1
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: “Taatilah Allah dan RasulNya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang kafir.” (QS. 3:31-32) Imam Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya, bahwa ayat ini sebagai pemutus hukum bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah tetapi tidak menempuh jalan Muhammad, Rasulullah, bahwa dia akan menjadi pembohong dalam pengakuan cintanya itu sehingga ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad dalam semua ucapan dan perbuatannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits shahih, dari Rasulullah, beliau bersabda: “Barang siapa melakukan suatu amal yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan itu tertolak.” Untuk mengetahui apakah suatu amalan merupakan perintah, tentunya kita harus mempelajari Alquran dan Hadits karena perintah-perintah tersebut ada dalam Alquran dan Hadits. Rasulullah bersabda, “Didiklah anak-anak kalian dengan tiga perkara, mencintai Nabi kalian, mencintai ahlulbaitnya (keluarga Nabi) dan senang membaca Alquran. Sebab orang-orang yang mengemban tugas Alquran itu berada dalam lindungan singgasana Allah pada hari yang tidak ada perlindungan dari pada perlindungan-Nya beserta
2
beserta para Nabi-Nya dan orang-orang yang suci.” (HR Ibn Annajar; Prayitno, 2004: 54). Berdasarkan hadits tersebut, mempelajari hadits merupakan salah satu bentuk cinta kepada Nabi karena untuk mencintainya harus mengamalkan apa yang diperintahkan. Mempelajari hadits salah satunya dengan menghafalnya sebagaimana tergambar dari hadits Nabi, “Rasulullah Saw, menunaikan shalat shubuh bersama kami, (setelah shalat) beliau naik ke atas mimbar, Beliau berkhutbah sampai waktu Zhuhur. Maka beliau turun (dari mimbar) untuk menunaikan shalat. Setelah itu, Rasulullah naik ke atas mimbar untuk berkhutbah sampai waktu Ashar. Kemudian beliau turun untuk menunaikan shalat. Rasulullah kembali naik keatas mimbar sampai dengan matahari tenggelam. Beliau telah memberi tahu kami mengenai hal-hal yang telah terjadi dan hal-hal yang akan terjadi. Orang yang paling alim diantara kami adalah orang yang paling hafal pelajaran-pelajaran beliau.” (HR Muslim; Hasan, 2008: 148) hal ini menunjukkan menghafal hadits sudah dilakukan sejak zaman Nabi. Hadits telah disepakati oleh kaum muslimin sebagai sumber ilmu dan hukum Islam yang kedua, setelah Alquran. Sebagai sumber ilmu dan hukum, peran hadits terhadap Alquran adalah sebagai berikut; (a) menegaskan hukumhukum yang ada di dalam Alquran, (b) menjabarkan penjelasan Alquran yang ringkas dan (c) menetapkan hukum yang tidak ditetapkan di dalam Alquran. Dengan kedudukannya yang penting di dalam Islam, tersebut, mempelajari dan menghafalkan hadits memiliki banyak manfaat, diantaranya
3
adalah; (a) menghafal hadits termasuk ke dalam tafaqquh fiddin (mendalami ilmu agama) yang diperintahkan oleh Allah dan rasul-Nya, (b) karena hadits adalah sumber hukum Islam, maka menghafalnya termasuk ke dalam salah satu bentuk membela Islam dan Rasul umat Islam. Khususnya dari perusakan yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam. Sebab bila sumber ilmu Islam ini rusak, maka akan terjadi pula kerusakan di dalam agama Islam, (c) menghafal hadits merupakan salah cara untuk menjaga keaslian hadits dari berbagai upaya perusakan hadits, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja, (d) Sebagai bukti kecintaannya dan keimanannya kepada Nabi Muhammad, adalah mengutamakan kata-kata beliau di atas kata-kata siapapun juga. Para sahabat r.a. sepenuhnya sadar bahwa hadits adalah bagian tidak terpisahkan dari agama Allah. Ketaatan kepada Rasul adalah bentuk ketaatan kepada Allah, sehingga mempelajari hadits rasul adalah bagian dari usaha untuk dapat taat
kepada Rasul.
