BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1
Amplifier Suatu rangkaian elektronik yang menggunakan komponen aktif, dimana suatu input mengendalikan suatu sumber daya untuk menghasilkan output yang dapat digunakan disebut electronic amplifier. Suatu amplifier yang dirancang untuk memberikan penguatan tegangan dan arus secara signifikan disebut power amplifier. (Schuler, 1995, p133)
2.1.1
Linear Amplifier Yang dimaksud dengan linear amplifier adalah dimana sinyal output merupakan replika dari sinyal input-nya. Sebagai contohnya, jika sinyal input merupakan sinusoidal, maka sinyal output dari amplifier juga merupakan sinusoidal. Kegunaan dari linear amplifier adalah untuk memperbesar amplitudo dari sinyal input. Pada Linear amplifier, transistornya bekerja pada daerah antara saturasi dan cut-off. (Schuler, 1995, p133-134)
2.1.2
Non Linear / Switching Amplifier Pada Switching amplifier, transistornya bekerja pada keadaan saturasi atau cut-off. Untuk memperoleh tegangan output yang diinginkan, digunakan teknik lebar pulsa atau dikenal dengan istilah Pulse Width
6
pengaturan
Modulation (PWM). Sinyal PWM ini kemudian dilewatkan pada suatu filter pasif LC yang akan melakukan fungsi demodulasi sinyal PWM. Pada penguat daya kelas D output transistor hanya berupa tegangan ON dan OFF saja. Transistornya bekerja dalam keadaan sepenuhnya ON (saturasi) atau sepenuhnya OFF, maka secara teoritis tidak akan terjadi disipasi daya. Pada keadaan cut-off, tidak ada arus yang mengalir, sedangkan pada keadaan saturasi, tidak ada tegangan jatuh pada transistor. Begitu juga dengan filter LC secara ideal tidak akan menimbulkan disipasi daya. Maka idealnya penguat kelas D ini memiliki tingkat efisiensi sebesar 100 %. Namun pada praktisnya karena ketidak-idealan komponen switching, dan resistansi induktor maka efisiensinya tidak 100 %. Cara kerja switching amplifier dapat dianalogikan dengan implementasi sederhana dari Buck (step down) Converter.
Vi
Gambar 2.1 Rangkaian Buck Converter
Pada rangkaian Buck Converter, Bipolar Juntion Transistor (BJT) di switch antara keadaan on dan off-nya oleh sinyal kontrol (duty ratio) untuk memastikan tegangan output berada pada tingkat yang diinginkan. Hubungan antara output rata-rata untuk Buck
7
Converter ideal (asumsi tidak ada resistansi dan switch-nya ideal) dengan tegangan input dapat dihitung berdasarkan duty ratio switch-nya dengan rumus : (Franco, 1998, p544)
VOn =
t ON ⋅ Vcc = D ⋅ Vcc T
(2.1)
Dimana :
2.2
Von
:
Tegangan output
ton
:
Lamanya transistor ON
T
:
Periode switching
Vcc
:
Tegangan supply
D
:
Duty ratio / Duty Cycle
EPROM (Erasable Programable Read Only Memory) EPROM merupakan salah satu jenis ROM (Read Only Memory) yang dapat diprogram. Untuk menghapus isi dari EPROM digunakan sinar ultraviolet (UV). EPROM memiliki 2 buah sinyal kontrol yaitu CS (Chip Select) dan OE (Output Enable). Sinyal CS berfungsi untuk mengaktifkan chip ini sedangkan sinyal OE berfungsi untuk memberi perintah membaca data. Kedua sinyal ini active low, artinya kedua sinyal ini baru akan berkerja saat mendapat nilai low (0).
