16
BAB II KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Tentang Bank 1. Pengertian Bank Pengertian bank secara otentik telah dirumuskan pada Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang mendefinisikan bank sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya dalam bentuk kredit dan/atau bentukbentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sebagai badan usaha, bank akan selalu berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari usaha yang dijalankannya. Sebaliknya sebagai lembaga keuangan, bank mempunyai kewajiban pokok untuk menjaga kestabilan nilai uang, mendorong kegiatan ekonomi, dan perluasan kesempatan kerja. Dengan sendirinya Bank Indonesia tidak termasuk dalam pengertian “bank”, sebab bukan sebuah badan usaha yang berusaha mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, kendati melakukan kegiatan usaha yang bersifat komersial pula (Rahmadi Usman, 2001: 59). Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa bank adalah suatu badan usaha yang berbadan hukum yang bergerak di bidang keuangan. Bank sebagai badan hukum berarti secara yuridis adalah merupakan subjek
16
17
hukum, yang dapat mengikatkan diri dengan pihak ketiga (Sentosa Sembiring, 2000: 2). 2. Asas dan Fungsi Bank Asas perbankan Indonesia tercantum dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yaitu: “Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian”. Penjelasan Pasal 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 menyebutkan bahwa yang dimaksud demokrasi ekonomi adalah demokrasi ekonomi yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 dimana sistem perekononomian Indonesia merupakan perwujudan falsafah sila-sila pancasila dan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 demi mencapai kemakmuran masyarakat. Adapun fungsi utama perbankan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat, maka dapat diketahui bahwa perbankan menjalankan fungsi intermediasi atau perantara antara pihak-pihak yang kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lacks of funds). 3. Jenis-jenis Bank Dalam
Undang-undang
Perbankan
Nomor
10
Tahun
1998,
kelembagaan bank ditata dalam struktur yang lebih sederhana, menjadi dua jenis bank saja. Dalam pasal 5 ayat (1) ditentukan bahwa bank menurut jenisnya terdiri dari:
18
a. Bank Umum Yang
dimaksud
dengan
Bank
Umum
adalah
bank
yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998). Bank Umum atau yang lebih dikenal dengan nama bank komersil merupakan bank yang paling banyak beredar di Indonesia. Bank Umum juga memiliki berbagai keunggulan jika dibandingkan dengan BPR, baik dalam bidang ragam pelayanan, sumber dana yang melimpah, jangkauan wilayah operasinya luas secara nasional, lalu lintas pembayaran melalui cek dan bilyet giro, maupun jangkauan wilayah operasinya. Artinya Bank Umum memiliki kegiatan pemberian jasa yang paling lengkap dan dapat beroperasi di seluruh wilayah Indonesia (Kasmir, 2006: 30). b. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Bank Perkreditan Rakyat (BPR) adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran (Pasal 1 ayat (4) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998). Kegiatan usaha BPR pada dasarnya sama dengan Bank Umum, hanya yang menjadi perbedaan adalah jumlah jasa yang dilakukan BPR jauh lebih sempit. BPR dibatasi oleh berbagai persyaratan, sehinggan
19
tidak dapat berbuat seleluasa Bank Umum. Keterbatasan kegiatan BPR juga dikaitkan dengan misi pendirian BPR itu sendiri (Kasmir, 2006: 37). BPR menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Pada mulanya tugas pokok BPR diarahkan untuk menunjang pertumbuhan dan modernisasi ekonomi pedesaan serta mengurangi praktek-praktek ijon dan para pelepas uang. Dengan semakin berkembangnya kebutuhan masyarakat, tugas BPR tidak hanya ditujukan bagi masyarakat pedesaan, tetapi juga mencakup pemberian jasa perbankan bagi masyarakat golongan ekonomi lemah di daerah perkotaan (Malayu S.P. Hasibuan, 2001: 38).
B. Tinjauan Tentang Bank Perkreditan Rakyat (BPR) 1. Pengertian BPR Pasal 1 ayat 4 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menjelaskan bahwa Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Sedangkan, menurut Pasal 1 ayat (5) Permendagri Nomor 22 Tahun 2006 menyatakan bahwa Bank Perkreditan Rakyat Milik Pemerintah Daerah yang selanjutnya disebut BPR Daerah adalah bank perkreditan rakyat yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki
20
oleh daerah melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan daerah yang dipisahkan. Status BPR diberikan kepada lembaga-lembaga lainnya yang sesuai Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 dengan memenuhi persyaratan tata cara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1992 dan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/26/2006 Tentang Bank Perkreditan Rakyat. Ketentuan tersebut diberlakukan karena mengingat bahwa lembaga-lembaga tersebut telah berkembang dari lingkungan masyarakat Indonesia, serta masih diperlukan oleh masyarakat, maksudnya keberadaan lembaga yang dimaksud diakui. Oleh karena itu, Undang-undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 memberikan kejelasan status lembaga-lembaga tersebut. Untuk menjamin kesatuan dan keseragaman dalam pembinaan dan pengawasan, maka persyaratan dan tatacara pemberian status lembaga-lembaga tersebut ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Dalam melaksanakan usahanya BPR berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Demokrasi ekonomi adalah sistem ekonomi Indonesia yang dijalankan sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 yang memiliki 8 ciri positif sebagai pendukung dan 3 ciri negatif yang harus dihindari (free fight liberalism, etatisme, dan monopoli). 2. Tujuan dan Usaha BPR Tujuan BPR adalah untuk menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, penumbuhan ekonomi,
21
dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak yang sasarannya melayani kebutuhan petani, peternak, nelayan, pedagang, pengusaha kecil, pegawai, dan pensiunan karena sasaran ini belum dapat terjangkau oleh bank umum dan untuk lebih mewujudkan pemerataan layanan perbankan, pemerataan kesempatan berusaha, pemerataan pendapatan, dan agar mereka tidak jatuh ke tangan para rentenir. Usaha BPR meliputi usaha untuk menghimpun dan menyalurkan dana dengan tujuan mendapatkan keuntungan. Keuntungan BPR diperoleh dari spread effect dan pendapatan bunga. Adapun usaha-usaha BPR adalah: a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. b. Memberikan kredit. c. Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. d. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan tabungan pada bank lain. SBI adalah sertifikat yang ditawarkan Bank Indonesia kepada BPR apabila BPR mengalami over likuiditas (udin.staff.gunadarma.ac.id, diakses hari Jumat, tanggal 31 Agustus 2012). Sedangkan kegiatan usaha Bank Perkreditan Rakyat Daerah menurut pasal 2 Permendagri Nomor 22 Tahun 2006 meliputi :
22
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito
berjangka,
tabungan
dan/atau
bentuk
lainnya
yang
dipersamakan; b. memberikan kredit dan sekaligus melaksanakan pembinaan terhadap pengusaha mikro kecil; c.
