ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Corynebacterium diphtheriae Corynebacterium diphtheriae adalah bakteri yang berbentuk batang (basil) berukuran panjang 1 sampai 8 µm dengan diameter 0,5 sampai 1 µm. Bakteri Corynebacterium diphtheriae termasuk bakteri yang patogen penyebab infeksi difteri, yang ditemukan pertama kali oleh Edwin Klebs dan Friedrich Loffler. Bakteri Difteri digolongkan bakteri Gram positip yang anaerobik fakultatif, ditandai dengan tidak berkapsul, tidak berspora dan tidak bergerak. Pada kultur, koloni bakteri akan beerhubungan satu sama lain dan membentuk seperti huruf China (Jawetz, 2008).
Gambar 2.1 Sel bakteri Corynebacterium diphtheriae dengan pewarnaan polikromatik granula. Sumber: Todar (2002).
Bakteri Corynebacterium diphtheriae memiliki kekhasan dengan bentuk “gada” yang terdiri dari granula, granula merupakan bahan cadangan sumber karbon yang disimpan dalam bentuk polimer netral dengan osmotik lambat yang suatu saat
Disertasi
KARAKTERISASI MOLEKUL PROTEIN FIMBRIA Corynebacterium diphtheria SEBAGAI KANDIDAT BAHAN DIAGNOSTIK Penelitian Diskriptif Laboratorik
Waras Budiman
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
dapat diubah menjadi polimer glukosa dan glikogen. Granula tersebut digunakan sebagai sumber karbon ketika sintesis asam nukleat dan protein dimulai kembali. Granula tersebut dapat terletak tidak teratur pada batang tetapi sering dijumpai terletak dekat kutub. Pada agar darah koloni yang terlihat berbentuk kecil, granular, dan berwarna abu-abu, dengan tepi tidak beraturan. Difteri dapat tumbuh pada suasana fakultatif anaerob tetapi pertumbuhan yang paling baik adalah pada suasana aerob. Pada agar yang mengandung kalium telurit, media ini digunakan sebagai media isolasi primer bagi bakteri Difteri disamping sebagai media yang menghambat bakteri lain yang bersifat kontaminan. Koloni yang tumbuh terlihat berwarna coklat sampai kehitaman karena telurit direduksi secara intraseluler. Bakteri C._diphtheriae memiliki beberapa biotipe yaitu gravis, mitis, dan intermidius. Koloni dari tipe gravis berukuran besar, permukaan rata, dan berwarna keabuan sampai hitam, koloni tipe mitis berukuran lebih kecil dari tipe gravis lebih hitam, mengkilat dan lebih konveks sedangkan tipe intermedius koloninya berukuran paling kecil diantara kedua tipe sebelumnya dengan permukaan koloni halus sampai kasar. Varian tersebut digolongkan berdasarkan ciri khas pertumbuhan bakteri pada media pertumbuhan, seperti morfologi, koloni, reaksi biokimia,
serta keparahan penyakit yang
ditimbulkan akibat infeksi bakteri tersebut. Bakteri Corynebacterium diphtheriae cenderung pleomorfik pada morfologis mikroskopis dan kolonial (Todar, 2002).
