ARTIKEL PENELITIAN
TANAH SENDE DAN KONFLIK AGRARIA (Studi Kasus di D.I.Yogyakarta Tahun 1930-1990-an)
Oleh: TIWUK KUSUMA HASTUTI
Dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional, sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan HibahPenelitian Nomor: 017/SP2II/PP/III/2008
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
GADAI TANAH (SENDE) DAN KONFLIK AGRARIA (Studi Kasus di D.I. Yogyakarta Awal abad XX)
Oleh Tiwuk Kusuma Hastuti
ABSTRAK Penelitian ini dimaksudkan untuk mengkaji pola penguasaan tanah di D.I.Yogyakarta, latar belakang munculnya sende, faktor-faktor yang menyebabkan terjadiya konflik dalam sende dan penyelesaian konflik yang terjadi antara pembeli sende dan penjual sende. Teknik pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara, studi dokumen dan studi pustaka. Kemudian data yang berhasil dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Dari analisis data dapat disimpulkan bahwa perjanjian sende yang dilakukan secara diam-diam, sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan kepala desa sering menimbulkan konflik. Apabila terjadi konflik kedua belah pihak melaporkan kasusnya kepada kelapa desa. Munculnya konflik dalam sende menyebabkan masyarakat mengetahui bahwa ada perjanjian sende, padahal penjual dan pembeli bersepakat untuk merahasiakan transaksi yang mereka buat mengingat hal tersebut menyangkut status sosial dan martabat keduanya. Kata kunci: Tanah sende, penguasaan tanah, konflik agraria.
PENDAHULUAN Pada saat ini, masalah tanah merupakan masalah yang sangat penting di Indonesia. Konflik atas tanah merupakan salah satu konflik yang paling sering terjadi (Budiman, 1996: 11). Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan, kasus sengketa/konflik agraria bukannya mereda, tetapi justru kian meningkat frekuensi dan intensitasnya akhir-akhir ini (Sri Hartati Samhadi, 2007: 33). Berbagai jenis sengketa tanah dengan ekses-eksesnya berlangsung dalam frekuensi dan intensitas yang mengkhawatirkan (Noer Fauzi, 1999: 10). Dokumen pencatatan pelanggaran HAM yang diterbitkan oleh YAPUSHAM mencatat, berdasarkan laporan dari 28 surat kabar di kota-kota propinsi Indonesia, sepanjang 27 bulan (Juli 1994 hingga September 1996) ada 891 pelanggaran HAM yang berupa “penyitaan lahan melalui berbagai cara” dan “perampasan lahan melalui berbagai cara” (Noer Fauzi, 1999: 1-2).Tanah adalah alat produksi. Siapa yang menguasai tanah, terutama yang terletak di daerah strategis, memiliki kemungkinan untuk memperoleh laba melimpah.
Oleh karena itulah, tanah menjadi rebutan berbagai orang dan kelompok (Budiman, 1996: 11). Sejak zaman kolonial hingga sekarang masalah tanah tetap menjadi isu aktual di tengah masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa tanah tetap menjadi sumber daya ekonomi dan gengsi sosial yang sangat penting. Sebagai sumber daya ekonomi tanah menjadi rebutan berbagai kelompok/kekuatan untuk dapat mengakses sekaligus memanfaatkan dan mengontrol demi kepentingan mereka masing-masing. Di samping itu, tanah menjadi simbol status dan gengsi sosial baik dalam masyarakat yang masih sederhana maupun dalam masyarakat yang relatif sudah maju. Barangsiapa yang memiliki tanah luas berarti menguasai sumber ekonomi yang banyak dan memperoleh status dan penghargaan yang tinggi. Munculnya istilah “sabuk galeng” atau “tuan tanah”, misalnya, menunjukkan adanya sekelompok orang yang berhasil menguasai asset ekonomi yang sangat berharga itu. Dalam kehidupan masyarakat desa, mereka yang disebut “sabuk galeng” adalah orang yang menguasai tanah sawah luas (patron) dan biasanya juga mempunyai pengikut (klien) yang cukup banyak untuk mengerjakan sawahnya. Gejala ini sekaligus menunjukkan adanya kesenjangan pemilikan tanah yang terjadi di masyarakat (Warto, 2001:75). Ketidakseimbangan di dalam penguasaan tanah yang sering kali berhubungan erat dengan menumpuknya hasil pertanian di tangan beberapa orang petani saja, dapat menimbulkan akibat yang luas, antara lain dalam bentuk ketegangan-ketegangan social—social unrest. Ketegangan-ketegangan itu tidak saja terjadi di D.I. Yogyakarta dan Surakarta, tetapi dapat dikatakan merupakan gejala yang merata di pedesaan Jawa (Sartono Kartodirdjo, 1973 dan Lyon, 1984). Ketegangan sosial yang ditimbulkan oleh masalah yang berhubungan dengan penguasaan tanah belum banyak mendapat perhatian para ahli. (Padmo, 2000: 8). Sementara itu, bagi kaum tani, tanah adalah bagian dari kehidupan mereka. Dari tanah itu pula kaum tani membangun kehidupan, kemanusiaan dan memenuhi kebutuhan hidup materialnya, bahkan rumah tempat tinggal dibangun di atas tanah juga. Itu sebabnya tanah dianggap paling bernilai jika dibanding benda-benda lainnya (Soelistyobudi, 1993/1994: 70). Oleh karena tanah merupakan sumber daya yang penting, maka pemilik tanah sangat berhati-hati dalam menjaga kelangsungan haknya. Apabila tidak amat mendesak, tidak mungkin begitu saja melepaskan hak atas tanah tersebut baik dengan cara dijual atau digadaikan. Apabila keadaannya mendesak atau memaksa lazimnya pemilik tanah masih mencari jalan lain agar tanahnya tidak