melakukan
kerjasama
antar
BPR
Daerah
dengan
lembaga
keuangan/lembaga lainnya; d. menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia, deposito berjangka dan atau tabungan di bank lainnya; e. membantu Pemerintah Daerah melaksanakan sebagian fungsi pemegang kas daerah sesuai peraturan perundang-undangan; f. menjalankan usaha perbankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah dengan memperhatikan fatwa Dewan Syariah Nasional; dan g. menjalankan usaha perbankan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada mulanya tugas pokok BPR diarahkan untuk menunjang pertumbuhan dan modernisasi ekonomi pedesaan serta mengurangi praktek-praktek
ijon
dan
para
pelepas
uang.
Dengan
semakin
berkembangnya kebutuhan masyarakat, tugas BPR tidak hanya ditujukan bagi masyarakat pedesaan, tetapi juga mencakup pemberian jasa perbankan bagi masyarakat golongan ekonomi lemah di daerah perkotaan (Malayu S.P. Hasibuan, 2001: 38).
23
C. Tinjauan Tentang Kredit 1. Pengertian dan Unsur-unsur Kredit Kata “kredit” berasal dari bahasa latin yaitu “credere” yang berarti “kepercayaan”. Kata “kredit” dalam dunia bisnis pada umumnya diartikan sebagai kesanggupan akan meminjam uang, atau kesanggupan akan mengadakan transaksi dagang atau memperoleh penyerahan barang atau jasa, dengan perjanjian akan membayarnya kelak (Munir Fuady, 1996:6). Pasal 1 Angka 11 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 menyebutkan definisi dari kredit yaitu: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.
Berdasarkan definisi tersebut, setidaknya terdapat 4 unsur pokok kredit (HR Daeng Naja, 2005:124-125), yaitu: a). Kepercayaan, setiap pelepasan kredit dilandasi dengan adanya keyakinan oleh bank bahwa kredit tersebut akan dibayar kembali oleh debitur sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan. b). Waktu, pelepasan kredit oleh bank dan pembayaran kembali oleh debitur dipisahkan oleh tenggang waktu. c). Risiko, pelepasan kredit jenis apapun akan terkandung resiko di dalamnya yaitu resiko yang terkandung dalam jangka waktu antara pelepasan kredit dan pembayaran kembali.
24
d). Prestasi, setiap terjadi kesepakatan antara bank dan debitur mengenai suatu pemberian kredit, pada saat itu pula terjadi suatu prestasi dan kontra prestasi. 2. Jenis Kredit Kredit dapat dibedakan menjadi lima macam menurut Kasmir (2002:109) yaitu: 1) Dilihat dari segi kegunaan kredit a)
Kredit Investasi Kredit investasi yaitu kredit jangka panjang yang biasanya untuk keperluan perluasan usaha atau membangun proyek/pabrik baru untuk keperluan rehabilitasi.
b)
Kredit Modal Kerja Kredit modal kerja yaitu kredit yang digunakan untuk keperluan meningkatkan produksi dalam operasionalnya, kredit modal kerja diberikan untuk membeli bahan baku, membayar gaji karyawan atau biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan proses produksi.
2) Dilihat dari segi tujuan kredit a)
Kredit Produktif Kredit produktif yaitu kredit yang digunakan untuk meningkatkan usaha atau produksi.
b)
Kredit Konsumtif Kredit konsumtif yaitu kredit yang digunakan untuk dikomsumsi secara pribadi, dalam kredit ini tidak ada pertambahan barang dan
25
jasa yang dihasilkan karena memang digunakan oleh seseorang untuk keperluan pribadi. c)
Kredit Perdagangan Kredit perdagangan yaitu kredit yang diberikan kepada pedagang dan digunakan untuk membiayai aktivitas perdagangannya seperti untuk membeli barang dagangan yang pembayarannya diharapkan dari hasil penjualan barang dagangan tersebut.
