Annual Civil Engineering Seminar 2015, Pekanbaru ISBN: 978-979-792-636-6
ASESMEN POTENSI RECOVERY ENERGI DARI SAMPAH PERKOTAAN DI TPA (TEMPAT PEMROSESAN AKHIR) SAMPAH UNTUK INFRASTRUKTUR PERSAMPAHAN BERKELANJUTAN Bismi Annisa1
Jurusan Teknik Sipil (Manajemen Sumber Daya Air dan Lingkungan), Universitas Islam Riau
[email protected]
ABSTRAK Pertambahan jumlah penduduk dan pola konsumsi masyarakat mengakibatkan bertambahnya volume, jenis, dan karakteristik sampah yang semakin beragam. Paradigma baru pengelolaan sampah, yakni memandang sampah sebagai sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan (misalnya untuk energi, kompos, pupuk ataupun bahan baku industri). Semakin meningkatnya debit sampah yang masuk ke TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) sampah menyebabkan kebutuhan akan lahan TPA semakin tinggi, namun pengadaan lahan untuk TPA yang baru banyak menghadapi rintangan karena sulitnya menemukan lokasi baru untuk TPA, biaya yang tinggi dan potensi menimbulkan masalah/dampak baru terhadap lingkungan hidup. Tujuan penelitian ini adalah melakukan asesmen pemulihan/recovery potensi energi dari sampah perkotaan di TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) sampah untuk pembangunan infrastruktur persampahan yang berkelanjutan. RDF (Refuse Derived Fuel) dikenal sebagai bahan bakar alternatif yang diproduksi dari fraksi sampah yang mudah terbakar dimana tersusun atas sampah plastik dan material lainnya seperti tekstil, kayu dan lain sebagainya. Metode yang dilakukan adalah pengukuran langsung di TPA sampah terhadap komposisi sampah sesuai SNI 19-3964-1994 dan karakteristik fisik sampah; pengujian sampel di laboratorium terhadap karakteristik kimia sampah, dan identifikasi potensi energi dari sampah untuk RDF. Berat jenis sampah TPA 220,44 kg/m3. Dominasi terbesar untuk: ukuran partikel sampah TPA adalah yang berukuran diameter > 50 mm sebesar 62,875%; komposisi sampah organik sebesar 65,75%; dan kadar air sampah organik sebesar 70,704%. Berdasarkan asesmen, sampah di TPA berpotensi untuk bahan baku RDF, yakni sebesar 27,619% sampah yang mudah terbakar dan 24,625% sampah organik (sampah kebun). Karakteristik sampah di Indonesia memiliki kadar air yang tinggi, maka dibutuhkan suatu pra-pengolahan untuk menurunkan kadar air tersebut serta adanya kontrol terhadap kualitas RDF. Dengan demikian, sampah perkotaan dapat diolah untuk pemulihan energi (recovery energy). Kata kunci: Berkelanjutan, Energi, RDF (Refuse Derived Fuel), Recovery, Sampah.
1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pada UU RI No 18/2008 tentang pengelolaan sampah, dinyatakan bahwa dengan adanya pertambahan penduduk dan pola konsumsi masyarakat mengakibatkan bertambahnya volume, jenis, dan karakteristik sampah yang semakin beragam. Pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, kualitas lingkungan dan menjadikan sampah sebagai sumber daya. Paradigma baru pengelolaan sampah, yakni memandang sampah sebagai sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan (misalnya untuk energi, kompos, pupuk ataupun bahan baku industri). Hal tersebut dilakukan melalui kegiatan pengurangan (pembatasan, penggunaan kembali dan pendauran ulang) dan penanganan sampah (pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pemrosesan akhir). Untuk mendesain kota yang bebas sampah, teknologi yang diterapkan seharusnya sesuai dengan konteks pengurangan volume sampah di masa depan dan pemulihan (recovery) sumber daya dari sampah (Zaman et al., 2011). Semakin meningkatnya debit sampah yang masuk ke TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) sampah menyebabkan kebutuhan akan lahan TPA semakin tinggi, namun pengadaan lahan untuk TPA yang baru
235
Annual Civil Engineering Seminar 2015, Pekanbaru ISBN: 978-979-792-636-6 belum dapat dilakukan karena sulitnya menemukan lokasi baru untuk TPA, biaya yang tinggi, dan potensi menimbulkan masalah/dampak baru terhadap lingkungan hidup.
