SERAT WIYATA ADI: ASPEK PENDIDIKAN KARAKTER ANAK DEKADE 1920-AN MELALUI SASTRA ANAK BERBAHASA JAWA1 SERAT WIYATA ADI: ASPECTS OF CHILD CHARACTER EDUCATION IN THE 1920S THROUGH JAVANESE CHILD LITERARY Dhanu Priyo Prabowo Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta
[email protected]
Abstrak Sastra anak berbahasa ibu (Jawa) merupakan karya sastra Jawa yang masih ditulis hingga saat ini. Akan tetapi, sastra anak berbahasa Jawa yang berbentuk tembang (puisi) amat langka. Kebanyakan sastra anak berbahasa Jawa ditulis dalam bentuk gancaran (prosa). Salah satu karya sastra anak berbahasa Jawa adalah Serat Wiyata Adi (SWA), karya Samsoe Hadiwijata, terbitan Balai Pustaka. Karya tersebut merupakan media yang dipakai oleh penulisnya untuk membangun karakter anak-anak Jawa pada dekade 1920-an. Masalah penelitian ini ialah bagaimana SWA berperan sebagai media pembangun karakter anak tahun 1920-an dengan melalui sastra anak yang berbahasa Jawa. Tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan SWA sebagai media pembangun karakter anak tahun 1920-an melalui sastra anak berbahasa Jawa. Teori yang dipergunakan di dalam penelitian adalah strukturalisme sehingga dapat melihat potensi-potensi bahasa yang digarap oleh pengarang, baik pada tingkat sintakmatik maupun paradigmatik. Oleh karena data penelitian sastra berupa bacaan atau pustaka, metode pengumpulan data di dalam penelitian SWA ini dilakukan dengan cara membaca keseluruhan (dari awal sampai akhir) karya. Analisis terhadap SWA dilakukan dengan melihat hubungan dan rangkaian nilai-nilai yang dibangun sehingga mewujud menjadi teks. Teks itulah yang membangun karakter anak-anak. Kata kunci: sastra anak, pendidikan karakter, tembang Jawa, SWA Abstract Literary of a child whose mother tongue is Javanese is Javanese literature that is still written today. However, Javanese child literature in the form of a song (poem) is very rare. Most of the Javanese child literature is written in the form of prose (prose). One of the Javanese child literature is a Serat Wiyata Adi (SWA), the work of Samsoe Hadiwijata, published by Balai Pustaka.The work is a medium that is used by the author to build the Javanese child characters in the 1920s. The research problem is how SWA plays a role as 1920s child character builder media through Javanese child literature.The purpose of this research is to reveal the SWA as child character builder media in the 1920s through Javanese child literature.The theory in the 1
Makalah ini sudah disampaikan pada Seminar Nasional Sastra Anak “Membangun Karakter Anak Melalui Sastra Anak” yang diselenggarakan oleh HISKI Komisariat Universitas Ahmad Dahlan dan HISKI Komisariat Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta, di Aula Balai Bahasa Yogyakarta, Jalan I Dewa Njoman Oka 34, Kotabaru, Yogyakarta, 28 Mei 2016. Serat Wiyata Adi: Aspek Pendidikan Karakter Anak Dekade 1920-an ... 40
study is structuralism that can view the potential of language written by the author, both at the level syntagmatic and paradigmatic.Therefore, research data is reading text or literature text, data collection method in SWA research is done by reading whole works (from beginning to end). Analysis of the SWA is done by observing on relations and a series of built values that is manifested in the text. Therefore, the text builds child character. Keywords: child literature, character education, Javanese poem, SWA
