BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
1. Lanjut Usia 1.1. Pengertian Lanjut Usia Menurut Undang- Undang No.4 tahun 1965, lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 55 tahun, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari- hari (Nugroho, 2000). Menurut Undang- Undang No.13 tahun 1998, lanjut usia adalah mereka yang mencapai usia 60 tahun ke atas (Nugroho, 2000). Sedangkan menurut Hurlock (1980), lanjut usia adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang yaitu suatu periode dimana seseorang telah beranjak jauh dari periode terdahulu yang lebih menyenangkan, atau beranjak dari waktu yang penuh manfaat.
1.2. Klasifikasi Lansia Terdapat beberapa pendapat dari berbagai sumber tentang klasifikasi lansia, diantaranya menurut Maryam (2008) yang menklasifikasikan lansia dalam lima kelompok yaitu pralansia, lansia, lansia resiko tinggi, lansia potensial, dan lansia tidak potensial. Pralansia yaitu seseorang yang berusia antara 45–59 tahun. Lansia yaitu seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. Lansia resiko tinggi yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih. Lansia potensial yaitu lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan atau kegiatan yang dapat menghasilkan
Universitas Sumatera Utara
barang/jasa. Lansia tidak potensial yaitu lansia yang tidak berdaya mencari nafkah, sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain. Selain itu, menurut World Health Organitation (WHO) menggolongkan lansia menjadi 4 yaitu usia usia pertengahan (middle age), lanjut usia (elderly), lanjut usia tua (old), usia sangat tua (very old). Usia pertengahan (middle age) adalah 45 -59 tahun, lanjut usia (elderly) adalah 60 -74 tahun, lanjut usia tua (old) adalah 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Nugroho, 2000). Menurut Hurlock (1980) dalam Nugroho (2000), lansia dibagi dalam 2 tahap, yaitu early old age (usia 60-70 tahun), advanced old age ( usia 70 tahun ke atas). Burnside (1979, dalam Nugroho, 2000) membagi lansia menjadi 4 tahap, yaitu : young old (usia 60-69 tahun), middle age old (usia 70-79 tahun), old-old (usia 80-89 tahun), dan very old-old (usia 90 tahun ke atas).
1.3.Karakteristik Lansia Lansia memiliki karakteristik sebagai berikut: berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan pasal 1 ayat (2) UU No.13 tentang kesehatan), kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaptif hingga kondisi maladaptif, lingkungan tempat tinggal bervariasi (Maryam, 2008).
Universitas Sumatera Utara
1.4. Tipe Lansia Beberapa lansia bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, sosial dan ekonominya (Nugroho, 2000). Tipe lansia tersebut sebagai berikut : Tipe
arif
bijaksana,
yaitu
kaya
dengan
hikmah,
pengalaman,
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, beresikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan. Tipe mandiri, yaitu menggantikan kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dan mencari pekerjaan, bergaul dengan teman, dan memenuhi undangan. Tipe tidak puas, yaitu konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik, dan banyak menuntut. Tipe pasrah, yaitu menerima dan menungggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, dan melakukan pekerjaan apa saja. Tipe bingung, yaitu kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.
1.5. Teori – Teori Proses Menua Teori Aktivitas. Teori ini berpendapat bahwa jalan menuju penuaan yang sukses adalah dengan cara tetap aktif dan ikut banyak dalam kegiatan sosial. Havighurst yang pertama kali menulis tentang pentingnya tetap aktif secara sosial sebagal alat untuk penyesuain diri yang sehat untuk€ lansia pada tahun 1952 (Potter and Perry, 2005). Kemudian teori ini dikembangkan oleh Palmore (1965)
Universitas Sumatera Utara
dan Lemon et al (1972) yang menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung dari bagaiman seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan aktivitas serta mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang dilakukan. Di satu sisi aktivitas lansia dapat menurun, akan tetapi di lain sisi dapat dikembangkan (Maryam, 2008). Teori Kesinambungan. Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan dalam siklus kehidupan lansia (Potter and Perry, 2005). Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambaran saat ia menjadi lansia (Maryam, 2008). Teori Perkembangan. Teori ini menekankan pentingnya mempelajari apa yang telah dialami oleh lansia pada saat muda hingga dewasa, dengan demikian perlu dipahami teori Freud, Buhler, Jung, dan Erickson. Sigmund Freud meneliti tentang psikoanalisis serta perubahan psikososial anak dan balita (Maryam, 2008). Erickson (1930), membagi kehidupan menjadi delapan fase, yaitu lansia yang menerima apa adanya, lansia yang takut mati, lansia yang merasakan hidup penuh arti, lansia yang menyesali diri, lansia yang bertanggung jawab dengan merasakan kesetian, lansia yang kehidupannya berhasil, lansia yang merasa terlambat untuk memperbaiki diri, lansia yang menemukan integritas diri melawan keputusasaan (Stanley, 2006).
1.6. Tugas Perkembangan Lansia Adapun tugas perkembangan pada lansia dalam adalah: beradaptasi terhadap penurunan kesehatan dan kekuatan fisik, beradaptasi terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan, beradaptasi terhadap kematian pasangan,
Universitas Sumatera Utara
menerima diri sebagai individu yang menua, mempertahankan kehidupan yang memuaskan, menetapkan kembali hubungan dengan anak yang telah dewasa, menemukan cara mempertahankan kualitas hidup (Potter & Perry, 2005).