terlepas dari tangannya untuk selama-lamanya, misalnya dengan sende. Oleh karena, apabila dijual oyodan (jual tahunan) ataupun disewakan tidak cukup untuk menutup kebutuhannya, maka jalan yang dianggap paling baik adalah sende. Melalui sende, kebutuhan uang kontan yang sangat mendesak dapat dipenuhi dan penjual tidak akan kehilangan status sosialnya sebagai pemilik tanah, karena meskipun tanahnya disendekan secara terus-menerus, statusnya sebagai pemilik tanah tetap dihormati. Dilain pihak ia dapat menggarap tanahnya sebagai buruh tani atau penyakap, sehingga hubungan antara pemilik tanah dan tanahnya tidak “lepas” sama sekali. Sende juga seringkali sebagai sarana untuk melunasi hutang yang terlalu besar. Oleh karena itu kita mengenal gejala di mana, sebagai akibat hubungan hutang piutang, pemilik tanah yang sebenarnya menjadi penggarap pemaro dari tanahnya sendiri. Tanah sende (grondverpanding) merupakan suatu gejala yang berlangsung cukup lama di daerah Vorstenlanden dan telah diatur dalam Rijksblad No. 10 Bab 15, 1938 yang menyebutkan bahwa penduduk yang memiliki tanah garapan dengan wewenang memakai secara turun-temurun diberi hak untuk menggadaikan tanahnya (sende) jika keadaan benar-benar mengharuskannya untuk menggadaikan tanah. Pada tahun 1960 sende diatur dalam PERPU 56 tahun 1960 pasal 7 yang menetapkan bahwa gadai tanah pertanian yang telah berlangsung tujuh tahun lebih, harus dikembalikan kepada pemiliknya tanpa uang tebusan (BPHN, 1977: 35). Namun, suatu kelemahan dari Perpu tersebut adalah menyamaratakan semua gadai sawah dengan tidak mengingat besar kecilnya uang gadai yang telah diterima pihak yang telah menggadaikan tanahnya. Selain itu dilupakan bahwa ada beberapa daerah di mana justru pihak yang ekonominya kuatlah yang menggadaikan sawah kepada orang-orang yang ekonominya lemah yang memerlukan tanah garapan untuk mencari nafkah seperti di Pulau Lombok (BPHN, 1977: 35). Juga di Jawa Barat yaitu daerah Mariuk, Jati (Wiradi dan Makali, 1984: 66) dan Sleman (Hastuti, 1996) penggadaian tanah umumnya dilakukan oleh petani bertanah luas kepada petani bertanah luas atau orang kaya. Mereka menggadaiakan tanahnya untuk mencukupi kekurangannya guna membeli sawah. Hasil dari sawah yang mereka beli dikumpulkan, kemudian dipakai untuk menebus tanah yang mereka gadaikan. Di Bantul, sende dilakukan oleh petani pedagang kaya untuk modal dagang daging sapi kepada petani tulen (Sulistyobudi, 1993/1994 ). Sende juga dilakukan oleh aparat desa (Hastuti, 1996), bahkan pada masa krisis ekonomi 1930-an, di Kawedanan Tayu sende banyak dilakukan oleh petani kaya dan kepala desa, depresi tahun 1930-an menyeret mereka dalam kesulitan
keuangan sehingga mereka terpaksa menggadaikan tanah, meskipun harga tanah sudah jauh menurun (Husken,1998: 148, Soenario. 1939: 154, Rohrmann, 1925: 211225). Ketentuan pemerintah tersebut dalam prakteknya tidak digunakan. Penduduk tidak menolaknya, tetapi hanya tidak menggunakannya, karena tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Pelepas uang tidak mau menerima tanah yang digadaikan, karena mereka merasa rugi. Akibatnya adalah sulit bagi petani untuk memperoleh uang pinjaman. Kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan cepat oleh pelepas uang melalui sende menurut hukum adat. Selain itu, ada pemilik tanah yang menggadaikan tanahnya, merasa tidak enak apabila tanahnya dikembalikan, padahal ia belum membayar tebusannya (sesudah tujuh tahun) meskipun ia dibebaskan dari pembayaran itu. Banyak sekali tindakan yang tidak cocok dengan aturan mengenai tanah yang dijual dan dijadikan tanggungan hutang, misalnya sende yang dilakukan di luar campur tangan pihak pemerintah dan tidak dimasukkan dalam buku-buku pendaftaran. Orang telah puas dengan memegang surat pikukuhnya saja dan merasa bahwa dengan demikian hak telah berada dalam tangannya. Sikap demikian itu didasarkan pada pertimbangan bahwa kalau menetapi aturan-aturan banyak susahnya, membuang tenaga, dan juga membuang uang. Hal ini dapat menimbulkan konflik, karena tanpa mengindahkan aturan-aturan yang berlaku, semua transaksi yang dilakukan tidak sah, sehingga tidak mempunyai kepastian hukum.