1. Pendahuluan Pendidikan karakter seringkali diintroduksikan ke dalam kelas lewat medium kesusasteraan dengan keteladanan para pahlawannya (Latif, 2009:84). Latif (2009:85) menyimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah usaha sengaja untuk menolong agar memahami, peduli akan, dan bertindak atas dasar inti nilai-nilai etis. Nilai adalah hakikat suatu hal, yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia demi peningkatan kualitas manusia (Mardiatmadja, 1984). Tim Penyusun Kamus Kamus Besar Bahasa Indonesia/KBBI (1990:237) menerangkan bahwa etis adalah berhubungan (sesuai) dengan etika. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai etis di dalam kesastraan ada sesuatu yang pantas dikejar oleh manusia demi peningkatan kualitas manusia supaya manusia menjadi berkarakter. Berkaitan dengan pendidikan karakter anak melalui karya sastra, persoalan itu difokuskan pada sastra daerah (Jawa). Sastra Jawa adalah sastra yang sangat berorientasi kepada nilai-nilai etis dan didaktis (Damono, 1993:244). Di dalam khazanah sastra Jawa, karya yang berkaitan dengan masalah nilai-nilai etis itu dimasukkan ke dalam genre Kitab Niti. Kitab Niti berisi pemaparan tentang kelakuan pribadi yang arif dan bertanggung jawab secara etika dan moral spasial (Ras, 2014:199). Nilai-nilai etis menjadi
41 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 1, Juni 2016
orientasi di dalam sastra Jawa karena hal itu berkaitan dengan cita-cita masyarakat Jawa. Hastjarja (1984:10) menjelaskan bahwa cita-cita masyarakat Jawa terletak dalam tata tertib masyarakat yang harmonis/selaras. Tugas moral seseorang adalah menjaga keselarasan itu dengan menjalankan berbagai kewajiban sosial. Kewajiban sosial menyangkut hubungan sosial, yaitu hubungan antar-orang. Untuk mewujudkan secara bertahap cara membangun karakter anak agar dapat memahami nilai-nilai etis dan pada akhirnya dapat menjaga keharmonisan, diciptakan karya sastra untuk anak-anak. Karya sastra yang ditujukan untuk anak-anak dalam bahasa Jawa tidak hanya ditulis dalam jenis gancaran, tetapi juga dalam jenis tembang (puisi). Sastra anak yang ditulis dalam jenis tembang, bahasa yang dipergunakan bercorak denotatif. Oleh karena itu, sastra Jawa jenis tersebut mudah dipahami anak-anak sebagai medium membangun karakter anak Jawa pada waktu itu. Salah satu karya yang dipilih di dalam penelitian ini berjudul Serat Wijata Adi (Woelang Siswa)2 (1921), karya Samsoe Hadiwijata, diterbitkan oleh Balai Pustaka. Karya sastra anak itu ditulis dalam genre tembang 2
Untuk seterusnya, Serat Wijata Adi (Woelang Siswa) ejaan yang dipergunakan disesuaikan dengan ejaan bahasa Jawa pada saat ini menjadi Serat Wiyata Adi (Wulang Siswa) dan disingkat menjadi SWA.
(macapat). Karya tersebut dipilih sebagai objek material penelitian karena jenis sastra anak dengan jenis tembang sangat jarang ditemukan. Artinya, karya sastra yang menyajikan tentang dunia anak-anak dalam bentuk tembang di dalam sastra Jawa sangat terbatas3. Kebanyakan, karya sastra untuk anak-anak menggunakan genre prosa (gancaran). Berdasarkan kajian pustaka, karya berjudul SWA karya Samsoe Hadiwijata belum pernah dibahas dan diteliti. Dari Katalok Induk Naskah-Naskah Nusasantara Jilid I: Museum Sonobudoyo Yogyakarta (1990) suntingan Behrend; Katalok Induk Naskah-Naskah Nusasantara Jilid II: Kraton Yogyakarta (1994), suntingan Lindsay dkk; Katalok Induk Naskah-Naskah Nusasantara Jilid 3-B: Fakultas Sastra Universitas Indonesia (19 97), suntingan Behrend dan Titik Pudjiastuti sama sekali belum disinggung atau dibahas. Oleh karena itu, SWA relevan untuk diteliti dan diungkapkan secara ilmiah ke tengah publik supaya dapat dipergunakan sebagai masukkan dalam mewujudkan pembangunan karakter anak melalui sastra anak. Dari deskripsi isi SWA tersebut, dapat ditarik permasalahan yang diungkapkannya, yaitu masalah pembangunan karakter para siswa sekolah. Pembangunan karakter itu menjadi dasar utama bagi para siswa untuk memeroleh kesuksesan dan kehidupan. Kesuksesan itu, salah satunya, diraih dengan media pendidikan (sekolah). Diterangkan oleh Samsoe Hadiwijata (di dalam pengantar) bahwa 3
Cerita anak-anak berbahasa Jawa itu, misalnya Tik lan Tor, karya M. Sasrasoetiksna; Dongeng Mandum Iwak, karya M. Ng, Wirapoestaka; Pangulir Budi, karya Wirjasaksana; Biyung Kuwalon, karya R. Sasraprawira.