2. Rheumatoid Arthritis 2.1. Pengertian Rheumatoid Arthritis Kata arthritis berasal dari dua kata Yunani. Pertama, arthron, yang berarti sendi. Kedua, itis yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang sendi. Sedangkan rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan bagian dalam sendi (Gordon, 2002). Menurut WHO dalam Atiqah (2010), rheumatoid artritis adalah suatu penyakit sistemik kronik yang melibatkan persendian, jaringan penghubung, otot, tendon, dan jaringan fibrosa. dan merupakan kondisi kecacatan kronik yang biasanya menyebabkan rasa nyeri dan deformitas. 2.2. Klasifikasi Rheumatoid Arthritis Buffer (2010) dalam Nasution (2009) mengklasifikasikan rheumatoid arthritis menjadi 4 tipe, yaitu: Rheumatoid arthritis klasik pada tipe ini harus terdapat 7 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu. Rheumatoid arthritis defisit pada tipe ini harus terdapat 5 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus
Universitas Sumatera Utara
menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu. Probable rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 3 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 6 minggu. Possible rheumatoid arthritis pada tipe ini harus terdapat 2 kriteria tanda dan gejala sendi yang harus berlangsung terus menerus, paling sedikit dalam waktu 3 bulan. 2.3. Etiologi Penyebab penyakit rheumatoid arthritis belum diketahui secara pasti, namun faktor predisposisinya adalah mekanisme imunitas (antigen-antibodi), faktor metabolik, dan infeksi virus (Suratun, Heryati, Manurung & Raenah, 2008). 2.4. Patofisiologi Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun, terutama terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena
serabut
otot
akan
mengalami
perubahan
degenerative
dengan
menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot (Smeltzer & Bare, 2002). Lamanya rheumatoid arthritis berbeda pada setiap orang ditandai dengan adanya masa serangan dan tidak adanya serangan. Sementara ada orang yang sembuh dari serangan pertama dan selanjutnya tidak terserang lagi. Namun pada
Universitas Sumatera Utara
sebagian kecil individu terjadi progresif yang cepat ditandai dengan kerusakan sendi yang terus menerus dan terjadi vaskulitis yang difus (Long, 1996). 2.5. Manifestasi Klinis Rasa nyeri merupakan gejala penyakit reumatik yang paling sering menyebabkan seseorang mencari pertolongan medis (Brunner & Suddarth, 2001). Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada tingkat peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini aktif. Ketika jaringan berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi dapat terjadi secara spontan atau dengan pengobatan dan pada minggu-minggu terakhir bisa bulan atau tahun. Selama remisi, gejala penyakit hilang dan orang-orang pada umumnya merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi (kambuh) ataupun gejala kembali (Reeves, Roux & Lockhart, 2001). Ketika penyakit ini aktif gejala dapat termasuk kelelahan, kehilangan energi, kurangnya nafsu makan, demam kelas rendah, nyeri otot dan sendi dan kekakuan. Otot dan kekauan sendi biasanya paling sering di pagi hari. Disamping itu juga manifestasi klinis rheumatoid arthritis sangat bervariasi dan biasanya mencerminkan stadium serta beratnya penyakit. Rasa nyeri, pembengkakan, panas, eritema dan gangguan fungsi merupakan gambaran klinis yang klasik untuk rheumatoid arthritis (Smeltzer & Bare, 2002). Gejala sistemik dari rheumatoid arthritis adalah mudah capek, lemah, lesu, takikardi, berat badan menurun, anemia (Long, 1996). Jika ditinjau dari stadium penyakit, terdapat tiga stadium yaitu stadium sinovitis, stadium destruksi, stadium deformitas. Pada stadium sinovitis, terjadi
Universitas Sumatera Utara
perubahan dini pada jaringan sinovial yang ditandai hiperemi, edema karena kongesti, nyeri pada saat bergerak maupun istirahat, bengkak dan kekakuan. Pada stadium destruksi, selain terjadi kerusakan pada jaringan sinovial terjadi juga pada jaringan sekitarnya yang ditandai adanya kontraksi tendon. Sedangkan pada stadium deformitas, terjadi perubahan secara progresif dan berulang kali, deformitas dan gangguan fungsi secara menetap (Smeltzer & Bare, 2002). Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi pada lanjut usia menurut Buffer (2010) dalam Nasution (2009), yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari, bermula sakit dan kekakuan pada daerah lutut, bahu, siku, pergelangan tangan dan kaki, juga pada jari-jari, mulai terlihat bengkak setelah beberapa bulan, bila diraba akan terasa hangat, terjadi kemerahan dan terasa sakit/nyeri, bila sudah tidak tertahan dapat menyebabkan demam, dapat terjadi berulang.
2.6. Evaluasi Diagnostik Beberapa faktor yang turut dalam memeberikan kontribusi pada penegakan diagnosis rheumatoid arthritis, yaitu nodul rheumatoid, inflamasi sendi yang ditemukan pada saat palpasi dan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaaan laboratorium menunjukkan peninggian laju endap darah dan factor rheumatoid yang positif sekitar 70%; pada awal penyakit faktor ini negatif. Jumlah sel darah merah dan komplemen C4 menurun. Pemeriksaan Creaktifprotein (CRP) dan antibody antinukleus (ANA) dapat menunjukan hasil yang positif. Artrosentesis akan memperlihatkan cairan sinovial yang keruh, berwarna mirip susu atau kuning gelap dan mengandung banyak sel inflamasi,
Universitas Sumatera Utara
seperti leukosit dan komplemen (Smeltzer & Bare, 2002). Pemeriksaan sinar-X dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis dan memantau perjalanan penyakitnya. Foto rongen akan memperlihatkan erosi tulang yang khas dan penyempitan rongga sendi yang terjadi dalam perjalanan penyakit tersebut (Smeltzer & Bare, 2002).
