APLIKASI PENDEKATAN TEMATIS UNTUK PEMBINAAN KOMPETENSI KOMUNIKATIF BAHASA INDONESIA PADA SISWA SLTP Andayani* Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP Universitas Sebelas Maret
Abstract: This research aims to describe the increasing of the students' Indonesian communicative competence and the collaboration between the lecturer and teacher in establishing the students' Indonesian communicative competence. This research was conducted using qualitative-method. The sources of data were collected from informants and were determined through criterion-based-selection. The data were taken through deep interview and direct observation. Then they were analyzed by interactive-method and served in description-based on domain analysis. This research concludes that the teachers who have positive perception can increase the students' Indonesian communicative competence. The effective interactions in the Indonesian teaching in this research is multi directions and students' Indonesian communicative competence was shown by grammatical competence, sociolinguistic competence, and discourse competence. Kata kunci: aplikasi, pendekatan tematik, kemampuan komunikatif
PENDAHULUAN Studi yang mengkaji kompetensi komunikatif bahasa Indonesia murid Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) ini, memfokuskan pada aplikasi pendekatan tematis yang diterapkan di dalam pembelajaran, dengan maksud memberi terapi bagi pembinaan kompetensi komunikatif bahasa Indonesia murid. Pembelajaran bahasa Indonesia di SLTP memberi kesempatan kepada anak untuk mengembangkan sejumlah kemampuan yang dapat dimanfaatkan untuk bernalar, berkomunikasi, dan mengungkapkan pikiran dan perasaan, serta membina persatuan dan kesatuan bangsa. Hal ini dijabarkan dalam bahan pengajaran yang meliputi pembinaan keterampilan dasar berbahasa Indonesia lisan dan tulis (Depdikbud, 1995).
Berangkat dari acuan yang bersifat kurikuler ini, sebenarnya para guru yang terjun langsung menangani pendidikan di SLTP telah mengetahui bahwa sebenarnya pengajaran bahasa Indonesia di SLTP tidak hanya menyampaikan bahan ajar yang mengembangkan segi kognitif saja. Meskipun demikian, keadaan nyata yang ditemui sehari-hari, sering dijumpai sesuatu yang memprihatinkan, yaitu pembelajaran bahasa Indonesia di SLTP yang akhir-akhir ini cenderung mengarahkan murid pada kemampuan kognitif. Lebih lanjut, apakah kompetensi komunikatif yang merupakan salah satu wujud perkembangan kreativitas anak itu dapat dipengaruhi oleh faktor eksternal yang berupa aplikasi pendekatan pembelajaran yang dipilih guru, dan faktor lain yang ter-
*Alamat korespondensi: Jalan Barito II No. 160 Tegal Gede RT 03/I Karanganyar, HP 08164270281
91
golong internal? Atas dasar uraian di atas, maka permasalahan tentang kompetensi komunikatif bahasa Indonesia murid SLTP ini perlu dikaji. Pengkajian tentang kompetensi komunikatif bahasa Indonesia ini dapat dilakukan dengan cara melaksanakan aplikasi pendekatan tematis di dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Dari aplikasi ini dapat diketahui bagaimanakah pengaruh penerapan pendekatan tematis ini pada kompetensi komunikatif murid. Kompetensi komunikatif yang ada pada murid dapat tumbuh dengan sendirinya, atau dapat pula tumbuh dengan usaha pembinaan. Namun demikian, kegagalan usaha pembinaan ini dapat menimbulkan terhentinya perkembangan kompetensi komunikatif murid tersebut. Jika demikian keadaannya, usaha pembinaan dapat dilakukan melalui sesuatu yang strategis berupa penerapan pendekatan pembelajaran, yaitu pendekatan tematis. Pendekatan tematis yang diterapkan oleh guru di dalam penelitian ini merupakan acuan yang bersifat aksiomatis, digunakan untuk mendasari pemilihan langkah-langkah pembelajaran yang dapat membina kompetensi komunikatif pada murid (Kaswanti Purwo, 1998). Pendekatan tematis yang diterapkan dalam membina kompetensi komunikatif merupakan pendekatan pembelajaran yang disajikan dalam strategi yang berpola integrated. Strategi instruksional yang berpola integrated ditandai dengan: pengajaran berpusat pada murid memberikan pengalaman langsung kepada murid, tidak ada pemisahan dengan bidang studi lain, menyajikan konsep dari berbagai bidang studi di dalam sebuah unit proses pembelajaran, dan hasil belajar dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan murid. Hal ini berlawanan dengan strategi yang berpola fragmented. Adapun strategi instruksional yang berpola fragmented ditandai dengan: pengajaran berpusat pada guru sebagai model, tidak memberikan pengalaman langsung kepada murid, mengadakan pemisahan suatu bidang studi dengan bidang-bidang studi lain, dan hasil belajar murid merupakan hasil yang seragam (Fogarty, 1991).
