1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dalam siklus hidup manusia gizi memegang peranan penting. Kekurangan gizi pada anak balita akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Untuk mengetahui kekurangan gizi tersebut, dapat dilakukan penilaian status gizi yang juga merupakan salah satu tolak ukur pertumbuhan pada anak. Menurut Centers for Disease Control (CDC). Pada kelompok tersebut mengalami siklus pertumbuhan dan perkembangan yang membutuhkan zat-zat gizi yang lebih besar dari kelompok umur yang lain sehingga anak balita paling mudah menderita kelainan gizi. Kejadian gizi buruk seperti fenomena gunung es dimana kejadian Berat Badan dibawah Garis Merah (BGM) dapat menyebabkan kematian (Supariasa dkk, 2001). Gizi buruk adalah keadaan status gizi yang didasarkan pada indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) < -3 SD yang merupakan padanan istilah severely underweight. Terdapat 3 jenis BGM yang sering dijumpai yaitu kwashiorkor, marasmus dan gabungan dari keduanya marasmiks-kwashiorkor. Pengertian kwashiorkor sendiri adalah suatu bentuk malnutrisi protein yang berat disebabkan oleh asupan karbohidrat yang normal atau tinggi dan asupan protein yang inadekuat. Kwashiorkor dapat dibedakan dengan marasmus yang disebabkan oleh asupan dengan kurang dalam kuantitas tetapi kualitas yang normal, sedangkan marasmiks-
1 Universitas Sumatera Utara
2
kwashiorkor adalah gabungan dari kwashiorkor dengan marasmus yang disertai dengan odema. Gangguan gizi pada awal kehidupan akan mempengaruhi kualitas kehidupan berikutnya. Gizi kurang dan gizi buruk pada balita tidak hanya menimbulkan gangguan pertumbuhan fisik, tetapi juga mempengaruhi kecerdasan dan produktifitas dimasa dewasa (Supariasa dkk, 2001). Terdapat sekitar 54% balita didasari oleh keadaan gizi yang buruk WHO (World Health Organization) 2008, di Indonesia menurut Depertemen Kesehatan (2007) pada tahun 2006 terdapat sekitar 27,5% (5 juta balita gizi kurang dan gizi buruk), dimana 3,5 juta anak balita atau sekitar (19,19 %) dalam tingkat gizi kurang dan 1,5 juta anak balita gizi buruk (8,3 %). Prevalensi balita gizi buruk merupakan indikator Millenium Development Goals (MDGs) yang harus dicapai disuatu daerah (kabupaten/kota) pada tahun 2015, yaitu terjadinya penurunan prevalensi balita gizi buruk menjadi 3,6 persen atau kekurangan gizi pada anak balita menjadi 15,5 persen (Bappenas, 2010). Pencapaian target MDGs belum maksimal dan belum merata di setiap provinsi. Berdasarkan data riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010, secara nasional prevalensi balita gizi buruk sebesar 4,9 persen dan kekurangan gizi 17,9 persen. Provinsi Jawa Timur termasuk daerah dengan balita gizi buruk masih tergolong tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan prevalensi gizi buruk sebesar 4,8 persen. (Bappenas, 2010). Sejak tahun 2009 sampai dengan 2011, pemerintah telah mengalokasikan anggaran sebesar lebih dari Rp.528.379.595 untuk program perbaikan gizi masyarakat. Departemen Kesehatan antara lain memanfaatkan anggaran tersebut
Universitas Sumatera Utara
3
untuk membiayai berbagai program intervensi untuk mencegah dan mananggulangi insiden gizi buruk dan gizi kurang. Data Depertemen Kesehatan menyebutkan kasus gizi buruk dan gizi kurang pada BALITA tahun 2004 (Pemantauan Status Gizi 2004) masing-masing 8.00 % dan 20,47 % dari seluruh populasi BALITA. Sementara tahun 2005 (Survei Sosial Ekonomi Nasional/ SUSENAS 2005) jumlah kasus gizi buruk dan gizi kurang berturut-turut 8,8 % dan 19,20 %. Tahun 2006, selama periode Januari-Oktober, jumlah total kasus gizi buruk yang ditangani petugas kesehatan sebanyak 20.580 kasus dan 186 diantaranya menyebabkan kematian. Seminar Hari Gizi Nasional Tahun 2007, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, menyebutkan bahwa sekitar 5.543.944 BALITA dari 19.799.874 BALITA yang ada di seluruh Indonesia menghadapi masalah gizi buruk dan gizi kurang (Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2011). Dalam 3 tahun terakhir, upaya yang dilakukan pemerintah melalui Departemen Kesehatan