2.7. Penatalaksanaan 2.7.1. Penatalaksanaan Farmakologis Terapi secara farmakologis pada nyeri inflamasi yang utama adalah OAINS, coxib, analgetika opioid atau non opioid, dan analgetika adjuvan. Nyeri akut dan nyeri kronik memerlukan pendekatan terapi yang berbeda. Pada penderita nyeri akut, diperlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat. Pasien lebih dapat mentolerir efek samping obat daripada nyerinya. Pada penderita kronik, pasien kurang dapat mentolerir efek samping obat (Adnan, 2008 dalam Wisdanora, 2005). Pengobatan secara simpomatik terdiri dari: Simple analgesik, misalnya: paracetamol, aminopyrin, acetophenethidin. Obat anti inflamasi non-steroid, misalnya:
Indomethacin,
phenylbutazon,
ketoprofen,
sodium
diclofenac,
indoprofen. Obat anti inflamasi golongan steroid, misalnya: prednison. Pada pengobatan secara simptomatik hanya bertujuan untuk mengurangi rasa sakit, sedangkan progresivitas penyakitnya akan berjalan terus. Obat-obat simptomatik ini seringkali dipakai sampai berbulan-bulan sambil menunggu sampai obat remitif cukup tinggi kadar yang diperlukannya di dalam darah untuk memberikan efek pengobatan. Oleh sebab itu memilih obat yang aman dan menilai keadaan
Universitas Sumatera Utara
darah dan alat-alat badan yang lain secara laboratoris pada waktu-waktu tertentu amat penting guna melihat adanya efek samping sedini mungkin. Efek samping yang paling umum terjadi pada alat pencernaan, misalnya gastritis, nausea, muntah maupun diare ringan. Pemakaian obat-obat simptomatik golongan steroid secara sistemik tidak dianjurkan karena dapat mengalami ketergantungan. Sedangkan pemakaiannya dalam jangka waktu yang lama akan lebih banyak merugikan penderita. Penderita dapat mengalami super-infeksi oleh kuman lain yang dapat membahayakan penderita yang memang sudah dalam keadaan lemah, lebih-lebih bila didapati infeksi dengan virus. Juga akan timbul moonface, tulang-tulang semakin menjadi porotik, iritasi terhadap lambung makin hebat. Bila pemakaian steroid dihentikan, obat analgetika jenis apapun tak akan mampu menghilangkan rasa sakit pada sendi-sendinya. Dalam keadaan-keadaan tertentu memang digunakan golongan steroid, misalnya untuk menyelamatkan hidup penderita rheumatoid arthritis yang berat atau pemakaian suntikan setempat (local/intra-articular) (Shiel, 1999 dalam Wisdanora, 2007). Selain pengobatan simtomatik, pengobatan remitif juga dapat menghambat faktor rheumatoid arthritis menjadi negatif, sehingga perjalan penyakitnya ikut dihambat dan dalam waktu yang lama penderita akan sembuh atau remisi penuh. Golongan obat remitif ini memang lebih bermanfaat bagi penderita, namun tergolong jenis obat yang lambat bekerjanya. Harus hati-hati karena jangka pemakaian yang lama sampai berbulan dan diperlukan monitoring dengan
Universitas Sumatera Utara
pemeriksaan laboratorium pada waktu-waktu tertentu (Adnan, 2008 dalam Wisdanora 2005).
2.7.2. Penatalaksanaan Nonfarmakologis Fisioterapi perlu dalam menangani kasus rheumatoid arthritis, yakni mencegah kerusakan sendi, mencegah kehilangan fungsi sendi, mengurangi nyeri, dan mencapai remisi secepat mungkin. Sendi yang meradang harus dilatih secara lembut dan perlahan sehingga tidak terjadi kekakuan atau cedera. Setelah peradangan mereda, bisa dilakukan latihan yang lebih aktif secara rutin, tetapi jangan sampai berlebihan supaya tidak terlalu lelah (Junaidi, 2006). Pada pengobatan fisioterapi pembidaian sering dilakukan untuk meregangkan sendi secara perlahan (Adnan, 2008 dalam Wisdanora 2005).
Bila berbagai cara pengobatan sudah dilakukan namun belum berhasil juga dan alasan untuk tindakan operatif cukup kuat, maka dilakukanlah pembedahan. Berbagai jenis pembedahan ini pada penderita rheumatoid arthritis umumnya bersifat ortopedik misalnya: synovectomia, arthrodese, total hip replacement, memperbai-ki deviasi ulnar (Junaidi, 2006). Peranan ahli psikologi dan petugas sosial medis (social worker) diperlukan untuk menangani mental penderita agar tetap gigih dan sabar dalam pengobatan serta tidak merasa rendah diri sehingga penderita mampu melakukan tugas seharihari terutama untuk mengurus dirinya sendiri. Juga petugas sosial medis yang ikut membuat penilaian terhadap suasana lingkungan, penilaian kamampuan penderita (Adnan, 2008 dalam Wisdanora 2005).