Kajian Pustaka Mengacu pada UU RI No 18/2008, maka TPA sampah diharapkan bukan lagi sebagai tempat pembuangan akhir sampah perkotaan/penimbunan akhir sampah tetapi semestinya menjadi tempat pemrosesan akhir sampah perkotaan/tempat pengolahan akhir sampah. Sehingga sampah dikembalikan ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan hidup. Disfani et al. (2012) mengungkapkan bahwa pembangunan yang berkelanjutan adalah suatu pencapaian kebutuhan generasi saat ini tanpa membahayakan kebutuhan generasi mendatang sekaligus juga mengurangi pemborosan. Pemulihan material dan energi merupakan hal yang mesti menjadi prioritas dalam pengelolaan sampah perkotaan (Massarutto et al., 2011). Pengolahan dengan energi panas dapat dianggap sebagai pra-pengolahan sampah sebelum ke pembuangan akhir atau sebagai sarana recovery/pemulihan energi (Y.Yau, 2010). Termasuk juga pembakaran dari campuran sampah perkotaan di insinerator dan pembakaran bagian yang dipilih dari aliran sampah sebagai bahan bakar. Pengolahan sampah dengan energi panas dalam suatu sistem pengelolaan sampah terpadu dapat mencakup setidaknya tiga proses yang berbeda, yaitu pembakaran massa, pembakaran sampah untuk bahan bakar (Refuse-Derived Fuel/RDF) dan pembakaran kertas dan plastik untuk bahan bakar (Paper and PlasticDerived Fuel/PPDF). RDF (Refuse Derived Fuel) merupakan salah satu teknik penanganan sampah dengan mengubah sampah menjadi sesuatu yang bermanfaat yaitu bahan bakar. RDF dihasilkan dari pemisahan fraksi yang mudah terbakar (combustible fraction) dan fraksi sampah yang sulit dibakar (non-combustible fraction) dari sampah secara mekanik (McDougall et al., 2001). Menurut Chiemchaisri et al. (2009), RDF dikenal sebagai bahan bakar alternatif yang diproduksi dari fraksi sampah yang mudah terbakar dimana tersusun atas sampah plastik dan material lainnya seperti tekstil, kayu dan lain sebagainya. Sedangkan menurut Liu et al. (1999), RDF adalah sampah yang mudah terbakar dan terpisahkan dari bagian yang sulit terbakar melalui proses pencacahan, pengayakan dan klasifikasi udara.
Landasan Teori RDF dikenal sebagai bahan bakar alternatif yang dihasilkan dari sampah mudah terbakar, seperti sampah plastik, karet dan kulit, tekstil, kayu, kertas, resin sintesis, lumpur pengolahan air limbah dan lumpur olahan (Chiemchaisri et al., 2009, Trang et al., 2009 dan Chang et al., 1997). Menurut Gentil et al. (2010), pengolahan sampah perkotaan dengan energi panas meliputi insinerasi, pirolisis, dan gasifikasi. Menurut Gunamantha (2012), insinerasi dilakukan dengan menggunakan sebuah sistem recovery energi. Energi yang ditimbulkan dihitung berdasarkan nilai kalor/panas sampah yang lebih rendah (Lower Heating Value/LLV) yang diasumsikan untuk efisiensi energi dan penggunaan energi internal adalah 18% dan 15% dari energi listrik yang dihasilkan. Teknologi RDF telah diterapkan oleh bangsa Eropa, Amerika dan begitu juga Jepang (Fu et al., 2005 dan Kupka et al., 2008). Sampah yang diolah menjadi RDF dapat dinilai berdasarkan parameter seperti nilai kalori, kadar air, kadar volatil, kadar abu, kadar klorin, dan beberapa parameter lainnya (tabel 1). Khusus pada penelitian ini, kadar klorin dan sulfur tidak diuji. Tabel 1. Parameter untuk Bahan Baku RDF terhadap Standar Internasional Parameter Kadar air (%k) Kadar volatil (%k) Kadar volatil (%b) Kadar abu (%k) Kadar abu (%b)