karya tersebut dicipta untuk memberikan pendidikan karakter yang berkaitan dengan keutamaan siswa. Keutamaan itu merupakan pengetahuan yang berkaitan dengan kewajiban siswa ketika mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guru. Berdasarkan uraian di atas, masalah penelitian ini adalah bagaimana SWA sebagai media pembangunan karakter anak tahun 1920-an melalui sastra anak berbahasa Jawa? Dari permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan mengungkapkan SWA sebagai media pembangunan karakter anak tahun 1920-an melalui sastra anak berbahasa Jawa. Untuk mengurai permasalahan dan mencapai tujuan penelitian, penelitian ini menggunakan teori struktural. Karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya (Teeuw, 1982:11). Karya sastra ditulis oleh penyair tentu saja terikat oleh paham-paham, pikiran-pikiran, atau pandangan-pandangan dunia masyarakat pada zamannya atau sebelumnya. Dengan kata lain, karya sastra tidak dapat terlepas dari situasi sosial-budaya yang melingkupinya. Puisi tidak lahir dari kekosongan yang terjadi sebelumnya (tradisi). Semua hubungan itu sangat menentukan makna dan pemahaman atas karya sastra. Dalam kaitannya dengan penelitian atas SWA, masalah pendidikan karakter anak yang disampaikan di dalam karya tersebut berkaitan dengan tradisi budaya Jawa, yaitu keutamaan siswa. Keutamaan itu merupakan pengetahuan yang berkaitan dengan kewajiban siswa ketika mengikuti pelajaran yang diberikan oleh guru. Dengan cara seperti itu, anakanak didorong menjadi pribadi yang baik dengan memahami nilai-nilai
Serat Wiyata Adi: Aspek Pendidikan Karakter Anak Dekade 1920-an ... 42
etis yang hidup di tengah masyarakatnya. Pendidikan karakter di dalam SWA ditulis dengan menggunakan puisi (tembang), penelitian atas karya tersebut dengan tidak dapat melepaskan diri pada kekhasan bahasa sastra. Wiryamartana (1993:6) menandaskan bahwa konsekuensi potensi-potensi bahasa itulah yang digarap oleh pengarang, baik pada tingkat sintakmatik (urutan kata) maupun paradigmatik (alternatifalternatif kata, makna, pola bunyi). Konvensi tembang yang dominan di dalam sastra Jawa klasik/tradisional menuntut penguasaan bahasa yang memadai, baik pada tingkat sintakmatik maupun paradigmatik. Selain itu, konvensi tembang mempunyai muatan ‘melodi musikal’. Oleh karena ditulis dengan tembang, SWA memiliki muatan melodi musikal ketika dibaca oleh para siswa. Pemilihan genre tembang di dalam SWA sangat sesuai pada zamannya (tahun 1920-an), karena kemampuan guru di dalam mengajar karakter anak juga dilengkapi dengan kemampuan menembang (menyanyikan puisi tradisional bahasa Jawa). Penanaman karakter kepada anak-anak lewat karya sastra, komunitas sekolah mengidentifikasi nilai-nilai inti sekolah dan pekerjaan untuk mendidik dan meneguhkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan siswa (Latif, 2009:84). Menurut (Said, 2012:41) ujaran dan realitas eksis di dalam keadaan hadir, di mana tulisan dan teks ada di dalam keadaan tertunda, yakni di luar realitas keadaan, sampai mereka ‘diaktualisasi’ dan dibuat hadir oleh kritikus-pembaca. Oleh karena itu, kehadiran peneliti (sebagai kritikuspembaca) adalah sebuah bentuk 43 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 1, Juni 2016
