BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE yang terjadi setelah mukosa hidung terpapar alergen.1,2,3 Penyakit ini ditemukan di seluruh belahan dunia, diderita sedikitnya oleh 10-25% populasi, dan prevalensinya cenderung meningkat. Peningkatan ini diduga sebagai akibat dari perubahan gaya hidup, jumlah anggota keluarga yang makin kecil, peningkatan paparan alergen dan peningkatan taraf hidup.4,5,6 Dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan di berbagai daerah di Indonesia didapatkan angka prevalensi antara 1,4 hingga 23,47%.7,8,9,10 Meskipun rinitis alergi bukan penyakit berbahaya, akan tetapi dapat menurunkan kualitas hidup dan mengganggu kehidupan sosial penderitanya. Pada orang dewasa, rinitis alergi dapat menurunkan produktivitas kerja, sementara pada anak-anak dapat mengganggu aktivitas belajar.1,11,12 Surve yang pernah dilakukan di USA mendapatkan sebanyak 28 juta orang dewasa kehilangan jam kerja, dan 2 juta anak sekolah kehilangan jam belajar dalam setahun akibat rinitis alergi.13 Penatalaksanaan rinitis alergi sampai saat ini meliputi pencegahan, terapi medikamentosa dan imunoterapi.1,14,15 Masing-masing jenis penatalaksanaan tersebut memiliki kelemahan dan keterbatasan. Pencegahan yang dimaksud adalah menghindari kontak dengan alergen (allergen avoidance).11,14 Cara ini sepintas
2
nampak sangat sederhana, namun kenyataannya sangat sulit diterapkan. Terapi medikamentosa seperti antihistamin dan kortikosteroid hanya bersifat simtomatis, yang
menyebabkan
penderita
sering
minum
obat.
Penggunaan
obat-obat
medikamentosa dalam jangka waktu lama dapat menimbulkan masalah dalam hal efek samping obat atau dalam hal biaya. Obat-obat medikamentosa generasi pertama, dari segi biaya relatif terjangkau oleh masyarakat, namun obat-obat ini menimbulkan efek samping yang merugikan. Obat-obat generasi baru, dalam hal efek samping dapat dibilang aman, namun dari segi biaya relatif masih sulit dijangkau oleh masyarakat. Imunoterapi dengan cara desensitisasi dilakukan dengan jalan menyuntikkan ekstrak alergen secara berulang dengan dosis ditingkatkan secara bertahap.11,16 Penyuntikan secara berulang ini menyebabkan penderita sering meninggalkan tempat kerja atau bangku sekolah, membutuhkan waktu pengobatan yang panjang dan membutuhkan biaya relatif tinggi. Hal ini menyebabkan sering terjadi drop-out pengobatan. Melihat kelemahan-kelemahan tersebut maka perlu diupayakan metode pengobatan yang lebih efisien dan terjangkau bagi masyarakat luas. Untuk itu perlu pemahaman yang baik tentang imunopatogenesis rinitis alergi serta faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya. Bila suatu antigen terpapar untuk pertama kalinya pada mukosa hidung maka antigen tersebut akan difagositosis oleh makrofag atau oleh sel dendritik yang dikenal sebagai antigen presenting cell (APC). Antigen tersebut akan dipecah menjadi peptida-peptida pendek. Bersama molekul MHC-II yang diproduksi pada retikulum endoplasma, peptida tersebut dipresentasikan pada permukaan sel. Karena
3
