Bab 5
PENGHAYATAN SPIRITUAL ORANG MONDO
M
odal spiritual akan menonjol peranannya di tengah masyarakat yang memiliki penghayatan spiritual dalam menjalankan kehidupan sosialnya. Hal ini bisa dimengerti karena segala sepak terjang manusia sangat dipengaruhi oleh caranya berpikir dan memandang segala sesuatu, nilai-nilai yang dianutnya, dan segala norma yang melembaga dalam komunitasnya. Dengan mempelajari nilai-nilai yang hidup di kalangan masyarakat Mondo, barulah dapat dipahami bagaimana pandangan mereka tentang dunia (Bell 1976). Berhubung seluruh warga Kampung Mondo merupakan orang Manggarai, maka berikut ini akan diuraikan pengalaman keberadaan komunitas masyarakat Manggarai dalam relasinya dengan Allah, yang tentu bertalian pula dengan dinamika kehidupan manusiawinya. 68 Pengertian ini penting untuk dapat memahami spiritualitas yang dihayati oleh leluhur tetua Mondo. Semua leluhur tersebut sudah meninggal sehingga tak dapat diteliti lagi bagaimana penghayatan spiritual mereka. Namun, dengan mempelajari spiritualitas masyarakat Manggarai umumnya, sedikit demi sedikit dapat dimengerti
68
Hal ini sesuai dengan pengertian spiritualitas menurut keuskupan Ruteng (lih. Bab I). 103
spiritualitas seperti apa yang dihayati oleh leluhur tetua Mondo dan kemudian diwariskan kepada penerusnya. Alam Manggarai yang bergunung-gunung dari barat hingga ke timur, memberikan kesan keindahan tersendiri bagi mereka yang menyukai alam pegunungan. Namun, ternyata tidak hanya indah, gunung-gunung yang rapat dan mengelompok itu memberikan kesan alam yang komunal. Di antara gunung-gunung itulah tersebar kampung-kampung orang Manggarai yang juga hidup secara komunal sebagaimana alam yang menaunginya. Dalam uraian pada bab ini akan tampak bagaimana masyarakat Mondo memandang dunianya sebagai sebuah komunitas, setiap orang hanya menjadi bagian kecil dari alam semesta (Sutanto 2007:65-68). Dalam masyarakat yang tidak egaliter, mereka justru saling menghargai karena setiap orang memiliki tempatnya sendiri di dalam makrokosmos maupun mikrokosmos (Sugiarto & Rahmat 2000:97). Sebagaimana masyarakat primitif pada umumnya yang hidup dekat dengan alam semesta, demikian pula nenek moyang orang Mondo hidup dalam keakraban dengan lingkungan sekitarnya. Dalam kesehariannya, mereka melihat ada banyak peristiwa alam yang melampaui kekuasaan mereka seperti hujan, panas, halilintar, siang berganti malam, dan sebagainya. Semua hal ini menuntun mereka untuk mengerti bahwa ada kuasa lain yang lebih besar dari mereka, sebuah kuasa yang tak terlihat namun sungguh ada. Itulah Wujud Tertinggi 69 yang mereka coba kenali di sepanjang sejarah kehidupan mereka. Usaha pengenalan Wujud Tertinggi ini terungkap lewat berbagai ritual adat yang mengandung banyak simbol. Tak jarang simbol-simbol ini mengungkapkan nilai-nilai yang hidup di kalangan masyarakat. Kesatuan sebuah kelompok, seperti semua nilai budayanya, pasti diungkapkan dengan memakai simbol… Simbol sekaligus merupakan sebuah pusat perhatian yang tertentu, sebuah sarana komunikasi, dan landasan pemahaman bersama… Setiap komunikasi, dengan bahasa atau sarana yang lain, menggunakan simbolsimbol. Masyarakat hampir tidak mungkin ada tanpa simbol-simbol. (MacIver 1950 dalam Dillistone 2002:15).
Di Manggarai, ada sebuah istilah yang menjadi simbol pula dari kekomunalan mereka. Di sana, sering sekali terdengar ucapan “orang Manggarai.” Dengan mudah istilah “orang Manggarai” dapat dijumpai di
69
Istilah Wujud Tertinggi ini berasal dari tulisan Verheijen, seorang misionaris Belanda yang banyak menulis tentang Manggarai. Istilah ini kemudian dipakai oleh Petrus Janggur dalam tulisan maupun wawancara, juga disebut-sebut pula oleh beberapa orang dalam wawancara, antara lain Henrikus Sawsa, Feri Sehadung, dan lain-lain. 104
kalangan masyarakat Manggarai baik dalam bahasa lisan maupun tulisan. Misalnya saja yang pernah terekam selama penelitian, “Kita ini orang Manggarai takut air...” “Orang Manggarai kalau makan banyak sekali. Ketika Yesus menggandakan roti dan ikan masih sisa duabelas bakul, itu karena tidak ada orang Manggarai. Coba ada orang Manggarai, pasti tidak mungkin ada sisa!” “Kita ini orang Manggarai menghormati anak rona melebihi hormat pada Tuhan Allah.” “Orang Manggarai itu tidak mungkin bercerai.” Demikian juga dalam buku-buku yang ditulis oleh penulis Manggarai, dengan mudah dapat kita jumpai istilah tersebut (Nggoro 2006, Janggur 2008). Padahal, tentu saja selalu ada pengecualian. Tidak semua orang Manggarai takut air dan tidak semua orang Manggarai makannya banyak. Juga ada pula orang Manggarai yang bercerai dengan istrinya dan tidak menghormati anak rona. Istilah “orang Manggarai” ini mengarah kepada tradisi dan kebiasaan yang dihidupkan oleh kebanyakan masyarakat Manggarai. Justru, di sinilah tampak pula kekerabatan masyarakat Manggarai yang mereka junjung tinggi. Kelaziman penggunaan istilah “orang Manggarai” ini semakin menunjukkan kekomunalan mereka. Dalam tulisan ini, istilah “orang Manggarai” akan tetap dipakai agar lebih kontekstual dengan situasi Manggarai. Di tengah suasana masyarakat yang komunal dan spiritual tradisional itu, masuklah kristianitas di kalangan masyarakat Manggarai, yang ternyata sepintas lalu terlihat cukup mudah diterima oleh mereka. Buktinya, mayoritas masyarakat Manggarai kini sudah dibaptis menjadi Katolik. Keuskupan Ruteng mengklaim pertambahan umat Katolik di Manggarai mencapai ribuan orang setiap tahunnya. Salah satu alasan kemudahan ini adalah karena cukup banyak ajaran spiritualitas Manggarai tradisional dan Katolik yang serupa sehingga kedua spiritualitas tersebut bisa berintegrasi dalam satu penghayatan. Setidaknya, demikianlah pendapat beberapa imam dan awam yang berasal dari Manggarai. Belum lagi, Gereja Katolik juga merupakan Gereja yang komunal dengan satu titik pusat, yaitu Vatikan, bagi seluruh Gereja Katolik yang ada di dunia. Jika diperhatikan, para biarawan dan biarawati merupakan model kekomunalan Gereja Katolik karena cara dan gaya hidup mereka yang komunal di dalam komunitas mereka masing-masing.
105
Walaupun demikian, ternyata pembauran kedua spiritualitas tersebut tidak sesederhana itu. Sampai di satu titik tertentu, ada perbedaan yang tajam antara spiritualitas tradisional dan kristiani sehingga menimbulkan konflik batin yang tidak kecil di kalangan umat Katolik Manggarai. Hal inilah sebetulnya yang sedang dialami oleh orang Mondo. Namun, konflik batin ini ternyata menemukan jalan keluarnya sendiri. Yang jelas, baik spiritualitas tradisional maupun Katolik, tidak memecah kekomunalan masyarakat Mondo, sebaliknya justru membuat mereka semakin komunal. Ternyata, semakin mereka menghayati spiritualitas tersebut, semakin mereka menjadi komunal. Sebaliknya, semakin mereka komunal, semakin spiritualitas itu hidup di antara mereka.