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di D.I Yogyakarta. Pemilihan daerah penelitian dilakukan secara purposive, yaitu pemilihan secara sengaja dengan maksud menemukan sebuah daerah yang relevan dengan tujuan penelitian. Teknik pengumpulan data dengan studi dokumen, studi pustaka, dan wawancara. Studi dokumen dilakukan di Arsip Nasional RI. Proses penelitian dilakukan dengan mengadakan pengumpulan data sekunder yang diperoleh melalui kantor desa dan propinsi. Sementara itu data primer diperoleh dengan cara wawancara informan dan responden kemudian data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif berdasarkan landasan teori dan kerangka berfikir.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Di dalam masyarakat pedesaan, tanah mempunyai arti yang penting. Bagi petani tanah bukan saja penting dari segi ekonomis, tetapi lebih dari itu adalah bahwa tanah dapat pula dipakai sebagai kriteria terhadap posisi sosial pemiliknya. Stratifikasi sosial di dalam masyarakat pedesaan erat hubungannya dengan pemilikan tanah. Di dalam menentukan status sosial, tanah merupakan kriteria untuk menentukan tinggi rendahnya status seseorang. Bagi seorang petani, memiliki sawah merupakan sesuatu yang membahagiakan. Adapun alasannya adalah, pertama, petani tersebut beserta keluarganya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari sudah mempunyai sumber penghasilan yang tertentu. Kedua, di dalam memutuskan sesuatu yang berhubungan dengan kepetingan petani, pemerintah kalurahan akan membawa mereka di dalam forum tilik desa (rapat desa). Dengan demikian mereka akan merasa bangga dengan statusnya itu karena dipandang sebagai wong baku (Soegijanto Padmo, 2000: 20). Bagi kaum tani, tanah adalah bagian dari kehidupan mereka. Dari tanah itu pula kaum tani membangun kehidupan, kemanusiaan dan memenuhi kebutuhan hidup materialnya, bahkan rumah tempat tinggal dibangun di atas tanah juga. Itu sebabnya tanah dianggap paling bernilai jika dibanding benda-benda lainnya, bahkan keberadaan tanah dan masyarakat tidak dapat dipisahkan. Pola hubungan petani dengan tanah yang demikian dekat itu, membuat petani
senantiasa berupaya
mempertahankan kepastian hidupnya, melalui jalan mempertahankan tanahnya (Dadang Juliantara, 1995: 191). Oleh karena tanah merupakan sumber daya yang penting, maka pemilik tanah akan sangat berhati-hati dalam menjaga kelangsungan haknya. Apabila tidak amat mendesak, tidak mungkin akan begitu saja melepaskan hak atas tanah tersebut baik dengan cara dijual atau digadaikan. Apabila keadaannya mendesak atau memaksa lazimnya pemilik tanah masih mencari jalan lain agar tanahnya tidak terlepas dari tangannya untuk selama-lamanya, misalnya dengan sende. Oleh karena, apabila dijual oyodan (jual tahunan) ataupun disewakan tidak cukup untuk menutup kebutuhannya, maka jalan yang dianggap paling baik adalah sende. Sende dapat dikombinasikan dengan bagi hasil dengan perjanjian secara lisan (overeenkomst) (Soekasno, 1936 a: 205-206). Perjanjian dibuat dengan akte (surat keterangan) yang
disaksikan oleh bekel dan carik. Perjanjian gadai tanah dapat
ditentukan batas waktunya maupun tidak, jika ditentukan
batas waktunya maka
apabila sampai batas waktunya tidak dapat mengembalikan uang maka tanah menjadi milik pembeli sende( Soekasno, 1937: 353). Apabila tidak ditentukan batas waktunya maka sende dapat berlangsung secara terus-menerus hingga penjual sende mampu menebus dan penebusan ini dapat beralih pada keturunannya (Ibid.). Di desa-desa orang yang menggadaikan tanah yang sudah lewat waktunya untuk ditebus kembali, seringkali penebusan baru terjadi kalau di kemudian hari orang yang meminjam berhasil mengumpulkan sejumlah uang atau barang yang diperlukan untuk menebus tanahnya, dan pada waktu itu baru memberitahukan kehendaknya untuk menebus kembali tanahnya kepada yang menerima gadai atau “pembeli tanah”. Kebanyakan permintaan itu tidak akan ditolak karena “sudah lewat waktunya”. Namun, penerima gadai tidak dapat menuntut kepada pemegang gadai atau penjual untuk menebus kembali terhadap tanah yang digadaikan di luar kesepakan yang telah diperjanjikan dalam gadai-menggadai itu. Jika tidak terdapat persetujuan apapun dalam gadai-menggadai itu maka hak menebus berada di tangan pemilik tanah dan dapat beralih kepada ahli warisnya bila pemegang gadai meninggal dunia dan pemilik tanah belum menebus tanah yang digadaikan tersebut (Harun Al Rashid, 1987: 35). Dalam perjanjian sende disebutkan batas waktu, luas tanah, letak, saksi, ahli waris, dan lain-lain (Ibid.: 160). Gadai tanah juga dilakukan oleh petani, pedagang, pamong desa seperti Lurah, carik maupun kamitua (Rohrmann, 1925: 211-225). Pada masa krisis ekonomi tahun 1930-an, banyak kepala desa dan petani yang terjerumus dalam lilitan hutang, depresi itu menyeret mereka dalam kesulitan keuangan sehingga mereka terpaksa menjual sebagian tanah atau menggadaikannya, meskipun harga tanah tanah sudah jauh menurun (Frans Husken, 1998: 148; Soenario, 1939: 143-175). Pembeli sende meliputi orang kaya di desa yaitu haji, Cina maupun orang Arab (Rohrmann. Loc. cit.). Kebanyakan sende terjadi karena terlibat hutang kemudian menggunakan tanahnya sebagai jaminan. Selama tanah berada dalam penguasaan pembeli sende maka pajak dibayar oleh pembeli sende atau penjual sende tergantung dari kesepakatan dan kewajiban desa atau kewajiban sebagai kuli dilakukan oleh pemilik tanah (penjual sende). Pembeli gadai meliputi orang kaya di desa, yaitu haji, Cina. maupun orang Arab (Ibid.). Tanah yang digadaikan meliputi tanah milik, tanah bengkok, rumah pekarangan (Rohrmann, ibid.: 214-219; Soekasno, 1938. 385-409).