Turki 25 92.3 7.7 -
Lechtenberg (Jerman) < 20 50-80 8-12 -
Standar Eropa < 25 <5
Finlandia 25-35 5-10
Italia 25 20
Inggris 7-28 12
Nilai kalori (kCal/kg)
3.500
-
3.585
3.107-3.824
3.585
4.469
Sumber: Kara et al. (2009) dan Nithikul (2007) Chiemchaisri et al. (2010) mengemukakan bahwa semakin tinggi kandungan kadar volatil, maka semakin mudah bahan bakar untuk terbakar dan menyala, sehingga laju pembakaran semakin cepat. Thipkhunthod et al. (2006) menyatakan bahwa nilai kalor yang tinggi biasanya memiliki kadar volatil tinggi dan kadar abu yang rendah. Kadar air hanya berpengaruh terhadap penyalaan awal (cepat atau lambat). Menurut Tchobanoglous et al. (1993), Caputo et al. (2001) dan Nithikul (2007), RDF terdiri dari tujuh bentuk yang
236
Annual Civil Engineering Seminar 2015, Pekanbaru ISBN: 978-979-792-636-6 diklasifikasikan oleh American Society for Testing and Material (ASTM) E 856 Standard Definitions of Terms and Abbreviations Relating to Physical and Chemical Characteristic of Refuse Derived Fuel. RDF-1 yang berasal dari sampah yang digunakan langsung sebagai bahan bakar dari bentuk terbuangnya. RDF-2 (biasanya disebut dengan coarse RDF) yang berasal dari sampah perkotaan, diproses menjadi partikel kasar dengan atau tanpa pemisahan logam besi (ferrous metal) dimana 95% berat awal melewati saringan berukuran 6 in2 (38,71 cm2). RDF-3 (biasanya disebut dengan fluff RDF) yang merupakan bahan bakar yang dicacah, berasal dari sampah perkotaan dan diproses untuk memisahkan logam, kaca dan bahan anorganik lainnya dengan ukuran partikel 95% berat awal yang dapat melewati saringan berukuran 2 in2 (12,90 cm2). RDF-4 (biasanya disebut dengan dust RDF atau p-RDF) yang merupakan fraksi sampah mudah terbakar (combustible) yang diolah mejadi bentuk serbuk, 95% berat awal dapat melalui saringan 10 (0,035 in2 atau 0,226 cm2). RDF-5 (biasanya disebut dengan densified RDF atau d-RDF dihasilkan dari fraksi sampah yang dapat dibakar yang kemudian dipadatkan menjadi 600 kg/m3 menjadi bentuk pellet, slags, cubettes dan briket. RDF-6 (biasanya disebut dengan slurry RDF) adalah RDF dalam bentuk cair atau liquid RDF. RDF-7 (biasanya disebut dengan synthetic gas RDF) adalah RDF yang berasal dari sampah yang dapat dibakar. Penelitian yang dilakukan oleh Sari (2012) menunjukkan bahwa sampah residu yang berada di lokasi pembuangan sampah TPA Cipayung, Depok berpotensi untuk dijadikan bahan baku RDF.
2.
METODOLOGI
Lokasi Penelitian Publikasi ini merupakan bagian dari hasil penelitian tesis penulis Annisa, B (2012). Lokasi penelitian adalah di TPA sampah Cipayung, Depok (Jawa Barat) pada Juni 2012 menggunakan data primer dan model empiris. Untuk pengambilan sampel sampah dilakukan sebanyak dua kali sehari (pagi dan sore) di kolam sampah B TPA yang sedang aktif digunakan.
Gambar 1. Kondisi Kolam Sampah
Penentuan Populasi dan Sampel Penelitian Penentuan jumlah sampel sampah yang akan diukur komposisinya adalah berdasarkan perhitungan yang mengacu pada penentuan sampel armada kendaraan pengangkut sampah ke TPA Cipayung yang menuangkan sampah ke kolam sampah B TPA Cipayung. Dimana jumlah sampel armada kendaraan tersebut ditentukan dengan menggunakan rumus 1. Dari sampel armada kendaraan tersebut, maka selanjutnya akan digunakan untuk pengukuran komposisi sampah sesuai SNI 19-3964-1994 tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah.