2.3
Noise Shaping (Konversi Sigma – Delta) Metode konversi Sigma – Delta banyak digunakan dalam produk digital audio. Sebagai contoh, dalam aplikasi A/D (Analog to Digital Conversion) teknik ini sangat
8
kompetitif karena meniadakan kebutuhan filter brick-wall untuk anti aliasing. Telah terdapat banyak arsitektur A/D dan D/A menggunakan teknik sigma-delta dengan beragam algoritma dan orde noise shaping. Pada modulasi PCM (Pulse Code Modulation) sinyal dicuplik dan dikuantisasi ke dalam suatu nilai diskrit. Error (noise) kuantisasi akan tersebar merata di dalam daerah frekuensi Nyquist antara 0 (nol) dan fs / 2 dimana fs adalah frekuensi sampling. Suatu sistem sigma-delta akan mengkuantisasi selisih (delta) antara sinyal saat ini dengan jumlah (sigma) dari selisih sebelumnya. Hasilnya noise pada frekuensi rendah berkurang, namun pada frekuensi tinggi bertambah. Dengan kata lain noise kuantisasi di daerah frekuensi rendah dipindahkan ke daerah frekuensi tinggi. Pemindahan noise ini dikenal dengan istilah noise shaping. Pada Gambar 2.2, terlihat bahwa noise pada frekuensi fa / 6 sama dengan noise level tanpa noise shaping. Untuk mendapatkan keuntungan dari noise shaping maka frekuensi oversampling (fa) harus cukup besar agar bandwidth audio (fs / 2) berada di bawah fa / 6 dengan demikian barulah dapat dikatakan bahwa noise shaping mengurangi noise kuantisasi dalam bandwidth audio. Gambar 2.3 memperlihatkan perbedaan orde pada noise shaping. (Pohlmann, 2000, p645-651)
9
Noise level
Noise kuantisasi dengan noise shaping Noise kuantisasi Tanpa noise shaping
Maximum noise level dalam bandwidth audio
fa : frekuensi oversampling fs : frekuensi sampling fs/2
fa/6
fa/2
frequency
Gambar 2.2 Grafik Noise Level terhadap frekuensi
Noise level
noise shaping orde 2 noise shaping orde 1
fs/2
Noise kuantisasi Tanpa noise shaping
fa/6
fa/2
frequency
Gambar 2.3 Perbandingan orde Noise Shaping
Seperti yang terlihat pada grafik Gambar 2.2 maupun Gambar 2.3, noise level pada frekuensi di atas fa / 6 meningkat, namun noise ini dapat dengan mudah dihilangkan menggunakan LPF sederhana dengan frekuensi cut-off sedikit di atas fs / 2.Signal-to-error ratio (signal to quantization noise ratio) untuk sinyal PCM dengan amplitudo maksimum dihitung dengan rumus (Tanpa Noise Shaper) : S / E (dB) = 6,02 (N) + 1,25 dB
10
(2.2)
Dimana : S/E :
signal-to-noise ratio (signal to quantization noise ratio)
N
Jumlah bit setelah kuantisasi (resolusi)
:
Untuk noise shaper orde 1, dengan input sinusoidal dan amplitudo maksimum, signal-to-error ratio maksimum dihitung dengan rumus : (Pohlmann, 2000, p649)
S / E (dB) = 6,02 ( N + 1,5 L ) – 3,41 dB
(2.3)
Sedangkan untuk noise shaper orde 2, rumus signal-to-error ratio maksimum dihitung dengan rumus berikut : (Pohlmann, 2000, p650)
S / E (dB) = 6,02 ( N + 2,5 L ) – 11,14 dB
(2.4)
Dimana : S/E :
signal-to-error ratio
N
:
Jumlah bit setelah kuantisasi
L
:
Jumlah oktaf dari oversampling yang digunakan, merupakan perbandingan antara frekuensi oversampling (fa) dengan frekuensi sampling (fs). Oktaf bertambah satu untuk setiap kenaikan frekuensi dua kali lipat. Misal fa / fs = 8, maka L = 3 ( 8 = 23).
11
2.4
Pulse Width Modulation (PWM) Pulse Width Modulation (PWM) merupakan teknik yang mengubah variasi amplitudo input menjadi variasi lebar pulsa. Berdasarkan output-nya, PWM dibagi menjadi dua, yaitu bipolar dan unipolar. Keduanya dapat dilakukan baik dengan teknik analog maupun digital. Analisis frekuensi dari sinyal PWM, dapat dilihat pada Gambar 2.4, dimana sinyal mengandung komponen frekuensi sinyal yang dibawa (f1) dan image spectrum yang terkonsentrasi di sekitar frekuensi switching (fsw) beserta kelipatannya (2fsw, 3fsw, dan seterusnya). (Mohan, 1996, p204).