MENCARI WAJAH ALLAH Di pertengahan bulan November 2009, seorang bapak tua1 yang baru saja ditinggal wafat istrinya mengucapkan terima kasih, “Terima kasih Suster, istri saya boleh mengalami Lazarus1 dua kali…” “Maksud Bapak bagaimana?” “Dahulu istri saya dalam keadaan sangat sakit. Lalu setelah didoakan, ia menjadi baik kembali. Kemudian ia sakit lagi, namun kembali menjadi baik setelah didoakan kedua kalinya. Walaupun kemudian akhirnya ia meninggal, saya bersyukur ia sempat mengalami Lazarus dua kali.” Ucapan Bapak ini membuat saya terhenyak. Betapa dalam kedukaannya, bapak tua yang sederhana ini masih dapat melihat kasih Tuhan dalam setiap peristiwa. Bahkan, masih menyempatkan diri berterima kasih. Padahal, toh istrinya tetap meninggal. Namun, campur tangan Tuhan rupanya lebih memenuhi hatinya ketimbang rasa kehilangan akan istrinya yang pergi untuk selamanya. Ia percaya istrinya tidak hilang tetapi bersatu dengan Tuhan yang mengasihinya.
Umumnya masyarakat di Mondo memiliki penghayatan kristiani yang dalam, setidaknya demikianlah yang dikatakan para imam maupun frater yang melayani mereka. Walaupun mereka tinggal cukup jauh dari pusat Paroki Borong, namun semangat kristiani mereka membuat umat Mondo dekat di hati para imam.
106
“Wah, kalau melayani pengakuan dosa di Mondo, bisa makan waktu berjamjam; semua orang datang untuk mengaku,” cerita Rm. Beny Jaya Pr, kepala Paroki Borong. “Hari Minggu kalau tidak ada orang Mondo, pasti Stasi Longko 70 sepi,” ujar Rm. Roling Pr, imam kapelan Paroki Borong. “Ya, itu kapel isinya sebagian besar orang Mondo,” kata Rm. Leksi Pr membenarkan, yang juga bertugas sebagai imam kapelan Paroki Borong. Penghayatan spiritual warga Mondo tak lepas dari penghayatan spiritual leluhurnya. Sebetulnya, sikap spiritualistis masyarakat Manggarai sudah terjadi sejak dahulu kala, bahkan sebelum Gereja memasuki tanah Manggarai. Hal ini terungkap dalam adat istiadat mereka yang senantiasa menandai segala peristiwa penting kehidupan dengan upacara adat. Dalam upacara adat itulah mereka berdoa, memohon kepada Wujud Tertinggi yang mereka percaya sungguh ada dan kuasanya jauh lebih besar dari mereka. 71 Lepas dari bagaimana sikap mereka sehari-hari, unsur spritual terasa sangat dominan dalam kehidupan masyarakat Manggarai. Bagi orang Manggarai 72, hidup di dunia ini tidak lain daripada mempertanggungjawabkan kehidupannya kepada Tuhan, para leluhur, sesama manusia, dan juga lingkungan hidup (Janggur 2008:2). Seringkali orang Manggarai menyapa Tuhan dengan sebutan Mori Keraéng, yang berarti Tuhan Allah. Namun, selain itu ada juga beberapa sebutan lainnya yang menunjukkan siapakah Tuhan bagi orang Manggarai, antara lain Mori agu Ngaran, Jari agu Dédék yang berarti Tuhan dan Pemilik, sekaligus Pencipta dan Pembentuk; Mori Ema Mésé yang berarti Allah Bapa yang Mahabesar; Mori Pu’un Kuasa yang berarti Tuhan Pokok dan Sumber segala sesuatu; Mori Amé Rinding Mané/Iné Rinding Wié yang berarti Tuhan adalah Bapak dan Ibu pelindung waktu petang dan malam hari (Janggur 2008:470
Umumnya karena wilayah paroki terlalu luas, dibuatlah stasi-stasi di daerah pinggiran yang jauh dari pusat paroki. Dengan demikian, umat tidak usah jauh-jauh ke pusat paroki kalau hendak Misa, melainkan cukup ke stasi saja. Stasi ini dilayani oleh Romo Paroki yang keliling dari stasi ke stasi. Adapun umat Mondo biasanya Misa hari Minggu di Stasi Longko; Longko adalah nama dusun di mana kampung Mondo berada. 71 Lawang (2010) berpendapat bahwa konsep Tuhan kemungkinan besar tidak ada dalam tradisi Manggarai kuno. Inti dari ibadat mereka adalah penyembahan kepada nenek moyang. Itu sebabnya dalam tulisan ini tetap mempertahankan istilah Wujud Tertinggi sejauh yang dipahami oleh orang Manggarai. 72 Kata “orang Manggarai” ini diambil dari Butir-butir Adat Manggarai (Janggur 2008). Bisa dipastikan bahwa tidak semua orang Manggarai seperti itu namun nilai-nilai tersebut ada di dalam tradisi Manggarai. 107
5). Dari semua sebutan itu, dapatlah dilihat ternyata konsep Tuhan bagi orang Manggarai sangat mirip dengan ajaran kristiani mengenai Tuhan. Allah adalah Pencipta dan Pemilik (bdk. Kej.1:1-31), Allah Bapa yang Mahabesar (bdk. Mat.5:45, Rm.8:15, Tit.2:13), Pokok dan Sumber segala sesuatu (Yoh.15:1,4), Bapak dan Ibu (Yes.66:13, 2Yoh.1:3). Kesamaan konsep inilah agaknya yang menjadi salah satu alasan mengapa agama kristiani dapat memasuki bumi Manggarai. Dengan mudah seorang Manggarai bisa mengenal Tuhan yang diajarkan dalam agama kristiani karena kesamaan konsep tentang Tuhan yang dimilikinya. Namun, sebetulnya ada sedikit permasalahan dalam hal ini. Petrus Janggur (2008) yang menulis konsep Tuhan menurut orang Manggarai beragama Katolik, dan bahkan seorang katekis. Lebih dari itu, beliau pula yang menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Manggarai. Oleh karena itu, bisa muncul kecurigaan bahwa konsep Tuhan menurut orang Manggarai yang ditulisnya sudah dipengaruhi oleh alam pikirannya yang Katolik. Lawang (2010) dalam penelitiannya terhadap doa-doa tradisional Manggarai mendapati bahwa umumnya doa tersebut lebih ditujukan kepada nenek moyang. Oleh karena itu, timbul dugaan kuat bahwa tidak ada konsep Wujud Tertinggi dalam benak orang Manggarai kuno karena doa-doa mereka difokuskan kepada kurban sembelihan dan penyembahan kepada leluhur. Sebetulnya, ritual pengurbanan hewan merupakan hal yang universal dalam praktik religius purba (Armstrong 2007:19-28). Burkert mengatakan bahwa umat spiritual di masa lampau menyadari bahwa keselamatan mereka terjamin karena adanya mahklukmahkluk lain yang menyerahkan diri demi dirinya (Armstrong 2007). Demikian pulalah inti dari sistem kepercayaan Manggarai tradisional dipercaya oleh Lawang (2010) bertumpu pada pengurbanan hewan dan penyembahan leluhur, sehingga konsep Allah bagi mereka sebetulnya tidak ada. Di lain pihak, pendapat Lawang (2010) ini tidak sesuai dengan pendapat beberapa tokoh adat yang dijumpai penulis selama penelitian. Mereka mengatakan bahwa Periuk Persembahan adalah bukti mereka percaya dan berdoa kepada Wujud Tertinggi yang tidak lain adalah Allah. Periuk Persembahan adalah gambar wajah manusia yang bertengger di pucuk rumah adat orang Manggarai. Ia terletak di tempat yang paling tinggi, di penghujung siri bongkok, tiang utama mbaru gendang. Mereka mengatakan bahwa Periuk Persembahan tersebut melambangkan yang paling tinggi dan paling berkuasa di bumi ini, dan jelas bukan arwah nenek moyang. Memang, doa-doa tradisional mereka tidak ditujukan kepada Periuk Persembahan tersebut tetapi kepada
108
leluhur. Kenyataan ini bukan berarti mereka menganggap Wujud Tertinggi tidak ada melainkan karena leluhur mereka anggap sebagai perantara kepada Wujud Tertinggi sehingga doa-doa sebetulnya ditujukan kepada Wujud Tertinggi. Bagaimanapun, mereka percaya akan eksistensi Wujud Tertinggi yang dibuktikan dengan adanya Periuk Persembahan di pucuk mbaru gendang. Walaupun demikian, kecurigaan Lawang (2010) masih cukup kuat karena semua tokoh adat yang dijumpai penulis beragama Katolik, sehingga kemungkinan besar alam pikiran tradisional mereka sudah dipengaruhi oleh ajaran Katolik pula mengenai Tuhan yang Esa.
