JURNAL LINGUISTIK, SASTRA, DAN PENDIDIKAN (JURNALISTRENDI) Vol.1 No.1 Tahun 2016
ANCAMAN BAHASA INDONESIA DALAM DUNIA PARIWISATA DI NTB Oleh Bukhori Muslim Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP UNW Mataram Email:
[email protected]
Abstrak Penggunaan bahasa asing (Inggris) dalam dunia pariwista di NTB telah mengancam eksistensi penggunaan bahasa Indonesia. Istilah-istilah dalam dunia pariwista lebih didominasi oleh bahasa asing (Inggris) daripada penggunaan bahasa Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk-bentuk bahasa asing (Inggris) yang dapat mengancam bahasa Indonesia dalam dunia pariwisata di NTB. Metode yang diggunakan dalam penelitian ini yakni metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data yang berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada tiga dampak yang terjadi jika penggunaan bahasa asing lebih mendominasi dunia pariwista di NTB, yaitu: (1) terjadinya perubahan pola pikir dan perilaku sosial dalam masyarakat; (2) terjadinya praktikpraktik kebahasaan, seperti: terjadinya alih kode, gaya bicara yang berbeda, dan munculnya istilah-istilah asing dalam praktik kebahasaan di lingkungan masyarakat setempat; dan (3) penggunaan bahasa Indonesia dalam dunia pariwisata dapat mengurangi minat untuk menghargai, mencintai, dan mempelajari bahasa Indonesia. Kata Kunci: Ancaman, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Pariwista A. Pendahuluan Manusia sebagai satu-satunya makhluk tercerdas di dunia yang dianugrahi bahasa oleh Tuhan untuk bertutur sapa, bertukar pikiran, dan mengungkapkan perasaan yang dimiliki. Oleh karena itu, bahasalah satu-satunya alat komunikasi yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Kehadiran bahasa sebagai alat komunikasi di tengah-tengah manusia turut andil di dalam membentuk pola pikir, ideologi, dan budaya yang dimiliki oleh individu yang ada dalam setiap komunitas sosial. Hal ini diungkapkan oleh Muslich dan Oka (2012:69) bahwa persamaan alat komunikasi, persamaan cara pikir, dan
persamaan pandangan keduniaan sudah tentu akan berakibat logis timbulnya rasa persatuan di antara anggota masyarakat bangsa itu. Lebih-lebih kalau hubungan bahasa itu dengan kebudayaan. Memperhatikan apa yang diungkapkan oleh Muslich dan Oka, maka kehadiran bahasa Indonesia yang diproklamirkan sebagai bahasa persatuan semenjak 1928 tahun yang lalu memiliki hubungan yang erat dalam pembentukan pola pikir dan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia yang tersebar dari sabang sampai maroke. Kehadiran bahasa Indonesia merupakan anugrah yang sangat berharga karena telah mampu Hal 1
JURNAL LINGUISTIK, SASTRA, DAN PENDIDIKAN (JURNALISTRENDI) Vol.1 No.1 Tahun 2016
menyatukan suku dan bangsa yang memiliki bahasa daerah, kebudayaan, adat istiadat yang berbeda-beda namun tetap tunduk pada ideologi pancasila yang berbeda-beda namun tetap satu jua. Kekuatan bahasa Indonesia dalam menghimpun perbedan-perbedaan setiap suku dan budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat yang multikultural, multietnis, dan multilingual telah menjadi salah satu energi dan motivasi yang perlu diapresiasi oleh seluruh masyarakat Indonesia. Lebih-lebih Bahasa Indonesia memiliki kekuatan politik yang sangat strategis jika ditinjau dari kedudukannya sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional, dan bahasa negara. Seiring dengan kemajuan zaman dan tekhnologi dan masuknya arus globalisasi di tengah-tengah masyarakat Indonesia, telah membuat rasa kecintaan terhadap bahasa Indonesia kian memudar. Para generasi muda maupun tua tidak jarang memiliki sikap negatif terhadap keberadaan bahasa Indonesia. Mereka sering kali meremehkan keberadaan bahasa Indonesia. Koentjaraningrat (dalam Cahir, 2013:34) mengakui bahwa buruknya kemampuan berbahasa bagi sebagian orang Indonesia, termasuk kaum intletual dikarenakan sifat negatif yang melekat pada mental sebagian besar orang Indonesia. Sifat negatif tersebut, yaitu: 1) suka meremehkan mutu; 2) mental menerbas; 3) tuna harga diri; 4) menjauhi disiplin; 5) enggan bertanggung jawab; dan 6) suka latah atau ikut-ikutan. Sikap negatif terhadap bahasa Indonesia tidak hanya dijumpai dalam lingkungan pendidikan, namun hampir pada setiap lini kehidupan masyarakat, seperti pada bidang