+Vcc t
0 -Vcc
(a) Magnitude
f1
fsw
2fsw
3fsw
frequency
(b) Gambar 2.4 (a) Sinyal PWM (b) Spektrum Frekuensi Dari Sinyal PWM 2.4.1
Bipolar PWM Pada bipolar PWM (Gambar 2.6), tegangan output berfluktuasi antara +Vcc dan –Vcc. (Mohan, 1996, p217). Untuk menghasilkan tegangan positif, maka lebar pulsa 12
positif harus lebih besar daripada lebar pulsa negatifnya. Sedangkan untuk menghasilkan tegangan negatif, lebar pulsa negatif harus lebih besar daripada lebar pulsa positif.
+Vcc t
0 -Vcc = PWM output
= desired voltage
Gambar 2.5 Bipolar PWM
2.4.2
Unipolar PWM Pada unipolar PWM, tegangan output berubah-ubah antara nol dengan +Vcc atau antara nol dengan –Vcc. Untuk menghasilkan tegangan positif, tegangan output berubahubah antara nol dengan +Vcc. Dan untuk menghasilkan tegangan negatif, tegangan output berubah-ubah antara nol dengan –Vcc (gambar 2.6).
+Vcc
0
t
-Vcc
= PWM output
= desired voltage
Gambar 2.6 Unipolar PWM 2.4.3
Digital PWM Pada proses PWM secara digital, input digital dibandingkan dengan output dari suatu binary counter untuk menghasilkan lebar pulsa yang diinginkan. Untuk Bipolar,
13
counter yang digunakan harus memiliki jumlah bit yang sama dengan resolusi input yang digunakan. Frekuensi switching adalah jumlah siklus counter per-detik. Semakin besar resolusi input maka semakin banyak clock yang dibutuhkan untuk melakukan satu siklus counter. Frekuensi clock (fCLK) yang dibutuhkan untuk melakukan bipolar PWM dihitung dengan menggunakan rumus :
f CLK = 2 n ⋅ f sw
(2.4)
Dimana : fCLK
:
Frekuensi clock yang dibutuhkan untuk bipolar PWM
n
:
Jumlah bit / resolusi yang digunakan
fsw
:
Frekuensi switching / frekuensi carrier PWM.
Frekuensi clock (fCLK) yang dibutuhkan untuk melakukan unipolar PWM dihitung dengan menggunakan rumus :
f CLK =
2 n ⋅ f sw 2
Dimana : fCLK
: Frekuensi clock yang dibutuhkan untuk unipolar PWM
n
: Jumlah bit / resolusi yang digunakan
fsw
: Frekuensi switching / frekuensi carrier PWM
14
(2.6)
Gambar 2.7 dan Gambar 2.8, menggambarkan timing diagram bipolar dan unipolar PWM untuk resolusi 3 bit, dengan tiga contoh nilai amplitudo yaitu nol, +1 dan 1. Dari kedua gambar tersebut dapat dilihat bahwa unipolar PWM hanya membutuhkan clock separuh dari yang dibutuhkan bipolar PWM. Sebagai contoh, pada bipolar digital PWM dengan 8 nilai amplitudo, untuk menghasilkan nilai nol diperlukan lebar pulsa positif sebanyak 4 clock dan lebar pulsa negatif sebanyak 4 clock. Untuk menghasilkan nilai +1 diperlukan lebar pulsa positif sebanyak 5 clock dan lebar pulsa negatif sebanyak 3 clock. Untuk menghasilkan nilai -1 diperlukan lebar pulsa positif sebanyak 3 clock dan lebar pulsa negatif sebanyak 5 clock. Jumlah total clock yang dibutuhkan untuk merepresentasikan sebuah nilai input adalah 8 clock.
15
amplitudo
amplitudo
+Vcc
+Vcc
0
8
clock
-Vcc
0
8
clock
-Vcc
t(+)
t(-)
t(+)
t(-)
T
T
(a)
(b)
amplitudo
PWM out voltage +Vcc
Desired output voltage 0
8
clock
t(+) : Periode pulsa positif t(-) : Periode pulsa negatif
-Vcc
t(+)
t(-)
T
T
: Periode switching (=1/fsw)
fsw : Frekuensi switching
(c) Gambar 2.7
Timing diagram Bipolar PWM (a) Untuk nilai amplitudo nol (b)
Untuk nilai amplitudo +1 (c) untuk nilai amplitudo -1
Sedangkan pada unipolar digital PWM, dengan 8 nilai amplitudo, untuk menghasilkan nilai nol, maka output nol sepanjang periode. Untuk menghasilkan nilai +1 diperlukan lebar pulsa positif sebanyak 1 clock dan lebar pulsa nol sebanyak 3 clock. Untuk menghasilkan nilai -1 diperlukan lebar pulsa negatif sebanyak 1 clock dan lebar pulsa nol sebanyak 3 clock. Jumlah total clock yang dibutuhkan untuk merepresentasikan sebuah nilai input adalah 4 clock.
