BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Metode Montessori 2.1.1. Sejarah Maria Montessori lahir pada tahun 1870 di Italia, sebuah negara yang pada masa itu secara khusus memperlakukan wanita secara konservatif. Meskipun banyak rintangan, Montessori adalah wanita Italia pertama yang menjadi dokter. Montessori mengajar di fakultas kedokteran Universitas Roma, dimana melalui klinik-klinik gratisnya, ia sering kali bertemu anak-anak dari kalangan kurang mampu. Dari pekerja annya itu, Montessori meyakini bahwa semua anak dilahirkan dengan potensi luar biasa, yang hanya bisa berkembang jika orang dewasa memberikan stimulasi yang tepat pada tahun-tahun pertama kehidupan mereka. Untuk membuktikan itu, pada tahun 1907 Montessori mulai menjadi pengawas di tempat penitipan bagi anak kaum buruh yang belum bersekolah. Berlokasi di salah satu perkampungan miskin di Roma, tempat ini menjadi Casa dei Bambini
atau “rumah anak”
pertama Montessori. Kondisi “rumah anak” tersebut sungguh buruk, dan kebanyakan anak-anak itu bersifat agresif, tidak sabar, dan suka melanggar aturan. Montessori memulai pekerjaannya dengan mengajarkan cara membuat pekerjaan sehari-hari pada anak yang lebih besar. Di luar
1
2
dugaan, anak-anak usia tiga dan empat tahun sangat senang mempelajari keterampilan hidup sehari-hari. Tidak lama kemudian anak-anak mulai merawat sekolah, membantu menyiapkan makanan, serta membantu memelihara kebersihan lingkungan. Perilaku mereka berubah dari anak jalanan yang liar menjadi teladan dari keramahan dan kesopanan. Montessori menyadari bahwa anak-anak kecil merasa frustasi di dalam dunia dengan ukuran untuk orang dewasa, sehingga Montessori menyiapkan wadah minum, mangkuk serta pisau yang sesuai ukuran tangan anak yang mungil. Setelah menghabiskan banyak waktu untuk mengamati dan berinteraksi dengan anak-anak, Montessori mengambil keputusan
bahwa
anak-anak
melewati
beberapa
tahapan
perkembangan, dan setiap tahap ditandai dengan kehendak, minat dan cara berpikir tertentu. Montessori juga menemukan bahwa anak-anak memiliki logika sendiri dalam setiap tahap perkembangan, dengan aktivitas
kesukaan
dan
kecenderungan
alami
tertentu
dalam
berperilaku. Montessori
mengamati
cara
anak-anak
bereaksi
terhadap
lingkungan yang tenang dan teratur di mana semua benda memiliki tempat sendiri. Montessori melihat anak-anak belajar mengendalikan gerakan
mereka
dan
menangkap
ketidaksukaan
mereka
saat
ketenangan itu terganggu bila ada yang tersandung atau menjatuhkan sesuatu.
Montessori
memberikan
mereka
kesempatan
untuk
mengembangkan kemandirian, dan menyadari adanya peningkatan
3
harga diri serta percaya diri pada anak-anak saat diajari dan diberi semangat untuk melakukan sesuatu bagi diri mereka sendiri. 2.1.2. Masa Peka Anak Montessori menyadari bahwa anak-anak menempuh tahapantahapan ketertarikan dan keingintahuan yang disebutnya masa-masa peka, di mana anak-anak tergugah dan terpikat oleh aspek-aspek khusus dari lingkungan mereka. Menurut Seldin (2007) ada beberapa masa-masa peka sejak lahir hingga enam tahun, yaitu : 1.
Gerak (sejak lahir hingga satu tahun). Gerakan acak bayi jadi terkoordinasi dan terkontrol saat ia belajar meraih, menyentuh, memutar, menyeimbangkan diri, merangkak dan berjalan.
2.
Bahasa (sejak lahir hingga enam tahun). Diawali dengan celotehan dan suara-suara, kemampuan bayi berkembang dari gumaman menjadi kata, frase lalu kalimat.