2.2 Biotipe Difteri Difteri adalah suatu penyakit infeksi yang bersifat lokal pada membran mukosa atau kulit yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae, pada lokasi infeksi dapat dijumpai adanya lapisan tipis (pseudomembran) yang merupakan karakteristik infeksi pada Difteri (Parwati, 2006). Bakteri Corynebacterium diphtheriae adalah kuman yang bersifat toksigenik yaitu kuman yang mampu
Disertasi
KARAKTERISASI MOLEKUL PROTEIN FIMBRIA Corynebacterium diphtheria SEBAGAI KANDIDAT BAHAN DIAGNOSTIK Penelitian Diskriptif Laboratorik
Waras Budiman
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
menguraikan eksotoksin dengan akibat timbulnya penyakit difteri. Toksin yang dihasilkan kuman Difteri dapat dipengaruhi oleh kadar zat besi (Fe) dan profaga pada kromosom bakteri yang didapatkan melalui siklus lisogenik (Rusmana, 2006). Bakteri Corynebacterium diphtheriae, berdasarkan beratnya penyakit yang ditimbulkan, dapat dibedakan menjadi tiga biotipe, yaitu gravis, mitis dan intermedius. Pada ketiga biotipe ini terdapat strain toksigenik dan nontoksigenik. Difteri faring atau kulit disebabkan oleh strain toksinigenik (Efstratiou and Maple, 1994). Toksin Difteri, faktor virulensi utama yang dihasilkan oleh Corynebacterium diphtheriae adalah molekul protein dengan berat molekul 396 kDa. Protein terdiri dari dua domain fungsional, yang, enzimatik aktif amino-terminal atau domain A dan receptor-binding, carboxyl-terminal atau domain B. Ini adalah toksin bakteri yang sangat kuat dengan dosis mematikan minimal kurang dari 0,1 g/kg berat badan (Pappenheimer, 1993). Toksin adalah zat racun yang dibentuk dan dikeluarkan oleh organisme penyebab
kerusakan radikal dalam struktur atau faal, merusak total hidup atau
keefektifan organisma. Toksin yang diproduksi menjadi optimal pada 0.14 µg besi permililiter medium terapi yang dapat mengakibatkan supresi produksi toksin sebesar 0.5 µg/ml (Jawetz, 2008), beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi produksi toksin secara in vitro adalah adanya tekanan osmotik, konsentrasi asam amino, pH dan tersedianya sumber nitrogen dan karbon yang sesuai. Produksi toksin oleh gen tox diatur oleh suatu mekanisme kontrol negatip dimana molekul repressor, yaitu produk dari gen dtxR, diaktifkan oleh Fe. Molekul represor yang aktif akan mengikat gen tox pada posisi operator kemudian menghambat transkripsi gen tersebut. Bila Fe dihilangkan dari molekul represor maka terjadilah depresi, molekul represor menjadi inaktif dan transkripsi gen tox berjalan. Fe dianggap sebagai korepresor karena dibutuhkan proses represi dari gen tox (Rusmana, 2006).
Disertasi
KARAKTERISASI MOLEKUL PROTEIN FIMBRIA Corynebacterium diphtheria SEBAGAI KANDIDAT BAHAN DIAGNOSTIK Penelitian Diskriptif Laboratorik
Waras Budiman
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Strain Corynebacterium diphtheriae yang mengalami siklus lisogenik dengan β-faga spesifik dapat menghasilkan toksin difteri. Faga mengandung gen struktural untuk membentuk molekul toksin. Toksin difteri labil terhadap panas bersifat letal pada dosis 0.1 µg/kg. Toksin difteri diproses melalui dua tahapan, pertama hasil translasi dari toksin difteri akan disekresikan melalui membran sitoplasma ke cairan ekstraseluler, menghasilkan suatu polipeptida yang memiliki berat 396 kDa. Tahap berikutnya polipeptida yang terjadi akibat proses tahap sebelumnya dilakukan pemutusan oleh enzim proteolitik yang disebut proses digesti yang dilakukan oleh enzim tripsin menjadi rantai A dan rantai B yang dihubungkan oleh ikatan disulfida ( Rusmana, 2006). Struktur molekul toksin difteri menunjukkan tiga domain yang berbeda yang setiap domainnya mempunyai fungsi seperti R untuk daerah fungsional reseptor, T pada daerah funsional translokasi, dan C pada daerah fungsional