dipresentasikan bersama molekul MHC-II maka sel limfosit T-CD4+ naif (sel Th0) dapat mengenali antigen tersebut. Selanjutnya terjadi ikatan antara kompleks molekul MHC-II-peptida antigen yang terdapat pada permukaan APC dengan molekul TcR dan CD4 yang terdapat pada permukaan sel T-CD4+. Peristiwa ini akan mengaktifkan sel T-CD4+ untuk memproduksi dan melepaskan berbagai sitokin. Berdasarkan profil sitokin yang diproduksi dikenal 2 tipe sel T-CD4+ aktif yaitu sel Th1 bila memproduksi IL-2 dan IFN- dan sel Th 2 bila memproduksi IL-4, IL-5, IL-6, IL-10 dan IL-13. Antara IFN-
dan IL-4 bersifat saling menghambat. IFN-
yang
memegang peran penting dalam imunitas seluler menghambat IL-4 yang memegang peran dalam imunitas humoral serta imunopatogenesis penyakit-penyakit atopi, dan sebaliknya. Dengan demikian antara IL-4 dan IFN- berada dalam kesetimbangan terbalik (reciprocal balance). Pada orang atopi termasuk penderita rinitis alergi, polarisasi sel T-CD4+ cenderung ke arah Th 2 sehingga terjadi dominasi IL-4 terhadap IFN- .17 Peran limfosit B adalah memproduksi imunoglobulin. Jenis imunoglobulin yang diproduksi tergantung dari jenis sitokin yang menstimulasinya. Perubahan terhadap jenis imunoglobulin yang diproduksi terjadi melalui mekanisme classswitching-recombination (CSR). Bila sel B distimulasi oleh IFN-
maka CSR
mengarah pada pembentukan IgG, sementara bila oleh IL-4 akan mengarah pada pembentukan IgE.18,19 Pada orang atopi termasuk penderita rinitis alergi memiliki kadar IL-4 yang lebih tinggi sehingga terjadi peningkatan produksi IgE.20,21,22
4
IgE akan terikat pada permukaan sel mast atau basofil karena pada permukaan sel mast atau basofil terdapat reseptor untuk fragmen Fc IgE dengan afinitas tinggi -I. Bila mukosa hidung terpapar oleh alergen maka epitop alergen tersebut akan terikat pada IgE spesifik yang terdapat pada permukaan sel mast pada mukosa hidung. Pada umumnya molekul alergen bersifat bivalen atau multivalen (memiliki lebih dari satu epitop) sehingga satu molekul alergen dapat terikat pada dua atau lebih molekul IgE. Keadaan ini menimbulkan cross-linking molekul reseptor -I dan mengaktifkan sel mast untuk memproduksi dan melepaskan berbagai mediator terutama histamin. Histamin kemudian terikat pada reseptor histamin yang terdapat pada ujung saraf nosiseptif, sel endotel dan otot polos pembuluh darah mukosa hidung, dan menimbulkan gejala klinik rinitis alergi berupa hidung gatal, bersin-bersin, hidung berair dan hidung tersumbat.14,23,24 Dengan memperhatikan imunopatogenesis rinitis alergi serta perangai sistem imunitas tubuh, maka dimungkinkan untuk membuat metode pengobatan baru dengan jalan memanipulasi sistem imunitas tersebut. Bacillus Calmette-Guerin (BCG), suatu Mycobacterium bovine hidup yang dilemahkan, telah dipergunakan di banyak negara sejak awal abad ke-20 sebagai vaksin guna mencegah penyakit tuberkulosis pada manusia. Vaksin ini dapat memacu imunitas seluler secara efektif melalui peningkatan aktifitas sel Th1.25,26 Melihat kemampuan vaksin BCG dalam meningkatkan aktivitas sel Th 1 maka sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mempelajari pengaruh BCG terhadap penyakit atopi dan terhadap perubahan profil sitokin tertentu di dalam tubuh.
