BAB I KONSEP DASAR FILSAFAT
A. Pengertian Filsafat Filsafat merupakan ilmu yang sudah sangat tua. Bila kita membicarakan filsafat maka pandangan kita akan tertuju jauh ke masa lampau di zaman Yunani Kuno. Pada masa itu semua ilmu dinamakan filsafat.
Dari Yunanilah kata
―filsafat‖ ini berasal, yaitu dari kata ―philos‖ dan ―sophia‖. ―Philos‖ artinya cinta yang sangat mendalam, dan ―sophia‖ artinya kebijakan atau kearifan. Istilah filsafat sering dipergunakan secara populer dalam kehidupan sehari-hari, baik secara sadar maupun tidak sadar. Dalam penggunaan populer, filsafat dapat diartikan sebagai suatu pendirian hidup (individu) dan dapat juga disebut sebagai pandangan masyarakat (masyarakat). Mungkin anda pernah bertemu dengan seseorang dan mengatakan: ―filsafat hidup saya adalah hidup seperti oksigen, menghidupi orang lain dan diri saya sendiri‖. Atau orang lain lagi mengatakan: ―Hidup harus bermanfaat bagi orang lain dan dunia‖. Ini adalah contoh sederhana tentang filsafat seseorang. Selain itu, masyarakat juga mempunyai filsafat yang bersifat kelompok. Oleh karena manusia itu makhluk sosial, maka dalam hidupnya ia akan hidup bermasyarakat dengan berpedoman pada nilai-nilai hidup yang diyakini bersama. Inilah yang disebut filsafat atau pandangan hidup. Bagi bangsa Indonesia, Pancasila merupakan filsafat bangsa. Henderson sebagaimana dikutip oleh Uyoh Sadulloh (2007:16) mengemukakan: ―Populerly, philosophy menans one’s general view of lifeof men, of ideals, and of values, in the sense everyone has a philosophy of life”. Di
Jerman
dibedakan
antara
filsafat
dengan
pandangan
hidup
(Weltanscahuung). Filsafat diartikan sebagai suatu pandangan kritis yang sangat mendalam sampai ke akar-akarnya. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Magnis Suseno (1995:20) bahwa filsafat sebagai ilmu kritis. Dalam pengertian lain, filsafat diartikan sebagai interpretasi atau evaluasi terhadap apa yang penting 1
atau apa yang berarti dalam kehidupan. Di pihak lain ada yang beranggapan bahwa filsafat sebagai cara berpikir yang kompleks, suatu pandangan yang tidak memiliki kegunaan praktis. Ada pula yang beranggapan bahwa para filsuf bertanggung jawab terhadap cita-cita dan kultur masyarakat tertentu. Seperti halnya Karl Marx dan Fredrich Engels yang telah menciptakan komunisme. Thomas Jefferson dan John Stuart Mill telah mengembangkan suatu teori yang dianut dalam masyarakat demokratis. John Dewey adalah peletak dasar kehidupan pragmatis di Amerika. Sidi Gazalba (1974:7) mengatakan bahwa filsafat adalah hasil kegiatan berpikir yang radikal, sistematis, universal. Kata ―radikal‖ berasal dari bahasa Latin ―radix‖ yang artinya akar. Filsafat bersifat radikal, artinya permasalahan yang dikaji, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dan jawaban yang diberikan bersifat mendalam sampai ke akar-akarnya yang bagi orang awam mungkin dianggap hal biasa yang tidak perlu dibahas lagi, tetapi filsafat ingin mencari kejelasan makna dan hakikatnya. Misal: Siapakah manusia itu? Apakah hakikat alam semesta ini? Apakah hakikat keadilan? Filsafat bersifat sistematis artinya pernyataan-pernyataan atau kajiankajiannya menunjukkan adanya hubungan satu sama lain, saling berkait dan bersifat koheren (runtut). Di dalam tradisi filsafat ada paham-paham atau aliran besar yang menjadi titik tolak dan inti pandangan terhadap berbagai pertanyaan filsafat. Misal: aliran empirisme berpandangan bahwa hakikat pengetahuan adalah pengalaman. Tanpa pengalaman, maka tidak akan ada pengetahuan. Pengalaman diperoleh karena ada indera manusia yang menangkap objek-objek di sekelilingnya (sensasi indera) yang kemudian menjadi persepsi dan diolah oleh akal sehingga menjadi pengetahuan. Filsafat bersifat universal, artinya pertanyaan-pertanyaan dan jawabanjawaban filsafat bersifat umum dan mengenai semua orang. Misalnya: Keadilan adalah keadaan seimbang antara hak dan kewajiban. Setiap orang selalu berusaha untuk mendapatkan keadilan. Walaupun ada perbedaan pandangan sebagai jawaban dari pertanyaan filsafat, tetapi jawaban yang diberikan berlaku umum, tidak terbatas ruang dan waktu. Dengan kata lain, filsafat mencoba mengajukan 2
suatu konsep tentang alam semesta (termasuk manusia di dalamnya)
secara
sistematis. Filsafat sering juga dapat diartikan sebagai ―berpikir reflektif dan kritis‖ (reflective and critical thinking). Namun, Randall dan Buchler sebagaimana dikutip oleh Uyoh Sadulloh (2007:17) memberikan kritik terhadap pengertian tersebut, dengan mengemukakan bahwa definisi tersebut tidak memuaskan, karena beberapa alasan, yaitu: 1) tidak menunjukkan karakteristik yang berbeda antara berpikir filsafati dengan fungsi-fungsi kebudayaan dan sejarah, 2) para ilmuwan juga berpikir reflektif dan kritis, padahal antara sains dan filsafat berbeda, 3) ahli hukum, ahli ekonomi juga ibu rumah tangga sewaktu-waktu berpikir reflektif dan kritis, padahal mereka bukan filsuf atau ilmuwan. Dalam Al-Quran dan budaya Arab terdapat istilah “hikmat‖ yang berarti arif atau bijak. Filsafat itu sendiri bukan hikmat, melainkan cinta yang sangat mendalam terhadap hikmat. Dengan pengertian tersebut, maka yang dinamakan filsuf adalah orang yang mencintai dan mencari hikmat dan berusaha mendapatkannya. Al-Syaibani (1979) mengatakan bahwa hikmat mengandung kematangan pandangan dan pikiran yang jauh, pemahaman dan pengamatan yang tidak dapat dicapai oleh pengetahuan saja. Dengan hikmat filsuf akan mengetahui pelaksanaan pengetahuan dan dapat melaksanakannya. Seorang filsuf akan memperhatikan semua aspek pengalaman manusia. Pandangannya yang luas memungkinkan ia melihat segala sesuatu secara menyeluruh, memperhitungkan tujuan yang seharusnya. Ia akan melampaui batasbatas yang sempit dari perhatian yang khusus dan kepentingan individual. Harold H. Titus (1959) mengemukakan pengertian filsafat dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Dalam arti sempit filsafat diartikan sebagai ilmu yang berkaitan dengan metodologi atau analisis bahasa secara logis dan analisis makna-makna. Filsafat diartikan sebagai ―science of science‖ yang bertugas memberi analisis secara kritis terhadap asumsi-asumsi dan konsep-konsep ilmu, mengadakan sistematisasi atau pengorganisasian pengetahuan. Dalam pengertian yang lebih luas, filsafat mencoba mengintegrasikan pengetahuan manusia yang berbeda-beda dan menjadikan suatu pandangan yang komprehensif tentang alam semesta, hidup 3
dan makna hidup. Ada beberapa definisi filsafat yang dikemukakan Harold Titus, yaitu: (1) Filsafat adalah suatu sikap tentang hidup dan alam semesta; (2) Filsafat adalah suatu metode berpikir reflektif dan penelitian penalaran; (3) Filsafat adalah suatu perangkat masalah-masalah; (4) Filsafat adalah seperangkat teori dan sistem berpikir. Berfilsafat merupakan salah satu kegiatan manusia yang memiliki peran penting dalam menentukan dan menemukan eksistensinya. Dalam kegiatan ini manusia akan berusaha untuk mencapai kearifn dan kebajikan. Kearifan merupakan hasil dari filsafat dari usaha mencapai hubungan-hubungan antara berbagai pengetahuan dan menentukan implikasinya, baik yang tersurat maupun yang tersurat dalam kehidupan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berfilsafat merupakan kegiatan berpikir yang khas, yaitu radikal, sistematis dan universal untuk mencari kearifan, kebenaran yang sesungguhnya dari segala sesuatu. Berfilsafat berarti berpikir merangkum (sinopsis) tentang pokok-pokok atau dasar-dasar dari hal yang ditelaahnya. B. Objek Filsafat Bila kita membicarakan tentang pengetahuan yang sistematis, pasti ada kejelasan mengenai objeknya. Objek dibedakan menjadi dua macam, yaitu objek material dan objek formal. Setiap ilmu mempunyai objek material dan objek formal masing-masing. Demikian pula halnya dengan filsafat. Sering orang mengatakan bahwa salah satu perbedaan antara ilmu empiris dan filsafat adalah karena objeknya ini. Objek material filsafat meliputi segala sesuatu yang ada. Segala sesuatu itu adalah Tuhan, alam dan manusia. Bandingkanlah dengan ilmu empiris dan ilmu agama. Objek ilmu empiris hanya manusia dan alam. Ilmu empiris tidak mempermasalahkan atau mengkaji tentang Tuhan, tetapi ilmu-ilmu agama (teologi) sebagian besar berisi kajian tentang ketuhanan ditinjau dari perspektif dan interpretasi manusia terhadap wahyu atau ajaran para Nabi. Ilmu filsafat 4
mengkaji tentang alam, manusia dan Tuhan. Sepanjang sejarah filsafat, kajian tentang alam menempati urutan pertama, kemudian disusul kajian tentang manusia dan Tuhan. Pada abad pertengahan di Eropa ketika filsafat menjadi abdi teologi, banyak kajian-kajian filsafati
tentang Tuhan. Setelah masuk zaman
modern, fokus kajian filsafat adalah manusia. Objek
formal (sudut pandang pendekatan) filsafat adalah dari sudut
pandang hakikatnya. Filsafat berusaha untuk membahas hakikat segala sesuatu. Hakikat artinya kebenaran yang sesungguhnya atau yang sejati, yang esensial, bukan yang bersifat kebetulan. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini. Manusia sebagai objek kajian ilmu dan filsafat dapat dikaji dari berbagai sudut pandang.
Manusia
dapat
dikaji
dari
sudut
interaksinya
dalam
hidup
bermasyarakat. Inilah sudut pandang sosiologi. Manusia juga dapat ditinjau dari sisi kejiwaannya. Inilah sudut pandang psikologi. Manusia dapat ditinjau dari perilakunya dalam memenuhi kebutuhan hidup yang cenderung tidak terbatas dihadapkan dengan benda-benda yang terbatas. Inilah sudut pandang ilmu ekonomi. Tetapi, manusia dapat pula dibahas dari sudut pandang yang hakiki. Inilah sudut pandang filsafat. Pertanyaan mendasar adalah: ―Siapakah manusia itu sebenarnya?‖. Ada berbagai macam jawaban terhadap pertanyaan tersebut. Salah satu jawaban yang terkenal dari Aristoteles bahwa manusia adalah animal rationale (binatang yang berpikir). C. Ciri khas filsafat Filsafat cenderung mempertanyakan apa saja secara kritis. Sebagaimana dinyatakan di atas bahwa membahas masalah manusia, alam semesta bahkan Tuhan. Jawaban filsafat sebagaimana dicontohkan di atas berbeda dari jawaban spontan. Perbedaannya terletak pada pertanggungjawaban rasional jawaban filsafat. Pertanggungjawaban rasional pada hakikatnya berarti bahwa setiap langkah harus terbuka terhadap segala pertanyaan dan sangkalan serta harus dipertahankan secara argumentatif, dengan argumen-argumen yang objektif, artinya yang dapat dimengerti secara intersubjektif (Magnis Suseno, 1995:20).
5
Walaupun filsafat terus mencari jawaban, tetapi jawaban yang diperoleh tidak pernah abadi. Oleh karena itu filsafat tidak pernah selesai dan tidak pernah sampai pada akhir sebuah masalah. Masalah-masalah filsafat adalah masalah manusia sebagai manusia, dan karena manusia di satu pihak tetap manusia dan di pihak lain berkembang dan berubah, maka masalah-masalah baru filsafat sebenarnya adalah masalah-masalah lama manusia. Perbincangan
filsafat
tetap
menantang
dan
ditantang
menuntut
pertanggungjawaban dan dituntut untuk mempertanggungjawabkan diri sendiri, mengusahakan pendalaman suatu permasalahan, menggali dasar-dasar masalah yang menjadi kesibukannya, termasuk usahanya sendiri. Artinya, filsafat tidak pernah puas diri, tidak pernah membiarkan sesuatu sebagai sudah selesai, selalu bersedia dan bahkan senang untuk membuka kembali perdebatan dan secara hakiki bersifat dialektis dalam arti bahwa setiap kebenaran menjadi lebih benar dengan setiap putaran tesis – antitesis – tesis – antitesis, dan seterusnya. Filsafat secara hakiki memerlukan dan menyenangi debat dan ―senang bertengkar‖ dalam merentangkan diri pada masalah-masalah yang paling dasar sekalipun. Bidang kajian filsafat itu sangat luas, karena permasalahan yang dikemukakan bersifat mendasar atau radikal. Ilmu-ilmu yang lain seperti ilmu pasti, fisika, kimia, sosiologi, ekonomi, psikologi dan sebagainya secara hakiki terbatas sifatnya. Untuk menghasilkan pengetahuan yang setepat mungkin, semua ilmu membatasi diri pada tujuan atau bidang tertentu. Untuk meneliti bidang itu secara optimal, ilmu-ilmu semakin mengkhususkan metode-metodenya dan oleh karena itu ilmu-ilmu khusus itu tidak memiliki sarana teoritis untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di luar perspektif pendekatan khusus masing-masing. Artinya, ilmu-ilmu khusus itu membahas objeknya hanya dari satu sudut pandang tertentu yang lebih sempit cakupannya dibandingkan ilmu filsafat. Ilmu filsafat membahas objeknya secara lebih umum atau menyeluruh. Sebagaimana dicontohkan di atas bahwa filsafat membahas tentang hakikat manusia; berarti manusia secara menyeluruh, bukan hanya jiwanya (kajian psikologi) atau interaksinya satu dengan yang lain (kajian sosiologi) atau kebutuhan hidupnya (kajian ekonomi).
6
Dengan kata lain ilmu-ilmu khusus tidak menggarap pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut manusia sebagai keseluruhan, sebagai suatu kesatuan yang dinamis, Padahal pertanyaan-pertanyaan itu terus-menerus dikemukakan manusia dan sangat penting bagi praksis kehidupannya, seperti: -
Apa arti dan tujuan hidup saya?
-
Apa yang menjadi kewajiban saya sebagai manusia?
-
Bagaimana saya harus bertanggung jawab?
-
Bagaimana saya harus hidup agar menjadi lebih baik sebagai manusia?
-
Apa arti dan implikasi martabat saya dan martabat orang lain sebagai manusia?
-
Apa arti transendensi yang saya rasakan dalam diri saya?
-
Apa arti keadilan dalam hidup manusia?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak mampu dijawab oleh ilmu-ilmu khusus, karena keterbatasan objek formalnya. Tetapi, pertanyaan-pertanyaan tersebut begitu penting, maka manusia berkepentingan agar pertanyaan-pertanyaan itu ditangani secara rasional dan bertanggung jawab. Di sinilah bidang garap filsafat dalam usaha manusia untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Ringkasnya, filsafat dapat dipandang sebagai usaha manusia untuk menangani dan menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental secara bertanggung jawab. Tanpa usaha ilmiah filsafat, pertanyaan-pertanyaan itu hanya akan dijawab secara spontan dan dengan demikian selalu ada bahaya bahwa jawaban-jawaban yang diberikan terdistorsi oleh selera subjektif dan oleh kepentingan pihak-pihak tertentu (Magnis suseno, 1995: 18-19). D. Cabang-cabang filsafat Sidi Gazalba (1973) mengemukakan bidang permasalahan filsafat terdiri atas: 1) Metafisika, dengan pokok-pokok masalah: filsafat hakikat atau ontologi, filsafat alam atau kosmologi, filsafat manusia, dan filsafat ketuhanan atau teodyce.
7
2) Teori pengetahuan atau epistemologi, yang mempersoalkan: hakikat pengetahuan, dari mana asal atau sumber pengetahuan, bagaimana membentuk pengetahuan yang tepat dan yang benar, apa yang dikatakan pengetahuan yang benar, mungkinkah manusia mencapai pengetahuan yang benar dan apakah dapat diketahui manusia, serta sampai di mana batas pengetahuan manusia. 3) Filsafat nilai atau aksiologi yang membicarakan: hakikat nilai, di mana letak nilai, apakah pada bendanya atau pada perbuatannya atau pada manusia yang menilainya; mengapa terjadi perbedaan nilai antara seseorang dengan orang lain, siapakah yang menentukan nilai, mengapa perbedaan ruang dan waktu membawa perbedaan penilaian Louis O. Kattsoff (1987: 74-82) membagi cabang-cabang filsafat menjadi dua bagian besar, yaitu cabang filsafat yang memuat materi ajar tentang alat dan cabang filsafat yang memuat tentang isi atau bahan-bahan dan informasi. Cabang filsafat yang merupakan alat adalah Logika, termasuk di dalamnya Metodologi. Sedangkan cabang filsafat yang merupakan isi adalah:
Metafisika
Epistemologi
Biologi Kefilsafatan
Psikologi Kefilsafatan
Antropologi Kefilsafatan
Sosiologi Kefilsafatan
Etika
Estetika
Filsafat Agama
1. Logika Logika membicarakan teknik-teknik untuk memperoleh kesimpulan dari suatu perangkat bahan tertentu. Kadang-kadang Logika didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang penarikan kesimpulan. Logika dibagi dalam dua cabang utama, yakni logika deduktif dan logika induktif.
8
Logika deduktif berusaha menemukan aturan-aturan yang dapat dipergunakan untuk menarik kesimpulan-kesimpulan yang bersifat keharusan dari satu premis tertentu atau lebih. Memperoleh kesimpulan yang bersifat keharusan itu yang paling mudah ialah bila didasarkan atas susunan proposisiproposisi dan akan lebih sulit bila yang diperhatikan ialah isi proposisiproposisi tersebut. Logika yang membicarakan susunan-susunan proposisi dan penyimpulan yang sifat keharusannya berdasarkan atas susunannya, dikenal sebagai logika deduktif atau logika formal. Logika induktif mencoba untuk menarik kesimpulan tidak dari susunan proposisi-proposisi, melainkan dari sifat-sifat seperangkat bahan yang diamati. Logika induktif mencoba untuk bergerak dari suatu perangkat fakta yang diamati secara khusus menuju ke pernyataan yang bersifat umum mengenai semua fakta yang bercorak demikian, atau dari suatu perangkat akibat tertentu menuju kepada sebab atau sebab-sebab dari akibat-akibat tersebut. Bagi logika deduktif ada suatu perangkat aturan yang dapat dikatakan hampir-hampir otomatis; bagi logika induktif tidak ada aturan-aturan yang demikian itu, kecuali hukum-hukum probabilitas. Yang termasuk pertanyaanpertanyaan terpokok di dalam logika ialah: a. Apakah aturan-aturan bagi penyimpulan yang sah? b. Apakah ukuran-ukurannya bagi hipotesis yang baik? c. Apakah corak-corak penalaran yang logis itu? d. Apakah yang menyebabkan tersusunnya sebuah definisi yang baik.
2. Metodologi Metodologi ialah ilmu pengetahuan tentang metode dan khususnya metode ilmiah. Tampaknya semua metode yang berharga dalam menemukan pengetahuan mempunyai garis-garis besar umum yang sama. Metodologi membicarakan hal-hal seperti sifat observasi, hipotesis, hukum, teori, susunan eksperimen dan sebagainya.
9
3. Metafisika Metafisika adalah cabang filsafat mengenai yang ada. Aristoteles mendefinisikan metafisika sebagai ilmu mengenai yang ada sebagai yang ada, yang dilawankan dengan yang ada sebagai yang digerakkan dan yang ada sebagai yang dijumlahkan. Istilah metafisika sejak lama digunakan di Yunani untuk
menunjukkan
karya-karya
tertentu
Aristoteles.
