PENGARUH RASIO KEUANGAN DAERAH TERHADAP BELANJA MODAL UNTUK PELAYANAN PUBLIK DALAM PERSPEKTIF TEORI KEAGENAN (STUDI PADA KABUPATEN DAN KOTA DI JAWA TENGAH)
Ardhini Hj. Rr. Sri Handayani, SE, Msi, Akt
ABSTRACT This research is aimed to analyze the influence of Local Government Measurement Ratio toward the Capital Expenditure for Public Services. The independent variables are The Autonomy rate, The Effectiveness rate, Eficiency rate, SiLPA and the dependent variable is Capital Expenditure for Public Services. The samples which are use in this research are regency/municipality of Central Java province that report routine the realization report of the estimate income of regional expense (APBD)
from
2007
until
2008
for
Dirjen
Perimbangan
Keuangan
Pemerintah
Daerah(www.djpkpd.go.id). Besides, the writer get data of APBD 2009 period from BPS Jawa Tengah. The analytical method for determining statistical tests with SPSS (Statistical Package for the Social) 17.00 software. The results of this research show that The Autonomy rate has negative influence toward the capital expenditure for public service. The effectiveness rate has positive influence toward capital expenditure for public service. The efficiency rate has negative influence toward capital expenditure for public service. SiLPA has positive influence toward capital expenditure for public service , and the capital expenditure for public service has negative influence toward Gini Index as the Economic Growth. This results are still need the further confirmation for the next research. Because of the lack of this research .
Key Words : autonomy ratio, effectiveness , efficiency, Local Government Finance, expenditure, Economic Growth, Gini Index
capital
Pendahuluan Kebijakan pengelolaan keuangan daerah tidak terlepas dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang menekankan pada prinsip money follows function sebagai konsekwensi dari hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pembaharuan subjek pengelolaan keuangan daerah yang ada dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah ekonomis, efektifitas, dan efisiensi pengelolaan keuangan daerah baik dari sisi pendapatan maupun belanja. Inti dari pembaharuan tersebut adalah untuk mempertajam esensi pengelolaan keuangan daerah dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menyangkut penjabaran terhadap hak dan kewajiban daerah dalam pengelolaan keuangan publik. Hal ini akan mempengaruhi prinsip pengelolaan, mekanisme penyusunan, pelaksanaan dan penatausahaan, pengendalian dan pengawasan, serta pertanggungjawaban Keuangan Daerah (BPK, 2009). Tiga (3) paket Undang-Undang Keuangan Negara telah merefleksikan perubahan yang sangat fundamental terhadap manajemen Keuangan Daerah, yang pada intinya bertujuan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang bersih dan baik (Good Governance & Clean Governance) melalui penerapan kaidah-kaidah yang baik (Best Practice) dalam pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada hasil profesionalitas, proporsionalitas, keterbukaan. Salah satu kebijakan Pemerintah dalam pengelolaan Keuangan Daerah adalah terkait dengan upaya penguatan sistem perekonomian yang secara langsung membawa kesejahteraan yang nyata, seperti mengatasi pengangguran, dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif, menciptakan lapangan kerja yang merupakan salah satu tugas pemerintah daerah dalam skala tertentu. Transformasi paradigma dalam hal ini terletak pada aspek akuntabilitas Pemerintah Daerah dalam rangka mengelalola sumber-sumber ekonomi yang semula bersifat akuntabilitas vertikal (kepada Pemerintah) menjadi akuntabilitas horizontal kepada masyarakat di daerah (Mardiasmo, 2002). Tujuan utama penyelenggaran otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik (publik service) dan memajukan perekonomian daerah. Sesuai dengan deskripsi dan arah penggunaan dana-dana daerah yang disyaratkan oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, bahwa sebagian besar pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Daerah, kecuali sebagian dari Dana Alokasi Umum (DAU) diarahkan untuk
memenuhi hak-hak Pegawai Negeri untuk Gaji beserta Tunjangannya, yang pelaksanaan pengganggarannya telah diatur oleh Peraturan Perundang-undangan dengan standar yang baku. Sementara itu Dana Alokasi Khusus (DAK) diarahkan secara khusus untuk kepentingan yang khusus pula. Kemandirian keuangan daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kinerja keuangan daerah terhadap lima propinsi se-Sumatera Bagian Selatan dengan indikator kemandirian, tidak mempunyai perbedaan yang signifikan pada lima Propinsi se-Sumatera Bagian Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa ke-lima propinsi se-Sumatera Bagian Selatan mempunyai kebijakan keuangan yang hampir serupa antar satu dengan yang lain dengan indikator tersebut (Susantih,2009). Rasio Kemandirian Daerah mencerminkan keadaan otonomi suatu daerah yang diukur dengan besarnya PAD terhadap jumlah total pendapatan daerah. Sehingga memunculkan permasalahan suatu daerah yang dikatakan mandiri dapat meningkatkan jumlah belanja modal untuk pelayanan publik. Hal ini senada dengan penelitian Vegasari (2011) bahwa Rasio Kemandirian Daerah tahun lalu berpengaruh signifikan terhadap belanja modal tahun berikutnya. Untuk Rasio Efektivitas, diukur dengan cara membandingkan jumlah realisasi PAD dan target PAD yang dihitung berdasarkan alokasi PAD tahun bersangkutan, sehingga suatu daerah dapat dikatakan efektif apabila jumlah realisasi pendapatan lebih tinggi daripada target yang ditetapkan. Penelitian yang dilakukan Vegasari (2011) menerangkan bahwa rasio efektivitas pemerintah daerah tahun sebelumnya tidak berpengaruh terhadap belanja modal tahun berjalan. Sehingga memunculkan suatu dilema tentang moral hazard pemerintah daerah tentang penggunaan PAD. Sedangkan untuk Rasio Efisiensi Daerah, diukur dengan cara membandingkan total pengeluaran daerah dengan total pendapatan daerah. Suatu daerah dikatakan efisien jika pengeluaran daerah kecil dan total pendapatannya tinggi. Hal ini senada dengan penelitian Vegasari (2011) bahwa Rasio Efisiensi Keuangan Daerah tahun lalu berpengaruh signifikan terhadap belanja modal tahun berikutnya. Hal ini juga memunculkan pertanyaan, daerah yang dikatakan efisien secara keuangan akan dapat mempengaruhi jumlah belanja modal, padahal efisiensi tidak memerlukan jumlah pengeluaran yang besar atau dalam hal ini disebut belanja.