Alquran menyuruh taat kepada perintah
Rasulullah saw. dan menjauhi larangannya, untuk meneladaninya, dan mengikutinya. Bahkan, Rasulullah saw mengancam orang yang meninggalkan dan mengabaikan perintahnya dengan dalih bahwa Alquran sudah memadai. Rasululloh saw. bersabda, "Nanti akan datang suatu masa saat seorang dari kalian sedang duduk di peraduannya, lalu diajukan kepadanya perintah dan laranganku, lalu ia berkata, 'Aku tidak tahu, kami hanya mengikuti apa yang ada dalam kitab Allah saja'." (Al-Hakim, Al-Mustadrak, juz 1, hlm. 108. Ia mengatakan shahih berdasarkan kriteria Bukhari dan Muslim, dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).
4
Para sahabat itu telah merasakan peran penting hadits sejak turunnya ayat Alquran yang bersifat mujmal (umum, membutuhkan perincian), seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Semua kewajiban ini tidak dapat dilaksanakan tanpa penjelasan hadits. Mereka tidak dapat memahaminya kecuali dengan kembali kepada Rasulullah saw. sebagai penerapan dari firman Allah SWT (yang artinya), "Dan Kami turunkan kepadamu Alquran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka." (QS An-Nahl: 44). Selain itu, beberapa ayat bersifat umum dan mutlak, dan para sahabat tidak tahu teknis pelaksanaannya. Mereka merujuk pada hadits tentang pengecualian ayat yang bersifat umum atau pembatasan ayat yang bersifat mutlak. Di samping itu, seperti halnya Alquran, hadits juga menetapkan hukum secara independen karena tidak terdapat dalam Alquran. Oleh karena itu, para sahabat sangat membutuhkan hadits. Kebutuhan ini mengharuskan mereka meriwayatkan, menjaga, menghafal, dan mewariskan hadits kepada generasi yang lahir sesudahnya. Mereka serius mengawal hadits, sejak menerimanya dari Rasulullah saw. hingga menyampaikan kepada generasi berikutnya dengan cara yang shahih dan metode yang benar, tanpa distorsi dan manipulasi dengan cara menambah atau menguranginya. (Rif'at Fauzi, Tautsiq as-Sunnah, hlm. 26). Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah (QS.33:21).
5
Pada diri Rasul Muhammad SAW terdapat contoh yang baik yaitu akhlak mulia yang digambarkan oleh Allah SWT dalam Alquran. Muhammad SAW sebagai contoh yang nyata bagaimana menjadi muslim yang berakhlak mulia. Bagaimana Alquran tertanam dalam diri kita maka harus meneladani Nabi Muhammad SAW. Mereka yang meneladani dengan mengikuti nabi adalah mereka yang mengharap rahmat Allah dan hari kemudian. Petunjuk rasul juga digunakan untuk mengamalkan Islam yang benar dan yang diridhai oleh Allah SWT. Rasul sebagai panutan dan teladan yang baik untuk diikuti dalam mengamalkan Islam secara benar. Melihat
kedudukan hadits
yang
sangat
penting,
para sahabat
memberikan perhatian yang besar, salah satu yang mereka lakukan adalah menghafal hadits-hadits tersebut bahkan sejak usia dini sebagaimana diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim dari Samurah bin Jundub ra., ia berkata. “ Di zaman Nabi, aku adalah seorang anak kecil. Namun, aku turut pula menghafalkan hadits dari beliau, sementara orang-orang yang ada di sekelilingku semuanya lebih tua dariku”. Dalam riwayat lain, Imam Bukhari meriwayatkan dari Mahmud Bin Rabi’ah bahwa ia berkata, “ Aku sudah mulai menghafal hadits dari Nabi yang beliau talqin-kan kepadaku sejak aku berusia lima tahun”. Sementara sejak zaman Nabi, mereka terbiasa menghafal dan hasil dari hafalan tersebut adalah orang-orang yang perkembangan hidupnya berhasil. Sebagai contoh adalah Imam Syafi’i yang telah hafal Alquran pada usia tujuh tahun. Imam Syafi’i mengatakan, “ Aku telah hafal Alquran ketika aku berusia tujuh tahun” (Mursi, 2003: 92).