katalitik dari toksin tersebut. Domain C terdapat pada rantai A sedangkan domain R dan T didapatkan pada rantai B (Todar, 2002). Lebih lanjut dinyatakan, bahwa rantai A dari toksin difteri berperan pada inaktivasi denaturasi protein di dalam sel sedangkan rantai B berfungsi untuk mengikat reseptor spesifik dari membran sel dan mentransfer enzim melewati membran sel tersebut. Tahapan toksin difteri memasuki sel sampai menginaktivasi sel eukaryotik, pertama melalui mekanisme pemasukan secara langsung dimana rantai B dari toksin Difteri mengikat reseptor spesifik dari target sel kemudian menginduksi sampai kedalam membran dinding sel untuk memberikan waktu rantai A menembus dan melewati dinding sel menuju sitoplasma sel. Mekanisme lain yaitu toksin yang terikat pada sel target yang selanjutnya memberikan kesempatan struktur fragment toksin A dan B dapat masuk kedalam sel melalui proses receptor mediated endocytosis (RME). Toksin secara internal yang berada dalam sel diselimuti oleh membran yang disebut endosom. Ion H+ yang masuk kedalam endosom mempunyai pH yang rendah sehingga dapat memisahkan subunit A+B menjadi terpisah. Subunit B berpengaruh terhadap keluarnya subunit A dari
Disertasi
KARAKTERISASI MOLEKUL PROTEIN FIMBRIA Corynebacterium diphtheria SEBAGAI KANDIDAT BAHAN DIAGNOSTIK Penelitian Diskriptif Laboratorik
Waras Budiman
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
endosom yang nantinya akan menuju sitoplasma sel dan selanjutnya menuju organ yang menjadai target utamanya sedangkan subunit B kembali ke endosom dan mengalami resiklus ke permukaan sel. Dari kedua mekanisme tersebut diketahui bahwa molekul protein besar yang masuk harus melewati suatu membran lipid bilayer baik yang terdapat pada membran sel maupun membran endosom. Aktifitas tersebut adalah merupakan refleksi toksin difteri yang dapat menghasilkan protein yang dapat dimasukkan kedalam lipid bilayer buatan dan mampu membuat jalur ion permeabel, jika subunit B mengandung bagian yang bersifat hidrofobik yang masuk melalui membran mengalami translokasi domain pada toksin. Pada toksin difteri diketahui bahwa toksin tersebut berfungsi sebagai protein yang dapat langsung menuju sitoplasma dan sebagai perantara untuk masuknya fragmen subunit A toksin difteri kedalam sitoplasma sel host.
Gambar 2.2 Rantai polipeptida pada toksin difteri. Bagian A yang berwarna merah berfungsi sebagai katalisis domain, bagaian B yang berwarna kuning berfungsi sebagai domain pengikat pada dinding sel, dan bagai T yang berwarna biru sebagai domain hidrofobik yang dapat melakukan penetrasi kedalam membran endosom. Sumber: Todar (2002).
Disertasi
KARAKTERISASI MOLEKUL PROTEIN FIMBRIA Corynebacterium diphtheria SEBAGAI KANDIDAT BAHAN DIAGNOSTIK Penelitian Diskriptif Laboratorik
Waras Budiman
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
2.3 Protein Permukaan Dinding Sel Corynebacterium diphtheriae Selain protein eksotoksin yang diproduksi oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae, protein lain yang diproduksi oleh bakteri tersebut adalah protein yang berasal dari bagian permukaan dinding sel yang disebut pili atau fimbria. Fimbria berfungsi sebagai alat atau bagian dari bakteri untuk mempertinggi perlekatan sel bakteri terhadap sel epitel. Perlekatan bakteri terhadap permukaan epitel menjadi satu hal terpenting sebagai faktor virulensi. Proses ini memainkan peranan penting sebagi proses awal infeksi, melalui protein fimbria tersebut, bakteri Corynebacterium diphtheriae
mempunyai kemampuan untuk melakukan hemaglutinasi eritrosit.
Hemaglutinasi dapat digunakan sebagai indikator kemampuan bakteri Difteri untuk melakukan penempelan pada membran sel eukaryotik. Adanya pili (fimbria) dapat dikaitkan terhadap aktivitas hemaglutinasi pada strain tertentu bakteri Difteri.