16
amplitudo
amplitudo
+Vcc
+Vcc
0
4
clock
-Vcc
0
4
clock
-Vcc
t(+)
t(0)
T
T
(a)
(b)
amplitudo
PWM out voltage +Vcc
Desired output voltage 0
4
-Vcc
t(-)
t(0) T
clock
t(+) : Periode pulsa positif t(0) : Periode pulsa nol t(-) : Periode pulsa negatif T
: Periode switching (=1/fsw)
fsw : Frekuensi switching
(c) Gambar 2.8 Timing diagram Unipolar PWM (a) Untuk nilai amplitudo nol (b) Untuk nilai amplitudo +1 (c) untuk nilai amplitudo -1
2.5
MOSFET
MOSFET (Metal Oxide Semiconductor Field Effect Transistors) telah digunakan dalam berbagai aplikasi elektronika daya sejak awal tahun 1980-an dikarenakan kemampuan menghantar arus dan kemampuan mengisolasi tegangan yang ada ketika MOSFET dalam keadaan OFF dengan tegangan jatuh yang rendah pada saat MOSFET dalam keadaan ON. MOSFET digunakan untuk menggantikan Bipolar Junction
17
Transistor (BJT) dalam berbagai aplikasi karena lebih mudah untuk mengendalikan gatenya dan koefisien temperatur positif yang lebih tinggi yang memungkinkan MOSFET untuk diparalelkan untuk memperoleh arus yang lebih besar. Waktu switching MOSFET pada umumnya adalah : tON : 50 – 100 ns tOFF : 50 – 100 ns tON adalah waktu yang dibutuhkan oleh MOSFET untuk berubah dari keadaan OFF menjadi keadaan ON. tOFF adalah waktu yang dibutuhkan oleh MOSFET untuk berubah dari keadaan ON menjadi keadaan OFF. Gambar 2.9 memperlihatkan suatu kumpulan dari kurva-kurva penguras dari MOSFET jenis pengisian. Lengkungan paling bawah (ID = 0) adalah kurva VGS(th). Apabila VGS kurang dari VGS(th), arus pengisian secara ideal sama dengan nol dan MOSFET tersebut berada dalam keadaan terputus. Apabila VGS lebih besar dari pada VGS(th) arus penguras (ID) akan muncul.
(b)
(a)
Gambar 2.9 (a) Kurva Penguras MOSFET jenis pengisian (b) Simbol MOSFET jenis pengisian tipe N 2.5.1
Driver MOSFET
18
Driver MOSFET berfungsi untuk mengatur waktu aktif dan non-aktif dari Highside dan Low-side MOSFET pada rangkaian H-Bridge. Driver MOSFET memiliki impedansi output yang rendah sehingga mampu mengendalikan gate MOSFET dengan lebih cepat. Waktu switching yang cepat penting untuk meminimalkan disipasi daya.
2.5.2
H-Bridge MOSFET
H-Bridge MOSFET merupakan rangkaian dengan 4 buah MOSFET yang disusun menyerupai bentuk huruf ‘H’. H-Bridge MOSFET memungkinkan output memiliki polaritas positif atau negatif dengan sebuah supply positif.
+V
+V
Q1
Q3 BEBAN
A Q2
B Q4
Gambar 2.10 Rangkaian H-Bridge MOSFET
Tegangan output merupakan selisih tegangan antara titik A dengan titik B. Jika titik B sebagai acuan, maka Vout = VAB = VA – VB. Untuk menghasilkan tegangan output positif, maka tegangan di titik A harus lebih besar dari tegangan di titik B (Q1 dan Q4 harus ON, Q2 dan Q3 harus OFF). Dan sebaliknya untuk menghasilkan tegangan output
19
negatif, maka tegangan di titik B harus lebih besar dari tegangan di titik A (Q2 dan Q3 harus ON, Q1 dan Q4 harus OFF).