6
Dalam kegiatan menghafal, seorang anak juga akan lebih bermakna ketika dia memahami apa yang dihafalnya. Dalam menghafal, ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan, yaitu mengenai tujuan, pengertian, perhatian, dan ingatan. Dampak yang baik dalam menghafal dipengaruhi oleh syaratsyarat tersebut. Menghafal tanpa tujuan menjadi tidak terarah, menghafal tanpa pengertian menjadi kabur, menghafal tanpa perhatian adalah kacau, dan menghafal tanpa ingatan adalah sia-sia (Djamarah, 2002: 30). Dalam Islam, pemahaman juga sangat penting karena banyaknya umat yang kurang faham sehingga menyebabkan mereka banyak yang salah dalam mengamalkan Islam, mereka hanya memahami Islam sekedar melaksanakan syiar-syiar ibadah tertentu, seperti shalat, puasa,. haji dan umrah. bagai sebuah agama yang sempurna Islam mengatur bukan hanya ibadah ritual namun juga bagaimana berinteraksi dengan yang lain dalam muamalah, dan bagaimana hukum syariat ekonomi dan sebagainya. www.pakdenono.com Pemahaman juga merupakan hal yang diperhatikan dalam Islam, seperti yang dikatakan Qardhawy bahwa barang siapa menginginkan kebaikan di dunia ini, hendaknya mencari ilmu; barang siapa menginginkan kebaikan di akhirat hendaknya mencari ilmu; dan barang siapa menginginkan keduaduanya hendaknya mencari ilmu www.pakdenono.com. Islam sangat memperhatikan untuk meluruskan pemahaman pengikutnya, sehingga pandangan dan sikap mereka terhadap permasalahan hidupnya menjadi lurus dan tashawwur (persepsi) umum mereka terhadap sesuatu dan nilai tertentu menjadi jelas. Islam tidak membiarkan mereka memandang sesuatu dengan
7
pemikiran yang dangkal, sehingga menyimpang dari orientasi yang benar dan tersesat dari jalan yang lurus.
Oleh karena itu Alquran dan hadits selalu meluruskan pemahaman-pemahaman yang menyimpang, pemikiran-pemikiran keliru yang tersebar di masyarakat. Sebagai contoh perhatian Islam dalam meluruskan pemahamanmasyarakat adalah ketika sebagian dari orang-orang Badui memahami bahwa keimanan itu sekedar pengumuman identitas dan menampakkan perbuatan. Maka Alquran turun untuk meluruskan pemahaman seperti itu, sebagaimana Firman Allah SWT:
"Orang-orang Arab Badui itu berkata, "Kami telah beriman." Katakanlah (kepada mereka), "Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, "Kami telah tunduk (Islam)." Karena keimanan itu belum masuk ke dalam hatimu, dan jika kamu tobat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang." Sesungguhnya orang -orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka dijalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar." (Al Hujurat: 14 - 15)
8
Sebagian orang mengira bahwa jalan keimanan menuju surga itu penuh mawar dan melati, tidak ada fitnah di dalamnya dan tidak ada tekanan serta tidak ada siksaan, maka Alquran turun untuk membetulkan pemahaman yang salah ini, yaitu dalam firman Allah SWT:
"Aliif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, "Kami telah beriman," sedang mereka tidak diuji lagi? Sesungguuhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta." (Al Ankabut: 1 - 3)
