. Hal tersebut terjadi karena bahasa yang jauh berbeda, kemajuan teknologi yang berbeda, secara akademis jika di daerah asal tidak memakai text book, serta ketika di perkuliahan mahasiswa luar pulau Jawa merasa kesulitan dalam memahami materi lewat text book yang disediakan Fakultas. Mahasiswa luar pulau Jawa dalam kelompoknya lebih sering bersama dengan sesama mahasiswa luar pulau Jawa lainnya, terutama mahasiswa yang berasal dari Papua. Mereka merasa lebih nyaman jika sekelompok dengan sesama anak luar pulau Jawa lainnya. Berikut adalah penyataan yang didapat peneliti: “Yang sulit itu kalo udah ditentukan sama dosennya mau kelompok sama siapa, kalo disuruh tentukan sendiri mau sekelompok sama siapa ya langsung aja aku pilih yang samasama dari luar pulau..biasanya sih aku jalannya sama temanteman luar pulau..” (mahasiswa asal Flores, inisial R, 2010) “Kalo sama teman-teman biasanya (mahasiswa sesama luar pulau Jawa), aku bisa enak ngomong apa, tapi kalau udah sekelompok yang nggak biasanya, apalagi sama yang lebih dari aku, ya.. aku ngalah aja, biasanya mereka yang kasi aku kerjain apa, ya udah aku kerjain tugasnya..” Berdasarkan
dari
wawancara
di
atas
menunjukkan
proses
penyesuaian tersebut menyebabkan mahasiswa dari luar pulu Jawa bersikap mengalah dan membiarkan teman lain untuk mendominasi dalam kelompok. Hal ini terkait dengan konsep dalam Psikologi yaitu asertivitas. Asertivitas menurut Rathus dan Nevid (1983: 343) adalah perilaku yang
6
menunjukkan perasaan individu yang sesungguhnya, mempertahankan hakhaknya, dan menolak permintaan yang tidak sesuai dengan keinginannya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam kelompok sosialnya. Namun, kebanyakan dari mahasiswa luar pulau lebih memilih diam ketika ada kesulitan dalam perkuliahan, sulit mengungkapkan pendapatnya ketika dalam kelompok, ketika dalam perkuliahan mereka lebih memilih tanya dengan teman atau berusaha sendiri. Hal ini sesuai dengan yang peneliti dapatkan berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada salah satu tutor (S) yang menjadi fasilitator mahasiswa Fakultas Psikologi yang berasal dari luar pulau Jawa pada tanggal 30 April 2012 mengenai asertivitas mahasiswa Fakultas Psikologi yang berasal dari luar pulau untuk mengikuti tutor: “Ya.. selama ini saya kurang yakin mereka bisa memahami tentang materi tutor yang aku kasih.. habis mereka jarang tanya sih.. kalau ditanya diem aja..di kelas pun mereka aku rasa kurang aktif..” Hal serupa juga ditemukan peneliti dari hasil wawancara terhadap salah satu mahasiswa Fakultas Psikologi yang berasal dari luar pulau (X) 2011 yang mengikuti program tutor: “Kalau di kelas saya tidak berani tanya-tanya ke dosennya. Kalau tidak ngerti-ngerti dilepas dan diucul (dengan dialeg Kupang), dilepas saja..” Berdasarkan beberapa wawancara di atas menunjukkan mahasiswa Fakultas Psikologi yang berasal dari luar pulau Jawa lebih memilih tidak bertanya atau diam saja ketika ada kesulitan dalam perkuliahan mereka. X merasa kondisi kelas membuatnya tidak bebas untuk bertanya dengan dosen jika ada hal yang tidak dipahami atau mengungkapkan pendapat. Selain itu, dari angket yang disebarkan pada tanggal 2 Oktober 2012, ditemukan dari 6
7
angket terdapat 2 menyebutkan kesulitan menyatakan pendapat baik di kelas maupun dalam kelompok. Mereka lebih memilih bertanya pada teman atau berusaha sendiri ketika mengalami kesulitan dalam perkuliahan. Hal ini menunjukan bahwa mahasiswa luar pulau masih kurang asertif dalam menyatakan pendapatnya atau perasaannya. Seharusnya, mereka lebih bisa menyatakan pendapat, apa yang menjadi masalahnya selama ini, sehingga dosen atau orang-orang di sekitar mereka bisa memahami kesulitan mereka dan membantu apa yang menjadi masalahnya dan keinginannya. Asertivitas menurut Sudagijono (1999:85-86) dapat dilihat dari 3 aspek, yaitu pengetahuan akan hak asasinya dan orang lain, aspek kedua yaitu menguasai diri dan memberi respon yang wajar, dan aspek ketiga mengkomunikasikan segala keinginan, permintaan, penolakan. Pada aspek pertama,
berdasarkan hasil wawancara dan observasi sebelumnya
mahasiswa luar pulau cenderung tidak mengetahui haknya sebagai mahasiswa yaitu untuk bertanya, menyatakan pendapat baik di kelas maupun dalam kelompok. Banyak mahasiswa luar pulau Jawa yang hanya diam saja. Mahasiswa luar pulau Jawa menganggap kalau mahasiswa seharusnya diam saja ketika berada di kelas. Akibatnya dosen dan teman lain tidak mengetahui apakah mahasiswa luar pulau Jawa sudah paham akan materi yang disampaikan atau belum. Pada aspek kedua yaitu menguasai diri dan memberi respon yang wajar, ketika mahasiswa luar pulau Jawa merasa tidak suka terhadap sesuatu, akan cenderung
diam dan
membiarkannya, seharusnya mereka mengatakan rasa tidak suka tersebut terhadap temannya, sehingga tidak mengulanginya. Pada aspek ketiga, mengkomunikasikan segala keinginan, permintaan, dan penolakkan, mahasiswa luar pulau Jawa kurang mampu untuk mengkomunikasikan secara
verbal
apa
yang
mereka
inginkan,
seperti
persetujuan,