politik, ekonomi, pertanian, dan pariwisata. Runtuhnya harga diri bahasa Indonesia paling mencolok dapat disaksikan di dunia pariwisata, karena Istilah-istilah yang diggunakan dalam dunia pariwisata di Indonesia hampir sebagian besar menggunakan bahasa asing. Pelaku pariwisata menganggap bahwa bahasa asing lebih memiliki nilai ekonomis daripada bahasa Indonesia. Fakta ini terjadi juga di Nusa Tenggara Barat yang baru saja dijadikan sebagai daerah tujuan wista nasional dan sudah mendapatkan penghargaan sebagai destinasi wisata halal. Peran dan fungsi bahasa Indonesia dalam dunia pariwisata telah tersingkirkan oleh bahasa asing. Hal ini dapat dilihat dari beberapa nama-nama tempat tujuan pariwista, nama-nama hotel, nama-nama fasilitas pariwista, kesemuanya itu sebagian besar menggunakan bahasa asing (inggris). Hal ini juga diungkapkan oleh Hutasuhut (2014), bahwa sampai sekarang peran bahasa Indonesia sebagai sarana promosi pariwisata belum maksimal. Masih banyak promosi pariwisata, misalnya nama-nama usaha pariwisata dan biro perjalanan, petunjuk di hotel-hotel, dan daftar makanan atau minuman yang disediakan masih menggunakan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Padahal ada aturan yang memperkuat penggunaan bahasa indonesia yakni instruksi Mendagri RI Nomor 20 Tahun 1991, tanggal 28 Oktober 1991, tentang pemasyarakatan bahasa Indonesia dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa; Instruksi Mendikbud RI Nomor 1/U/1992, tanggal 10 April 1992, tentang peningkatan usaha pemasyarakatan bahasa Indonesia dalam memperkukuh Hal 2
JURNAL LINGUISTIK, SASTRA, DAN PENDIDIKAN (JURNALISTRENDI) Vol.1 No.1 Tahun 2016
persatuan dan kesatuan bangsa; Surat Mendagri kepada gubernur, bupati, dan walikota Nomor 434/1021/SJ, tanggal 16 Maret 1995, tentang penertiban penggunaan bahasa asing. Hal inilah yang menjadi dasar penelitian ini sangat perlu dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagimana ancaman bahasa Indonesia dalam dunia pariwista khusunya di NTB. Jika penelitian ini tidak dilakukan maka pemerintah atau lembaga yang memiliki tanggung jawab dalam pembinaan bahasa akan dinilai gagal dalam memasyarakatkan bahasa Indonesia. Selian itu, jika penelitian ini tidak dilakukan, maka secara berlahan semua istilah-istilah dalam dunia pariwisata yang menggunakan bahasa asing semakin akrab di telinga masyarakat dan inilah yang menyingkirkan esistensi bahasa Indonesia itu sendiri. Luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai materi ajar pada mata kuliah pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia. A. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deksriptif karena data yang akan disajikan berupa kata-kata, frase, kalimat mengenai ancaman bahasa Indonesia dalam dunia pariwista di NTB. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu teknik observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik observasi dilakukan dengan cara terjun langsung ke tempattempat pariwista dengan tujuan untuk memperoleh informasi tenang penggunaan bahasa di tempat pariwista tersebut. Teknik wawancara bertujuan untuk memperoleh informasi lebih lengkap mengenai alasan
penggunaan bahasa asing dalam istilahistilah pariwisata. Sedangkan teknik dokumentasi dilakukan dengan cara mendokumentasikan segala bentuk datadata yang sering diggunakan dalam dunia pariwista baik yang berupa gambar, video, dan brosur. Teknik analisis data yang digunakan yakni deskriptif dengan langkahlangkah sebagai berikut: 1) mengorganisasikan data ke dalam kategori, 2) menjabarkan ke dalam unit-unit, 3) melakukan sintesa, 4) menyusun ke dalam pola, 5) memilih data yang penting, dan 6) membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami. B. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan data yang diperoleh melalui hasil ovservasi, wawancara, dan dokumentasi yang dilakukan pada bulan Maret-Juni 2016, istilah-istilah bahasa asing dalam bidang pariwisata yang dapat mengancam eksistensi bahasa Indonesia, dapat dibagi ke dalam bebera bagian, antara lain: 1) Nama-Nama Tempat Pariwisata Nama-nama tempat pariwisata yang ada di NTB sebagian besar menggunakan bahasa asing hal ini dapat dijumpai pada nama hotel, nama pantai, nama-nama pusat perbelanjaan oleh-oleh, dan nama-nama tempat penawaran jasa pariwisata. Berikut data yang diperoleh dari hasil observasi di daerah Senggigi dan kota Mataram. Tabel I. Nama-Nama Tempat Pariwisata Berbahasa Asing di NTB No Nama Tempat Berbahasa Asing 1 Savarga Resort Lombok 2 Pasific Beach Cottages 3 Holiday Resort Lombok 4 Living Asia Resort and Spa Hal 3
JURNAL LINGUISTIK, SASTRA, DAN PENDIDIKAN (JURNALISTRENDI) Vol.1 No.1 Tahun 2016
5 6 7 8
Kebun Villas and Resort The semeton homestay The Santosa Villas Resort The Jayakarta Lombok Beach Resort &Spa 9 RinjaniHome Stay 10 Steak House 11 Batulayar Hotel 12 Grand Sengigi Hotel 13 Mataram Square Hotel 14 Papaya Cafe 15 Pratama Hotel 16 Fave Hotel 17 Lombok Plaza Hotel 18 Sengigi Beach Hotel 19 Lombok Garde 20 Lombok Grandroyal BIL Hotel Berdasarkan data di atas, maka maka jati diri bahasa Indonesia tidak lagi tercermin pada sebagian nama-nama tempat pariwisata yang ada di NTB. Susunan kelompok kata pada nama tempat pariwisata tersebut (Hotel) menggunakan M-D (Menerangkan-Diterangkan) sementara itu, bahasa Indonesia memiliki pola D-M (Diterangkan-Menerangkan). Sebagai contoh kata Savarge Resort Lombok, Fave Hotel, Batu Layar Hotel, Lombok Plaza Hotel, semua nama-nama tersebut tidak sesuai dengan jati diri bahasa Indonesia karena memiliki pola DM. Seharusnya nama-nama tersebut disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia yang memiliki pola M-D, seperti: Lombok Resort Savarge, Hotel Fave, Hotel Batu layar, Hotel Lombok Plaza. Data terkait dengan nama tempat pariwsata, tidak hanya melanggar asas bahasa Indonesia yang baik dan benar, tapi memperkecil ruang penggunaan bahasa Indonesia.
Jika memperhatikan data-data yang diperoleh dalam penelitian ini mengenai nama-nama tempat pariwisata yang ada di NTB yang sebagian besar menggunakan nama asing (Inggris), walupun ada kata berbahasa Indonesia tapi tetap mendapatkan campuran bahasa Inggris. Penggunaan bahasa Inggris pada namanama hotel secara tidak langsung mengenyampingkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tentu, hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan UU nomor 24 tahun 2009 tentang bendera, bahasa, lembang negara, dan lagu Indonesia raya. Nama-nama hotel tersebut sudah melanggar undang-undang atau konstitusi. Hal ini juga diunggapkan oleh Chair (2013) bahwa penggunaan bahasa Inggris pada nama-nama lembaga dan judul dapat menyebabkan erosi rasa kebangsaan dan juga melanggar konstitusi. Data-data yang menggunakan bahasa asing (Inggris) dalam nama-nama tempat wista dapat menjadi gejala kontaminasi bahasa terutama pada kontaminasi kata. Kontaminasi menurut Slamet (2014:67) ialah suatu gejala berbahasa yang rancu atau kacau susunan, baik susunan kalimat, kata, atau bentukannya. Penggunaan bahasa Inggris pada tempat-tempat pariwisata di NTB bertujuan untuk memikat wisatawan agar mau berkunjung dan menginap di tempat tersebut. Alasan kedua yakni terdapat nilai ekonomis atau nilai jual atas nama tempat pariwisata yang menggunakan bahasa asing (Inggris). Para pelaku pariwisata berpandangan bahwa penggunaan istilah asing (Inggris) untuk tempat pariwisata memiliki daya tarik bagi pengunjung baik Hal 4
JURNAL LINGUISTIK, SASTRA, DAN PENDIDIKAN (JURNALISTRENDI) Vol.1 No.1 Tahun 2016