Gambar 7 Periuk Persembahan di pucuk Niang Sita (Sumber: H.A. Tjondro Sugianto 2010)
Lawang (2010) menemukan bahwa kesamaan spiritual tradisional Manggarai dan Katolik itu terletak pada kurban dan makan bersama. Upacaraupacara adat Manggarai tak pernah lepas dari adanya kurban sembelihan baik berupa kerbau, babi, atau ayam. Setelah itu, diadakanlah makan bersama antara mereka yang hadir semua saat itu, baik yang masih hidup maupun arwah-arwah nenek moyang yang diundang dalam pesta adat bersama. Makanan yang disantap bersama tidak lain adalah kurban hewan yang telah disembelih dalam upacara tersebut. Demikian juga puncak sakramen Katolik terdapat dalam Ekaristi yang ditandai dengan kurban Kristus di atas meja altar. Setelah persembahan kurban, acara dilanjutkan dengan perjamuan bersama lewat komuni kudus. Apa yang disantap oleh umat tidak lain merupakan kurban Tubuh dan Darah Kristus di atas salib yang disajikan kembali di atas altar. 109
Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. (Yoh. 6:55-56)
Hingga saat ini masih diperlukan banyak diskusi mengenai apakah spiritualitas tradisional Manggarai sudah mengenal konsep Allah sebelum masuknya kristianitas dan apakah sebetulnya yang menjadi alasan orang Manggarai mudah menerima agama Katolik. Namun, penelitian ini tidak bermaksud untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut. Penelitian ini hanya menangkap fakta di lapangan bahwa agama Katolik mudah diterima orang Manggarai, dan bahwa orang Manggarai sangat spiritualistis. Ini adalah dua kepastian yang tak dapat dipungkiri karena didukung oleh kenyataan yang berkembang di lapangan. Bagaimanapun, sudah sejak dahulu masyarakat Manggarai banyak berdoa, walau masih sulit dijelaskan kepada siapa mereka berdoa. Oleh karena itu, dalam tulisan ini akan tetap dipertahankan istilah Wujud Tertinggi sebagai sasaran doa tradisional masyarakat Manggarai. Dalam perjalanan relasinya dengan Wujud Tertinggi, masyarakat Manggarai tradisional memanifestasikan rasa hormat dan penyembahan mereka melalui upacara adat. Upacara adat yang dilakukan oleh orang Manggarai terutama pada: • Pendirian mbaru gendang atau rumah adat • Segala sesuatu yang berkaitan dengan pengerjaan kebun mulai dari pembukaan lahan hingga panen • Segala sesuatu yang berkaitan dengan klan mereka, misalnya kelahiran, pernikahan, dan kematian Secara lebih sistematis, Lawang (2010) menunjukkan adanya keterkaitan antara struktur sosial dan sistem kepercayaan tradisional Manggarai. Inti dari struktur sosial masyarakat Manggarai adalah wa’u, yaitu klan menurut garis patrilineal mereka. Jelas di sini kekerabatan merupakan hal yang paling utama bagi masyarakat Manggarai. Keberadaan wa’u ini ditopang oleh lingko atau kebun adat yang dimiliki secara kolektif dan golo atau kampung tempat tinggal wa’u tersebut. Jadi, seluruh upacara adat berkaitan dengan wa’u (kelahiran, pernikahan, kematian), lingko (upacara adat yang berkaitan dengan kebun), dan golo (pendirian mbaru gendang dan syukur tahun baru). Adapun sebuah upacara adat biasa mengandung unsur-unsur Torok atau doa, persembahan hewan kurban, Toto Urat atau melihat urat hewan kurban, dan Hélang, yaitu pemberian sesajen kepada semua arwah leluhur yang dianggap hadir saat itu.
110
Menarik jika ditelusuri lebih jauh bahwa dalam Gereja Katolik juga ada upacara-upacara gerejawi untuk peristiwa-peristiwa penting tersebut. Ada pembaptisan untuk bayi yang baru lahir, Sakramen Pernikahan untuk sepasang mempelai yang mau mempersatukan diri, dan Misa Requiem untuk yang wafat. Selain itu, ada juga pemberkatan rumah dan kini para imam mulai juga memberikan berkat benih, berkat panen, dan sejenisnya sebagai pengganti upacara adat yang berkaitan dengan kebun. 73 Berbagai upacara adat tersebut juga menjadi ritual dari agama asli umat Mondo di masa lampau. Agama ini lahir dari nurani mereka yang mencari wajah Allah, yang tak pernah mereka lihat namun mereka kenali tanda-tanda kehadiran-Nya. “Saya tidak menyalahkan nenek moyang mengapa mereka sepertinya menyembah berhala. 74 Sebab, di sanalah mereka menemukan wajah Allah,” ucap Stefanus Syukur di pertengahan bulan Desember 2009. Demikianlah leluhur tetua Mondo mewariskan sebuah spiritualitas yang menyajikan keakraban dengan Wujud Tertinggi. Keakraban yang dimaksud di sini adalah tradisi yang mengatur umatnya untuk sering melakukan upacara adat; sering berhubungan dengan Wujud Tertinggi. Hingga kini, warisan tersebut masih dipertahankan oleh masyarakat Mondo dengan seringnya mereka berkumpul untuk berdoa. Tidak bisa dipastikan apakah setiap orang Mondo selalu mengingat Tuhan atau tidak, namun adat istiadatnya mengatur mereka untuk dengan setia datang kepada Tuhan, lewat berbagai upacara adat yang menjadi sarana penyembahan mereka. Sebetulnya, hal ini sama saja dengan orang Katolik. Lepas dari apakah setiap orang Katolik senantiasa mengarahkan hatinya kepada Tuhan atau tidak, namun ajarannya menyadarkan setiap orang bahwa hidupnya adalah sebuah peziarahan menuju Allah. Oleh karena itu, integrasi yang terjadi antara spiritualitas tradisional dan kristiani di kalangan orang Mondo bukanlah sesuatu yang menakjubkan karena tidak konfrontatif. Pada saat seseorang sudah dapat menggapai inti dari spiritualitas tradisional dan kristiani, saat itulah secara alami kedua spiritualitas itu menyatu di dalam jiwanya. Sebaliknya, mereka yang belum mencapai pusat dari masing-masing spiritualitas tersebut, menjadi gelisah dan ribut dengan kulitnya yang tentu saja sama sekali berbeda. Begitu 73
Berdasarkan wawancara dengan Rm. Blasius Harmin, Pr pada tanggal 2 Februari 2009. 74 Stefanus menyebut ritual adat itu sebagai penyembahan berhala karena adanya penyembahan kepada arwah nenek moyang dan bukannya kepada Allah. Hal ini bertentangan dengan iman Katolik yang mengharuskan Allah sebagai satu-satunya yang disembah. 111
menyatunya kedua spiritualitas ini di dalam diri sebagian orang Manggarai, sehingga jika mendengar mereka berbicara, kadang membingungkan juga. “Di pucuk atap mbaru gendang itu ada sebuah simbol yang menjadi lambang Wujud Tertinggi. Ia ditempatkan di tempat yang paling atas, sebagaimana Yesus yang ditinggikan di antara segala bangsa,” demikian ucap Donatus Jematu di bulan Desember 2009. Ucapan Don Jematu sang putera sulung Tu’a Dalu Riwu terakhir ini memang cukup membingungkan; ada kesan campur aduk yang tidak karuan antara adat dan agama kristiani. Namun, jika sedikit saja ada usaha untuk menyelami budaya Manggarai, kalimatnya ini bisa dimengerti. Bagi orang Manggarai, kinang dan siri bongkok melambangkan kekerabatan 75. Adapun siri bongkok menjadi lambang yang dituakan atau ditinggikan dalam kekerabatan tersebut. Nyatanya, Kitab Suci kristiani juga berbicara masalah hubungan kekerabatan ini, “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.” (Rm. 8:29)