(1) Keterangan: n = jumlah total sampel kendaraan yang diteliti; t* = nilai t statistik yang berhubungan dengan tingkat kepercayaan yang diinginkan (misalnya pada 95% atau 90%); s = standar deviasi yang diperkirakan; e= tingkat presisi yang diinginkan (misalnya tingkat presisi 10%, 20%); x = perkiraan rata-rata
237
Annual Civil Engineering Seminar 2015, Pekanbaru ISBN: 978-979-792-636-6 Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, jumlah sampel kendaraan yang akan diteliti selama 8 hari penelitian adalah sebanyak 144 kendaraan. Sehingga setiap harinya akan diteliti sebanyak 18 sampel armada kendaraan pengangkut sampah perkotaan ke kolam sampah yang dipilih secara acak dengan total sampah yang disampling seberat 100 kg.
Pengukuran Komposisi Sampah TPA Pengukuran komposisi sampah TPA mengacu kepada SNI 19-3964-1994 tentang Metode Pengambilan dan Pengukuran Contoh Timbulan dan Komposisi Sampah. Pada penelitian ini, kelompok komposisi sampah yang akan diteliti adalah sebanyak 12 kelompok (organik, plastik, kertas karton kardus, kaca, aluminium dan logam, karet dan kulit, komposit dan inert, tekstil, kayu, produk saniter, bahan berbahaya beracun/B3 dan lain-lain).
Berat jenis sampah TPA Berat jenis sampah TPA dihitung dengan menggunakan kotak kayu berukuran 0,5 m x 0,5 m x 0,5 m yang telah ditimbang beratnya. Sampah dimasukkan ke dalam kotak tersebut. Kemudian kotak tersebut dihentak tiga kali dengan diangkat setinggi ± 20 cm, lalu dijatuhkan ke tanah. kemudian diukur dan dicatat volume sampah dan beratnya. Perhitungan berat jenis sampah TPA adalah sebagai berikut.
(2)
Ukuran partikel sampah TPA Ukuran partikel sampah TPA diukur dengan saringan berdiameter 10 mm dan 50 mm. Sampel 100 kg sampah untuk pengukuran komposisi sampah (kondisi masih utuh), maka diambil sebanyak ± 2 kg sampah (ASTM E 828 – 81 (Reapproved 2004)) sebagai sampel untuk identifikasi ukuran partikel sampah. Selanjutnya saringan disusun, dimana saringan paling kecil di posisi paling bawah, kemudian sampah 2 kg tersebut diayak. Setelah pengayakan dengan saringan tersebut, maka sampah 2 kg tadi dikembalikan ke posisi semula (sampel sampah 100 kg awal) untuk digunakan dalam pengukuran komposisi sampah. Sehingga akan diperoleh persentase komponen sampah yang tertahan dan lolos saringan berdiameter 10 mm dan 50 mm serta akan diketahui berat partikel sampah TPA dalam fungsi ukuran saringan.
Kadar air sampah TPA Pemeriksaan kadar air sampah dilakukan di laboratorium Teknik Lingkungan Universitas Indonesia (Juni 2012). Sampel yang telah ditimbang diambil sebanyak ±10 gram kemudian diletakkan di dalam cawan porselin. Lalu sampel dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 105oC selama 3 jam. Setelah itu sampel dimasukkan ke dalam desikator selama 30 menit dan kemudian sampel ditimbang sampai bobot tetap.
Kadar volatil sampah TPA Pemeriksaan kadar volatil sampah dilakukan di laboratorium Teknik Lingkungan Universitas Indonesia. Sampel yang sudah dikeringkan di dalam oven 105oC, dari pengukuran kadar air, dipanaskan lagi di dalam furnace dengan suhu 550oC selama 1 jam. Setelah itu sampel dimasukkan ke dalam desikator hingga suhu ruang, kemudian sampel ditimbang.
Kadar abu sampah TPA Pemeriksaan kadar abu sampah dilakukan di laboratorium Teknik Lingkungan Universitas Indonesia. Sisa sampel yang telah dipanaskan dengan suhu 550oC, kemudian dipanaskan kembali di dalam furnace dengan suhu 950oC selama 7 menit. Setelah 7 menit, sampel dimasukkan ke dalam desikator hingga suhu ruang dan sampel ditimbang.