upaya untuk menghadirkan SWA (sebagai tulisan dan teks tertunda) kepada masyarakat. Dengan cara itu, SWA pada akhirnya dapat diangkat nilai-nilainya supaya dapat memberikan kontribusi kepada pendidikan dan pembangunan karakter anak pada masa kini. 2. Metode Data penelitian sastra adalah pustaka. Oleh karena itu, penelitian sastra bersifat penelitian kepustakaan (Darma, 1990:344). Dengan penelitian kepustakaan, metode pengumpulan data di dalam penelitian SWA ini dilakukan dengan cara membaca keseluruhan (dari awal sampai akhir) karya. Cara ini ditempuh supaya masalah penelitian dan tujuan penelitian, yaitu “SWA sebagai media pendidikan dan pembangun karakter anak tahun 1920-an melalui sastra anak berbahasa Jawa”. Analisis penelitian dengan cara menempatkan SWA sebagai objek material yang di dalamnya terdapat masalah yang perlu diungkapkan (pendikan dan pembentukan karakter anak). Objek material itu adalah sebuah rangkaian nilai yang membentuk sebuah kesatuan yang disebut sebagai teks. Oleh karena itu, rangkaian nilai itu dianalisis untuk mengungkapkan teks SWA sebagai karya yang utuh dalam pembentukan karakter anak melalui karya sastra pada tahun 1920-an. 3. Hasil dan Pembahasan SWA ditulis dalam bentuk tembang sebanyak 158 pada (bait) dan dibagi dalam sembilan pupuh (metrum), yaitu (1) Kinanthi, (2) Pangkur, (3) Maskumambang, (4) Pucung, (5) Sinom, (6) Asmaradana, (7) Mijil, (8) Gambuh, dan (9) Dhandhanggula.
(1) Pupuh Kinanti memuat ajaran tentang tata krama para siswa sewaktu dididik oleh guru, 17 pada (bait). Tata krama itu mengatur supaya murid membiasakan diri bertanya kepada guru. Di samping itu, tidak diperbolehkan memotong pembicaraan guru. Jika sampai berani melanggar, itu sama artinya dengan tidak tahu tata krama. Sejak kecil (sekolah dasar) siswa harus diberi pelajaran tata krama, karena pelajaran itu akan berguna bagi siswa di kelak kemudian hari ketika sudah dewasa. Dengan dapat bertata krama, berarti siswa belajar menempatkan dirinya sendiri di tengah orang lain. (2) Pupuh Pangkur berisi penggugah (dorongan) kepada para siswa supaya rajin belajar, 15 pada (bait). Rajin belajar menjadikan siswa menjadi menguasai pelajaran. Menguasai pe-lajaran akan menjadi siswa yang pandai dan dihormati. Oleh karena itu, siswa harus dapat menyelesaikan pendidikannya hingga memperoleh tanda kelulusan. Bahkan, jika perlu, siswa yang sudah lulus harus meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. (3) Pupuh Maskumambang berisi motivasi dan dorongan belajar supaya para siswa berhasil naik kelas setiap tahunnya, 24 pada (bait). Bagi para siswa yang tidak berhasil naik, itu sama artinya dengan menerima kerugian dua kali. Oleh karena itu, siswa harus rajin belajar supaya setiap tahun naik kelas. Jika sampai naik kelas, siswa telah membuat orang tua bersedih karena harus mengeluarkan dua kali beaya untuk belajar dalam satu tingkat. (4) Pupuh Pocung berisi ajaran kepada para siswa supaya tetap menghormati orang tuanya, 23 pada
(bait). Orang tua perlu dihormati karena mereka adalah sosok yang selalu mendoakan anak-anaknya supaya berhasil mencapai cita-citanya. Sebagai bukti penghormatan, jika hendak berangkat sekolah hendaklah berpamitan kepada orang tua dan mencium tangan orang tua dengan penuh rasa hormat. Orang tua selalu memikirkan segala yang terjadi dengan anak-anaknya ketika berada di jalan atau ketika berada di sekolah. (5) Pupuh Sinom berisi ajaran tentang peningkatan kemampuan siswa, 15 pada (bait). Para siswa harus memiliki hati yang teguh. Dengan hati yang teguh, siswa dapat mengingat pelajaran yang sudah diberikan. Di samping itu, setiap siswa, ketika belajar, tidak boleh bersikap sembrono. Sembrono akan menjurumuskan dalam mengikuti pelajaran. (6) Pupuh Asmaradana berisi ajaran tentang