secara global maupun secara nasional apabila dibandingkan dengan penggunaan bahasa Inggris. Sehingga daya jual produk yang menggunakan bahasa Inggris bersifat global atau internasional. 2) Nama-Nama Kegiatan dan Fasilitas Pariwisata Bahasa asing tidak hanya mengancam keberadaan bahasa Indonesia hanya pada nama-nama tempat atau objek pariwisata, namun hampir pada setiap aktivitas dan fasilitas pariwista menggunakan bahasa asing. Berikut beberapa data tentang penggunaan bahasa asing yang mempersempit ruang penggunaan bahasa Indonesia. Tabel 2. Bahasa Asing dalam Kegiatan dan Nama Fasilitas Pariwisata No Bahasa Asing 1 Check In 2 Check Out 3 Beach hotel 4 convention hall 5 Entrance 6 lobby 7 Visit Lombok Sumbawa 8 Halal tourism 9 Opening Ceremony festival pesona Tambora 10 Travel Awards 2015 11 Kuliner halal 12 Arrivel 13 Boutique hotel 14 Cancel 15 Diving 16 Guest house 17 Souvenir 18 Sunrise 19 Sunset 20 Surfing 21 Gude
Data-data pada tabel 2 tersebut menunjukkan sebagian kecil bahasa asing yang penggunaanya sangat intensif di dunia pariwisata. Jika diobservasi ke tempattempat aktivitas pariwisata maka kata-kata itu akan lebih akrab di telinga pengunjung. Sebagai contoh kata “chack in” yang memiliki padanan dalam bahasa Indonesia yakni “lapor masuk”. Chack in sering kali digunakan di bandara dan hotel ketika penumpang ingin melaporkan keberangkatan dan kedatang di hotel. Masyarakat lokal dari kelas atas hingga kelas bawah lebih akrab menggunakan kata “chack in” daripada “lapor masuk”. Tentu kata tersebut dikatakan dapat mengancam penggunaan bahasa Indonesia. Selanjutnya, kata yang tidak kalah tenarnya dalam dunia pariwista yakni kata “Souvenir”. Kata ini lebih mendominasi daripada kata “oleh-oleh”. Hampir di setiap toko yang menjajakan jualannya di sekitar objek-objek pariwista di NTB lebih akrab menggunakan kata “Souvenir” dari pada kata “oleh-oleh”, sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa penggunaan kata tersebut sangat akrab dalam pendengaran dan pengucapan wisatawan lokal yang seharusnya menggunakan bahasanya sendiri yakni bahasa Indonesia. Contoh-contoh data penggunaan bahasa asing yang dominan dalam dunia pariwista telah menunjukkan lemahnya identitas pengguna bahasa Indonesia di kalangan para penuturnya. Jika permasalahannya bahasa Indonesia memiliki daya ungkap yang lemah dalam istilah-istilah pariwisata tentu itu adalah alasan yang keliru, karena bahasa Indonesia sejak diangkatnya sebagai bahasa nasional tetap berbenah sesuai dengan Hal 5
JURNAL LINGUISTIK, SASTRA, DAN PENDIDIKAN (JURNALISTRENDI) Vol.1 No.1 Tahun 2016
zaman. Sebagai contoh istilah kedokteran yang ada dalam bahasa Indonesia sudah mulai diggunakan ketika zaman kependudukan Jepang di Indonesia, istilah tekhnologi sudah mulai diindonesiakan semenjak tahu 1955, (lihat Sakri, 1993). Tentu penggunaan ketidakbanggan emnggunakan kosa kata bahasa Indonesia telah mencidrai apa yang pernah dirumuskan pada kongres bahasa Indonesia II di Medan 28 Oktober-2 November 1954 membahas tentang perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus menenerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa nasional dan ditetapkan sebagai bahasa negara. Rasa percaya diri dalam penggunaan bahasa Indonesia di dunia pariwista telah menunjukkan kelemahan jati diri kita sebagai bangsa Indonesia karena secara tidak sadar penggunaan bahasa asing telah melunturkan identitas bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa dapat terwujud apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkan bahasa Indonesia sedemikian rupa sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain, (lihat Arifin dan Tasai, 2006:12). Lemahnya penggunaan bahasa Indonesia dalam dunia pariwista akan menimbulkan perubahan-perubahan sosial di kalangan para penuturnya karena bahasa memiliki peran yang sangat penting dalam setiap aspek kehidupan manusia. Hal ini dikemukakan oleh Santoso, (2002:2) hidup di zaman perubahan sosial, sebuah era yang begitu cepat maka betapa amat pentingnya peran bahasa. Dalam konteks demikian, ada tiga hal yang akan terjadi jika bahasa asing lebih