Energi dari sampah TPA Penentuan kandungan energi (nilai kalor) dari sampah dapat ditentukan dengan menggunakan full-scale boiler sebagai kalorimeter, bomb calorimeter di laboratorium dan perhitungan (jika komponen dasar diketahui). Saat pengukuran nilai kalor tidak dilaksanakan secara langsung, model empiris dapat digunakan untuk memprediksi nilai kalor dari sampah. Variabel bebas di dalam modelisasi empiris nilai kalor sampah adalah elemen komposisi (Liu et al., 1996). Dikutip dari Komilis et al. (2012) bahwa modelisasi empiris juga dapat diketahui dari komposisi fisik (Abu-Qudais and Abu-Qdais, 2000; Khan and Abu-Ghararah, 1991) atau juga komposisi proksimat (kadar volatil, kadar air, karbon tetap atau abu) dari sampah dapat juga memprediksi nilai kalor sampah (Kathiravale et al., 2003). Pada tabel 2 dapat dilihat analisa kandungan
238
Annual Civil Engineering Seminar 2015, Pekanbaru ISBN: 978-979-792-636-6 energi dari sampah dengan cara perhitungan menggunakan beberapa model dengan komponen yang diketahui yaitu berupa komponen fisik dan analisa proksimat.
No
Analisa
1
Komposisi fisik
Tabel 2. Model empiris untuk prediksi energi dari sampah Model Rumus Keterangan: Hn = nilai kalor netto (kcal/kg); R = plastik (% berat kering); G = organik Konvensional (% berat kering); P = kertas (3) (% berat kering); W = kadar air (% berat basah);
Khan dan Abu Gharah
(4)
Tradisional (5)
2
Analisa proksimat
Bento (6)
E = kandungan energi dalam sampah (Btu/lb); PL = plastik (% berat kering); F = makanan (% berat kering); dan PA = kertas (% berat kering) Hn = nilai kalor netto (kcal/kg); B = kadar volatil (% berat kering); W = kadar air (% berat basah) Hn = nilai kalor netto (kcal/kg); B = kadar volatil (% berat kering); W = kadar air (% berat basah)
E = kandungan energi dalam sampah Tchobanoglous (kCal/kg); ∑ A = total berat (7) sampah (kg); ∑ C = total energi sampah (kCal/kg) Sumber: Komilis et al. (2012), Qudais et al. (2000) dan Tchobanoglous et al. (1993)
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Sampah Komposisi sampah TPA terdiri dari 65,75% sampah organik, plastik (11,937%), lain-lain (5,611%), kertas, kardus & karton (5,43%), produk saniter (4,823%), kayu (2,1%), tekstil (2,003%), kaca (0,805%), material inert dan komposit (0,556%), karet dan kulit (0,539%), aluminium dan logam (0,4%) dan limbah B3 (0,046%). Komposisi di TPA merupakan dominasi dari sampah domestik (pasar, komersil, perkebunan, jalan raya dan perumahan) serta sampah sektoral (sektor pendidikan, kantor dan instansi). Komposisi sampah organik (65,75%) terdiri dari sampah dapur (34,281%), selanjutnya sampah kebun (24,625%) dan substansi organik berupa tulang benulang (6,844%). Berdasarkan komposisinya, maka teknologi untuk pengolahan sampah untuk diterapkan secara berkelanjutan adalah komposting (sampah organik), daur ulang, dan bahan bakar alternatif/RDF (sampah yang mudah terbakar, seperti: plastik, kertas, kardus & karton, kayu, tekstil, karet dan kulit).
Karakteristik Sampah a. Karakteristik fisik sampah Karakteristik fisik sampah di TPA adalah berat jenis sampah TPA 220,44 kg/m3. Berat jenis (BJ) sampah bervariasi terhadap lokasi geografis, musim tahunan dan lamanya waktu penyimpanan. BJ sampah yang tinggi disebabkan tingginya kelembaban sampah yang mengandung seperti sisa makanan, sayuran dan buahan. Untuk ukuran partikel sampah TPA, Ø > 50 mm sebanyak 62,875%, 10 mm < Ø < 50 mm sebanyak 30,606%, dan Ø < 10 mm sebanyak 6,519%. Sedangkan kadar air sampah di TPA untuk jenis sampah organik 70,704%, kayu 26,894%, tekstil 26,181%, kertas 21,126%, plastik 19,895%, lain-lain 16,448%, serta
239
Annual Civil Engineering Seminar 2015, Pekanbaru ISBN: 978-979-792-636-6 karet dan kulit 12,514%. Ukuran partikel sampah di TPA memenuhi kriteria dari ukuran untuk bentuk RDF. Sampah organik memiliki kadar air yang tinggi dan sulit terbakar. Untuk membakarnya dibutuhkan proses penurunan kadar air melalui pra-pengolahan, misalnya sampah kebun dapat juga menjadi bahan bakar alternatif bila kadar airnya diturunkan.