Maka,
istilah
metafisikapun berasal dari bahasa Yunani: meta ta physika yang berarti ―halhal yang terdapat sesudah fisika‖. Dewasa ini metafisikan dipergunakan baik untuk menunjukkan filsafat pada umumnya maupun untuk menunjukkan cabang filsafat yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan terdalam. Metafisika juga sering disamakan artinya dengan ontologi. Sebenarnya, ontologi adalah bagian dari metafisika. Secara sederhana metafisika dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat atau bagian pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan pertanyaan mengenai hakikat ada yang terdalam. Pada umumnya orang mengajukan dua pertanyaan yang bercorak metafisika, misalnya : (1) Apakah saya ini tidak berbeda dengan batu karang? Apakah roh saya hanya merupakan gejala materi? (2) Apakah yang merupakan asal mula jagad raya? Apakah yang menjadikan pusat jagad raya dan bukannya suatu keadaan yang bercampur aduk? Apakah hakikat ruang dan waktu itu? Pertanyaan jenis pertama termasuk ontologi, pertanyaan kedua termasuk kosmologi. Perkataan ―kosmologi‖ berasal dari perkataan Yunani, cosmos (alam semesta yang teratur) dan logos (penyelidikan tentang, azas-azas rasional dari). Jadi, kosmologi berarti penyelidikan tentang alam semesta yang teratur. Perkataan ―ontologi‖ berasal dari perkataan Yunani ontos yang berarti yang ada
dan logos yang berarti penyelidikan tentang. Jadi, ontologi diartikan
sebagai penyelidikan tentang yang ada. Ontologi berusaha untuk mengetahui esensi yang terdalam dari yang ada, sedangkan kosmologi berusaha untuk mengetahui ketertibannya serta susunannya. Contoh pandangan ontologis adalah materialisme. Materialisme ialah ajaran ontologi yang mengatakan
10
bahwa yang ada yang terdalam bersifat material. Evolusi sebagai teori kefilsafatan merupakan teori kosmologi, karena teori ini memberitahukan kepada kita bagaimana timbulmya ketertiban yang ada sekarang. Apakah kenyataan itu mengandung tujuan atau bersifat mekanis (artinya, bersifat teleologis atau tidak) merupakan suatu pertanyaan penting di bidang ontologi. 4. Epistemologi Menurut Kattsoff, epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan. Pertanyaan yang mendasar ialah: Apakah mengetahui itu? Apakah yang merupakan asal mula pengetahuan kita? Bagaimanakah cara kita membedakan antara pengetahuan dengan pendapat? Apakah yang merupakan bentuk pengetahuan itu? Corakcorak pengetahuan apakah yang ada? Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan? Apakah kebenaran dan kesesatan itu? Apakah kesalahan itu? 5. Biologi Kefilsafatan Biologi
kefilsafatan
membicarakan
persoalan-persoalan
mengenai
biologi, menganalisa pengertian hakiki dalam biologi. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai pengertian hidup, adaptasi, teleologi, evolusi dan penurunan sifat-sifat. Biologi kefilsafatan juga membicarakan tentang tempat hidup dalam rangka segala sesuatu, dan arti pentingnya hidup bagi penafsiran kita tentang alam semesta tempat kita hidup. Seorang filsuf dapat menghubungkan bahan-bahan yang ditemukan oleh ilmuwan biologi dengan teori-teori yang dikemukakan untuk menerangkan bahan-bahan tersebut. Ia dapat menolong seorang ahli biologi untuk bersifat kritis, bukan hanya terhadap istilah-istilahnya, melainkan juga terhadap metode-metode dan teori-teorinya. 6. Psikologi Kefilsafatan Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam bidang psikologi kefilsafatan adalah: Apakah yang dinamakan jiwa itu? Apakah jiwa tiada lain dari kumpulan jalur urat-urat syaraf, ataukah sesuatu yang bersifat khas? Apakah 11
kita harus mengadakan pembedaan antara jiwa (mind) dengan nyawa (soul)? Apakah hubungan antara jiwa dan tubuh, bila kedua hal itu dianggap berbeda? Apakah yang dimaksud dengan ―ego‖? Apakah yang merupakan kemampuankemampuan yang menyebabkan ego itu berfungsi? Bagaimanakah susunan jiwa itu? Bagaimana halnya dengan perasaan dan kehendak? Apakah keduanya merupakan bagian dari jiwa ataukah merupakan kemampuan yang terpisah? Apakah akal itu dan bagaimana hubungannya dengan tubuh? Demikianlah di dalam lapangan psikologi, seorang filsuf mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat hakiki. Dan apa yang pada suatu ketika dulu semuanya merupakan bagian filsafatm dibagi dalam dua lapangan psikologi, yaitu psikologi sebagai ilmu dan psikologi kefilsafatan. Kedua hal ini tidak pernah terpisah, melainkan hanya segi-segi yang berbeda dari masalah yang sama. 7. Antropologi Kefilsafatan Antropologi kefilsafatan mengemukakan pertanyaan-pertanyaan tentang manusia. Dimulai sejak abad kelima sebelum Masehi, setelah melalui penyelidikan yang lama, Socrates tampil ke depat dengan semboyannya: ―Kenalilah dirimu sendiri!‖. Artinya, filsafat tidak cukup hanya membicarakan tentang alam saja, tetapi yang tak-kalah penting adalah bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang manusia itu sendiri. Apakah hakikat terdalam manusia itu ? Ada pilihan penafsiran apa sajakah mengenai hakikat manusia? Yang manakah yang lebih mendekati kebenaran? Antropologi kefilsafatan juga membicarakan tentang makna sejarah manusia dan arah kecenderungan sejarah. Sejarah juga dikaji dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu alam, atau dengan nafsu-nafsu atau dogma keagamaan, atau perjuangan untuk kelangsungan hidup. Telah banyak penjelasan yang diberikan mengenai hal ini.
12
8. Sosiologi Kefilsafatan Sosiologi kefilsafatan merupakan istilah lain untuk filsafat sosial dan filsafat politik. Di dalam filsafat sosial dan filsafat politik, biasanya dikemukakan pertanyaan-pertanyaan mengenai hakikat masyarakat dan hakikat negara, lembaga-lembaga yang terdapat di masyarakat dan hubungan manusia dengan negaranya. Jadi, kita mengadakan perenungan masalah sosiologi dan ilmu
politik. Perenungan filsafati
mengadakan pertanyaan-pertanyaan:
Bagaimanakah praanggapan kedua ilmu tersebut mengenai metode-metode yang digunakan? Apa makna hakiki dari
istilah-istilah yang digunakan?
Masalah-masalah ideologi juga dipertanyakan. Misalnya, ideologi manakah yang lebih dapat diterima di masa depan dan ideologi manakah yang dapat menimbulkan malapetaka? 9. Etika Di dalam melakukan pilihan, manusia mengacu kepada istilah-istilah seperti baik, buruk, kebajikan, kejahatan dan sebagainya. Istilah-istilah ini merupakan predikat-predikat kesusilaan (etik). Cabang filsafat yang membahas masalah ini adalah etika. Dalam kondisi yang bagaimanakah kita mengadakan tanggapan-tanggapan kesusilaan? Ukuran-ukuran apakah yang dipakai untuk menguji tanggapan-tanggapan kesusilaan? Tujuan pokok etika adalah menemukan norma-norma untuk hidup dengan baik. Berkaitan dengan itu muncul pertanyaan-pertanyaan: Apakah yang menyebabkan suatu perbuatan yang baik itu adalah baik secara etik? Bagaimanakah cara kita melakukan pilihan di antara hal-hal yang baik? Itulah beberapa contoh pertanyaan di dalam penyelidikan etika. 10. Estetika Dua istilah pokok telah digunakan di dalam kajian filsafat, yakni ―kebenaran‖ dan ―kebaikan‖. Kebenaran merupakan tujuan yang hendak dicapai dalam pembicaraan kita tentang epistemologi dan metodologi. Kebaikan merupakan masalah yang diselidiki dalam etika. Pada hal-hal ini kita tambahkan unsur
ketiga dari ketritunggalan besar yang mendasari semua
13
peradaban, yakni ―keindahan‖. Cabang filsafat yang membicarakan definisi, susunan dan peranan keindahan, khususnya di dalam seni, dinamakan estetika. Pertanyaan-pertanyaan filsafati di dalam perbincangan estetika adalah: Apakah keindahan itu? Apa hubungan antara yang indah dengan yang benar dan yang baik? Apakah ada ukuran yang dapat dipakai untuk menanggapi suatu karya seni dalama rti yang objektif? Apakah fungsi keindahan dalam hidup kita? Apakah seni itu ? Apakah seni hanya sekedar reproduksi alam kodrat belaka, ataukah suatu ungkapan perasaaan seseorang, ataukah suatu penglihatan ke dalam kenyataan yang terdalam? 11. Filsafat Agama Jika kita ingin mengetahui sesuatu di dalam kepercayaan agama tertentu, maka tanyalah kepada para ahli agama atau ulama-ulamanya. Sedangkan bagi seorang filsuf, ia akan membicarakan jenis-jenis pertanyaan yang berbeda mengenai agama. Pertama-tama ia mungkin akan bertanya: Apakah agama itu? Apakah yang dimaksud dengan istilah ―Tuhan‖ itu? Apakah bukti-bukti tentang adanya Tuhan itu sehat menurut logika? Bagaimanakah cara kita mengetahui Tuhan? Apakah makna ―eksistensi‖ bila istilah ini dipergunakan dalam hubungannya dengan Tuhan? Filsafat agama tidak berkepentingan dengan apa yang orang percayai. Tetapi kepada makna istilah-istilah yang dipergunakan, keruntutan di antara kepercayaan-kepercayaan, bahan-bahan bukti bagi kepercayaan, dan hubungan antara kepercayaan agama dengan kepercayaan-kepercayaan yang lain. Yang erat hubungannya dengan kepercayaan agama adalah kepercayaan mengenai keabadian hidup. Meskipun masalah ini tidak monopoli milik agama, tetapi merupakan masalah terpenting bagi penganut-penganutnya. Demikianlah
pembahasan
cabang-cabang
filsafat
sebagaimana
dikemukakan oleh Louis O. Kattsoff. Tetapi, di samping cabang-cabang yang telah diuraikan tersebut, sebenarnya masih banyak cabang-cabang filsafat yang berkaitan dengan hal-hal khusus, disebut sebagai cabang filsafat khusus.
14
Kattsoff hanya membicarakan empat cabang filsafat khusus, yaitu antropologi kefilsafatan, biologi kefilsafatan, psikologi kefilsafatan dan filsafat agama. Sebenarnya, ada banyak lagi cabang filsafat yang berkaitan dengan ilmu lain. Apabila filsafat berpaling perhatiannya pada sains, maka akan lahir filsafat sains. Apabila filsafat menguji konsep dasar hukum, maka lahirlah filsafat hukum. Apabila filsafat berhadapan dan memikirkan masalah-masalah hakiki pendidikan, maka lahirlah filsafat pendidikan (Uyoh Sadulloh, 2007:54). E. Rangkuman Pengertian filsafat secara etimologis berasal dari bahasa Yunani: philein dan sophos yang berarti cinta kebijaksanaan atau cinta kearifan. Secara terminologis, filsafat diartikan sebagai ilmu yang membahas hakikat segala sesuatu yang ada (manusia, alam semesta dan Tuhan). Secara historis, filsafat adalah induk segala ilmu. Sebelum ilmu-ilmu berkembang dan mempunyai nama-nama sendiri seperti sekarang, dahulu kebenaran rasional yang direnungkan dan ditemukan orang dinamakan filsafat. Objek material filsafat adalah manusia, alam semesta dan Tuhan. Pembahasan filsafat selama ini lebih banyak membahas tentang manusia dilihat dari berbagai dimensinya. Objek formal filsafat adalah perenungan atau refleksi terhadap segala sesuatu (manusia, alam dan Tuhan) untuk mendapatkan hakikatnya yang terdalam. Sebagai sebuah kajian, filsafat mempunyai ciri berpikir tersendiri, yaitu radikal, sistematis dan universal. Ciri radikal yang merupakan ciri pokok filsafat. Sedangkan dua ciri yang lain (sistematis dan universal) juga terdapat pada ilmuilmu empiris maupun ilmu agama. Ada banyak pandangan tentang cabang-cabang filsafat. Masing-masing ahli filsafat mempunyai telaah sendiri-sendiri. Tetapi ada cabang-cabang filsafat yang utama, yaitu metafisika, epistemologi, aksiologi, logika, etika, estetika dan filsafat khusus. Filsafat khusus di antaranya adalah filsafat sains, filsafat hukum, filsafat
15
sosial, filsafat politik dan filsafat pendidikan. Pada uraian selanjutnya akan dibahas khusus mengenai filsafat pendidikan.
16
BAB II KONSEP FILSAFAT PENDIDIKAN
A. Pengertian Pendidikan George F. Kneller (Dwi Siswoyo, 1995: 5) mengatakan pendidikan dapat dipandang dalam arti luas dan teknis, atau dalam arti hasil dan dalam arti proses. Dalam arti yang luas, pendidikan menunjuk pada suatu tindakan atau pengalaman yang mempunyai pengaruh berhubungan dengan pertumbuhan atau perkembangan pikiran (mind), watak (character), atau kemampuan fisik (physical ability) individu. Pendidikan dalam artian ini berlangsung terus seumur hidup. Dalam arti teknis, pendidikan adalah proses yang terjadi di dalam masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi, atau lembaga-lembaga lain), yang dengan sengaja mentransformasi warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai dan ketrampilan-ketrampilan dari generasi ke generasi. Sedangkan dalam arti hasil, pendidikan adalah apa yang diperoleh melalui belajar, baik berupa pengetahuan, nilai-nilai maupun keterampilan-keterampilan. Sebagai suatu proses, pendidikan melibatkan perbuatan belajar itu sendiri; dalam hal ini pendidikan sama artinya dengan perbuatan mendidik seseorang atau mendidik diri sendiri. John Dewey (1916: 3) mengatakan bahwa pendidikan dalam arti yang sangat luas diartikan sebagai cara atau jalan bagi keberlangsungan kehidupan sosial. Setiap orang adalah bagian dari kelompok sosial yang terlahir dalam kondisi belum memiliki perangkat-perangkat kehidupan sosial seperti bahasa, keyakinan, ide-ide ataupun norma-norma sosial. Keberlangsungan kehidupan sosial itulah yang menjadi pengalaman hidup manusia. Selengkapnya, Dewey mengatakan sebagai berikut: Education, in its broadest sense, is the means of this social continuity of life. Everyone of the constituent elements of a social group, in a modern city as in a savage tribe, is born immature, helpless, without language, beliefs, ideas, or social standards. Each individual, each unit who is the carrier of the life-experience of his group, in time passes away.Yet the life of the group goes on. 17
Gerald L. Gutek (1988: 4) mengatakan bahwa pendidikan dalam pengertian yang sangat luas adalah keseluruhan proses sosial yang membawa seseorang ke dalam kehidupan berbudaya. Spesies manusia secara biologis melakukan reproduksi sebagaimana halnya makhluk hidup lainnya, tetapi dengan hidup dan berpartisipasi dalam sebuah kebudayaan, manusia secara bertahap mengalami proses ‖menjadi‖ sebagai penerima dan partisipan dalam sebuah kebudayaan. Banyak orang dan lembaga sosial yang terlibat dalam proses akulturasi generasi muda. Selanjutnya, Gutek (1988: 4) mengatakan bahwa pendidikan dalam arti yang lebih formal dan sempit terjadi di sekolah, yaitu suatu agensi khusus yang dibentuk untuk menanamkan keterampilan, pengetahuan dan nilai-nilai dalam diri subjek didik. Di sekolah terdapat guru-guru yang dipandang ahli dalam proses pembelajaran. Pendidikan informal berhubungan pula dengan pendidikan formal atau persekolahan. Program pengajaran, kurikulum dan metode mengajar harus dikaitkan dan disesuaikan dengan ketentuan yang ada dalam masyarakat. Ki Hadjar Dewantara (1977: 20) berpendapat bahwa pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggitingginya. Dengan pengertian pendidikan yang dikemukakan oleh para ahli dan yang tercantum di dalam undang-undang, dapat diperoleh gambaran mengenai unsurunsur esensial yang tercakup didalam pendidikan, yaitu: 1. Pendidikan dapat diartikan dalam arti sempit dan luas. Dalam arti sempit, pendidikan adalah proses transformasi pengetahuan, sikap, nilai-nilai, perilaku dan ketrampilan dari pendidik kepada peserta didik. Dalam arti luas, pendidikan adalah proses pembudayaan yang berlangsung sepanjang hidup manusia. 2. Pendidikan mengandaikan adanya hubungan antara dua pihak, yaitu pendidik dan
subjek
didik
yang
saling
memengaruhi
kemampuannya, untuk melaksanakan proses pendidikan
18
walaupun
berbeda
3. Pendidikan adalah proses sepanjang hayat yang tidak berhenti sampai manusia menghadapi kematian. 4. Pendidikan merupakan usaha yang menjadi ciri khas aktivitas manusia.
B. Berbagai Pengertian Filsafat Pendidikan Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli mengenai filsafat pendidikan. Kneller (1971: 4) mengatakan sebagai berikut: Just a formal philosophy attemps to understand reality as a whole by explaining it in the most general and systematic way, so educational philosophy seeks to comprehend educationin its entirely, interpreting it by means of generals concept that will guide our choice of educational ends and policies. In the same way that general philosophy coordinates the findings of the different sciences, educational philosophy interprets these findings as they bear on education. Scientific theories do not carry direct educational implication; they cannot be applied to educational practice without first being examined philosophically. Dari pendapat Kneller tersebut dapat dipahami bahwa filsafat dalam arti formal berusaha untuk memahami kenyataan sebagai suatu keseluruhan dengan menjelaskannya sedemikian rupa secara umum dan sistematis.
Pernyataan
Kneller sejalan dengan pendapat Ahmad Tafsir (2010: 5) yang mengatakan bahwa objek yang diteliti filsafat ialah objek yang abstrak; paradigma yang mendasari penelitiannya ialah paradigma rasional; metode penelitiannya disebut metode rasional. Demikian pula halnya dengan filsafat pendidikan yang berusaha untuk memahami pendidikan secara lebih mendalam, menafsirkannya dengan menggunakan konsep-konsep umum yang dapat menjadi petunjuk atau arah bagi tujuan-tujuan dan kebijakan pendidikan. Dengan cara yang sama, filsafat umum mengkoordinasikan temuan-temuan dari berbagai cabang ilmu, dan filsafat pendidikan menafsirkan temuan-temuan ini untuk digunakan dalam bidang pendidikan. Teori-teori ilmiah tidak memiliki implikasi langsung dalam pendidikan; teori-teori ini tidak dapat langsung diterapkan dalam praktik pendidikan tanpa terlebih dahulu diuji secara filsafati (Kneller, 1971: 5). Teori filsafat pendidikan ialah teori rasional tentang pendidikan. Teori tersebut tidak 19
pernah dapat dibuktikan secara empiris. Di samping teori filsafat pendidikan, ada pula teori ilmu pendidikan. Teori ini adalah teori rasional dan ada bukti empiris tentang pendidikan (Tafsir, 2010: 6). Selanjutnya, Kneller juga mengatakan bahwa filsafat pendidikan bersandar pada filsafat umum atau filsafat formal; artinya masalah-masalah pendidikan juga merupakan bagian dari cara berpikir filsafat secara umum. Seseorang tidak dapat mengeritik kebijakan pendidikan yang ada atau menyarankan kebijakan yang baru tanpa memikirkan masalah-masalah filsafati yang umum seperti hakikat kehidupan yang baik sebagai arah yang akan dituju oleh pendidikan, kodrat manusia itu sendiri, sebab yang dididik itu adalah manusia; dan yang dicari adalah hakikat kenyataan yang terdalam, yang menjadi pencarian semua cabang ilmu. Maka, filsafat pendidikan merupakan penerapan filsafat formal dalam lapangan pendidikan (Kneller, 1971: 5). Sebagaimana halnya dengan filsafat umum, filsafat pendidikan bersifat spekulatif, preskriptif, dan analitik. Bersifat spekulatif artinya bahwa filsafat membangun teori-teori tentang hakikat manusia, masyarakat dan dunia dengan cara menyusunnya sedemikian rupa dan menginterpretasikan berbagai data dari penelitian
pendidikan
dan
penelitian
ilmu-ilmu
perilaku
(psikologi
behavioristik). Filsafat bersifat preskriptif artinya filsafat pendidikan mengkhususkan tujuan-tujuannya, yaitu bahwa pendidikan seharusnya mengikuti tujuan-tujuan itu dan cara-cara yang umum harus digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Filsafat pendidikan bersifat analitik tatkala filsafat pendidikan berupaya menjelaskan
pernyataan-pernyataan
spekulatif
dan
preskriptif,
menguji
rasionalitas ide-ide pendidikan, baik konsistensinya dengan ide-ide yang lain maupun cara-cara yang berkaitan dengan adanya distorsi pemikiran. Konsepkonsep pendidikan diuji secara kritis; demikian pula dikaji juga apakah konsepkonsep tersebut memadai ataukah tidak, ketika berhadapan dengan fakta yang sebenarnya. Filsafat pendidikan berusaha menjelaskan banyak makna yang
20
berbeda yang berhubungan dengan berbagai istilah-istilah yang banyak digunakan dalam lapangan pendidikan seperti ‖kebebasan‖, ‖penyesuaian‖. ‖pertumbuhan‖, ‖pengalaman‖, ‖kebutuhan‖, dan ‖pengetahuan‖. Penjernihan istilah-istilah tersebut akan sampai pada hal-hal yang bersifat hakiki, maka kajian
filsafati tentang pendidikan akan ditelaah oleh cabang
filsafat yang bernama metafisika atau ontologi. Ontologi menjadi salah satu landasan dalam filsafat pendidikan. Selain itu, kajian pendidikan secara filsafati memerlukan pula landasan epistemologis dan landasan aksiologis.
C. Hubungan Filsafat dan Pendidikan Filsafat mempunyai hubungan yang erat dengan pendidikan, baik pendidikan dalam arti teoritis maupun praktik. Setiap teori pendidikan selalu didasari oleh suatu sistem filsafat tertentu yang menjadi landasannya. Demikian pula, semua praktik pendidikan yang diupayakan dengan sungguh-sungguh sebenarnya dilandasi oleh suatu pemikiran filsafati yang menjadi ideologi pendorongnya. Pemikiran filsafati tersebut berusaha untuk diwujudkan dalam praktik pendidikan. Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat
Imam
Barnadib bahwa filsafat pendidikan pada dasarnya merupakan penerapan suatu analisis filosofis terhadap lapangan pendidikan. John Dewey, seorang filsuf Amerika yang sangat terkemuka mengatakan bahwa filsafat merupakan teori umum dari pendidikan, landasan dari semua pemikiran mengenai pendidikan (Barnadib, 1994: 4) Selanjutnya, Imam Barnadib mengatakan bahwa hubungan filsafat dan pendidikan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1. Hubungan keharusan Berfilsafat berarti mencari nilai-nilai ideal (cita-cita) yang lebih baik, sedangkan pendidikan mengaktualisasikan nilai-nilai ini dalam kehidupan manusia. Pendidikan bertindak mencari arah yang terbaik, dengan berbekal teori-teori pendidikan yg diberikan antara lain oleh pemikiran filsafat . 2.
Dasar pendidikan Filsafat mengadakan tinjauan yang luas terhadap realita termasuk manusia, maka dibahaslah antara lain pandangan dunia dan pandangan hidup. 21
Konsep-konsep ini selanjutnya menjadi dasar atau landasan penyusunan tujuan dan metodologi pendidikan. Sebaliknya pengalaman pendidik dalam realita menjadi masukan dan pertimbangan bagi filsafat utk mengembangkan pemikiran pendidikan. Filsafat memberi dasar-dasar dan nilai-nilai yang sifatnya das Sollen (yang seharusnya), sedangkan praksis pendidikan berusaha mengimplementasikan dasar-dasar tersebut, tetapi juga memberi masukan dari realita terhadap pemikiran ideal pendidikan dan manusia. Jadi, ada hubungan timbal balik di antara keduanya.