3) Dilihat dari segi jangka waktu a)
Kredit jangka pendek Merupakan kredit yang memiliki jangka waktu kurang dari 1 tahun atau paling lama 1 tahun biasanya digunakan untuk keperluan modal kerja.
b)
Kredit jangka menengah Jangka waktu kreditnya berkisar antara 1 tahun sampai dengan 3 tahun dan biasanya kredit ini digunakan untuk melakukan investasi.
c)
Kredit jangka panjang Merupakan kredit yang masa pengembaliannya paling panjang, kredit jangka panjang waktu pengembaliannya diatas 3 tahun atau 5 tahun, biasanya kredit ini untuk investasi jangka panjang seperti perkebunan karet, kelapa sawit, manufaktur dan untuk kredit konsumtif.
26
4) Dilihat dari segi sektor usaha a)
Kredit Pertanian Kredit yang dibiayai untuk sektor perkebuanan atau pertanian.
b)
Kredit Industri Kredit yang diberikan untuk biaya industri, baik industri kecil, industri menengah atau industri besar.
c)
Kredit Pertambangan Kredit yang diberkana kepada usaha tambang, jenis usaha tambang yang dibiayai biasanya dalam jangka panjang seperti tambang emas, minyak atau timah.
d)
Kredit pendidikan Kredit yang diberikan untuk membangun sarana dan prasarana pendidikan atau juga kredit untuk para mahasiswa.
e)
Kredit Perumahan Kredit untuk membiayai pembangunan atau pemberian perumahan dan biasanya berjangka waktu panjang.
f)
Dan sektor-sektor lainnya
5) Dilihat dari segi jaminan a)
Kredit dengan jaminan Merupakan kredit yang diberikan dengan suatu jaminan. Jaminan tersebut dapat berbentuk barang berwujud atau tidak berwujud atau jaminan orang. Artinya setiap kredit yang dikeluarkan akan dilindungi minimal senilai jaminan atau untuk kredit tertentu
27
jaminan harus melebihi jumlah kredit yang diajukan si calon debitur. b)
Kredit tanpa jaminan Merupakan kredit yang diberikan tanpa jaminan barang atau orang tertentu. Kredit jenis ini diberikan dengan menilai dan melihat prospek usaha, karakter serta loyalitas atau nama baik si calon debitur selama berhubungan dengan pihak bank dan pihak lainnya.
D. Tinjauan Tentang Perjanjian Kredit 1. Pengertian Perjanjian Kredit Sutan Remy Sahdeini mengartikan perjanjian kredit sebagai perjanjian bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur mengenai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu yang mewajibkan nasabah debitur untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tetentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan (Sutan Remy Sjahdeini. 2009: 159-161). Sutan Remy mengemukakan tiga ciri perjanjian bank, yaitu: a). Bersifat konsensual Sifat konsensual suatu perjanjian kredit merupakan ciri pertama yang membedakan dari perjanjian pinjam-meminjam yang bersifat riil. Hak nasabah debitur untuk dapat menarik atau kewajiban bank untuk menyediakan kredit, masih bergantung pada terpenuhinya semua syarat yang ditentukan di dalam perjanjian kredit. b). Penggunaan kredit tidak dapat digunakan secara leluasa
28
Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah debitur tidak dapat digunakan secara leluasa seperti yang dilakukan oleh peminjam uang biasa. Kredit harus digunakan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan di dalam perjanjian dan pemakaian yang menyimpang dari tujuan itu menimbulkan hak kepada bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak dan untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh baki debet atau outstanding kredit. Hal ini berarti nasabah debitur bukan merupakan pemilik mutlak dari kredit yang diperolehnya. Artinya, perjanjian kredit tidak mempunyai ciri yang sama dengan perjanjian pinjam meminjam. Oleh karena itu, terhadap perjanjian kredit bank tidak
berlaku
ketentuan-ketentuan
Bab
XIII
Buku
Ketiga
KUHPerdata. c). Syarat cara penggunaannya Kredit bank hanya dapat digunakan menurut cara tertentu, yaitu dengan menggunakan cek atau perintah pemindahbukuan, kredit tidak pernah diserahkan oleh bank ke dalam kekuasaan mutlak nasabah debitur. 2. Bentuk dan Isi Perjanjian Kredit Perjanjian kredit merupakan kesepakatan para pihak, dengan demikian maka bentuknya juga tergantung kepada para pihak yang mengikatkan dirinya dalam perjanjian. Suatu perjanjian kredit dapat dibuat secara lisan atau tertulis, asalkan pada pokoknya telah memenuhi syaratsyarat dalam membuat perjanjian sebagaimana yang diatur dalam pasal
29
1320 KUHPerdata. Praktek yang lazim pada masyarakat sekarang dalam membuat perjanjian kredit adalah secara tertulis. Hal ini dikarenakan dari sudut pembuktian perjanjian secara lisan sulit untuk dijadikan sebagai alat pembuktian apabila dikemudian hari terjadi masalah. Akan berbeda apabila perjanjian dibuat secara tertulis yang mana lebih memudahkan para pihak dalam mengingat isi perjanjian termasuk mengenai hak dan kewajiban para pihak. Namun bagaimanapun, perjanjian kredit yang dibuat secara lisan tetap diakui sebagai bentuk perjanjian kredit, sepanjang dapat dibuktikan dengan baik oleh para pihak. Menurut Ch. Gatot Wardoyo, beberapa klausul yang selalu dan perlu dicantumkan dalam setiap perjanjian kredit (HR Daeng Naja, 2005:193196), yaitu : a. Syarat-syarat penarikan kredit pertama kali (predisbursement clause). Klausul ini menyangkut pembayaran provisi, premi asuransi kredit, penyerahan barang jaminan dan dokumennya, pelaksanaan pengikatan barang jaminan tersebut serta pelaksanaan penutupan asuransi barang jaminan dan asuransi kredit. b. Klausul mengenai maksimum kredit (amount clause). Klausul ini merupakan objek dari perjanjian kredit sehingga perubahan kesepakatan mengenai
materi
ini
menimbulkan
konsekuensi
pembuatan perjanjian kredit baru. c. Klausul mengenai jangka waktu kredit. d. Klausul mengenai bunga pinjaman (interest clause).