8
ketidaksetujuan, pujian, permintaan baik di kelas maupun di kelompok, sehingga orang lain bisa mengetahui apa yang menjadi masalahnya atau keinginan mahasiswa luar pulau Jawa. Asetivitas juga ditentukan oleh banyak faktor. Menurut Rathus dan Nevid (1983: 347) salah satu faktornya adalah jenis kelamin. Wanita dikatakan cenderung kurang asertif daripada pria, karena keyakinan tradisional yang mengharuskan wanita hanya membicarakan hal-hal yang menyangkut wanita. Hal-hal yang dianggap tabu seperti yang berhubungan dengan seksual, tidak perlu dibicarakan atau dinegosiasikan oleh wanita. Selain itu, beberapa wanita masih lebih mementingkan kebutuhan orang lain daripada kebutuhan pribadi. Hal ini yang menyebabkan wanita menjadi kurang asertif dari pada pria. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Herni dan Fakhrurrozzi, 2007: 15-16) dijelaskan bahwa mahasiswa lakilaki lebih asertif daripada perempuan. Dikatakan bahwa perempuan cenderung lebih sulit untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya kepada orang lain daripada pria, dari jumlah 33 laki-laki dan 67 perempuan dengan nilai mean laki-laki 84.69 dan mean perempuan 82.25. Hasil penelitian lain (dalam Ratna dan Retnaning, 2007: 14) juga menjelaskan bahwa laki-laki cenderung lebih asertif dari pada perempuan, dari jumlah laki-laki 92 dengan mean 65.08 dan jumlah perempuan 13 dengan mean 64.38. Berbeda dengan hasil penelitian tersebut, dari hasil wawancara dengan asisten dosen dan angket awal menunjukkan bahwa mahasiswa perempuan lebih mampu menyatakan pendapat dan bertanya ketika di kelas dari pada mahasiswa laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa mahasiswa perempuan cenderung lebih asertif dibandingkan mahasiswa laki-laki. Berikut adalah hasil wawancara dengan salah satu tutor mahasiswa Fakultas
9
Psikologi yang berasal dari luar pulau, yang dilakukan peneliti (Oktober 2012): “Kalau waktu tutor, yang lebih sering tanya-tanya sama kasih pendapat tu yang laki-laki, mungkin karena mereka sudah angkatan atas dan mereka lebih tua dari aku. Tapi kalau dalam kelompok kayak pas matakuliah obsin gitu, yang lebih sering ngomong, aktif yang perempuannya..” Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat diketahui bahwa mahasiswa perempuan lebih mampu mengutarakan pendapat dari pada mahasiswa laki-laki. Hal ini menunjukan bahwa mahasiswa perempuan Fakultas Psikologi yang berasal dari luar pulau lebih asertif daripada mahasiswa laki-laki. Hal ini juga didukung oleh penelitian kualitatif (Daniel, 2008: 384) menunjukkan bahwa manager perempuan lebih asertif daripada manager laki-laki. Berdasarkan beberapa hal di atas maka, penelitian ini penting dilakukan untuk melihat adanya perbedaan asertivitas remaja akhir ditinjau dari jenis kelamin pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang dari luar pulau. 1.2.
Batasan Masalah Penelitian ini menetapkan beberapa batasan penelitian antara lain:
1.
Penelitian ini ingin meneliti tentang perbedaan asertivitas remaja akhir ditinjau dari jenis kelamin pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang berasal dari luar pulau.
2.
Metode penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan uji perbedaan.
3.
Subjek penelitian terdiri dari mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang berasal dari luar
10
pulau Jawa angkatan 2010-2012, dengan rentang usia 18-22 (remaja akhir). 1.3.
Rumusan Masalah Rumusan masalah penelitian ini adalah, “apakah ada perbedaan
asertivitas remaja akhir ditinjau dari jenis kelamin pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang berasal dari luar pulau Jawa?” 1.4.
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidak adanya
perbedaan asertivitas remaja akhir ditinjau dari jenis kelamin pada mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang berasal dari luar pulau Jawa. 1.5.
Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat teoritis 1.
Psikologi Perkembangan Dengan adanya penelitian ini mahasiswa (remaja akhir) lebih lagi memperkuat identitas dirinya terkait dengan asertivitas.
2.
Psikologi Pendidikan Dengan adanya penelitian ini, mahasiswa khususnya mahasiswa luar pulau Jawa diharapkan lebih mengenal dan bersikap asertif, sehingga bisa
membantu
mahasiswa
dalam
meningkatkan
proses
pembelajarannya khususnya dalam bidang akademis. 1.5.2. Manfaat praktis 1.
Mahasiswa Melalui hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberi pengetahuan bagi mahasiswa khususnya mahasiswa yang berasal dari luar pulau
11
Jawa tentang asertivitas sehingga mahasiswa dapat meningkatkan prestasi belajarnya. 2.
Fakultas Melalui hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberi pengetahuan bagi fakultas mengenai gambaran asertivitas mahasiswa Fakultas Psikologi yang berasal dari luar pulau Jawa.
3.
Penelitian selanjutnya Melalui hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberi informasi bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan asertivitas remaja akhir dan asertivitas pada mahasiswa luar pulau Jawa.