2.4 Protein Fimbria Sel Corynebacterium diphtheriae Sebagai organel yang merupakan bagian dari permukaan dinding sel bakteri C._diphtheriae yang terdiri dari subunit protein struktural, disebut sebagai pili (pilin). Bakteri C._diphtheriae menghasilkan tiga struktur pili yang berbeda, SpaA, SpaD-dan SpaH-jenis pili. Jenis lain yang sama seperti struktur tersebut adalah pili SpaB dan SpaC yang terletak di dasar pada setiap ujung struktur pili. Pili
kecil
mengikat
SpaB
bakteri
atau
ke
sel
SpaC
sangat
pharyngeal
penting
untuk
dan
dengan
manusia,
demikian mewakili adhesif utama corynebacteria. Seperti pili pada beberapa bakteri Gram positif, langkah,
penyusunan dimana
pili
pili corynebacteria terjadi dengan mekanisme dua yang
kovalen
dipolimerisasi
enzim transpeptidase bernama Pili spesifik sortase dan pili yang dari
oleh
dihasilkan
polimerisasi tersebut kemudian menuju ke dinding sel yang terdiri
dari peptidoglikan melalui pili dasar yang dibantu oleh sortase non-polimerisasi. Beberapa pili mengandung satu jenis pilin sedangkan pili lainnya tersusun atas
Disertasi
KARAKTERISASI MOLEKUL PROTEIN FIMBRIA Corynebacterium diphtheria SEBAGAI KANDIDAT BAHAN DIAGNOSTIK Penelitian Diskriptif Laboratorik
Waras Budiman
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
beberapa enzim
jenis sortase.
pilin. Keluarnya
pili sortase
dihasilkan dimediasi
oleh oleh
mekanisme subunit
pilin.
Sortase adalah transpeptidase sistein yang dimiliki oleh genom semua bakteri Grampositif.
Sortase memotong prekursor pilin pada LPXTG yang terletak
di antara treonin dan glisin selanjutnya tether pada kelompok karboksil treonin yang merupakan prekursor protein menuju gugus amino dari dinding sel yang merupakan perlintasan
jembatan
dalam
prekursor
II
lipid,
atau
gugus
amino dari motif Pilin digabungkan dalam prekursor permukaan protein. Reaksi pemb entukan serat pili pada permukaan bakteri terjadi oleh karena sortase memutuskan prekursor pilin dengan LPXTG diantara treonin dan glisin dan selanjutnya hasil dari pemutusan tersebut didapatkan karboksil treonin. Fungsi pili ini dapat menyebabkan bakteri dapat melekat pada sel lain. Molekul pilin tersusun secara heliks untuk membuat suatu silinder lurus yang tidak berotasi dan tidak tidak memiliki badan basal yang sempurna (Rogers, 2011). Virulensi bakteri Corynebacterium diphtheriae tidak hanya bergantung pada produksi toksinnya tetapi juga protein yang dihasilkan dari pili atau fimbria yang disebut antigen kolonisasi sehingga sel bakteri mampu melekatkan diri pada sel yang lain, kemampuan melekatkan diri ini sangat penting untuk membentuk kolonisasi sel pada permukaan epitel sel target. Protein yang diproduksi oleh fimbria setelah terbentuk kolonisasi dapat berikatan dengan reseptor sel epitel dan dapat berinvasi ke dalam sel.
Disertasi
KARAKTERISASI MOLEKUL PROTEIN FIMBRIA Corynebacterium diphtheria SEBAGAI KANDIDAT BAHAN DIAGNOSTIK Penelitian Diskriptif Laboratorik
Waras Budiman
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
Gambar 2.3 Fimbria bakteri Corynebacterium diphtheriae yang terdiri dari pili yang dibentuk dari SpA, SpB dan SpC. 2.5 Respons Imun Terhadap Corynebacterium diphtheriae Pada umumnya mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuh manusia selalu melewati membran mukosa, oleh karena itu lapisan permukaan mukosa sebenarnya adalah pertahanan tubuh yang paling depan untuk menghadapi masuknya mikroorganisme. Pertahanan tubuh pada mukosa akan melibatkan dua mekanisme imun yaitu imun alamiah dan adaptif imun. Imunitas alamiah berfungsi untuk menghambat masuknya mikroorganisme secara non spesifik sedangkan imunitas adaptif berfungsi lebih lanjut terhadap mikroorganisme secara spesifik, hal ini terjadi karena sistem imun adaptif memiliki kemampuan memori dan selama fungsinya untuk melawan serta menghambat antigen yang menyebar dalam tubuh manusia maka imunitas yang dilakukan harus segera dan secepatnya untuk dapat mengeliminasi antigen tersebut bila dibandingkan pada awal masuknya antigen ke dalam tubuh. Sistem imun lokal merupakan variasi pertahanan tubuh pada lapisan permukaan mukosa yang telah dikethui cara kerjanya yaitu sebagai komunikator dengan membantu limfosit yang berada di sirkulasi darah melakukan migrasi dari satu tempat ke tempat lainnya untuk selanjutnya bergabung dengan sistem imun mukosal yang ada yang disebut Common Mucosal Immune System (CMIS). Respons imun