kerajinan siswa dalam belajar, 20 pada (bait). Siswa yang rajin akan memperoleh kemudahan kelak jika sudah tamat belajar karena ia memiliki catatan yang baik. Selain itu, siswa yang rajin menunjukkan sikap yang selalu menghargai tugas. Sebaliknya, para siswa tidak diperkenankan bermalasmalasan. Siswa pemalas akan sulit memperoleh pekerjaan karena semua catatan hariannya tertera di dalam rapor. Siwa yang rajin adalah siswa yang selalu memperhatikan masalah kesehatan, menjaga kebersihan tubuh dan pakaian. (7) Pupuh Mijil berisi dorongan kepada para siswa supaya tetap memiliki kelakuan yang baik dan menyadari kedudukannya sebagai siswa, 17 pada (bait). Siswa tidak diperbolehkan membolos semasa masih sekolah. Jika tidak masuk sekolah, orang tua harus mengirimkan surat kepada guru.
Serat Wiyata Adi: Aspek Pendidikan Karakter Anak Dekade 1920-an ... 44
Guru akan memberikan hukuman kepada siswa yang berani melanggar per-aturan. Siswa yang melanggar per-aturan dihukum berdiri di depan para siswa lainnya dan harus berada di kelas yang lebih tinggi. Tujuan guru memberikan hukuman, supaya siswa yang bersalah tidak mengulangi kesalahannya dan menjadi pelajaran bagi siswa-siswa lainnya. (8) Pupuh Gambuh berisi dorongan kepada siswa supaya meningkatkan kemampuan dalam belajar dan berhasil meraih nilai yang me-muaskan, 16 pada (bait). Guru di sekolah tidak hanya mengajar dan menilai pelajaran membaca, menulis, menggambar, dan berhitung, tetapi juga menilai kelakuan dan kerajinan setiap siswa. Oleh karena itu, siswa yang baik adalah siswa yang selalu memperhatikan perintah guru, bertanya kepada guru jika tidak/belum mengerti yang dijelaskan oleh guru. Semua kelakuan siswa tercatat di dalam rapor dan jika rapornya tidak baik itu sama artinya menurunkan derajad siswa. (9) Pupuh Dhandhanggula berisi ajaran supaya para siswa dapat menjadi teladan di tengah masyarakat dan ajakan kepada setiap orang tua supaya bersedia memberikan pendidikan kepada anak-anaknya melalui sekolah, 11 pada (bait). Siswa yang baik adalah siswa yang selalu menjaga tata krama, baik di tengah pergaulan dengan teman-temannya maupun di tengah masyarakat. Siswa yang baik akan menjadi teladan. Oleh karena itu, setiap siswa harus dapat menjaga diri dalam pergaulan dan da-pat menahan hawa nafsu. Dari deskripsi sembilan pupuh yang sudah diuraikan di atas, SWA sangat menekankan tata krama sebagai nilai yang harus diberikan kepada 45 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 1, Juni 2016
siswa. Dengan bertata krama, siswa didorong menjadi pribadi yang berkarakter baik. Berkarakter yang baik adalah dapat menghargai orang lain sesuai dengan usia dan kedudukannya. Guru sebagai figur sentral di dalam SWA sangat penting peranannya. Pada dekade tahun 1920-an, guru adalah figur sentral (selain keluarga) di dalam pembentukan karakter anak. Oleh karena itu, beberapa nilainilai etis yang terkandung di dalam SWA masih relevan untuk dipertimbangkan kembali agar diangkat di dalam pembentukan karakter siswa pada kini, misalnya masalah tata krama, penghormatan kepada guru, dan persolan budi pekerti. Ketiga hal itu, menjadikan siswa (sekolah dasar) akan memiliki sifat yang sopan kepada sesamanya. Tata krama adalah dasar penting di dalam konsep kebudayaan Jawa karena tata krama akan menciptakan suatu harmoni atau keselarasan. Keselarasan merupakan se-buah cita-cita luhur kebudayaan Jawa karena keselarasan membawa pada suasana yang aman tenteram. Suasana aman tenteram memungkin keteladan akan terwujud. Adanya