untuk mengurangi angka balita gizi kurang dan gizi buruk belum terpenuhi karena sampai sekarangpun masalah gizi buruk di Indonesia masih tinggi hal ini dapat dilihat dari data Depkes yaitu jumlah kasus balita gizi kurang dan gizi buruk pada tahun 2009, sebanyak 5,1 juta jiwa. Pada tahun 2011, jumlah anak balita bergizi kurang dan buruk turun menjadi 4,28 juta anak, dan 944.246 orang di antaranya berisiko gizi buruk. Pada tahun 2007, jumlah anak balita bergizi kurang dan buruk turun lagi jadi 4,13 juta anak, dan 755.397 orang di antaranya tergolong risiko gizi buruk. Secara kuantitas masih banyak balita kurang gizi yang belum tersentuh seperti yang terlihat pada data diatas. Sementara secara kualitas, tingkat
Universitas Sumatera Utara
4
kehidupan dan kesehatan bayi masih rendah dan rentan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011). Demikian halnya dengan status gizi buruk pada anak balita di Sumatera Utara pada tahun 2006 yang tergolong sangat tinggi yaitu sebesar 12,35% dan gizi kurang 18,59%. Gizi kurang pada anak akan menghambat pertumbuhan dan kurangnya zat tenaga dan kurang protein (zat pembangun) sehingga perlu diperhatikan menu yang seimbang khususnya pada anak-anak (Adisasmito W., 2011). Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik. Status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi. Masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial ekonomi, budaya dan politik. Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan nasional. Secara perlahan kekurangan gizi akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita, serta rendahnya umur harapan hidup. Selain itu, dampak kekurangan gizi terlihat juga pada rendahnya partisipasi sekolah, rendahnya pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi. (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2011).
Universitas Sumatera Utara
5
Penyebab gizi buruk dapat dilihat dari berbagai faktor yang dapat mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk. Menurut UNICEF ada dua penyebab langsung terjadinya gizi buruk, yaitu (1) Kurangnya asupan gizi dari makanan. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah makanan yang di konsumsi atau makanan yang tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu kemiskinan. (2) Akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi. Hal ini disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik. Faktor lain yang mengakibatkan terjadinya kasus gizi buruk yaitu (1) Faktor ketidaktersediaan pangan yang bergizi dan terjangkau oleh masyarakat; (2) Perilaku dan budaya dalam pengolahan pangan dan pengasuhan asuh anak; (3) Pengolalaan yang buruk dan perawatan kesehatan yang tidak memadai (UNICEF, 2007). Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada 3 faktor penyebab gizi buruk pada anak dan balita, yaitu: (1) Keluarga miskin; (2) Ketidaktahuan orang tua atas pemberian gizi yang baik bagi anak; (3) Faktor penyakit bawaan pada anak, seperti: jantung, TBC, HIV/AIDS, saluran pernapasan dan diare (IDAI, 2010). Kesehatan dan gizi merupakan faktor yang sangat penting untuk menjaga kualitas hidup yang optimal. Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Kondisi status gizi baik dapat dicapai bila tubuh memperoleh cukup zatzat gizi yang akan digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan terjadinya pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja untuk mencapai tingkat kesehatan optimal. Sedangkan status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami
Universitas Sumatera Utara
6
kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi. Pada kondisi ini dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit yaitu, penyakit infeksi pada gizi kurang (Depkes RI, 2010). Ditinjau dari sudut masalah kesehatan dan gizi, maka balita termasuk dalam kelompok masyarakat rentan gizi, yaitu kelompok masyarakat yang paling mudah menderita kelainan gizi, sedangkan pada saat ini mereka sedang mengalami proses pertumbuhan yang relatif pesat (Andarwati (2011). Balita merupakan salah satu kelompok yang rawan gizi selain ibu hamil, ibu menyusui dan lanjut usia. Pada masa ini pertumbuhan sangat cepat diantaranya pertumbuhan fisik dan perkembangan psikomotorik, mental dan sosial (Depkes, 2000). Anak usia bawah 5 tahun (Balita) mempunyai risiko yang tinggi dan harus mendapatkan perhatian yang lebih. Semakin tinggi faktor risiko yang berlaku terhadap anak tersebut maka akan semakin besar kemungkinan anak menderita Kurang Energi Protein (KEP) (Moehji, 2003). Kurangnya pengetahuan gizi dan kesehatan orang tua, khususnya ibu merupakan salah satu penyebab kekurangan gizi pada balita. Di pedesaan makanan banyak dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi dan kebudayaan. Terdapat pantangan makan pada balita misalnya anak tidak diberikan ikan karena bias menyebabkan cacingan, kacang-kacangan tidak diberikan karena dapat menyebabkan sakit perut dan kembung (Balawati, 2010). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Mousa dkk (2011), menunjukkan hasil bahwa intervensi pendidikan kesehatan dan gizi pada orang tua atau keluarga
Universitas Sumatera Utara
7
yang mempunyai anak balita akan merubah perilaku dari keluarga itu terutama dalam hal pengasuhan dan pemberian makan pada anak sehingga akan meningkatkan status gizi anak balita di keluarga itu. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Widarti (2010) di wilayah Tabanan, Bali. Pada penelitian ini didapatkan hasil bahwa konseling gizi kepada ibu berpengaruh terhadap konsumsi gizi dan status gizi anak balitanya. Pemberian makanan tambahan terlalu dini dalam asuh makan dapat menimbulkan gangguan pada pencernaan seperti diare, muntah, dan sulit buang air besar. Sebaliknya, pemberian makanan yang terlalu lambat mengakibatkan bayi mengalami kesulitan belajar mengunyah, tidak menyukai makanan padat, dan bayi kekurangan gizi. Anak yang memiliki status gizi kurang/gizi buruk disebabkan oleh MP-ASI/makanan yang kurang baik, jenis maupun kualitasnya. Kekurangan tersebut dipengaruhi oleh rendahnya pendapatan keluarga, pengetahuan ibu/keluarga tentang gizi, serta kebiasaan/anggapan yang dipercayai oleh ibu ( Mery Susanty (2011). Menurut kerangka yang disusun oleh WHO, terjadinya kekurangan gizi dalam hal ini kurang gizi dan gizi buruk lebih dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni, penyakit infeksi dan asupan makanan yang secara langsung berpengaruh terhadap kejadian gizi buruk. Pada penelitian yang telah dilakukan Dewi (2012) diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara penyakit infeksi dengan kejadian gizi buruk. Selain itu diperoleh hasil pula bahwa penyakit penyerta merupakan faktor risiko kejadian gizi buruk. Penyakit infeksi yang paling banyak dialami oleh balita
Universitas Sumatera Utara
8
kelompok gizi buruk adalah diare kronik dan ISPA. Sekitar 10% diare kronik dan 10% ISPA. Hal ini dapat terjadi gizi buruk pada balita yang mengalami diare karena balita akan mengalami asupan makanan dan banyak nutrisi yang terbuang serta kekurangan cairan. Selain itu, balita dengan ISPA yaitu salah satu penyakit infeksi yang sering dialami oleh balita, dapat menyebabkan menurunnya nafsu makan sehingga asupan zat gizi ke dalam tubuh anak menjadi berkurang. Beberapa dampak buruk gizi buruk adalah: (1) rendahnya produktivitas kerja; (2) kehilangan kesempatan sekolah; dan (3) kehilangan sumberdaya karena biaya kesehatan yang tinggi. Agar individu tidak kekurangan gizi maka akses setiap individu terhadap pangan harus dijamin. Akses pangan setiap individu ini sangat tergantung pada ketersediaan pangan dan kemampuan untuk mengaksesnya secara kontinyu. Kemampuan mengakses ini dipengaruhi oleh daya beli, yang berkaitan dengan tingkat pendapatan dan kemiskinan seseorang. Upaya-upaya untuk menjamin kecukupan pangan dan gizi serta kesempatan pendidikan tersebut akan mendukung komitmen pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), terutama pada sasaran-sasaran: (1) menanggulangi kemiskinan dan kelaparan; (2) mencapai pendidikan dasar untuk semua; (3) menurunkan angka kematian anak; dan (4) meningkatkan kesehatan ibu pada tahun 2015. Berdasarkan hasil pemantauan status gizi balita kabupaten Tapanuli Selatan tahun 2007, ditemukan balita dengan gizi kurang sebanyak 174 atau 48,60% dari total balita Bawah Garis Merah (BGM) yang berjumlah 358 balita, dan sebanyak 184 balita gizi buruk atau sekitar 51,39% dari total balita BGM. Pada tahun 2009 balita