Disertasi
KARAKTERISASI MOLEKUL PROTEIN FIMBRIA Corynebacterium diphtheria SEBAGAI KANDIDAT BAHAN DIAGNOSTIK Penelitian Diskriptif Laboratorik
Waras Budiman
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
diinduksi dan dilakukan oleh dua kelompok sel yaitu limfosit dan Antigen Presenting Cell (APC), limfosit adalah bagian dari sel darah putih yang dihasilkan oleh sumsum tulang belakang (bone marrow), limfosit tersebut memiliki struktur yang disebut antigen binding cell pada reseptor di permukaan dan dapat disajikan pada limfosit T dan limfosit B. Diketahui limfosit T yang terdapat dalam tubuh terdiri dari sel T helper (Th) dan sel pembunuh atau sel T sitotoksik (Tc), kedua sel tersebut memiliki reseptor yang mampu mengenali substansi asing yang dipresentasikan oleh molekul Major Histocompatibility Complex (MHC). Sel Tc dan Th dapat dijumpai melalui ekspresi oleh CD4 dan CD8 molekul membran pada sel T. Sel Th dengan ekspresi CD 4+ dapat mengenal antigen yang dipresentasikan oleh molekul MHC kelas II dan sel Tc dengan ekspresi CD 8+ dapat mengenal antigen yang dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I. Molekul MHC kelas I sering dijumpai di inti sel dalam tubuh, sementara itu molekul MHC kelas II diekspresikan terutama pada APC seperti misalnya makrofag, sel dendrit, atau sel B yang muncul disaat antigen mengalami pemrosesan oleh sel Th. Ketika sel Th mengenali dan melakukan interaksi dengan antigen MHC kelas II kompleks, sel T diaktivasi dan ditransformasi kedalam sel efektor melalui sekresi sitokin yaitu protein tertentu yang dapat berfungsi sebagai faktor pertumbuhan. Sitokin ikut membantu interaksi tertentu sehingga dapat mempengaruhi sel T ataupun sel B dengan keadaan yang sama seperti aktivasi oleh makrofag dan sel imunokompeten yang lain. Sel limfosit B sangat berperan sebagai imunitas humoral yaitu sistem pertahanan tubuh melawan bakteri atau infeksi virus yang sebelumnya sudah pernah masuk ke dalam tubuh, pada umumnya bakteri atau virus yang masuk tersebut adalah patogen sehingga sel B akan mengalami proliferasi dan pendewasaan di dalam sel plasma dan selanjutnya akan diproduksi antigen binding imunoglobulin (antibodi)
yang
keberadaannya didalam
sirkulasi didalam darah terdapat di serum yaitu bagian cair dari darah. Antibodi tersebut
Disertasi
KARAKTERISASI MOLEKUL PROTEIN FIMBRIA Corynebacterium diphtheria SEBAGAI KANDIDAT BAHAN DIAGNOSTIK Penelitian Diskriptif Laboratorik
Waras Budiman
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
juga mendukung beberapa aktivasi sel B menjadi sel memori yang dapat mengingat bakteri atau virus patogen yang masuk kembali kedalam tubuh dalam waktu yang lama guna mengantisipasi dan selanjutnya mengeliminasi bakteri atau virus tersebut sebagai pertahanan yang masih efektif meskipun sudah berlangsung tahunan setelah kontak pertama dengan bakteri atau virus patogen tersebut. Sebelum protein antigen dikenali oleh sel T maka sebelumnya antigen tersebut akan didegradasi menjadi peptida antigenik yang berukuran lebih kecil. Proses ini disebut pemrosesan antigen dan presentasi antigen yang sudah diproses ke sel T. Antigen eksogen diproduksi di luar sel host kemudian masuk kedalam sel melalui endositosis atau fagositosis. Sel makrofag, sel dendrit, maupun sel limfosit B sebagai sel yang berfungsi sebagai APC akan mendegradasi menjadi fragmen peptida dan selanjutnya mempresentasikannya ke MHC kelas II, sedangkan antigen endogen dihasilkan oleh sel host itu sendiri. Sebagai contoh yang paling sering dijumpai adalah sintesa protein virus oleh sel yang diinfeksi oleh virus tersebut dan alternatif lain pada protein self pada sel yang berkembang menjadi kanker, disamping itu antigen endogen juga dapat didegradasi menjadi fragmen peptida oleh proteosom yang berada di dalam cytosol dan selanjutnya ditranspotasikan kedalam retikulum endoplasma dan selanjutnya dipresentasikan pada permukaan sel bersama MHC kelas I.