diperlukannya
30
e. Klausul mengenai barang agunan. f. Klausul asuransi (insurance clause). g. Klausul mengenai tindakan yang dilarang oleh bank (negative clause). h. Trigger clause atau Opeisbaar Clause. Klausul ini mengatur hak bank untuk mengakhiri perjanjian kredit secara sepihak walaupun jangka waktu perjanjian kredit tersebut belum berakhir. i. Klausul mengenai denda (penalty clause). j. Expence Clause. Klausul ini mengatur mengenai beban biaya dan ongkos yang timbul sebagai akibat pemberian kredit, yang biasanya dibebankan kepada debitur antara lain biaya pengikatan jaminan, pembuatan akta dan penagihan kredit. k. Debet Authorization Clause. Klausul ini berisi pendebetan rekening pinjaman debitur haruslah dengan seizin debitur. l. Representation and Warranties. Klausul ini berisi janji dan jaminan debitur bahwa semua data dan informasi yang diberikan kepada bank adalah benar. m. Klausul ketaatan pada ketentuan bank. n. Miscellaneous (pasal-pasal tambahan). o. Dispute Settlement (Alternatif Dispute Resolution). Klausul ini mengatur mengenai penyelesaian jika antara kreditur dan debitur terjadi perselisihan.
31
p. Pasal Penutup, memuat eksemplar perjanjian kredit yang memuat pengaturan mengenai jumlah alat bukti, tanggal berlakunya serta tanggal penandatanganan perjanjian kredit. 3. Prosedur Pemberian Kredit Oleh Bank Prosedur dan penilaian kredit oleh dunia perbankan secara umum tidak jauh berbeda antara bank satu dengan bank yang lainnya., yang menjadi perbedaan mungkin hanya terletak dari bagaimana tujuan bank tersebut serta persyaratan yang ditetapkannya dengan pertimbangan masingmasing. Prosedur pemberian kredit secara umum menurut Kasmir (2003: 110114) dapat dibedakan antara pinjaman perorangan dengan pinjaman oleh suatu badan hukum kemudian dapat ditinjau pula dari segi tujuannya apakah untuk konsumtif atau produktif. Secara umum akan dijelaskan prosedur pemberian kredit oleh badan hukum (Kasmir, 2002: 123) sebagai berikut: a. Pengajuan Berkas-berkas Dalam hal ini pemohon kredit mengajukan permohonan kredit yang dituangkan dalam bentuk proposal, kemudian dilampiri suatu berkasberkas lainnya yang dibutuhkan. Pengajuan proposal kredit hendaknya berisi: 1) Latar belakang pemohon kredit perseorangan atau perusahaan; 2) Maksud dan tujuan mengajukan kredit; 3) Besarnya kredit dan jangka waktu;
32
4) Cara pemohon mengembalikan kredit dijelaskan secara rinci, caracara nasabah dalam mengembalikan kreditnya apakah dari hasil penjualan atau cara yang lainnya; 5) Jaminan kredit, merupakan jaminan untuk menutupi segala segala resiko terhadap kemungkinan macetnya kredit yang ada unsur kesengajaan ataupun tidak. Penilaian jaminan kredit haruslah teliti jangan sampai terjadi sengketa, palsu, dan sebagainya. Biasanya jaminan diikat dengan suatu asuransi tertentu, selanjutnya proposal ini dilampiri dengan berkas-berkas yang telah disyaratkan seperti: a) Akta Notaris. Dipergunakan oleh suatu perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) atau Yayasan. b) T.D.P (Tanda Daftar Perusahaan). Merupakan tanda daftar perusahaan yang dikeluarkan oleh Departemen Perindustrian dan Perdagangan yang biasanya berlaku selama lima tahun, jika habis dapat diperpanjang kembali. c) NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). NPWP dimana sekarang ini setiap pemberian kredit yang terus dipantau oleh Bank Indonesia adalah NPWP-nya. d) Neraca dan Laporan rugi laba tiga tahun terakhir. e) Bukti diri dari pimpinan perusahaan. f) Fotocopy sertifikat jaminan. Penilaian yang dapat kita lakukan untuk sementara adalah dari neraca dan laporan rugi laba.
33
b. Penyelidikan berkas pinjaman Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah berkas pinjaman yang diajukan sudah lengkap sesuai persyaratan dan sudah benar. Jika menurut pihak perbankan belum lengkap atau cukup maka nasabah diminta untuk segera melengkapinya dan apabila sampai batas waktu tertentu nasabah tidak sanggup melengkapi kekurangannya, maka sebaiknya permohonan kredit dibatalkan saja. c. Wawancara I Merupakan penyelidikan kepada calon peminjam dengan langsung berhadapan dengan calon peminjam, untuk meyakinkan apakah berkas-berkas tersebut sesuai atau lengkap seperti yang pihak bank inginkan. Wawancara ini juga untuk mengetahui keinginan dan kebutuhan nasabah yang sebenarnya, hendaknya dalam wawancara ini dibuat serileks mungkin sehingga diharapkan hasil wawancara akan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. d. On the Spot Merupakan kegiatan pemeriksaan ke lapangan dengan meninjau berbagai obyek yang akan dijadikan usaha atau jaminan. Kemudian hasilnya dicocokan dengan hasil wawancara I. Pada saat akan melakukan On the Spot hendaknya jangan diberitahu kepada nasabah sehingga apa yang kita lihat di lapangan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya.