Universitas Sumatera Utara
9
dengan gizi kurang menurun menjadi 172 orang atau 46,36% dari balita BGM yang berjumlah 371 balita, dan balita gizi buruk mengalami peningkatan menjadi sebanyak 199 balita atau sekitar 53,64% dari balita BGM. Sementara itu, pada tahun 2010 balita dengan gizi kurang meningkat menjadi 365 orang atau 81,84% dari balita BGM yang berjumlah 446 balita, dan balita gizi buruk mengalami penurunan menjadi hanya sebanyak 81 balita atau sekitar 18,16% dari balita BGM, (Profil Kesehatan Kabupaten Tapanuli Selatan 2013). Dari hasil survei awal, didapatkan bahwa wilayah kerja Puskesmas Sayur Mmatinggi terletak di Kecamatan Sayur Matinggi Kabupaten Tapanuli Selatan Sumatera Utara yang memiliki 19 Desa / Kelurahan. Pada tahun 2013, data yang diperoleh dari Puskesmas Sayur Matinggi yang mewakili untuk seluruh wilayah Kecamatan Sayur Matinggi terdapat 1063 balita yang terdaftar di pos penimbangan. Dan terdapat balita yang dibawah garis merah (BGM) sebanyak 36 balita dari jumlah balita. Dari 10 ibu yang mempunyai balita 7 diantaranya memiliki pendidikan yang rendah dan menyebabkan kurangnya informasi ibu mengenai pendidikan gizi, menyebabkan pengetahuan ibu rendah mengenai gizi. Sikap ibu disini maksudnya persepsi ibu terhadap penanganan gizi buruk, pandangan terhadap manfaat dan pelayanan yang diberikan puskesmas maupun posyandu. Sebagian besar ibu malas untuk datang walaupun hanya sekedar untuk menimbang balita mereka ke posyandu yang hanya satu bulan sekali. Pola asuh balita di wilayah tersebut para ibu balita cenderung kurang memperhatikan para balita mereka seperti kurangnya para ibu
Universitas Sumatera Utara
10
merawat, menjaga, memberi makan, hygen balita, dan memperhatikan balita agar senantiasa terjaga dan terawat bahkan ibu membawa anak balita ke sawah dan ladang tanpa memperhatikan balitanya dengan alasan tidak ada yang menjaga apabila ditinggal dirumah. Dari survei yang terdata dari Puskesmas Sayur Matinggi tersebut penelitian ini diharapkan mampu mengungkapkan pengaruh perilaku ibu terhadap kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Sayur Matinggi Kabupaten Tapanuli Selatan Khususnya.
1.2. Permasalahan Berdasarkan latar belakang diatas dapat ditarik permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengaruh perilaku ibu terhadap kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Sayur Matinggi.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perilaku Ibu terhadap kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sayur Matinggi. 1.3.2. Tujuan Khusus a) Untuk megetahui pengaruh karakteristik ibu berdasarkan umur, pendidikan, pekerjaan, paritas dan pendapatan terhadap kejadian Bawah Garis Merah (BGM)
Universitas Sumatera Utara
11
pada anak balita di wilayah kerja puskesmas Sayur Matinggi kabupaten Tapanuli Selatan. b) Untuk mengetahui pengaruh perilaku ibu (pengetahuan, sikap dan pola asuh) terhadap kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada anak balita di wilayah kerja puskesmas Sayur Matinggi kabupaten Tapanuli Selatan.
1.4. Hipotesis a) Ada pengaruh karakteristik ibu berdasarkan umur, pendidikan, pekerjaan, paritas dan pendapatan terhadap kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada anak balita di wilayah kerja puskesmas Sayur Matinggi kabupaten Tapanuli Selatan. b) Ada pengaruh perilaku ibu (pengetahuan, sikap dan pola asuh) terhadap kejadian Bawah Garis Merah (BGM) pada anak balita di wilayah kerja puskesmas Sayur Matinggi kabupaten Tapanuli Selatan.
1.5. Manfaat Penelitian a) Sebagai bahan masukan dan informasi bagi masyarakat khususnya ibu yang mempunyai anak balita terhadap pencegahan kejadian Bawah Garis Merah (BGM). b) Sebagai bahan masukan bagi Instansi di puskesmas dan dinas kesehatan untuk menyusun kebijakan upaya pencegahan kejadian Bawah Garis Merah (BGM).
Universitas Sumatera Utara