Universitas Sumatera Utara
Terapi panas atau dingin dapat digunakan untuk mengurangi nyeri rheumatoid arthritis. Pada prinsipnya cara kerja terapi panas pada rheumatoid arthritis meningkatkan aliran darah ke daerah sendi yang terserang sehingga proses inflamasi berkurang (Junaidi, 2006). Selain itu terapi panas akan melancarkan sirkulasi darah, meningkatkan kelenturan jaringan sehingga mengurangi rasa nyeri serta memungkinkan hasil terapi didapat secara optimal (Kusumaastuti, 2008 dalam Wisdanora 2005). Terapi panas dapat dilakukan dengan air panas. Bisa dengan handuk hangat atau kantong panas yang ditempelkan pada sendi yang meradang atau dapat juga dengan mandi atau berendam dalam air yang panas. Terapi dingin bertujuan untuk membuat baal bagian yang terkena rheumatoid arthritis sehingga mengurangi nyeri, peradangan, serta kaku atau kejang otot. Cara terapi dingin adalah dengan menggunakan kantong dingin, atau minyak yang mendinginkan kulit dan sendi (Junaidi, 2006). Pola diet dapat digunakan untuk mendapatkan berat badan yang ideal dengan menerapkan pola makan secukupnya sesuai dengan energi yang diperlukan dalam menjalani aktivitas sehari-hari. Pola makan pada pasien rheumatoid arthritis adalah sayur dengan porsi yang lebih banyak, buah, rendah
lemak, dan kolesterol (Junaidi, 2006 dalam Wisdanora, 2005). 3. Pola Aktivitas 3.1. Pengertian Aktivitas Aktivitas adalah suatu energi atau keadaaan bergerak di mana manusia memerlukan hal tersebut agar dapat memenuhi kebutuhan hidup (Tarwoto &
Universitas Sumatera Utara
Wartonah, 2004). Menurut Asmadi (2008), Aktivitas fisik (mekanik tubuh) merupakan irama sikardian manusia. Tiap individu mempunyai irama atau pola tersendiri dalam kehidupan sehari-hari untuk melakukan kerja, rekreasi, makan, istirahat, dan lain-lain (Asmadi, 2008). 3.2. Jenis-jenis Aktivitas Aktivitas sehari-hari terbagi dua yaitu, aktivitas sehari-hari dasar, yang meliputi kegiatan membersihkan diri, mandi, berpakaian, berhias, makan, toileting, berpindah, dan aktivitas sehari-hari instrumental meliputi kegiatan pekerjaan rumah, menyediakan makanan, minum obat, menggunakan telepon (Darmojo, 2006). Menurut Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI (2006) dalam Rizky (2011), Ada 3 tipe/macam/sifat aktivitas fisik yang dapat kita lakukan untuk mempertahankan kesehatan tubuh yaitu ketahanan (endurance), kelenturan (flexibility), dan kekuatan (strength). Aktivitas fisik yang bersifat untuk ketahanan, dapat membantu jantung, paru-paru, otot, dan sistem sirkulasi darah tetap sehat dan membuat kita lebih bertenaga. Untuk mendapatkan ketahanan maka aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit (4-7 hari per minggu). Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti: Berjalan kaki, lari ringan, berenang, senam, bermain tenis, berkebun dan kerja di taman. Aktivitas fisik yang bersifat untuk kelenturan dapat membantu pergerakan lebih mudah, mempertahankan otot tubuh tetap lemas (lentur) dan sendi berfungsi dengan baik. Untuk mendapatkan kelenturan maka aktivitas fisik yang dilakukan
Universitas Sumatera Utara
selama 30 menit (4-7 hari per minggu). Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti: Peregangan, mulai dengan perlahan-lahan tanpa kekuatan atau sentakan, lakukan secara teratur untuk 10-30 detik, senam taichi, yoga, mencuci pakaian, mobil, dan mengepel lantai. Aktifitas fisik yang bersifat untuk kekuatan dapat membantu kerja otot tubuh dalam menahan sesuatu beban yang diterima, tulang tetap kuat, dan mempertahankan bentuk tubuh serta membantu meningkatkan pencegahan terhadap penyakit seperti osteoporosis. Untuk mendapatkan kelenturan maka aktivitas fisik yang dilakukan selama 30 menit (2-4 hari per minggu). Contoh beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti: Push-up, naik turun tangga, angkat berat/beban, membawa belanjaan, mengikuti kelas senam terstruktur dan terukur (fitness). Aktivitas fisik tersebut akan meningkatkan pengeluaran tenaga dan energi (pembakaran kalori), misalnya: Berjalan kaki (5,6-7 kkal/menit), berkebun (5,6 kkal/menit), menyetrika (4,2 kkal/menit), menyapu rumah (3,9 kkal/menit), membersihkan jendela (3,7 kkal/menit), mencuci baju (3,56 kkal/menit), mengemudi mobil (2,8 kkal/menit). Aktivitas yang dapat dilakukan antara lain: Berdiri,
berrbaring,
menyapu,
mengepel,
mencuci
baju,
menimba
air,
berkebun/bercocok tanam, membersihkan kamar mandi, mengangkat kayu atau memikul beban, mencangkul, dan kegiatan lain dalam kehidupan sehari-hari (Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI, 2006 dalam Rizky, 2011).
