1
Analogi Permainan Ricoeur dalam Imajinasi Sastra* Imajinasi Melampaui Sangkar Moral Oleh Haryatmoko
Salah satu kategori hermeneutika Ricoeur adalah apropriasi atau pemahaman diri. Pemahaman diri menandai pertemuan antara dunia yang disarankan oleh teks dan dunia kongkrit pembaca/penafsir. Gadamer menggunakan istilah peleburan cakrawalacakrawala (fusion of horizons) untuk menyebut pertemuan dua dunia atau sering lebih dari sekedar dua dunia. Peleburan karena pembaca tidak mungkin mengambil alih dunia teks secara keseluruhan dan meninggalkan dunia aktual yang dihayatinya sekarang, sehingga ia tidak membiarkan dunianya tetap dan sekaligus tidak menolak dunia yang ditawarkan teks. Dunia pembaca mengalami transformasi. Kategori ini langsung berkaitan dengan keberadaan pembaca/penafsir. Oleh karena itu Ricoeur juga menggunakan istilah transfigurasi (mimesis III) tindakan manusia. Ini terjadi berkat pengaruh teks yang dibaca atau dihayati sehingga mengubah dirinya atau membantu memahami diri dengan lebih baik. Dalam proses pemahaman diri ini, pengambilan jarak terhadap diri sendiri merupakan prasyarat mutlak agar tidak terjadi distorsi makna dan agar dapat merelativisir kesewenang-wenangan di dalam penafsiran. Pengambilan jarak ini selain aspek kritis atau negatif, juga bersifat kreatif karena akan memperkaya dan memurnikan pemahaman diri. Pengambilan jarak ini bisa berbentuk kritik ideologi, dekonstruksi, dan variasi imaginasi atau analogi permainan. Kritik agama yang dilontarkan oleh Marx, Nietzsche dan Freud sangat besar artinya di dalam pemurnian pemahaman iman. Kritik agama ini terbentuk di luar proses hermeneutika, sebagai kritik ideologi, sebagai kritik atas prasangka-prasangka dan ilusiilusi agama (Ricoeur, 1986:131). Filsafat Marx yang mau membongkar kesadaran palsu dipakai oleh Ricoeur sebagai bentuk kritik ideologi. Pada gagasan Marx, Ricoeur melihat suatu visi yang penuh motivasi tentang manusia baru yang berusaha mengatasi alienasi. Nietzsche dianggap membantu melihat secara jernih bahwa hanya dalam kejujuran dan kemampuan mengontrol diri, pemahaman yang benar terhadap hasrat akan
2 kekuasaan bisa terjadi, namun perspektivisme telah mengecewakan karena membentuk gagasan yang berat sebelah. Perspektivisme menganggap yang riil atau kebenaran tergantung pada perspektif yang dipilih. Pilihan perspektif tergantung pada nilai, kepentingan dan tujuan yang diistimewakan oleh subyek. Semua perspektif selalu sudah aksiologis atau diarahkan nilai. Tidak ada perspektif melulu logis, bebas nilai, atau obyektif. Kebenaran merupakan sekelompok fenomena yang diseleksi dan dikumpulkan oleh penafsir. Teks yang sama memungkinkan sejumlah penafsiran, tidak ada penafsiran paling tepat, atau yang berhak mendasari yang lain (G.Hottois, 1997:211). Freud yakin pada realitas bawah sadar yang hanya bisa dipahami melalui fenomena yang dimengerti sebagai bahasa hasrat. Bahasa hasrat ini mempertanyakan semua bentuk pendakuan karena semua makna akan dipertanyakan “apa makna yang dimaksud sesungguhnya” di balik yang terungkap. Maka dari perspektif Freud, masalah penafsiran bukan hanya mengoreksi kesadaran dari kekeliruan tertentu, tetapi lebih untuk mengatasi kesadaran palsu sedemikian rupa sehingga bukan hanya memerlukan penelitian, namun penyembuhan (J.E.Smith 1995:158). Secara mendalam Ricoeur membahas perspektif Freud ini di dalam bukunya Le conflit des interprétations (1969). Bagi pemahaman hermeneutika yang memusatkan diri pada teks, kritik ini sekaligus merupakan pengakuan terhadap serangan dari luar, yang mungkin bisa destruktif, tetapi kemudian diubah menjadi alat otokritik untuk pemurnian diri. Maka jawaban atas kritik itu bukan lagi apologi, tetapi penjinakan serangan yang datang dari luar untuk kepentingan pemurnian di dalam pemahaman diri yang lebih baik. Selain itu bentuk distansiasi yang mirip dengan kritik ideologi adalah dekonstruksi. Dengan dekonstruksi pembaca diajak untuk membongkar ilusi-ilusi, motivasi-motivasi baik yang sadar atau bawah sadar, serta kepentingan-kepentingan diri atau kelompok di depan teks. Kalau kritik ideologi dan dekonstruksi merupakan bentuk negatif dari pengambilan jarak terhadap diri sendiri, variasi imaginatif atau analogi permainan merupakan bentuk positifnya. Permainan adalah suatu bentuk pengambilan jarak terhadap diri yang diwarnai oleh kehidupan yang serius dan formal. Permainan bisa membantu membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang terpenjara oleh pemikiran yang terlalu serius. Permainan juga membuka kemungkinan-kemungkin subjek untuk berubah yang tidak dimungkinkan oleh visi yang melulu moral. Dengan kata lain, permainan bisa