3.
Benda kecil (usia satu tahun hingga empat tahun). Anak-anak menyukai benda-benda dan detail-detail kecil saat koordinasi mata-tangannya meningkat lebih baik dan akurat.
4.
Keteraturan (usia dua hingga empat tahun). Segala sesuatu harus berada ditempatnya. Tahap ini ditandai dengan kecintaan terhadap rutinitas dan keinginan akan konsistensi dan pengulangan.
4
5.
Musik (usia dua hingga enam tahun). Jika musik jadi bagian kehidupan sehari-hari, anak secara spontan akan tertarik pada perkembangan nada, ritme, dan melodi.
6.
Masalah toilet (usia 18 bulan hingga tiga tahun). Saat sistem saraf berkembangan lebih baik dan terintegrasi, anak akan belajar untuk mengontrol aktivitas buang air kecil dan buang air besarnya.
7.
Keramahan dan sopan santun (usia dua hingga enam tahun). Anak-anak suka meniru perilaku sopan santun dan baik budi yang nantinya akan turut membentuk karakter kepribadiannya.
8.
Indra (usia dua hingga enam tahun). Pendidikan tentang indra dimulai sejak lahir, namun usia dua tahun anak akan takjub dengan pengalaman indranya (rasa, suara, sentuhan, dan bau).
9.
Menulis (usia tiga hingga empat tahun). Montessori menemukan bahwa kemampuan menulis muncul lebih dulu daripada membaca dan diawali dengan usaha meniru huruf dan angka menggunakan pensil dan kertas.
10.
Membaca (usia tiga hingga lima tahun). Anak-anak menunjukan ketertarikan spontan pada symbol dan suara yang mereka hasilkan-tak lama lagi mereka akan mengucapkan kata-kata.
5
11.
Hubungan ruang (usia empat hingga enam tahun). Ketika anak mulai mengembangkan pemahamannya tentang ruang, anak akan semakin pandai menyusun puzzle yang rumit sekalipun.
12.
Matematika (usia empat hingga enam tahun). Montessori menemukan cara untuk memberi anak pengalaman matematika yang nyata, dalam masa peka mereka terhadap angka dan jumlah. Montessori berpendapat bahwa anak yang merasa dihormati dan
cakap secara emosi akan lebih berkembang daripada anak yang hanya disayang dan dimanja. Pengajar Montessori yakin bahwa keberhasilan disekolah terkait langsung dengan tingkat kepercayaan anak bahwa mereka adalah manusia yang mampu dan mandiri. Anak-anak di ajari cara menuang air, menulis huruf, dan penjumlahan. Anak-anak yang lebih besar diberitahu tehnik penelitian, cara mencari informasi di internet, dan bentuk penulisan yang lebih rumit. Kemudian dijelaskan bahwa ketika anak mengembangkan tingkat kemandirian yang berarti, mereka membentuk pola kebiasaan bekerja yang baik, disiplin diri, dan rasa tanggung jawab untuk sepanjang hidup (Seldin,2007) 2.2.Kemandirian 2.2.1. Pengertian Kemandirian
Dalam kamus psikologi, kemandirian berarti keadaan pengaturan diri atau kebebasan individu manusia untuk memilih, untuk menjadi
6
kesatuan yang bisa memerintah, menguasai dan menentukan dirinya sendiri (Chaplin, 2008) Menurut Lie dan Prasasti (2004) menjelaskan bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-sehari sendiri atau dengan sedikit bimbingan, sesuai dengan tahapan perkembangan dan kapasitasnya. Sementara itu, menurut Barnadib (dalam Mu’tadin, 2002) menjelaskan