3.3. Mekanika Tubuh Mekanika tubuh adalah penggunaan organ secara efisien dan efektif sesuai dengan fungsinya. Melakukan aktivitas dan istirahat pada posisi yang benar akan
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan kesehatan (Tarwoto & Wartonah, 2004). Melakukan aktivitas secara benar dan beristirahat dalam proses yang benar dapat meningkatkan kesehatan tubuh dan mencegah timbulnya penyakit. Gangguan mekanika tubuh dapat terjadi pada individu yang menjalani tirah baring lama karena dapat menjadi penurunan kemampuan tonus otot. Tonus otot sendiri adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kemampuan kontraksi otot rangka (Mubarok, Nurul & Chayatin, 2007). Mekanika Tubuh mempunyai aspek-aspek penting. Menurut Mubarok, Nurul & Chayatin (2007), aspek penting dalam mekanika tubuh adalah kesejajaran tubuh dan postur, keseimbangan, dan gerakan tubuh yang terkoordinasi. Kesejajaran tubuh (body alignment) adalah susunan geometrik bagianbagian tubuh dalam hubungannya dengan bagian-bagian tubuh lainnya. Kesejajaran tubuh dan postur tubuh yang baik akan menempatkan tubuh pada posisi tubuh yang meningkatkan keseimbangan yang optimal dan fungsi tubuh yang maksimal, baik dalam posisi berdiri, duduk maupun tidur. Kesejajaran tubuh yang baik dilihat dari keseimbangan persendian, otot, tendon dan ligamen. Kesejajaran tubuh penting untuk meningkatkan fungsi tangan yang baik, mengurangi
jumlah
energi
yang
digunakan
dalam
mempertahankan
keseimbangan, mengurangi kelelahan, memperluas ekspansi paru, meningkatkan sirkulasi ginjal dan fungsi pencernaan. Sedangkan kesejajaran tubuh yang buruk dapat mengganggu penampilan dan mempengaruhi kesehatan karena ada beberapa bagian tubuh yang terbatas kemampuannya. Faktor- faktor yang mempengaruhi
Universitas Sumatera Utara
kesejajaran tubuh yaitu pertumbuhan dan perkembangan, kesehatan fisik, status mental, gaya hidup, sikap dan nilai personal, nutrisi, stress, dan faktor sosial. Mekanisme yang berperan dalam mempertahankan keseimbangan dan postur tubuh cukup rumit untuk dipahami. Secara umum perasaan seimbang bergantung pada input informasi yang diterima dari labirin (telinga bagian dalam), penglihatan (input vestibulo-okular), dan dari reseptor otot dan tendon (input verstibulospinalis). Pada keadaan normal, reseptor keseimbangan di apparatus vestibular mengirimkan sinyal menuju otak yang akan mengawali refleks yang dibutuhkan untuk mengubah posisi. Sedangkan pada keadaan lain, misalnya pada perubahn posisi kepala informasi yang diterima langsung dikirim ke pusat refleks di batang otak sehingga memungkinkan respon refleks yang lebih cepat guna mempertahankan keseimbangan tubuh. Selain mekanisme di atas, keseimbangan tubuh juga dipengaruhi oleh pusat gravitasi, dan fondasi penyokong seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Gerakan yang halus dan seimbang merupakan hasil dari kerjasama yang baik antara korteks serebri, serebrum, dan ganglia basalis. Dalam mekanisme ini korteks serebri bertugas melakukan aktivitas motorik volunter, sedangkan serebrum bertugas mengatur aktivitas gerakan motorik, dan ganglia basalis bertugas mempertahankan postur tubuh. Misalnya serebrum, gerakan menjadi kaku, tidak terarah, dan tidak terkoordinasi (Mubarok, Nurul & Chayatin, 2007).
3.4. Pola Aktivitas Pasien Rheumatoid Arthritis Berdasarkan dari pengalaman para pasien rheumatoid arthritis aktivitas yang dilakukan sehari-hari dapat terganggu. Sumber utama dari perubahan
Universitas Sumatera Utara
aktivitas ini adalah rasa tidak nyaman pada fisik penderita rheumatoid arthritis karena sendi yang kaku dan sakit. Saat pasien mengeluh rasa lemah dan lelah pada dokter mereka, mereka disarankan untuk mengurangi jumlah kegiatan mereka, dan bukannya mendorong untuk menambahnya tetapi untuk istirahat yang banyak. Fakta lain menunjukkan bahwa istirahat yang berlebihan dapat merusak kesehatan. (Gordon, 2002). Menurut laporan Repping wuts (2009) dalam Walker (2012), kelelahan adalah
keluhan
yang
paling
banyak
dirasakan,
dimana
kelelahan
itu
mempengaruhi kemampuan individu untuk mengelola aktivitas sehari-hari yang berdampak besar pada kualitas hidup. Pola aktivitas pasien rheumatoid arthritis yang tergaggu diterjemahkan dalam kapasitas fungsional yang semakin rendah atau kemampuan melakukan aktivitas semakin berkurang. Kemampuan yang menurun seperti : membungkuk untuk memungut sesuatu, membersihkan kebun, menyisir rambut, bangun dari tempat tidur pada pagi hari, berjalan, dan berdiri (Gordon, 2002).
4. Perilaku 4.1. Pengertian Perilaku Perilaku dari pandangan biologis merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi perilaku manusia pada hakikatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri (Notoatmojo, 2007). 4.2. Domain Perilaku Perilaku dalam konteks pendidikan kesehatan memiliki tiga ranah atau kawasan (domain), yaitu ranah pengetahuan (knowledge), ranah sikap (afektif),
Universitas Sumatera Utara
dan ranah keterampilan (psikomotor). Ranah perilaku ini dapat dijadikan sebagai indikator untuk mengidentifikasi atau mengamati perubahan yang terjadi di masyarakat.Benyamin Bloom membagi tiga ranah menjadi tiga tahap sebagai berikut: (1) enam tahap ranah kognitif, yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisa, sintesa, dan evaluasi, (2) empat tahap ranah afektif yaitu menerima, merespon, menghargai, dan bertanggung jawab, dan (3) empat tahap ranah psikomotor, yaitu persepsi, respon terpimpin, mekanisme, dan adopsi (Nurhidayah, 2010). Ranah kognitif berorientasi kepada kemampuan berpikir, mencakup kemampuan intelektual, yang paling sederhana yaitu mengingat, sampai dengan kemampuan untuk memecahkan suatu masalah (problem solving). Semakin tinggi tahapan dari ranah kognitif ini menunjukkan semakin sulitnya tingkat berpikir atau tuntutan berpikir sesorang. Ranah afektif yang berhubungan dengan perasaan, emosi, sistem nilai dan sikap hati (attitude) yang menunjukkan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu. Tahapan ranah afektif dari dari yang paling sederhana, yaitu memperhatikan fenomena sampai dengan yang kompleks yang merupakan faktor internal seseorang, seperti kepribadian dan hati nurani. Ranah psikomotor berorientasi pada keterampilan motorik yang Berhubungan dengan anggota tubuh, atau tindakan (action) yang memerlukan koordinasi antara saraf dan otot. Biasanya dihubungkan dengan kemampuan mengungkapkan pendapat, mendemonstrasikan kembali, serta hal-hal yang berhubungan dengan keterampilan teknis (Nurhidayah, 2010).