Dalam penelitian yang dilakukan oleh G. Stanley Hall dlaporkan bahwa anak-anak kecil jika ditanya tentang arti kata tertentu, lebih sering mengasosiasikan arti yang salah dari pada arti yang benar dengan kata-kata tersebut. Saat anak-anak menghafal hadits, guru membacakan hadits tersebut secara berulang-ulang, jika melihat dari hasil penelitian Hall, untuk memberikan pemahaman yang benar kepada anak tentunya harus dengan penjelasan yang tepat sesuai usia dan karakteristik anak mereka. Menurut Spitzer (1977), “penentu tunggal yang paling penting dari soal yang kita ingat, adalah kebermaknaan informasi”. Jika informasi harus bermakna bagi anak untuk diingat, maka kita perlu menyediakan berbagai
9
jenis kegiatan dimana anak akan berpartipasi karena mereka menemukan ketertarikan, manfaat, atau kesenangan. Tidaklah heran anak-anak memiliki kesulitan mengingat informasi yang memiliki sedikit makna bagi mereka, atau dangkal, atau membosankan mereka. Kebanyakan guru berpengalaman tentunya akan sepakat bahwa menyampaikan informasi kepada siswa sangat penting, tetapi mengajari siswa tentang tata cara memikirkannya lebih penting lagi (Arends, 2008: 322). Dalam penyelenggaraannya, berdasarkan observasi ke lapangan dan wawancara dengan guru-guru yang banyak sekolah yang mengajarkan hafalan hadits di sekolahnya, mereka memasukkannya dalam materi pembiasaan pagi atau saat berbaris dengan cara membaca secara berulang-ulang setiap hari. Metode ini, berdasarkan observasi di sebuah TK, anak-anak asik berbincangbincang sendiri sementara guru sedang membimbing hafalan mereka. Terlihat disini, anak-anak tidak menunjukan perhatian dan ketertarikan dalam kegiatan yang baik ini, sehingga menurut penulis kondisi ini dikhawatirkan kegiatan menghafal tersebut tidak bermakna bagi anak sehingga hasil belajarnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Diberitakan dalam Republika hari Jum’at tanggal 14 Mei 2010 bahwa saat ini terdapat 23.300 sekolah TK Alquran di Jawa Barat. Menurut ketua umum Ikatan Guru TK Alquran (IGTKA) Jabar. Zainal Abidin, maraknya TK Alquran disebabkan tingginya animo masyarakat menyekolahkan anakanaknya ke TK Alquran dibanding TK biasa. Di Kota Bandung terdapat dua TK Alquran dalam satu RW. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa
10
dilapangan, masih banyak kekuarangan baik menyangkut sarana maupun prasarananya. Beliau menggagas modernisasi yang mencakup materi dan metode pembelajaran, serta peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru TK Alquran. Proses pembelajaran sebagai bentuk perlakukan yang diberikan pada anak harus memperhatikan karakteristik yang dimiliki setiap tahapan perkembangan anak (Sujiono, 2009: 6). Ketika sekolah merancang pembelajaran harus memperhatikan karanteristik anak sesuai dengan tahap perkembangannya. Setiap anak memiliki pola dan waktu perkembangan yang unik, seperti kepribadian, tipe pembelajaran, dan latar belakang keluarga. Baik metodologi maupun interaksi orang dewasa dengan anak-anak haruslah sesuai dengan perbedaan individual anak-anak. Proses belajar terjadi karena adanya interaksi antara pemikiran anak dan pengalamannya dengan bahan-bahan ajar, gagasan-gagasan dan orang-orang. Pengalaman ini haruslah cocok dengan kemampuan anak yang sedang berkembang dan juga memberikan tantangan bagi minat dan pemahaman anak (Bredekamp, 1987; CRI, 2000: 17). Pembelajaran pada anak usia dini haruslah menggunakan konsep belajar sambil bermain (learning by playing), belajar sambil berbuat (learning by doing), dan belajar melalui stimulasi (learning by stimulating) (Sujiono, 2009: 9). Masa awal kanak-kanak sering disebut sebagai tahap mainan, karena dalam periode ini hampir semua permainan menggunakan mainan (Hurlock 1980: 121). Santrock (2002) mengatakan bahwa sejumlah pendidik