Moral hazard pemerintah daerah juga dipertanyakan dalam hal ini tentang kelanjutan penggunaan penerimaan daerah khususnya PAD. PAD yang tinggi mencerminkan keuangan daerah yang maju, sehingga pengalokasian untuk belanja modal juga dipertanyakan. Daerah yang maju cenderung mempertahankan struktur belanja menjadi belanja pemeliharaan (Handayani,2011). Tidak serta merta untuk belanja modal saja. Pergeseran pola belanja ini yang menjadi permasalahan krusial di pemerintah daerah mengingat sejauh mana pentingnya diadakan pendanaan untuk belanja modal. SiLPA menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 merupakan Selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Jumlah SiLPA yang ideal perlu ditentukan sebagai salah satu dasar evaluasi terhadap pelaksanaan program/kegiatan pemerintah daerah kota/kabupaten. Pelampauan target SiLPA yang bersumber dari pelampauan target Penerimaan Daerah dan efisiensi sangat diharapkan sedangkan yang bersumber dari ditiadakannya program/kegiatan pembangunan apalagi dalam jumlah yang tidak wajar sangat merugikan masyarakat. Presiden Republik Indonesia dalam pidatonya menegaskan bahwa SiLPA yang dihasilkan dari efisiensi APBD hendaknya digunakan untuk kepentingan masyarakat. Sejauh ini mekanisme penggunaan SiLPA masih pro dan kontra. SiLPA digunakan pula untuk permasalahan krusial yang sebelumnya memang disetujui oleh pihak legislatif. SiLPA yang cenderung besar menunjukkan lemahnya eksekutif di bidang perencanaan dan pengelolaan dana (Lulung, 2011). Sebagian besar SiLPA disumbangkan ke Belanja Langsung berupa Belanja Modal yang secara langsung menyentuh kebutuhan masyarakat. Jumlah Belanja Langsung berupa pembangunan infrastruktur, pengadaan aset, dan sebagainya yang di dalamnya juga terdapat Belanja Tidak Langsung lebih kecil dari jumlah Belanja Tidak Langsung (Panggabean, 2010). Sehingga banyak permasalahan misalnya tentang penggunaan dana SiLPA untuk belanja modal tahun sebelumnya yang belum terealisasi. Moral hazard pemerintah daerah dalam hal ini patut dipertanyakan karena perlu adanya kejelasan penggunaan SiLPA untuk belanja publik ataupun belanja aparatur semata. Motivasi yang melandasi penelitian ini antara lain adanya pergeseran pola belanja dalam pemerintah daerah khususnya belanja modal. Hal ini memicu permasalahan tentang sejauh mana besarnya PAD mempengaruhi pola belanja pemerintah daerah khususnya belanja modal untuk pelayanan publik. Beberapa studi empiris yang telah dilakukan menunjukkan bahwa upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan panerimaan daerah telah menimbulkan distorsi pasar dan
high cost economy (Saad, Ilyas., 2003). Sehingga diasumsikan jika belanja modal untuk pelayanan publik meningkat maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi tahun berikutnya. Selain itu, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah kurang diikuti upaya untuk meningkatkan perlayanan publik (Halim dan Abdullah, 2004). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu data yang akan diteliti adalah laporan realisasi APBD tahun 2006 hingga 2009 dari Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan periode waktu tersebut karena dengan menggunakan data 3 tahun terakhir dari penyusunan penelitian ini, diharapkan dapat memberikan informasi yang relevan untuk kondisi belanja modal saat ini. Pemilihan Kabupaten/Kota di Jawa Tengah karena Jawa Tengah merupakan provinsi yang yang memiliki mobilitas tinggi dalam hal belanja modal dan mempunyai pembagian kerjasama antar daerah yang cukup jelas. Pada penelitian sebelumnya hanya mengukur kinerja instansi keuangan pada daerah yang berbeda dan pada penelitian ini digabungkan ke dalam suatu hubungan terhadap realisasi belanja modal untuk pelayanan publik. Jadi dalam penelitian ini, benarβbenar diulas materi yang relevan dengan didasarkan pada keadaan riil yang ada di Pemerintahan disertai dengan materi yang mendukung. Dalam penelitian ini, variabel control yang digunakan berupa Luas Wilayah. Luas Wilayah digunakan sebagai salah satu variabel control karena dalam realisasinya belanja modal untuk kepentingan publik cenderung berupa pembangunan fisik di suatu kawasan atau daerah tersebut. Luas wilayah menjadi tolak ukur, singkronisasi benar tidaknya jika wilayahnya luas secara geografis akan mempengaruhi jumlah belanja modal di Pemerintah Daerah tersebut. DAK (Dana Alokasi Khusus) merupakan variabel kontrol mengikuti pola arah transfer pemerintah pusat. Dari sektor kinerja instansi, dapat berpeluang untuk mempunyai pengaruh terhadap belanja modal. Dari sektor pendapatan, yang dimungkinkan berpengaruh terhadap jumlah belanja modal adalah SiLPA. Dengan demikian, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah Kemandirian Daerah tahun sebelumnya dapat mempengaruhi Belanja Modal tahun berjalan yang peruntukannya untuk pelayanan publik tahun berjalan? 2. Apakah
Efektivitas
Keuangan
Pemerintah
Daerah
tahun
sebelumnya
dapat
mempengaruhi Belanja Modal tahun berjalan yang peruntukannya untuk Pelayanan Publik? 3. Apakah Efisiensi Keuangan Pemerintah Daerah tahun sebelumnya dapat mempengaruhi Belanja Modal tahun berjalan yang peruntukannya untuk pelayanan publik?
4. Apakah SiLPA Pemerintah Daerah dapat mempengaruhi Belanja Modal tahun berjalan yang peruntukannya untuk pelayanan publik ? 5. Apakah Belanja Modal yang peruntukannya untuk pelayanan publik dapat mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi?