34
e. Wawancara II Merupakan kegiatan perbaikan berkas, jika mungkin ada kekurangan pada saat setelah dilakukan on the spot di lapangan. Catatan yang ada pada permohonan dan pada saat wawancara I dicocokkan dengan saat On the Spot apakah ada kesesuaian dan mengandung suatu kebenaran. f. Keputusan Kredit Keputusan kredit dalam hal ini adalah menentukan apakah kredit akan diberikan
atau
ditolak,
jika
diterima,
maka
dipersiapkan
administrasinya. Biasanya mencakup : 1) jumlah uang yang diterima 2) jangka waktu 3) dan biaya-biaya yang harus dibayar Keputusan kredit biasanya merupakan keputusan team, begitu pula bagi kredit yang ditolak, maka hendaknya dikirim surat penolakan sesuai dengan alasannya masing-masing. g. Penandatangan akad kredit/perjanjian lainnya Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari diputuskannya kredit, maka sebelum kredit dicairkan maka terlebih dahulu calon nasabah menandatangani akad kredit secara langsung atau melalui notaris. h. Realisasi kredit Diberikan setelah penandatanganan surat-surat yang diperlukan dengan membuka rekening giro atau tabungan di bank yang bersangkutan.
35
i. Penyaluran/penarikan adalah pencairan atau pengambilan uang dari rekening sebagai realisasi dari pemberian kredit dan dapat diambil sesuai ketentuan dan tujuan kredit yaitu sekaligus atau secara bertahap. 4. Kredit Bermasalah Dalam praktek perbankan sehari-hari pengertian kredit bermasalah adalah kredit-kredit yang masuk dalam kategori kurang lancar, kredit diragukan atau kredit macet. Menurut Kasmir (2000:155) kredit bermasalah : “Kredit bermasalah atau kredit macet adalah kredit yang didalamnya terdapat hambatan yang disebabkan oleh 2 unsur yakni dari pihak perbankan dalam menganalisis maupun dari pihak nasabah yang dengan sengaja atau tidak sengaja dalam kewajibannya tidak melakukan pembayaran sebagaimana mestinya”.
Berdasarkan beberapa pengertian diatas mengenai kredit bermasalah dapat diambil kesimpulan bahwa kredit yang diberikan kepada debitur banyak sekali mengandung risiko yang dapat mengakibatkan timbulya kredit bermasalah dikarenakan pembayaran pinjaman yang tidak tepat waktu. Jenis-jenis kredit antara lain: a. Kredit Lancar Yaitu kredit yang perjalanannya lancer/memuaskan, artinya segala kewajiban bunga atau angsuran utang pokok diselesaikan oleh nasabah secara baik.
36
b. Kredit Tidak Lancar Yaitu kredit yang pengembalian pokok pinjaman dan pembayaran bunga telah mengalami penundaan selama 3 ( tiga ) bulan dari waktu yang di perjanjikan. c. Kredit Diragukan Yaitu kredit yang telah tidak lancar dan telah sampai pada jatuh temponya belum juga dapat diselesaikan oleh nasabah bersangkutan. Umumnya bank memberikan kesempatan kepada nasabah untuk berusaha menyelesaikan selama 3 atau 6 bulan barulah bank mengambil langkah lebih lanjut. d. Kredit Macet Kredit yang pengambilan pokok pinjaman dan pembayaran bunga telah mengalami penundaan lebih dari satu tahun sejak jatuh tempo menurut jadwal yang telah diperjanjikan. Dalam usaha mengatasi timbulnya kredit bermasalah dapat dilakukan beberapa tindakan penyelamatan sebagai berikut : a. Rescheduling ( Penjadwalan Kembali ) Merupakan upaya pertama bagi bank untuk penyelamatan kredit yang diberikan kepada debitur. Hal tersebut disesuaikan dengan proyeksi arus kas yang bersumber dari usaha debitur yang sedang mengalami kesulitan.
37
b. Reconditioning Merupakan usaha bank untuk menyelamatkan kredit yang diberikan dengan cara mengubah sebagian atau keseluruhan kondisi (persyaratan) yang semula disepakati bersama pihak debitur dan dituangkan dalam perjanjian kredit. c. Restructuring (Restrukturisasi) Usaha penyelesaian kredit yang terpaksa harus di lakukan bank dengan cara merubah komposisi pembiayaan yang mendasari pemberian kredit. Salah satu cara menanggulangi kesulitan nasabah tersebut adalah dengan mengubah struktur pembiayaan bagi proyek atau usaha. d. Eksekusi dilakukan jika semua usaha penyelamatan diatas telah dicoba namun nasabah masih juga tidak mampu memenuhi kewajibannya terhadap bank maka jalan terakhir adalah bank melakukan eksekusi melalui berbagai cara antara lain (Makalah PD. BPR. Bank Pasar Sukoharjo, 2005: 29): 1) Menyerahkan kewajibannya kepada BUPN ( Badan Usaha Piutang Negara ) 2) Menyerahkannya kepada pengadilan Negeri ( Perkara Perdata ) E. Tinjauan Tentang Prinsip Kehati-hatian 1. Pengertian Prinsip Kehati-hatian (Prudent Banking Principles) Istilah prudent sangat erat kaitannya dengan fungsi pengawasan bank dan manajemen bank. Kata prudent itu sendiri secara harfiah dalam bahasa
38
indonesia berarti bijaksana, namun dalam dunia perbankan istilah itu digunakan untuk asas kehati-hatian (Permadi Gandapraja, 2004:21). Prinsip kehati-hatian (prudent banking principle) adalah suatu asas atau prinsip yang menyatakan bahwa dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya (Rachmadi Usman, 2001:18). Hal ini disebutkan dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Dalam penjelasan Pasal 4 Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 Tentang Lalu Lintas Devisa dinyatakan bahwa Prinsip Kehati-hatian adalah salah satu upaya untuk meminimalkan risiko usaha dalam pengelolaan bank, baik melalui ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia maupun ketentuan intern bank yang bersangkutan. Bank Indonesia berwenang untuk mengatur mengenai Prinsip Kehatihatian bagi usaha bank seperti yang ternyata dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Pasal 25 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur bank, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian.”