Tanah yang digadaikan meliputi tanah rakyat maupun tanah lungguh. Apabila tanah lungguh maka jika ingin menjual gadai disertai dengan jaminan tanah milik atau rumah apabila sewaktu-waktu penjual sende dicopot dari jabatannya maka tanah yang dijaminankan menjadi milik pembeli sende (Ibid.). Tanah bagi masyarakat memiliki makna yang multidimensional. Heru Nugroho, 2001: 245). Pertama, dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi yang dapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua, secara politis tanah dapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusan masyarakat. Ketiga, sebagai budaya dapat menentukan tinggi rendahnya status sosial pemiliknya. Keempat, tanah bermakna sakral karena berurusan dengan waris dan masalah-masalah transendental. Karena makna-makna tersebut ada kecenderungan bahwa orang yang memiliki tanah akan berupaya mempertahankan tanahnya dengan cara apa pun bila hakhaknya dilanggar. Ada pepatah Jawa yang menegaskan sedumuk batuk senyari bumi, ditohi pecahing dodo lan wutahing ludiro, yang artinya apapun resiko yang akan diterima tetap akan dibela sampai titik darah penghabisan, merupakan cerminan bagaimana gigihnya orang membela tanah miliknya. Bahkan kalau hak atas tanah sampai terlepas dari seseorang maka ia merasa pedhot jangkare soko bumi (lepas ikatannya dengan tanah pusaka). Tidak mengherankan bila konflik pertanahan cenderung mengundang berbagai bentuk tindak kekerasan, baik individual maupun massal. Konflik sosial yang berkaitan dengan tanah sesungguhnya sudah ada sejak jaman feudal (Ibid.: 246). Kasus sende antara Bok Kromodimedjo dengan Martoredjo. Konflik mengenai jual beli tanah secara sende ataukah jual lepas antara Bok Kromodimedjo, sebagai pemilik tanah, bertempat tinggal di Desa Madjegan, Kecamatan dan Kawedanan Sleman, Jogyakarta, sebagai penggugat melawan Martoredjo, pemilik tanah, bertempat tinggal di Desa Pabrikboebrah, Kalurahan Karanganjar, Kecamatan Toeri, Kawedanan Sleman sebagai tergugat. Kasus diselesaikan di pengadilan Jogjakarta, dipimpin P. van Doorne, dengan vonis tanggal 8 Oktober 1934 dan diperkuat oleh dewan justisi di Semarang pada vonis tanggal 8 Pebruari 1935 (ITR No. 142: 181-183). Pihak penggugat (Bok Kromodimedjo) menuntut biaya kerugian sebesar f. 510,-.dan tanah yang dipersengketakan adalah tanah yang dijual secara lepas dan ini diputuskan dalam putusan desa. Namun berdasarkan penyelidikan tanah tersebut dijual secara sende karena harganya hanya ¼ dari harga sebenarnya.
Keputusan dari pengadilan menyatakan bahwa transaksi tanah yang disengketakan adalah transaksi sende. Dari kasus dia atas dapat diketahui bahwa pembeli tanah sering kali terdiri dari bekas pegawai desa, yang disamping memiliki persil tanah sendiri sekaligus menguasai tanah garapan milik desa. Mereka tidak saja mempunyai cukup modal untuk membeli tanah lagi, tetapi juga, karena jabatannya mempunyai pengaruh pribadi untuk melakukan transaksi tanah yang diputuskan dalam rapat penduduk desa. Di samping itu sering terjadi, karena hutang seseorang tidak dapat dibayar, maka areal tanahnya jatuh ke tangan si pemberi hutang, yang biasanya ada hubungan dengan kelompok penguasa desa itu. Kasus Sende antara Wiromanarjono dan Bok Ngamilah. Konflik terjadi antara Wiromanarjono, bertempat tinggal di Desa Butuh, Kecamatan Lendah, Kawedanan Pengasih, Kabupaten Kulonprogo, Jogjakarta selaku penggugat melawan Bok Ngamilah, bertempat tinggal di Desa Dadirejo, Kecamatan Bagelen, Kawedanan Purwodadi, Kabupaten Purworejo, selaku tergugat. Kasus diselesaikan di Pengadilan Poerworedjo, dipimpin Soepomo, vonis tanggal 11 Mei 1935 (ITR. No. 143: 343344).
