BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap sel melakukan metabolisme untuk mempertahankan fungsi dan struktur normalnya yang dikenal dengan homeostasis normal. Sel akan beradaptasi apabila mendapat stimulus fisiologik, morfologik, dan patologik, yaitu perubahan sel sebagai reaksinya, sehingga sel dapat bertahan hidup dan mengatur fungsinya. Bila stimulus patologik lebih besar hingga melampaui adaptasi sel maka timbul jejas sel atau cell injury yang biasanya bersifat sementara (reversible). Namun bila stimulus tetap berlangsung atau bertambah besar, sel akan mengalami jejas irreversible yang mengakibatkan kematian sel (Sudiono dkk., 2003). Morfologi kematian sel dibagi menjadi dua, yaitu nekrosis dan apoptosis (Sudiono dkk., 2003). Nekrosis merupakan tipe kematian sel yang sering ditemukan dengan ciri cellular swelling, denaturasi dan koagulasi protein, dan organellar breakdown (Mitchell dkk., 2008). Saat sel mengalami nekrosis akan terjadi perubahan pada sel dan nukleus. Sel nekrosis menunjukkan warna lebih eosinofil karena hilangnya warna basofil yang dihasilkan oleh RNA pada sitoplasma, serta meningkatnya pengikatan eosin oleh protein intrasitoplasmik yang rusak (Sudiono dkk., 2003). Terdapat tiga perubahan pada inti sel yang mengalami nekrosis, yaitu: (1) kariolisis, basofilia dan kromatin nampak memucat. Perubahan ini merupakan refleksi aktivitas DNA-ase akibat derajat
1
2
keasaman (pH) sel yang menurun, (2) piknosis yaitu inti sel berkerut, pada keadaan ini DNA tampak menjadi padat dan masa basofil menjadi padat dan berkerut, (3) karioreksis, inti sel yang piknosis terfragmentasi atau sebagian piknosis yang terfragmentasi (Sudiono dkk., 2003). Sel nekrosis sering dihubungkan dengan kondisi patologis akibat kondisi iskemia, trauma, paparan toksin, rangsang kimia dan neurodegenerative disorders (Alvarez dkk., 2010). Dua proses utama yang menyebabkan perubahan pada nekrosis adalah pencernaan oleh enzim di dalam sel dan denaturasi protein. Jika denaturasi protein lebih berpengaruh pada proses nekrosis, maka terjadi nekrosis koagulativa, namun, bila pencernaan oleh enzim katalitik pada sel lebih berpengaruh, maka terjadi nekrosis liquefaktif atau nekrosis kolikuativa (Sudiono dkk., 2003). Nekrosis yang terjadi di rongga mulut salah satunya disebabkan oleh asam. Shah dkk. (2010) menyebutkan bahwa aspirin yang termasuk golongan NSAID dapat menyebabkan kerusakan mukosa karena bersifat asam. Asam akan berikatan dengan epitel dan mendenaturasi protein sel sehingga dapat menyebabkan nekrosis koagulativa. Akman dkk. (2005) menambahkan bahwa etsa asam dapat menyebabkan nekrosis koagulativa pada gingiva dan tulang alveolar. Berdasarkan fungsinya, mukosa mulut terbagi menjadi tiga bagian yaitu lining mucosa (mukosa pelindung), masticatory mucosa, dan specialized mucosa (Avery, 2002). Epitel mukosa bukal berjenis epitel pipih berlapis tidak berkeratin (non-keratinized stratified squamosa epithelium) dan merupakan area yang paling tebal (Garrant, 2003). Epitel mukosa oral tersusun oleh stratum basal, stratum spinosum, stratum granulosum, dan stratum korneum (Tolbert dkk., 1991).