D. Manfaat Belajar Filsafat Pendidikan Mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di lembaga pendidikan tenaga keguruan dituntut untuk memikirkan masalah-masalah hakiki terkait pendidikan. Pemikiran mahasiswa menjadi lebih terasah terhadap persoalan-persoalan pendidikan baik dalam lingkup mikro maupun makro. Hal ini menjadikan mahasiswa lebih kritis dalam memandang persoalan pendidikan. Di samping itu, mahasiswa yang mempelajari dan merenungkan masalahmasalah hakiki pendidikan akan memperluas cakrawala berpikir mereka sehingga dapat
lebih arif dalam memahami problem pendidikan Sebagai
intelektual muda yang kelak menjadi pendidik atau tenaga kependidikan sudah sewajarnya bila mereka dituntut untuk berpikir reflektif dan bukan sekedar berpikir teknis di dalam memecahkan problem-problem dasar kependidikan dengan menggunakan kebebasan intelektual dan tanggung jawab sosial yang melekat padanya.
E. Ruang Lingkup Kajian Filsafat Pendidikan Hal-hal yang menjadi kajian filsafat pendidikan sangat luas cakupannya, yaitu: 1. Merumuskan secara tegas sifat hakiki pendidikan 2. Merumuskan hakikat manusia sebagai subjek dan objek pendidikan. 3. Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan, agama dan kebudayaan
22
4. Merumuskan hubungan antara filsafat, filsafat pendidikan dan teori pendidikan. 5. Merumuskan hubungan antara filsafat negara (ideologi), filsafat pendidikan dan politik pendidikan (sistem pendidikan) 6. Merumuskan sistem nilai dan norma atau isi moral pendidikan yang menjadi tujuan pendidikan.
F. Rangkuman Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa filsafat pendidikan merupakan cabang filsafat yang
berusaha untuk memahami pendidikan secara lebih
mendalam, menafsirkannya dengan menggunakan konsep-konsep umum yang dapat menjadi petunjuk atau arah bagi tujuan-tujuan dan kebijakan pendidikan. Sebagai cabang filsafat, pemikiran filsafati terhadap pendidikan juga mempunyai ciri spekulatif, preskritif, dan analitik. Filsafat
dan
pendidikan
tidak
dapat
dipisahkan,
karena
filsafat
mengandung hal-hal yang seharusnya dilaksanakan di dalam praktik pendidikan, demikian pula praktik pendidikan dapat menjadi bahan pemikiran reflektif mengenai pendidikan. Manfaat belajar filsafat pendidikan lebih bersifat manfaat teoritis, bukan praktis-teknis, yaitu agar para peserta didik (mahasiswa) terbiasa untuk memahami persoalan hakiki pendidikan secara kritis, terbuka dan reflektif.
23
BAB III LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN A. Tiga Landasan Utama Filsafat Pendidikan Filsafat memberikan asumsi-asumsi dasar bagi
setiap cabang ilmu
pengetahuan. Demikian pula halnya dengan pendidikan.
Ketika filsafat
membahas tentang ilmu alam, maka diperoleh filsafat ilmu alam. Ketika filsafat mempertanyakan konsep dasar dari hukum, maka terciptalah filsafat hukum, dan ketika filsafat mengkaji masalah-masalah dasar pendidikan, maka terciptalah cabang filsafat yang bernama filsafat pendidikan (Kneller, 1971: 4) Jadi, setiap bidang ilmu mempunyai landasan-landasan filsafat masing-masing. Unsur-unsur esensial dalam landasan filsafat pendidikan ada tiga yang utama, yaitu yaitu landasan ontologis, landasan epistemologis, dan landasan aksiologis. Kesemua landasan tersebut akan dijelaskan pada sub bab berikut ini.
B. Landasan Ontologis Pendidikan Landasan ontologis atau sering juga disebut landasan metafisik merupakan landasan filsafat yang menunjuk pada keberadaan atau substansi sesuatu. Misalnya, pendidikan secara ilmiah ditujukan untuk mensistematisasikan konsep-konsep dan praktik pendidikan yang telah dikaji secara metodologis menjadi suatu bentuk pengetahuan tersendiri yang disebut Ilmu Pendidikan. Pengetahuan ilmiah mengenai pendidikan pada hakikatnya dilandasi oleh suatu pemikiran filsafati mengenai manusia sebagai subjek dan objek pendidikan, pandangan tentang alam semesta; tempat manusia hidup bersama, dan pandangan tentang Tuhan sebagai pencipta manusia dan alam semesta tersebut. Kneller (1971: 6) mengatakan bahwa metafisika adalah cabang filsafat yang bersifat spekulatif, membahas hakikat kenyataan terdalam. Metafisika mencari jawaban atas persoalan mendasar: Adakah alam semesta ini mempunyai desain rasional atau hanya sesuatu yang tidak ada maknanya? Apakah pikiran itu merupakan kenyataan dalam dirinya atau hanya sekedar sebentuk materi yang bergerak? Apakah perilaku semua organisme telah ditentukan atau apakah ada organisme, misalnya manusia, yang mempunyai ukuran kebebasan?
24
Dengan kemunculan ilmu-ilmu empiris, banyak orang meyakini bahwa metafisika telah ketinggalan jaman. Temuan ilmu-ilmu empiris tampak lebih dipercaya, sebab temuannya dapat diukur, sedangkan pemikiran metafisik tampaknya tidak dapat diverifikasi dan tidak bersifat aplikatif. Metafisika dan ilmu-ilmu empiris seolah merupakan dua bidang kegiatan yang berbeda. Sebenarnya, ilmu-ilmu empiris mendasarkan diri pada asumsi-asumsi metafisik, tetapi banyak orang yang tidak menyadarinya.
Sebagaimana
dinyatakan oleh ahli fisika Max Planck bahwa gambaran dunia secara ilmiah yang diperoleh dari pengalaman tetaplah selalu hanya suatu perkiraan saja; suatu model yang lebih kurang. Oleh karena ada objek material di belakang setiap sensasi inderawi, maka demikian pula ada kenyataan metafisik di belakang segala sesuatu, yang menjadi nyata dalam pengalaman hidup manusia (Kneller, 1971: 6). Gutek (1988: 2) mengatakan bahwa metafisika berkaitan dengan perumusan teori dan praktik pendidikan dalam berbagai hal. Subjek, pengalaman dan keterampilan yang termuat di dalam kurikulum merefleksikan konsep tentang kenyataan yang diyakini oleh suatu masyarakat yang menjadi pendukung keberadaan sebuah sekolah. Gutek mengatakan: ”Much of formal schooling represents the attempt of curriculum-makers, teachers, and textbook authors to describe certain aspects of reality to students. For example, subjects such as history, geography, chemistry, and so on, describe certain phases of reality to students (Gutek, 1988: 2). Persekolahan mewakili upaya dari pembuat kurikulum, guru-guru dan pengarang buku-buku teks dalam menggambarkan aspek-aspek kenyataaan kepada subjek didik. Contohnya, pelajaran sejarah, geografi, kimia dan lain-lain menggambarkan fase tertentu dari kenyataaan kepada subjek didik.
C. Landasan Epistemologis Pendidikan Epistemologi adalah cabang filsafat yang disebut juga teori mengetahui dan pengetahuan. Epistemologi sangat penting bagi para pendidik. Epistemologi membahas konsep dasar dan sangat umum dari proses mengetahui, sehingga erat kaitannya dengan metode pengajaran dan pembelajaran. Sebagai contoh, seorang 25
yang berpaham idealisme berpegang pada keyakinan bahwa proses mengetahui atau proses kognitif sesungguhnya adalah proses memanggil kembali ide-ide yang telah ada dan bersifat laten dalam pikiran manusia. Metode pembelajaran yang tepat adalah dialog Socrates. Dengan metode ini, guru berusaha menstimulasi atau membawa ide-ide laten ke dalam kesadaran subjek didik dengan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada munculnya ide-ide tersebut dalam dialog. Kaum realis berpandangan bahwa pengetahuan berasal dalam sensasi inderawi yang objeknya terdapat atau merupakan bagian dari lingkungan hidup manusia. Dari sensasi inilah kemudian muncul konsep-konsep dalam diri manusia. Melalui proses abstraksi data sensoris, seseorang membangun konsep yang berkesesuaian dengan objek-objek dalam kenyataan. Seorang guru dari paham realis yang mendasarkan metode pengajarannya pada formula abstraksi sensari inderawi dapat mengembangkan serangkaian metode demonstrasi kelas untuk menjelaskan fenomena alamiah kepada subjek didik. Sebaliknya, bagi kaum pragmatis yang berpegang pada filsafat bahwa manusia dapat menciptakan pengetahuan dengan bertindak dan saling-tindak dengan lingkungannya dalam sebuah rangkaian episode pemecahan masalah (problem solving) sehingga metode pemecahan masalah dipandang sebagai metode yang memadai dalam pembelajaran menurut pandangan kaum pragmatis (Gutek, 1988: 3). Dalam kaitannya dengan pendidikan, Kneller (1971: 18-19) mengatakan bahwa dipandang dari sudut pandang guru, satu hal yang sangat jelas dan penting dalam kajian epistemologi adalah adanya jenis-jenis pengetahuan yang berbeda.
Jenis-jenis pengetahuan tersebut adalah pengetahuan wahyu,
pengetahuan intuitif (intuisi), pengetahuan rasional, pengetahuan empiris, pengetahuan otoritatif. Pengetahuan wahyu adalah pengetahuan yang diberikan Tuhan kepada manusia. Dengan kekuasaanNya Tuhan mengilhamkan orang-orang tertentu untuk menuliskan kebenaran yang diwahyukan kepadanya, sehingga kebenaran wahyu tersebut dapat diketahui oleh semua manusia. Bagi orang Kristen dan Yahudi, firman Tuhan terdapat dalam kitab Perjanjian, sedangkan bagi kaum
26
Muslim, Al-Qur‘an menjadi kitab sucinya. Orang-orang Hindu memiliki kitab suci berupa Bhagui avad-Gita dan Upanishad. Oleh karena wahyu itu adalah firman Tuhan, maka benar selamanya. Jika tidak benar, maka dapat berarti Tuhan tidak benar-benar mengetahui sehingga tidak layak Ia disebut Tuhan. Pengetahuan intuitif merupakan pengetahuan yang bersifat pribadi. Seseorang menemukan pengetahuan tersebut dari dalam dirinya sendiri berupa insight. Intuisi atau insight adalah pengetahuan yang tiba-tiba muncul dalam kesadaran berupa ide atau kesimpulan yang dihasilkan dari proses panjang bekerjanya pikiran bawah sadar. Seseorang merasa yakin akan intuisinya, karena tanpa sadar sebenarnya ia telah berpikir keras dalam waktu yang lama sehingga tertanam dalam pencarian panjang untuk mengatasi persoalan yang dihadapi. Intuisi muncul tiba-tiba sebagai hasil dari pencarian yang menyenangkan. Intuisi memberikan rasa kekuatan mental yang optimal. Intuisi adalah pengetahuan yang diakui dan diterima sebagai pengalaman pribadi atau berdasar
pada
kekuatan visi imajinatif seseorang yang mengusulkannya. Kebenaran yang termuat di dalam hasil karya seni adalah salah satu bentuk dari pengetahuan intuitif (Kneller, 1971: 20). Pengetahuan rasional diperoleh dengan cara bekerjanya akal tanpa dibarengi dengan observasi terhadap kenyataan aktual. Dasar-dasar logika formal dan matematika murni adalah paradigma pengetahuan rasional. Kebenarannya dapat ditunjukkan dengan penalaran abstrak semata. Dasar-dasar pengetahuan rasional dapat diterapkan dalam pengalaman inderawi, tetapi tidak dapat dideduksikan darinya. Tidak seperti kebenaran intuitif, pengetahuan rasional bersifat valid secara universal dan tanpa memperhatikan perasaan subjek yang mengetahui. Walaupun demikian, ada perdebatan mengenai seberapa jauh sebenarnya pengetahuan rasional itu valid secara universal atau hanya sekedar terlihat valid? Sebab, semua orang pada dasarnya terikat secara kultural dan mungkin saja pengetahuan rasional itu hanya valid untuk orangorang tertentu saja yaitu orang-orang yang menggunakan bahasa-bahasa di Eropa dan berpikir dengan kategori mental yang sesuai dengan kaidah bahasabahasa Eropa itu sendiri. Bahkan ada salah satu satu paham yang mengatakan
27
bahwa dasar-dasar matematika murni bersumber dari intuisi dasar mengenai keberurutan (Kneller, 1971: 21). Pengetahuan empiris adalah jenis pengetahuan yang sesuai dengan buktibukti inderawi. Dengan penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan dan pengecapan, manusia membentuk pengetahuan mengenai dunia di sekitar kita. Maka, pengetahuan empiris terdiri dari ide-ide yang dibentuk dalam kesesuaiannya dengan fakta yang diamati atau diindera. Paradigma pengetahuan empiris adalah ilmu alam modern. Hipotesis ilmiah diuji melalui observasi atau melalui pengalaman untuk mencari apakah hipotesis yang dikemukakan terbukti sangat memuaskan bagi sederet fenomena tertentu. Walaupun demikian, sebuah hipotesis tidak pernah terbukti atau tidak terbukti sama sekali. Hipotesis yang terbukti atau tidak terbukti itu hanya merupakan probabilitas. Probabilitas empiris hanya dapat mencapai kedekatan dengan kepastian, tetapi tidak pernah benar-benar dapat meraih kepastian yang sesungguhnya. Alasannya adalah bahwa manusia tidak pernah dapat memastikan apakah masa depan akan sama dengan masa lalu, dan oleh karena itu manusia tidak pernah dapat secara mutlak meyakini bahwa fenomena yang ada saat ini akan sama persis dengan fenomena pada masa depan. Juga perlu dicatat bahwa indera manusia itu dapat menyesatkan sebagaimana sebuah tongkat menjadi bengkok ketika dimasukkan ke air (Kneller, 1971: 22). Pengetahuan otoritatif yaitu pengetahuan yang diakui kebenarannya berdasarkan jaminan otoritas orang yang menguasai bidangnya. Seseorang menerima pengetahuan begitu saja tanpa merasa perlu untuk mengujinya dengan fakta, karena pengetahuan tersebut telah tersedia di dalam ensiklopedia dan buku-buku yang ditulis oleh ahlinya. Dunia terlalu luas bila seseorang harus menguji kebenaran semua peristiwa secara pribadi. Jadi, pengetahuan otoritatif adalah pengetahuan yang sudah terbentuk dan diterima secara luas berdasarkan otoritas seseorang di dalam bidang masing-masing. (Kneller, 1971: 22-23).
D. Landasan Aksiologis Pendidikan Aksiologi merupakan cabang filsafat yang membahas teori-teori nilai dan berusaha menggambarkan apa yang dinamakan dengan kebaikan dan perilaku
28
yang baik. Bagian dari aksiologi adalah etika dan estetika. Etika menunjuk pada kajian filsafati tentang nilai-nilai moral dan perilaku manusia. Estetika berkaitan dengan kajian nilai-nilai keindahan dan seni. Metafisika membahas tentang hakikat kenyataan terdalam, sedangkan aksiologi menunjuk pada preskripsi perilaku moral dan keindahan. Para pendidik selalu memperhatikan masalahmasalah yang berkaitan dengan pembentukan nilai-nilai dalam diri para subjek didik dan mendorong ke arah perilaku yang bernilai (Gutek, 1988: 3). Secara umum, setiap orang dipengaruhi oleh nilai-nilai yang membentuk perilakunya sepanjang hidup. Anak-anak secara terus-menerus diberitahu bahwa mereka harus melakukan atau tidak boleh melakukan hal-hal tertentu, seperti ‖cuci tanganmu sebelum makan‖, ‖kamu tidak boleh memecahkan kaca jendela‖, ‖kamu harus mencintai negerimu‖ yang kesemuanya itu merupakan pernyataan nilai. Dalam proses menjadi dewasa, seorang individu menghadapi benturan-benturan dalam upayanya untuk membentuk perilakunya menjadi seperti yang diinginkan. Secara langsung, orang tua, guru dan masyarakat memberikan hadiah dan hukuman apabila ada perilaku yang sesuai atau menyimpang dari konsepsi tentang kebenaran, kebaikan atau keindahan. Dalam kenyataannya, orang-orang modern, baik laki-laki maupun perempuan hidup di dalam
sebuah
dunia
yang
nilai-nilainya
saling
bertentangan.
Secara
internasional, nilai-nilai nasionalistik yang menjadi pola berbagai negara bangsa membawa ke arah konflik dan perang. Di dalam negeri, ada pertentangan nilai antar-kelas atau kelompok. Secara tradisional, sistem nilai telah dikodifikasi dan diritualkan di dalam prinsip-prinsip etika dari berbagai macam agama besar (Gutek, 1988: 3). Secara tidak langsung landasan aksiologis pendidikan tecermin di dalam perumusan tujuan pendidikan. Tatkala orang merancang pendidikan, maka ia harus memulainya dengan merumuskan tujuan yang hendak dicapai. Tujuan pendidikan didasarkan oleh nilai-nilai yang diyakini yang berusaha untuk diwujudkan tindakan nyata. Thomas Armstrong (2006: 39) mengatakan bahwa tujuan pendidikan
adalah untuk mendukung, mendorong, dan memfasilitasi
perkembangan subjek didik sebagai manusia yang utuh (a whole human being). Hal itu dapat diartikan bahwa menurut Armstrong pendidikan harus dilandasi
29
oleh nilai-nilai kehidupan yang bersifat holistik sehingga pendidikan yang ingin diwujudkan adalah pendidikan yang bersifat holistik pula. Tokoh
pendidikan Belanda, M. J. Langeveld
pendidikan yang universal
mengemukakan tujuan
diharapkan berlaku di manapun dan kapanpun.
Tujuan umum pendidikan adalah untuk mencapai kedewasaan; dalam arti susila. Pendapat Langelveld sejalan dengan pendapat Imam Barnadib yang mengatakan bahwa pendidikan sebagai suatu sistem bertujuan untuk membentuk kedewasaan dalam arti susila (Barnadib, 1996: 15). Dalam konteks Indonesia, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan tujuan pendidikan yang meliputi banyak aspek, baik individual maupun sosial, jasmaniah dan rohaniah. Tujuan pendidikan dilandasi oleh nilai-nilai filosofis yang bersifat holistik, yaitu nilainilai Pancasila. Di dalam pasal 3 UU Sisdiknas disebutkan bahwa tujuan pendidikan adalah berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Jadi, ada nilai-nilai kehidupan yang berdimensi horizontal dan vertikal yang terkandung di dalam tujuan pendidikan tersebut. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa landasan aksiologis ilmu pendidikan adalah konsep nilai yang diyakini yang dijadikan landasan atau dasar dalam teori dan praktik pendidikan.
E. Rangkuman Dari uraian di atas dapat dirangkum hal-hal berikut. Pendidikan secara teoritik maupun praktik dilandasi oleh tiga landasan filsafati yaitu landasan ontologis, landasan epistemologis, dan landasan aksiologis. Landasan ontologis memberikan dasar bagi pendidikan mengenai pemikiran tentang Yang Ada, yaitu pemikiran tentang Tuhan, manusia, dan alam semesta. Corak pendidikan yang akan dilaksanakan sangat dipengaruhi oleh pandangan tentang Yang Ada tersebut.
30
Landasan epistemologis memberikan dasar filsafati bagi teori dan praktik pendidikan dalam hal metode memperoleh pengetahuan. Oleh karena pendidikan itu sangat erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan, maka pandangan tentang sumber-sumber pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan berpengaruh pula terhadap kurikulum dan metode pengajaran. Landasan aksiologis memberikan dasar filsafati dalam hal nilai-nilai yang melandasi teori pendidikan dan menjadi acuan dalam praktik pendidikan; di antaranya nilai-nilai yang diyakini tersebut tecermin dalam perumusan tujuan pendidikan.