bahwa
kemandirian
adalah
perilaku
yang
mampu
berinisiatif, mampu mengatasi hambatan atau masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain. Sejalan dengan pandangan Kartini dan Dali (1987, dalam Mu’tadin, 2002) mengatakan bahwa kemandirian adalah hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri sendiri. Menurut Masrun (dalam Widyawatie, 2009) kemandirian adalah suatu sikap yang memungkinkan seseorang untuk bertindak tanpa bantuan orang lain, maupun berpikir dan bertindak kreatif, dan penuh inisiatif, mampu mempengaruhi lingkungan, mempunyai rasa percaya diri dan memperoleh kepuasan dari usahanya. Kemandirian merupakan suatu sikap yang diperoleh secara kumulatif selama perkembangan, dimana
individu akan terus belajar
untuk bersikap mandiri dalam menghadapi berbagai situasi di lingkungan, sehingga individu pada akhirnya akan mampu bertindak dan berpikir sendiri. Untuk dapat mandiri, dukungan dan dorongan dari keluarga serta lingkungan disekitarnya, agar dapat mencapai otonomi atas diri sendiri. Peran orangtua dan respon dari lingkungan sangat diperlukan bagi anak
7
sebagai “penguat” bagi setiap perilakunya. Menurut Masrun (1986, dalam Widyawatie, 2009) kemandirian ditunjukkan dengan empat bentuk : 1. Tanggung jawab, memiliki kemampuan memikul tanggung, mampu mempertanggung jawabkan hasil kerjanya, kemampuan menjelaskan peranan baru, memiliki prinsip mengenai apa yang benar dan salah dalam berfikir dan bertindak. 2. Otonomi, ditunjukkan dengan mengerjakan tugasnya sendiri yaitu dengan suatu kondisi yang ditunjukkan dengan tindakan yang dilakukan atas kehendaknya sendiri dan bukan orang lain, tidak tergantung pada orang lain, memiliki rasa percaya diri dan kemampuan mengurus diri sendiri. 3. Inisiatif, ditunjukkan dengan kemampuan berfikir dan bertindak secara kreatif. 4. Kontrol diri yang kuat, ditunjukkan dengan pengendalian tindakan dan emosi mampu mengatasi masalah dan kemampuan melihat sudut pandang orang lain.
2.2.2. Fungsi Kemandirian Menurut Ariyanti (dalam Nurianti, 2009) kemandirian pada anak usia dini mempunyai fungsi sebagai berikut: a. Mengarahkan diri sendiri dan mengambil keputusan, seperti dapat mengatur waktu kegiatannya sendiri dan memiliki jenis permainan sendiri. b. Sosial emosi, agar anak terbiasa menolong orang lain serta lebih bisa menghargai orang lain dan mau bermain dengan teman.
8
c. Pengelolaan diri, anak mengontrol dirinya sendiri ketika anak sedang berlari di depannya ada lubang maka anak akan dengan spontan berhenti karena ada kemampuan untuk mengelola diri sendiri, tidak menangis saat ditinggal pengasuh atau orang tua. d. Menemukan identitas diri, anak dapat lebih percaya diri dan terampil sehingga anak tidak ragu ataupun malu dalam melakukan setiap kegiatannya. e. Moral, anak dapat bertanggung jawab atas keputusan yang diambilnya.