b. Karakteristik kimia sampah 1) Analisa proksimat Karakteristik kimia sampah di TPA adalah kadar volatil sampah kertas, karton dan kardus (68,481%), plastik (66,093%), lain-lain (63,601%), karet dan kulit (63,566%), kayu (56,719%), tekstil (47,491%), dan organik (22,666%). Dengan adanya kadar volatil, maka akan memudahkan penyalaan untuk pembakaran sehingga akan mempengaruhi kebutuhan bahan bakar yang dibutuhkan. Dengan demikian, semakin tinggi kadar volatil, maka akan semakin bagus. Dari hasil pengujian laboratorium serta dari studi pustaka, membuktikan bahwa sampah organik tidak cocok untuk metode pengolahan dengan cara pembakaran, karena kadar volatilnya sangat rendah sehingga akan membutuhkan banyak energi untuk penyalaan awalnya dan itu artinya tidak efisien. Sedangkan komponen lainnya berpotensi untuk metode pembakaran maupun potensi bahan baku RDF, karena memiliki kadar volatil yang tinggi. Untuk kadar abu sampah TPA adalah organik (2,073%), kertas, kardus dan karton (5,563%), lain-lain (8,459%), kayu (10,291%), plastik (10,6075%), karet dan kulit (15,545%), dan tekstil (19,946%). Kadar abu diperlukan untuk mengetahui jumlah bagian yang tidak terbakar setelah terjadinya pembakaran sempurna. Dengan demikian kadar abu mempengaruhi efisiensi pembakaran. Maka, semakin rendah kadar abu akan semakin bagus. Kadar abu sampah organik pada penelitian ini adalah yang paling rendah. Hal ini berbanding terbalik dengan teoritis, bahwa kadar air organik yang tinggi sebesar 70,704% (basah) akan menyulitkan dalam pembakaran karena tentunya akan menghasilkan kadar abu yang tinggi (residu pembakaran yang banyak tersisa). Pada penelitian ini diperoleh kadar abu organik sangat rendah, dimungkinkan karena sampel untuk diuji didominasi oleh organik yang dapat dengan mudah terbakar (seperti sampah kebun). Selain itu kondisi cuaca pada saat penelitian adalah cerah dan tidak terjadi hujan selama 8 hari penelitian di lapangan. Namun untuk komponen lainnya, kadar abu yang dihasilkan tidak terlalu besar. Dengan demikian, dapat diperkirakan sampah di TPA berpotensi untuk dilakukan proses pembakaran maupun sebagai bahan baku RDF.