dan
11
psikolog yakin bahwa anak-anak prasekolah dan sekolah dasar paling baik belajar melalui metode-metode mengajar yang aktif dan bersifat konkrit seperti permainan dan
bermain
drama. Rasulullah SAW bersabda,
“Berkeringatnya seorang anak karena banyak bergerak dimasa kecilnya akan menambah kecerdasannya dimasa dewasa. “ Hadits riwayat Imam Tirmidzi (Mursi, 2003: 6). Dari Abu Sufyan Al Qutby, ia berkata: “Saya datang ke rumah Muawiyah ketika ia sedang bersandar, sedangkan punggung dan dadanya digelayuti seorang anak laki-laki atau anak perempuan. Saya berkata: “Singkirkanlah anak ini dari dirimu, wahai Amirul Mukminin!” Ia menjawab: “Saya mendengar Rasululloh SAW pernah bersabda: “Barangsiapa mempunyai anak kecil, hendaklah ia berlaku seperti kanak-kanak dengannya” (HR Ibnu Asakir; Prayitno, 2004: 526) dari hadits ini bermain menjadi salah satu hal yang dianjurkan dalam hubungan kita dengan anak-anak. Bermain merupakan dunia anak sehingga sangatlah tepat jika menggunakan metode bermain untuk mengembangkan kemampuan anak. Saat bermain, kemampuan kognitif anak akan terstimulasi seperti saat seorang
anak
membuat
keputusan
saat
bermain.
Permainan
yang
diperuntukan bagi anak memberikan peluang untuk menggali dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar, sehingga akan baik untuk perkembangan sosial dan emosi anak. Permainan pada anak dapat menimbulkan rasa nyaman, untuk bertanya, berkreasi, menemukan dan memotivasi mereka untuk menerima segala bentuk resiko dan menambah pemahaman mereka. Selain
12
itu, dapat menambah kesempatan untuk meningkatkan pemahaman dari setiap kejadian terhadap orang lain dan lingkungan (Sujiono, 2009: 46). Menurut
Kurniati (2008) suasana bermain dapat mengasilkan ingatan
yang lebih baik bagi anak. Sehingga jika ketika kegiatan menghafal dilakukan dengan menggunakan metode bermain sangat baik bagi ingatan anak terhadap materi yang dihafalnya. Selain itu, saat bermain
memungkinkan anak
meningkatkan perkembangan pemahamannya. Ketika bermain, anak tidak terikat pada realitas, hal ini penting untuk perkembangan pemahaman mereka, sama halnya dengan perkembangan kreativitas (Kurniati. 2008: 9) Pembelajaran yang dilakukan dengan bermain akan menambah pemahaman anak terhadap materi yang dipelajarinya. Jerome buruner yakin bahwa
permainan
penting
sekali
untuk
perkembangan
kemampuan
kecerdasan (Brunner, Jolly & Sylva, 1976; Mussen, 1984: 137) Salah satu hipotesis yang populer dalam psikologi perkembangan, menyatakan bahwa bermain membantu perkembangan kecerdasan. Buktinya berasal dari penelitian yang menunjukan bahwa anak-anak yang tidak mempunyai mainan dan sedikit kesempatan untuk bermain dengan anak lain, akan ketinggalan secara kognitif dari teman seusainya. Anak-anak dari ekonomi lemah tampak kurang bermain di taman kanak-kanak dibandingkan anak-anak kelas ekonomi menengah. Jadi beberapa psikologi yakin bahwa salah satu alasana mengapa banyak anak kelas ekonomi lemah mempunyaii persoalan pada saat mereka masuk sekolah, disebabkan pengalaman bermain