keteladanan menjadikan halhal yang bersifat negatif (disharmoni) tidak terjadi. Pendidikan dan pembentukan karakter, melalui karya sastra genre tembang (puisi) merupakan cara yang efektif bagi anak-anak. Kata-kata yang dipergunakan lebih banyak bersifat denotatif (bukan konotatif) sehingga siswa (waktu itu) terbantu untuk merenungkan ajaran yang ingin disampaikan oleh si pengarang. SWA menggunakan potensi bahasa Jawa baik secara sintakmatik maupun paradigmatik. Secara sintakmatik, katakata bahasa Jawa yang denotatif dapat didayagunakan untuk merangsang
siswa memahami ajaran yang disampaikan di dalam karya tersebut, misalnya pada bait ke-2, pupuh IV Pocung: Perlu luru/dining ngèlmu prabotipun/ngaurip nèng donya/ wit ana bebasan Jawi/yen wong bodho dadi pangané wong bisa// Terjemahan: Perlu dicari/keindahan perabot ilmu/hidup di dunia/sebab di dalam bebasan Jawa berbunyi/orang bodoh menjadi makanan orang pandai// Pengibaratan ‘orang bodoh menjadi makanan orang pandai’, merupakan sebuah urutan kata yang sangat menggugah anak-anak Jawa. Oleh karena itu, supaya tidak menjadi korban bagi orang lain, sejak muda harus belajar dengan rajin. Menjadi anak rajin akan mengantarkannya pada suatu keberhasilan. Pada tataran paradigmatik, makna yang dibangun dengan diksi yang cenderung bersifat denotatif menjadikan SWA bersifat persuasif. Maksudnya, karya itu mudah untuk dipahami, direnungkan, dan dilaksanakan oleh para siswa sekolah dasar pada dekade 1920-an. Kemampuan guru di dalam menguasai bahasa dan sastra Jawa pada dekade tersebut tentu masih sangat baik. Terbitnya SWA yang berbentuk tembang dan disebarluaskan ke tengah masyarakat dapat dijadikan indikasi yang jelas, bahwa sastra anak dengan menggunakan tembang (puisi) merupakan sebuah realitas yang masih hidup. Kemampuan menyanyikan karya tembang bukanlah sesuatu yang sangat asing pada waktu itu.4 4
Sangat berbeda dengan kondisi pada saat ini di sekolah-sekolah yang masih mengajarkan bahasa Jawa. Kemampuan guru untuk me-nembang-kan sebuah karya sastra sudah sangat langka (untuk itu perlu
Untuk mewujudkan makna yang mudah dihayati oleh setiap siswa yang membaca karya ini, SWA tetap tidak meninggalkan aturan penyusunan tembang, yaitu guru lagu dan guru wilangan. Akan tetapi, secara paradigmatik kekuatannya sebagai karya yang mengajarkan pembentuk karakter kepada siswa tetap tidak kehilangan keindahannya, misalnya pada bait, ke-9, pupuh Pangkur: Awit sapira kèhira/kawruh ingkang winulangké/nèng ngriki/yekti isih nyamutnyamut/ durung paja sampurna/ngelingana darma wasita kang luhung/sing sapa pinter priyangga/iyèku dadi rajaning// Karena sebanyak apa pun/ilmu yang dijarkan/di sini/ sungguh masih tidak jelas/belum dapat disebut sempurna/ingatlah ajaran yang luhur/siapa yang palinng pandai/itulah yang menjadi raja// Makna yang tertuang di dalam ungkapan ‘siapa yang paling pandai yang menjadi raja’ menyugesti para siswa sekolah dasar waktu itu untuk berusaha dan belajar dengan gigih. Menjadi pandai adalah dorongan untuk dapat diraih bagi anak-anak. 4. Simpulan dan Saran 4.1. Simpulan Walaupun karya sastra anak berbahasa Jawa berjudul SWA ditulis pada dekade 1920-an, tetapi karya SWA masih tetap relevan dengan masalah pembangunan karakter anak pada masa kini (dekade 2000-an) untuk anakanak yang berbahasa ibu Jawa. Bahasa ibu (Jawa) yang dipergunakan di dalam SWA sesuai dengan tingkat pemahaman dan kemampuan para siswa (sekolah dasar kelas 3 ke atas) dalam sebuah penelitian lapangan yang lain mengenai kasus ini).