Wiromanarjono menyatakan telah membayar sejumlah f. 300 kepada Bok
Ngamilah sebagai uang gadai semula untuk pekarangan. Kemudian Wiromanarjono membayar f. 75,- dan menyatakan di depan Lurah Den Tjokrosukarto, bahwa dengan hal itu ingin mengubah perjanjian dari jual gadai (sende) menjadi jual plas, akan tetapi Bok Ngamilah menolak
untuk mencatat kembali pekarangan yang
dipersengketakan atas nama Wiromanarjono
di depan lurah. Sejak tinggal di
pekarangan, Wiromanarjono dilarang memetik hasil pekarangan, sementara Bok Ngamilah menyatakan akan menyerahkan pekarangan kepada Wiromanarjono apabila membayar biaya keseluruhan sebesar f. 500,- kepadanya, semula hal ini telah disepakati bersama. Pengadilan menyimpulkan bahwa Bok Ngamilah belum menyetujui penerimaan uang sebesar f. 75,- sebagai suatu penyerahan hak milik pribumi (inlandsche bezitsrecht) atas pekarangan kepada Wiromanarjono. Perjanjian jual beli plas yang dinyatakan oleh Wiromanarjono tidak terjadi. Wiromanarjono mempunyai hak gadai (pandrecht) atas pekarangan yang dipersengketakan, karena telah membayar sejumlah uang f. 375,- kepada Bok Ngamilah. Namun Bok Ngamilah menghalang-halangi atau melarang Wiromanarjono untuk menggunakan hak gadainya, Oleh karena itu Wiromanarjono mendapat hak untuk mengakhiri hubungan gadai. Dan Bok Ngamilah dibebani biaya sidang dan harus membayar sebesar f. 375,kepada Wiromanarjono. Dari kasus ini dapat disimpulkan bahwa Pemegang gadai
(pembeli sende) berhak atas hasil dari gadai. Pemegang gadai berwenang mengakhiri yang berhubungan dengan gadai, ketika pemberi gadai (Pandgever) atau penjual gadai menghalang-halangi penggunaan hak gadainya. Kasus Sende antara Sokarjo dengan Kartodiprono.(Lihat ITR. Ibid. :344-346). Pada tanggal 9 Agustus Sokarjo mengajukan gugatan ke pengadilan Poerworedjo, dan menyatakan bahwa kurang lebih 5 tahun yang lalu (1930) Sokarjo menerima gadai (sende) sebidang sawah dari Kartodiprono dengan membayar uang sebesar f. 80,-. Kartodiprono dalam waktu 2 tahun akan menebus sawahnya, tetapi waktu itu telah lama berlalu, dan Kartodiprono tidak menebus. Sokarjo secara berulang-ulang meminta
kepada
menyerahkan
Kartodiprono
sawah
kepadanya
untuk dengan
menebus hukum
sawah
tersebut,
pemilikan
kemudian
pribumi,
tetapi
Kartodiprono tidak setuju dan melakukan sesuatu yang lain. Sokarjo meminta pengadilan untuk menyerahkan sawah kepada Sokarjo berdasarkan hukum pemilikan pribumi sebagai alternatif karena Kartodiprono menolak untuk membayar sejumlah f. 80,- kepada Sokarjo. Di dalam persidangan Kartodiprono mengakui gugatan dari Sokarjo, dan menyatakan bahwa dia tidak mampu membayar kepada Sokarjo sejumlah f. 80,-. Kartodiprono menentang pemberian sawah berdasarkan hukum pemilikan pribumi kepada Sokarjo, kecuali jika pada saat itu juga Sokarjo membayar tambahan sebesar f. 20,-. Sokarjo tidak bersedia untuk membayar sejumlah f. 20,dengan keterangan bahwa nilai beli sawah yang disengketakan itu kira-kira di bawah f. 80,-. Berdasarkan keterangan dari saksi ahli Tjokrowarno, lurah Desa Bayan, menyatakan bahwa sawah yang dipersengketakan adalah sawah klas 2 (dua) dan bahwa harga satu roe (ukuran luas) persegi dari sawah klas 2 di desanya kira-kira waktu itu 60 atau 70 sen, sehingga sawah yang dipersengketakan, yang mempunyai permukaan rata seluas 54 roe persegi, nilai jual kira-kira f 35,- atau f. 40,-. Dari kasus di atas dapat diketahui bahwa Kartodiprono tahun 1930 menggadaikan sawah yang dipersengketakan itu kepada Sokarjo seharga f. 80,- dan dalam waktu dua tahun akan menebusnya, Kartodiprono tidak memenuhi persyaratan itu, hingga 5 tahun tidak mampu menebus dengan membayar f. 80,- kepada Sokarjo. Waktu penebusan pada penggadaian tanah secara hukum adat memiliki maksud, bahwa sesudah berakhir waktu penebusan, pembeli sende akan meminta pemutusan hubungan sende, dan hakim akan memutuskan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya mengenai bagaimana sende itu harus diakhiri. Berdasarkan keterangan dari saksi Tjokrowarno yang penyataannya tidak dipertentangkan oleh pihak-pihak yang bersengketa,- harga
sawah yang dipersengketakan pada waktu itu kira-kira tidak lebih tinggi dari f. 35,atau f. 40,. Dalam kasus ini, satu pihak harga sawah yang dipersengketakan saat ini lebih sedikit daripada uang sende yang dibayar oleh Sokarjo kepada Kartodiprono, dan di pihak Kartodiprono tidak dapat membayar uang penebusan kepada Sokarjo sebesar f. 80,-, pengadilan memutuskan untuk mengakhiri hubungan gadai di antara pihak-pihak yang terlibat. Kartodiprono
harus menyerahkan sawah berdasarkan
hukum pemilikan pribumi kepada Sokarjo dan mencatat sawah itu dalam registersewa tanah (landrente-registers) atas nama Sokarjo. Kartodiprono
juga harus
membayar biaya sidang pengadilan. Berdasarkan kasus di atas dapat disimpulkan bahwa waktu yang hilang dalam sistem penggadaian tanah berarti secara hukum adat, bahwa setelah waktu berakhir pembeli sende dapat meminta penghentian hubungan sende dan jaksa harus memutuskan berkenaan dengan keadaan tersebut (di dalam kasus