2.6 Karakter Protein Corynebacterium diphtheriae Schiffler et al. (2007) telah melakukan analisis protein dengan teknik SDS-PAGE terhadap fraksi cell wall membran sitoplasmik dan sitosol kuman Corynebacterium diphtheriae, dinyatakan bahwa pita 5 kDa tampak seperti channel-forming monomer sebagai kasus untuk PorA dari C. glutamicum. Hal ini dikonfirmasi dengan tricine SDSPAGE dari protein 5 kDa
yang dielusi dari gel preparasi SDS-PAGE yang
menunjukkan oligomer dari protein channel forming menunjukkan massa molekuler
Disertasi
KARAKTERISASI MOLEKUL PROTEIN FIMBRIA Corynebacterium diphtheria SEBAGAI KANDIDAT BAHAN DIAGNOSTIK Penelitian Diskriptif Laboratorik
Waras Budiman
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
berkisar 66 kDa. Hal ini menunjukkan situasi dalam C. glutamicum konsisten, dimana porA dan porH juga bentuk oligomer. Untuk mendeteksi hubungan antara peptida massa molekuler rendah yang terdapat pada cell wall C. glutamicum (Lichtinger et al., 2001)
dengan protein
channel forming 5 kDa dari Corynebacterium diphtheriae dilakukan karakterisasi dengan teknik western blot menggunakan antibodi poliklonal terhadap C. glutamicum. Ditemukan tampak reaksi silang kuat dari antibodi dengan protein channel forming 5 kDa Corynebacterium diphtheriae yang sebagai oligomer, hal ini mengindikasikan keberadaan epitop imunodominan yang tinggi.
2.7 Susunan Genomik dan Pathogenisitas Corynebacterium diphtheria Pada tahun 2003,
sekuen nukleotida genom NCTC13129 (setara dengan
ATCC 700971, yang disebut sebagai strain referensi) dan 13 pathogenicity islands (PAIs) putatif yang ditampilkan dalam (Cerdeño-Târraga et al., 2003). PAIs termasuk tox (determinan genetik untuk toksin difteri) Corynebacteriophages, gen sortase (srtA ke-E, gen Pilin spaA ke-G (Mandlik et al., 2007). Iwaki et al. (2010), mendokumentasikan kasus dua orang terinfeksi strain C7 (-) dan menunjukan gejala klinis khas difteri, seperti sakit tenggorokan dan pembentukan pseudomembran. Strain ini masih penting dalam analisis molekuler dari bakteri (Bibb et al., 2007). Namun, informasi dari urutan referensi genom belum sepenuhnya terintegrasi dengan hasil penelitian lain, kecuali pendekatan proteomik dari Hansmeier dan rekannya (Hansmeier et al., 2006). Strain Park-Williams no. 8 (PW8), awalnya diisolasi dari kasus difteri sangat ringan selama tahun 1890 (Park, 1896), telah banyak digunakan untuk produksi vaksin toksoid karena kemampuan yang besar untuk mengeluarkan toksin difteri ke dalam kultur supernatan (Park and Williams in: Iwaki et al., 2010). PW8 secara efektif hanya digunakan untuk produksi vaksin, pentingnya dalam kesehatan
Disertasi
KARAKTERISASI MOLEKUL PROTEIN FIMBRIA Corynebacterium diphtheria SEBAGAI KANDIDAT BAHAN DIAGNOSTIK Penelitian Diskriptif Laboratorik
Waras Budiman
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