Telaah Teori Hubungan Keagenan dalam Penyusunan Anggaran Daerah Konflik kepentingan antara prinsipal dan agen memunculkan permasalahan keagenan seperti tidak adanya kesinkronan dalam hal utilitas. Sebagai agent, manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik (principal), namun disisi yang lain manajer juga mempunyai kepentingan memaksimalkan kesejahteraan mereka. Sehingga ada kemungkinan besar agent tidak selalu bertindak demi kepentingan terbaik principal Jensen dan Meckling (dikutip oleh Halim dan Abdullah, 2009). Menurut Lane (dikutip oleh Halim dan Abdullah, 2009) teori keagenan dapat diterapkan dalam organisasi publik. Ia menyatakan bahwa negara demokrasi modern didasarkan pada serangkaian hubungan prinsipal-agen. Bergman & Lane (dikutip oleh Halim dan Abdullah, 2009) menyatakan bahwa rerangka hubungan prinsipal agen merupakan suatu pendekatan yang sangat penting untuk menganalisis komitmen-komitmen kebijakan publik. Hubungan Keagenan Antara Eksekutif dan Legislatif Dalam hubungan keagenan di pemerintahan antara eksekutif dan legislatif, eksekutif adalah agen dan legislatif adalah prinsipal (Moe dalam Halim dan Abdullah, 2009). Seperti dikemukakan sebelumnya, di antara prinsipal dan agen senantiasa terjadi masalah keagenan. Oleh karena itu, persoalan yang sering timbul di antara eksekutif dan legislatif juga merupakan persoalan keagenan. Lupia & McCubbins (dikutip oleh Halim dan Abdullah, 2009) menyatakan bahwa masalah yang dihadapi legislatur dapat diartikan sebagai fenomena yang disebut agency problems. Masalah keagenan paling tidak melibatkan dua pihak, yakni prinsipal, yang memiliki otoritas untuk melakukan tindakan-tindakan, dan agen, yang menerima pendelegasian otoritas dari prinsipal. Dalam konteks pembuatan kebijakan oleh legislatif, legislatur adalah prinsipal yang mendelegasikan kewenangan kepada agen seperti pemerintah atau panitia di legislatif untuk membuat kebijakan baru. Hubungan keagenan di sini terjadi setelah agen membuat usulan kebijakan dan berakhir setelah usulan tersebut diterima atau ditolak.
Hubungan Keagenan dalam Pemanfaatan Anggaran Daerah di Indonesia Pada pemerintahan, peraturan perundang-undangan secara implisit merupakan bentuk kontrak antara eksekutif, legislatif, dan publik. Dalam peraturan tersebut dinyatakan semua kewajiban dan hak pihak-pihak yang terlibat dalam pemerintahan. Anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia dokumen anggaran daerah disebut anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), baik untuk provinsi maupun kabupaten dan kota. Proses penyusunan anggaran pasca UU 22/1999 (dan UU 32/2004) melibatkan dua pihak: eksekutif dan legislatif, masing-masing melalui sebuah tim atau panitia anggaran. Eksekutif membuat rancangan APBD sesuai dengan AKU dan prioritas anggaran, yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai peraturan daerah (Perda). Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk kontrak (incomplete contract), yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif. Masalah Keagenan di Eksekutif Eksekutif memiliki keunggulan dalam hal penguasaan informasi dibanding legislatif (asimetri informasi). Keunggulan ini bersumber dari kondisi faktual bahwa eksekutif adalah pelaksana semua fungsi pemerintah daerah dan berhubungan langsung dengan masyarakat dalam waktu sangat lama. Eksekutif memiliki pemahaman yang baik tentang birokrasi dan administrasi serta peraturan perundang-undangan yang mendasari seluruh aspek pemerintahan. Oleh karena itu, anggaran untuk pelaksanaan pelayanan publik diusulkan untuk dialokasikan dengan didasarkan pada asumsi-asumsi sehingga memudahkan eksekutif memberikan pelayanan dengan baik. Eksekutif akan memiliki kecenderungan mengusulkan anggaran belanja yang lebih besar dari yang aktual terjadi saat ini (asas maksimal). Sebaliknya untuk anggaran pendapatan, eksekutif cenderung mengusulkan target yang lebih rendah (asas minimal) agar ketika realisasi dilaksanakan, target tersebut lebih mudah dicapai. Usulan anggaran yang mengandung slack seperti ini merupakan gambaran adanya asimetri informasi antara eksekutif dan legislatif. Slack tersebut terjadi karena agen (eksekutif) menginginkan posisi yang relatif aman dan nyaman dalam melaksanakan tugas dan fungsinya (Halim, 2009). Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
Paul Hersey dan Kenneth Blanchard dalam Halim dan Abdullah (2002) mengemukakan mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah, terutama pelaksanaan undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, yaitu sebagai berikut. 1. Pola hubungan instruktif, 2. Pola hubungan konsultatif, 3. Pola hubungan partisipatif, 4. Pola hubungan delegatif, Bertolak dari teori tersebut, karena adanya potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berbeda, akan terjadi pula perbedaan pola hubungan dan tingkat kemandirian antar daerah. Sebagai pedoman dalam melihat pola hubungan dengan kemampuan daerah ( dari sisi keuangan ) dapat dikemukakan tabel sebagai berikut :
Pola Hubungan dan Tingkat Kemampuan Daerah Kemampuan
Kemandirian
Keuangan
(%)
Pola hubungan
Rendah sekali
0% - 25 %
Instruktif
Rendah
25 % - 50 %
Konsultatif
Sedang
50 % - 75 %
Partisipatif
Tinggi
75 % - 100 %
Delegatif
Sumber : Halim (2002 ,189) Pemerintah pusat pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama yakni fungsi distribusi, fungsi stabilisasi, dan fungsi alokasi. Fungsi distribusi dan fungsi stabilisasi pada umumnya lebih efektif dan tepat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, sedangkan fungsi alokasi oleh Pemerintah Daerah yang lebih mengetahui kebutuhan, kondisi, dan situasi masyarakat setempat. Pembagian ketiga fungsi dimaksud sangat penting sebagai landasan dalam penentuan dasarβdasar perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Warsito , 2008 ; 48). Pelaksanaan Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dengan Daerah bertujuan untuk mengatasi masalah kesenjangan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah (vertical imbalances) serta kesenjangan antar daerah (horisontal imbalances).