Penjelasan Pasal 25 ayat 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia dijelaskan pula bahwa ketentuan-ketentuan perbankan
yang
memuat
prinsip
kehati-hatian
bertujuan
untuk
39
memberikan
rambu-rambu
bagi
penyelenggaraan
kegiatan
usaha
perbankan guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat. Prinsip kehatihatian mengharuskan bank untuk selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya, dalam arti harus konsisten dalam melaksanakan peraturan
perundang-undangan
di
bidang
perbankan
berdasarkan
profesionalisme dan itikad baik (Hermansyah, 2008:135). 2. Dasar Hukum Berlakunya Prinsip Kehati-hatian Undang-undang Perbankan sebenarnya tidak memberikan penjelasan secara pasti mengenai pengertian prinsip kehati-hatian (prudential banking), namun dalam Pasal 29 ayat 2, 3, dan 4 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 mempertegaskan kembali pentingnya prinsip kehati-hatian diterapkan, yang menyatakan: Pasal 29 ayat (2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Berdasarkan ketentuan pasal 29 ayat (2) di atas, maka tidak ada alasan apa pun juga bagi pihak bank untuk tidak menerapkan prinsip kehatihatian dalam menjalankan kegiatan usahanya dan wajib menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian. Ini mengandung arti, bahwa segala perbuatan dan kebijaksanaan yang dibuat dalam rangka melakukan kegiatan usahanya harus senantiasa berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
40
Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 29 ayat (3) terkandung arti perlunya diterapkan prinsip kehati-hatian dalam rangka penyaluran kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah kepada nasabah debitor. Selengkapnya ketentuan tersebut mengemukakan bahwa : Pasal 29 ayat (3) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank. Ketentuan Pasal 29 ayat (2) dan (3) di atas tentu berhubungan erat dengan ketentuan Pasal 29 ayat (4), karena bertujuan untuk melindungi kepentingan nasabah menyimpan dan simpanannya. Adapun ketentuan tersebut menyatakan bahwa : Pasal 29 ayat (4) Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui bank. Jika memperhatikan judul Bab V UU Perbankan (terdiri dari Pasal 29 s/d Pasal 37B), maka Pasal 29 merupakan Pasal yang termasuk dalam ruang lingkup pembinaan dan pengawasan. Artinya, ketentuan prudent banking sendiri merupakan bagian dari pembinaan dan pengawasan oleh bank. Sebenarnya pengaturan prinsip kehati-hatian ini ternyata termaktub juga pada bagian pasal sebelumnya, yaitu Pasal 8, 10, dan 11 UU Perbankan. Pasal 8 Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang dijanjikan.
41
Pasal 10 Bank Umum dilarang: a. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dan huruf c b. melakukan usaha perasuransian c. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7. Pasal 11 Pasal 11 ayat (1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga, atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam kelompok yang sama dengan bank yang bersangkutan. Pasal 11 ayat (2) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh persen) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Pasal 11 ayat (3) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian jaminan, penempatan investasi Surat Berharga atau hal lain yang serupa, yang dapat dilakukan oleh bank kepada : a. Pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh per seratus) atau lebih dari modal disetor bank b. Anggota dewan komisaris c. Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c d. Pejabat bank lainnya, dan e. Perusahaan-perusahaan yang didalamnya terdapat kepentingan dari pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e. Pasal 11 ayat (4) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh melebihi 10% (sepuluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BI. Apa yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian, oleh Undang-undang Perbankan sama sekali tidak dijelaskan, baik pada bagian ketentuan maupun
dalam
penjelasannya.