31
BAB IV FILSAFAT PENDIDIKAN BARAT A. Aliran-aliran Filsafat Pendidikan Tradisional Theodore Brameld (O‘neil, 1999: 6) menggolongkan filsafat pendidikan Barat menjadi empat kategori: 1. Tradisi filsafat klasik yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh dari teori Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas sehingga kemudian muncullah Perenialisme. Perenialisme sebagai gerakan dan aliran yang timbul di Amerika Serikat ingin mengembalikan pendidikan pada tradisi zaman lampau yang dipandang sudah teruji oleh waktu dan terbukti baik hasilnya. 2. Ungkapan yang lebih modern dari realisme dan idealisme tradisional sehingga muncul aliran Esensialisme yang semula berkembang di Amerika Serikat. 3. Filsafat pragmatisme yang memunculkan aliran pendidikan yang bernama: Progressivisme. Tokoh utama filsafat pragmatisme dalam pendidikan adalah John Dewey. 4. Titik pandang ―sosiologi pendidikan‖ yang dihubungkan dengan ide Karl Marx dan Karl Mannheim muncullah aliran Rekonstruksionisme. Keempat aliran filsafat pendidikan tersebut dapat dijelaskan dalam uraian berikut ini:
1. Perenialisme a. Landasan Ontologis Perenialisme Ontologi perenialisme mengikuti paham Aristoteles bahwa manusia adalah makhluk rasional (animal rationale). Benda individual adalah benda sebagaimana nampak di hadapan manusia ditangkap oleh panca indera sebagai substansi. Segala sesuatu (benda dan manusia ) ada esensinya di samping ada aksidensi. Esensi benda-benda dan manusia lebih diutamakan daripada aksidensinya. Segala sesuatu itu mempunyai unsur potensialitas yang dapat menjadi aktualitas melalui tindakan ―berada‖.. Manusia adalah potensialitas yang sedang berubah menjadi aktualitas (Gutek, 1988: 271)
32
b. Landasan Epistemologis Perenialisme Segala sesuatu yang dapat diketahui dan merupakan kenyataan bersandar pada kepercayaan. Kebenaran adalah sesuatu yang menunjukkan kesesuaian antara pikir dengan benda-benda. Kebenaran hakiki yang tertinggi dapat diperoleh dengan metode deduksi. Kebenaran hakiki itulah yang tertuang di dalam kajian metafisika, sedangkan kebenaran realita khusus kongkrit diperoleh dengan metode induksi yang hasilnya berupa sains (ilmu alam) dan ilmu empiris lainnya. c. Landasan Aksiologis Penerialisme Nilai-nilai berdasarkan azas supranatural yang abadi dan universal. Manusia sebagai subjek telah memiliki potensi untuk menjadi baik sesuai dengan kodratnya, tetapi ada kecendrungan dan dorongan untuk berbuat tidak baik. Kebaikan tetinggi adalah mendekatkan diri pada Tuhan sesudah itu baru kehidupan berpikir rasional. Tokoh-tokoh yang berpengaruh untuk aliran perenialisme adalah filsuf-filsuf Yunani Kuno seperti
Plato, Aristoteles dan filsuf Abad
Pertengahan seperti Thomas Aquinas. Ilmu filsafat yang tertinggi adalah metafisika. Pengetahuan itu penting karena hasil dari pengolahan akal manusia (Gutek, 1988: 272). d. Pandangan tentang peserta didik dan pendidik Peserta didik diharapkan mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karyakarya ini merupakan buah pikiran tokoh-tokoh besar masa lampau seperti Bahasa, Sastera, Sejarah, Filsafat, Politik, Ekonomi, Matematika, Ilmu Alam, dan ilmu-ilmu lainnya yang terbukti dalam sejarah telah memberi kontribusi yang besar bagi umat manusia. Dengan mengetahui pikiran dan temuan para ahli tersebut, maka peserta didik akan mempunyai dua keuntungan: Mengetahui kejadian masa lampau yang telah dipikirkan oleh
33
orang-orang besar dan memikirkan peristiwa-peristiwa penting dan karya tokoh tersebut untuk diri sendiri dan bahan pertimbangan bagi kemajuan zaman sekarang. Sasaran pendidikan adalah kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran dan nilai-nilai abadi yang tidak terikat ruang dan waktu. Tolok ukur nilai-nilai bersifat mutlak, sehingga aliran ini menentang demokrasi yang murni. Masyarakat harus diperbaiki karena adanya degradasi moral dan dehumanisasi. Maka, tugas utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik ke arah kematangan akalnya. Keberhasilan anak dalam kematangan akal ini tergantung kepada guru (pendidik dan pengajar). Guru atau pendidik adalah benar-benar sosok yang dapat diteladani dan menguasai bidang ilmunya sehingga peserta didik akan mendapatkan pendidikan yang berkualitas (Gutek, 1988: 272). Robert M. Hutchkins, salah seorang penganut paham perenialisme mengatakan bahwa pendidikan seharusnya ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan intelektualitas manusia. Pendidikan tinggi harus bersendikan filsafat metafisika. Filsafat pada dasarnya adalah cinta intelektual dari Tuhan. Perguruan tinggi tidak seyogyanya bersifat utilities, yaitu hanya mengutamakan azas kegunaan/kemanfaatan. Manusia itu sama, maka pendidikan dikembangkan sama bagi semua orang, yang disebutnya sebagai pendidikan umum (general education) (Gutek, 1988: 273). 2. Essensialisme a. Landasan Ontologis Esensialisme Kaum essensialis mengatakan bahwa dunia ini merupakan tatanan yang tiada cela; demikian pula isinya. Sifat, kehendak dan cita-cita manusia harus disesuaikan dengan tatanan alam semesta. Tujuan umum manusia adalah agar dapat hidup bahagia di dunia dan akhirat. Essensialisme didukung dua aliran, yaitu realisme objektif dan idealism objektif. Realisme objektif berpandangan bahwa alam semesta dan manusia merupakan kenyataan yang dapat dipahami dan teratur sesuai
34
dengan hukum alam. Aliran ini dipengaruhi oleh perkembangan dan hasil dari temuan ilmiah ilmu-ilmu alam terutama fisika. Idealisme objektif berpandangan tentang alam semesta lebih bersifat menyeluruh meliputi segala sesuatu. Totalitas alam semesta ini pada hakikatnya adalah jiwa atau spirit. Pandangan tentang makro kosmos (alam semesta) dan mikro kosmos (manusia pribadi) menjadi dasar hubungan antara Tuhan dan manusia (Sadulloh, 2007: 15). b. Landasan Epistemologis Esensialisme Pribadi manusia adalah refleksi dari Tuhan. Manusia yang mampu menyadari realitas sebagai makro-kosmos dan mikro-kosmos akan mengetahui pada tingkat apa rasio yang dimiliki dan mampu memikirkan alam semesta ini. Dengan kualitas rasio yang dimiliki ini, manusia dapat memproduksi pengetahuan secara tepat dalam ilmu-ilmu alam, biologi, sosial dan agama. Teori ilmiah adalah pendapat yang diperoleh dari upaya manusia untuk mempertahankan pola-pola umum yang dapat digeneralisasi yang bersumber dari fakta, informasi atau praktik. Logika berpikir deduktif digunakan untuk teori-teori filsafat dan ideologi. Logika induktif digunakan untuk menggeneralisasi fenomena alam (Jalaluddin & Abdullah Idi, 1997: 84). c. Landasan Aksiologis Essensialisme Nilai-nilai dari etika adalah hukum kosmos yang bersifat objektif. Seseorang itu dikatakan baik, jika banyak berinteraksi dan melaksanakan hukum yang ada.
Berbekal paham
idealisme, orang-orang esensialis
mengatakan bahwa sikap, tingkah laku dan ekspresi perasaan mempunyai hubungan dengan kualitas baik dan buruk. Orang yang berpakaian serba formal seperti dalam upacara atau peristiwa lain yang membutuhkan suasana tenang haruslah bersikap formal dan teratur. Ekspresi perasaan yang mencerminkan adanya serba kesungguhan dan kesenangan terhadap pakaian resmi yang dikenakan dapat menunjukkan keindahan baik dari pakaiannya maupun dari suasana kesungguhan tersebut. Orang-orang yang
35
berpaham esensialis juga setuju dengan pandangan aliran realisme tentang etika. Bahwa semua pengetahuan manusia terletak pada keteraturan lingkup hidupnya. Dapat dikatakan bahwa mengenai hal baik-buruk dan keadaan manusia pada umumnya bersandarkan atas keturunan dan lingkungan. Perbuatan seseorang adalah hasil perpaduan yang timbul akibat adanya saling hubungan antara unsur-unsur pembawa fisiologis dan pengaruh dari lingkungan (Jalaluddin & Abdullah Idi, 1997: 87).
d. Pandangan tentang Belajar Menurut idealisme, seseorang belajar pada taraf permulaan adalah untuk memahami aku-nya sendiri, dan sang aku ini terus bergerak keluar untuk memahami dunia objektif, bergerak dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos. Sepaham dengan filsafat realisme, kaum esensialis mengatakan bahwa belajar merupakan pengalaman yang tidak dapat dihalang-halangi, bahkan harus ada dalam diri setiap manusia. Belajar dimulai dari hal-hal yang sederhana meningkat terus sampai mencapai ke tingkatan yang
rumit
(tinggi). Belajar memerlukan ketekunan dan sistem yang terjalin erat satu sama lain sehingga diperoleh pengetahuan yang utuh dan sistemik. Belajar didefinisikan sebagai jiwa yang berkembang pada dirinya sendiri sebagai substansi spiritual. Jiwa manusia membina dan menciptakan diri sendiri. Robert L. Finney (Jalaluddin & Abdullah Idi, 1997: 88) mengatakan bahwa mental adalah keadaan rohani yang pasif, yang menerima apa saja yang telah tertentu dan diatur oleh alam. Belajar adalah menerima dan mengenal dengan sungguh-sungguh nilai-nilai sosial dari generasi ke generasi untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan kepada generasi berikutnya. Dengan demikian ada dua determinasi dalam kehidupan, yaitu determinasi mutlak dan determinasi terbatas. Determinasi mutlak bermakna bahwa belajar adalah suatu pengalaman manusia yang tidak dapat dihalang-halangi adanya, jadi harus ada. Dengan
36
belajar, manusia membentuk dunia ini. Pengenalan ini memerlukan pula proses penyesuaian supaya tercipta suasana hidup yang harmonis. Determinasi terbatas berarti bahwa meskipun pengenalan terhadap hal-hal yang kausal di dunia ini (sebab-akibat) yang tidak mungkin dapat dikuasai sepenuhnya oleh manusia, tetapi kemampuan pengawasan tetap diperlukan untuk dapat hidup dengan harmonis tersebut (Jalaluddin & Abdullah Idi, 1997: 88). e. Pandangan tentang Kurikulum Kegiatan dalam pendidikan harus disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba baik. Kegiatan anak didik tidak dikekang asalkan sejalan dengan fundamen yang telah ditentukan. Kurikulum seperti balok-balok yang disusun teratur dari yang paling sederhana ke yang kompleks seperti susunan alam semesta. Kurikulum tidak terpisah satu sama lain dan diumpamakan sebagai sebuah rumah yang mempunyai empat bagian, yaitu: 1) Universum: pengetahuan tentang kekuatan alam, asal-usul tata surya dll. Basisnya adalah ilmu alam. 2) Sivilisasi: Karya yang dihasilkan manusia sebagai akibat hidup bermasyarakat.
Dengan
sivilisasi,manusia
dapat
mengawasi
lingkungannya, memenuhi kebutuhannya dan hidup aman sejahtera. 3) Kebudayaan: Karya manusia yang mencakup di antaranya filsafat, kesenian, kesusasteraan, agama, penafsiran dan penilai mengenai lingkungan. 4) Kepribadian: untuk membentuk kepribadian peserta didik yang tidak bertentangan dengan kepribadian ideal. Faktor fisik, emosi, intelektual sebagai keseluruhan dapat berkembang harmonis dan organis sesuai dengan konsep manusia ideal. Salah seorang tokoh esensialis dari Amerika Serikat adalah Robert Ulich. Ia mengatakan bahwa kurikulum dapat saja fleksibel, tetapi tidak untuk pemahaman mengenai agama dan alam semesta. Maka perlu
37
perencanaan kurikulum dengan seksama. Sementara Butler mengatakan bahwa anak perlu dididik untuk mengetahui dan mengagumi kitab suci (Injil) sedangkan
Demihkevich mengatakan bahwa
kurikulum harus
berisikan moralitas yang tinggi (Jalaluddin & Abdullah Idi, 1997: 89). B. Aliran-aliran Filsafat Pendidikan Modern 1. Progressivisme a. Landasan Ontologis Progressivisme Kenyataan alam semesta adalah kenyataan dalam kehidupan manusia. Pengalaman adalah kunci pengertian manusia atas segala sesuatu, pengalaman
manusia
tentang penderitaan,
kesedihan, kegembiraan,
keindahan dan lain-lain adalah realita hidup manusia sampai ia mati. Bagi kaum progressif, tidak ada hal yang absolut. Tidak ada prinsip apriori atau hukum alam yang abstrak. Kenyataan adalah pengalaman transaksional yang selalu berubah. Dunia selalu berubah, dinamis. Hukumhukum ilmiah hanya bersifat probabilitas, tidak absolut. Pengalaman adalah sumber evolusi yang berarti perkembangan, maju setapak demi setapak mulai dari yang mudah ke yang sulit (proses yang lama). Pengalaman adalah perjuangan sebab hidup adalah tindakan dan perubahan. Manusia akan tetap hidup berkembang, jika ia mampu mengatasi perubahan kemudian melakukan perjuangan, dan berani bertindak.
b. Landasan Epistemologis Essensialisme Kenyataan itu adalah pengalaman. Pikiran dan materi tak terpisah. Manusia mengetahui dengan pengalaman dan refleksi pikiran. Manusia memang hidup dalam gua persepsi indera. Manusia tidak mempunyai cara untuk mengetahui hal-hal di luar pengalaman inderawi (tentang kebenaran sesungguhnya). Kebenaran adalah segala hal yang dapat dikerjakan dan berguna. Oleh karena pikiran manusia itu aktif dan eksploratif, maka pengetahuan adalah hasil interaksi manusia dengan lingkungannya. Pengetahuan adalah informasi, fakta, hukum prinsip, proses, kebiasaan yang terakumulasi dalam pribadi sebagai hasil proses interaksi dan pengalaman. Pengetahuan harus 38
disesuaikan dan dimodifikasi dengan realitas baru di dalam lingkungan kehidupan. Kebenaran ialah kemampuan suatu ide untuk memecahkan masalah. Kebenaran adalah konsekuen dari suatu ide, realita pengetahuan, dan daya guna di dalam hidup.
c. Landasan Aksiologis Progressivisme Nilai-nilai berasal dari masyarakat. Masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai-nilai. Nilai-nilai bersifat relatif, tidak ada prinsip mutlak. Kriteria tindakan etik adalah uji sosial dalam masyarakat. Kriteria keindahan (estetik) bergantung pada selera sosial. Seni tidak dibedakan antara yang tinggi dan praktis. Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, dengan demikian timbul pergaulan. Bahasa adalah sarana ekspresi yang berasal dari dorongan, kehendak, perasaan dan kecerdasan individu. Nilai itu benar atau salah, baik atau buruk dapat dikatakan ada, bila menunjukkan kecocokan dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan manusia.
d. Pandangan tentang Asas Belajar Pandangan aksiologi tersebut berimplikasi pada padangan tentang asas belajar menurut progresivisme, yaitu: 1) Peserta didik
mempunyai kecerdasan sebagai potensi kodrat yg
membedakannya dg makhluk lain. 2) Peserta didik mempunyai potensi kreatif dan dinamis, sebagai bekal untuk menghadapi
dan
memecahkan
problem-problem
hidupnya
dan
lingkungannya. 3) Hal penting bagi peserta didik adalah pengalaman. Dengan inteligensinya manusia dapat menyelesaikan masalah. Peserta didik belajar dari lingkungan dan bertindak dengan segala konsekuensinya. 4) Pendidikan merupakan wahana efektif dengan orientasi pada sifat dan hakikat anak didik sebagai manusia yg berkembang.
39
5) Guru adalah pembelajar juga hanya ia lebih berpengalaman sehingga dapat dipandang sebagai pembimbing atau pengarah oleh peserta didik. Guru tidak mengarahkan kelas berdasarkan kebutuhan dirinya melainkan karena kebutuhan dan minat peserta didik. Mata pelajaran dipilih berdasarkan kebutuhan peserta didik. 6) Usaha-usaha yang harus dilakukan guru adalah menciptakan kondisi edukatif, memberikan motivasi-motivasi, memberikan stimulus-stimulus sehingga akal peserta didik dapat berkembang dengan baik. 7) Sekolah adalah bagian dari kehidupan, bukan sekedar persiapan untuk hidup. Apa yang dipelajari di sekolah tidak banyak berbeda dengan apa yang dipelajari dalam berbagai aspek hidupnya. John Dewey sebagai bapak progressivisme mengatakan bahwa pendidikan dipandang sebagai proses dan sosialisasi, yaitu proses pertumbuhan dan proses belajar dari kejadian di sekitarnya. Maka, dinding pemisah antara sekolah dan masyarakat perlu dihapuskan, sebab belajar yang baik tidak cukup di sekolah saja. Sekolah yang ideal adalah sekolah yang isi pendidikannya berintegrasi dengan lingkungan sekitar. Sekolah adalah bagian dari masyarakat. Sekolah harus menyajikan program pendidikan yang dapat memberikan wawasan kepada peserta didik tentang apa yang menjadi karakteristik atau kekhasan daerah tersebut. Sekolah adalah transfer of knowledge sekaligus transfer of value. Sekolah bertujuan menghasilkan orang yang cakap yang dapat berguna di masyarakat kelak. Sekolah berfungsi mengajarkan generasi muda untuk mengelola dan mengatasi perubahan dengan cara yang benar. Sekolah membiasakan peserta didik untuk belajar beradaptasi dengan dunia yang selalu berubah baik sekarang maupun di masa datang. Sekolah adalah juga sebagai wahana peserta didik belajar demokrasi. Sekolah adalah kehidupan demokratis dan lingkungan belajar yang setiap orang berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan sebagai antisipasi untuk proses kehidupan masyarakat yang lebih luas. Perubahan sosial, ekonomi dan politik dipandang baik sepanjang memberikan kondisi yang lebih baik bagi masyarakat (Gutek, 1988: 85)..
40
e. Pandangan terhadap Kurikulum dan Metode Kurikulum bersifat fleksibel, tidak kaku, bisa diubah sesuai dg kehendak zaman, terbuka dan tidak terikat oleh doktrin tertentu sehingga dapat dievaluasi dan direvisi sesuai kebutuhan. Kurikulum lebih difokuskan pada proses daripada isi. Kurikulum dipusatkan pada pengalaman manusia. Pengalaman diperoleh karena manusia terus belajar dan beradaptasi dengan lingkungannya. Mata pelajaran tidak terpisah melainkan harus terintegrasi dalam satu kesatuan dengan tipe Core curriculum. Mata pelajaran yang terintegrasi akan menjadi aspek kognitif, afektif dan psikomotor sehingga anak akan dapat berkembang dengan baik. Praktek belajar di laboratorium, bengkel, kebun, lapangan merupakan kegiatan belajar yang dianjurkan sesuai dengan prinsip belajar sambil melakukan (learning by doing). Metode belajar yang diutamakan adalah problem solving dengan langkah-langkah seperti metode ilmiah. Lima langkah proses pemikiran reflektif sebagaimana berikut. 1. Ada masalah 2. Diagnosa situasi: upaya mengidentifikasi masalah (apa masalahnya?) 3. Pikirkan kemungkinan-kemungkinan penyelesaian masalah (apa rumusan hipotesisnya?) 4. Pikirkan solusi yang dipandang paling tepat dan akibat-akibatnya 5. Pengujian hipotesis yang dipilih (hipotesis yang masuk akal) Jika hipotesis berjalan baik, maka diperoleh kebenaran yang dicari. Jika hipotesis gagal, maka dicari terus kebenaran sampai diperoleh dengan menguji hipotesis lain (kembali ke tahap 4). Peserta didik diberi kebebasan memilih dalam pengalaman belajar yang akan sangat bermakna bagi dirinya. Kelas dipandang sebagai laboratorium ilmiah, di sinilah ide-ide diverifikasi. Selain di dalam sekolah (kelas), studi lapangan juga sangat bermanfaat karena peserta didik mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi langsung dalam interaksi dengan lingkungan, dan dapat memotivasi mereka (membangunkan minat intrinsik) dalam belajar.
41
Metode pengalaman ini tidak menolak buku, perpustakaan, museum dan pusat pengetahuan lainnya. Kalau seseorang membangun pengetahuan yang bermakna didasarkan pada pengalaman, ia akan mampu menyusun pengetahuannya melalui pendekatan tidak langsung dan logis. Anak bergerak bertahap dari belajar berdasar pengalaman langsung ke metode belajar tidak langsung mengalami (Gutek, 1988: 85).
2. Rekonstruksionisme a. Pandangan tentang dunia Rekonstruksionisme sosial secara mencolok bersifat kontras dengan kaum konservatif . Rekonstruksionisme menganggap
bahwa dunia dan
moral manusia mengalami degradasi di sana-sini sehingga perlu adanya rekonstruksi
tatanan
sosial
dan
seimbang.
emansipatoris menguntungkan
salah
satu
merekonstruksi
pendidikan
menuju
kehidupan
Keadaan belahan untuk
yang
demokratis,
yang timpang dan
dunia
harus
memajukan
hanya
diatasi
dengan
peradaban.
Kaum
rekonstruksionis percaya bahwa dengan pendidikan yang baik, maka moral manusia dapat pula menjadi baik. Pendidikan yang mengedepankan kepekaan sosial dan perjuangan HAM mendapat penekanan. b. Pandangan tentang peserta didik dan kurikulum Pandangan tentang peserta didik lebih mirip dengan pandangan progressivisme dan banyak hal lain lagi dari progressivisme yang diterima oleh rekonstruksionisme. Hanya saja, menurut kaum rekonstruksionis, perubahan dilakukan secara global, meliputi perubahan sikap dan perilaku umat manusia, tidak cukup hanya di lingkungan tempat tinggal subjek didik saja. Kurikulum yang dikembangkan diarahkan untuk mencapai tujuan kehidupan dunia yang demokratis dan menghargai HAM . Oleh karena itu, rekonstruksionisme setuju dengan ide-ide perenialis tentang pentingnya pendidikan moral bagi subjek didik tetapi tidak secara otoritatif melainkan dalam suasana demokratis sebagaimana diajarkan oleh John Dewey dan kaum progressivisme. 42
3. Pedagogi Kritis a. Paulo Freire 1) Riwayat Hidup Paulo Freire Pedagogi kritis diperkenalkan oleh Paulo Freire (1921-1997), seorang pendidik dari Brasil yang sangat terkenal. Freire memiliki gelar doktor ilmu sejarah dan filosofi pendidikan. Awalnya, Freire mengambil studi ilmu hukum dan setelah lulus berpraktik sebagai pengacara, tetapi tidak lama. Dalam waktu singkat
Freire berubah profesi sebagai seorang pendidik
untuk masyarakat bawah yang disebutnya kaum tertindas. Di
tahun
enampuluhan
Freire
terlibat
aktif
dalam
gerakan
pemberantasan buta huruf yang masih meliputi jutaan rakyat di negerinya. Lantaran ia juga memberikan pendidikan agar rakyat miskin Brasil jadi ―melek politik‖, ia memperoleh banyak tentangan dari orang-orang yang menudingnya ―menghimpun kekuatan politik‖. Perebutan kekuasaan secara militer terjadi di Brasil pada tahun 1964; Freire terusir dan menetap di Chile, hingga tahun 1979 dan ia belum juga memperoleh izin untuk kembali ke Brasil. Tahun 1970 Freire diserahi jabatan sebagai penasehat di Kantor Urusan PendidikanDewan Gereja Sedunia di jenewa, Swiss. Teori-teori pendidikan Freire kerap dikaitkan dengan gerakan teologi pembebasan yang marak di wilayah Amerika Latin Karya-karyanya antara lain adalah: - Education: The Practice of Freedom (Pendidikan sebagai Praktik Pembebasan, 1976) - Education for Critical consciousness (Pendidikan bagi Kesadaran Kritis, 1973) - Pedadogy of the Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas, 1970) - Cultural Action for Freedom (Aksi Kebudayaan demi Kebebasan, 1970) (O‘neil, 2002: 655-656).
2) Coscientizacao sebagai Tujuan Pendidikan Ide-idenya tentang pendidikan dan analisis masalah pendidikan berkait erat
dengan politik hegemoni kelompok elit/pemerintah yang
menjadikan masyarakat bawah sebagai kaum tertindas. Tujuan pendidikan
43
adalah conscientizacao (dari bahasa Portugis, berarti
penyadaran).
Conscientizacao bukan teknik untuk transfer informasi atau untuk pelatihan ketrampilan, tetapi merupakan proses dialogis yg mengantarkan individuindividu secara bersama memecahkan masalah eksistensial mereka. Conscientizacao mengemban tugas pembebasan, dan pembebasan itu berarti penciptaan norma, aturan, prosedur dan kebijakan baru. Pendidikan harus dapat menyadarkan kaum tertindas agar mempunyai kesadaran
kritis.