5
Sirakawa et al. (1997) melalui suatu penelitian di Wakayama Jepang mendapatkan bahwa anak-anak (6-12 tahun) dengan respon tuberkulin negatif mempunyai gejala penyakit atopi tiga kali lebih besar dibandingkan anak-anak dengan respon tuberkulin positif. Pada kelompok anak dengan respon tuberkulin positif didapatkan kadar IFN- lebih tinggi dan IL-4 lebih rendah secara bermakna.27 Di Gambia telah diteliti bayi-bayi yang divaksinasi BCG dan yang tidak divaksinasi BCG pada saat lahir. Dua bulan kemudian didapatkan kadar IFN- meningkat pada kelompok bayi yang diberi vaksinasi, sementara pada kelompok tanpa vaksinasi dijumpai kadar yang sangat rendah. Namun pada penelitian tersebut kadar IL-4 tidak banyak terpengaruh.28 Fujieda et al. (1999) mendapatkan bahwa DNA Mycobacterium bovis BCG (MY-1) dapat meningkatkan kadar IFN- dan IL-12, dan menghambat produksi IgE oleh limfosit manusia.29 Arkwright dan David (2001) mendapatkan perbaikan yang cukup bermakna pada penderita dermatitis atopik yang diberikan injeksi intrakutan suspensi Mycobacterium vaccae (SRL 172). Namun dalam penelitian ini tidak dijumpai adanya pengaruh pemberian SRL 172 terhadap kadar IgE total serum.30 Choi dan Koh (2002) telah meneliti pengaruh vaksinasi BCG terhadap asma stadium sedang hingga berat. Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa vaksinasi BCG dapat meningkatkan fungsi paru dan menurunkan penggunaan obat-obat medikamentosa pada penderita asma stadium sedang hingga berat. Perbaikan fungsi paru tersebut disertai dengan penekanan respon Th2.25
6
Dari hasil penelitian di atas dapat dilihat bahwa vaksinasi BCG dapat meningkatkan aktifitas sel Th1 pada bayi, anak-anak, penderita dermatitis atopi serta pada penderita asma dewasa stadium sedang hingga berat. Dengan meningkatnya aktivitas sel Th1 maka produksi IFN- akan meningkat. Peningkatan IFN- akan menekan produksi IL-4 oleh sel Th2 dan memacu produksi IgG oleh sel B. Dengan menurunnya IL-4 terjadi penurunan produksi IgE.31 Keadaan ini menyebabkan berkurangnya jumlah IgE dan meningkatnya jumlah IgG yang terikat pada permukaan sel mast. Dengan banyaknya IgG yang terikat pada permukaan sel mast akan menghalangi terikatnya molekul alergen oleh dua molekul IgE, sehingga tidak terjadi cross-linking molekul molekul
-I. Dengan tidak adanya cross-linking
-I maka tidak terjadi aktivasi sel mast, tidak terjadi degranulasi
mediator, dan tidak timbul gejala klinik rinitis alergi. Namun penelitian tentang hal ini belum banyak dilakukan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian guna mengetahui pengaruh vaksinasi BCG terhadap kadar IgE total dan terhadap gejala klinik rinitis alergi dalam upaya mencari metode pengobatan baru untuk rinitis alergi yang lebih efisien dan terjangkau.
1.2.
Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1.
Apakah vaksinasi BCG dapat menurunkan kadar IgE total penderita rinitis alergi?
7
2.
Apakah vaksinasi BCG dapat memperbaiki gejala klinik rinitis alergi?
3.
Apakah terdapat hubungan antara IgE total dengan gejala klinik rinitis alergi?
1.3.
Tujuan Penelitian
1.3.1.
Tujuan Umum Membuktikan bahwa vaksinasi BCG dapat dipakai sebagai terapi rinitis alergi.
1.3.2.
Tujuan Khusus 1. Membuktikan bahwa vaksinasi BCG dapat menurunkan kadar IgE total pada penderita rinitis alergi. 2. Membuktikan bahwa vaksinasi BCG dapat memperbaiki gejala klinik rinitis alergi. 3. Membuktikan bahwa terdapat hubungan antara kadar IgE total dengan gejala klinik rinitis alergi.
1.4.
Manfaat Penelitian a.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang alergi.
b.
Apabila terbukti, hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai metode pengobatan rinitis alergi.
c.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi landasan bagi penelitian-penelitian selanjutnya.