13
mereka yang kurang, kurang kompleks dan kurang bervariasi dibandingkan dengan kebanyakan anak-anak kelas menegah (Mussen, 1984: 139). Pada usia 2-7 tahun, merupakan tahap perkembangan praoperational yang ditandai oleh adanya kemampuan dalam menghadirkan objek dan pengetahuan melalui imitasi, permainan simbolis, menggambar, gambar mental, dan bahasa lisan (Sujiono, 2009: 80). Anak-anak TK B berusia antara 5-6 tahun sehingga anak-anak ini berada dalam tahap perkembangan praoperational yang salah satunya ditandai adanya permainan simbolis. Menurut laporan penelitian dari G. Stanley, bahwa anak-anak kecil jika ditanya apa arti kata tertentu, lebih sering mengasosiasikan arti yangs alah daripada arti yang benar dengan kata-kata tersebut (Hurlock, 1978: 38). Sehingga anak-anak harus belajar bagaimana menangkap perbedaanperbedaan dalam hal yang mereka dengar (Hurlock, 1978: 40). Metode bermain simbolik gerak merupakan metode yang didasarkan kepada tahapan bermain menurut Jean Piaget dalam Tedjasaputra (2001) bahwa “symbolic or make belive play” merupakan ciri periode pra operasional yang terjadi antara usia 2-7 tahun yang ditandai dengan bermain khayal dan bermain pura-pura”. Aspek pelaksanaan yang dimaksud adalah menggunakan permainan khayal dengan menggerakkan anggota badan yang menyimbolkan maksud atau makna kata. Saat pelaksanaanya seorang anak akan membuat gerakan imajinasi yang akan bermanfaat bagi kemampuan kognitif dan kreativitasnya. Kognisi merupakan konsep yang luas dan inklusif yang berhubungan dengan kegiatan mental dalam memperoleh, mengolah,
14
mengorganisasi, dan menggunakan pengetahuan. Proses utama yang termasuk di dalam istilah kognisi mencakup mendeteksi, menginterpretasi, mengklasifikasi, dan mengingat informasi, mengevaluasi gagasan, menyaring prinsip, dan menarik kesimpulan dari aturan, membayangkan kemungkinan, mengatur strategi, berfantasi dan bermimpi (Mussen, 1984: 194). Untuk mengingat kata-kata biasanya dilakukan dengan gerak jari atau badan, jadi pengalaman sensorik menyediakan isyarat memori untuk mengingat kata-kata (Beaty, 1994: 259). Bermain simbolik yang digunakan, diharapkan akan dapat meningkatkan perkembangan pengertian anak dalam memahami maksud hadits yang dihafalnya. Perkembangan pengertian ini sangat penting untuk diperhatikan karena dikhawatirkan jika anak salah memahami maksud hadits yang dipelajarinya akan berdampak pada penyesuaian dirinya terhadap masalah yang dibahas dalam hadits tersebut. G. Stanley Hall melakukan penelitian tentang bahayanya salah pengertian pada anak akan berdampak pada penyesuaian diri dan sosial anak (Hurlock, 1978: 63). Berdasarkan fenomena inilah penulis sangat tertarik untuk mengadakan penelitian terhadap
fenomena tersebut
diatas dan dituangkan
serta
menuliskannya dalam sebuah karya tulis ilmiah dengan judul: “Dampak Penggunaan Metode Bermain Simbolik Gerak Terhadap Kemampuan Mengingat Dan Memahami Maksud Hadits (Studi Eksperimen Kuasi Pada Anak Kelompok B Di Tk Salman Al Farisi Bandung).”