Pertanyaan-pertanyaan
yang
diajukan
dalam
conscientizacao tidak memiliki jawaban yang telah diketahui sebelumnya, tetapi jawabannya dicari bersama-sama. Inti proses pendidikan adalah partisipasi.
Conscientizacao merupakan tujuan puncak dari pendidikan
untuk kaum tertindas. Conscienticzacao dikelompokkkan oleh William A. Smith (2001: 104) ke dalam teori pendidikan perkembangan, walaupun Freire sendiri tidak menyatakan teorinya tersebut. Metode pendidikan Freire adalah dialog. Proses dialogis tidak bersifat teoritis. Proses ini tidak memaksakan dunia kepada seorang individu, tetapi melibatkan dua orang untuk mengamati dunia. Tugas pendidik adalah mengajukan
pertanyaan,
menghadapkan
siswa
pada
dunia,
bukan
menyediakan jawaban atau mendefinisikan dunia (Smith, 2001: 116).
3) Tiga Fase Kesadaran Freire (Smith, 2001: 54) mendeskripsikan conscientizacao sebagai sebuah proses untuk menjadi manusia yang selengkapnya; proses perkembangan ini dapat dibagi menjadi tiga fase: kesadaran magis, naif, dan kritis. Setiap fase dibagi lagi menjadi tiga aspek berdasarkan tanggapantanggapan responden atas pertanyaan eksistensial berikut: Apa masalah-masalah yang paling dehumanitatif dalam kehidupan kalian? (PENAMAAN) Apa penyebab dan konsekuensi dari masalah-masalah tersebut? (BERPIKIR); Apa yang dapat dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut? (AKSI).
44
a) Kesadaran magis Orang yang masih dalam tingkat kesadaran magis terperangkap dalam ―mitos inferioritas alamiah‖. Freire mengatakan: ―Mereka mengetahui bahwa mereka melakukan sesuatu, apa yang tidak diketahui adalah tindakan untuk mengubah‖ (Smith, 2001: 60). Bagi penindas, jika hendak mendehumanisasikan mereka, di sinilah pentingnya mencegah orang-orang dari penamaan masalah-masalah, sehingga mereka tetap terikat dengan penjelasan magis dan membatasi kegiatan-kegiatannya sekedar menerima secara pasif. Bukannya melawan atau mengubah realitas di mana mereka hidup, mereka justru menyesuaikan diri dengan realitas yang ada. Kesadaran magis dicirikan dengan fatalisme, yang menyebabkan
manusia
membisu,
menceburkan
diri
ke
lembah
kemustahilan untuk melawan kekuasaan, demikian kata Freire (Smith, 2001: 61).
b) Kesadaran naif Perubahan dari kesadaran magis ke kesadaran naif atau transitif adalah perubahan dari menyesuaikan diri dengan fakta-fakta kehidupan yang tak-terelakkan ke memperbaharui penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan individu-individu dalam sebuah sistem yang pada dasarnya keras. Kontradiksi yang dihadapi oleh individu yang naif terjadi antara sistem ideal yang seharusnya berjalan, dan pelanggaran terhadap sistem tersebut oleh orang-orang jahat dan bodoh. Jika mereka dapat memperbaharui perilakunya, maka sistem tersebut akan berjalan dengan baik. Freire melukiskan sikap naif dan romantik tersebut dengan katakata berikut: ―Kesadaran transitif...ditandai dengan penyederhanaan masalah...penjelasan yang fantastik... dan argumentasi yang rapuh (Smith, 2001: 69). Orang pada tingkat kesadaran naif menyederhanakan masalah dengan cara menimpakkan penyebabnya pada individu-individu, bukan pada sistem itu sendiri. Argumentasi-argumentasi mereka rapuh ketika menjelaskan bahwa individu terpisah dari sistem di mana mereka hidup
45
dan pada puncaknya mengarah pada argumentasi yang larut dengan realitas. Melalui nostalgia pada masa lalu, mereka beranggapan bahwa pada masa itu segalanya tampak lebih baik. Pada masa lalu mungkin tidak begitu banyak hiburan, kesempatan dibandingkan sekarang, tetapi juga tidak begitu rumit, masyarakat memahami apa peran yang harus dimainkan. Idealisasi masa lalu ini khas kesadaran romantik. Ada kecenderungan kuat untuk berkelompok, berpolemikdaripada berdialog (Smith, 2001: 70).
c) Kesadaran kritis Pada tingkat ketiga,yakni kesadaran kritis, isu yang muncul adalah perubahan sistem yang tidak adil, bukannya pembaharuan atau penghancuran individu-individu tertentu. Proses perubahan ini memiliki dua aspek: (1) penegasan diri dan penolakan untuk menjadi ―inang bagi benalu‖, dan (2) berusaha secara sadar dan empiris untuk mengganti sistem yang menindas dengan sistem yang adil dan bisa mereka kuasai. Tidak seperti kesadaran naif, individu ini tidak menyalahkan inidividuindividu, tetapi justru menunjukkan pemahaman yang benar atas dirinya sendiri dan sistem yang memaksa tertindas dan penindas berkolusi. Sebagaimana dinyatakan oleh Freire berikut ini: ―Kesadaran transitif yang kritis ditandai dengan penafsiran yang mendalam atas berbagai masalah; digantikannya penjelasan magis dengan penjelasan kausalitas; dengan mencoba penemuanpenemuan yang dihasilkan seseoran; dan dengan keterbukaan untuk melakukan revisi; dengan usaha untuk menghindari distorsi ketika memahami masalah dan menghindari konsep-konsep yang telah diterima sebelumnya ketika menganalisis masalah dan menghidari konsep-konsep yang telah diterima sebelumnya ketika menganalisis masalah; dengan menolak untuk mengubah tanggung jawab; dengan menolak sikap pasif; dengan mengemukakan pendapat; dengan mengedepankan dialog daripada polemik; dengan menerima pandangan baru tetapi bukan sekedar karena sifat kebaruannya dan dengan keinginan untuk tidak menolak pandangan kuno hanya karena sifat kekunoannya-yakni dengan menerima apa yang benar menurut pandangan kuno dan baru (Smith, 2001: 80-81).
46
Selain tiga tingkat kesadaran tersebut, Freire memperkenalkan pula adanya kesadaran fanatik, yaitu distorsi yang terletak di antara kesadaran naif dan kesadaran kritis. Kesadaran fanatik bisa jadi merupakan salah satu dari beberapa sub-kesadaran penting yang terletak di antara tiga tingkat kesadaran. Ada sebuah hubungan potensial yang erat antara kesadaran naif dan masifikasi. Jika seseorang tidak bergerak dari kesadaran naif menuju kesadaran kritis, tetapi malah terjatuh kedalam kesadaran fanatik, maka ia akan menjadi lebih jauh dari realitas dibandingkan ketika berada dalam kesadaran intransitif. Yang ditekankan dalam kesadaran fanatik adalah masifikasi, bukan transformasi kehidupan yang menindas menjadi kehidupan yang membebaskan, tetapi pertukaran sebuah keadaan yang menindas dengan keadaan menindas lainnya. Melalui masifikasi, kaum tertindas menjadi alat, dimanipulasi oleh sekelompok kecil pemimpin karismatik. Freire menunjuk sikap para pemimpin ―populis‖ yang lazimnya tampak
revolusioner,
padahal
kenyataannya
mereka
berusaha
mengendalikan dan memanipulasi revolusi demi tujuan-tujuan mereka sendiri. Perhatian orang yang fanatik adalah perubahan, tetapi bukan transformasi. Proses-proses perubahannya bersifat menindas juga sehingga mereka lebih mengarahkan kaum tertindas daripada bekerja sama dengannya.
Tujuan perubahan tersebut adalah menghancurkan
penindas, yang mungkin sekedar mengganti penindasnya dengan penindas lain. Orang yang fanatik mempunyai perhatian terhadap kelompok-kelompok penindas, bukan terhadap norma, peraturan, regulasi, tetapi dengan para penguasanya. Kaum tertindas dipandang sebagai anak-anak yang harus dibimbing, bukan orang dewasa yang mampu berpartisipasi secara kritis (Smith, 2001: 95- 96).
4) Garis Besar Kategori-kategori Pengkodean Conscientizacao a) Kesadaran Magis (1) Penamaan Penolakan terhadap masalah Penolakan tegas 47
Menghindari masalah
Masalah-masalah Bertahan Hidup Kesehatan yang buruk Kemiskinan Pengangguran Pekerjaan yang tidak mencukupi Uang habis dengan sendirinya (2) Berpikir Interelasi Kausalitas yang Sederhana Menyalahkan keadaan fisik (kesehatan) Menyalahkan objek-objek, bukan orang-orang Fakta-fakta yang Diserahkan kepada Penguasa Faktor-faktor yang tidak terkendali: keberuntungan, usia, dsb. Takut kepada penindas Empati kepada penindas.
Tuhan,
nasib,
(3)Aksi Fatalisme Penarikan diri Menerima keadaan Menghidupi Penindas secara Pasif Menunggu ―kebaikan‖; keberuntungan (patron) Bergantung pada penindas. b) Kesadaran Naif (1) Penamaan Penyimpangan Individu Penindas Individu-individu tertindas tidak suka pada penindas (mereka memenuhi keinginan penindas) Agresivitas horisontal Penyimpangan Individu Penindas Penindas melanggar hukum Penindas melanggar norma (2) Berpikir Menyalahkan Sesama Kaum Tertindas Menerima penjelasan atau keinginan penindas (pendidikan sebagai tujuan itu sendiri) Konflik dengan sesama Menyalahkan nenek moyang
48
Kasihan pada diri sendiri Mengetahui Bagaimana Penindas Melanggar Norma Mengetahui maksud penindas Mengetahui hubungan di antara penindas atau agen-agennya Menggeneralisasikan satu penindas pada semuanya (3) Aksi Aktif Bekerja Sama dengan Penindas (Kolusi) Meniru perilaku penindas (pendidikan, pakaian, kebiasaan) Agresi salah arah (agresi horisontal, penghakiman sendiri) Bersikap paternalistik terhadap sesama Memenuhi keinginan penindas Bertahan Berkelompok Membuat jaringan kerja Menjauhi penindas Menentang individu penindas Mengubah keadaan c) Kesadaran Kritis 1) Penamaan Menolak Kelompok Penindas (Penegasan Diri) Menolak kelompok-kelompok penindas Berusaha memelihara etnisitas Menegaskan keunikan Mengubah Sistem Prosedur (masyarakat) Menolak sistem yang menindas 2) Berpikir Mengetahui dan Menolak Ideologi Penindas dan Kolusi Simpati pada, dan memahami, sesama kaum tertindas Mengritik diri (mengetahui kontradiksi antara aksi dan tujuan kritis) Menolak agresi horisontal (menegaskan diri) Mengetahui penindas sebagai korban sistem Menggeneralisasi satu kelompok penindas pada kelompok lain Mengetahui Bagaimana Kerja Sistem Mengetahui sistem sebagai penyebab Mengetahui kontradiksi antara retorika dan kenyataan Analisis sosio-ekonomi makro Menggeneralisasi sebuah sistem yang menindas pada sistem lain 49
3) Aksi Aktualisasi Diri Mencari model-model peran yang sesuai Menghargai diri Mengembangkan diri (mencari pengetahuan) Menjadi subjek Percaya pada sesama (belajar bersama) Menerapkan solusi baru secara tegas (berani mengambil resiko) Mengandalkan sumber daya komunitas (partisipasi) Menentang kelompok-kelompok penindas Mengubah Sistem Mengedepankan dialog daripada polemik Kerjasama Pendekatan Ilmiah Mengubah norma, prosedur dan hukum.
b. Henry Giroux 1) Riwayat Hidup Giroux Salah seorang pemikir pedagogi kritis yang belum banyak dikenal luas di Indonesia, tetapi mempunyai pandangan yang relevan dengan kondisi Indonesia sekarang ini adalah Henry Giroux. Ia lahir pada tanggal
18
September 1943 di Providence, Amerika Serikat. Setelah menyelesaikan studi doktoralnya, Giroux menjadi professor ilmu pendidikan di Universitas Boston. Kemudian, Giroux pindah ke Universitas Miami di Ohio, dan sekarang ia menjadi professor dalam Secondary Education di Penn State University. Giroux banyak menulis buku tentang pendidikan dan isu-isu kontemporer seperti pedagogi kritis dalam masyarakat kapitalis, peran guru sebagai intelektual transformatif, feminisme dan isu-isu gender serta ras. Terkait dengan pendidikan, Giroux menggambarkan karyanya sebagai berikut: "My work has always been informed by the notion that it is imperative to make hope practical and despair unconvincing. My focus is primarily on schools and the roles they play in promoting both success and failure among different classes and groups of students. I am particularly interested in the way in which schools mediate-50
through both the overt and hidden curricula--those messages and values that serve to privilege some groups at the expense of others. By viewing schools as political and cultural sites as well as instructional institutions, I have tried in my writings to provide educators with the categories and forms of analyses that will help them to become more critical in their pedagogies and more visionary in their purposes. Schools are immensely important sites for constituting subjectivities, and I have and will continue to argue that we need to make them into models of critical learning, civic courage, and active citizenship". (www.ed.psu.edu/ci/giroux_vita.asp>) Giroux adalah murid sekaligus teman seperjuangan Paulo Freire. Pemikiran-pemikiran Giroux banyak dipengaruhi oleh ide-ide Freire dan Mazhab Frankfurt,
tetapi ia meletakkannya dalam konteks masyarakat
kapitalis masa kini. Pemikiran Giroux mempunyai kontribusi untuk membuka mata para pendidik bahwa sekolah bukan hanya lembaga pengajaran, tetapi juga merupakan institusi politik dan kultural yang harus dipahami secara kritis. Tujuannya adalah agar guru atau pendidik dapat menjadi lebih kritis dan lebih visioner dalam menjalankan misi pedagogisnya. Misi besarnya adalah terwujudnya pembelajaran kritis dan penguatan masyarakat sipil. Karya-karya Giroux antara lain adalah: - Teachers as Intellectual - Toward a Critical Pedagogy of Learning, New York: Bergin & Garvey, 1988. - Schooling for Democracy: Critical Pedagogy in the Modern Age, London: Routledge, 1989.
2) Landasan filsafati yang mendasari konsep pendidikan menurut Giroux Pemikiran-pemikiran Henry Giroux tentang pendidikan bertitik tolak dari landasan filsafati yang dianut para pemikir teori kritis. Teori kritis dikemukakan oleh filsuf-filsuf yang tergabung dalam mazhab Frankfurt. Giroux menegaskan kebermaknaan teori kritis dalam bidang pendidikan (pedagogi kritis), baik sebagai kajian maupun praksis. Sebagaimana diketahui bahwa pandangan-pandangan mazhab Frankfurt sedikit banyak dipengaruhi oleh teori dialektika diajukan oleh Karl Marx dan
51
pengikutnya, terutama sekali berkaitan dengan struktur
kekuasaan.
Pandangan-pandangan
kelas-kelas sosial dan yang
demikian
sering
dikelompokkan sebagai miliknya para kaum radikal. Kincheloe (2011) menguraikan proses perjalanan pemikiran Giroux dan tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikirannya tersebut sebagai berikut. Pada akhir tahun 70-an dan awal 80-an banyak kaum radikal yang berkecimpung dalam masalah-masalah pendidikan terjebak ke dalam pemikiran deterministik reduksionis dengan mengatakan bahwa sekolah sebagai lembaga pendidikan formal tidak mempunyai harapan lagi karena telah menjadi subordinat dari kekuatan sosial, politik dan ekonomi yang sangat berkuasa. Giroux mengoreksi pandangan yang demikian itu. Sekolah menurutnya masih dapat berfungsi semestinya dalam masyarakat yang kapitalistik. Sekolah dapat menjadi kekuatan, baik untuk dominasi maupun untuk emansipasi. Dengan dijiwai oleh semangat pedagogi demokratis, Giroux mengatakan bahwa demokrasi dalam pendidikan dapat dilakukan misalnya di kelas-kelas ketika dimungkinkan adanya proses conscientization (konsientisasi) ala Freire. Pedagogi kritis Giroux memantapkan diri sebagai sebuah wacana yang dimungkinkan dalam pendidikan. Dalam konteks inilah pemikiran mazhab Franksfurt sebagaimana dikemukakan oleh Max Horkheimer, Theodor Adorno, dan Herbert Marcuse menjadi penting dalam pedagogi kritis Giroux. Teori kritis memberikan pemahaman bagi Giroux berupa suatu bentuk kritik yang memperluas makna politik. Domain politik dalam tradisi teori kritis bergerak ke dua arah yaitu relasi sosial sehari-hari di satu sisi dan di sisi lain mengarah pada kenyataan terdalam dari kesadaran dan jiwa. Gerakan ini penting untuk para pendidik kritis agar mereka mengetahui bagaimana kekuasaan mulai berjalan dalam budaya populer dengan menggunakan afeksi dan emosi. Pemahaman yang demikian ini mengubah wilayah kritik para filsuf kritis pada abad 21. Perhatian Giroux misalnya, berubah tidak hanya tertuju pada perjuangan demokrasi kritis di Amerika Serikat, tetapi juga mendunia. Demokrasi krtis melibatkan diri dalam upaya untuk memperbesar kemungkinan terciptanya keadilan sosial,
52
kebebasan dan hubungan sosial yang egaliter dalam bidang pendidikan, ekonomi, politik dan budaya. Jadi, pedagogi kritis yang dikemukakan oleh Giroux berjalan dalam dua perjuangan yaitu kritik dan kemungkinan mewujudkan emansipasi dalam bidang-bidang tersebut menjadi kenyataan. Giroux termasuk filsuf yang menentang gerakan sayap kanan dalam pendidikan dan institusi sosial lainnya di Amerika. Proyeknya disebut ‖proyek mendidik kembali‖ yang menentang gerakan liberasi yang mendominasi dunia pendidikan baik di dalam maupun di luar sekolah. 3) Kritik Giroux terhadap Budaya Positivisme Giroux menyadari bahwa dimana pun hubungan antara kekuasaan, ideologi di satu pihak dan di pihak lain persekolahan dan krisis kesadaran historis semakin terlihat. Dengan mengadopsi pemikiran Horkheimer, dan Adorno, Giroux menggambarkan budaya positivisme sebagai rasionalitas yang tidak rasional karena menekankan pada prediksi dan kontrol teknis. Bila dikombinasikan dengan penolakan terhadap dinamika interpretif dari hermeneutika, budaya positivisme berubah bentuk menjadi ideologi penindasan yang dominan. Sebab, dalam budaya yang demikian hanya ada satu cara untuk menafsirkan makna sebuah teks atau informasi kepada peserta didik dan itulah satu-satunya perspektif dari kekuasaan yang mendominasi. Dalam kultur positivisme, persekolahan muncul sebagai bentuk regulasi sosial yang menggerakkan individu ke arah takdirnya untuk menggenggam dunia sebagaimana adanya sekarang. Refleksi bagaimana identitas dibentuk oleh kekuasaan atau analisis tentang ‖apa yang senyatanya‖ lewat ‖apa yang seharusnya‖ didominasi oleh budaya positivisme. Perkembangan kesadaran tentang kekuatan sejarah dan hubungannya di dalam kelas dan kehidupan sehari-hari tidak mendapat tempat dalam rasionalitas teknokratis dalam budaya positivisme. Selain
kritiknya
terhadap
budaya
positivisme,
Giroux
juga
mengembangkan teori infrastruktur. Sepanjang tahun 1980-an Giroux 53
memusatkan perhatiannya pada cara-cara individu berhadapan dengan kekuasaan dan dinamika hubungan ini dengan subjektivitas. Dipengaruhi oleh kajian-kajian budaya di Inggris yang dipelopori oleh karya-karya Raymond William, Richard Jonson dan Stuart Hall, membawa Giroux pada kajian tentang subjektivitas, kekuasaan dan pedagogi dihubungkan dengan masalah-masalah bahasa, wacana dan hasrat (desire). Giroux juga dipengaruhi oleh pemikiran tokoh-tokoh besar pendidikan abad 20 seperti John Dewey, Paulo Freire, William Pinar, Giroux mengangkat makna kekuasaan bukan sekedar distribusi sumber daya ekonomi dan politik. Giroux memaknai kekuasaan sebagai serangkaian praktik nyata yang memproduksi mekanisme sosial melalui pengalaman yang sangat jelas berbeda dan identitas personal yang dibentuk. Akhir tahun 1980-an Giroux bekerja sama dengan ahli-ahli kajian budaya dalam usahanya mencari legitimasi budaya populer menjadi bagian dari kajian akademik. Sebagai produser utama yang membuat kesenangan, budaya populer merupakan agen pedagogis yang sangat berkuasa untuk merepresentasikan dunia dengan caranya sendiri di antara dua sisi: melemahkan dan memberdayakan. Mazhab Frankfurt telah lama menyatakan bahwa budaya adalah sebuah entitas politik. Dengan asumsi ini, Giroux membawa pemahaman dari kajian budaya ke dalam analisis budaya populer sebagai sebuah pedagogical locale. Giroux kemudian memfokuskan diri pada pemikiran tentang kajian budaya dihubungkan dengan minatnya selama ini yaitu demokrasi radikal. Dengan fokus barunya ini, Giroux membuka analisis baru yang inovatif tentang pertanyaan-pertanyaan yang lebih luas berkenaan dengan keadilan, kebebasan dan kesetaraan. Dengan menggunakan analisis kajian budaya yang bersifat interdisipliner dan transdisipliner, Giroux menafsirkan teorinya ke dalam praktik demokrasi. Giroux memperluas kajiannya dalam upaya mencari bentuk-bentuk baru bidang akademik. Karya-karya terakhirnya mulai tahun 1990-an sampai sekarang (abad 21) memberikan pemahaman baru tentang proses pedagogi, pandangan tentang kesenangan, peta baru tentang hasrat, dan interpretasi baru tentang hubungan antara penalaran, perasaan dan dominasi (Koncheloe, 2011: 1-2). 54
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemikiran Giroux secara filsafati dipengaruhi oleh teori kritis dari mazhab Frankfurt dan pedagogi kritis Paulo Freire. Oleh karena setting sosial yang dihadapi Giroux adalah masyarakat kapitalistik abad 20/21 yang terlihat ‖lunak‖, maka Giroux ingin memberikan kesadaran bersama melalui pedagogi kritis akan selubungselubung kapitalisme yang berperan dalam relasi kekuasaan dan memahami kenyataan. Dengan mengangkat isu budaya populer sebagai gaya hidup yang ditawarkan masyarakat kapitalis di seluruh dunia, Giroux mengingatkan bahwa ada penyeragaman makna dan teori tentang kenyataan sesungguhnya hanya berujung pada penguasaan sumber-sumber daya manusia oleh kelompok kapitalis di manapun berada. 4) Hakikat dan Tujuan Pendidikan Pendidikan menurut Giroux merupakan salah satu bidang yang sangat penting bagi penciptaan kemampuan warga negara yang kritis berhadapan dengan tantangan tatanan material dan simbolik yang mengesahkan budaya korupsi, kerakusan dan ketidakadilan (Giroux, 2010: 3). Pendidikan harus dipandang sebagai praktik moral dan politis yang selalu menyangsikan apaapa yang membentuk pengetahuan, nilai-nilai, kewargaan, cara-cara memahami dan padangan tentang masa depan. Pengajaran selalu bersifat mengarahkan bagi upaya-upaya membentuk subjek didik sebagai agen khusus pembaharuan dan menawarkan mereka pemahaman khusus tentang masa kini dan masa depan. Menurut Giroux (1988: 5) pendidikan dipahami sebagai pedagogi kritis. Hal penting bagi sebuah pedagogi kritis adalah keharusan untuk memandang sekolah sebagai ruang publik yang demokratis. Sekolah didedikasikan untuk membentuk pemberdayaan diri dan sosial. Dalam arti ini, sekolah adalah tempat publik yang memberi kesempatan bagi subjek didik dapat belajar pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk hidup dalam demokrasi yang sesungguhnya. Sekolah bukan sekedar perluasan tempat kerja atau sebagai lembaga garis depan dalam pertempuran pasar internasional dan kompetisi asing. Dalam pandangan Giroux, sekolah dipandang dalam bahasa politik sebagai lembaga yang memberikan syarat material dan ideologis yang 55
penting untuk mendidik seorang warga negara dalam dinamika keberaksaraan kritis dan keberanian warga. Fungsi sekolah yang demikian ini akan menjadi basis
untuk mewujudkan warga negara yang aktif dalam masyarakat
demokratis (Giroux, 1988: 2). Pandangan Giroux ini diilhami pemikiran Dewey tentang demokrasi, tetapi dalam beberapa hal melampaui
pandangan Dewey.