Dikatakan dalam surat Rasul Paulus tersebut bahwa Yesus yang ditinggikan itu tidak lain merupakan yang sulung di antara banyak saudara. Tentu saja kalimat ini dengan jelas menunjukkan unsur kekerabatan lewat kesulungan Yesus Kristus. Meskipun, kekerabatan yang dimaksud oleh Kitab Suci adalah dalam konteks rohani, bukan biologis. “Artinya: bukan anak-anak menurut daging adalah anak-anak Allah, tetapi anak-anak perjanjian yang disebut keturunan yang benar.” (Rm. 9:8)
Demikianlah di Manggarai, di Mondo khususnya, dapat dijumpai umat kristiani yang menghayati kekristenannya dalam perasaan budaya Manggarai. Tak mengherankan adat istiadat masih dipegang teguh dan dijalankan dengan sebaik-baiknya di Mondo, namun segala doanya diganti secara Katolik. Jadi, semua upacara adat yang pada awalnya dipersembahkan kepada arwah leluhur, kini dipersembahkan kepada Tuhan. Bahkan, tak jarang ada keterlibatan para imam yang mengganti upacara adat dengan Misa. Namun, intensinya sama seperti yang dimaksudkan oleh upacara adat, misalnya syukur panen, kematian, dan sebagainya. Di sinilah ditemukan budaya yang sesungguhnya, yang tidak 75
Kinang dan siri bongkok merupakan bagian dari atap mbaru gendang, secara jelasnya akan dijelaskan dalam Bab VII. 112
statis menanti dimuseumkan, namun dinamis mengikuti perkembangan jiwa orang-orang yang menghayatinya. Sebaliknya, masih cukup banyak kampung di Manggarai yang menjalankan adat istiadat namun berlawanan dengan hati nuraninya. Bahkan termasuk di Waling, tempat asal leluhur orang Mondo. Hal ini terungkap dalam sebuah wawancara dengan Andreas Lujam dan Aleks Juang, keturunan Juntung, di penghujung tahun 2009. Adapun Juntung adalah adik dari Nggulung, leluhur orang Mondo. 76
“Menurut Bapak berdua, apa yang paling membedakan orang Mondo dengan orang Waling?” “Kami ini sama-sama satu kerabat, cuma…. maaf ya, sebelumnya saya mohon maaf, yang berbeda adalah caranya orang Mondo menjalankan adat istiadat, itu berbeda sekali,” jawab Aleks Juang. “Bapak berdua adalah orang yang dituakan di Waling, termasuk dalam jajaran Tu’a Adat di Waling. Tentunya Bapak berdua sangat mengerti adat. Apakah Bapak berdua setuju dengan caranya orang Mondo menjalankan adat istiadat?” “Mau bagaimana tidak setuju, Suster…,” ucap Andreas Lujam sambil menarik nafas panjang, “Kami ini juga semuanya Katolik.”
Ucapan Andreas Lujam ini mewakili perasaan banyak orang Manggarai. Banyak kampung yang masih menjalankan adat istiadat apa adanya sesuai dengan yang diwariskan leluhur walaupun sebetulnya bertentangan dengan hati nurani mereka karena tidak sesuai dengan ajaran Katolik. Unsur dalam ritual adat yang bertentangan dengan iman Katolik misalnya, doa-doa memanggil leluhur, memberi makan kepada nenek moyang, dan sebagainya. Walaupun demikian, semuanya itu masih mereka jalankan karena takut terkena kutukan. Dalam hal ini, mereka seolah hidup dalam dua dunia yang berbeda. Sebagai umat Katolik mereka rajin ke Gereja untuk Misa dan mengikuti doa-doa bersama umat lainnya secara Katolik. Namun, pada saat menyelenggarakan upacara adat, mereka melakukan hal-hal yang tak sesuai dengan iman Katolik. Agaknya, konflik semacam dapat ditemukan di banyak tempat baik di Manggarai sendiri maupun di luar Manggarai. Bagaimana cara spiritualitas 76
Jelasnya dapat dilihat pada struktur pohon keluarga yang disajikan dalam Bab III. 113
kristiani itu masuk pertama kalinya di tengah masyarakat yang masih menghayati spiritualitas tradisional akan sangat menentukan proses ke depan. Para misionaris di Manggarai rupanya memakai cara mencari kesamaankesamaan antara spiritualitas kristiani dan tradisional Manggarai, sehingga memperoleh pintu masuk lewat kesamaan tersebut. Dengan demikian, saat ini dapat dijumpai sebagian orang Manggarai yang menjalankan ritual tradisional bersubstansi kristiani, sedangkan sebagian lagi pergi ke Gereja dan menyembah arwah sekaligus. Berikut ini akan dijelaskan bagaimana penghayatan spiritual masyarakat Mondo berkaitan dengan leluhur.
HUBUNGAN ORANG MONDO DENGAN LELUHUR Orang Mondo memiliki hubungan yang dekat dengan para leluhurnya. Uraian berikut ini diperoleh berdasarkan wawancara dengan warga Mondo yang ditopang oleh literatur. Dalam wawancara dengan orang Mondo mengenai hubungan dengan leluhur, mereka selalu menyebut diri sebagai orang Manggarai. Hal ini bisa dimengerti karena apa yang mereka hayati sehubungan dengan leluhur bukanlah kepercayaan khas Mondo melainkan khas tradisional Manggarai. Kebanyakan orang-orang tua di Mondo dapat menyebutkan nama-nama leluhurnya sampai empat atau lima keturunan. Bahkan, tak jarang yang bisa menyebutkan hingga tujuh generasi atau lebih. Latar belakang semua ini adalah karena mereka sangat menghargai leluhur mereka. Mereka menyapa leluhurnya Empo. Hubungan dengan Empo ini sangat akrab. Bahkan, dalam doa-doa adat, sapaan kepada Empo lebih sering dilakukan daripada kepada Tuhan. Janggur (2008:44-45) berpendapat hal ini wajar karena mereka percaya para leluhur lebih dekat dengan Allah. Oleh karena itu, mereka berdoa dengan perantaraan para Empo. Empo menjadi semacam jembatan yang menghubungkan manusia dengan Tuhan. Kepercayaan ini sungguh mirip dengan ajaran kristiani. Dalam Injil Yohanes, Yesus berkata, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yoh. 14:6)
Jauh sebelum Gereja memasuki tanah Manggarai, masyarakat primitif sudah merasakan bahwa ada sebuah jembatan yang dapat menghantarkan mereka kepada Mori Keraéng, Tuhan Allah Sang Pencipta. Dalam pencarian wajah Allah inilah mereka menyandarkan diri kepada Empo sebagai perantara mereka.
114
Kedekatan orang Mondo dengan Empo juga terungkap lewat nama-nama mereka. Biasanya, leluhur yang baik, bijaksana, ataupun memiliki keutamaankeutamaan lainnya dipakai kembali namanya oleh keturunannya. Namun, karena kebanyakan orang Mondo sekarang sudah dibaptis katolik, umumnya mereka mempunyai dua nama, yaitu nama baptis dan nama leluhur. Misalnya, adik kandung dari Stefanus bernama Siprianus Wer. Siprianus adalah nama baptisnya, sedangkan Wer adalah nama kakek dari Nggulung, leluhur orang Mondo. 77 Dalam memilih nama leluhur ini, orang Manggarai cukup berhatihati, jangan sampai nama leluhur yang dipilih adalah orang yang pemarah, pemalas, ataupun memiliki banyak kelemahan lainnya. Hal ini untuk menghindar jangan sampai sifat dari leluhur yang buruk itu turun ke orang yang memakai namanya. Dari sini dapat dilihat kedekatan masyarakat dengan leluhurnya. Mereka bukan saja tahu nama-nama leluhur dalam silsilah keluarga mereka namun juga perangainya masing-masing. Lebih dari itu, tampak pula kesamaan kebiasaan ini dengan umat Katolik, yang dalam pembaptisan mengambil nama orang kudus, nama “leluhur umat Katolik” yang hidup di masa lampau.