Analisis Rasio Keuangan Daerah Pemerintah daerah sebagai pihak yang diberikan tugas menjalankan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat wajib melaporkan pertanggungjawaban keuangan daerah sebagai dasar penilaian kinerja keuangannya. Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemda dalam mengelola keuangan daerahnya adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakannya (Halim, 2007:231). Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil yang dicapai dari satu periode dibandingkan dengan periode sebelumnya sehinggga dapat diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Selain itu dapat pula dilakukan dengan cara membandingkan dengan rasio keuangan pemerintah daerah tertentu dengan rasio keuangan daerah lain yang terdekat ataupun potensi daerahnya relatif sama untuk dilihat bagaimana posisis keuangan pemerintah daerah tersebut terhadap pemerintah daerah lainnya. Adapun pihak-pihak yang berkepentingan dengan rasio keuangan pada APBD ini adalah: 1. DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) 2. Badan eksekutif 3. Badan pengawas keuangan 4. Investor, kreditor dan donatur 5. Analisis ekonomi dan pemerhati pemerintah daerah 6. Rakyat 7. Pemerintah Pusat
Rasio Kemandirian Daerah Rasio kemandirian daerah menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah, yang dapat diformulasikan (Halim, 2002:128) sebagai berikut: πΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎπΎ π·π·π·π·π·π·π·π·π·π·β =
ππππππ ππππππππππ ππππππππππππππππππππ π·π·π·π·π·π·π·π·π·π·β
Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana eksternal. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah, dan dengan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat
partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi masyarakat membayar pajak dan retribusi daerah akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi (Halim, 2008 : 233). Rasio Efektifitas terhadap Pendapatan Asli Daerah Analisis efektifitas menggambarkan kemampuan pemda dalam merealisasikan PAD yang direncanakan dibandingkan dengan target PAD yang ditetapkan. Rumusan rasio efektifitas yaitu:
Rasio Efisiensi
Efektifitas i =
Realisasi PAD i Target Penerimaan PAD i
Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara output dan input atau realisasi pengeluaran dengan realisasi penerimaan daerah. Semakin kecil rasio ini, maka semakin efisien, begitu pula sebaliknya. Dalam hal ini dengan mengasumsikan bahwa pengeluaran yang dibelanjakan sesuai dengan peruntukkannya dan memenuhi dari apa yang direncanakan. Pada sektor pelayanan masyarakat adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan baik dan pengorbanan seminimal mungkin. Suatu kegiatan dikatakan telah dikerjakan secara efisien jika pelaksanaan pekerjaan tersebut telah mencapai hasil (output) dengan biaya (input) yang terendah atau dengan biaya minimal diperoleh hasil yang diinginkan. Rasio efisiensi diukur dengan: π
π
π
π
π
π
π
π
π
π
πΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈπΈ =
Realisasi Pengeluaran Realisasi Penerimaan
Dengan mengetahui hasil perbandingan antara realisasi pengeluaran dan realisasi penerimaan dengan menggunakan ukuran efisiensi tersebut, maka penilaian kinerja keuangan dapat ditentukan (Medi, 1966 dalam Budiarto, 2007). Apabila kinerja keuangan diatas 100% ke atas dapat dikatakan tidak efisien, 90% - 100% adalah kurang efisien, 80% - 90% adalah cukup efisien, 60% - 80% adalah efisien dan dibawah dari 60% adalah sangat efisien. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Anggaran Sebelumnya (SiLPA) Selisih antara Surplus/defisit dengan pembiayaan neto inilah yang disebut sebagai Silpa, dimana Silpa ini menurut Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 merupakan Selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan (UU Nomor 33 Tahun 2004 Pasal 1, ayat 18). Sumber Pendapatan Asli Daerah, diperoleh dari: Pajak Daerah Pajak daerah merupakan salah satu komponen pendapatan asli daerah yang diperoleh dari orang pribadi atau badan. Mardiasmo (2004) menyatakan pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Retribusi Daerah Retribusi daerah, yang selanjutnya disebut retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan Kontribusi tersebut dapat berupa deviden yang dibayarkan kepada daerah atau juga dengan memanfaatkan kekayaan daerah seperti penyewaan tanah dan bangunan daerah yang dapat mendatangkan tambahan bagi penerimaan daerah. Jenis pendapatan yang tergolong dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan ini antara lain, bagian laba, deviden dan Lain-lain PAD yang sah Yang termasuk dalam penerimaan lain-lain PAD yang sah antara lain : hasil penjualan barang milik daerah, penjualan barang-barang bekas, cicilan kendaraan bermotor, cicilan rumah dinas, penerimaan atas kekayaan daerah, sumbangan pihak ketiga, penerimaan jasa giro (kas daerah) dan lain-lain.
Belanja Modal untuk Pelayanan Publik Belanja modal jenis Pelayanan Publik adalah belanja yang digunakan untuk membiayai kegiatan investasi (menambah aset) yang ditujukan untuk peningkatan sarana dan prasarana publik yang hasilnya dapat digunakan langsung oleh masyarakat. Belanja modal jenis ini terdiri atas belanja tanah, belanja modal jalan dan jembatan, belanja modal bangunan air (irigasi), belanja modal instalasi, belanja modal jaringan, belanja modal bangunan gedung untuk kegiatan kemasyarakatan, belanja modal monumen, belanja modal alat-alat angkutan, alat-alat bengkel,
alat-alat alat-alat kedokteran, alat-alat laboratorium, belanja modal buku/perpustakaan, barang bercorak kesenian dan budaya, belanja modal hewan ternak serta tanaman, belanja modal alatalat persenjataan/keamanan Luas Wilayah Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Luas wilayah dalam hal ini apakah besarannya berpengaruh terhadap jumlah realisasi belanja modal pemerintah yang erat kaitannya dengan peningkatan pelayanan publik. Dana Alokasi Khusus Kebijakan DAK secara spesifik (www.depkeu.djpk.go.id) adalah daerah daerah dengan kemampuan
untuk membantu
keuangan di bawah rata-rata nasional, dalam rangka
mendanai kegiatan penyediaan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat yang telah merupakan urusan daerah. Pertumbuhan Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu tujuan penting pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Upaya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah tidak akan memberikan arti apabila tidak diikuti dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah.
Penelitian Terdahulu Vegasari Endah Kusumawati (2011) meneliti bahwa Rasio kemandirian tahun lalu berpengaruh positif terhadap PAD tahun berjalan. rasio efektifitas tahun lalu tidak berpengeruh positif terhadap PAD tahun berjalan dan rasio efisiensi tahun lalu tidak berpengaruh negatif terhadap PAD tahun berjalan. PAD tahun berjalan berpengaruh positif terhadap belanja modal tahun berjalan.