Universitas Sumatera Utara
5. Nyeri 5.1. Pengertian Nyeri Nyeri adalah pengalaman sensori dan emsional yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial (Brunner & Suddarth, 2003). Menurut Potter & Perry (2005), nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya. Sedangkan menurut pendapat Kozier dan Erb (1983) dalam Tamsuri (2007), nyeri adalah sensasi ketidaknyamanan yang dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan persepsi jiwa yang nyata, ancaman, dan fantasi luka.
5.2. Fisiologi Nyeri Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku. Cara yang paling baik untuk memahami pengalaman nyeri, akan membantu menjelaskan tiga komponen fisiologis berikut yakni: resepsi, persepsi, dan reaksi. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan implus melalui serabut saraf perifer. Serabut saraf memasuki medulla spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf dan akhirnya sampai di dalam massa berwarna abu-abu di medulla spinalis. Terdapat pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral.
Sekali
stimulus
mencapai
korteks
cerebral,
maka
otak
menginterpretasikan kualitas nyeri dan memproses informasi tentang pengalaman
Universitas Sumatera Utara
dan
pengetahuan
yang
lalu
serta
asosiasi
kebudayaan
dalam
upaya
mempersepsikan nyeri (Mc. Nair, 1990 dalam Potter dan Perry, 2005). 5.3. Klasifikasi Nyeri Menurut Asmadi (2008), Nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan berdasarkan pada tempat, sifat, berat dan ringannya nyeri, dan waktu lamanya serangan. Berdasarkan tempatnya nyeri dibedakan menjadi pheriperal pain, deep pain, refered pain, dan central pain. Pheriperal pain adalah nyeri yang terasa pada permukaan tubuh, misalnya kulit, dan mukosa. Deep pain adalah nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam atau pada organ-organ tubuh visceral. Refered pain adalah nyeri yang disebabkan karena penyakit organ/struktur dalam tubuh yang ditransimisikan ke bagian tubuh di daerah yang berbeda, bukan daerah asal nyeri. Central pain adalah nyeri yang terjadi karena perangsangan pada sistem saraf pusat, spinal cord, batang otak, thalamus, dan lain-lain. Berdasarkan sifatnya, nyeri dibedakan menjadi incidental pain, yaitu incidental pain, steady pain, dan paroxysmal pain. Incidental pain adalah nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang. Steady pain adalah nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam waktu yang lama. Paroxymal pain adalah nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap lebih kurang 10-15 menit, lalu menghilang, kemudian timbul lagi.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan berat ringannya nyeri dibedakan menjadi nyeri ringan, nyeri sedang, dan nyeri berat. Nyeri ringan adalah nyeri dengan intensitas rendah. Nyeri sedang adalah nyeri yang menimbulkan reaksi. Nyeri berat adalah nyeri dengan intensitas tinggi. Berdasarkan waktu lamanya serangan, nyeri dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik. Nyeri akut adalah nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat dan berakhir kurang dari enam bulan. Sumber dan daerah nyeri diketahui dengan jelas. Rasa nyeri mungkin sebagai akibat dari luka, seperti luka operasi, ataupun pada suatu penyakit arteriosklerosis pada arteri koroner. Nyeri kronis adalah nyeri yang dirasakan lebih dari enam bulan. Nyeri kronis ini polanya beragam dan berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Ragam pola tersebut ada yang nyeri timbul dengan periode yang diselingi interval bebas dari nyeri lalu timbul kembali, nyeri lagi, dan begitu seterusnya. Ada pula nyeri kronis yang konstan, yang artinya nyeri tingkat tersebut terus menerus terasa makin lama semakin meningkat intensitasnya walaupun telah diberikan pengobatan. Misalnya pada nyeri karena neoplasma (Asmadi, 2008). 5.4. Stimulasi Nyeri Ada beberapa jenis stimulus nyeri menurut Alimul (2006), diantaranya adalah: (1) Trauma pada jaringan tubuh, misalnya karena bedah (operasi) akibat terjadinya kerusakan jaringan dan iritasi secara langsung pada reseptor, (2) Gangguan pada jaringan tubuh, misalnya karena edema akibat terjadinya penekananpada reseptor nyeri, (3) Tumor, dapat juga menekan pada reseptor
Universitas Sumatera Utara
nyeri, (4) Iskemia pada jaringan, misalnya terjado blockade pada arteria koronaria yang menstimulasi reseptor nyeri akibat tertumpuknya asam laktat, (5) Spasme otot, dapat menstimulasi mekanik. 5.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri. Menurut Potter & Perry (2005), faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri terdiri atas usia, jenis kelamin, kebudayaan, makna nyeri, perhatian, dan ansietas. Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan, yang ditemukan di antara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak-anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri. Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalamia kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan (Potter&Perry, 2005). Jenis kelamin secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor budaya dan faktor biokimia. (Gil, 1990 dalam Potter & Perry, 2005). Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin. Misalnya, €menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama (Potter & Perry, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Budaya dan etnisitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang berespons terhadap nyeri, bagaimana nyeri diuraikan atau seseorang berperilaku dalam
berespons
terhadap
nyeri.