Alasan Kedekatan dengan Leluhur Ada beberapa alasan mengapa orang Mondo sangat menghormati leluhur mereka. 78 Pertama, mereka percaya bahwa Tuhan menciptakan manusia melalui leluhur. Sesuatu yang logis sebetulnya, karena mereka melihat bahwa setiap anak manusia lahir karena kedua orang tuanya. Kedua orang tuanya lahir karena kakek dan neneknya, demikianlah seterusnya. Dengan demikian, orang Mondo percaya bahwa tanpa leluhur tak mungkinlah mereka tercipta dan hidup di dunia ini. Alasan kedua, karena mereka menyadari bahwa segala adat istiadat itu merupakan warisan leluhur yang harus dijalankan sebaik-baiknya. Penghayatan adat istiadat yang kental dalam keseharian masyarakat membuktikan penghormatan mereka yang besar kepada leluhur. Lewat adat istiadat itulah para leluhur mengatur untuk keturunannya sebuah tata kehidupan beragama dan bermasyarakat. Juga melalui adat istiadat itu para leluhur memberikan pendidikan kepada anak cucunya mengenai banyak hal dalam kehidupan. Adat 77
Jelasnya dapat dilihat pada bagan pohon keluarga. Penjelasan ini berdasarkan penelitian di lapangan serta hasil wawancara dengan Petrus Janggur bulan Februari 2009, juga buku Butir-Butir Adat Manggarai yang ditulis olehnya. 78
115
mengajar orang untuk datang kepada Wujud Tertinggi, adat juga merupakan rambu-rambu dalam kehidupan bermasyarakat. Lebih dari itu, adat juga bahkan mengajar masyarakat dalam hubungannya dengan lingkungan hidup. Adat istiadat mencakup banyak aspek kehidupan. Hampir setiap permasalahan ada solusi adatnya, lepas dari masuk akal atau tidak. Wajarlah karenanya masyarakat sangat menghargai leluhur. Dengan demikian, mereka menyadari pula dirinya sebagai agen-agen yang bertanggung jawab untuk melanggengkan nilai-nilai spiritual yang hidup di dalam komunitas mereka (Goulet 2006). Alasan yang ketiga berkaitan dengan kepercayaan mereka. Masyarakat percaya barangsiapa menghormati leluhur dan menjalankan semua amanatnya dengan baik, akan mendapatkan berkat berlimpah-limpah di sepanjang hidupnya. Sebaliknya, mereka yang mengabaikan petuah dan petunjuk leluhur serta tidak setia menjalankan adat istiadat sesuai tradisi, akan mendapatkan kutukan di dalam kehidupannya. Alasan keempat, yang sebetulnya menjadi kunci dari semua alasan adalah karena masyarakat yakin bahwa leluhurnya walaupun sudah meninggal namun sesungguhnya mereka hidup. Ada kalimat Manggarai yang biasanya diucapkan bila ada kematian, “lé ata di’an agu ata ngénggan ka’éng ho’o.” Arti dari kalimat ini adalah, “Di seberang, hidup lebih baik dan tanahnya lebih luas.” Hal ini menunjukkan kepercayaan mereka akan adanya kehidupan setelah kematian. Mereka yang sudah meninggal akan tetap hidup dalam wujud roh-roh. Di “seberang” itulah roh-roh bersemayam, namun sesekali roh-roh tersebut dapat turun ke bumi. Mereka percaya Empo dapat mengkomunikasikan dirinya kepada manusia. Teguran, perintah, ataupun permintaan Empo ini dapat disalurkan melalui mimpi, perantaraan dukun atau istilah Manggarainya ata mbeko, atau pun tanda-tanda alam tertentu. Itulah sebabnya Lupur sangat percaya dengan mimpi-mimpinya. Kepindahannya ke Ragok pertama kali diteguhkan oleh mimpi. Demikian pula keputusannya untuk tidak memakan kerbau yang dibunuh beramai-ramai oleh orang Kantar dimotivasi oleh mimpi. Juga, ketika akhirnya orang Kantar yang memakan kerbau itu satu persatu meninggal, Lupur melihatnya sebagai pertanda teguran leluhur karena amanatnya diabaikan. 79
79
Cerita lengkapnya dapat dilihat pada Bab V.
116
Konflik Spiritualitas Tradisional dan Kristiani Sebelum spiritualitas kristiani memasuki Mondo, masyarakat hidup dalam penghayatan spiritual tradisional yang berpusat kepada leluhur. Spiritualitas tradisional di sini dimengerti sebagai spiritualitas warisan leluhur yang diturunkan dari generasi ke generasi, tidak memuat ide futuristis tetapi lebih konservatif dan mempertahankan status quo (Kartodirdjo 1994:129). Berkaitan dengan leluhur ada sebuah pepatah yang berbunyi, “Ho’og dé golo lontogm, natas baté labargm, compang tara darigm, uma baté duatgm, waé baté tekugm.” Arti dari pepatah ini adalah kampung halaman merupakan tempat kita tinggal dan tempat bermain, mesbah tempat berjemur diri di pagi hari, kebun tempat bekerja, dan mata air tempat menimba air. Sebuah kampung adat Manggarai pada umumnya memiliki halaman bersama, mesbah bersama, kebun bersama, dan mata air bersama. Ini berarti, orang Manggarai mengalami kedekatan dengan para leluhur mereka dalam kehidupan mereka sehari-hari, baik di halaman, mesbah, kebun, juga mata air. Mereka mengalami kebersamaan tinggal dengan leluhur di tempat yang sama. Ada juga ungkapan sejenis, “Tana kuni agu kalo,” yang berarti tanah warisan nenek moyang. Ungkapan ini menggambarkan kepercayaan mereka bahwa tanah yang mereka diami berasal dari nenek moyang yang pernah tinggal di tempat yang sama, dan masih tinggal di tempat yang sama, walau dalam dimensi yang berbeda. Kampung semacam inilah sebetulnya yang hendak dibuat oleh Lupur ketika pertama kali pindah ke Ragok. Penghormatan yang besar kepada leluhur ternyata memberikan konsekuensi tertentu dalam upacara adat mereka. Di sinilah ketidaksesuaian mulai terjadi antara ajaran spiritualitas tradisional dan kristiani. Agar hubungan dengan leluhur tidak retak, adat istiadat mengajarkan untuk memberikan kurban persembahan hewan kepada leluhur. Selain itu, lahir pula upacara-upacara di mata air, kebun, mesbah, yang semuanya dikaitkan dengan pemanggilan arwaharwah leluhur dan pada akhirnya berpesta bersama leluhur. Padahal, memanggil arwah-arwah sama sekali tidak dibenarkan dalam ajaran kristiani (Bdk. Im. 19:31, 20:6,27; Ul. 18:11; 1 Sam. 28:3; 2 Raj.21:6, 23:24; 1 Taw.10:13; 2 Taw. 33:6; Yes. 8:19, 19:3). Di lain pihak, ada ketakutan yang nyaris permanen di dalam hati kebanyakan orang untuk mengabaikan adat istiadat yang sudah diwariskan oleh leluhur. Ketakutan ini ditunjukkan dengan kesetiaan mereka untuk terus menjalankan upacara adat sesuai dengan yang diajarkan oleh nenek moyang. Bisa jadi, beberapa kejadian buruk yang mereka
117
alami semakin memperkuat ketakutan tersebut karena mereka percaya petaka muncul akibat pelanggaran terhadap amanat leluhur. Salah satunya yang cukup menakutkan adalah kepercayaan terhadap pantangan leluhur. Bernardus Alung, Tu’a Adat Kantar, mengatakan bahwa setiap wa’u atau klan di Manggarai mempunyai ceki. Pengertian ceki kurang lebih merujuk kepada asal-usul wa’u yang bersifat spiritual, melindungi, dan selalu ada di tengah-tengah kehidupan mereka (Lawang 2010). Sebagian masyarakat Manggarai lain yakin ceki berkaitan dengan sumpah leluhur mereka. Mereka yang memiliki keyakinan seperti ini antara lain orang Kantar, Torok Golo, Giro, dan lain-lain. Bentuk ceki ini untuk masing-masing wa’u berbeda-beda, ada yang dalam rupa binatang, ada juga dalam rupa tanaman, atau hal lainnya. Oleh karena itu, binatang ataupun tanaman maupun hal lainnya yang menjadi ceki di suatu wa’u dikeramatkan oleh seluruh anggota wa’u tersebut. Ceki orang Kantar adalah Pa’ét, yaitu nama sejenis tanaman perdu yang banyak tumbuh di daerah Kantar pada masa lampau. 