2) Potensi energi dari sampah untuk RDF (Refuse Derived Fuel) Kadar air (terhadap berat basah/b), kadar volatil dan abu (terhadap berat kering/k) sampah perkotaan di TPA yang dapat dengan mudah terbakar adalah 20,28%; 63,94%; dan 36,06%. Sedangkan rekapitulasi hasil perhitungan berdasarkan model empris kandungan energi sampah perkotaan (rumus 3,4,5,6,7) di TPA yang dapat dengan mudah terbakar adalah 5.679,53 kCal/kg (model konvensional); 6.552,25 kCal/kg (model Khan dan Abu Gharah); 2.755,63 kCal/kg (model tradisional); 2.763,88 kCal/kg (model Bento); dan 4.521,27 kCal/kg (model Tchobanoglous). Rekapitulasi potensi energi dari sampah perkotaan di TPA sebagai bahan baku RDF terhadap standar internasional dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Rekapitulasi potensi energi dari sampah perkotaan di TPA sebagai bahan baku RDF terhadap standar internasional Parameter Kadar air (%k) Kadar volatil (%k) Kadar volatil (%b) Kadar abu (%k) Kadar abu (%b)
TPA
Turki
Lechtenberg (Jerman) < 20 50-80 8-12 -
Standar Eropa < 25 <5
20,28 25 63,94 92.3 50,97 36,06 7.7 28,75 2.755,63 Nilai kalori (kCal/kg) 3.500 3.585 6.552,25 Keterangan: b adalah terhadap berat basah dan k adalah terhadap berat kering
240
Finlandia
Italia
Inggris
25-35 5-10
25 20
7-28 12
3.1073.824
3.585
4.469
Annual Civil Engineering Seminar 2015, Pekanbaru ISBN: 978-979-792-636-6 Sampah perkotaan di TPA berpotensi dijadikan bahan baku RDF, namun untuk kadar abu melebihi batas yang ditetapkan pada standar. Kadar air sampah yang dapat dibakar masih di dalam batas standar, hal ini dikarenakan jenis sampah yang dipilih adalah benar-benar sampah yang dapat dengan mudah dibakar dan selain itu, tidak terjadi hujan saat pengambilan sampel. Kadar air yang tinggi akan mempersulit pembakaran RDF dan membutuhkan energi yang besar untuk membakar RDF. Energi pembakaran menjadi lebih besar disebabkan RDF dengan kadar air yang tinggi memerlukan energi tambahan untuk menghilangkan kadar air hingga RDF akhirnya dapat dibakar dan menghasilkan energi.
4.
KESIMPULAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Sampah perkotaan di TPA memiliki potensi recovery energi yang dapat dijadikan sebagai bahan baku energi alternatif RDF untuk infrastruktur persampahan berkelanjutan. b. Karakteristik sampah di Indonesia memiliki kadar air yang tinggi, maka dibutuhkan suatu prapengolahan untuk menurunkan kadar air sampah tersebut serta adanya kontrol terhadap kualitas RDF. Dengan demikian, sampah dapat dilakukan pengolahan untuk pemulihan energi (recovery energy).
Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, maka dapat direkomendasikan saran sebagai berikut. a. Potensi sampah di TPA untuk bahan baku RDF akan memungkinkan pembentukan suatu kerja sama dengan pihak swasta dan industri, misalnya dengan pihak industri semen (sebagai bahan pengganti batu bara). b. Residu total sampah masih dapat diolah dengan menggunakan peralatan mekanis seperti tromel sehingga akan dapat meningkatkan pemilahan sampah untuk didaur ulang, pengomposan dan produk RDF. Misalnya dengan menggunakan tromel berkapasitas 17 ton/jam. c. Sistem pengelolaan sampah di TPA sampah perlu ditingkatkan dan dilakukan secara terintegrasi antara pihak UPT (Unit Pelaksana Teknis) TPA dengan pihak UPS (Unit Pengolah Sampah) TPA dan para pemulung serta pemilik lapak. Sehingga sampah tidak hanya langsung ditimbun ke area kolam sampah, namun juga menjadikannya sebagai sumber daya. d. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan inventori data mengenai: 1) komposisi dan karakteristik sampah skala kota 2) parameter kimia sampah untuk pemanfaatan sebagai RDF (misalnya kandungan klorin, klorin serta kandungan energi) 3) skenario pengelolaan sampah yang tidak hanya fokus pada reduksi sampah namun juga dikaitkan terhadap analisa komponen ekonomi, kebijakan, sosial, dan hukum terhadap penerapan skenarioskenario pengelolaan sampah serta dampak lingkungan yang ditimbulkan.
UCAPAN TERIMA KASIH Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing dan tim penguji (dosen Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Indonesia), DKP dan UPT TPA Cipayung Depok, Pemerintah Prov. Riau, dan semua pihak yang membantu kelancaran penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat.