ini hak pemilikan pribumi atas sawah yang digadaikan diberikan kepada
pembeli sende) Kasus Sende antara Mohamad Atiek dengan Hadji Noer, Hadji Ali, Salwian dan Haji Yasin. Konflik diselesaikan di Pengadilan Brebes dibawah pimpinan A. Bickes, vonis tanggal 27 Juni 1933 dan diperkuat dengan vonis dari dewan pengadilan Semarang tanggal 17 November 1933 (Lihat Ibid.: 340-343). Kasus bermula ketika penggugat, Mohamad Atiek sebagai pemilik tanah melelang (openbare verkoop) tanah yang diduduki tergugat dan tergugat diminta mengosongkan tanah Tergugat ketiga (Salwian) menyatakan tanah yang didudukinya diterima secara sende, dari Soeromoeljono yang telah dieksekusi. Sende terjadi karena pemilik tanah meminjam uang kepada Salwian. Pemegang sende mempunyai hak untuk memberdayakan tanah dengan tujuan untuk memberikan jaminan kepada pemegang sende suatu kepastian untuk pembayaran kembali jumlah pinjaman dan tidak dipungut bunga. Pemegang sende tidak boleh merusak tanah. Akan tetapi hak sende ini tidak sama dengan hak milik (Inlandsch bezitrecht) dan dapat ditagih maupun disita. Tergugat menggunakan cara untuk mempertahankan hak sendenya, dengan jalan penjualan secara terbuka, sehingga harga barang akan memenuhi hutang sende. Pengadilan memutuskan untuk membagi biaya-biaya dan sejenisnya kepada tergugat dan masing-masing mendapat bagian sebagai berikut: tergugat pertama yaitu 3/7 bagian atau seluas 2 bau dan 1 bau; tergugat kedua yaitu 1/7 bagian atau seluas 1 bau; tergugat ketiga 2/7 bagian atau seluas 2 bau; dan tergugat keempat yaitu 1/7 bagian atau 1 bau. Dari kasus tersebut diketahui bahwa dalam hukum gadai pemegang sende dapat menggunakan tanah
sebagai jaminan agar hutangnya kembali dan mengganti kerugian kepadanya dengan menggunakan tanah tanpa bunga. Hak sende tidak sama, tetapi bertentangan dengan hak kepemilikan (hak milik pribumi). Tanah sende dapat disita. Hak sende tidak terdapat di dalam penjualan eksekutorial tanah yang telah digadaikan, karena hak milik pribumi-peminjam uang atas tanah yang selalu tetap. Untuk mempertahankan hak sende adalah dengan penjualan eksekutorial dari tanah yang ditegaskan dengan hak gadai, sehingga harga berbagai barang akan menyediakan untuk pemenuhan hutang sende (sendeschuld). Kasus Sende antara Liem Siang Ing melawan Mas Notowikarto. Konflik antara Liem Siang Ing, pedagang, bertempat tinggal di Klaten sebagai penggugat melawan Mas Notowikarto, bertempat tinggal di Klaten sebagai tergugat (ITR. No. 151: 596-601).
Tergugat (Mas Notowikarto) menyatakan bahwa tergugat telah
menggadaikan (jual sende) rumah dan pekarangan kepada Liem Siang Ing, pada tanggal 28 Juli 1933 sejumlah f. 1200,- dan akan menebus kembali barang yang digadaikan setelah 3 tahun. Perjanjian ini ditandatangani kedua belah pihak dan dikuatkan dengan selembar pikoekoeh (pikukuh) dari Patih Kraton Surakarta no. 1A/2, tertanggal 10 Januari 1925. Perjanjian dalam kasus ini semata-mata adalah perjanjian sewa. Tergugat menyewa rumah dan halaman dari penggugat seharga f. 15,- per bulan. Namun Mas Notowikarto sejak tanggal 1 Maret 1935 tidak membayar sewa lagi. Kemudian tergugat dinyatakan bersalah dan dihukum untuk mengosongkan rumah dan pekarangan yang disewanya dan pembayaran uang sewa yang belum dilunasi sejumlah f. 510,-. Adapun hasil keputusan Dewan adalah: (a) di dalam pasal I dari akte tertanggal 11 Agustus 1933 secara tegas dibahas tentang 1 ¼ persen dari harga pokok harus dibayar oleh tergugat (Mas Notowikarto) sebagai sewa, yang jumlahnya sesuai dengan woekerpranatan (pranatan yang mengatur peminjaman dengan bunga sangat tinggi) tertanggal 9 Poeasa Dje 1798 (13 Desember 1869). Woekerpranatan ini secara tegas diambil dalam kasus ini, dan perjanjian ditempatkan dalam aturan perhutangan (sculdenrecht) dan bukan dalam hukum adat pertanahan (adatgrondenrecht). (b) di dalam pasal yang sama (pasal I) dari akte ditentukan bahwa hukum pembelian kembali apa yang telah dijual (wederinkoop) tanpa sengaja telah menjatuhkan Mas Notowikarto, kapan Mas Notowikarto akan membayar kekurangan sewa selama tiga bulan. Di dalam Model penebusan bebas adalah penggadaian tanah dengan kewajiban bayar sewa hal ini dimaksudkan sebagai kepastian pembayaran hutang secara teratur. Kombinasi antara gadai tanah dengan sewa ini mirip perjanjian
uang (geld transactie) dengan tanah sebagai jaminan (zekerheid), seseorang memberi uang kepada orang lain dan selama uang itu belum dikembalikan ia menerima pembayaran-pembayaran berkala. Penggadaian tanah kemudian disusul dengan membiarkan si penjual gadai di tanah yang digadaikan sebagai penyewa, hal ini tidak berbeda dengan penjaminan tanah untuk pinjaman uang yang berbunga.
Dalam
kenyataan, gadai tanah adalah perjanjian jual dan penjaminan (zekerheidstelling) bukan perjanjian jual. Di dalam gadai tanah, uang gadai tidak dapat dituntut kembali, sedangkan uang yang dipinjamkan atas penjaminan apabila timbul kelengahan dapat dituntut
kembalinya.