80 Mereka percaya Pa’ét ini menjadi ceki karena ada hubungannya dengan sumpah yang diucapkan oleh Laju, leluhur orang Kantar. Sayangnya, mereka tidak tahu persis bunyi sumpah tersebut dan mengapa sumpah tersebut sampai dilontarkan. Diceritakan oleh Bernardus Alung bahwa pernah ada anak kecil Kantar yang tanpa sengaja tidur di dekat tanaman tersebut dan segera meninggal. 81 Sementara orang Torok Golo ceki-nya adalah tupai. Benediktus Tas seorang tokoh adat dari tempat tersebut mengatakan jika anggota klannya memakan tupai, walau tidak sengaja, yang memakannya akan segera meninggal atau sakit jiwa. 82 Anggota wa’u Giro mempunyai ceki sejenis kayu. Di masa lampau, ada seorang ibu yang menjadi leluhur mereka hendak bekerja di kebun dan membawa bayinya yang masih merah. Ia membaringkan dan membungkus bayinya dengan selembar kulit kayu sementara bekerja. Namun, siang yang semakin panas membuat kulit kayu menyusut dan melipat ke dalam, sehingga akhirnya sang bayi meninggal karena terbungkus kuat oleh kulit kayu. Mendapati anaknya meninggal, ibu itu pun bersumpah bahwa sejak saat itu ia dan seluruh keturunannya tidak akan pernah memanfaatkan kayu itu untuk keperluan apapun juga, termasuk untuk kayu bakar sekalipun. Bagaimana dengan orang Mondo? Ternyata mereka hampir lupa apa yang menjadi ceki mereka. Ketika ditanyakan, mereka sempat bingung tak 80
Pada masa sekarang tanaman ini sudah hampir musnah karena obat penyemprot. Sayangnya informan tidak ingat kejadian ini tahun berapa, yang jelas sudah lama sekali, puluhan tahun yang lalu. 82 Berdasarkan wawancara tanggal 13 Februari 2009. 81
118
dapat menjawab. Setelah mengingat-ingat dan saling berdiskusi di antara mereka, baru mereka ingat ceki mereka adalah sejenis burung. Namun, agaknya ceki sudah tidak menjadi perhatian mereka lagi. Fenomena ini menjadi salah satu indikator bahwa spiritualitas Katolik semakin menguat di kalangan warga Mondo. Dalam ajaran Katolik, kepercayaan terhadap ceki merupakan kepercayaan yang sia-sia dan menunjukkan kurang beriman akan penyelenggaraan ilahi. Oleh karena itu, kurang perhatiannya masyarakat Mondo terhadap ceki justru menunjukkan penghayatan spiritual mereka yang lebih Katolik. Demikianlah pada mulanya warga Mondo masih hidup dalam kepercayaan terhadap leluhur dan menjalankan semua upacara adat dengan penyembahan kepada leluhur. Padahal, setiap hari Minggu mereka pergi ke Gereja. Di sinilah muncul konflik batin karena selain menemukan kesamaan antara yang tradisional dengan yang kristiani, ternyata kedua spiritualitas ini juga mempunyai perbedaan yang tak bisa ditawar, dan meninggalkan kegelisahan di hati orang Manggarai. Kegelisahan ini pula yang muncul di dalam hati Stefanus Syukur sekitar tahun 1992-an. “Saya sudah dibaptis dalam nama Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Saya percaya kepada Yesus Kristus. Mengapa lagi saya harus berdoa kepada yang lain? Dan bahkan juga membawa masyarakat untuk berdoa kepada yang bukan Tuhan itu?” demikian bisik hati Stefanus bertalu-talu setiap kali ia memimpin upacara adat. Akhirnya, kegelisahan ini dijawabnya dengan sebuah keputusan yang bulat dan tegas. “Sejak saat itu saya tidak pernah lagi doa kepada leluhur. Kalau saya memimpin upacara adat, doa-doanya saya arahkan kepada Tuhan,” cerita Stefanus. “Saya tidak menyalahkan Kakek Lupur yang berdoa seperti itu. Saya percaya dia itu mencari Wajah Allah, dan dengan cara itulah dia menemukan Wajah Allah. Tapi, saya sudah tahu bahwa Tuhan itu Yesus Kristus, jadi saya salah kalau tetap berdoa seperti itu,” ujar Stefanus selanjutnya.
Ternyata, keputusan Stefanus ini membangkitkan kegelisahan dan ketakutan di dalam hati orang lain, termasuk keluarga besarnya. Mereka cemas cara Stefanus memimpin dan menjalankan upacara adat ini dapat
119
membangkitkan amarah leluhur karena bersubstansi katolik. Jika leluhur murka, yang terkena petaka pastilah bukan hanya Stefanus melainkan bisa menjalar ke seluruh kampung. Lebih-lebih keluarga besar Stefanus, mereka tidak saja takut tetapi sangat kecewa. Stefanus sebagai putera sulung yang dipercaya bisa menjadi pemangku adat, penerus warisan leluhur, ternyata melakukan penyimpangan dengan membuat cara yang baru. Ini berarti mengabaikan warisan leluhur dan berarti pula apa yang diturunkan oleh nenek moyang itu tidak dapat lestari dalam trah keluarga besar mereka; kandas di tangan Stefanus. Itulah sebabnya hingga sekitar tahun 1994, Stefanus mendapatkan tekanan dari banyak orang termasuk keluarga besarnya sendiri. Tekanan tersebut dalam bentuk protes, sindiran, perubahan sikap menjadi tidak simpatik, dan sebagainya. Bagi sebuah masyarakat komunal, tekanan semacam ini cukup berat. Namun, Stefanus bergeming, ia tetap teguh dengan sikap dan keputusannya.
Gambar 8 Stefanus Syukur, Tu’a Golo Mondo (Sumber: H.A. Tjondro Sugianto 2010)
120
Puncaknya adalah ketika suatu hari di sekitar tahun 1994, keluarga besar Stefanus berkumpul mengelilingi Batu Naga. 83 Di seputar Batu Naga itu mereka beramai-ramai berdoa memanggil arwah Lupur, leluhur mereka. Kepada Lupur inilah mereka berdoa supaya Stefanus cepat dicabut nyawanya demi kelangsungan kelestarian adat dalam klan mereka. Namun, tidak ada apa pun yang menimpa Stefanus setelah doa bersama itu. Bahkan, sungguh suatu kebetulan, nyatanya di tahun 2011 ini Stefanus masih hidup dalam keadaan sehat dan segar bugar, sementara yang ikut berdoa di Batu Naga kala itu kini sudah meninggal semua. Keberanian Stefanus menentang arus dilandasi oleh sebuah motivasi spiritual. Pengalaman rohaninya ketika mengikuti acara di Ruteng tahun 1994 telah mengubah seluruh kehidupannya. 84 Sebagaimana yang diceritakannya, ia belum pernah mengalami kehadiran Allah sedemikian nyata seumur hidupnya sebagaimana yang ia alami di Ruteng kala itu. “Saya ingin ikut, ingin ikut terus…,” demikian bisikan hatinya berulang-ulang ketika di Ruteng. Bisikan hatinya ini menunjukkan hasratnya untuk dapat terus dekat dengan Tuhan dan demi itu ia rela mengambil resiko apapun. Salah satu resiko yang diambilnya adalah menghentikan berbagai upacara adat yang bertentangan dengan ajaran iman Katolik. Stefanus sadar bahwa perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran iman akan menjerumuskannya dalam dosa dan itu berarti membawanya jauh dari Tuhan. Bagaimana tepatnya pengalaman ilahi itu bisa mengubah seluruh pemikiran dan tindakannya tidak dapat lagi diteliti karena merupakan pengalaman yang berada di kedalaman jiwanya. Stefanus dan orang-orang di sekitarnya mengimani bahwa itu adalah karya Roh Kudus. Yang jelas, cukup banyak warga Mondo yang akhirnya terpengaruh oleh kesaksian Stefanus. Selain menceritakan pengalamannya, Stefanus juga mengajak keluarganya serta warganya untuk mengikuti kegiatan rohani serupa sehingga mereka pun akhirnya mengalami sendiri pengalaman ilahi sebagaimana yang Stefanus rasakan. Inilah agaknya yang membuat Mondo menjadi unik dibandingkan kampung-kampung tetangga lainnya. Selama penelitian, penulis beberapa kali mendengarkan kisah-kisah pengalaman iman yang diceritakan warga namun terlalu panjang jika dituliskan satu persatu, selain juga karena kebanyakan cerita-cerita itu terlalu pribadi dan bersifat rahasia.