Serat Wiyata Adi: Aspek Pendidikan Karakter Anak Dekade 1920-an ... 46
memahami kosa kata dan diksi yang dipakai karena kosa kata dan diksi yang dipergunakan lebih bersifat denotatif. Di dalam SWA terungkap pembangunan karakter anak yang selaras dengan budaya Jawa. Anak-anak selain dididik untuk dapat menghargai guru, orang tua, dan teman-temannya, juga dibangun karakternya melalui nilainilai etis yang terwujud dalam bentuk tatakrama. Pendidikan tatakrama di sekolah adalah mempersiapkan para siswa untuk dapat mandiri setelah ia beranjak dewasa. Anak yang dewasa anak yang dapat menyelsaikan masalahnya sendiri. Tata krama di dalam SWA ditunjukkan sebagai dasar penting, karena tata krama akan menciptakan keselarasan membawa pada suasana yang aman tenteram. 4.2. Saran Penerbitan buku sastra anak berbahasa Jawa sudah sangat jarang ditemukan pada saat ini. Oleh karena itu, pendidikan dan pembangunan karakter anak untuk keluarga Jawa sebaiknya tetap memperhatikan fungsi dan keberadaan sastra anak berbahasa Jawa (selain yang berbahasa Indonesia). Sastra anak berbahasa Jawa adalah sarana efektif bagi anak-anak untuk mengenal budayanya melalui bahasa ibunya. Karakter anak Indonesia secara realistis berdasarkan kedekatannya dengan budayanya. 5. Daftar Pustaka Beherend, T.E. 1990. Katalok Induk Naskah-Naskah Nusasantara Jilid I: Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Jakarta: Penerbit Djambatan.
47 Widyaparwa, Volume 44, Nomor 1, Juni 2016
Behrend, T.E. dan Titik Pudjiastuti. 1997. Katalok Induk Naskah-Naskah Nusasantara Jilid 3-B: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor IndonesiaEcole Francaise d’Extreme Orient. Damono, Sapardi. 1993. Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesiua dan Daerah. Darma, Budi, 1990. “Perihal Studi Sastra”. Dalam Basis, No. 8, Yogyakarta. Hastjarja, Pudja Eddie. 1984. “Variasi Sistem Nilai Budaya Jawa”. Dalam Dalam Basis, Nomor 1, Januari, XXXIII. Latif, Yudi. 2009. Menyemai Karakter Bangsa: Budaya Kebangkitan Berbasis Kesastraan. Jakarta: Kompas Penerbit Buku. Lindsay, Jennifer, dkk. 1994. Katalok Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid II: Kraton Yogyakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Mardiatmadja, B.S. 1984. “Pendidikan Nilai Pada Perguruan Tinggi”. Dalam Basis, Nomor 6, Mei, XXXIII. Ras, J.J. 2014. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa. Jakarta: Fakultas Ilmu Budaya UI, Yayasan Naskah Nusantara (Yanasa), Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Said, Edward. 2012. Dunia, Teks, dan (Sang) Kritikus (terjemahan oleh Sunaryono Basuki KS).
Denpasar: C.V. Bali Media Adhiaksara. Teeuw, A. 1982. Khazanah Sastra Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Tim Penyusun Kamus. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Wiryamartana, I. Kuntara. 1991. “Sastra Jawa Modern dalam Jaringan Tegangan-Tegangan”. Dalam Poer Adhie Prawaoto (ed.) Keterlibatan Sosial Sastra Jawa Modern. Solo: Penerbit P.T. Tri Tunggal Tata Fajar.
Serat Wiyata Adi: Aspek Pendidikan Karakter Anak Dekade 1920-an ... 48