(Zatzick&Dimsdale,
1990
dalam
Brunner&Sudart, 2003). Menurut Calvillo & Flaskerud (1991) dalam Potter & Perry (2005), Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri. Riwayat sebelumnya berpengaruh terhadap persepsi seseorang tentang nyeri. Orang yang sudah mempunyai pengalaman tentang nyeri akan lebih siap menerima perasaan nyeri. Sehingga dia merasakan nyeri lebih ringan dari pengalaman pertamanya (Taylor, 1997 dalam Wardani, 2007). Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri., perhatian yang meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Konsep ini merupakan salah satu konsep yang digunakan dalam keperawatan (Gill 1990 dalam Potter&Perry, 2005). Ansietas pada umumnya akan meningkatkan nyeri, penggunaan rutin medikasi ansietas pada seseorang dengan nyeri dapat merusak kemampuan pasieen untul melakukan napas dalam. Secara umum, cara yang lebih efektif untuk menghilangkan nyeri adalh dengan mengarahkan pengobatan pada nyeri ketimbang ansietas (Smeltzer & Bare, 2001).
Universitas Sumatera Utara
5.6. Intensitas Nyeri Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007). Seseorang dalam mengekspresikan nyeri mereka hanya mampu menilai suatu intensitas nyeri secara akurat, dua jenis skala penilaian intenstas nyeri yang digunakan adalah skala verbal dan skala numerical (Suza, 2007).
5.7. Intensitas Pengukuran Nyeri Skala intensitas nyeri menurut Agency for Health Care Policy dan Research (AHCPR). Acute Pain Management: Operative or medical Prosedures and Trauma, 1992, dalam Brunner dan Suddart, 2001 terdiri atas tiga bentuk, yaitu: a. Skala Intensitas Nyeri Deskriptif
Universitas Sumatera Utara
Keterangan: Pada skala verbal : 0 = tidak nyeri, 1-3 = nyeri ringan, 4-6 = nyeri sedang, 7-9 = nyeri terkontrol, 10 = nyeri hebat tidak terkontrol. Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini juga sulit untuk dipastikan. Skala deskritif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS) merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri (Tamsuri, 2007).
b. Skala intensitas nyeri numerik
Universitas Sumatera Utara
Keterangan: 0 = tidak nyeri, 1-9 = nyeri sedang yang kriterianya dapat ditentukan, 10 = nyeri hebat tak tertahankan. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992 dalam Tamsuri, 2007).
c. Skala analog visual
Keterangan: 0 = tidak nyeri, 10 = nyeri sangat hebat. Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran
keparahan
nyeri
yang
lebih
sensitif
karena
klien
dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka. Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengkomsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya.
Universitas Sumatera Utara
Apabila klien dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskritif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji tingkat keparahan nyeri, tapi juga, mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan (Potter Perry, 2005).
5.8. Perilaku Nyeri 5.8.1. Pengertian Perilaku Nyeri Perilaku nyeri merupakan suatu aspek dari pengalaman nyeri. Ini merupakan perilaku jelas dan kelihatan seperti lemah atau ekspresi wajah yang meringis (Fordyce 1976 dalam Harahap 2007). Nyeri yang muncul sering ditandai dengan beberapa jenis perilaku dari kelihatan atau kedengaran yang ditafsirkan sebagai perilaku nyeri (Pilowski, 1994 dalam Harahap, 2007). Perilaku nyeri mungkin atau juga tidak mungkin dianggap sebagi kesesuaian untuk tingkatan dari ilmu penyakit tubuh yang diobservasi (Lofvander, 2002 dalam Harahap, 2007). Perilaku nyeri merupakan beberapa dan semua produksi-produksi dari individu yang mana observasi itu layak akan digolongkan sebagai nyeri yang berkesan seperti: (1) gerakan tubuh, (2) ekspresi wajah, (3) pernyataan verbal, (4) perebahan badan, (5) minum obat, (6) pencarian resep obat dan (7) menerima kerugian. Perilaku-perilaku nyeri adalah tindakan-tindakan yang berhubungan dengan ketidakmampuan (kecacatan) dan kegelisahan (contoh: kejang, lemas, aktivitas yang menurun) dan telah muncul untuk memainkan peranan penting di
Universitas Sumatera Utara
dalam penurunan fungsi dari tingkatan yang dimiliki individu dan menambah kondisi nyeri (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2007).. Perilaku nyeri merupakan tanda-tanda dari nyeri dan kekuatan dalam memperoleh perhatian dan respon dari yang lain. Anderson, Keefe, dan Bradkley dan kolega (1985) dalam Harahap (2007) telah mengobervasi bahwa pasien dengan penderita nyeri sering sekali menunjukkan penjagaan (guarding), menggosok pasif (passive rubbing) dan kekakuan (rigidity) sebagai ekspresiekspresi dari rasa nyeri mereka. Perilaku nyeri ini mungkin dipelihara, paling sedikit sebagian, oleh konsekuensi kekebelannya mungkin luar biasa, seperti perilaku rasa khawatir dari yang lain, atau fakta dari pengalaman menentang, seperti situasi pekerjaan yang tertekan atau konflik dengan kepentingan lainnya. 5.8.2. Jenis-jenis Perilaku Nyeri Perilaku nyeri kronis secara khusus berdasarkan atas dasar pikiran sekurang-kurangnya di bagi dua jenis yaitu: perilaku responden dan perilaku operant (Harahap, 2007). Perilaku responden merupakan salah satu jenis perilaku refleks sebagai respon terhadap stimulus yang datang (Kats, 1998 dalam Harahap, 2007) apakah individu itu menyadarinya atau tidak (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2007).