Wacana
demokrasi, baik sebagai acuan bagi kritik maupun sebagai hal ideal yang mendasarkan pada pengertian dialektis dari hubungan sekolah dan masyarakat. Sebagai referensi bagi kritik, teori dan praktik demokrasi memberikan sebuah model analisis bagaimana sekolah menghalangi dimensi ideologis dan dimensi material dari demokrasi. Contohnya, referensi
itu
menyelidiki cara-cara yang di dalamnya wacana dominasi mewujudkan dirinya sendiri dalam bentuk –bentuk pengetahuan, organisasi sekolah, ideologi guru dan hubungan guru-siswa. Lebih dari itu, pemahaman yang menyatu dengan wacana demokrasi adalah pemahaman bahwa sekolah sebagai suatu tempat yang terdapat pertentangan di dalamnya. Sekolah memproduksi masyarakat yang lebih luas sambil juga memberikan ruang untuk mempertahankan logika dominasinya. Sebagai sebuah ideal, wacana demokrasi menegaskan sesuatu yang lebih programatis dan radikal. Pertama, wacana ini menunjuk peran guru dan kepala sekolah yang dapat berperan lebih sebagai intelektual transformatif yang mengembangkan pedagogi tandingan terhadap hegemoni yang ada. Sekolah tidak hanya memberdayakan siswa dengan memberikan mereka pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkannya untuk mampu berfungsi dalam masyarakat yang lebih luas sebagai agen kritis, tetapi juga mendidik mereka untuk melakukan aksi transformatif. Hal itu berarti bahwa sekolah mendidik siswa
untuk mengambil resiko, untuk berjuang bagi
perubahan kelembagaan, dan untuk bertarung, baik melawan penindasan dan bagi demokrasi di luar sekolah dalam ruang publik yang dihadapi maupun dalam arena sosial yang lebih luas. Implikasinya, demokrasi menunjuk pada dua
perjuangan.
Pertama,
pemberdayaan
pedagogis
dan
dalam
melaksanakannya juga menunjuk pada organisasi, perkembangan dan
56
pelaksanaan dari bentuk-bentuk pengetahuan dan praktik sosial yang ada di sekolah. Kedua, transformasi pedagogis bahwa baik guru maupun siswa harus terdidik untuk berjuang melawan bentuk-bentuk penindasan dalam masyarakat luas dan bahwa sekolah adalah tempat penting yang mewakili perjuangan itu. Demokrasi dalam teori kritis dilihat sebagai keterlibatan, yaitu perjuangan pedagogis dan juga perjuangan politik dan sosial, yaitu suatu perjuangan yang menunjukkan bahwa pedagogi kritis merupakan intervensi yang penting dalam perjuangan untuk membentuk kembali kondisi material dan ideologis dari masyarakat luas
dalam kepentingan menciptakan
masyarakat demokratis yang sesungguhnya. Dengan mempolitisasi pengertian persekolahan, menjadi mungkin untuk memperjelas peran bahwa pendidik dan peneliti pendidikan berperan sebagai intelektual yang menjalankan tugas dengan syarat tertentu dan yang merumuskan suatu fungsi sosial dan politis. Syarat-syarat material yang di dalamnya guru bekerja membentuk basis bagi pemberdayaan dan perluasan praktiknya sebagai intelektual. Sekolah sebagai ruang publik yang demokratis dibangun untuk membuka pertanyaan kritis subjek didik yang menghargai dialog
bermakna dan sebagai agensi kemanusiaan. Selanjutnya, Giroux
(2010: 4) mengatakan bahwa: ”Academic labor at its best flourishes when it is open to dialogue, respects the time and conditions teachers need to prepare lessons, research, cooperate with each other and engage valuable community resources. Put differently, teachers are the major resource for what it means to establish the conditions for education to be linked to critical learning rather than training, embrace a vision of democratic possibility rather than a narrow instrumental notion of education and embrace the specificity and diversity of children’s lives rather than treat them as if such differences did not matter. Hence, teachers deserve the respect, autonomy, power and dignity that such a task demands.” Menurut Giroux, kegiatan akademik berjalan sangat baik ketika dibuka dialog, menghargai waktu dan terdapat suatu kondisi yang disediakan bagi guru untuk mempersiapkan pelajaran, meneliti, bekerja sama dengan yang lain dan mengikatkan diri pada suatu komunitas yang berkualitas.
57
Kurikulum dalam persekolahan selama ini dipandang Giroux sebagai alat
mereproduksi
nilai-nilai
dan
sikap
yang
dibutuhkan
untuk
mempertahankan keberadaan masyarakat yang dominan sejak awal abad 20. Teori dan desain kurikulum secara tradisional mengacu pada rasionalitas teknokratis. Bentuk rasionalitas seperti inilah yang telah mendominasi bidang kajian kurikulum sejak awal dengan berbagai varian dalam karya-karya Tyler, Taba, Saylor dan Alexander, Beauchamp dan yang lain. Groux mengutip pernyataan William Pinar bahwa 85 – 95 persen dari ahli kurikulum memberikan perspektif kajian yang menunjukkan dominasi berpikir rasionalitas teknokratis. Para ahli kurikulum dipengaruhi oleh perkembangan ilmu manajemen sejak tahun 20-an dan peletak dasar awal ahli kurikulum seperti Bobbit dan Charters dipengaruhi
sekali oleh
prinsip-prinsip
manajemen ilmiah. Metafora sekolah sebagai pabrik memiliki sejarah panjang dalam kajian kurikulum. Akibatnya, moda bernalar, inquiry, karakteristik penelitian dalam bidang kurikulum dibangun dengan model yang didasari asumsi-asumsi dalam sains yang terikat pada prinsip-prinsip prediksi dan kontrol (Giroux, 1988: 12). Para ahli sosiologi kurikulum mengeritik model yang demikian sebagai a conceptual muddle (kebingungan konseptual). Pertama, konsep-konsep yang melandasi paradigma kurikulum tradisional bertindak sebagai pengarah bagi tindakan. Kedua, konsep-konsep tersebut berkaitan pula dengan keputusan nilai tentang standar moralitas dan pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat kebebasan dan kontrol. Lebih khusus lagi, asumsi-asumsi ini tidak hanya
merepresentasikan
serangkaian
ide-ide
yang
pendidik
dapat
menggunakannya untuk menata kurikulum, tetapi juga asumsi-asumsi ini merepresentasikan serangkaian bahan praktik yang dilakukan dalam suatu pemikiran rutin sebagaimana fakta-fakta alamiah. Asumsi-asumsi ini menjadi sebentuk sejarah yang diobjetivikasi, asumsi common-sense yang dikuatkan dengan konteks historis. Giroux mengikuti pemikiran sosiologi kurikulum yang baru, yang memandang asumsi dsar dalam paradigma kurikulum tradisional sebagai
58
basis bagi kritik dan situasi limit untuk mengembangkan orientasi baru dan pandangan-pandangan lain tentang kurikulum. 5) Peran Pendidik sebagai Intelektual Selama ini, sekolah-sekolah mempunyai sejarah panjang tetapi hanya berusaha untuk mereproduksi tatanan ideologis masyarakat yang ada. Sebenarnya, sekolah-sekolah mampu berbuat lebih baik dari itu dan memang ada kemungkinan untuk itu di samping bahayanya. Yang terburuk, guru hanya dipandang sebagai penjaga gerbang yang sifatnya hanya mengontrol subjek didik. Yang terbaik, guru merupakan profesi yang sangat sihargai karena telah mendidik generasi masa depan dengan berbagai wacana, nilainilai, dan hubungannya dengan pemberdayaan yang demokratis. Guru tidak sekedar dipandang sebagai teknisi yang tidak disenangi, seharusnya guru dipandang sebagai intelektual yang berkehendak membuat kondisi kelas yang dapat memberikan pengetahuan, keahlian dan budaya bertanya yang dibutuhkan subjek didik untuk berpartisipasi dalam dialog kritis dengan masa lalu, otoritas, perjuangan terus menerus dengan relasi kekuasaan dan mempersiapkan subjek didik untuk menjadi warga negara yang aktif dalam inter-relasinya dengan masyarakat di tingkat lokal, nasional dan global. Sebagaimana dinyatakan oleh Giroux (2010: 4) bahwa pemahaman guru sebagai intelektual dan sekolah sebagai ruang publik yang demokratis masih relevan untuk diterapkan sampai saat ini walaupun Giroux sudah menulis pemikiran-pemikirannya dalam buku ”Teachers as Intellectuals‖ sejak tahun 1988. Di sisi lain, guru-guru adalah sumber daya utama dalam arti untuk membangun kondisi-kondisi yang dibutuhkan bagi pendidikan dihubungkan dengan pembelajaran kritis, bukan sekedar pelatihan. Guru membawa visi demokratis dan bukan sekedar dipahami dalam arti sempit sebagai instrumen pendidikan. Guru harus meyakini bahwa kehidupan subjek didik masingmasing bersifat khusus dan beragam. Guru tidak sekedar memahami bahwa berbeda itu tidak menjadi masalah. Jadi, guru dituntut untuk memiliki respek, otonomi, kekuasaan dan martabat sedemikian rupa sebagai sebuah keharusan.
59
Dengan sekolah sebagai ruang publik yang demokratis dan guru sebagai intelektual, siswa dapat belajar wacana tentang organisasi umum dan tanggung jawab sosial. Wacana yang demikian ini menangkap kembali ide tentang demokrasi kritis sebagai sebuah gerakan sosial yang mendukung kebebasan individual dan keadilan sosial. Lebih lanjut, meninjau sekolah sebagai ruang publik yang demokratis memberikan sebuah alasan logis untuk mempertahankannya karena sejalan dengan bentuk-bentuk pedagogi yang progresif dan guru bekerja mengambil bagian
atau peran penting di
dalamnya. Praktik guru ditunjukkan sebagai layanan jasa publik
yang
penting. Guru harus mampu untuk mengkonstruksi cara-cara yang melibatkan waktu, ruang, aktivitas dan pengetahuan diorganisasikan dalam kehidupan sekolah setiap harinya. Guru harus menciptakan syarat struktural
dan
ideologis yang dibutuhkan untuk dirinya agar dapat menulis, meneliti dan bekerja dengan orang lain dalam menghasilkan kurikulum yang baik dan kekuatan bersama. Guru perlu mengembangkan sebuah wacana dan menentukan asumsi bahwa mereka dibolehkan untuk menjalankan fungsinya secara lebih khusus yaitu
sebagai intelektual transformatif. Sebagai
intelektual, mereka mengkombinasikan refleksi dan aksi untuk kepentingan pemberdayaan siswa dengan kecakapan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk melenyapkan ketidakadilan dan untuk menjadi pelaku kritis yang teguh mengembangkan sebuah dunia yang bebas dari penindasan dan eksploitasi. Intelektual yang demikian sekaligus memperhatikan prestasi individual siswa atau memajukan siswa mencapai tangga karir, dan memperhatikan sekali upaya pemberdayaan siswa sehingga mereka dapat membaca dunia dengan kritis dan mengubahnya bila diperlukan. Ada beberapa hal pokok tentang landasan ontologis bagi pembentukan bentuk praksis radikal pedagogis. Acuan yang paling penting bagi posisi yang demikian itu adalah ‖ingatan yang membebaskan‖ (liberating memory) – mengingat kembali kejadian-kejadian dalam ranah publik dan privat yang menyakitkan yang sebab-sebab dan manifestasinya mensyaratkan pengertian
60
dan belas kasih. Pengertian memori yang membebaskan memfokuskan pada subjek yang terkena penderitaan di masa lalu dan kenyataan bahwa mereka diperlakukan sebagai ‖liyan‖ (the other). Dengan cara ini akan dihayati dan dimengerti kenyataan eksistensi manusia dan kebutuhan bagi semua anggota masyarakat demokratis untuk memperbaiki kondisi sosial yang ada sehingga hilanglah penderitaan itu di masa sekarang. Kaum intelektual dapat berperan sebagai bagian dari jaringan pedagogis solidaritas yang dirancang untuk tetap menghidupkan fakta historis dan eksistensial mengenai penderitaan. Caranya adalah dengan membuka dan menganalisis bentuk-bentuk pengetahuan populer dan historis yang telah ditekan atau diabaikan dan melalui apa yang disebut menemukan ‖akibat-akibat ruptural dari konflik dan perjuangan‖. Ingatan yang membebaskan menghadirkan sebuah deklarasi, harapan, pengingat diskursif bahwa orang tidak hanya menderita di bawah mekanisme dominasi, tetapi mereka juga eksis. Resistensi
selalu dikaitkan dengan
bentuk-bentuk pengetahuan dan pemahaman yang menjadi prasyarat bagi ucapan ‖Tidak‖ untuk represi dan ‖Ya‘ untuk perjuangan dinamis dan kemungkinan praktik pemberdayaan diri sendiri. Pengertian ingatan sejarah melanjutkan memori gerakan sosial bahwa orang-orang tidak hanya dapat bertahan, tetapi juga memperbaharui diri dalam kepentingannya sendiri untuk tujuan mengembangkan komunitas di sekelilingnya. Singkatnya, suatu usaha untuk mengembangkan kehidupan yang lebih baik. Pedagogi radikal sebagai suatu bentuk politik budaya harus dipahami sebagai sebuah serangkaian praktik nyata yang menghasilkan bentuk-bentuk sosial melalui berbagai tipe pengetahuan, serangkaian pengalaman dan subjektivitas yang membentuknya. Intelektual transformatif perlu memahami bagaimana subjektivitas dihasilkan dan diberlakukan melalui bentuk-bentuk sosial yang dihasilkan melalui sejarah. Intinya adalah kebutuhan untuk mengembangkan model-model penelitian yang tidak hanya menyelidiki bagaimana pengalaman terbentuk, hidup dan berlangsug dalam tatanan sosial khusus seperti sekolah, tetapi juga bagaimana piranti tertentu dari kekuasaan
61
menghasilkan bentuk-bentuk pengetahuan yang mengesahkan sejenis kebenaran tertentu dan pandangan dunia yang khusus pula. Kekuasaan dalam pengertian ini memiliki makna yang luas sebagaimana ditunjukkan oleh Foucault, tidak hanya menghasilkan pengetahuan yang mendistorsi kenyataan, tetapi juga menghasilkan versi tertentu tentang ‖kebenaran‖. Kekuasaan itu tidak hanya menakjubkan, tetapi juga mengotori. Dampaknya yang sangat berbahaya adalah hubungan positifnya terhadap kebenaran, akibat kebenaran yang dihasilkannya‖. Sekolah sebagai ruang publik yang di dalamnya, baik guru maupun siswa bekerja bersama untuk menempuh suatu visi emansipatori baru dari suatu komunitas dan masyarakat. Giroux menawarkan resep yang menurutnya perlu dikritisi dan diseleksi sehingga dapat digunakan dalam konteks khusus yang termuat nilai-nilai
bagi perjuangan pengajaran di
kelasnya sendiri, perjuangan sosial serta pembaharuan demokrasi. Giroux (1988: 108) mengutip pernyataan sahabatnya, Paulo Freire dan sependapat dengan pemikirannya tentang tindakan belajar. Bagi pendidik Brazil, Polo Freire belajar adalah sebuah tugas sulit yang memerlukan sikap kritis sistematis dan disiplin intelektual yang hanya bisa diperoleh melalui praktek. Lebih lanjut, Freire mengemukakan bahwa mendasari sifat-sifat praktek ini adalah dua asumsi pendidikan penting. Pertama, pembaca harus berasumsi tentang peran subjek di dalam tindakan belajar. Kedua, tindakan belajar tidak semata-mata merupakan hubungan dengan perantaraan teks; sebaliknya, di dalam pengertian luas tindakan belajar ini merupakan sikap terhadap dunia. Selanjutnya dikatakan oleh Freire (Giroux, 1988: 109)
bahwa
mempelajari sebuah teks memerlukan analisis tentang kajian seseorang yang melalui belajar menuliskan kajian itu. Belajar memerlukan pemahaman tentang pengondisian historis pengetahuan. Dan ini memerlukan penelitian tentang isi kajian dan dimensi-dimensi lain pengetahuan. Belajar adalah sebuah bentuk penemuan kembali, penciptaan kembali, penulisan kembali, dan semua ini adalah tugas subjek bukan objek. Lebih jauh, dengan 62
pendekatan ini pembaca tidak bisa memisahkan dirinya sendiri dari teks karena ia akan mengakui sikap kritis terhadap teks ... Karena tindakan belajar adalah sikap terhadap dunia, tindakan belajar tidak bisa direduksi menjadi hubungan pembaca dengan buku atau pembaca dengan teks. Pada kenyataannya, sebuah teks mencerminkan konfrontasi penulis dengan dunia. Teks mengungkapkan konfrontasi ini. Seseorang yang belajar tidak akan pernah berhenti selalu ingin tahu tentang orang lain dan realitas. Mereka adalah orang-orang yang bertanya, mereka yang berusaha menemukan jawaban dan mereka yang terus melakukan pencarian. Giroux (1988: 109-110) mengatakan bahwa untuk menghadapi tantangan semacam itu para pendidik kritis harus mengembangkan sebuah wacana yang dapat digunakan untuk meneliti sekolah sebagai penampakan wujud material dan ideologis sebuah jaringan hubungan-hubungan kompleks di antara budaya dan kekuasaan di satu sisi dan sebagai tempat persaingan yang terbangun secara sosial dan aktif terlibat di dalam produksi pengalamanpengalaman yang dihayati di sisi lain. Mendasari pendekatan semacam itu adalah upaya untuk mendefinisikan bagaimana praktek mendidik merupakan praktek khusus pengalaman, yakni, sebuah bidang kultural di mana pengetahuan, wacana, dan kekuasaan bertemu untuk menghasilkan praktekpraktek historis khusus regulasi moral dan sosial. Demikian juga, pokok persoalan-pokok persoalan problematis yang berhubungan dengan kebutuhan untuk meneliti bagaimana pengalaman manusia dihasilkan, diperebutkan, dan dilegitimasi di alam dinamika kehidupan ruang kelas sehari-hari. Arti penting teoretis tipe penelitian ini berhubungan langsung dengan keharusan para pendidik memunculkan sebuah wacana di mana sebuah politik budaya dan pengalaman yang lebih komprehensif bisa dikembangkan. Giroux menekankan arti penting sekolah sebagai perwujudan historis dan struktural dari bentuk-bentuk dan budaya yang bersifat ideologis di dalam pengertian bahwa di sekolah ada pihak-pihak yang memberi arti penting realitas dengan cara-cara yang sering kali diperebutkan secara aktif dan dialami secara berbeda oleh berbagai individu dan kelompok.