Undang-undang
Perbankan
hanya
menyebutkan istilah dan ruang lingkupnya saja sebagaimana dijelaskan
42
dalam Pasal 29 ayat (2), (3), dan (4). Dalam bagian akhir ayat (2) misalnya disebutkan bahwasanya bank wajib melaksanakan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Dalam pengertian, bank wajib untuk tetap senatiasa memelihara tingkat kesehatan bank, kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank. Apa saja yang dimaksud dengan aspek lain itu tidak dijelaskan. Dalam pada itu, dalam rangka mendukung atau menjamin terlaksananya proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan prinsip kehatian-hatian, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan intern dalam bentuk self regulations. Ruang aturan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit tersebut meliputi Kewajiban penyusunan dan Pelaksanaan Kebijakan Perkreditan Bank, BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit), Penilaian Kualitas Aktiva, Sistem Informasi Debitur, dan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Hal menarik dalam ketentuan prinsip kehati-hatian bank adalah adanya kewajiban bagi bank menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko keinginan sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan bank, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 29 ayat (4). Penyediaan informasi mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian nasabah dimaksudkan agar akses untuk memperoleh infomasi perihal kegiatan usaha dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjamin adanya transparansi dalam dunia perbankan. Informasi tersebut
43
perlu diberikan dalam hal bank bertindak sebagai perantara dana dari nasabah atau pembelian/penjualan surat berharga untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya (Penjelasan Pasal 29 ayat (4) Undang-undang Perbankan). Walaupun ketentuan ini terkesan berlebihan, tetapi ketentuan ini menunjukkan bank benar-benar memiliki tanggung jawab terhadap pada nasabahnya. Hal ini penting bagi bank dalam rangka menjaga hubungan baik dan berkelanjutan dengan nasabahnya. Sebab, jika sekali nasabah dirugikan akibatnya nasabah selamanya tidak akan percaya kepada bank bersangkutan. Hal ini juga relevan dengan konsep hubungan antara bank dan nasabahnya, yang bukan hanya sekedar hubungan debitur – kreditur semata, melainkan lebih dari itu sebagai hubungan kepercayaan (fiduaciary relationship) (St. Remi Sjahdeini, 1996:3). 3. Kehati-hatian sebagai Prinsip Utama Bank dalam Memberikan Kredit Menurut pasal 1 angka 11, kredit adalah: Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak penjamin untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyebutkan bahwa sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama, mengingat sumber dana kredit yang disalurkan adalah bukan dana dari bank itu sendiri, tetapi dana yang berasal dari masyarakat sehingga perlu penerapan prinsip kehati-hatian melalui analisa
44
yang akurat dan mendalam, penyaluran yang tepat, pengawasan dan pemantauan yang baik, perjanjian yang sah dan memenuhi syarat hukum, pengikatan jaminan yang kuat dan dokumentasi perkreditan yang teratur dan lengkap. Semuanya itu bertujuan agar kredit yang disalurkan tersebut dapat kembali tepat pada waktunya sesuai perjanjian kredit yang meliputi pinjaman pokok dan bunga. Apabila kredit yang telah disalurkan bank kepada masyarakat dalam jumlah besar tidak dibayar kembali kepada bank tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian kredit, maka kualitas kredit dapat digolongkan menjadi non performing lean (NPL). Jumlah kredit yang NPLnya tinggi akibatnya dapat mengganggu kesehatan bank yang bersangkutan. Dengan diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit dinilai akan menurunkan kredit bermasalah (non performing loan/ NPL). Selain itu, bank-bank yang memiliki NPL besar saat ini terus melakukan restrukturisasi untuk menurunkan kredit bermasalahnya. Oleh karena itu, dalam memberikan kredit, harus mengikuti tahap-tahap yang tepat sehingga terhindar dari kredit bermasalah. Menurut Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/ 26 /DKBU Tanggal 19 September 2012 Tentang Pedoman Kebijakan dan Prosedur Perkreditan Bagi Bank Perkreditan Rakyat, Prinsip kehati-hatian dalam perkreditan meliputi:
45
a). Kebijakan dalam Pemberian Kredit Kebijakan dalam pemberian kredit mencakup kebijakan mengenai pemberian kredit yang sehat, penilaian agunan, pemberian kredit kepada pihak terkait dengan BPR, debitur grup, dan/atau debitur besar, kredit yang mengandung risiko tinggi serta kredit yang perlu dihindari. (1) Kebijakan pemberian kredit yang sehat, paling kurang meliputi: (a) prosedur dan kewenangan perkreditan yang sehat termasuk memiliki prosedur persetujuan kredit, prosedur dokumentasi dan administrasi kredit, prosedur pengawasan kredit; (b) kredit yang perlu mendapat perhatian khusus; (c) prosedur penanganan kredit bermasalah yang terdiri dari penyelamatan kredit dan penyelesaian kredit; (d) penyelesaian agunan yang telah dikuasai BPR yang diperoleh dari hasil penyelesaian kredit. (2) Kebijakan penilaian agunan, paling kurang meliputi: (a) prosedur dan tata cara penilaian agunan dari aspek legalitas dan ekonomis yang mencakup dokumen kepemilikan agunan, pengikatan agunan, penetapan nilai taksasi agunan¸ dan penetapan batasan jumlah nilai agunan terhadap jumlah kredit yang akan diberikan, dengan memperhatikan perubahan nilai agunan selama jangka waktu kredit. (b) agunan yang akan digunakan sebagai faktor pengurang PPAP adalah agunan yang ada dan jelas keberadaannya, serta dapat dieksekusi
46
sebagaimana diatur dalam PBI yang mengatur mengenai Kualitas Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusa Aktiva Produktif (KAP dan Pembentukan PPAP). (c) kewajiban melampirkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) pada satu tahun terakhir untuk agunan berupa tanah dan/atau bangunan dengan bukti kepemilikan berupa Surat Girik (Letter C) atau yang dipersamakan dengan itu, termasuk Akta Jual Beli yang dibuat oleh notaris atau pejabat lainnya yang berwenang. Yang dimaksud dengan SPPT pada satu tahun terakhir adalah SPPT satu tahun terakhir (minimal) pada saat debitur mengajukan kredit. (3) Kebijakan pemberian kredit kepada pihak terkait dengan BPR, kelompok peminjam (debitur grup), dan/atau debitur besar, paling kurang meliputi: (a) persentase jumlah maksimum penyediaan keseluruhan fasilitas kredit yang diberikan kepada pihak terkait dengan BPR, debitur grup dan/atau debitur besar terhadap jumlah modal BPR, dengan berdasarkan pada perhitungan Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) BPR. (b) persentase jumlah maksimum penyediaan fasilitas kredit kepada pihak terkait dengan BPR, debitur grup, dan/atau debitur besar dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK).