masyarakat dan industri vaksin adalah tak tertandingi. Meskipun aktivitas toksin yang diproduksi tinggi, strain PW8 telah dianggap sebagai avirulen, karena sesuai kenyataan bahwa selama lebih dari 20 tahun penelitian tidak menunjukkan kenaikan titer antibodi yang terdeteksi dalam serum (Lampidis dan Barksdale in: Iwaki et al., 2010). Strain toksin dari Corynebacterium diphtheriae menghasilkan protein toksin ekstraseluler yang ampuh, yaitu toksin difteri (Iwaki et al., 2010). Iwaki juga menyampaikan bahwa Toksin ini diakui sebagai faktor virulensi utama dari bakteri dan telah digunakan untuk vaksin toksoid dengan sukses yang luar biasa. Cara kerja dari toksin ini telah dipelajari secara ekstensif. Berbeda dengan penelitian dan penerapan yang melibatkan toksin difteri, pemahaman kita tentang faktor-faktor lain dan mekanisme yang mendasari infeksi Corynebacterium diphtheriae sebagian besar masih kurang. Namun demikian, system pada beberapa percobaan telah dibangun untuk mengklarifikasi mekanisme, in vitro menggunakan Hep-2 dan sel Detroit 562 sedangkan in vivo menggunakan kelinci dan babi.
2.8 Penyakit Difteri di Jawa Timur Penyakit difteri di Jawa Timur mempunyai kecenderungan kejadian yang meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur (2012), Tahun 2003 terjadi 5 kasus, Tahun 2004 terjadi 15 kasus, Tahun 2005 terjadi 33kasus, Tahun 2006 terjadi 43 kasus, Tahun 2007 terjadi 86 kasus, Tahun 2008 terjadi 77 kasus dengan kejadian kematian 11 kasus, Tahun 2009 terjadi 140 kasus dengan kejadian kematian 8 kasus, tahun 2010 terjadi 304 kasus dengan kejadian kematian 21 kasus dan sampai dengan 9 Oktober 2011 terjadi 333 kasus dengan kejadian kematian 11 kasus. Daerah penyebarannya juga mengalami perluasan hingga mencapai 34 kabupaten Peningkatan yang sangat bermakna terjadi
Disertasi
KARAKTERISASI MOLEKUL PROTEIN FIMBRIA Corynebacterium diphtheria SEBAGAI KANDIDAT BAHAN DIAGNOSTIK Penelitian Diskriptif Laboratorik
Waras Budiman
ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga
sejak tahun 2005 dan tahun 2009 dan 2010. Diperkirakan tahun 2011 kasus Diphteri mencapai > 500 kasus bila tidak ada tindakan intervensi secara menyeluruh. Sampai dengan 9 Oktober 2011 telah dilaporkan sebanyak 333 kasus yang tersebar di 34 Kab /Kota di Jawa Timur. Peningkatan masalah difteri terjadi juga pada jumlah kematiannya, kematian cukup tinggi terjadi pada tahun 2010 dengan 21 kematian dari 304 kasus kesakitan. Peningkatan jumlah kematian yang signifikan pada periode Januari s/d 10 Juni 2010 (103 kasus, 7 meninggal, CFR : 7%) dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2009 (63 kasus, 3 meninggal, CFR : 4,8%), Tahun 2010 (CFR : 7%) dan Tahun 2011 (CFR : 3.3%) Peningkatan kasus difteri di Jawa Timur seperti ini dikategorikan sebagai re-emerging disease. Dengan peningkatan yang sangat signifikan tersebut maka kasus penyakit difteri hingga saat ini harus ditangani dengan cermat dan membutuhkan kerjasama secara keseluruhan bidang sehingga dengan kecepatan penanganan tersebut diharapkan angka kejadian kematian dan persentase CFR dapat diturunkan.
Gambar 2.4 Distribusi kondisi luar biasa penyakit difteri di Jawa Timur dari tahun 2000 sampai dengan 2011. Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur (2012).
Disertasi
KARAKTERISASI MOLEKUL PROTEIN FIMBRIA Corynebacterium diphtheria SEBAGAI KANDIDAT BAHAN DIAGNOSTIK Penelitian Diskriptif Laboratorik
Waras Budiman