Dalam hal ini, pendekatan tematis adalah sebuah model pengintegrasian dari berbagai keterampilan berbahasa (menyimak, membaca, wicara, dan menulis) yang selama ini disajikan guru secara terpisah-pisah. Lebih lanjut, kajian tentang pembelajaran bagi murid SLTP telah dilakukan oleh banyak kalangan ahli bidang pendidikan. Berkenaan dengan hal ini, Reynold (1992) menghasilkan penelitian yang menyatakan adanya problema dalam hal keefektifan mengajar yang tidak diterapkan oleh guru di dalam pembelajarannya di sekolah lanjutan dan ditemukan juga adanya hubungan antara hasil belajar murid dengan gaya mengajar guru. Dalam penelitian lain, Druva (1993) menemukan adanya karakteristik pembelajaran yang diterapkan guru berinteraksi dengan karakter hasil belajar murid. Berbagai studi di atas menunjukkan bahwa hasil belajar murid pada hakikatnya dapat memperoleh pengaruh dari segala sesuatu yang dilakukan guru. Dengan demikian, kompetensi komunikatif murid dapat pula digali, dikembangkan, bahkan dimodifikasi oleh suatu pembelajaran yang strategis dan terpola. Kompetensi komunikatif yang ada pada murid sebenarnya berupa pola berpikir atau ide yang timbul secara spontan dan imajinatif, yang mencirikan hasil-hasil yang artistik, idealis, atau temuan-temuan lain (Nolan & Kagan, 1980). Dari pendapat ini dapat dikatakan bahwa kompetensi komunikatif anak dapat diartikan sebagai ide yang timbul secara spontan dan imajinatif dengan hasil yang berupa produksi bahasa. Meskipun kompetensi komunikatif ini memiliki sifat spontan, namun bukan berarti tidak dapat dibina. Berkenaan dengan kompetensi komunikatif, diketahui bahwa dalam hal ini terdapat tiga aspek sebagai ciri penanda, yaitu: kompetensi gramatikal, kompetensi sosiolinguistik, dan kompetensi wacana (Tarigan, 1992). Kompetensi gramatikal secara langsung memfokuskan diri pada pengetahuan dan keterampilan seseorang yang dibutuh-
92
PAEDAGOGIA, Jilid 11, Nomor 2, Agustus 2008, halaman 91 - 100
kan untuk memahami dan mengekspresikan secara tepat makna dari bahasa. Dengan demikian, kompetensi gramatikal merupakan hal yang penting bagi setiap pelaksana program pembelajaran bahasa (Canale, 1984). Adapun ciri penanda kompetensi gramatikal berupa penguasaan terhadap kosakata, pembentukan kata dalam proses morfologis, dan pembentukan kalimat. Kompetensi sosiolinguistik adalah keluasan pemahaman ucapan-ucapan yang dihasilkan seseorang yang dipahami secara tepat dalam berbagai konteks. Ketepatan ucapan ini mengacu kepada ketepatan makna dan bentuk. Ketepatan tersebut berkaitan dengan wadah fungsi-fungsi komunikatif tertentu, misalnya perintah, tuntutan, undangan, dan juga sikap-sikap tertentu, seperti keramahan dan kewajaran dalam menempatkan gagasan tertentu. Hal ini dapat dilakukan seseorang secara kreatif dan spontan. Kompetensi wacana berkenaan dengan penguasaan seseorang dalam menggabungkan bentuk-bentuk dan makna untuk mencapai pemahaman dan produksi bahasa dalam bentuk teks, dalam berbagai genre, yang di dalamnya mencakup: narasi, esei argumentatif, laporan ilmiah, dan suratmenyurat (Little, 1993). Dalam hal ini, kemahiran wacana akan observabel dalam bentuk kesatuan atau kepaduan suatu teks yang dicapai melalui kohesi dalam bentuk koherensi dalam makna. Ciri penanda kompetensi wacana yang dimiliki seseorang adalah adanya hal-hal berikut ini: ulangan makna untuk menandai kesinambungan, gerak maju makna untuk menyatakan arah ide, nonkontradiksi untuk menandai kekonsistenan dan relevansi makna untuk menandai kesesuaian (Laughlin & Moulton, 1990). Ketiadaan kompetensi komunikatif dalam bahasa Indonesia seperti yang diuraikan di atas pada akhirnya akan menyebabkan seseorang menemui kesulitan melakukan komunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Dengan kata lain, jika keadaan itu terjadi pada murid sekolah maka sudah saatnya dipikirkan pembenahan meAndayani, Aplikasi Pendekatan Tematis untuk ...