Rasio kemandirian tahun lalu berpengaruh terhadap belanja modal tahun
berjalan. Rasio efisiensi berpengaruh terhadap belanja modal tahun berjalan sedangkan rasio efektifitas tidak berpengaruh terhadap belanja modal tahun berjalan. Priyo Hari Adi (2006) meneliti bahwa Belanja Modal mempunyai dampak yang signifikan dan negatif terhadap Pendapatan Per Kapita dalam hubungan langsung, tetapi juga mempunyai hubungan yang positif dalam hubungan tidak langsung melalui Pendapatan Asli Daerah. Pendapatan Asli Daerah sangat berpengaruh terhadap Pendapatan Per Kapita, tetapi
pertumbuhan yang terjadi masih kurang merata sehingga banyak ketimpangan/jarak ekonomi antar daerah. Ardi Hamzah (2006) menyatakan bahwa pengujian secara langsung antara kinerja keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan rasio kemandirian, dan rasio efisiensi berpengaruh positif secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan rasio efektifitas tidak berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk pengujian pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap pengangguran menunjukkan terdapat pengaruh secara positif, sedangkan pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan terdapat pengaruh secara negatif. Abdul Halim dan Syukriy Abdullah (2004) yang meneliti tentang teori keagenan di dalam penganggaran sektor publik berpendapat bahwa hubungan dan masalah keagenan dalam penganggaran antara eksekutif dan legislatif merupakan bagian tak terpisahkan dalam penelitian keuangan (termasuk akuntansi) publik, politik penganggaran, dan ekonomika publik. Eksekutif merupakan agen bagi legislatif dan publik (dual accountability) dan legislatif agen bagi publik. Konsep perwakilan (representativeness) dalam penganggaran tidak sepenuhnya berjalan ketika kepentingan publik tidak terbela seluruhnya oleh karena adanya perilaku oportunistik (moral hazard) legislatif. Di sisi lain, eksekutif sebagai agen cenderung menjadi budget maximizer karena berperilaku oportunis.
Hipotesis Dengan mengacu pada dasar pemikiran yang bersifat teoritis dan berdasarkan studi empiris yang akan dilakukan berkaitan dengan penelitian ini, maka akan diajukan hipotesis sebagai berikut : 1. Kemandirian Daerah berpengaruh positif terhadap
Belanja modal untuk pelayanan
publik. 2. Efektivitas Keuangan Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja modal untuk pelayanan publik 3. Efisiensi Keuangan Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja Modal untuk pelayanan publik 4. SiLPA berpengaruh positif terhadap Belanja Modal untuk pelayanan publik 5. Belanja Modal untuk pelayanan publik berpengaruh positif terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Metode Penelitian Variabel Penelitian Dalam penelitian ini terdapat Empat (4) variabel independen, yaitu variabel Kemandirian Daerah (KD), Efektivitas Keuangan Daerah (EFEKD), Efisiensi Keuangan Daerah (EFIKD), dan SiLPA. Variabel dependen adalah Belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi (PE). Dalam penelitian ini juga terdapat Dua (2) variabel kontrol yaitu Luas Wilayah (LW) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Metode Analisis Alat analisis yang digunakan adalah analisis regresi berganda linier yang digunakan untuk melihat pengaruh pendapatan yaitu Kemandirian Daerah terhadap pengeluaran pemerintah yang berupa belanja modal. Data diolah dengan bantuan software SPSS seri 17.00. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan model analisis regresi variabel independen terhadap variabel dependen (sekaran, 1992). Ada dua persamaan regresi, persamaan regresi adalah: Y1= Ξ±+ b1 X1+ b2 X2+ b3 X3+ b4 X4+ b5 X5+ b6 X6 + e1 dan Z1= Ξ±+ b1Y1+ e2 dimana : Y1 = Belanja Modal Z1 = Pertumbuhan Ekonomi X1 = Kemandirian Daerah X2 = Efektivitas Keuangan Daerah X3 = Efisiensi Keuangan Daerah X4 = SiLPA X5 = Luas Wilayah X6 = Dana Alokasi Khusus Y1 = Belanja Modal jenis Pelayanan Publik Z1 = Pertumbuhan Ekonomi b1 b2 = koefisien regresi untuk masing-masing variabel X
Hasil Penelitian Dan Pembahasan Hasil Uji Normalitas Berdasarkan kedua histogram di bawah, dapat dilihat bahwa kenaikan/penurunan data observasi mendekati garis melengkung yang menggambarkan distribusi normal. Maka kesimpulannya adalah data terdistribusi dengan normal. Grafik Histogram Model 1
Grafik Histogram Model 2
Sumber : data yang telah diolah (SPSS 17.0
Berdasarkan hasil uji normalitas dengan menggunakan normal probably plot dapat dilihat bahwa data (titik) menyebar secara teratur di sekitar garis diagonal. Hal ini menunjukkan bahwa data yang digunakan terdistribusi secara normal sehingga model regresi memenuhi asumsi klasik. Hasil ini sesuai dengan hasil yang diperoleh dengan melihat histogram Grafik Normal P-P Plot Regression Standardized Residual Model 1
Model 2
Sumber : data yang telah diolah (SPSS 17.0)
Hasil Uji Multikolonieritas Berdasarkan hasil uji multikolonieritas di bawah, dapat dilihat bahwa Rasio Kemandirian Daerah, Rasio Efektivitas, Rasio Efisiensi, SilPA, Luas Wilayah, dan DAK menunjukkan nilai tolerance > 0,10 dan nilai VIF < 10. Sedangkan pada Model 2, dapat dilihat bahwa Belanja Modal
menunjukkan nilai tolerance > 0,10 dan nilai VIF < 10. Oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa variabel independen yang digunakan dalam model regresi penelitian ini adalah terbebas dari multikolonieritas atau dengan kata lain dapat dipercaya dan objektif. Hasil Uji Multikolonieritas Model 1 Variabel
Tolerance
VIF
Keputusan
KD
0,836
1,196
Bebas multikolonieritas
EFEKD
0,915
1,093
Bebas multikolonieritas
EFIKD
0,940
1,064
Bebas multikolonieritas
SiLPA
0,921
1,086
Bebas multikolonieritas
DAK
0,880
1,136
Bebas multikolonieritas
LW
0,944
1,059
Bebas multikolonieritas
Sumber : data yang telah diolah (SPSS 17.0) Hasil Uji Multikolonieritas Model 2 Variabel
Tolerance
Rasio_BM
VIF
1
Keputusan 1
Bebas multikolonieritas
Sumber : data yang telah diolah (SPSS 17.0)
Hasil Pengujian Hipotesis Model 1 Analisis Regresi, uji statistik F, uji statistik t Berdasarkan hasil uji statistik F di bawah, output regresi model 1 menunjukkan nilai signifikansi 0.00 atau dibawah tingkat signifikansi 0,10, sehingga dapat disimpulkan bahwa selama periode yang digunakan, variabel KD, EFEKD, EFIKD, SiLPA secara bersama-sama dapat menjelaskan pengaruh terhadap variabel belanja modal. Berdasarkan hasil pengujian koefisien determinasi dalam tabel, dapat dilihat bahwa besarnya Adjusted R2 adalah 0,180. Hal ini berarti 18% variasi belanja modal dapat dijelaskan oleh 6 variabel independen yaitu Kemandirian Daerah, Efektivitas Keuangan Daerah, Efisiensi Daerah, SiLPA, Luas Wilayah, dan Dana Alokasi Khusus. Sedangkan sisanya (100% - 18% = 82%) dijelaskan oleh sebab-sebab lain di luar model.