Stimulus yang muncul biasanya spesifik dan dapat diprediksi (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2007). Perilaku responden merupakan perilaku secara spontan. Ketika stimulus muncul dengan adekuat seperti stimulus nosiseptif, respon perilaku kemungkinan akan terjadi. Dalam perbandingan, ketika stimulus muncul tidak dengan adekuat, perilaku yang nampak tidak akan terjadi. Oleh karena itu,
Universitas Sumatera Utara
perilaku responden secara keras merupakan faktor-faktor dari stimuli (Harahap, 2007). Perilaku operant biasanya tidak berhubungan dengan spesifik respon terhadap stimulus (Kats, 1998 dalam Harahap, 2007). Ini akan muncul sebagai respon secara langsung dan otomatis terhadap stimulus yang muncul, sama juga sebagai perilaku responden. Tetapi perilaku operant mungkin muncul karena perilaku-perilaku tersebut telah diikuti dengan positif atau konsekuensi yang kuat (Fordyce, 1976 dalam Harahap, 2007). Perilaku operant sering kali tidak berhubungan dengan spesifik respon terhadap stimulus yang muncul (Kats, 1998 dalam Harahap, 2007).
5.8.3. Respon Perilaku Nyeri Respon perilaku yang timbul pada klien yang mengalami nyeri dapat bermacam-macam. Menurut Brunner dan Suddart (2003) bahwa, respon perilaku yang biasa terhadap nyeri mencakup: (1) Pernyataan verbal seperti mengaduh, menangis, sesak nafas, mendengkur, (2) Ekspresi wajah seperti meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir, (3) Gerakan tubuh
seperti gelisah,
imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan, (4) kontak dengan orang lain/interaksi sosial seperti menghindari percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus pada aktivitas menghilangkan nyeri. Dimensi perilaku nyeri mencakup berbagai perilaku yang dapat diamati berkaitan dengan rasa sakit dan bertindak sebagai sarana komunikasi dengan orang lain untuk menunjukkan bahwa pasien mengalami nyeri (Fordyce, 1976
Universitas Sumatera Utara
dalam Harahap 2007). Gambaran perilaku nyeri tersebut yaitu menjaga, menguatkan, meringis, keluhan verbal dan mencari pengobatan (Harahap, 2007). Individu yang mengalami nyeri dengan awitan mendadak dapat bereaksi sangat berbeda terhadap nyeri yang berlangsung selama beberapa menit atau menjadi kronis. Nyeri dapat menyebabkan keletihan dan membuat individu terlalu letih untuk merintih atau menangis. Pasien dapat tidur, bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap nyeri( Brunner&Suddart, 2001). Meinhart
&
McCaffery
(1983)
dalam
Potter
&
Perry
(2005)
mendiskripsikan 3 fase pengalaman nyeri, yaitu fase antisipasi, fase sensasi, dan fase akibat. Fase antisipasi terjadi sebelum nyeri diterima. Fase ini mungkin bukan merupakan fase yg paling penting, karena fase ini bisa mempengaruhi dua fase lain. Pada fase ini memungkinkan seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan nyeri tersebut. Peran perawat dalam fase ini sangat penting, terutama dalam memberikan informasi pada klien. Fase sensasi terjadi saat nyeri terasa. Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. karena nyeri itu bersifat subjektif, maka tiap orang dalam menyikapi nyeri juga berbeda-beda. Toleransi terhadap nyeri juga akan berbeda antara satu orang dengan orang lain. Orang yang mempunyai tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus kecil, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah akan mudah merasa nyeri dengan
Universitas Sumatera Utara
stimulus nyeri kecil. Klien dengan tingkat toleransi tinggi terhadap nyeri mampu menahan nyeri tanpa bantuan, sebaliknya orang yang toleransi terhadap nyerinya rendah sudah mencari upaya mencegah nyeri, sebelum nyeri datang. Fase akibat terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang. Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrol dari perawat, karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat menjadi masalah kesehatan yang berat. Perawat berperan dalam membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa takut akan kemungkinan nyeri berulang.
5.8.4. Perilaku Nyeri Rheumatoid Arthritis Rheumatoid arthritis menyediakan model yang sangat baik untuk mempelajari variasi dalam perilaku nyeri. Rheumatoid arthritis menyebabkan timbulnya rasa sakit, kelemahan, dan berhubungan dengan berbagai perilaku nyeri yang dapat dikodekan secara handal dan valid. Selain itu, ada bukti bahwa pasien dengan rheumatoid arthritis sangat bervariasi dalam cara mereka mengekspresikan perilaku nyeri (Waters, 2008). Perilaku nyeri rheumatoid arthritis yang dapat diperiksa yaitu, terjaga (guarding), menahan nyeri (bracing), menggosok bagian yang nyeri (active rubbing), meringis (grimacing), mendesah (sighing), dan kekakuan (rigidity) (Waters, 2008).
Universitas Sumatera Utara