3
Adapun lapisan di bawah epitel disebut lamina propia yang tersusun atas stratum papilaris, lapisan fibrosa dan lapisan submukosa (Garant, 2003). Kerusakan sel epitel menyebabkan kelainan nukleus, yaitu karioreksis, kariolisis, piknosis, kondensasi kromatin, pecahnya inti sel, dan binukleasi. Empat tipe anomali inti sel , yaitu karioreksis, kariolisis, binukleasi, dan kondensasi kromatin lebih tinggi pada perokok 146%, 350%, 117%, dan 54% daripada yang bukan perokok. Anomali nukleus ini merupakan akibat dari jejas sel, kematian sel, dan kesalahan mitosis. Biasanya piknosis, kondensasi kromatin, dan kariolisis diikuti oleh apoptosis yang dapat menyebabkan kerusakan DNA. Fenomena metanukleasi ini terlihat pada sel yang mengalami nekrosis, namun tidak dapat dianggap sebagai peningkatan kerusakan DNA dan resiko kanker (Nersesyan dkk., 2006). Perubahan nukleus degeneratif, seperti mikronukleus, binukleasi, pecahnya inti sel, karioreksis, kariolisis, piknosis dapat diamati dari sel epitel bukal yang diusap menggunakan cytobrush (Sudha, 2011). Batik Indonesia telah ditetapkan menjadi “masterpiece of oral and intangible heritage of humanity” oleh UNESCO pada bulan Oktober tahun 2009 (Pangestu, 2011). Batik adalah kain bergambar yang dibuat dengan teknik rintang warna. Rintang warna menggunakan bahan malam/lilin yang ditorehkan pada kain disaat masih panas. Torehan malam ini berupa gambar, garis, dan titik-titik. Saat melakukan pewarnaan pada kain, bagian yang tertutup malam tidak akan menyerap warna, sehingga setelah dilakukan proses pelepasan malam bagian tersebut akan berwarna putih membentuk motif pada kain batik (Gratha, 2012). Dalam industri pembuatan batik sekitar 20 hingga 30 pewarna dan bahan-bahan
4
kimia yang berbeda digunakan dalam proses produksi, misalnya NaOH, HCl, NaNO2, H2O2, Na2S2O4, Na2CO3, Na2SiO3, serta zat pewarna naftol. Pewarna buatan atau sintesis yang digunakan dalam pewarnaan batik antara lain adalah naptol, remazol dan indigosol (Gratha, 2012). Naftol bersama dengan garam diazonium akan memberikan pewarnaan pada serat kain. Masing-masing larutan tidak dapat memberikan warna. Naftol dan garam diazonium ini disebut dengan bahan pewarna azo (Sulaeman,2004). 1-naftol dan 2-naftol merupakan hasil hidroksilasi naftalena (Eagleson, 2012). Naftalena bersifat toksik jika terpapar melalui inhalasi, penelanan, dan kontak dermal atau ocular. Sumber paparan naftalena terbesar melalui inhalasi karena kegunaannya di bidang industri. Naftalena membentuk sejumlah metabolit reaktif
yang memiliki pengaruh
terhadap toksisitas, yaitu 1,2- naphthoquinone dan 1,4 – naphthoquinone (ATSDR, 2005). Penelitian Doherty dkk. (1984) menyebutkan mekanisme toksisitas 1naftol bersama dengan 1,2 dan 1,4 – naphthoquinone terjadi pada hepatosit tikus yang dapat menyebabkan penurunan glutathione (GSH) intraseluler. Beberapa garam diazonium, yakni campuran naftol sebagai pewarna batik diduga bersifat karsinogenik. Dalam industri batik pewarna naftol bersama garam diazonium digunakan untuk mewarnai batik (Gratha, 2012). Beberapa pewarna azo telah dikaji oleh International Agency for Research on Cancer (IARC) (2005) dan dikategorikan dalam grup 1, 2A atau 2B (diketahui, kemungkinan dan mungkin karsinogen). Tsuboy dkk. (2007) menganalisis garam diazonium jenis CI Disperse Blue 291 memiliki sifat mutagenik, sitotoksik, dan genotoksik. Hasil penelitian ini
5
menunjukkan garam diazonium ini menginduksi pembentukan mikronukleus, fragmentasi DNA, dan bertambahnya indeks apoptosis pada sel hepatoma (HepG2). Perubahan nukleus meliputi kariolisis, karioreksis dan piknosis berhubungan erat dengan kematian sel yang diakibatkan oleh sitotoksisitas (Angelieri, 2010). Kariolisis merupakan tahap akhir perubahan inti sel spesifik pada kematian sel nekrosis (Thomas dkk., 2009). Uji perubahan nukleus yaitu kariolisis pada usapan epitel bukal diindikasikan dapat digunakan sebagai deteksi kerusakan sel lebih lanjut dari bahan yang bersifat toksik. B. Perumusan Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka disusun permasalahan : Bagaimana efek paparan bahan pewarna azo terhadap perubahan inti sel kariolisis epitel mukosa bukal pengrajin batik di Yogyakarta? C. Keaslian Penelitian Perubahan inti sel kariolisis sudah diteliti untuk menguji toksisitas radiografi sefalometri lateral dan frontal serta panoramik lateral dan frontal oleh Angelieri dkk. (2010) dan radiografi cone beam CT oleh Carlin dkk. (2010). Hasil penelitian Angelieri menyatakan bahwa radiografi sefalometri lateral dan frontal serta panoramik lateral dan frontal menyebabkan bertambahnya jumlah perubahan intisel meliputi karioreksis, piknosis, dan kariolisis. Carlin menyebutkan bahwa tomografi menyebabkan bertambahnya perubahan nukleus meliputi karioreksis, piknosis, dan kariolisis, namun tidak signifikan secara statistik. Sejauh penulis ketahui belum ada laporan penelitian mengenai analisis perubahan inti sel
6
kariolisis pada mukosa bukal pengrajin batik di Yogyakarta akibat paparan bahan pewarna naftol dan garam diazonium. D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek paparan bahan pewarna azo terhadap perubahan inti sel kariolisis epitel mukosa bukal pengrajin batik di Yogyakarta. E. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai informasi ilmiah kemungkinan adanya perubahan inti sel kariolisis pada mukosa bukal akibat bahan pewarna naftol dan garam diazonium yang digunakan oleh pengrajin batik. 2. Sebagai informasi kepada pengrajin batik agar lebih berhati-hati dalam menggunakan bahan pewarna naftol dan garam diazonium dan menggunakan alat pelindung diri selama bekerja dengan bahan kimia. 3. Sebagai acuan untuk dijadikan dasar bagi penelitian selanjutnya.