lalui salah satu cara yang berupa penerapan pendekatan yang tepat dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Karena pentingnya kompetensi komunikatif bagi perkembangan murid sekolah di masa dewasa, maka eksplorasi terhadap kompetensi komunikatif ini dapat dimunculkan di dalam bentuk pembelajaran formal, yang dirancang secara formal pula. Dalam hal ini, pendekatan pembelajaran memiliki keterlibatan secara langsung Berkenaan dengan keterlibatan pendekatan pembelajaran ini, Wise & Okey (1993) menghasilkan temuan tentang pengaruh berbagai pendekatan terhadap hasil belajar murid. Penerapan pendekatan pembelajaran yang diterapkan di sekolah diwarnai oleh dua jenis, yaitu strategi instruksional yang mendasarkan pada eksplorasi kemampuan kognitif dengan teknik merancang bangun penyajian sejumlah bahan ajar yang satu sama lain saling terpisah (dalam bentuk pokok bahasan), yang dikenal dengan fragmentedteaching, ada pula pendekatan yang dipolakan dengan rancangan yang memadukan sejumlah bidang kompetensi ke dalam sebuah unit pembelajaran, ini dikenal dengan integrated-teaching (Hughes, 1991). Selanjutnya diungkapkan oleh Dewey bahwa pembelajaran yang bermakna memerlukan suatu integrasi atau pemaduan (Dewey, dalam Lipson, 1993). Pemaduan ini akan menghindarkan pencapaian hasil belajar yang terpecah-pecah. Selain itu, pemaduan pembelajaran juga dapat menghindari penguasaan murid terhadap materi pembelajaran yang tidak sesungguhnya, sehingga maksud dari penerapan integrasi pembelajaran adalah membuat murid memperoleh informasi baru yang dapat diterapkan dalam kehidupannya sehari-hari (Lipson, 1993). Pengintegrasian sejumlah keterampilan berbahasa ini selanjutnya diwujudkan dengan memanfaatkan tema-tema pembelajaran sebagai payung. Pola lain dari pendekatan yang sering dijumpai pada pembelajaran bagi anakanak selain integrated adalah fragmented. Hal demikian didasarkan pada anggapan hahwa siklus belajar pada anak yang meli93
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 10 Surakarta. Ditentukan tempat ini, karena keterlibatannya dalam program penelitianpenelitian yang pernah dilakukan oleh Program Pendidikan Bahasa Indonesia pada periode-periode sebelumnya. Sedangkan setting-nya ditetapkan di dua unit siswa kelas II, yaitu IID dan IIE. Waktu penelitian dilaksanakan pada Catur Wulan I yaitu: pada Minggu kedua Bulan Juli 2000 hingga Minggu keempatAgustus 2000. Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang menekankan pada proses dan makna, maka pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif des-
kriptif. Pendekatan ini akan menangkap berbagai informasi kualitatif dengan deskripsi yang disertai nuansa berharga daripada sekedar pernyataan jumlah ataupun frekuensi dalam bentuk angka. Hal tersebut mengarah kepada keadaan individu secara holistik atau secara utuh. Dengan demikian, pemilihan pendekatan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik subjek penelitian, dalam hal ini adalah kompetensi komunikatif murid SLTP Negeri 10 Surakarta, sehubungan dengan aplikasi pendekatan tematis. Persoalan tersebut merupakan karakteristik yang penting dalam menetapkan pendekatan penelitian ini. Menurut Spradley (1980) kegiatan inti dari penelitian yang berupa pemahaman makna tentang suatu tindakan dan peristiwa yang terjadi di dalam latar sosial yang menjadi objek penelitian. Berhubung makna yang terdapat di lapangan dideskripsikan melalui bahasa dan melalui tindakan langsung berupa perbuatan, maka alternatif yang tepat diterapkan di dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif tersebut. Penelitian ini mengumpulkan data berdasarkan pada observasi situasi yang wajar, melalui wawancara mendalam dengan para informan sebagaimana adanya, tanpa mempengaruhi atau mengintervensi keadaan. Peneliti memasuki lapangan dengan terlebih dahulu melakukan entri, yang maksudnya adalah cara dan langkah untuk memasuki latar penelitian (Nasution, 1988). Selanjutnya langsung berhubungan dengan situasi dan orang yang diteliti. Untuk memperoleh data yang objektif, terlebih dahulu dilakukan dengan berusaha mengemukakan maksud peneliti serta meyakinkan kepada informan bahwa apabila terdapat sesuatu yang perlu dirahasiakan, akan dijamin kerahasiaan tersebut. Pengumpulan data di dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam dan observasi langsung. Wawancara dilakukan dengan pertanyaan yang memfokus sehingga informasi yang dikumpulkan cukup mendalam. Lebih lanjut, obser-