2.6.
LC Filter
Berfungsi melakukan demodulasi sinyal PWM ke bentuk sinyal analog. Apabila frekuensi switching cukup tinggi (di atas 200 KHz), sebuah Low Pass Filter LC (LPFLC) sederhana dapat digunakan. Frekuensi switching yang cukup tinggi memberikan rentang frekuensi yang cukup lebar bagi filter sehingga frekuensi switching dapat teratenuasi secara signifikan. Berdasarkan pada peraturan mendesain penguat kelas D, konsep berikut ini dapat digunakan sebagai referensi untuk mendesain output filter : • Filter harus memiliki amplitudo konstan dan fase yang linier dalam bandwith audio.
Dengan
mempertahankan
kondisi
ini,
maka
tingkat
distorsi
dapat
diminimalisasikan. • Filter harus mampu mengatenuasi frekuensi carrier-nya (frekuensi switching).
Frekuensi audio yang diperlukan hanyalah pada bandwith audio, karena itu frekuensi non-audio harus dihilangkan. (Boon, 2001, p10)
2.7.
Xilinx Spartan FPGA
Field Programmable Gate Array (FPGA) merupakan IC yang disusun dari banyak sel-sel logika yang identik sebagai komponen standar. Setiap sel logika memiliki fungsi tersendiri. Sel-sel individual terhubung satu sama lain oleh suatu Programmable Switch Matrix (PSM). (Wakerly, 2001, p882-890).
20
Field Programmable berarti bahwa fungsi FPGA ditentukan oleh suatu program user dan bukan pembuat FPGA. IC pada umumnya memiliki kinerja fungsi tertentu yang ditentukan pada saat pembuatannya. Sebaliknya, fungsi FPGA ditentukan oleh suatu program yang ditulis user dan bukan dari pabrik. Tergantung pada tipe FPGA, program ditulis secara permanen atau semi-permanen atau di-load dari suatu memori eksternal setiap kali perangkat dinyalakan. Kemampuan pemrograman FPGA memungkinkan perancangan IC yang kompleks tanpa biaya pembuatan yang
tinggi seperti ASIC
(Application Specific Integrated Circuit). Pendefinisian fungsi sel logika pada FPGA dikerjakan dengan software khusus. Software tersebut menterjemahkan suatu diagram skematik atau kode Hardware Description Language (HDL) yang dibuat oleh user dan kemudian menempatkan (place) dan mengarahkan (route) rancangan yang telah diterjemahkan ke dalam FPGA.
2.7.1
Adder/Substractor
Model Adder/Substractor digunakan untuk menjumlahkan atau mengurangkan dua buah input data dan sebuah Carry Input. Mode operasi pada modul ini terdiri atas tiga, yaitu : adder, substractor, adder/substractor. Ada dua tipe Adder/Substractor yaitu : yang menjumlahkan/mengurangkan nilai pada dua buah pin bus, dan yang menjumlahkan/mengurangkan suatu nilai konstan dengan nilai pada salah satu pin bus. 2.7.2
Comparator
Modul Comparator berfungsi untuk membandingkan besar dan kesamaan dua buah nilai. Ada dua tipe Comparator yaitu : yang membandingkan nilai yang digunakan pada dua buah pin bus, dan yang membandingkan suatu nilai konstanta dengan nilai pada salah satu pin bus. 21
2.7.3
Counter
Modul Counter menghasilkan suatu pencacah nilai yang ditentukan oleh jenis counter-nya dan status dari kontrol input.
2.7.4
Data Register
Modul Data Register digunakan untuk mengambil data yang tersimpan di port D_IN pada transisi clock aktif. Isi register data dikirimkan ke port Q_OUT.
2.7.5
Multiplexer
Multiplexer merupakan rangkaian kombinasional yang memilih data biner dari banyak input dan mengeluarkannya ke output. Pemilihan input tertentu dikontrol oleh kumpulan selector. Pada umumnya, suatu Multiplexer terdiri dari 2n input dan n selector, dimana kombinasi bit selector tersebut menentukan input mana yang dipilih.
22