15
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran hadits dengan metode bermain simbolik gerak pada
anak
kelompok B di TK Salman Al Farisi
Bandung? 2. Seberapa besar perbedaan kemampuan mengingat hadits antara anak yang belajar melalui metode bermain simbolik gerak dan yang konvensional? 3. Seberapa besar perbedaan kemampuan memahami maksud hadits antara anak yang belajar melalui metode bermain simbolik gerak dan yang konvensional ?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan penelitian yang telah dirumuskan, maka tujuan pokok penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Pelaksanaan pembelajaran dengan metode bermain simbolik gerak di TK Salman Al Farisi 2. Perbedaan kemampuan mengingat anak kelompok B di TK Salman Al Farisi Bandung yang menggunakan metode bermain simbolik gerak dengan yang menggunakan metode konvensional
16
3. Perbedaan kemampuan memahami maksud hadits anak kelompok B di TK Salman Al Farisi Bandung yang menggunakan metode bermain simbolik gerak dengan yang menggunakan metode konvensional
D. Kegunaan Penelitian Penelitian yang dilakukan ini, kemudian dituangkan dalam tesis, diharapkan mempunyai dua kegunaan, yaitu: kegunaan secara praktis dan kegunaan secara teoritis. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan bagi: 1. Para guru, khususnya guru pada taman kanak-kanak maupun pendidikan anak usia dini lainnya dalam melaksanakan pembelajaran. 2. Bagi
yayasan
Pendidikan
Salman
Al
Farisi
Bandung,
dalam
merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran dalam menghafal hadits yang telah ditentukan. 3. Lembaga-lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan yang menerapkan hafalan hadits pada level pendidikan Taman Kanak-Kanak maupun level pendidikan anak usia dini lainnya agar pembelajaran hadits lebih memiliki dampak yang baik terhadap kemampuan mengingat dan memahami maksud hadits. Adapun secara teoretis, manfaat penelitian ini sebagai berikut:
17
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kajian dan informasi tentang metode pembelajaran yang tepat untuk mengembangkan kemampuan mengingat dan memahami maksud hadits 2. Memberi sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan aplikasi metode bermain simbolik gerak dalam meningkatkan kemampuan mengingat dan memahami hadits 3. Memberikan sumbangan pemikiran terhadap hasil-hasil penelitian terdahulu dan sebagai dukungan upaya penelitian yang akan datang.
E. Asumsi Penelitian Asumsi atau anggapan dasar atau postulat adalah sebuah titik tolak pemikiran yang kebenarannya diterima oleh penyidik yang harus dirumuskan dengan jelas (Arikunto, 1996: 60). Menurut Riduwan (2006) asumsi dapat berupa teori, evidensi-evidensi dan dapat pula pemikiran peneliti sendiri. Adapun asumsi dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengingat kata-kata biasanya dilakukan dengan gerak jari atau badan, jadi pengalaman sensorik menyediakan isyarat memori untuk mengingat kata-kata (Beaty, 1994: 259). Sehingga, metode bermain simbolik gerak dapat meningkatkan kemampuan mengingat. 2. Metode bermain simbolik gerak dapat meningkatkan kemampuan anak dalam memahami maksud hadits karena saat bermain anak-anak menciptakan dan melakukan gerak untuk menyimbolkan kata sesuai dengan pengertian mereka.