3 mendorong tumbuhnya inisiatif dan kreativitas karena dengan permainan subjek dibebaskan dari norma sosial dan keseriusan sehari-hari. Dengan demikian nampak fenomena dasariah, proses lahirnya kreativitas, bahwa pertama-tama di dalam imajinasi lah terbentuk “ada yang baru”, dan bukan di dalam kehendak. Kemampuan untuk ditangkap oleh kemungkinan-kemungkinan baru mendahului kemampuan untuk memilih dan mengambil keputusan. Imajinasi adalah dimensi dari subjek yang menjawab teks sebagai puisi (yang menciptakan sesuatu). Jadi pertama-tama kepada imajinasi suatu teks itu ingin berbicara dengan mengusulkan kemungkinankemungkinan baru dan gambaran-gambaran yang membebaskan diri subjek. Dalam sastra dan seni, imajinasi adalah penggerak kreativitas. Sastra bagai canda ria dan derai tawa kegembiraan kala kebebasan kanak-kanak ditemukan kembali. Ia bisa menjadi tangisan pilu menyayat saat kepedihan larut menjadi penderitaan tak tertanggungkan lagi. Sastra penuh belarasa pada korban, meski bisa agresif naif karena ketulusannya. Gambar sastra penuh kepolosan, namun indah, bisa lahir dari hasrat seni untuk merengkuh beragam paradigma kehidupan. Hasrat melahirkan gagasan-gagasan yang subur sehingga sastra mampu mengungkapkan konsep yang paling pelik melalui kisah dan puisi ke dalam rumusan bahasa sehari-hari. Dari konsep kenotik (pengosongan diri) Dostoevsky dalam Idiot sampai ke ide kebebasan Sartre dalam L’âge de raison, keinginan untuk tidak dijerat oleh pembatasan tabu mendapat tempat yang nyaman di dalam sastra.
Sastra, Imajinasi dan Tabu Dunia orang dewasa melarang banyak hal yang dianggap tidak sesuai dengan aturan moral sehingga keceriaan kanak-kanak tidak dapat dikenali lagi. Bahkan imajinasi ingin diatur, dibatasi atau dilarang. Pembatasan itu membuat orang tidak mengenali lagi hasrat dirinya. Padahal ambisi sastra adalah menjadi ruang tumbuh segala bentuk paradigma kehidupan. Untuk mendefinisikan kembali hasrat pada dirinya yang lama telah dibatasi oleh dunia satu dimensi, dunia yang hanya ditentukan oleh definisi baik dan jahat, orang harus mengacu kepada yang indah. Maka untuk menemukan kembali dunia kanak-kanak yang penuh imajinasi perlu ada pelanggaran terhadap larangan-larangan. Hanya permainan
4 mampu melepaskan orang dari dunia yang dijejali dengan larangan-larangan dan sanksisanksi. Sastra menyediakan tempat bermain di dalam kesungguhan. Melalui sastra akan terpenuhi keinginan untuk memisahkan diri dari dunia agar dapat memeluk erat kehidupan yang penuh. Hidup semacam ini memungkinkan menyingkap dalam kreasi seni apa yang ditolak oleh realitas. Dalam dunia sastra dimungkinkan pertaruhan virtualitas yang kadang sulit diterima oleh penalaran yang berakar pada realitas. Cinta Myshkin terhadap Nastasya, dalam Idiot karya Dostoevsky, berakar kuat pada belarasa, bukan hanya eros. Meski yang terakhir ini juga tampil tanpa harus mencolok terungkap dalam kerinduannya untuk dekat dengan Nastasya. Cinta sang pangeran ini mempunyai motif menyelamatkan kecenderungan gadis jelita ini untuk menghancurkan diri sebagai akibat dari pelecehan para lelaki yang hanya mengejar kesenangan diri. Nastasya muak dengan hidupnya karena dirinya hanya diukur dengan uang. Dari mana imajinasi tentang tokoh lemah penderita epilepsi, tidak menarik secara fisik, tapi menjadi pusat perhatian tidak hanya tokoh-tokoh novelnya, juga para pembaca novel ini? Dunia fiksi sanggup memukau tanpa harus lahir dari gambaran klise seorang pahlawan jagoan dengan wajah tampan penuh simbol kejantanan. Hal serupa juga ditemukan dalam karya Jean-Paul Sartre L’âge de raison , Mathieu yang menolak menikahi Marcelle melihat keputusannya sebagai bentuk afirmasi kebebasan, sedangkan Daniel memutuskan menikahi Marcelle, pacar Mathieu yang sedang
hamil,
sebagai
ungkapan
ketidakmampuan
dirinya
menerima
realitas
homoseksualitasnya. Gagasan kebebasan dan mauvaise foi (bad faith) yang dirumuskan dalam filsafat Sartre (L’être et le néant) begitu abstrak dan spekulatif, sedangkan ditulis dengan gaya narasi justru bisa menemukan bentuk yang begitu sederhana dan kongkrit. Bentuk-bentuk pemecahan terhadap komplikasi alur cerita yang tak terduga lahir. Imajinasi kaya yang jarang ditemui di dalam realitas kehidupan, namun memberi inspirasi, bukannya tidak mungkin. Dunia riil orang dewasa manakah akan bisa menerima keputusan seperti itu?