Ringkasan Hasil Uji Hipotesis ( Model 1)
Variabel
Model
Y1= Ξ±+ b1 X1+ b2 X2+ b3 X3+ b4 X4+ b5 X5+ b6 X6 + e1
F test
4,792
F sig
0,00
Adj RΒ²
0,180
Γ
t
sig
Keputusan
KD
0,222
0,809
0,421
H1 ditolak
EFEKD
0,07
0,649
0,037
H2 diterima
EFIKD
-0,529
-3,469
0,001
H3 ditolak
SiLPA
0,124
2,448
0,016
H4 diterima
DAK
-0,049
-0,312
0,756
LW
-0,5
-2,515
0,014
Sumber : ringkasan Excel 2007 - data yang telah diolah (SPSS 17.0)
Hubungan antara Variabel Indepeden dan Variabel Dependen pada Model 1 Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan mengenai uji hipotesis dari masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen sebagai berikut: H1 : Rasio Kemandirian Daerah tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap Belanja modal untuk pelayanan publik. H2 : Rasio Efektivitas Keuangan Daerah tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap Belanja modal untuk pelayanan publik. H3 : Rasio Efisiensi Keuangan Daerah tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap belanja modal untuk pelayanan publik. H4 : SiLPA berpengaruh positif terhadap Belanja modal untuk pelayanan publik. Variabel Kemandirian Daerah memiliki t hitung sebesar 0,809 dan nilai sig sebesar 0,421. Nilai sign 0,421 > Ξ± (0,05), hal ini berarti variabel Kemandirian Daerah tidak signifikan pada level 5% sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel Rasio Kemandirian Daerah tahun sebelumnya berpengaruh tidak signifikan terhadap jumlah realisasi Belanja Modal untuk
pelayanan publik. Dengan demikian, H1 β Rasio Kemandirian Daerah tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap Belanja modal untuk pelayanan publikβ ditolak. Alasan Kemandirian Daerah tidak berpengaruh positif terhadap rasio belanja modal dikarenakan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten masih bergantung terhadap bantuan dari pemerintah pusat dan pinjaman.Rasio kemandirian yang relatif kecil bila dilihat dari hasil statistik tidak mampu mengubah komposisi belanja dalam APBD kota dan kabupaten di Jawa Tengah, sehingga timbul suatu pergeseran paradigma komposisi belanja dari belanja modal ke belanja pemeliharaan (Abdullah,2009). Perlu dilakukan kajian lebih lanjut dengan menggali apakah pengalokasian dalam belanja modal dan realisasi belanja modal tersebut tidak terkait dengan perilaku oportunistik pihak-pihak yang terlibat dalam penganggaran seperti pembiayaan untuk pemilukada. Studi Bland & Nunn (1992) dalam Swamandiri Press (2008) memberikan bukti empiris yang cukup lengkap tentang hubungan antara belanja modal dengan belanja operasional dan pemeliharaan. Meskipun para manajer di sektor publik, termasuk pemerintahan, menyadari bahwa realisasi belanja modal memiliki konsekuensi akan adanya belanja pemeliharaan, namun dalam pembuatan keputusan pengalokasian dan belanja modal merupakan hal yang terpisah. Variabel Efektivitas Keuangan Daerah memiliki t hitung sebesar 0,649 dan nilai sig sebesar 0,037. Nilai sign 0,037 < Ξ± (0,05), hal ini berarti variabel Efektivitas Keuangan Daerah signifikan pada level 5% sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel EFEKD berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah realisasi Belanja Modal untuk pelayanan publik. Dengan demikian, H2 β Rasio Efektivitas Keuangan Daerah tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap Belanja modal untuk pelayanan publikβ diterima. Dapat disimpulkan bahwa jumlah realisasi PAD lebih besar daripada target/alokasi yang dibuat. Pernyataan tersebut mengindikasikan bila suatu keuangan daerah dikatakan efektif maka timbul asumsi daerah tersebut merealisasi jumlah anggaran belanja modal cukup tinggi khususnya untuk kepentingan publik. Variabel Efisiensi Keuangan Daerah memiliki t hitung sebesar -3,469 dan nilai sig sebesar 0,001. Nilai sign 0,001< Ξ± (0,05), hal ini berarti variabel Efisiensi Keuangan Daerah signifikan pada level 5% sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel EFIKD berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah realisasi Belanja Modal untuk pelayanan publik. Dengan demikian, H3 βRasio Efisiensi Keuangan Daerah berpengaruh positif terhadap Belanja modal untuk pelayanan
publikβ ditolak, tetapi dapat menerima Ha, dikarenakan asumsi semakin tingginya nilai rasio Efisiensi maka semakin tidak efisien suatu keuangan daerah. Meskipun arah koefisien negatif, hubungan di antara dua variabel tersebut signifikan. Berdasarkan hasil statistik, semakin tinggi rasio efisiensi, pengeluaran daerah dalam hal ini belanja modal semakin menurun. Penggunaan keuangan daerah yang tidak efisien dengan angka rasio yang tinggi dapat disebabkan karena jumlah realisasi pengeluaran lebih besar daripada jumlah penerimaan itu sendiri, sehingga terjadi pemborosan untuk belanja daerah tetapi tidak digunakan secara maksimal untuk belanja modal, seperti yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Agus D. W. Martowardojo (2010) dalam harian online Today (28 April 2011) bahwa sepanjang 2010 sekitar 60 persen anggaran daerah lebih banyak yang dihabiskan untuk belanja pegawai ketimbang untuk belanja modal. Pemerintah menilai penambahan dana transfer ke daerah masih kurang dimaksimalkan penggunaanya oleh daerah. Hal tersebut dikarenakan lebih besarnya belanja pegawai di daerah dibandingkan belanja modal guna pengembangan dan pembangunan di daerah. Variabel SiLPA memiliki t hitung sebesar 2,448 dan nilai sig sebesar 0,016. Nilai sign 0,016< Ξ± (0,05), hal ini berarti variabel SiLPA signifikan pada level 5% sehingga penelitian ini tidak dapat menolak H0. Dapat disimpulkan bahwa variabel SiLPA berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah realisasi Belanja Modal untuk pelayanan publik. Dengan demikian, H4 βSiLPA berpengaruh positif terhadap Belanja modal untuk pelayanan publikβ diterima. Dalam hal ini, kenaikan SiLPA keuangan daerah berpengaruh terhadap kenaikan rasio belanja modal dikarenakan jumlah efisiensi SiLPA yang semakin besar tidak mencerminkan pelaksanaan keuangan daerah sesuai dengan porsinya masing- masing. Variabel Luas Wilayah memiliki t hitung sebesar -2,515 dan nilai sig sebesar 0,014. Nilai sign 0,014 < Ξ± (0,05), hal ini berarti variabel Luas wilayah signifikan pada level 5% sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel Luas wilayah tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah realisasi Belanja Modal untuk pelayanan publik. Variabel Dana Alokasi Khusus memiliki t hitung sebesar -0,312 dan nilai sig sebesar 0,756. Nilai sign 0,756 < Ξ± (0,05), hal ini berarti variabel DAK tidak signifikan pada level 5% sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel Luas wilayah berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah realisasi Belanja Modal untuk pelayanan publik.