83
Batu Naga ini berasal dari Ragok, kampung pertama sebelum Mondo. Ketika Lupur memutuskan untuk pindah ke Mondo, batu ini digotong pula ikut dipindahkan ke Mondo (lih. Bab IV). 84 Kisah lengkapnya dapat dilihat pada Bab VI. 121
KEKOMUNALAN ANTARA YANG KASAT MATA DAN YANG TIDAK KASAT MATA Berdasarkan penjelasan mengenai hubungan dengan leluhur, dapatlah dilihat bahwa kekomunalan masyarakat tidak hanya di antara orang-orang yang hidup, tetapi juga sampai di antara orang mati. Ketika seseorang menyebutkan nama-nama nenek moyangnya, ia tidak sekedar menyebut nama, namun dengan kesadaran bahwa nama-nama yang disebutnya itu masih hidup dalam rupa roh. Oleh karena mereka percaya leluhur itu masih hidup dalam bentuk roh dan dapat diajak berkomunikasi, setiap upacara adat di Mondo yang diselenggarakan sebelum tahun 1994 selalu melibatkan para leluhur ini. Dengan sengaja arwah-arwah para leluhur dipanggil sehingga pada saat itu terjadilah sebuah komunitas yang terdiri dari wujud yang kasat mata dan tidak kasat mata. Tradisi Manggarai mengajarkan rakyatnya untuk memandang secara total, tidak parsial, artinya tidak sebatas yang bisa dilihat saja. Komunitas mereka merupakan komunitas yang luas, menembus dimensi zaman dan ruang yang fana. Sampai suatu batas tertentu masih ada kesamaan dengan iman Katolik yang juga komunitasnya menembus sampai dunia baka. Umat Katolik percaya bahwa Gereja yang satu terdiri dari tiga bagian, yaitu Gereja yang berjuang, Gereja yang menderita, dan Gereja yang jaya. Gereja yang berjuang terdiri dari umat yang masih hidup di dunia, yang masih berjuang dalam peziarahannya di muka bumi. Adapun Gereja yang menderita terdiri dari jiwa-jiwa yang sudah meninggal, namun kekudusannya belum memadai untuk mencapai surga sehingga masih tertahan di purgatorium. Sementara Gereja yang jaya adalah Gereja yang terdiri dari jiwa-jiwa yang telah berada di surga. Walaupun terdiri dari tiga bagian, namun ketiganya merupakan satu komunitas, sama-sama menjadi Tubuh Mistik Kristus, yaitu Gereja. Antar jiwa-jiwa yang berada di dunia, purgatorium, dan surga saling mendoakan satu sama lain, sehingga terciptalah sebuah komunalitas antara dunia fana dan dunia baka. 85 Beberapa acuan yang menggambarkan masalah ini antara lain bisa dilihat pada Kitab Suci, ensiklik Gereja, dan ajaran para kudus sebagai berikut:
85
Penjelasan mengenai hal ini dapat dilihat pada Katekismus Gereja Katolik dalam bab mengenai kehidupan setelah kematian. 122
“Hendaklah kemurahan hatimu meliputi semua orang yang hidup, tetapi orang mati pun jangan kaukecualikan pula dari kemurahanmu.” (Sir. 7:33) “Sebab jika tidak menaruh harapan bahwa orang-orang yang gugur itu akan bangkit, niscaya percuma dan hampalah mendoakan orang-orang mati. Lagipula Yudas ingat bahwa tersedialah pahala yang amat indah bagi sekalian orang yang meninggal dengan saleh. Ini sungguh suatu pikiran yang mursid dan saleh. Dari sebab itu maka disuruhnyalah mengadakan kurban penebus salah untuk semua orang yang sudah mati itu, supaya mereka dilepaskan dari dosa mereka.” (2 Mak. 12:44-45) “Tetapi kita semua, kendati pada taraf dan dengan cara yang berbeda, saling berhubungan dalam cinta kasih yang sama terhadap Allah dan sesama, dan melambungkan madah pujian yang sama ke hadirat Allah kita. Sebab semua orang, yang menjadi milik Kristus dan didiami oleh Roh-Nya, berpadu menjadi satu Gereja dan saling erat berhubungan dalam Dia. Hubungan persatuan anggota Gereja yang masih hidup di dunia fana sama sekali tidak terputus dengan para saudaranya yang sudah berada di alam baka. Bahkan menurut iman Gereja yang abadi diteguhkan karena saling berbagi harta rohani.” (Ensiklik, Lumen Gentium 49) “Baiklah kita membantu mereka dan mengenangkan mereka. Kalau anak-anak Ayub saja telah disucikan oleh kurban yang dibawakan oleh bapanya, bagaimana kita dapat meragukan bahwa persembahan kita membawa hiburan untuk orang-orang mati? Jangan kita bimbang untuk membantu orang-orang mati dan mempersembahkan doa untuk mereka.” (St. Yohanes Krisostomus) “Karena semua kaum beriman membentuk satu Tubuh saja, maka harta milik dari yang satu disampaikan kepada yang lain. Dengan demikian orang harus percaya bahwa di dalam Gereja ada pemilikan bersama. Yang paling utama dari semua anggota Gereja adalah Kristus, karena Ia adalah Kepala. Jadi milik Kristus dibagi-bagikan kepada semua anggota, dan pembagian ini terjadi oleh Sakramen-Sakramen Gereja.” (St. Thomas Aquino)
Sampai di sini, ada kesamaan antara komunitas orang Manggarai dan komunitas Gereja Katolik; akan tetapi, perbedaan tajam mencuat ketika ajaran kristiani melarang umatnya untuk memanggil arwah, serta berdoa menyembah arwaharwah leluhur. Padahal, adat Manggarai mengajarkan untuk setia memberikan persembahan kepada leluhur dalam bentuk hewan kurban dan memanggil leluhur dalam setiap upacara adat. Demikianlah situasi ini memberikan konflik batin yang tidak kecil di kalangan warga Mondo.
123
Gambar 9 Compang (mezbah persembahan tradisional Manggarai) di Jawang, kampung tetangga Mondo (Sumber: H.A. Tjondro Sugianto 2010)
Komunalitas yang terjalin dengan leluhur di kalangan masyarakat Mondo rupanya merupakan salah satu alasan lestarinya adat istiadat di sana. Hal ini agak berbeda dengan tempat-tempat lainnya. Banyak tempat yang masih memelihara adat istiadat demi mempertahankan eksistensinya. Sementara ada juga banyak tempat lain yang melestarikannya dengan motivasi pariwisata dan ekonomi. Akan tetapi, semua alasan itu tidak berlaku di Mondo. Hingga saat ini Mondo belum menjadi pusat pariwisata. Adapun kepentingan mempertahankan eksistensi juga tidak ada di kalangan mereka karena seluruh tanah Mondo didominasi oleh orang Manggarai. Sejauh pergumulan penulis selama ini dengan masyarakat Mondo, kelanggengan adat istiadat di sana terjadi karena adanya hubungan yang dekat antara masyarakat dengan leluhurnya. Dengan demikian, kedekatan orang Mondo dengan leluhur menjamin keberlangsungan adat istiadat di kalangan masyarakat.