47
(c) tatacara penyediaan kredit kepada pihak terkait dengan BPR, debitur grup, dan/atau debitur besar, yang akan disindikasikan dan berbagi risiko (risksharing) dengan bank lain yaitu minimal harus disetujui oleh 1 (satu) orang anggota Direksi dan 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris. (d) memelihara daftar nama pihak terkait dengan BPR, debitur grup, dan/atau debitur besar dalam rangka menjamin efektifitas penerapan batas maksimum penyediaan keseluruhan fasilitas kredit yang diberikan oleh BPR kepada pihak terkait dengan BPR, debitur grup, dan/atau debitur besar. (e) prosedur perkreditan yang disetujui oleh Direksi harus memuat kriteria pihak terkait dengan BPR dan debitur grup dengan mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), serta kriteria debitur besar yang ditetapkan oleh Direksi. (4) Kebijakan pemberian kredit kepada sektor ekonomi, kegiatan usaha, dan debitur yang mengandung risiko tinggi. Kredit kepada sektor ekonomi, kegiatan usaha, dan debitur yang mengandung risiko tinggi, antara lain meliputi pemberian kredit untuk: (a) komoditi yang harganya berfluktuasi tinggi; (b) sektor ekonomi atau kegiatan usaha yang banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal misalnya faktor cuaca dan lain-lain;
48
(c) sektor ekonomi atau kegiatan usaha yang diluar keahlian dan kemampuan BPR; (d) lokasi usaha yang berada di daerah tertentu misalnya daerah konflik/ kerusuhan atau rawan bencana; (e) debitur yang tergolong Politically Exposed Person (PEP) yaitu orang yang mendapatkan kepercayaan untuk memiliki kewenangan publik diantaranya adalah Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Penyelenggara Negara, dan/atau orang yang tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik. Kebijakan pemberian kredit kepada sektor ekonomi, kegiatan usaha dan debitur yang mengandung risiko tinggi, antara lain BPR harus mempunyai satuan/unit kerja perkreditan atau pegawai yang telah memiliki kompetensi yang memadai dalam bidang usaha yang akan dibiayai. Kebijakan pemberian kredit untuk debitur yang tergolong Politically Exposed Person (PEP) diantaranya harus memperhatikan ketentuan mengenai anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme (APU dan PPT). (5) Kebijakan mengenai kredit yang perlu dihindari, antara lain meliputi: (a) kredit untuk tujuan spekulasi;
49
(b) kredit yang diberikan tanpa informasi keuangan yang cukup; Informasi keuangan yang tidak mencukupi tersebut dikecualikan terhadap kredit kepada usaha mikro sepanjang telah diperoleh keyakinan atas debitur. (c) kredit yang memerlukan keahlian khusus yang tidak dimiliki oleh BPR; dan (d) kredit kepada debitur bermasalah dan/atau debitur yang memiliki kredit dengan kolektibilitas Macet pada BPR atau bank lain. b). Kebijakan Penilaian Kualitas Kredit Kebijakan penilaian kualitas kredit harus sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia antara lain bank wajib menetapkan kualitas kredit yang sama terhadap beberapa fasilitas kredit yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) debitur pada BPR yang sama. Termasuk pengertian 1 (satu) debitur adalah fasilitas kredit kepada suami dan istri kecuali apabila terdapat perjanjian pemisahan harta yang disahkan oleh pengadilan atau instansi yang berwenang sesuai perundang-undangan yang berlaku. c). Kebijakan mengenai Profesionalisme dan Integritas Pejabat/Pegawai Perkreditan Semua pejabat/pegawai BPR yang terkait dengan perkreditan termasuk Pengurus BPR paling kurang harus:
50
(1) melaksanakan keahliannya secara profesional, jujur, obyektif, cermat dan seksama. (2) memiliki komitmen untuk tidak melaksanakan perbuatan-perbuatan sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 49 ayat (2) huruf a Undang-Undang
nomor
7
Tahun
1992
tentang
Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998.
4. Sanksi bagi Pelanggaran Prinsip Kehati-hatian Akhir-akhir ini permasalahan yang terjadi pada beberapa bank disebabkan oleh tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan, lemahnya law enforcement. Oleh karena itu, diperlukan tindakan yang represif bagi pihak yang terbukti melakukan penyimpangan, serta langkah preventif untuk mencegahnya. Bagi bank yang tidak dapat memenuhi kewajibannya dalam menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalankan usahanya, maka terhadap bank ini dapat dikenakan sanksi berupa: 1). Sanksi administratif a). Denda b). Teguran tertulis c). Penurunan tingkat kesehatan bank d). Larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring
51
e). Pembekuan kegiatan usaha tertentu baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan f). Pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia g). Pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan (Muhammad Djumhana, 2000: 278). Bank Indonesia tidak mungkin melakukan sendiri upaya penataan system
perbankan dan pemberian sanksi
administratifnya, tetapi
diperlukan kerja samayang baik dengan aparat penegak hukum maupun dengan internal perbankan, antara lain melalui direktur kepatuhan perbankan. 2. Pencabutan izin usaha bank Selain sanksi administrasi, kepada bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Perbankan dapat dijatuhi sanksi pencabutan izin usaha bank. Pencabutan izin usaha terhadap beberapa bank yang tidak dikelola secara professional merupakan upaya melindungi kepentingan masyarakat, agar tidak mengganggu atau membahayakan atau membahayakan sistem perbankan secara keseluruhan.