Kemandirian adalah kebutuhan yang harus dimiliki setiap anak karena kemandirian merupakan salah satu aktualisasi diri pada anak dan menjadi bekal yang akan kehidupan yang mendatang dalam menghadapi masalah yang akan di hadapinya. 2.2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian Anak merupakan pribadi yang berdiri sendiri terpisah dari orang tua, sehingga semenjak lahir anak berusaha untuk tidak bergantung pada orang lain. Semakin bertambah usia anak, kemampuan fisik dan psikisnya semakin berkembang sehingga anak mulai ingin memisahkan dirinya dengan demikian sikap bergantung semakin berkurang karena adanya pengertian akan kemandirian yang diberikan sedini mungkin, dimana anak diberikan kesempatan untuk memilih jalannya sendiri. Asrori (2005) berpendapat bahwa kemandirian tidak terbentuk dengan sendirinya, akan tetapi berkembang karena pengaruh beberapa faktor, yaitu:
9
a. Gen atau keturunan orang tua Ali & Asrori(2005) berpendapat bahwa orang tua yang memiliki sifat kemandirian yang seringkali menurunkan anak yang memiliki kemandirian juga. Namun, faktor keturunan masih menjadi perdebatan karena adanya pendapat bahwa sesungguhnya bukan karena sifat kemandirian orang tua menurun tetapi lebih kepada bagaiman orang tua mendidik anaknya. b. Pola asuh orang tua Edwards
(2006)
menyatakan
bahwa
karakteristik
individu
mempengaruhi cara orang dewasa mengasuh anak-anak mereka, khususnya yang berhubungan dengan kedisplinan, kemandirian dan berusaha keras mengajarkan kepada anak-anak apa yang perlu mereka ketahui dan kerjakan agar menjadi orang yang bahagia, percaya diri dan bertanggung jawab di masyarakat. Lebih lanjut Edwards juga menjelaskan tujuan mengasuh anak adalah memberikan pengetahuan dan ketrampilan yang dibutuhkan anak
agar
mampu
bermasyarakat,
dimana
orang
tua
dapat
menanamkan nilai kepada anaknya untuk membantu mereka agar memiliki kejujuran, kerja keras, menghormati diri sendiri, memiliki perasaan kasih sayang dan tanggung jawab. Berdasarkan pendapat diatas maka dapat disimpulkan pola asuh memiliki peran penting dalam menanamkan nilai-nilai pada anak sehingga anak akan memiliki sikap yang memang di harapkan oleh orang tua dan lingkungannya.
10
c. Metode pendidikan di sekolah Garungan (2004) menjelaskan bahwa dalam beberapa penelitian mengenai pengaruh sekolah terhadap perkembangan pribadi siswa menunjukkan
bahwa
pada
umumnya
pendidikan
di
sekolah
meningkatkan taraf intelegensi akan tetapi peranan sekolah jauh lebih luas dalam pembentukan sikap-sikap dan kebiasaan. Berdasarkan penelitian Hetzer (dalam Garungan, 2004) peranan kelas dan metode guru menjamin kemajuan perkembangan anak, makin kecil kelasnya maka semakin maju para siswa yang diajarinya, di samping itu metode yang digunakan merupakan metode yang paling unggul. Proses pendidikan di sekolah yang tidak mengembangkan demokratisasi akan menghambat perkembangan kemandirian anak dan begitu juga sekolah yang menekankan pentingnya pemberian sanksi atau hukuman. Sebaliknya, proses pendidikan yang lebih menekankan pentingnya penghargaan terhadap potensi anak, pemberian reward dan penciptaan kompetensi positif akan mengembangkan kemandirian anak. Berdasarkan uraian di atasa dapat disimpulkan bahwa metode pendidikan yang digunakan oleh sekolah berpengaruh dalam perkembangan kemandirian anak terutama kemandirian dalam pengambilan sikap dan tanggung jawab.
11
d. Sistem kehidupan di masyarakat Pengalaman di luar sekolah yang dimiliki anak yang tinggal di kota dengan yang tinggal di pedesaan berbeda karena berbedanya ragam masyarakatnya. Masyarakat memberikan pengaruh yang berlainan terhadap peserta didik sehingga tiap peserta didik memiliki kepribadian yang berbeda-beda (Depag RI, 2005: 49). 2.3. Anak UsiaPra-sekolah Menurut Enger (1999) Anak usia prasekolah adalah mereka yang berusia antar 3-6 tahun. Lebih lanjut, menurut Biechler dan Snowman (1993), mereka biasanya mengikuti program pra-sekolah baik di taman kanak-kanak, kelompok bermain maupun tempat penitipan anak. Erikson (dalam Santrock, 2007) menjelaskan perkembangan manusia dari masa bayi (tahun pertama) hingga masa dewasa akhir (60 tahun keatas). Anak usia dini adalah anak yang baru dilahirkan sampai usia 6 tahun. Usia ini merupakan usia yang sangat menentukan dalam pembentukan karakter dan kepribadian anak (Sujiono, 2009). Usia prasekolah juga disebut sebagai usia emas (golden age) dimana anak mengalami pertumbuhan dan pengembangan yang pesat. Makanan yang seimbang serta stimulasi yang intensif sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan tersebut.