63
Maksudnya, sekolah secara ideologis tidak bersalah, mereka bukan hanya reproduksi
relasi-relasi
sosial
dominan dan kepentingan-kepentingan
dominan. Sekolah menjalankan bentuk-bentuk regulasi politis dan moral yang berhubungan erat dengan teknologi kekuasaan yang ―menghasilkan perbedaan-perbedaan
kemampuan
individu
dan
kelompok
untuk
mendefinisikan dan merealisasikan kebutuhan.‖ Secara lebih spesifik, sekolah membentuk kondisi-kondisi di mana beberapa individu dan kelompok mendefinisikan istilah-istilah dengan istilah-istilah mana orang lain hidup, menolak, menegaskan, dan berpartisipasi di dalam konstruksi identitasidentitas dan subjektivitas mereka sendiri. Di dalam perspektif teoretis ini, Giroux mengemukakan bahwa kekuasaan harus dipahami sebagai susunan konkret praktek-praktek yang menghasilkan bentuk-bentuk sosial melalui bentuk-bentuk mana susunan pengalaman dan mode-mode subjektivitas yang berbeda dibangun. Wacana di dalam permasalahan ini memiliki kemampuan mewujudkan dan merupakan produk dari kekuasaan. Wacana berfungsi untuk menghasilkan dan melegitimasi konfigurasi waktu, ruang, dan narasi yang memosisikan para guru dan para siswa untuk memberi keistimewaan pada penerjemahan ideologi, perilaku, dan perwujudan kehidupan sehari-hari. Wacana sebagai teknologi kekuasaan diberi ekspresi konkret di dalam bentuk-bentuk pengetahuan yang membentuk kutikula formal dan juga di dalam hubunganhubungan sosial di ruang kelas yang ―memandang dengan tajam‖ diri mereka sendiri di dalam pengertian tubuh dan jiwa. Tidak perlu dikatakan, praktekpraktek dan bentuk-bentuk mendidik ini ―dibaca‖ dengan cara-cara yang berbeda oleh para guru dan para siswa. Namun demikian, di dalam susunan praktek mendidik yang terbangun secara sosial terdapat kekuatan-kekuatan yang aktif bekerja menghasilkan subjektivitas yang secara sadar dan tidak sadar menampilkan ―pemahaman‖ khusus tentang dunia. Menurut Giroux (1988: 110), untuk melanggengkan tatanan yang diinginkan
penguasa, dilakukan manajemen kontrol di sekolah. Para
administrator (kepala sekolah dan birokrat lainnya)
64
tidak hanya
menggunakan waktu pada masalah-masalah administrasi dan kontrol, mereka juga cenderung mengevaluasi elemen-elemen lain, seperti kinerja para guru, sesuai dengan kemampuan mereka untuk mempertahankan tatanan. Mereka cenderung menata elemen-elemen lain sekolah sesuai dengan bagaimana mereka memberikan sumbangan atau gagal memberi sumbangan pada pemeliharaan tatanan. Contoh penting tentang hal itu adalah implementasi five-by-five day di sekolah-sekolah perkotaan, di mana para siswa dimasukkan pada pagi hari, diberi lima periode pengajaran dengan beberapa menit istirahat di antaranya dan istirahat lima menit pada pagi hari, dan dipulangkan sebelum jam satu. Tidak ada waktu bebas, ruang belajar, sesi kafetaria, atau perkumpulan. Tidak ada kesempatan diberikan di mana kekerasan bisa terjadi. Arti penting pemeliharaan tatanan di sekolah-sekolah publik itu tidak bisa disepelekan. Di dalam wacana ini pengalaman siswa direduksi menjadi perantaraan kinerjanya dan hanya eksis sebagai sesuatu yang harus diukur, dijalankan, didaftar, dan dikontrol. Kekhasannya, pemutusannya, kualitasnya yang telah dihayati semuanya dilarutkan di dalam ideologi kontrol dan manajemen. Masalah penting yang berhubungan dengan sudut pandang ini adalah bahwa para guru yang sepaham dengan sistem pengetahuan yang disusun semacam itu tidak menjamin
para siswa akan memiliki ketertarikan pada praktek
pendidikan yang dihasilkan, terutama karena pengetahuan tampak tidak banyak berhubungan dengan pengalaman-pengalaman keseharian para siswa itu sendiri. Lebih jauh, para guru yang menata pengalaman ruang kelas di luar wacana ini biasanya menghadapi banyak masalah di sekolah-sekolah umum, terutama sekolah-sekolah di pusat-pusat perkotaan. Kebosanan dan/atau gangguan tampak menjadi hasil utamanya. Tentu saja, hingga pada batas tertentu, para guru yang bersandar pada praktek-praktek ruang kelas yang menunjukkan ketiadaan penghormatan untuk para siswa dan pembelajaran kritis itu sendiri merupakan korban dari kondisi kerja khusus yang jelas tidak memungkinkan mereka mendapatkan posisi pendidik kritis. Jadi, guru itu sendiri adalah korban dari tatanan yang dihasilkan dari wacana yang dominan. 65
Pada saat yang sama, kondisi-kondisi pekerjaan di mana pekerjaan para guru ditentukan secara bersama-sama oleh kepentingan-kepentingan dan wacana-wacana dominan yang menghasilkan legitimasi ideologis untuk mengembangkan praktek-praktek ruang kelas hegemonis. Kutipan berikut bisa membesar-besarkan logika manajemen dan kontrol yang bekerja di dalam wacana ini, tetapi ini tentu saja hanya menelurkan ideologinya. Ada sentuhan ironi tertentu pada contoh ini di dalam hal penulis adalah seorang pengajar menulis yang menyarankan kebajikan-kebajikan kepada para siswanya: ―Kepatuhan berarti ―kemampuan mengajar‖ dan hanya merupakan kualitas mau mengikuti pengajaran-pengajaran sederhana dan memiliki kepercayaan pada pengajar, yang telah melewati semua pembelajaran – dan barangkali banyak pengajaran—sebelumnya dan mungkin mengetahui apa yang sedang ia lakukan ... anda bahkan tanpa bakat tertentu, dengan kesabaran, dengan kepatuhan, dan dengan kesungguhan mengikuti prosedur langkah demi langkah bisa menghasilkan sebuah tema yang bagus.‖ Tipe wacana ini tidak hanya membuahkan kekerasan simbolis terhadap para siswa di dalam hal menurunkan nilai modal kultural yang mereka miliki sebagai basis signifikan untuk pengetahuan dan penelitian sekolah. Tipe wacana ini juga cenderung memosisikan para guru di dalam model-model pendidikan yang melegitimasi peran mereka sebagai ―pegawai klerikal‖ sebuah kerajaan. Sayangnya, kepentingan-kepentingan teknokratis yang menampilkan wujud pemahaman para guru sebagai pegawai klerikal merupakan bagian dari tradisi panjang model-model manajemen pendidikan dan administrasi yang telah mendominasi pendidikan umum (Amerika). Ungkapan-ungkapan yang lebih belakangan tentang logika ini meliputi berbagai model akuntabilitas, manajemen sesuai dengan tujuan, materi kurikulum yang telah diuji oleh guru, dan persyaratan sertifikasi yang dimandatkan oleh negara. Giroux menegaskan bahwa hasil untuk sistem sekolah yang mengadopsi ideologi ini tidak hanya berkembangnya bentuk otoritarian kontrol sekolah
66
dan bentuk-bentuk pendidikan yang lebih standar dan lebih bisa dikelola, tipe kebijakan sekolah ini juga dibuat untuk relasi-relasi publik yang baik di dalam hal administrator sekolah bisa menyediakan solusi-solusi teknis untuk masalah-masalah sosial, politik dan ekonomi yang kompleks yang dihadapi oleh sekolah-sekolah mereka, sementara pada saat yang sama memunculkan prinsip-prinsip akuntabilitas sebagai indikator keberhasilan. Pesan untuk publik menjadi jelas: jika masalah ini bisa diukur, maka masalah ini bisa dipecahkan. Giroux mengambil posisi lain, yaitu posisi di dalam wacana pendidikan arus utama yang tidak mengabaikan hubungan di antara pengetahuan dan pembelajaran, di satu sisi, dan pengalaman siswa di sisi yang lain. Giroux (1988: 88) mengutip dan menggarisbawahi pernyataan Adam Walterson dalam bukunya: Hegemony and Revolution tentang praktik pengajaran di sekolah sebagai berikut: ―School should teach you to realize yourself, but they don’t. They teach you to be a book. It’s easy to become a book, but to become yourself, you’ve got to be given various choices and be helped to look at the choices. You’ve got to learn that, otherwise you’re not prepared for the outside world.” (Sekolah harus mengajarimu merealisasikan dirimu sendiri, tetapi mereka tidak. Mereka mengajari kamu menjadi sebuah buku. Mudah kiranya menjadi sebuah buku, tetapi untuk menjadi dirimu sendiri, kamu harus diberi berbagai pilihan dan dibantu untuk melihat pada pilihan-pilihan itu. Kamu harus mempelajari pilihan itu, jika tidak, kamu tidak siap menghadapi dunia luar). 4. Anarkhisme Utopis: Ivan Illich a. Riwayat Hidup Tokoh utama aliran ini adalah Ivan Illich (1926-, seorang imam Katholik dari dari Austria yang lama hidup di Amerika Serikat dan Amerika Latin. Analisis dan kritiknya tentang pendidikan bersifat radikal sehingga William F. O‘neil menggolongkan pemikirannya sebagai anarkhisme utopis. Pengalaman hidupnya bersama kaum yang terpinggirkan sangat menyentuh hati dan
direfleksikan dalam bukunya yang berjudul:
67
Deschooling Society (Menghapus Sekolah dari Masyarakat, 1971). Buku ini telah membuka mata para ahli, pemerhati dan praktisi pendidikan mengenai hubungan antara kekuasaan dan pendidikan. Illich
mengatakan
bahwa
tujuan
utama
pendidikan
adalah
perombakan/pembaharuan berskala besar dan segera di dalam masyarakat, dengan cara menghilangkan persekolahan wajib. Sistem persekolahan formal yang ada harus dihapuskan sepenuhnya dan diganti dengan sebuah pola belajar sukarela dan mengarahkan diri sendiri; akses yang bebas dan universal ke bahan-bahan pendidikan serta kesempatan-kesempatan belajar mesti disediakan, namun tanpa sistem pengajaran wajib (O‘neil, 2002: 489).
b. Anak sebagai Pelajar Anak-anak cenderung menjadi baik (yakni, menginginkan tindakan yang efektif dan tercerahkan) ketika anak-anak itu diasuh dalam sebuah masyarakat yang baik (yakni yang rasional dan berkemanusiaan). Perbedaan-perbedaan antar-individu bergerak menentang kebijaksanaan yang meresepkan pengalaman-pengalaman pendidikan yang sama bagi setiap orang. Anak-anak secara moral setaram dan mereka musti mendapatkan kesempatan-kesempatan untuk belajar apapun yang mereka pilih sendiri, demi memperoleh tujuan apapun yang mereka anggap layak untuk dikejar. Kedirian (kepribadian) tumbuh dari pengkondisian sosial, dan diri yang bersifat sosial ini menjadi landasan bagi seluruh penentuan diri selanjutnya. Anak bebas hanya dakan konteks determinisme sosial dan psikologis. Masyarakat dan negara tidaklah sama artinya. Masyarakat diperlukan bagi pemenuhan diri, tetapi negara menghalangi perwujudan sepenuhnya masyarakat tersebut (O‘neil, 2002: 490).
c. Penghapusan Sekolah Pendidikan tidak sama dengan persekolahan; satu-satunya kegiatan belajar yang sebenarnya hanyalah belajar yang ditentukan diri sendiri; dan berlangsung efektif dalam masyarakat ―tanpa sekolah‖. Peran guru dapat
68
dihapus atau pilihan saja dari proses pendidikan. Penilaian (evaluasi) terbaik adalah penilaian diri sendiri. Secara alamiah manusia adalah makhluk sosial, maka kegiatan belajar harus menekankan kerja sama dan meminimalkan persaingan antar-pribadi. Individu ―bersaing‖ dengan dirinya sendiri. Pembedaan tradisional antara yang kognitif, afektif dan interpersonal adalah pembedaan palsu/artifisial dan tidak produktif dalam memandang proses belajar yang sebenarnya bersifat total dan organis. Penghapusan
sekolah-sekolah
bukan
hanya
merupakan
cara
mengefektifkan pembaharuan/perombakan yang perlu diadakan, melainkan juga menjadi salah satu pembaharuan kunci yang harus dicapai, karena tujuan tertingginya adalah untuk menciptakan sebuah masyarakat yang takterlembaga, secara terus-menerus melampaui diri dan memperbaharui diri, di mana pengaturan-pengaturan sosial yang perlu diraih melalui kerjasama yang bebas berdasarkan kebutuhan timbal-balik. Kaum anarkhi utopis sebenarnya tidak menentang persekolahan itu sendiri, tetapi menentang secara keras lembaga-lembaga yang melestarikan diri sendiri yang memaksa orang untuk mempelajari hal-hal tertentu dengan cara-cara tertentu dan di saat-saat tertentu. Bagu kaum utopis ini, pendidikan tidak bisa disamakan dengan persekolahan tradisional. Masyarakat yang baik tidak memerlukan pola-pola wajib belajar atau proses belajar-mengajar mata pelajaran yang diwajibkan (O‘neil, 2002: 486).
d. Metode Pengajaran dan Penilaian Hasil Belajar Siswa secara individual musti menjadi penentu metode-metode pengajaran mana yang paling sesuai dengan tujuan-tujuan dan rancanganrancangan pendidikannya sendiri. Nilai disiplin dan hapalan serta lain-lainnya yang berkaitan dengan itu harus dibiarkan menjadi ‗rahasia‘ orang yang belajar itu sendiri.; mereka yang menghendaki pendekatan-pendekatan direktif atau otoritarian terhadap kegiatan belajar mesti bebas memilih pendekatan seperti itu dengan dasar individual.
69
Peran-peran tradisional guru dan siswa yang diterapkan oleh lembaga harus dihapuskan. Guru adalah sebuah aspek yang bisa dihapus/dibuang (atau maksimal menjadi pilihan saja) dari proses pendidikan. Penilaian atau evaluasi yang terbaik adalah penilaian diri sendiri, yang harus difungsikan hampir secara eksklusif untuk tujuan persaingan diri. Secara alamiah, manusia bersifat sosial dan mau bekerjasama. Sejalan dengan
itu,
kegiatan
belajar
harus
menekankan
kerjasama
serta
meminimalkan pesaingan antar-pribadi demi ganjaran-ganjaran. Oleh karena individu secara alamiah bersifat mewujudkan diri, maka ia secara intrinsik memiliki persaingan diri (bersaing dengan dirinya sendiri), serta tidak memerlukan dorongan dari luar untuk belajar. Pembedaan tradisional antara yang kognitif, afektif, dan interpersonal adalah pembedaan palsu/artifisial dan tidak produktif dalam memandang proses belajar yang sebenarnya bersifat total serta organis. Bimbingan penyuluhan individual, serta terapi kejiwaan sebagaimana dilaksanakan melalui sekolah-sekolah, hanyalah satu bagian dari sistem pembatasan sosial yang dalam kenyataan telah menyebabkan timbulnya berbagai problema kejiwaan yang pura-pura mereka sembuhkan.
e. Kritik terhadap Anarkhisme Utopis Diagnosis kaum anarkhisme utopis mengenai apa yang salah dalam sistem persekolahan yang ada sekarang ini seringkali tepat dan meyakinkan, namun resep apa yang mereka sodorkan untuk mengubahnya
sering
cenderung kabur dan tidak menjadikan orang terbujuk. Ini menyebabkan munculnya kesulitan dalam menentukan apakah kita berhadapan dengan seorang anarkis yang menganggap bahwa penghapusan sekolah adalah sebuah jalan untuk menjungkirbalikkan sistem sosial yang ada demi menaikkan sebuah sosialisme yang lebih berkemanusiaan, ataukah ia menganggap bahwa penghapusan sekolah adalah sebuah cara melenyapkan kekangan-kekangan politis tradisional serta mendirikan masyarakat yang sama sekali baru yang didasari ‗individualisme kolektif‘ (O‘neil, 2002: 488).
70
5. Eksistensialisme a. Pengertian Eksistensialisme Eksistensialisme menjadi salah satu ciri pemikiran filsafat abad XX yang sangat mendambakan adanya otonomi dan kebebasan manusia yang sangat besar untuk mengaktualisasikan dirinya.
Dari perspektif
eksistensialisme, pendidikan sejatinya adalah upaya pembebasan manusia dari belenggu-belenggu yang mengungkungnya sehingga terwujudlah eksistensi manusia ke arah yang lebih humanis dan beradab. Beberapa pemikiran eksistensialisme dapat menjadi landasan atau semacam bahan renungan bagi para pendidik agar proses pendidikan yang dilakukan semakin mengarah pada keautentikan dan pembebasan manusia yang sesungguhnya. Di Indonesia, pengaruh eksistensialisme tampak sekali dalam pemikiran Driyarkara tentang manusia dan pendidikan. Tetapi, beberapa pemikiran eksistensialisme yang lain (eksistensialisme ateistik) perlu dikritisi, bila dilihat dalam konteks masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai religiusitas. George R. Knight (1982:6) mengatakan bahwa filsafat tradisional mempunyai kesamaan mendasar yaitu mengarahkan pemikirannya pada metafisika sebagai isu utama. Lain halnya dengan filsafat modern, ada perubahan yang jelas secara hierarkis mengenai arti penting dari tiga kategori filsafat yang mendasar . Perubahan ini dipicu oleh adanya penemuan sains modern. Beberapa abad lamanya perspektif filsafat dan pengetahuan tentang manusia cenderung stabil. Perubahan dimulai pada abad XVII dan XVIII, dimulai dengan penemuan ilmiah dan teori-teori ilmiah. Kemudian diikuti dengan teknologi yang menyebabkan revolusi industri. Dari sinilah terjadi diskontinuitas dengan pola sosial dan pemikiran filsafat tradisional di dunia Barat. Pada zaman modern manusia menolak pandangan tentang kebenaran absolut yang sifatnya statis. Dari sudut pandang manusia, kebenaran merupakan kebenaran manusia yang relatif dan hal itu berarti tidak ada
71
kepastian universal. Hal inilah yang menyebabkan filsafat modern menolak masalah kenyataan terakhir dan fokus pada pendekatan relatif mengenai kebenaran dan nilai dari perspektif kelompok (pragmatisme) dan dari sudut pandang individualisme (eksistensialisme). Kalau pragmatisme lebih memfokuskan pada sisi epistemologi sebagai isu utama filsafatnya, eksistensialisme memfokuskan diri pada aksiologi. Eksistensialisme merupakan filsafat yang bersifat antropologis, karena memusatkan perhatiannya pada otonomi dan kebebasan manusia. Maka, sementara ahli memandang eksistensialisme sebagai salah satu bentuk dari humanisme. Hal ini juga diakui oleh Jean-Paul Sartre, sang filsuf eksistensialis yang sangat terkenal. Bagaimana eksistensialisme sebagai filsafat mempengaruhi teori dan praksis pendidikan? Inilah pertanyaan penting yang akan dibahas dalam sub bab berikut ini, dengan memfokuskan terlebih dahulu pada sifat dasar eksistensialisme, kontribusinya terhadap gerakan
humanisme, kemudian
dilanjutkan dengan implikasi eksistensialisme dalam pendidikan. b. Latar Belakang Eksistensialisme Eksistensialisme adalah salah satu pendatang baru dalam dunia filsafat. Eksistensialisme hampir sepenuhnya merupakan produk abad XX. Dalam banyak hal, eksistensialisme lebih dekat dengan sastra dan seni daripada filsafat formal. Tidak diragukan lagi bahwa eksistensialisme memusatkan perhatiannya pada emosi manusia daripada pikiran. Eksistensialisme tidak harus dipandang sebagai sebuah aliran filsafat dalam arti yang sama
sebagaimana tradisi filsafat sebelumnya.
Eksistensialisme mempunyai ciri: 1) penolakan untuk dimasukkan dalam aliran filsafat tertentu; 2) tidak mengakui adekuasi sistem filsafat dan ajaran keyakinan (agama) 3) sangat
tidak puas
dengan sistem filsafat tradisional yang bersifat
dangkal, akademis dan jauh dari kehidupan.
72
Individualisme adalah pilar sentral dari eksistensialisme. Kaum eksistensialis tidak mengakui sesuatu itu sebagai bagian dari tujuan alam raya ini. Hanya manusia, yang individual yang mempunyai tujuan. Eksistensialisme berakar pada karya Soren Kierkegaard (1813-1855) dan Friedrich Nietzsche (1844-1900). Kedua orang ini bereaksi terhadap impersonalisme dan formalisme dari ajaran Kristen dan filsafat spekulatif Hegel. Kierkegaard mencoba merevitalisasi ajaran Kristen dari dalam dengan memberi tempat pada individu dan peran pilihan dan komitmen pribadi. Pada sisi lain, Nietzsche menolak Kekristenan, menyatakan kematian Tuhan dan memperkenalkan ajarannya tentang superman (manusia super). Eksistensialisme telah berpengaruh khususnya sejak perang dunia II. Pencarian kembali akan makna menjadi penting dalam dunia yang telah menderita depresi berkepanjangan dan diperparah dengan dua perang dunia yang dampaknya ternyata sangat besar. Hal ini kemudian menjadi pemicu bagi kaum eksistensialis memperbaharui pencarian akan makna dan signifikansi sebagai akibat dari adanya dampak sistem industri modern yang
mendehumanisasikan
manusia.
Eksistensialisme
merupakan
penolakan yang luas terhadap masyarakat yang telah merampas individualitas manusia. Juru bicara eksistensialisme yang berpengaruh pada abad XX termasuk adalah Karl Jaspers, Gabriel Marcel, Martin Heidegger, Jean Paul Sartre dan Albert Camus. Sebagai pendatang baru dalam dunia filsafat, eksistensialisme memfokuskan utamanya pada masalah filsafat dan belum begitu eksplisit terhadap praktik-praktik pendidikan. Beberapa pengecualian ditemukan pada tokoh-tokoh seperti Martin Buber, Maxine Greene, George Kneller dan Van Cleve Morris. Eksistensialisme bukanlah filsafat yang sistematis, tetapi memberi semangat dan sikap yang dapat diterapkan dalam usaha pendidikan. c. Pandangan dasar Eksistensialime 1) Realitas sebagai eksistensi
73
Eksistensi
individu
merupakan
eksistensialisme
terhadap
realitas.
fokus
utama
Eksistensialisme
pemikiran dikontraskan
dengan pernyataan kaum neo-skolastik yang menyatakan bahwa esensi mendahului eksistensi dalam hubungannya dengan waktu. Contohnya, beberapa kaum neo-skolastik memandang Tuhan sebagai Pencipta segala sesuatu – termasuk manusia. Ketika Tuhan menciptakan manusia, Dia berkata bahwa Dia telah mempunyai ide tentang manusia (esensi manusia) dalam pikiranNya sebelumnya mewujudkannya. Sebaliknya, kaum eksistensialis berpegang pada pendapat bahwa eksistensi mendahului esensi. Manusia ada dulu, baru kemudian ia berusaha untuk menentukan apa yang menjadi esensinya atau keapaannya. Ia berhadapan dengan pertanyaan: ―Siapakah saya ini?‖ dan ―Apa makna eksistensi ?‖ dalam dunia yang justru tidak memberikan jawaban. Tindakan sehari-hari kehidupan manusia itu adalah proses mencari esensi tersebut. Karena melalui kehidupan itulah ia membuat pilihan-pilihan dan menentukan pilihan yang disukai dan yang tidak
Melalui aktivitas ini ia menyadari bahwa ia seorang
individu. Melalui proses ini ula ia sampai pada kesadaran bahwa ia telah memilih untuk berada (menjadi). Ia berhadapan dengan eksistensi dan bertanggung jawab terhadap pilihan-pilihannya tersebut.