94
PAEDAGOGIA, Jilid 11, Nomor 2, Agustus 2008, halaman 91 - 100
puti, kesadaran-eksplorasi-inkuari-penerapan-dst. (Bredekamp & Rosegrant, 1992). Dari sinilah akhirnya banyak guru yang memisahkan berbagai bahasan pengajarannya ke dalam pokok-pokok bahasan yang sering dikenal dengan fragmented. Terhadap pembelajaran yang sasarannya anak-anak, ada hal-hal tertentu yang perlu disajikan dengan integrated, namun ada pula yang seharusnya diterapkan secara fragmented. Hal ini disebabkan karena perkembangan anak itu pada hakikatnya berwujud multiple-intelligences (Fogarty, 1991: 67). Kemudian, pendekatan yang berpola fragmented ini memiliki ciri penanda: pengajaran berpusat pada guru sebagai model, tidak memberikan pengalaman langsung kepada murid, dan hasil belajar murid merupakan hasil yang seragam. Dengan latar belakang tersebut, se-lanjutnya dirumuskan masalah penelitian ini sebagai berikut: (a) Bagaimanakah persepsi guru terhadap pendekatan tematis di dalam pembinaan kompetensi komunikatif ?, (b) Bagaimanakah bentuk interaksi guru-murid yang efektif untuk membina kompetensi komunikatif dengan menerapkan aplikasi pendekatan tematis?, dan (c) Kompetensi komunikatif apa sajakah yang ditampilkan murid sebagai hasil dari penerapan pendekatan tematis?.
vasi langsung sering disebut sebagai observasi berpartisipasi (Spradley, 1980). Observasi langsung ini dilanjutkan dengan pencatatan data yang ditemukan di lapangan, yang kemudian ditentukan refleksinya. Observasi langsung ini selanjutnya menghasilkan temuan atau informasi yang akurat tentang perilaku objek dalam aplikasi pendekatan tematis untuk membina kompetensi komunikatif. Data yang ditemukan melalui wawancara maupun melalui observasi langsung ini selanjutnya dituangkan ke dalam catatan lapangan dan menggunakannya sesuai dengan fungsinya. Hal ini dilakukan dengan mengikuti uraian Bogdan dan Biklen bahwa catatan lapangan dapat berupa catatan tertulis tentang apa saja yang didengar, dilihat, dialami, dan dipikirkan, dalam rangka pengumpulan data, serta memberi refleksi atau tanggapan terhadap data (Bogdan & Biklen, 1990). Dengan demikian, catatan lapangan yang dihasilkan dari wawancara dan observasi di dalam penelitian ini dibuat dalam bentuk deskriptif. Teknik cuplikan yang akan digunakan bukanlah cuplikan statistik, akan tetapi lebih bersifat selektif dengan menggunakan pertimbangan berdasar pada konsep yang digunakan, keingintahuan pribadi, dan karakteristik empiris. Oleh sebab itu, cuplikan yang digunakan lebih bersifat purposif, atau disebut juga dengan criterion-base-selection. Dalam hal ini, dipilih informan yang dipandang paling tepat untuk mengungkapkan masalah yang dimaksud di dalam penelitian ini. Untuk selanjutnya, informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan pengumpulan data (Patton, 1980). Validitas atau keabsahan data di dalam penelitian ini diperiksa dengan teknik: perpanjangan waktu dan triangulasi. Perpanjangan waktu di sini dilakukan yaitu memperpanjang waktu di lapangan, dari rencana semula yang tiga minggu untuk kehadiran peneliti dalam pengumpulan data, selanjutnya diperpanjang menjadi enam minggu. Perpanjangan waktu ini digunakan untuk menjaga agar keabsahan atau validitas data dapat terpenuhi (Moleong, 1995:176). AdaAndayani, Aplikasi Pendekatan Tematis untuk ...
pun hal lain yang dilakukan untuk menjaga validitas data adalah triangulasi data (Patton, 1980). Analisis data di dalam penelitian ini yaitu: analisis model interaktif (Miles & Huberman, 1984). Analisis ini terdiri dari tiga komponen analisis, yaitu: reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi. HASILDAN PEMBAHASAN Di dalam penelitian ini, selain diungkapkan penyajian hasil pengumpulan data, juga diuraikan pembahasan analisis data yang mengikuti pendekatan tematis dalam membina kompetensi komunikatif murid yang dikategorikan ke dalam domain ini, tergambar di dalam catatan hasil wawancara yang diungkapkan oleh subjek penelitian ini, bahwa pendekatan tematis yang saat ini tengah dimasyarakatkan di dalam pembelajaran bahasa Indonesia, banyak dipelajarinya dari hasil-hasil diskusi dalam MGMP, dari seminar, dari penataran yang diikutinya, dan dari studi di perguruan tinggi. Hal ini dilakukan oleh guru I dan guru II. Berdasarkan pada hasil wawancara dengan subjek penelitian ini, dapat dikatakan bahwa guru I dan guru II kedua-duanya memiliki persepsi yang berbeda terhadap penerapan pendekatan tematis. Jika diperbandingkan, dari kedua informan itu persepsi guru I lebih baik dari persepsi guru II. Temuan berikutnya adalah bentuk interaksi guru-murid. Selama terjadi interaksi belajar mengajar pada kelas IID maupun IIE murid terlihat aktif dalam arti mereka tampak menggunakan bahasa Indonesia terutama secara lisan memadai, yang tampak pada kepiawaiannya dari segi gramatikal. Keaktivan murid terutama pada kelas IID, juga disertai dengan kemahiran dalam memahami dan mengungkapkan secara produktif aktif, wacana yang dibahas, misalnya dalam tema-tema Lalu Lintas dan Transportasi. Murid terlihat berminat membahas tema-tema tersebut dalam diskusi kelompok maupun diskusi forum. Dari murid dapat terungkap ranah afektif dan psikomotor dari pembelajaran bahasa Indonesia. 95
Hal ini menandai adanya kemahiran dalam aspek wacana. Dari kegiatan diskusi kelompok dan diskusi Forum dapat ditemukan kemahiran sosiolinguistik pada murid, hal ini terefleksi dari: (a) Cara mengungkapkan ide dengan santai; (b) Sikap murid yang tampak gembira; (c) Hubungan interpersonal antar murid terlihat akrab; dan (d) Bahasa yang digunakan wajar. Hal ini merupakan indikasi kemahiran sosiolinguistik. Tidak demikian halnya dengan interaksi belajar mengajar bahasa Indonesia di kelas IIE. sekalipun murid tampak aktif, namun sebagian besar waktu banyak digunakan untuk membahas soal-soal yang disajikan di dalam LKS bahasa Indonesia. Dengan demikian keaktivan murid pun terbatas pada pembahasan soal-jawab pada buku latihan tersebut, sehingga hampir tidak ada kemampuan murid dalam mengungkapkan ide pesan yang menjadi ciri kompetensi komunikatif. Kelas IIE ini tidak terlihat tema pembelajaran yang menjadi payung dari unit bahasan yang dilakukan guru. Kompetensi komunikatif yang ditampilkan oleh murid sebagai hasil dari penerapan pendekatan tematis di dalam penelitian ini, dikategorikan atas: kemahiran gramatikal, kemahiran wacana, dan kemahiran sosiolinguistik. Ketiga komponen yang merupakan ciri penanda dari kompetensi komunikatif ini muncul di Kelas IID. Guru I memberikan tema sebagai payung pada setiap unit pembelajaran bahasa Indonesia. Hal ini terlihat dari rancangan pembelajaran (RP) yang disusunnya. Selain itu juga terlihat dari kegiatan belajar-mengajar yang dilaksanakannya di dalam kelas. Tidak demikian halnya di kelas IIE dengan guru II sebagai pengajarnya, sekalipun ditampakkan kemahiran gramatikal dan kemahiran wacana, namun tidak terlihat ciri penanda kemahiran sosiolinguistik pada murid di dalam kelas itu. Kemahiran gramatikal ditunjukkan oleh murid dalam bentuk penguasaan terhadap kosakata, pembentukan kata dalam proses morfologis, dan pembentukan kalimat. Seluruh gejala muncul di kelas IID.
Lebih lanjut, gejala yang muncul di dalam kelas IID yang identik dengan kemahiran wacana tampak pada kesatuan dan kepaduan wacana yang disusun sebagai laporan tertulis hasil diskusi kelompok kelas, yang terdapat gerak maju makna untuk menyatakan ide, kontradiksi dan nonkontradiksi untuk menandai kekonsistenan, dan relevansi makna untuk menandai kesesuaian. Dalam hal kemahiran sosioliguistik, gejala yang muncul adalah keluasan pemahaman ucapan-ucapan yang dihasilkan murid, dipahami secara tepat dalam berbagai konteks. Ketepatan ucapan ini mengacu kepada ketepatan makna dan bentuk. Ketepatan tersebut berkaitan dengan wadah fungsi-fungsi komunikatif, misalnya perintah, tuntutan, undangan, dan sikap-sikap tertentu, seperti keramahan, kewajaran dalam menempatkan gagasan. Hal ini dilakukan seseorang secara kreatif dan spontan. Pembahasan terhadap hasil penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan analisis domain. Dalam hal tersebut, digunakan hubungan semantik untuk mengungkapkan kegiatan kategorisasi atas data yang terkumpul. Di dalam kegiatan ini, diuraikan bahwa X adalah termasuk Y yang merupakan hubungan bagian, atau X adalah hasil dari Y yang merupakan hubungan kausal, atau X adalah alasan melakukan Y yang merupakan hubungan rasional, atau X digunakan untuk Y yang merupakan hubungan fungsional, atau X adalah cara untuk melakukan Y yang merupakan hubungan alattujuan, atau X adalah ciri-ciri dari Y yang merupakan atribut (Williams dan Moleong, 1995:195-197). Lebih lanjut, pembahasan hasil penelitian ini dapat diikuti pada uraian pembahasan yang berdasarkan pada temuan penelitian sebagai berikut.
96
PAEDAGOGIA, Jilid 11, Nomor 2, Agustus 2008, halaman 91 - 100
Persepsi Guru terhadap Pendekatan Tematis dalam Pembinaan Kompetensi Komunikatif Dalam hal persepsi yang positif, berdasarkan pada hubungan semantik X adalah termasuk Y yang merupakan hubungan bagian, maka hal-hal berupa: (1) Perhatian gu-
ru yang disertai keaktivan mendalami pendekatan tematis; (2) Adanya kecenderungan guru memperhatikan hal-hal tertentu yang berkaitan dengan pendekatan tematis; dan (3) Berusaha mendapat kesempatan memperoleh pemahaman tentang pendekatan tematis, ketiga-tiganya adalah bagian dari persepsi yang positif dari guru terhadap penerapan pendekatan tematis dalam pembinaan kompetensi komunikatif bahasa Indonesia murid. Masih berdasarkan pada analisis domain bahwa X adalah pemberian atribut dari Y, hal-hal yang dikategorikan sebagai persepsi yang baik terhadap penerapan pendekatan tematis dalam pembinaan kompetensi komunikatif bahasa Indonesia murid, papat menggambarkan hubungan kausal yang menunjang keberhasilan pembinaan kompetensi komunikatif pada murid. Demikian juga sebaliknya, persepsi yang tidak baik terhadap penerapan pendekatan tematis dalam Pembinaan kompetensi komunikatif, dapat menggambarkan suatu hubungan kausal yang menghasilkan kegagalan dalam pembinaan kompetensi komunikatif pada murid. Dari hasil observasi dan wawancara di dalam penelitian ini, dapat disimak suatu perbandingan yang menggambarkan suatu temuan, bahwa pada kelas IID dengan persepsi guru I yang lebih baik daripada guru II dalam hal penerapan pendekatan tematis, hasil yang didapat dari pembinaan kompetensi komunikatif murid kelas IID lebih baik dibandingkan dengan kelas IIE yang tidak memperlihatkan kompetensi komunikatif. Hal tersebut terjadi karena kompetensi komunikatif murid di kelas IID terbina dengan baik, dalam aspek-aspek yang meliputi kemahiran gramatikal, kemahiran wacana, hingga kemahiran sosiolinguistik. Adapun pada kelas IIE yang tidak terbina dengan baik, hasilnya tidak tampak adanya kemahiran sosiolinguistik pada murid.
Berdasarkan pada hubungan semantik X adalah cara melakukan Y yang merupakan hubungan alat-tujuan, maka bentuk interaksi yang ada pada kelas berupa diskusi kelompok dan diskusi forum dalam mengkaji tema pembelajaran, yaitu Lalu Lintas dan Transportasi, seperti yang ada pada kelas IID, ternyata menumbuhkan keadaan interaksi murid yang tampak: (a) Dapat mengungkapkan ide dengan santai; (b) Dapat bertanya dan menjawab pertanyaan dengan air muka murid yang tampak gembira; (c) Dapat menunjukkan hubungan interpersonal antar murid yang akrab, dan (d) Dapat menggunakan bahasa Indonesia dengan wajar dan ramah. Hal ini merupakan indikasi kemahiran sosiolinguistik. Tercapainya kemahiran sosiolinguistik ini berkat adanya kesempatan seluruh murid di kelas yang dapat menyatakan ide pesannya secara leluasa, karena pola interaksi pembelajaran yang diterapkan oleh guru adalah pola yang multi arah. Sedangkan mengapa guru pada kelas IID melakukan tindakan-tindakan yang dikategorikan penerapan pendekatan tematis tersebut, berdasarkan pada hubungan semantik rasional bahwa X adalah alasan melakukan Y, subjek melakukan tindakan memberi kesempatan murid mengkaji bahan ajar melalui tema, karena pada dasarnya sudah tertanam persepsi bahwa pembelajaran dengan cara tersebut dapat membentuk interaksi yang multi arah di dalam kelas, sehingga kompetensi komunikatif murid lebih terbina.
Kompetensi Komunikatif yang ditampilkan Murid sebagai Hasil dari Penerapan Pendekatan Tematis Berdasarkan pada hubungan semantik bahwa X adalah ciri-ciri dari Y yang merupakan atribut, maka kemahiran gramatikal yang ditampilkan murid dalam bentuk penguasaan terhadap kosa kata, pembentukan kata dalam proses morfologis, dan pemBentuk Interaksi Guru-Murid yang bentukan kalimat, adalah atribut dari komEfektif untuk Membina Kompetensi Ko- petensi komunikatif. Atribut berikutnya adalah kemahiran munikatif dengan Menerapkan Pendewacana yang tampak pada gejala kesatuan katan Tematis Andayani, Aplikasi Pendekatan Tematis untuk ...
97
KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan pada hasil penelitian serta pembahasannya, akhirnya dapat disimpulkan bahwa: Pertama, persepsi guru yang baik terhadap pendekatan tematis dapat digunakan sebagai bekal guru untuk membina kompetensi komunikatif bahasa Indonesia pada murid. Hal ini disebabkan karena pembinaan kompetensi komunikatif bahasa Indonesia pada murid, memerlukan aplikasi pendekatan yang tepat. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa aplikasi pendekatan tematis tepat untuk membina kompetensi komunikatif bahasa Indonesia pada murid. Lebih lanjut, aplikasi pendekatan tematis ini dapat
efektif jika didasari oleh persepsi guru yang benar terhadap pendekatan tematis. Kedua, bentuk interaksi guru-murid yang efektif untuk membina kompetensi komunikatif dengan menerapkan pendekatan-pendekatan tematis adalah bentuk interaksi yang multi arah yaitu seperti yang terjadi pada kelas IID dengan pengkajian tematema pembelajaran bahasa Indonesia melalui diskusi kelompok dan diskusi forum. Bentuk interaksi ini, akhirnya dapat memberikan kesempatan kepada murid untuk melatih sejumlah kemahiran berbahasa yang menjadi indikasi kompetensi komunikatif bahasa Indonesia. Ketiga, kompetensi komunikatif bahasa Indonesia yang ditampilkan murid sebagai hasil dari penerapan pendekatan tematis meliputi: kemahiran gramatikal, kemahiran wacana, dan kemahiran sosiolinguistik. Implikasi hasil penelitian ini bagi dunia pengajaran bahasa Indonesia adalah, bahwa pendekatan tematis tepat diterapkan untuk membina kompetensi komunikatif bahasa Indonesia pada murid. Dikatakan demikian karena pembelajaran bahasa indonesia pada hakikatnya tidak hanya berhenti pada instructional-objective berupa selesainya evaluasi yang ditandai dengan lulus ujian. Akan tetapi, sebenarnya pembelajaran bahasa Indonesia juga bermaksud melahirkan nurturant-effect yang berupa kompetensi komunikatif dengan ciri penanda mahir secara gramatikal, mahir dalam wacana, dan juga mahir secara sosiolinguistik yang kesemuanya itu tidak mungkin tercapai jika di dalam kelas guru masih menerapkan cara lama dengan lebih banyak mengisi kegiatan belajar murid dengan membahas soal-soal yang terangkum di dalam buku paket dan LKS (Lembar Kerja Siswa) saja. Dengan temuan yang berkaitan dengan aplikasi pendekatan tematis pada pembinaan kompetensi komunikatif bahasa Indonesia murid ini, angin segar pembelajaran bahasa Indonesia dapat segera dinikmati, karena semestinya pengajaran bahasa Indonesia adalah pengajaran tentang perilaku berbahasa, bukan pengajaran tentang ilmu bahasa.
98
PAEDAGOGIA, Jilid 11, Nomor 2, Agustus 2008, halaman 91 - 100
dan kepaduan wacana yang disusunnya sebagai laporan tertulis hasil diskusi kelompok kelas, yang di dalamnya juga terdapat gerak maju makna untuk menyatakan ide kontradiksi dan non kontradiksi untuk menandai kekonsistenan, dan relevansi makna untuk menandai kesesuaian. Hal ini merupakan penanda dari hasil penerapan pendekatan tematis seperti yang terjadi pada kelas IID, yang dapat mewujudkan pembinaan kompetensi komunikatif. Lebih lanjut hal yang sama dengan keadaan di atas juga terjadi pada kemahiran sosiolinguistik yang berdasarkan pada hubungan semantik bahwa X adalah atribut dari Y, bahwa keluasan pemahaman ucapanucapan yang dihasilkan murid, dipahami secara tepat dalam berbagai konteks, adalah ciri dari kemahiran sosiolinguitik yang merupakan atribut dari kompetensi komunikatif. Ketepatan ucapan yang dimaksud ini mengacu kepada ketepatan makna dan bentuk. Ketepatan tersebut berkaitan dengan wadah fungsi-fungsi komunikatif tertentu, misalnya perintah, tuntutan, undangan, dan juga sikap-sikap tertentu, seperti keramahan, kewajaran dalam menempatkan gagasan tertentu. Hal-hal terakhir ini nyatanya hanya terjadi di dalam kelas dengan keadaan murid memperoleh kesempatan mengkaji tema.
Selanjutnya, berdasarkan pada hasil penelitian, kesimpulan, dan implikasi dari penelitian ini, maka dapat diajukan saran sebagai berikut: Pertama, para guru bahasa Indonesia memanfaatkan pendekatan tematis sebagai usaha untuk mengantisipasi kendala yang dijumpai di dalam membina kompetensi komunikatif bahasa Indonesia pada murid. Kedua, di dalam lembaga pendidikan tinggi (LPTK maupun FKIP) program studi bahasa Indonesia, perlu diperkenalkan tentang pendekatan tematis dan kompetensi komunikatif secara mendalam, karena hal
tersebut merupakan hal yang perlu diakui sebagai paradigma baru dalam pembelajaran bahasa Indonesia, yang mengubah dari pengajaran tentang ilmu bahasa menjadi pengajaran tentang perilaku berbahasa. Dikatakan demikian karena pengajaran tentang ilmu bahasa yang tidak fungsional dalam kehidupan murid tidak akan diminati murid. Adapun pengajaran tentang perilaku berbahasa Indonesia yang fungsional, yang bermanfaat bagi kehidupan murid menjadi hal yang diminati murid.
DAFTAR PUSTAKA Bogdan, Robert & Biklen, Sari Knopp. (1990). Qualitative Research for Educa-tion An Introduction to Theory and Methods. (Alih bahasa Munandir). Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti. Bredekamp, T. & Rosegrant, E. (1992). Curriculum and Instruction Implementation. Englewood Cliffs, N.J.: Educational Technology Publications. Canale, Michael. (1984). “From Communicative Competence to Communicative Language Pedagogy”, Reading Behavior, Vol 8. Depdikbud. (1995). Landasan Pragram Pengembangan Pendidikan Dasar. Jakarta: Bagian Proyek Pengembangan Pendidikan Guru. Druva, Cynthia Ann. (1993). “Science Teacher Characteristic By Teacher Behavior and Student Outcome: A Meta Analysis of Research”, dalam Journal of Research in Science Teaching, Vol.20. Fogarty, Robin. (1991). The Mindful School How to Integrate The Curricula. Illinois: Skylight Publishing. Hughes, M. (1991). Curriculum Integration in The Primary Grades. VA.: Association of Supervision and Curriculum Development. Kaswanti Purwo, Bambang. (1998). Peranan Tema dalam Pengajaran Bahasa Indonesia. Jakarta: Depdikbud. Laughlin & Moulton. (1990). “Teacher Professional Development in Climate of Language Teaching Reform” dalam Language Arts, Vol.70, April. Lipson, Marjorie, dkk. (1993). “Integration and Thematic Teaching: Integration to Improve Teaching and Larning”, dalam Language Arts, Vol. 70. Little, Judith Warren. (1993). “Peer Interaction and Language Learning”, dalam Educational Evaluation & Poilcy Analysis, Vol. 65. No.12. Miles, M.B. & Huberman, A.M. (1984). Qualitative Data Analysis: Sourcebook of a New Method. Beverly Hills: Sage Publications. Moleong, Lexy J. (1995). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Andayani, Aplikasi Pendekatan Tematis untuk ...
99
Nasution, S. (1988). Azas-azas Evaluasi Pengajaran. Jakarta: BumiAksara. Nolan, E. & Kagan, J. (1980). “Recognition of Self and Self’s Children Language Acquisition”, dalam Journal of Genetic Psychology, Vol 137. Patton, M.Q. (1980). Qualitative Evaluation Method. Beverly Hilis: Sage Publications. Reynold , Anne. (1992). “What is Competent Beginning in Language Teaching? A Review of The Literature”, Review of Educational Research, Spring, Vol.62. Spradley, James P. (1980). Participant Obsevation. New York: Holt Rinehart and Winston. Tarigan, HG. (1992). Pengajaran Kompetensi Bahasa. Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti. Williams, David B & Moleong, Lexy J. (1995).Penelitian Naturalistik. Jakarta: PPS IKIP Jakarta. Wise, Kevin C. & Okey, James R. (1993). “A Meta Analysis of Effects of Various Science Teaching Strategies on Achievement,” dalam Journal of Research In Science Teaching, Vol.20.
100
PAEDAGOGIA, Jilid 11, Nomor 2, Agustus 2008, halaman 91 - 100