berperan penting dalam dunia pariwista daripada bahasa Indonesia. Pertama, terjadinya perubahan cara pikir dan kontrol sosial di dalam masyarakat. Pola pikir masyarakat akan nampak pada bahasa yang diggunakan. Hal ini juga digambarkan oleh Hasyashi dan hasyashi (dalam Santoso, 2002) bahwa relasi-relasi kuasa itu amat tampak dalam penggunaan bahasa. Dengan demikian secara tidak sadar penggunaan istilah asing dalam dunia pariwisata telah membuat pola pikir pengguannya mengalami perubahan dan mengikuti pola pikir pemilik bahasa yang diggunakan. Sehingga tidak mengherakan jika dalam praktik-praktik dalam dunia pariwisata lebih didominasi dengan kultur budaya barat. Hal ini tercermin dari tata kelola pariwista, makanan, dan gaya berpakaian. Hal ini diperkuat oleh pendapat Kuswarno, (2011: 6) yang mengatakan bahwa komunikasilah yang melahirkan masyarakat atau kesatuan-kesatuan sosial. Kedua, terjadinya praktik-praktik bahasa, seperti: munculnya alih kode, bentuk gaya bicara yang berbeda, dan isi pembicaraan. Penggunaan bahasa asing nampak pada praktik-praktik kebahasaan seperti munculnya alih kode karena penutur menggunakan dua bahasa. Ini tidak jarang terjadi pada orang yang menuturkan dua bahasa yang berbeda. Selain itu, praktik kebahasaan yang muncul akibat dari penggunaan bahasa asing yakni terjadinya perubahan gaya bicara dan isi dari pembicaraan. Orang yang sering menggunakan bahasa asing dalam berkomunikasi sering memiliki gaya berbahasa kebarat-baratan. Ketiga, minat menghargai, menjaga, dan mempelajari bahasa Indonesia semakin berkurang. Dengan penggunaan bahasa asing Hal 6
JURNAL LINGUISTIK, SASTRA, DAN PENDIDIKAN (JURNALISTRENDI) Vol.1 No.1 Tahun 2016
terlalu berlebihan akan menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia semakin terpinggirkan dan diremehkan oleh penuturnya sendiri. Faktanya di lapangan dapat dilihat dengan menjamurnya lembagalembaga kursus bahasa asing, guru-guru di sekolah lebih bangga melihat siswanya pintar berbahasa asing daripada berbahasa Indonesia. Setiap orang yang ingin bekerja di dunia pariwisata diharuskan mahir berbahasa asing (Inggris). Fakta-fakta tersebut sudah seharusnya menjadi bahan kajian para pemegang kendali terutama yang bertanggung jawab terhadap pemibinaan dan pengembangan bahasa Indonesia agar lebih berperan aktif menanamkan kepada masyarakat agar mau mencintai dan menghargai bahasa Indonesia. Hal ini tentu tugas dari Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa Indonesia. Pembinaan dan pengembangan Bahasa Indonesia tidak hanya berorientasi pada proyek musiman namun lebih mengedepankan tanggung jawab moral sebagai orang yang memiliki tanggung jawab yang besar. C. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa asing (Inggris) dalam dunia pariwista di NTB lebih mendominasi daripada penggunaan bahasa Indonesia dikarenakan beberapa hal yang pertama dilihat dari sisi ekonomis, daya tarik, dan kepercayaan diri. Namun penggunaan bahasa asing yang berlebihan akan menimbulkan tiga hal. Pertama, terjadinya perubahan pola pikir dan perilaku sosial dalam masyarakat. Kedua, terjadinya praktik-praktik kebahasaan,
seperti: terjadinya alih kode, gaya bicara yang berbeda, dan munculnya istilah-istilah asing. Ketiga, penggunaan bahasa Indonesia dalam dunia pariwisata dapat mengurangi minat untuk menghargai, mencintai, dan mempelajari bahasa Indonesia. Daftar Pustaka Arifin dan Tasai. 2006. Cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Akapres. Cahir, Abdul. 2013. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Hutasuhut, Atharudin. 2004. Bahasa Indonesia dalam Dunia Pariwisata. (diunduh melalui www.balaibahasaprovinsisumatrauatara .com) diakses pada 23 Maret 2016. Kemendikbud. 2011. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta lagu Kebangsaan. Jakrta: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. Kuswarno, Engkus. 2011. Etnografi Komunikasi. Padjajaran: Widya padjajaran. Muslich dan Oka. 2011. Perencanaan Bahasa Pada Era Globalisasi. Jakarta: Bumi Aksara. Sakri, Adjat. 1988. Ilmuan dan Bahasa Indonesia. Bandung: ITB. Santoso, Anang. 2002. Studi Bahasa Kritis. Bandung: CV. Mandar Maju. Slamet. 2014. Problematika Berbahasa Indonesia dan Pembelajarannya. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hal 7
JURNAL LINGUISTIK, SASTRA, DAN PENDIDIKAN (JURNALISTRENDI) Vol.1 No.1 Tahun 2016
Hal 8