Hasil Pengujian Hipotesis Model 2 Analisis Regresi, uji statistik F, uji statistik t TABEL 4.6 Ringkasan Hasil Uji Hipotesis ( Model 2)
Variabel Rasio_BM
Model
Y2= Ξ±+ b1Y1+ e2
F test
0.627
F sig
0,430
Adj RΒ²
-0.04
Γ
t -0,003
sig -0,792
0,430
Keputusan H5 ditolak
Sumber : ringkasan Excel 2007 - data yang telah diolah (SPSS 17.0)
Berdasarkan hasil uji statistik F di atas output regresi model 2 menunjukkan nilai signifikansi 0,430 atau di atas tingkat signifikansi 0,1, sehingga dapat disimpulkan bahwa selama periode yang digunakan, variabel Belanja Modal bersama-sama tidak dapat menjelaskan pengaruh terhadap variabel Pertumbuhan Ekonomi. Berdasarkan hasil pengujian koefisien determinasi dalam tabel 4.5, dapat dilihat bahwa besarnya Adjusted R2 adalah -0,04. Hal ini berarti -4% variasi pertumbuhan ekonomi dapat dijelaskan oleh Rasio belanja modal. Sedangkan sisanya (100% - 4% = 96%) dijelaskan oleh sebab-sebab lain di luar model. Hubungan antara Variabel Indepeden dan Variabel Dependen pada Model 2 Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan mengenai uji hipotesis dari masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen sebagai berikut: H5
: Belanja modal untuk pelayanan publik berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.
Variabel Rasio Belanja Modal memiliki t hitung sebesar -0.792 dan nilai sig sebesar 0,430. Nilai sign 0,430> Ξ± (0,05), hal ini berarti variabel Rasio Belanja Modal tidak signifikan pada level 5% sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel Rasio Belanja Modal tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah realisasi Pertumbuhan Ekonomi. Dengan demikian, H5 βBelanja Modal Untuk Pelayanan Publik wilayah berpengaruh positif terhadap Pertumbuhan Ekonomiβ
ditolak tetapi dapat menerima Ha dikarenakan asumsi semakin tingginya angka rasio indeks gini sebagai proksi Pertumbuhan Ekonomi maka semakin tidak meratanya distribusi pendapatan. Berdasarkan hasil pengujian variabel belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi dapat diketahui bahwa variabel belanja modal secara proporsi tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Tetapi jika diukur berdasarkan arah koefisien negatif bila semakin besar angka dalam rasio/indeks Gini, semakin tidak merata pula distribusi pendapatan yang menjadi tolak ukur pertumbuhan ekonomi. Hal ini mencerminkan bahwa setiap kenaikan jumlah belanja modal, berpengaruh terhadap indeks gini yang merupakan proksi distribusi pendapatan. Hasil ini bertentangan dengan penelitian Priyo Hari (2006) yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang selama ini terjadi sangat ditentukan oleh faktor belanja pembangunan daerah khususnya belanja modal. Alasan belanja modal untuk pelayanan publik tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi adalah adanya adanya krisis moneter yang melanda seluruh negara di dunia pada tahun 2008 (BPS, 2011). Hal ini didukung dengan temuan data BPS Jawa Tengah bahwa realisasi belanja daerah untuk tahun anggaran 2009 sebesar 5.200,1 milyar rupiah naik sebesar 26,69 persen dibanding realisasi belanja daerah tahun anggaran 2008. Disisi lain, pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah tahun 2009 yang ditunjukkan oleh laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga konstan 2009, lebih lambat dari tahun sebelumnya, yaitu 4,71 persen (2008 = 5,46 persen).
Simpulan Berdasarkan pengujian statistik dengan menggunakan regresi linier berganda, maka kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Rasio Kemandirian daerah berpengaruh positif tidak signifikan terhadap rasio belanja modal untuk pelayanan publik. Sehingga apabila rasio kemandirian daerah meningkat, maka hal ini tidak berpengaruh terhadap jumlah belanja modal untuk pelayanan publik.
2.
Rasio Efektivitas keuangan daerah berpengaruh positif signifikan terhadap alokasi belanja modal untuk pelayanan publik. Sehingga apabila efektivitas keuangan daerah cenderung lebih efektif, hal ini berpengaruh terhadap jumlah belanja modal untuk pelayanan publik.
3.
Rasio Efisiensi keuangan daerah berpengaruh negatif namun signifikan terhadap alokasi belanja modal untuk pelayanan publik. Sehingga apabila terjadi kenaikan pada Rasio efisiensi keuangan daerah, maka tidak berpengaruh terhadap jumlah realisasi belanja modal untuk pelayanan publik.
4.
Sisa Lebih Anggaran Tahun Sebelumnya ( SiLPA) berpengaruh positif dan signifikan terhadap realisasi belanja modal untuk pelayanan publik. Sehingga apabila terjadi kenaikan pada SiLPA, maka akan meningkatkan jumlah belanja modal untuk pelayanan publik.
Keterbatasan Penelitian ini mempunyai beberapa keterbatasan, diantaranya adalah: 1.