DAFTAR PUSTAKA Annisa, Bismi. (2013). “Pengaruh Recycle dan Recovery Sampah terhadap Jumlah Sampah yang Masuk ke TPA Cipayung, Depok dengan Menggunakan Model MFA (Material Flow Analysis)”. Tesis, Program Magister Fakultas Teknik UI, Depok. Badan Standardisasi Nasional (BSN). (1994). SNI 19-3964-1994: Standar Nasional Indonesia untuk metode pengambilan dan pengukuran contoh timbulan dan komposisi sampah perkotaan. Jakarta: Author. Caputo, A., & Pelagagge, P.M. (2002). “RDF production plants: I Design and costs”, Applied Thermal Engineering, 22, 423-437. Chang, N.B., Chang, Y.H., Chen, W.C. (1997). “Evaluation of heat value and its prediction for refusederived fuel”, Journal of Science of the Total Environment, 197, 139–148.
241
Annual Civil Engineering Seminar 2015, Pekanbaru ISBN: 978-979-792-636-6 Chiemchaisri, C., Charnok, B., & Visvanathan, C. (2009). “Recovery of plastic waste from dumpsite as refuse-derived fuel and its utilization in small gasification system”, Bioresource Technology, 101, 1522-1527. Disfani, M.M., Arulrajah, A., Bo, M.W., Sivakugan, N. (2012). “Environmental risks of using recycled crushed glass in road applications”, Journal of Cleaner Production, 20 (2012), 170-179. November 12, 2011. Fu, Z.M., Li, X.R., Koseki, H. (2005). “Heat generation of refuse derived fuel with water”, Journal of Loss Prevention in the Process Industries 18 (1), 27–33. Gentil, E.C., Damgaard, A., Hauschild, M., Finnveden, G. (2010). “Models for waste life cycle assessment: Review of technical assumptions”, Journal of Waste Management, 30 (2010) 2636–2648. October 17, 2011. Gunamantha, Made., Sarto. (2012). “Life cycle assessment of municipal solid waste treatment to energy options: Case study of KARTAMANTUL region, Yogyakarta”, Journal of Renewable Energy, 41 (2012) 277-284. June 11, 2012. Komilis, D., Evangelou, A., Giannakis, G., Lymperis, C. (2012). “Revisiting the elemental composition and the calorific value of the organic fraction of municipal solid wastes”, Journal of Waste Management, 32 (2012), 372–381. Kupka, T., Mancini, M., Irmer, M., Weber, R., (2008). “Investigation of ash deposit formation during cofiring of coal with sewage sludge, saw-dust and refuse derived fuel”, Journal of Fuel 87 (12), 2824– 2837. Liu, J., Paode, R., Holsen, T. (1996). “Modeling the energy content of municipal solid waste using multiple regression analysis”, Journal of Air Waste Management. 46, 650–656. Massarutto, A., De Carli, A., Graffi, M. (2011). “Material and energy recovery in integrated waste management systems: A life-cycle costing approach”, Journal of Waste Management, 31 (2011), 2102–2111. October 24. McDougall, F.R., White, P.R., Franke, M., & Hindle, P. (2001). Integrated solid waste management: a life cycle inventory (2th ed.). Great Britain: Blackwell Science. Nithikul, Jidapa. (2007). Potential of Refuse Derived Fuel Production from Bangkok Municipal Waste. School of Environment, Resource and Development, Asian Institute of Technology. Qudais, A et al. (2000). “Energy content of municipal solid waste in Jordan and its potential utilization”, Energy Conversion & Management, 41, 983-991. Sari, A.J. (2012). “Potensi Sampah Residu TPA Cipayung sebagai Bahan Baku Refuse Derived Fuel (RDF)”. Skripsi, Program Sarjana Fakultas Teknik UI, Depok. Tchobanoglous, G., Theisen, H., Vigil, S. (1993). Integrated solid waste management: engineering principles and management issues. Singapore: McGraw-Hill. Trang T.T. Dong., Byeong-Kyu Lee. (2009). “Analysis of potential RDF resources from solid waste and their energy values in the largest industrial city of Korea”, Journal of Waste Management, 29 (2009), 1725–1731. Oktober 21, 2011. UU RI No 18/2008 tentang pengelolaan sampah. Yung Yau. (2010). “Domestic waste recycling, collective action and economic incentive: The case in Hong Kong”, Journal of Waste Management, 30 (2010) 2440-2447. October 17, 2011. Zaman, A.U., Lehmann, S. (2012). “Urban growth and waste management optimization towards ‘zero waste city’”, Journal of City, Culture and Society in Press, 2 (2011) 177–187. January.
242