Pembeli
gadai
dapat
menggadaikan
terus
tanahnya
(doorverpanden), sedangkan si penerima penjaminan tidak dapat berbuat apa-apa terhadap tanahnya; bila timbul kelengahan
-dan bila dalam perjanjian sudah
ditetapkan temponya harus menebus- maka pembeli gadai dapat menuntut supaya tanah diserahkan kepadanya untuk menjadi miliknya dengan hak milik, sedangkan bila pinjaman uang atas penjaminan maka hanya uang yang dapat dituntut kembalinya. Apabila timbul kelengahan dalam pembayaran uang sewa, maka pembeli gadai dapat menolak penjual gadai untuk terus menjadi penyewa, sedangkan bila terjadi kelengahan mengenai pembayaran bunga uang pinjaman atas penjaminan, maka pinjaman pokok dapat dituntut kembalinya. Bila tanah atau rumah musnah misalnya karena air bah atau terbakar, maka pembeli gadai (yang memberikan uang) tidak berhak menuntut penjual gadai, sedangkan pemberi piutang atas penjaminan berhak menuntut uangnya. Dari kasus tersebut dapat diketahui bahwa dalam hukum adat terdapat sistem jual sende yaitu menjual tanah yang sebenarnya bukan penjualan, akan tetapi menggadaikan dengan perjanjian, bahwa kalau dalam waktu tertentu uang belum dikembalikan, maka tanah dan segala sesuatu yang berdiri di atas tanah itu lalu menjadi milik pembeli sende. Ini mula-mulanya demikian. Akan tetapi, dengan adanya pemberian surat-surat pikukuh di daerah Yogyakarta dan Surakarta, kemudian untuk mengadakan perjanjian jual sende, surat pikukuh itu dibalik nama oleh orang lain, sehingga kalau uangnya tidak dikembalikan, menurut perjanjian tersebut tanah menjadi milik pembeli sende. Biasanya hal ini menimbulkan kesukaran, oleh karena tanah dan rumah tetap didiami oleh pemilik tanah semula (penjual sende), sukar bagi pembeli sende untuk mengajukan ke muka pengadilan. Oleh karena surat pikukuh itu dibaliknamakan pada waktu diadakan perjanjian jual sende. Jadi sebetulnya belum ada pemindahan hak milik, sehingga seringkali terjadi tuntutan dari pembeli sende tidak dikabulkan oleh hakim.
KESIMPULAN Reorganisasi adminstrasi dan agraria menyebabkan terjadinya perubahan hak milik tanah, petani diberi hak-hak perorangan yang bisa diwariskan. Hak perorangan ini memberi jaminan untuk menggunakan bidang tanahnya seumur hidup, sedangkan adanya kemungkinan untuk mewariskan hak-hak ini memberikan landasan jaminan ekonomi (economic security) bagi keturunannya. Perubahan hak atas tanah tersebut membuat petani bebas menggunakan tanahnya termasuk mengadakan jual beli tanah. Masuknya pengaruh perekonomian uang yang mulai merembes ke daerah pedesaan dan bertambahnya penduduk serta diubahnya status pemilikan tanah dari pemilikan komunal menjadi milik perorangan yang dapat dijualbelikan secara bebas, mengakibatkan jual beli tanah meningkat. Tanah dan pola kepemilikannya bagi masyarakat pedesaan merupakan suatu faktor yang krusial bagi perkembangan kehidupan politik, ekonomi dan sosial, karena penguasaan tanah akan menentukan tingkah laku politik, tingkah laku ekonomi, dan tingkah laku budaya. Adanya ikatan psikologis dengan tanah, dan adanya anggapan bahwa tanah merupakan benda yang paling bernilai, menyebabkan petani tidak ingin melepaskan tanahnya untuk selama-lamanya. Apabila ada kebutuhan yang mendesak, maka dicari agar tanahnya tidak terlepas untuk selama-lamanya, yaitu dengan sende (gadai tanah). Dengan menjual sende, pemilik tanah tidak akan kehilangan status sosialnya sebagai pemilik tanah, sebab meskipun tanahnya dijual sende secara terusmenerus, statusnya sebagai pemilik tetap dihormati. Oleh karena dengan menggadaikan tanah di satu pihak kebutuhan yang sangat mendesak akan uang kontan dapat dipenuhi dengan mudah tanpa melepaskan tanah untuk selama-lamanya karena sewaktu-waktu dapat ditebus. Di lain pihak pemilik tanah masih dapat menggarap tanahnya sebagai buruh upahan atau penyakap, sehingga masih mempunyai penghasilan untuk menopang hidupnya. Dalam hal demikian ia masih merasa sebagai seorang petani, karena masih ikut bertanggung jawab atas pekerjaannya. Selain itu petani juga masih dapat aktif dalam proses pengambilan keputusan desa sebab secara de yure masih sebagai pemilik tanah meski secara de facto tidak menguasai tanah. Tanah bagi masyarakat memiliki makna yang multidimensional. Oleh Karena itu ada kecenderungan bahwa orang yang memiliki tanah akan
berupaya
mempertahankan tanahnya dengan cara apa pun bila hak-haknya dilanggar. Ada
pepatah Jawa yang menegaskan sedumuk batuk senyari bumi, ditohi pecahing dodo lan wutahing ludiro, yang artinya apapun resiko yang akan diterima tetap akan dibela sampai titik darah penghabisan, merupakan cerminan bagaimana gigihnya orang membela tanah miliknya. Bahkan kalau hak atas tanah sampai terlepas dari seseorang maka ia merasa pedhot jangkare soko bumi (lepas ikatannya dengan tanah pusaka). Tidak mengherankan bila konflik pertanahan cenderung mengundang berbagai bentuk tindak kekerasan, baik individual maupun massal. .