12
2.4. Teori Perkembangan Kemandirian Anak Erikson (1968 dalam Santrock, 2007) menjelaskan perkembangan manusia dari masa bayi (tahun pertama) hingga masa dewasa akhir (60 tahun keatas). Bagi Erikson motivasi utama manusia bersifat sosial dan mencerminkan suatu keinginan untuk berhubungan dengan orang lain. Setiap tahap terdiri atas tugas perkembangan yang mempertemukan individu dengan sebuah krisis. Lebih lanjut Erikson menjelaskan setiap krisis bukanlah suatu bencana, melainkan merupakan titik balik dari kerentanan yang semakin meningkat dan potensi yang semakin tinggi. Semakin berhasil individu menyelesaikan setiap krisis, semakin sehat individu tersebut secara psikologis karena setiap tahap memiliki nilai positif
dan
negatifnya.
Namun,
peneliti
hanya
berfokus
pada
perkembangan anak usia 3-5 tahun dimana menurut teori Erikson ada pada tahapan Initiative vs guilt. 1. Masa Kanak-kanak awal (tahun prasekolah, 3-5 tahun). Inisiatif versus rasa bersalah (initiative vs guilt). Tahap perkembangan kedua yang berlangsung pada masa bayi dan baru mulai berjalan (1-3) tahun. Anak memasuki masa prasekolah, anak memasuki dunia sosial yang lebih luas, mereka menghadapi lebih banyak tantangan daripada ketika mereka bayi. Perilaku yang aktif dan bertujuan diperlukan untuk menghadapi tantangan ini. Setelah memperoleh rasa percaya kepada pengasuh mereka, bayi mulai menemukan bahwa perilaku mereka adalah atas kehendaknya.
13
Mereka mulai menyadari kemauan mereka dengan rasa mandiri dan
otonomi mereka. Bila mereka dibatasi maka cenderung akan
berkembangnya rasa malu dan keraguan. Pada usia ini, anak-anak sudah mulai mengenal dunia dengan cara merangkak, berjalan dan sering sekali harus menghadapi konflik dengan orang dewasa di sekitarnya. Sering munculnya berbagai kemauan anak setelah memperoleh kepercayaan dari pengasuh. Mereka menegaskan otonomi atau kemandirian mereka. 2.4. Kerangka Berfikir Masa kanak-kanak merupakan periode khas dan tahapan terpenting bagi perkembangan anak selanjutnya
Masa kanak-kanak ini juga merupakan masa pra-sekolah dimana anak belajar untuk mandiri
Pola pengasuhan berpengaruh terhadap kemandirian anak (Ruhidawan, 2005) Dan menurut Garungan (2004) kemandirian anak dapat juga dikembangkan melalui pendidikan formal (pendidikan anak usia dini)
Salah satu metode pendidikan anak usia dini yang berkembang di Indonesia yaitu Metode Montessori
14
Metode Montessori memberikan kebebasan dan dukungan penuh pada kemandirian anak melalui observasi dan intervensi dengan membiarkan anak memilih kegiatan sendiri dan saat anak tertarik serta konsentrasi dengan tugasnya
Hal ini berbeda dengan pendekatan pembelajaran yang tidak menggunakan metode Montessori yaitu metode bermain dimana menurut Semiawan (2002) pendidikan bagi anak usia dini adalah belajar sambil bermain. Dengan bermain secara bebas dan berekspresi serta bereksplorasi dapat mengembangkan potensi fisik maupun mental
Perbedaan kemandirian anak usia pra-sekolah yang menggunakan metode semi Montessori dan sekolah regular.