18
F. Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan penelitian yang dikemukakan diatas, maka hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan pembelajaran dengan metode bermain simbolik gerak memiliki dampak yang baik dalam meningkatkan kemampuan mengingat hadits pada kelompok B di TK Salman Al Farisi Bandung 2. Pelaksanaan pembelajaran dengan metode bermain simbolik gerak memiliki dampak yang baik dalam meningkatkan kemampuan memahami maksud hadits pada kelompok B di TK Salman Al Farisi Bandung
G. Definisi Operasional Untuk menghindari terjadinya kesalahan penafsiran terhadap variabelveriabel dalam penelitian ini, perlu dikemukakan definisi operasional sebagai berikut: 1. Bermain simbolik merupakan ciri periode praoperasional yang terjadi antara usia 2-7 tahun yang ditandai dengan bermain khayal dan bermain pura-pura (Tedjasaputra,2001:25). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Simbol dapat berarti tanda atau dapat berarti gerak yaitu; 1) peralihan tempat atau kedudukan , baik hanya sekali atau berkali-kali.; 2). Tingkah laku ( Departemen Pendidikan Nasional 2005). Simbolik gerak merupakan tingkah laku dalam menunjukan tanda atau menyimbolkan sesuatu. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba menggabungkan bermain simbolik sebagai ciri periode praoperasional dengan arti simbol sebagai gerak dengan
19
menggunakan anggota badannya. Maka langkah-langkahnya adalah: 1) guru membacakan hadits; 2) guru membacakan artinya; 3) guru menjelaskan maksud hadits; 4) bermain simbolik gerak yang menjelaskan maksud hadits; 5) membaca secara bersama-sama hadits dengan melakukan gerakan-gerakan tangan atau badan untuk menyimbolkan isi atau maksud hadits; 6) mengulang membaca hadits dengan melakukan gerakan-gerakan tangan atau badan. 2. Menghafal adalah suatu aktivitas menanamkan suatu materi verbal di dalam ingatan, sehingga nantinya dapat diproduksikan (diingat) kembali secara harfiah, sesuai dengan materi yang asli (Djamarah, 2002: 29). Ingatan adalah penarikan kembali informasi
yang pernah diperoleh
sebelumnya (Sudjana, 2008: 50). Menurut Spitzer (1977), mengingat perlu untuk anak mempelajari bahasa. Sebagian besar usaha awalnya melibatkan peniruan kata-kata orang lain. Kemampuan mengingat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan anak mengucapkan kembali hadits yang dihafalnya. 3. Mengucapkan kembali informasi dengan bahasa sendiri merupakan bentuk paling dasar dalam tingkatan memahami ( Kauchak, 2009: 94) Pemahaman adalah suatu proses mental sebagai perwujudan dari aktivitas kognisi yang tidak bisa dilihat. Produk dari pemahaman adalah perilaku yang dihasilkan setelah proses pemahaman itu terjadi, misalnya menjawab pertanyaan, baik secara lisan maupun tertulis (simon,1971;Burnes,1985 melalui Mulyati 1995 melalui Nuraeni,2006:31). Memahami hadits yang
20
dimaksud dalam penelitian ini adalah: ketika anak dapat menjelaskan maksud hadits yang mereka hafal dengan bahasa sendiri dan memberi contoh sesuai maksud hadits.
H. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen kuasi dengan pendekatan kuantitatif. Desain eksperimen yang digunakan dalam penelitian ini berbentuk desain kelompok pre-test dan posttest dengan kelompok control (A Randomized Pretest – Posttest Control Group Design). Penelitian ini dilakukan pada dua kelas yaitu satu kelas sebagai kelompok control dan kelas yang lain sebagi kelompok eksperimen. Penetapan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dilakukan secara acak terhadap kelas-kelas yang ada dengan subjek relatif sama, seperti; usia, tingkat,
jumlah
siswa,
waktu
belajar,
ketrampilan
dan
lain-lain
(Sugiyono,2008). Instrumen pengumpulan data utama dalam penelitian ini adalah tes lisan dan observasi.
I. Lokasi dan Sampel Penelitian Lokasi penelitian di TK Salman Al Farisi yang berada di jalan Tubagus Ismail VIII Bandung. Anak yang dijadikan subjek penelitian adalah anak TK B di TK Salman Al Farisi Bandung, dimana terdapat 3 kelas yaitu: kelas B1 , kelas B2 dan kelas B3 . Penelitian ini, akan menggunakan sampel penelitian pada kelas kelas B1 dan B2.
21