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku dan artikel. Billah, M.M., L. Widjajanto, dan A. Kristyanto. 1984. “Segi Penguasaan Tanah dan Dinamika Sosial di Pedesaan Jawa (Tengah)” dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (eds.). Dua Abad Penguasaan Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Gramedia. Dadang Juliantara. 1995. “Sengketa Agraria, Modal dan Transformasi” dalam dalam Untoro Harjadi dan Masruchah (eds.). Tanah, Rakyat dan Demokrasi. Yogyakarta: Forum LSM-LPSM DIY. Gunawan Wiradi dan Makali. 1984.”Penguasaan Tanah dan Kelembagaan” dalam Faisal Kasryno (ed.). Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Harun Al Rashid. 1987. Sekilas Tentang Jual Beli Tanah Berikut Peraturanperaturannya. Ghalia Indonesia. Heru Nugroho. 2001, Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial. Yogyakarta,Pustaka Pelajar. Husken, Frans. 1998. Masyarakat Desa dalam Perubahan zaman: sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980. Jakarta: Grasindo. Kano, Hiroyoshi. 1984. “Sistem Pemilikan Tanah dan Masyarakat Desa di Jawa Pada Abad XX” dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi (eds.). Dua Abad Penguasaan Tanah pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Gramedia. Kroef, Justus M. van der. 1984. “Penguasaan Tanah dan Struktur Sosial di Pedesaan Jawa” dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan gunawan Wiradi (eds.). Dua Abad Penguasaan TanahPola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Gramedia. Lyon, Margo L. 1984. “Dasar-dasar Konflik di daerah Pedesaan Jawa” dalam Sediono M.P. Tjondronegoro dan gunawan Wiradi (eds.). Dua Abad Penguasaan TanahPola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Gramedia.
Schwencke, G. 1932. Het Vorstenlandsche Grondhuurreglement in de practijk en het Grondenrecht in Jogjakarta. Djokja: H. Buning.
Scheltema, A.M.P.A. 1985. Bagi Hasil di Hindia Belanda. Terj. Marwan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Soegijanto Padmo, 2000, Landreform dan Gerakan Protes Petani Klaten 1959-1965. Yogyakarta: Media Pressindo. Soepomo, R. 1927. De Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest Soerakarta. s’Gravenhage: L. Gerretsen. Soepomo, 1930. Verslag omtrent het Onderzoek naar het Adatgronden-Erfrecht in het Gewest Jogjakarta buiten de Hoofdplaats, Dukkerij de Unie Weltevreden.
B. Jurnal dan Majalah “Gronverpanding of Zekerheidstelling-Schijnhandeling”. ITR No. 151. Gedrukt bij Visser & Co. Batavia-C. K.R.T. Notonagoro,”Pengetan pakempalan H.P. tjabang Ngajogjokarto wonten ing dalemipiun K.R.T. Hardjodiningrat ing Ngajogjokarto, naliko dinten Djoemoeah tanggal kaping 2/3 Juni 1937” dalam Soara Hamong Prodjo. Tahoen IX No. 2. 1 October 1937. “Landraad Jogjakarta, Verkoop of Verpanding”. Indisch Tijdschrift van het Recht (ITR) 142. Druk Visser & Co. Batavia-C. “Landraad Brebes: Panrecht”. ITR No. 143. Gedrukt bij Visser & Co. Batavia-C. “Landraad Poerworedjo: Gronverpanding”. ITR No. 143. Gedrukt bij Visser & Co. Batavia-C. “Onderzoek naar de werking van de Desabanken”, dalam Blaadje voor het VCW, Uitgaaf van de Centrale Kas, Weltevreden, No. 9 September 1929. “Onderzoek naar het leenbedrijf van de Volksbank Indramajoe”, VCW, 1934. “Penghidoepan di Desa (II)”. Soeara. Hamong-Prodjo No. 4 tahun VIII, 1 April 1937 Rohrmann. “Schulden in de Desa”, dalam Blaadje voor het Volkscredietwezen, No. 12, 15 Dec. 1925. “Soeal pengangguran di gewest Jogjakarta dengan ichtiar-ichtiarnya boeat memberantas (I)” dalam Soara Hamong Prodjo. Tahoen IX No. 2. 1 October 1937. Soekasno. “Grondwoeker als Gevolg van Crediet-Transacties in het Pemalangsche” dalam Volkscredietwezen (VCW), 1936 a. --------------.Het Particuliere crediet in den Klapper- en Coprahandel in Bantam”. dalam VCW, 1936 b.
--------------.“De voorziening in de Credietbehoefte der Landbouwende Bevolking in de Districten Poerworedjo en Poerbolinggo (Resp. van de Regentschappen Bandjarnegara en Poerbolinggo)” dalam VCW, Februari 1938. ---------------.“Klappercultuur en Credietvoorziening Banyuwangi”, VCW, 1937.
in
het
Regentschap
Soenario, “Onderzoek naar de practische mogelijkhedeneener credietverstrekking ter bevrijding den verpanding van djerukboomen in het Regentschap Garut”, VCW, 1936. ---------------“Onderzoek naar credietverhoudingen bij de bevolkingskapokcultuur in het Regentschap Pati”. VCW, 1939. Sukarto. “Dari Kerja Wajib sampai Kerja Upahan: Penguasaan Tenaga Kerja Oleh Perkebunan di Yogyakarta, 1830-1930” dalam Lembaran Sejarah. Vol. 1, No.1,,1997.