PENGHAYATAN SPIRITUAL ORANG MONDO Penghayatan spiritual tradisional orang Mondo terpusat kepada leluhur dan kurban sesajian. Hal ini menghidupkan nilai-nilai komunal di kalangan orang Mondo. Pertama, karena leluhur orang Mondo mewariskan sebuah
124
struktur sosial yang komunal. 86 Kedua, berbagai ritual adat yang diwariskan leluhur membuat masyarakat semakin komunal karena mereka dalam kesatuan klan menyembah leluhur yang sama dan kurban sesajian menjadi sarana doa yang mewakili seluruh anggota ritual. Oleh karena itu, nilai komunal hidup cukup kuat di kalangan masyarakat Mondo karena penghayatan spiritual mereka yang terpusat kepada leluhur. Selain itu, keterpusatan penghayatan spiritual kepada leluhur juga ternyata menghidupkan nilai ksatria dalam diri tetua Mondo. Hal ini terjadi karena mereka dari generasi ke generasi terus menyadari keadaan mereka sebagai keturunan Brambang. Dalam konteks saat ini, perjuangan seorang brambang bagi keluarga pendiri Mondo tidak lagi di medan pertempuran melainkan dalam kancah pembangunan. Dengan demikian, nilai ksatria yang memimpin pembangunan, mengandung unsur keberanian dan heroisme, serta membela yang lemah, menjadi hidup di dalam diri keturunan Nggulung. Setelah tahun 1994, spiritualitas kristiani menguat di Mondo. 87 Walaupun mereka masih sangat menghormati dan menghargai leluhur mereka, namun mereka tidak lagi beribadat sesuai dengan cara yang diajarkan oleh leluhur. Semua upacara adat kini bersubstansi Katolik. Dalam hal ini, mereka mengadopsi nilai-nilai positif dari kepercayaan tradisional ke dalam spiritualitas Katolik. Jadi, walaupun terjadi integrasi antara yang tradisional dan yang Katolik, namun integrasi ini tidak terjadi dengan seimbang. Seluruh Ekaristi walaupun dalam bahasa Manggarai, dipenuhi dengan nyanyian dan tarian Manggarai, namun adat Manggarai hanya mengambil bagian-bagian yang tidak hakiki dari Ekaristi. 88 Bagian-bagian yang terpenting tetap bertumpu sesuai dengan ajaran iman Katolik (Lawang 2010). Demikian juga dengan upacara adat, walau intensinya tetap sesuai dengan yang diamanatkan oleh leluhur, namun doa-doa dipanjatkan secara kristiani.
86
Gambaran mengenai struktur sosial orang Mondo diuraikan dengan lebih lengkap pada Bab VII. 87 Alasan mengapa spiritualitas kristiani menguat di Mondo pada tahun 1994 diuraikan dalam Bab VI. 88 Hal inilah yang terjadi di seluruh Gereja Katolik di Keuskupan Ruteng. Spiritualitas Katolik sangat dominan sehingga budaya Manggarai hanya mewarnai saja peribadatan Katolik di Manggarai, namun tidak menggoyang sama sekali inti dari iman Katolik. 125
Gambar 10 Misa Minggu Palma 2010 di Stasi Longko, tempat umat Mondo merayakan Misa setiap minggunya (Walaupun dipenuhi dengan tarian dan nyanyian adat, Misa berjalan persis sesuai aturan Gereja, dan imam serta petugas Misa pun memakai pakaian sesuai dengan aturan Gereja, Sumber: H.A. Tjondro Sugianto 2010)
Spiritualitas kristiani mulai memasuki tanah Manggarai pada tahun 1912. Walaupun di kota Borong sendiri Paroki baru didirikan tahun 1964, tetapi masyarakat di kampung-kampung sekitar Borong, termasuk Mondo, sudah banyak yang menganut agama Katolik. Nama Yoseph Majung dan Monika Setia yang diperkirakan lahir sekitar tahun 1930-an menunjukkan bahwa spiritualitas kristiani sudah memasuki Mondo sejak masa itu. Dengan demikian, spiritualitas kristiani memasuki tanah Mondo ketika masyarakat masih hidup dalam penghayatan spiritualitas tradisional yang kuat. Nilai yang menonjol dalam spiritualitas kristiani adalah nilai cintakasih. “Jawab Yesus kepadanya: Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Mat. 22:37-39)
Akan tetapi, nilai cintakasih yang menjadi penekanan utama spiritualitas kristiani sebenarnya sudah terkandung pula dalam nilai ksatria dan komunal yang ada dalam penghayatan spiritual tradisional masyarakat Mondo. Itulah sebabnya, nilai cintakasih kristiani yang diterima dalam perspektif tradisional justru semakin menghidupkan nilai-nilai komunal dan ksatria. Pertama, karena Gereja Katolik yang komunal menjadi contoh semangat cintakasih persaudaraan
126
kristiani bagi mereka. Kedua, sikap ksatria yang mengayomi dan menolong yang lemah ditunjukkan pula sebagai wujud cintakasih kristiani. “ Lalu datang seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya.” (Luk. 10:33-34)
Dengan demikian, perjalanan spiritual orang Mondo dapat digambarkan sebagai berikut. Pada mulanya mereka hidup dalam spiritualitas tradisional. Inti ajaran yang hidup dalam spiritualitas tradisional tersebut adalah penyembahan terhadap leluhur. Hal ini memunculkan nilai-nilai ksatria dan komunal bagi warga Mondo yang percaya kedua nilai tersebut merupakan warisan dari leluhur yang mereka sembah. Ketika spiritualitas kristiani memasuki Mondo dengan nilai cintakasihnya, warga Mondo masih menerimanya dalam perspektif spiritualitas tradisional. Oleh karena itu, nilai cintakasih diterjemahkan dalam nilai ksatria dan komunal. Pada tahapan ini, secara sekilas tampaknya spiritualitas kristiani hadir di Mondo untuk melegitimasi spiritualitas tradisional yang mereka hayati. Dalam perjalanan waktu, warga Mondo mulai mengalami konflik batin karena adanya perbedaan ajaran iman antara kedua spiritualitas. Ternyata, spiritualitas kristiani tidak membenarkan begitu saja semua yang sudah mereka hayati selama ini secara tradisional. Akhirnya, jalan yang dipilih oleh orang Mondo adalah meninggalkan segala kebiasaan tradisional yang tidak sesuai dengan ajaran kristiani. Meskipun demikian, orang Mondo masih tetap mencintai leluhurnya walau tidak lagi menyembahnya. Oleh karena itu, semua yang diwariskan oleh leluhur masih tetap mereka pegang teguh namun kini dengan cara kristiani. Tujuan segala ritual adat tidak lagi diarahkan kepada leluhur tetapi kepada Tuhan. Sebaliknya, segala liturgi kristiani mereka kemas dalam gaya Manggarai lewat bahasa pengantar, lagu-lagu, tarian, dan persembahan dengan cara adat. Hingga akhir perjalanan transformasi penghayatan spiritual orang Mondo sekarang ini, nilai-nilai yang hidup di kalangan mereka tidaklah berubah, yaitu nilai ksatria dan komunal. Hal ini tidak mengherankan karena kedua nilai komunal dan ksatria mewakili penghayatan spiritual tradisional dan kristiani mereka.
127
Salah satu contoh mengenai hal ini adalah ketika pengurus KTM 89 pusat datang ke Mondo. Pada bulan November 2009, Eric Wijaya, pengurus KTM pusat, bersama Geovanny Karamoy, anggota Tim Gembala KTM, mengunjungi para anggota KTM di Kampung Mondo. Stefanus selaku Tu’a Golo Mondo sekaligus Pelayan Wilayah KTM di Mondo melakukan penyambutan secara adat dengan kepok yang diiringi pemberian seekor ayam putih dan tuak. Setelah itu, tanpa canggung mereka berdoa bersama secara kristiani. Tampak dalam peristiwa tersebut penghayatan spiritualitas tradisional dan kristiani terpadu secara harmonis.
Gambar 11 Pengurus KTM pusat, Eric Wijaya, disambut dengan kepok dan kemudian berdoa serta memuji Tuhan bersama secara kristiani (Sumber: H.A. Tjondro Sugianto 2009)
89
KTM merupakan singkatan dari Komunitas Tritunggal Mahakudus. Penjelasan lengkapnya mengenai apa itu KTM dapat dilihat pada Bab VI.
128