2) Kebenaran sebagai pilihan Manusia
adalah
pusat
otoritas
epistemologis
dalam
eksistensialisme – artinya manusia di sini bukan manusia sebagai satu spesies, melainkan manusia sebagai individu yang kongkrit, meruang dan mewaktu. . Makna dan kebenaran tidak ditentukan dari dan untuk alam semesta, justru manusia itulah yang memberi makna terhadap sesuatu sebagaimana kodratnya. Manusia mempunyai hasrat untuk percaya kepada makna eksternal dan hasilnya ia menentukan sendiri untuk percaya kepada apa yang ingin dipercayainya. Karena eksistensi mendahului esensi, maka pertama harus ada manusianya dahulu baru kemudian ada ide-ide yang diciptakannya.
74
Semua tergantung pada manusia individual itu dan ia sendiri yang membuat putusan terakhir tentang apa itu kebenaran.Oleh karena itu, kebenaran dapat dilihat sebagai pilihan eksistensial yang tergantung pada otoritas individu.
3) Nilai-nilai dari si individu Fokus filsafat eksistensialis adalah dalam aksiologi yang membedakannya dengan filsafat tradisional yang mementingkan metafisika. Dapat dikatakan bahwa ―metafisika‖ eksistensialisme diwakilkan dengan kata ―eksistensi‖
dan konsep epistemologinya
adalah ―pilihan‖. Oleh karena itu kedua konsep ini membawa manusia eksistensialis memfokuskan diri pada aktivitas kehidupan dan perhatian filsafatnya diikat dalam lingkup aksiologi individual sebagai seorang penentu eksistensialis. Jika manusia ingin menjadi benar-benar autentik, maka ia harus hidup secara bertanggung jawab termasuk dalam membuat keputusan. Akibat yang tidak disenangi bagi seseorang yang bertindak di luar aturan
etik
tidak
begitu
dipermasalahkan
dalam
pandangan
eksistensialis. Adalah penting untuk berbuat tanpa memperhatikan akibat-akibat ini, tetapi bukan berarti membenarkan tindakan yang tidak bertanggung jawab. Kaum eksistensialis melihat tidak ada ketegangan setelah kematian. Lawan kematian adalah kehidupan, dan kehidupan bagi mereka mengharuskan derajat ketegangan sebagai seorang pribadi karena pribadi tersebut bertindak berdasar hukum etiknya sendiri. Pandangan eksistensialis tentang estetika dapat digambarkan sebagai sebuah penolakan terhadap standar umum. Masing-masing individu adalah pengadilan tertinggi dalam memandang tentang apa yang indah. Tidak seorang pun yang dapat membuat keputusan bagi individu yang lain. Apa yang indah bagi saya adalah indah dan siapa yang dapat menentang saya?. Dengan demikian keakuan sangat ditonjolkan baik dalam etika maupun dalam estetika. Ukuran perbuatan
75
adalah kebebasan memilih dengan konsekuensi pertanggungjawaban atas pilihan tersebut.
d. Beberapa Pemikiran Filsuf Eksistensialis 1) Gabriel Marcel (1889 – 1978) Marcel adalah filsuf Perancis yang bertitik tolak dari eksistensi. Sudah sejak tahun 1925, sebelum Kierkegaard dan filsuf eksistensialis lain membicarakan eksistensi, Marcel telah menulis artikel yang berjudul Existence et objectivite (Eksistensi dan Objektivitas). Bagi Marcel, eksistensi adalah lawan objektivitas dan tidak pernah dapat dijadikan objektivitas. Eksistensi adalah situasi kongkrit saya sebagai subjek dalam dunia. Misalnya, saya ini warga negara Indonesia, wanita setengah baya, mempunyai watak tertentu, berasal dari golongan sosial tertentu, mendapatkan pendidikan tertentu, dst. Pendeknya, eksistensi adalah seluruh kompleks yang meliputi semua faktor kongkrit – kebanyakan kebetulan – yang menandai hidup saya. Yang khas bagi eksistensi adalah saya (sebagai subjek) tidak menyadari situasi saya itu. Artinya, saya tidak menginsyafi apa artinya eksistensi saya itu dalam dunia ini. Baru dalam perjumpaan dan pergaulan dengan orang lain, beberapa manusia akan berhasil lebih jelas menyadari situasi mereka yang sebenarnya. Dalam arti inilah eksistensi berarti lapangan pengalaman langsung, wilayah yang mendahului kesadaran, eksistensi adalah ―taraf hidup begitu saja‖ tanpa direfleksi. Tetapi, supaya hidup saya dalam dunia mencapai arti yang sepenuhnya, perlu saya tinggalkan taraf prasadar itu dan menuju ke kesadaran sungguh-sungguh. Dari relasi-relasi yang semula dianggap sebagai nasib saya, saya perlu beralih ke suatu kesadaran yang betul-betul saya terima secara bebas. Dengan kata lain dari eksistensi saya harus menuju ke Ada.
76
2) Jean-Paul Sartre (1905-1980) Titik tolak filsafat tidak bisa lain, kecuali cogito (kesadaran yang saya miliki tentang diri saya sendiri). Dalam hal ini ia membenarkan pendapat Descartes tentang cogito ergo sum. Tetapi kesadaran itu tidak bersifat tertutup, melainkan intensional (menurut kodratnya terarah pada dunia). Hal ini dirumuskan oleh Sartre demikian: Kesadaran adalah kesadaran diri, tetapi kesadaran akan diri ini tidak sama dengan pengalaman tentang dirinya.
Cogito bukanlah pengenalan dirim
melainkan kehadiran kepada dirinya secara non-tematis.
Jadi ada
perbedaan antara kesadaran tematis (kesadaran akan sesuatu) dan kesadaran non-tematis (kesadaran akan dirinya). Kesadaran akan dirinya membonceng pada kesadaran akan dunia. Jadi kesadaran atau cogito ini menunjuk pada suatu relasi Ada. Kesadaran adalah kehadirian (pada) dirinya. Kehadiran (pada) dirinya ini merupakan syarat yang perlu dan mencukupi untuk kesadaran. Kita tidak perlu membutuhkan suatu Subyek Transendental atau Aku Absolut sebagaimana diajarkan idealisme. Kesadaran tidak dapat disamakan dengan Ada, karena Sartre berpendapat Ada itu transenden (ada begitu saja). Ada yang demikian ini disebutnya Etre-en soi (being in itself), tidak aktif, tidak pasif, tidak afirmatif, tidak negatif, tidak mempunyai masa silam, masa depan maupun tujuan, tidak diciptakan dan tanpa diturunkan dari sesuatu yang lain. Berbeda halnya dengan etre-pour-soi (being for itself) atau Ada bagi dirinya yang menunjukkan kesadaran. Kalau saya sadar akan sesuatu berarti saya bukan sesuatu itu atau saya tidak sama dengan sesuatu itu. Saya melihat lukisan berarti saya sadar bahwa saya bukan lukisan. Jadi, untuk dapat melihat sesuatu diperlukan syarat mutlak: adanya jarak. Contoh lain, saya sedang mengetik, berarti saya sadar bahwa saya orang yang sedang mengetik, tetapi saya juga sadar bahwa saya tidak identik dengan orang yang mengetik. Artinya, saya bisa berhenti mengetik dan menggantinya dengan berjalan-jalan atau
77
membaca koran. Jadi, negativitas merupakan ciri khas dari etre-pour soi. Kesadaran berarti distansi dan non-identitas. Kesadaran berarti sama dengan kebebasan. Dengan kesadaran manusia sanggup mengadakan relasi dengan yang tidak ada. Manusia adalah makhluk yang membawa ―ketiadaan‖. Aktivitas khusus etre-pour soi adalah ―menidak‖ Ketiadaan tidak terdapat di luar Ada. Ketiadaan terus-menerus menghantui Ada. Ada tidak dapat dilepaskan darinya. Dan adanya etre-pour soi adalah ―menidak‖, menampilkan ketiadaan itu. Sartre di dalam kuliahnya pada tahun 1946 (www.marxists.org) mengatakan
bahwa
eksistensialisme
adalah
humanisme.
Eksistensialisme Sartre adalah eksistensialisme atheistik dengan pendapatnya bahwa jika Tuhan tidak ada, maka
seseorang baru
mempunyai eksistensi sebelum esensinya. Manusia bukanlah apa-apa kecuali apa yang ia buat untuk dirinya. Manusia bukanlah apa yang ia konsepkan tentang dirinya untuk berada, tetapi apa yang menjadi keinginannya setelah ia berada. Eksistensialisme disebut humanisme karena menurut Sartre tidak ada sang pengatur atau pembuat hukum selain
dirinya sendiri. Oleh karena dirinya sendiri itulah ia harus
memutuskan untuk dirinya sendiri pula dengan mencari di luar dirinya sebuah tujuan pembebasan diri yang dengan hal tersebut manusia dapat merealisasikan
dirinya
sebagai
manusia
yang
sesungguhnya
(www.marxists.org/sartre). Dari pendapat Sartre ini kiranya dapat mewakili pandangan eksistensialisme
sebagai
humanisme.
Dapat
dikatakan
bahwa
eksistensialisme sangat memperhatikan dan memfokuskan pemikiran pada manusia, terutama pengagungan pada kebebasan kehendak.
e. Refleksi Eksistensialisme terhadap Pendidikan Secara relatif, eksistensialisme tidak begitu dikenal dalam dunia pendidikan, tidak menampakkan pengaruh yang besar pada sekolah. Sebaliknya, penganut eksistensialisme kebingungan dengan apa yang akan 78
mereka temukan melalui pembangunan pendidikan. Mereka menilai bahwa tidak ada yang disebut pendidikan, tetapi bentuk propaganda untuk memikat orang lain. Mereka juga menunjukkan bahwa bagaimana pendidikan memunculkan bahaya yang nyata, sejak penyiapan murid sebagai konsumen atau menjadikan mereka penggerak mesin pada teknologi industri dan birokrasi modern. Malahan sebaliknya pendidikan tidak membantu membentuk kepribadian dan kreativitas, sehingga para eksistensialis mengatakan sebagian besar sekolah melemahkan dan mengganggu atributatribut esensi kemanusiaan. Mereka mengkritik kecenderungan masyarakat masa kini dan praktik pendidikan bahwa ada pembatasan realisasi diri karena ada tekanan sosio-ekonomi yang membuat persekolahan hanya menjadi pembelajaran peran tertentu. Sekolah menentukan peran untuk kesuksesan ekonomi seperti memperoleh pekerjaan dengan gaji yang tinggi dan menaiki tangga menuju ke kalangan ekonomi kelas atas; sekolah juga menentukan tujuan untuk menjadi warga negara yang baik, juga menentukan apa yang menjadi kesuksesan sosial di masyarakat. Siswa diharapkan untuk belajar peran-peran ini dan berperan dengan baik pula. Keautentikan manusia menjadi begitu beresiko karena tidak dapat membawa pada kesuksesan sebagaimana didefinisikan oleh orang lain Di antara kecenderungan masa kini yang begitu menyebar cepat tetapi sangat sulit dipisahkan adalah mengikisnya kemungkinan keautentikan manusia karena adanya tirani dari yang rata-rata (tyranny of the average). Tirani dari aturan yang diktatorial dan otoriter, rejim dan institusi adalah bentuk nyata dari penindasan dan paksaan. Tirani dari yang rata-rata tampak seolah demokratis tetapi dalam kenyataannya adalah gejala penyakit pikiran massa dan pilihan-pilihan nilainya.
Dalam masyarakat yang berorientasi
konsumsi, produk barang dan jasa dibuat dan dipasarkan untuk membentuk kelompok konsumen terbesar. Media massa, seni dan hiburan juga dirancang sebagai produk yang akan menarik lebih banyak audiens. Agenagen ini yang disebut sebagai agen pendidikan informal merefleksikan dan menciptakan selera populer. Dalam masayarakat yang seperti ini, penyimpangan dari yang rata-rata atau kebanyakan orang tidak akan
79
diterima baik. Keunikan menjadi begitu mahal sehingga hanya dapat dinikmati oleh orang-orang istimewa, yaitu kaum elit, atau oleh orangorang yang tidak populer disebut masyarakat marjinal. Secara filosofis, hal tersebut merupakan pemberontakan terhadap cara hidup individu dalam budaya populer. Harapan kaum eksistensialis, individu menjadi pusat dari upaya pendidikan. Tata cara para guru eksistensialis tidak ditemukan pada tata cara guru tradisional. Guru-guru eksistensialis tidak pernah terpusat pada pengalihan pengetahuan kognitif dan dengan berbagai pertanyaan. Ia akan lebih cenderung membantu siswa-siswa untuk mengembangkan kemungkinankemungkinan pertanyaan. Guru akan fokus pada keunikan indiviadu di antara sesama siswa. Ia akan menunjukkan tidak ada dua individu yang benar-benar sama di antara mereka yaang sama satu sama lain, karena itu tidak ada kebutuhan yang sama dalam pendidikan. Penganut eksistensialis akan mencari hubungan setiap murid sebagaimana yang disebutkan sebagai acuan hubungan Buber dalam I-Thou dan I-It. Hal itu berarti, ia akan memperlakukan siswa secara individual di mana ia dapat mengidentifikasi dirinya secara personal. Para guru eksistensialis berusaha keras memperjelas pernyataan Rogers tentang fasilitator. Dalam aturan ini guru memperhatikan emosi dan hal-hal yang tidak masuk akal pada setiap invidu, dan berupaya untuk memandu siswanya untuk lebih memahami diri mereka sendiri. Ia dan anakanak muda yang bersamanya akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang hidup, kematian, dan makna yang mereka tampilkan dalam berbagai pengalaman kemanusiaan dengan beberapa sudut pandang. Melalui berbagai pengalaman ini, guru-guru dan siswa akan belajar dan bertukar informasi tentang penemuan jati diri dan bagaimana realisasinya dalam kehidupan dunia antar-sesama dan sebagai individu. Kurikulum pada sekolah eksistensialis sangat terbuka terhadap perubahan karena ada dinamika dalam konsep kebenaran, penerapan, dan perubahan-perubahannya. Melalui perspektif tersebut, siswa harus memilih mata pelajaran yang terbaik. Tetapi, hal ini tidak berarti bahwa mata
80
pelajaran dan pendekatan kurikuler pada filsafat tradisional tidak diberi tempat. Kaum eksistensialis membuat kesepakatan umum
bahwa fundamen
pendidikan tradisional adalah Reading, Wraiting, Aritmathics (Three R’s), ilmu alam, dan pengetahuan sosial. Ini semua sebagai dasar atau fondasi usaha kreatif dan kemampuan manusia memahami dirinya sendiri. Namun mata pelajaran dasar ini seharusnya disajikan dengan menghubungkannya secara lebih banyak lsgi pada perkembangan afektif siswa. Mereka tidak menganjurkan pemisahan mata pelajaran dengan makna dan maksud individual sebagaimana yang terjadi dalam pendidikan tradisional. Ilmu
humaniora
juga
tampak
lebih
luas
dalam
kurikulum
eksistensialis, karena mereka memberi banyak pemahaman dalam dilemadilema utama eksistensi manusia. Humaniora mengembangkan tema-tema di seputar penentuan pilihan manusia dalam
dalam hal seks, cinta, benci,
kematian, penyakit, dan berbagai aspek kehidupan yang bermakna lainnya. Mereka menyampaikan pandangan tentang manusia secara menyeluruh, baik dari perspektif positif maupun negatif,
dan oleh karena itu ilmu
mampu menolong manusia memahami dirinya sendiri. Di luar ilmu dasar dan humaniora, kurikulum eksistensialis terbuka untuk lainnya. Beberapa mata pelajaran yang bermakna bagi individu disepakati untuk diajarkan. Kriteria metodologi kaum eksistensialis berpusat seputar konsep tanpa kekerasan dan metode-metode itu yang akan membantu siswa menemukan dan menjadi dirinya sendiri. Mungkin tipe ideal metodologi kaum eksistensialis dapat dilihat sebagaimana pendekatan yang dilakukan oleh Carl Rogers ―kebebasan belajar‖ (1969) dan A.S. Neills di Sumerhill: sebuah pendekatan radikal dalam pembelajaran anak (1960). Kaum eksistensialis secara umum tidak menaruh perhatian khusus terhadap kebijakan sosial pendidikan atau sekolah. Filsafat mereka bertumpu pada kebebasan individual daripada aspek-aspek sosial eksistensi manusia (Knight, 1982:76-77).
81
C. Rangkuman Ciri pemikiran filsafat pendidikan tradisional adalah mempertahankan tradisi masa lalu dalam hal teori dan praktik pendidikan. Hal-hal yang sudah diyakini kebenarannya yaitu berkaitan dengan metode berpikir dan nilai-nilai etika hendaknya dilestarikan dan dikembangkan terus untuk kemajuan peradaban manusia. Meskipun dinamakan filsafat pendidikan tradisional, secara historis aliran ini sebenarnya muncul sebagai reaksi terhadap progressivisme. Aliran tradisional mengkritik progressivisme sebagai gerakan yang tidak jelas arahnya untuk pendidikan. Nilai-nilai kebenaran dan kebaikan tidak jelas karena progressivisme cenderung mengatakan bahwa nilai-nilai sementara sifatnya, sehingga ada kesan progressivisme merelatifkan nilai. Di sisi lain, progressivisme membawa angin segar dalam dunia pendidikan, karena ide-ide kreatif John Dewey. Banyak ajarannya yang diadopsi oleh berbagai tokoh pendidikan di berbagai belahan dunia karena idenya yang orisinal dan operasional. Dengan berdasarkan pada filsafat pragmatisme, Dewey membawa pandangan baru tentang pendidik, peserta didik, kurikulum, demokrasi pendidikan, juga tentang metode belajar (problem solving dan learning by doing). Filafat pendidikan yang disebut pedagogi kritis berusaha menganalisis ketidakadilan yang dialami oleh kelompok marjinal disebabkan adanya hegemoni kelas atas dalam berbagai bidang kehidupan. Pendidikan dikritik oleh kaum pedagogi kritis sebagai upaya melanggengkan kekuasaan kelas atas dan menindas kelas bawah yang terpinggirkan. Maka, pendidikan dipandang oleh Freire dan Giroux sebagai upaya untuk emansipasi atau pembebasa diri bagi kaum tertindas. Keduanya mengkritisi keadaan yang didominasi dan dikonstruksi oleh ideologi kelas elit-borjuis dalam masyarakat kapitalis.. Dalam pandangan Freire dan Giroux sebagaimana juga pada pandangan Karl Marx, keadaan timpang ini harus diubah. Hanya saja Freire dan Giroux tidak mengusulkan adanya revolusi sosial, melainkan
dengan cara menumbuhkan kesadaran kritis melalui pendidikan dan
peran intelektual guru bagi kelompok masyarakat yang tidak berdaya melalui bahasa dan
rekonstruksi wacana kesetaraan, kemungkinan-kemungkinan aksi
82
sebagai jalan keluar berupa pemberdayaan diri dalam suatu masyarakat demokratis yang sesungguhnya. Giroux menekankan budaya kesetaraan dalam masyarakat demokratis, berusaha menghilangkan budaya hegemonik kapitalistik yang sebenarnya hanya pseudo-demokrasi. Untuk mencapai kesetaraan diperlukan upaya menumbuhkan budaya kritis
dalam masyarakat
sehingga
mereka dapat
bangun dari
keterpurukannya dan dapat keluar dari kerangkeng kapitalisme yang sangat berkuasa. Budaya kritis merupakan upaya pencerahan diri sehingga tercipta masyarakat yang emansipatoris. Budaya kritis dapat ditumbuhkan dalam proses pendidikan yang di dalamnya guru berperan sentral sebagai intelektual yang transformatif. Anarkhisme radikat sebagaimana ditawarkan oleh Ivan Illich. Walaupun Illich sangat peduli pada pendidikan, tetapi ia mengusulkan agar lembaga sekolah dihapus saja. Sebab, sekolah telah menciptakan kesenjangan yang semakin dalam antara kelompok atas dan kelompok bawah. Fakta menunjukkan bahwa sekolah adalah salah satu bentuk dominasi kelompok atas dalam berbagai bidang kehidupan. Orang perlu belajar, tetapi tidak perlu ada sekolah. Orang dapat belajar dalam kelompok-kelompok atau sanggar-sanggar untuk saling berbagi dan belajar bersama agar pengetahuan dapat dimiliki oleh semua orang tanpa ada monopoli kelas atas sehingga pengetahuan lebih berdimensi sosial. Eksistensialisme memandang negatif sekolah sehingga mengusulkan agar anak-anak
tidak bersekolah saja. Formalitas dalam sekolah telah mereduksi
autentisitas seorang manusia ke dalam berbagai bentuk hipokrasi. . Eksistensi manusia yang bebas tidak dapat diganggu gugat sehingga pendidikan yang baik adalah yang dapat mewujudkan seorang anak manusia bereksistensi dengan membuat pilihan-pilihan hidup yang bertanggung jawab. Mereka menilai bahwa selama ini tidak ada yang disebut pendidikan, hanya bentuk propaganda untuk memikat orang lain. Pendidikan memunculkan bahaya yang nyata, sejak penyiapan murid sebagai konsumen sampai kepada penggerak mesin pada teknologi industri dan birokrasi modern. Pendidikan tidak membantu membentuk kepribadian dan kreativitas, sehingga para eksistensialis mengatakan sebagian
83
besar sekolah
melemahkan
kemanusiaan itu sendiri. Itulah sebabnya kaum
eksistensialis memandang penting ilmu-ilmu humaniora bagi peserta didik.
84
DAFTAR PUSTAKA Depdiknas .(2003). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dewey, John. (1916). Democracy and education [versi elektronik].Diambil pada tanggal 25 Februari 2010 dari http://en.wikisource.org/wiki/Democracy and Education. Giroux, Henry A. (1988). Teachers as intellectual: Toward a critical pedagogy of learning New York: Bergin & Garvey. Gutek, Gerald L. (1988). Philosophical and ideological perspectives on education. New Jersey: Prentice Hall Inc. Imam Barnadib. (1996). Filsafat Pendidikan – Sistem dan Metode. Yogyakarta: AndiOffset. Jamaluddin & Abdullah Idi. (1997). Filsafat Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama. Kattsoff, Louis O.1987. Pengantar filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana. Penerjemah: Soejono Soemargono Kneller, George F. (1971). Introduction to the philosophy of education. New York: John Wiley & Sons, Inc. Knight, George R. (1982). Issues and alternatives in educational philosophy. Michigan: Andrews University Press. O‘neil, William F. (2002). Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sartre. 1946. Existensialism as Humanism. Dalam http://www.marxists.org/reference Diunduh tgl. 28 Februari 2008. Sidi Gazalba. (1973). Sistematika Filsafat. Jakarta: Bulan Bintang. Smith, William A. (2001). Conscientizacao: Tujuan Pendidikan Paulo Freire. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
85