Periode penelitian hanya 3 tahun (untuk masing-masing variabel) yaitu dari tahun 20062008 dan untuk belanja modal dan pertumbuhan ekonomi tahun 2007-2009 sehingga hasil yang didapatkan belum dapat terintepretasikan secara maksimal.
2.
Variabel independen yang digunakan hanya terbatas pada komponen yang tercantum dalam laporan realisasi anggaran, tanpa menambahkan variabel lain di luar laporan realisasi anggaran.
3.
Tidak adanya penelitian yang serupa sehingga perbandingannya hanya melibatkan issueissue yang ada di masyarakat.
Saran 1.
Untuk Pemerintah Daerah sebaiknya lebih memperhatikan bagaimana meningkatkan kinerja instansi sehingga diharapkan akan menaikkan pajak daerah, retribusi daerah, dan SiLPA agar pengalokasian anggaran ke belanja modal untuk pelayanan publik juga dapat meningkat.
2.
Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya menggunakan rentang waktu penelitian yang lebih panjang agar memperoleh hasil yang lebih relevan.
3.
Penambahan variabel baru sebagai variabel independen maupun variabel dependen sangat penting untuk melengkapi hasil penelitian terdahulu.
4.
Penulis merekomendasikan Analisis Sensitivitas untuk penelitian serupa.
DAFTAR PUSTAKA
Abimanyu, Anggito. 2005. Format Anggaran Terpadu Menghilangkan Tumpang Tindih. Bapekki Depkeu. Adi, Priyo Hari, dan Harianto. 2007. Hubungan antara Dana Alokasi Umum, Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Per Kapita. Jurnal Kritis: Univeritas Kristen Satya Wacana Salatiga. Bastian, Indra, 2006. Sistem Akuntansi Sektor Publik, Edisi 2, Salemba Empat, Jakarta. Boediono. 1998. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Penerbit Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Endah Kusumawati, Vegasari. 2011. Faktor-Faktor yang Menentukan Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal di Indonesia Survei pada Pemerintahan Daerah di Indonesia Bagian Barat dan Tengah. Ghozali, Imam, Arifin Sabeni. 1997. Pokok-pokok Akuntansi Pemerintahan. Edisi 4. Penerbit BPFE: Yogyakarta. ____________. 2006. Aplikasi Analisis Multivariat Dengan Program SPSS. Edisi 4. Badan Penerbitan Universitas Diponegoro: Semarang. Gujarati, Damodar, N. 2003. Basic Econometrics, International Edition. Published by Prentice- Hall International, Inc. Halim, Abdul, 2004. Akuntansi Keuangan Daerah, Edisi Revisi, Salemba Empat, Jakarta ____________. 2002. Bunga Rampai: Manajemen Keuangan Daerah. Edisi Pertama. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Halim, Abdul dan Syukriy Abdullah. 2003. Pengaruh Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap Belanja Pemerintah Daerah: Studi Kasus Kabupaten/Kota di Jawa dan Bali. Simposium Nasional Akuntansi VI, 1140-1159 Hariadi, Priyo, Harianto, David, 2007. Hubungan Belanja Modal, DAU, PAD,dan Pendapatan Perkapita pada Kabupatan se-Jawa Bali.
Haryanto, Joko Tri. 2005. Analisa Data Alokasi Umum (DAU) Kaitannya Dengan Penciptaan Kemandirian Daerah di Era Otonomi: Studi Kasus 30 Propinsi di Indonesia. Simposium Riset Ekonomi II. Surabaya. _______________ .(2005). Kemandirian Daerah ,sebuah perspektif dengan metode path analysis. Kawedar, Warsito, Abdul Rohman, dan Sri Handayani. 2007. Akuntansi Sektor Publik: Pendekatan Penganggaran Daerah dan Akuntansi Keuangan Daerah. Penerbit UNDIP: Semarang. Lembaran Negara Republik Indonesia. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. ___________.Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. ____________ . Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. ___________Keputusan Menteri Dalam Negeri No.29/2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksana Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD. ____________ .Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. _____________.Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Lin, Justin Yifu dan Zhiqiang Liu. 2000. Fiscal Decentralization and Economic Growth in China, Economic Development and Cultural Change Chicago. Vol 49. Hal : 1-21 Maimunah, Mutiara. 2006. Flypaper Effect pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Belanja Daerah pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera. Simposium Nasional Akuntansi IX. Padang. Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen keuangan daerah. Penerbit Andi: Yogyakarta. __________. 2002. Akuntansi Sektor Publik. Penerbit Andi: Yogyakarta. Kuncoro,Mudrajat . 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah, Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang. Jakarta: Penerbit Airlangga.
Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah dalam Otonomi. Penerbit Ghalia Indonesia. Sekaran, Uma, Research Method for Business : A skill Building Approach, 7th Edition, New York: John Wiley and Sons, 2002. Sidik,Mahfud. 2004. Bunga Rampai Desentralisasi Fiskal. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.Jakarta Simanjuntak,Gunawan ;Erlina .2008. Pengaruh Transfer Pemerintah Pusat Terhadap Belanja Modal Pemerintah Kabupaten/Kota Di Sumatera Utara Singgih, Santoso. 2000. Buku Latihan SPSS Statistik Parametrik. Jakarta: Elex Media Komputindo Sugiyono.2005.Metode Penelitian Bisnis (cetakan ke-8).Bandung:Alfabeta. Oates, Wallace E. 1995. Comment on βConflict and Dillemas of Decentralizationβ by Rudolf Holmes. The World Bank Research Observer, Hal : 351 - 355. Prakosa, Bambang Kesit. 2004. Analisis Pengaruh DAU dan PAD terhadap Prediksi Belanja Daerah. Jurnal Akuntansi. Universitas Islam Indonesia. Riwu Kaho,Josep. 2007. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia.PT Raja Grafindo Persada.Jakarta. Von Hagen, Jurgen. 2002. Fiscal rules, fiscal institutions, and fiscal performance. The Economic and Social review 33(3): 263-284. Wong, John D. 2004. The Fiscal Impact of Economic Growth and Development on Local Government Capacity. Journal of Public Bugeting., Accounting and Financial Management. Fall. 16.3. 799-816 Yustikasari, Yulia, dan Darwanto. 2007. Pengaruh Perumbuhan Ekonomi, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Jurnal Kritis: Univeritas Gadjah Mada Yogyakarta. http://www.bppk.depkeu.go.id/index.php/2008050879/jurnalakuntansipemerintah Realisasi
APBD
Tahun
www.djpk.depkeu.go.id
2007-2009
Total
Se-provinsi
Jawa
Tengah
dalam: