1
Euis Rohayati: Perbanyakan dengan induksi tunas aksiler Buletin Teknik Pertanian Vol. anthurium 14, No. 1, 2009: 1-5
TEKNIK PERBANYAKAN CEPAT ANTHURIUM DENGAN INDUKSI TUNAS AKSILER SECARA IN VITRO Euis Rohayati Teknisi Litkayasa Nonkelas pada Balai Penelitian Tanaman Hias, Jalan Raya Ciherang, Segunung, Pacet, Cianjur 43253 Kotak Pos 8 Sindanglaya, Telp. (0263) 512607, Faks. (0263) 514138, E-mail:
[email protected]
A
nthurium merupakan salah satu spesies dari famili Araceae yang paling populer. Tanaman ini mempunyai nilai ekonomi tinggi karena bunganya menarik, bervariasi, dan memiliki ketahanan yang panjang dalam vas (Sarwono 1992; Bhudiprawira dan Saraswati 2006). Secara konvensional, anthurium diperbanyak menggunakan benih, namun benih tidak dapat disimpan dalam waktu lama. Perkembangan tanaman yang berasal dari benih juga lambat; diperlukan waktu ± 3 tahun hingga tanaman berbunga (Geier 1990; Hamidah et al. 1997). Selain itu, perbanyakan dengan benih menghasilkan tanaman yang tidak seragam (Geier 1990). Perbanyakan tanaman dengan kultur jaringan dapat menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak dalam waktu singkat dan tanaman yang dihasilkan sama dengan induknya. Pemanfaatan kultur jaringan dalam perbanyakan anthurium pertama kali dilakukan oleh Pierik et al. (1974), kemudian diperbaiki oleh peneliti-peneliti lain dan mulai diaplikasikan secara meluas untuk produksi anthurium secara komersial, baik pada media padat maupun cair. Eksplan yang digunakan beragam, seperti daun, petiol, spadik, spate, benih, tunas lateral, dan ujung tunas (Geier 1990; Anonim 2003). Selain bahan tanaman dari lapangan, helai daun dan tunas etiolasi yang dihasilkan secara in vitro juga dapat beregenerasi membentuk tanaman untuk tujuan perbanyakan tanaman (Kuehnle dan Chen 1994). Teknik perbanyakan anthurium yang telah diaplikasikan untuk perbanyakan bahan tanaman adalah induksi kalus yang diikuti dengan pembentukan tunas adventif (Kunisaki 1980; Geier 1986, 1987, 1988; Kuehnle dan Sugii 1991a, 1991b; Teng 1997), induksi tunas aksiler, dan pembentukan benih sintetik (Kuehnle et al. 1992; Hamidah et al. 1997). Tunas aksiler adalah tunas samping yang tumbuh dari ketiak daun. Keberhasilan berbagai teknik perbanyakan tersebut dipengaruhi oleh respons eksplan, teknik perbanyakan, dan media yang digunakan. Percobaan bertujuan untuk mengetahui respons sumber eksplan dan media regenerasi yang berbeda pada perbanyakan anthurium dengan induksi tunas aksiler secara in vitro. Hasil percobaan diharapkan dapat memberi informasi
mengenai sumber eksplan dan media regenerasi yang sesuai untuk induksi tunas aksiler pada perbanyakan anthurium secara in vitro.
BAHAN DAN METODE Percobaan dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi), Segunung-Cianjur, pada bulan Juli 2003 hingga Februari 2004. Bahan tanaman yang digunakan adalah kecambah dari benih klon-klon hasil persilangan Merah Philippines x Merah Belanda, Amigo x Obaki, dan hasil selfing varietas Obaki, Lady Jane, Laura, Pink, dan Putih. Tunas yang dihasilkan dari perkecambahan biji secara in vitro digunakan sebagai sumber eksplan. Benih dipanen setelah buah berwarna kuning dan matang. Benih dibersihkan dari daging buah yang membungkusnya, lalu direndam dalam larutan HCl 1% untuk menghilangkan selaput benih. Selanjutnya, benih disteril dengan larutan fungisida 1% selama 30 menit lalu dibilas dengan air suling 4-5 kali. Benih kemudian disterilisasi dengan alkohol 70% selama 3-5 menit, dilanjutkan sterilisasi dengan klorok 5% selama 10 menit, klorok 10% selama 5 menit, setelah itu dibilas hingga bersih dengan air suling steril. Benih ditanam pada media Murashige dan Skoog (MS), kemudian diinkubasi dalam ruang gelap selama 1,5 bulan. Setelah itu, eksplan dapat digunakan untuk percobaan. Diagram alur dan metode kegiatan terdiri atas dua perlakuan seperti disajikan pada Gambar 1. Media yang digunakan terdiri atas delapan perlakuan, yaitu: (1) M2; (2) M4; (3) M4 + air kelapa 100 ml/l ; (4) M4 + 2,4-D 2,5 mg/l ; (5) M4 + air kelapa 100 ml/l + 2,4-D 2,5 mg/l; (6) M4 + sefotaksim 50 ppm; (7) M4 + asam pantotenat 2 g/l + sefotaksim 50 ppm; dan (8) M4 + asam pantotenat 2 g/l. Komposisi media M2 dan M4 disajikan pada Tabel 1. Pada percobaan ini tiap perlakuan berisi eksplan yang tidak sama mengingat terbatasnya jumlah eksplan. Tiap botol berisi lima eksplan. Semua eksplan yang dikultur diamati perubahannya secara periodik. Pengamatan dan pengambil-
2
Euis Rohayati: Perbanyakan anthurium dengan induksi tunas aksiler Sterilisasi di luar laminar Biji dipanen (matang dan berwarna kuning) t
Dibersihkan dari daging buah yang membungkusnya t
Direndam dalam larutan HCl 1% untuk menghilangkan selaput benih t
Dikocok dalam larutan fungisida 1% selama 30 menit t
Dibilas dengan air suling 4-5 kali t
Benih dibawa ke laminar air flow
Sterilisasi di dalam laminar
Tabel 1. Media Murashige & Skoog yang dimodifikasi dan digunakan dalam percobaan (mg/l), Balithi, Segunung, 2004 Komponen media Elemen makro Elemen mikro FeNaEDTA Asam nikotinat Piridoksin HCl Tiamin HCl Glisin Mio-inositol 2,4-D (2,4-dichlorophenoxyacetic acid) NAA (1-naphtaleneacetic acid) BA/BAP (6-benzylamino-purine) Kinetin Zeatin Tidiazuron Air kelapa Sukrosa (g/l) Glukosa (g/l) Gelrite (g/l) pH
M2
M4
½ MS Penuh 25 0,3 0,4 0,5 2,0 150 0,5 1,0 0,5 100 20 20 2,0 6,0
½ MS Penuh 20 0,3 0,4 0,5 2,0 150 0,10 0,5 0,5 60 2,0 5,8
Benih disterilisasi dalam larutan alkohol 70% selama 3-5 menit
HASIL DAN PEMBAHASAN t
Benih disterilisasi dalam larutan klorok 5% selama 10 menit t
Benih disterilisasi dalam larutan klorok 10% selama 5 menit t
Dibilas hingga bersih dengan air suling t
Ditanam pada media Murashige & Skoog (MS) t
Diinkubasi dalam ruang gelap selama 1,5 bulan t
Eksplan dapat digunakan untuk percobaan Gambar 1. Diagram alur tahapan sterilisasi benih anthurium, Balithi, Segunung, 2004
an data dilakukan 2,5 bulan setelah penanaman eksplan. Pengamatan dilakukan pada 2-4 botol. Parameter yang diamati dan diukur adalah: (1) persentase kalus yang terbentuk; (2) persentase eksplan yang membentuk kalus; (3) jumlah tunas; dan (4) jumlah bakal tunas. Hasil pengamatan merupakan rata-rata parameter yang diamati.
Induksi tunas aksiler menggunakan bahan tanaman hasil perkecambahan benih secara in vitro pada media M2 dan M4 yang dimodifikasi menunjukkan hasil yang beragam (Tabel 2). Setiap kultivar menghasilkan 1-3 tunas aksiler per eksplan. Tunas yang ditanam sebagian besar terinduksi membentuk kalus pada bagian pangkal batang yang kemudian diikuti dengan pembentukan bakal tunas adventif. Tunas aksiler dan bakal tunas dari kalus pangkal batang dapat diamati pada 5575 hari setelah kultur. Setiap kultivar memberikan respons yang berbeda terhadap media yang diujicobakan. Bardasarkan tunas aksiler yang terbentuk, dapat dinyatakan bahwa induksi tunas aksiler memiliki tingkat keberhasilan yang lebih baik dibandingkan induksi tunas adventif. Satu eksplan hanya berhasil distimulasi membentuk 1-3 tunas aksiler. Eksplan hasil silangan Merah Philippines x Merah Belanda yang ditanam pada media M4 + air kelapa 10 ml/l + 2,4-D 2,5 g/l memberikan respons terbaik. Satu tunas dapat diinduksi menjadi tiga tunas aksiler per eksplan (8 tunas menjadi 17 tunas aksiler). Hasil terbaik kedua ditemukan pada eksplan kultivar Putih yang ditanam pada media M4 + sefotaksim 50 ppm. Penanaman eksplan pada berbagai media yang diuji dapat menginduksi terbentuknya kalus pada pangkal batang. Pada beberapa perlakuan, kalus berkembang cepat dan beregenerasi setelah diinkubasi. Persentase pembentukan kalus dapat mencapai 100% pada semua media yang diguna-
3
Euis Rohayati: Perbanyakan anthurium dengan induksi tunas aksiler
Tabel 2. Pengaruh media tumbuh dalam induksi tunas aksiler pada beberapa kultivar anthurium, Balithi Segunung, 2004 Respons eksplan Kultivar/media
Jumlah tunas aksiler
Jumlah bakal tunas
Eksplan yang membentuk tunas adventif (%)
50 100 100 100
3 6 9 5
+ + -
25 0 11 0
++/+++
0 0 0 100
2 2 2 9
++
0 0 0 40
6 4 6 8
+/++ ++/+++
100 87.5
4 6 8
+ +++
75 0 87,5
11 12 6 7
++/+++ + + +
100 75 100 100
13 12 6 7
+++ +++ -
45,5 8,3 0 0
6 5 6 5 9
+++ +/++ +
0 0 100 100 22,2
6 4 12 7 4
+++ -
0 0 50 0 0
11 8 6 22 8
+/++ +++ + +/++/+++ +/++
100 100 100 100 75
13 8 6 31 17
+ +/++/+++ ++
0 0 33,3 22,7 50
6 7 5 7
+/++ +/++
100 0 0 100
10 5 4 7
++/+++ +++
66,7 0 0 28,6
5 13 10 8
+ + +/++ +/++
60 69.2 80 100
5 17 13 12
+/++ +++
Jumlah eksplan
Kalus
Obaki M2 M4 M4 + air kelapa M4 + air kelapa + 2,4-D
4 6 9 5
+/++ +/++ +/++
Lady Jane M4 M4 + asam pantotenat M4 + air kelapa M4 + air kelapa + 2,4-D
7 6 5 5
Laura M2 M4 M4 + air kelapa M4 + 2,4-D Pink M2 M4 M4 + air kelapa M4 + air kelapa + 2,4 D Putih M2 M4 M4 + sefotaksim M4 + asam pantotenat + sefotaksim M4 + air kelapa + 2,4-D Merah Philippines x Merah Belanda M4 M4 + air kelapa M2 M4 + 2,4-D M4 + air kelapa + 2,4-D Amigo x Obaki M4 M4 + asam pantotenat M4 + 2,4-D M4 + air kelapa + 2,4-D Lady Jane (besar) M2 M4 M4 + air kelapa M4 + 2,4-D
Pembentukan kalus (%)
Pembentukan kalus: (-) (+) (++) (+++)
tidak terbentuk kalus terbentuk sedikit kalus (1-25% dari total eksplan) agak banyak (26-50% dari total eksplan) banyak (> 50% dari total eksplan)
Jumlah bakal tunas: (-) (+) (++) (+++)
tidak ada 1-5 bakal tunas 6-10 bakal tunas > 10 bakal tunas
0 0 20 25
4 kan. Pembentukan kalus dan bakal tunas tertinggi dihasilkan eksplan kultivar Laura yang ditanam pada media M4 + 2,4-D 2,5 g/l, yaitu masing-masing lebih dari 50% dan 88%, diikuti eksplan hasil silangan Amigo dan Obake yang ditanam pada media M4 tanpa modifikasi. Hasil percobaan menunjukkan bahwa perbanyakan anthurium melalui induksi tunas aksiler belum memberikan hasil yang optimal, bahkan sebagian besar tunas yang dikultur pada media yang berbeda tidak mampu membentuk banyak tunas. Satu tunas paling banyak hanya membentuk tiga tunas aksiler dengan persentase yang rendah, tetapi tunas yang terbentuk akibat pertumbuhan kalus pada pangkal batang jauh lebih banyak. Hasil yang hampir sama juga dilaporkan oleh Geier (1990) yang menunjukkan bahwa banyak tunas dibentuk dari kalus yang tumbuh pada pangkal eksplan, tetapi tunas aksilernya tidak berkembang dengan baik. Perbanyakan anthurium melalui induksi tunas adventif berpotensi untuk dikembangkan. Perbanyakan diawali dengan induksi pembentukan kalus yang diikuti oleh regenerasi kalus membentuk tunas (Pierik et al. 1974). Keberhasilan teknik ini dipengaruhi oleh respons kultivar (genotipe), jenis eksplan, dan media yang digunakan (Larkin dan Scowcroft 1981; Geier 1990; George dan Sherington 1991; Hamidah et al. 1997). Pierik (1975) dalam Geier (1990) menyatakan faktor kritis dalam kultur jaringan anthurium adalah genotipe. Hasil pengujian pembentukan kalus pada 38 genotipe memberikan respons yang berbeda, dari genotipe yang tidak membentuk kalus hingga yang menghasilkan kalus dalam jumlah banyak. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Leffring dan Hoogstrate (1977) serta Leffring dan Soede (1978) dalam Geier (1990). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan kalus sangat lambat dan tidak konsisten. Kondisi inilah yang diduga kuat menyebabkan terjadinya perbedaan respons pembentukan kalus dan bakal tunas pada beberapa kultivar anthurium yang diuji. Media yang digunakan menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap kemampuan regenerasi eksplan. Seperti peneliti sebelumnya (Pierik et al. 1974 ; Pierik et al. 1975 dalam Geier 1990), pada percobaan ini dilakukan modifikasi MS untuk mendapatkan kemampuan regenerasi yang optimal. Medium MS penuh memberikan hasil yang lebih rendah dibanding yang direduksi komponennya. Reduksi hara makro menjadi setengah bagian, mengganti NH 4NO 3 dengan (NH 4)SO4, menurunkan konsentrasi asam nikotinat dari 0,5 mg/l menjadi 0,3 mg/l dan piridoksin HCl dari 0,5 mg/l menjadi 0,4 mg/l, serta menaikkan konsentrasi tiamin HCl dari 0,1 mg/l menjadi 0,5 mg/l paling sesuai untuk regenerasi eksplan anthurium. Hamidah et al. (1997) juga memodifikasi medium
Euis Rohayati: Perbanyakan anthurium dengan induksi tunas aksiler
MS dengan mengurangi hara makro menjadi setengah konsentrasi, meningkatkan konsentrasi sukrosa menjadi 6%, dan memodifikasi komponen vitamin untuk mendapatkan respons regenerasi yang tinggi pada eksplan daun Anthurium scherzerianum Schott. Kuehnle dan Sugii (1991a) memodifikasi medium Pierik dengan mengganti sukrosa dengan glukosa sebagai sumber karbon dan gelrite dengan bacto agar untuk mendapatkan respons yang baik dari eksplan anthurium dari Hawaii. Selain komponen dasar medium, hormon dan bahan pelengkap lain ditambahkan untuk mendapatkan medium yang memiliki kemampuan terbaik dalam menstimulasi regenerasi eksplan. Hamidah et al. (1997) meningkatkan konsentrasi 2,4-D dari 6,75 µM menjadi 18 µM untuk induksi kalus dan mengganti 2,4-D dengan kinetin untuk mendukung pemasakan biji sintetik. Kuehnle dan Sugii (1991b) menggunakan kombinasi 0,36 µM 2,4-D dan 4,4 µM BA pada modifikasi medium Pierik. Pada percobaan ini, penambahan air kelapa/sefotaksim/asam pantotenat pada media M4 dan peningkatan konsentrasi 2,4-D dari 0,1 mg/l menjadi 2,5 mg/l mampu menstimulasi regenerasi eksplan secara optimal pada beberapa kultivar anthurium. Penggunaan media yang berbeda berpengaruh terhadap induksi tunas adventif dari kalus yang disubkultur. Medium M4 + 2,4-D memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan dalam induksi tunas adventif dalam subkultur kalus. Induksi tunas melalui kaulogenesis (pembentukan kalus) perlu mendapat perhatian karena adanya peluang mendapatkan regeneran yang menyimpang. Menurut Geier (1988), perbanyakan anthurium melalui induksi tunas adventif yang didahului oleh pembentukan kalus menghasilkan penyimpangan pada tanaman yang dihasilkan, walaupun jumlahnya sedikit. Penyimpangan tersebut antara lain berupa perubahan ploidi tanaman (Geier 1988) dan peningkatan kandungan DNA. Penyimpangan ini terjadi pada kalus yang sebelum membentuk tunas sudah disubkultur. Hasil percobaan menunjukkan bahwa perbanyakan cepat melalui induksi tunas aksiler tidak sesuai diaplikasikan untuk anthurium karena pertumbuhan tunas aksiler lebih lambat daripada pembentukan kalus pada pangkal tunas. Perbedaan genotipe dan media tumbuh berpengaruh nyata terhadap regenerasi eksplan anthurium. Hasil penelitian ini juga mendukung hasil penelitian sebelumnya.
KESIMPULAN DAN SARAN Perbanyakan anthurium dengan induksi tunas aksiler tidak sesuai untuk diaplikasikan karena pertumbuhan tunas aksiler
Euis Rohayati: Perbanyakan anthurium dengan induksi tunas aksiler
yang lambat. Tiap kultivar memiliki kompatibilitas media yang berbeda. Eksplan hasil persilangan Merah Philippines x Merah Belanda yang ditanam pada media M4 + air kelapa 10 ml/l + 2,4-D 2,5 g/l merupakan eksplan dan media terbaik dalam induksi tunas aksiler. Eksplan yang berasal dari kultivar Laura yang dikultur pada media M4 + 2,4-D 2,5 g/l merupakan genotipe dan media terbaik dalam induksi tunas adventif. Penambahan air kelapa, sefotaksim, dan 2,4-D potensial untuk dikembangkan dalam kultur jaringan anthurium. Perbanyakan dengan induksi tunas adventif, baik secara langsung maupun tidak langsung, memiliki potensi besar untuk dikembangkan.
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Budi Winarto, MSc., Nina Marlina, Dedi Rusnandi, dan Supenti di Balai Penelitian Tanaman Hias, Segunung yang telah membantu percobaan sejak persiapan, pelaksanaan hingga pengambilan data.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Anthurium Propagation. http://www.hiloweb.com/ webman/bcs.html. Diakses tanggal 15 Desember 2006.
5 Geier, T. 1988. Ploidy variation in callus and regenerated plants of Anthurium scherzerianum Schott. Acta Horticulturae 226: 293298. Geier, T. 1990. Anthurium. In P.V. Ammirato, D.A. Evans, W.R. Sharp, and Y.P.S Bajaj (Eds.). Handbook of Plant Cell Culture, Ornamental Species, McGraw-Hill, New York. 5: 228-252. George, E.F. and P.D. Sherington. 1991. Plant Propagation by Tissue Cullture Part I: The Technology. 2 nd Edition. Exegenetics Limited, Edington, England. 574 pp. Hamidah, M., A.G.A. Karim, and P. Debergh. 1997. Somatic embryogenesis and plant regeneration in Anthurium scherzerianum. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 49: 23-27. Kuehnle, A.R. and N. Sugii. 1991a. Callus induction and plantlet regeneration in tissue cultures of Hawaiian anthurium. Hort. Sci. 26(7): 919-921. Kuehnle, A.R. and N. Sugii. 1991b. Induction of tumors in Anthurium andraeanum L. by Agrobacterium tumefaciens. Hort. Sci. 26(10): 1.325-1.328. Kuehnle, A.R., F.C. Chen, and N. Sugii. 1992. Somatic embryogenesis and plant regeneration in Anthurium andraeanum L. hybrids. Plant Cell Rep. 11: 438-442. Kuehnle, A.R. and F.C. Chen. 1994. Agrobacterium-mediated transformation of anthurium. In Y.P.S. Bajaj (Ed.). Biotechnology in Agriculture and Forestry, Plant Protoplasts and Genetic Engineering V. Springer Verlag, Berlin. 2: 215-225. Kunisaki, J.T. 1980. In vitro propagation of Anthurium andraeanum L. Lind. Hort. Sci. 15(4): 508-509.
Budhiprawira, S. dan D. Saraswati. 2006. Anthurium. Penebar Swadaya, Jakarta. 92 hlm.
Larkin, P.J. and W.R. Scowcroft.1981. Somaclonal variation: A novel source of variability from cell cultures for plant improvement. Theor. Appl. Genet. 60: 197-214.
Geier, T. 1986. Factor affecting plant regeneration from leaf segments of Anthurium scherzerianum Schott (Araceae) cultured in vitro. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 6: 115125.
Pierik, R.L.M., H.H.M. Stoegmans, and J.A.J. Van Der Mays. 1974. Plantlet formation in callus tissues of Anthurium andraeanum Lind. Hort. Sci. 2: 193-198.
Geier, T. 1987. Micropropagation of Anthurium scherzerianum: Propagation schemes and plant conformity. Acta Horticulturae 212: 439-443.
Sarwono, B. 1992. Anthurium, indoor dan bunga potong. Trubus XII(270): 35-37. Teng, W.L. 1997. Regeneration of Anthurium adventitious shoots using liquid or raft culture. Plant Cell, Tissue and Organ Culture 49: 153-156.