Lintasan Makna: Dunia Baru yang Dibuka Teks Bagi banyak sastrawan, kebebasan menjadi sangat penting mengingat nilai-nilai moral sudah sangat mengakar dalam hidupnya. Imajinasi yang menjadi sumber
5 kreativitas membutuhkan pembebasan itu. Seperti Emily Brönte dalam Wuthering Heights mampu mengatasi prasangka tatanan moral. Dengan demikian berkembang beragam kehidupan. Pembebasan total dari masyarakat yang melulu ditata oleh moral membawa kepada dunia yang tidak tahan lagi terhadap rasionalitas yang penuh perhitungan. Dengan demikian pembaca dibawa ke dunia baru yang dibuka oleh teks. Dunia baru yang dibuka oleh teks ini sangat terasa juga dalam kumpulan puisi Sindhunata Air Kata-Kata (2005). Dalam beberapa puisinya (RepKedhep, 2003:24-27; Ngelmu Pring 40; Balada Sebuah Bokong 50-55), kalau hanya terpaku pada kata-kata yang digunakan, pembaca akan tergoda menghakimi sebagai tidak senonoh. Jika penafsiran dipahami hanya sebagai reproduksi maksud pengarang, pembaca cenderung mencari latar belakang pengarang. Pembaca tentu akan terkejut dan tidak percaya bahwa pengarang adalah seorang pastor. Lalu penafsiran akan kandas karena adanya ketidaksesuaian antara latar belakang penulis dengan teks buah goresannya. Dunia kepastoran sarat dengan tatanan moral yang tentu tidak akan membiarkan penulis tega memilih menggunakan khasanah kata seperti itu. Karena menafsirkan merupakan upaya untuk memproduksi makna, pembaca akan menyadari bahwa justru puisi-puisi tersebut berhasil membebaskan pengarang keluar dari prasangka moral untuk membuka dunia baru bagi para pembacanya. Cakrawala penulis mengantarkan ke dimensi baru terhadap pemaknaan kata-kata yang digunakannya. Lalu menjadi menarik karena persetujuan terhadap pelanggaran tatanan moral (mungkin lebih tepat bila dikatakan penciptaan dunia hipermoral) tidak lagi dilihat sebagai ingkar janji terhadap komitmen kebaikan, namun bentuk komitmen untuk memeluk hidup penuh yang seluruhnya berpusat pada saat sekarang ini. Khasanah kata yang kalau dilihat dengan mata telanjang berkisar pada seks ternyata mampu menyingkapkan dunia baru. Persis seperti yang dibidik Paul Ricoeur bahwa menafsirkan adalah pertama, “mencari di dalam teks dinamika yang diarah oleh strukturasi karya; kedua, mencari di dalam teks kemampuan untuk memproyeksikan diri ke luar dari dirinya dan melahirkan dunia yang merupakan pesan utama teks” (1986). Dunia baru itu lahir karena kemampuan mengatasi diri. Seksualitas yang terungkap melalui seni ekspresi adalah ungkapan negasi terhadap kesendirian “aku”. Negasi ini hanya bisa mencapai puncaknya dengan melampaui diri dalam suatu
6 cengkeraman. Tetapi dalam cengkeraman itu justru kesepian meluruh. Kesepian lenyap karena di balik cinta penuh hasrat dengan daya tarik sensualitas tubuh hubungan menjadi sangat intensif. Intensitas hubungan bisa berlangsung karena tanpa disadari kematian membayangi. Seksualitas melibatkan kematian, bukan hanya karena kelahiran manusia baru memperpanjang atau menggantikan yang hilang, namun karena dalam seksualitas yang dipertaruhkan adalah masalah reproduksi diri (G.Bataille, 1957:12). Erotisme menjadi alat untuk mengungkapkan jawaban “ya” terhadap kehidupan, meski kematian membayangi. Dari perspektif ini, poligami nampak sebagai upaya meyakinkan diri seakan mampu mengusir bayang-bayang kematian dengan selalu menciptakan hubungan baru dan ambisi hidup baru. Maka tokoh Tomas, dalam Unbearable Lightness of Being karya Milan Kundera, meski sangat mencintai Teresa masih juga tertarik pada Sabina dan mudah tergoda oleh perempuan-perempuan lain. Takut akan kesepian mencerminkan bahwa saat kesepian, bayangan kematian menjadi nyata. Hubungan seksual mengusir bayangan itu karena kebersamaan berarti mencipta diri kembali, memberikan diri sekaligus afirmasi kekuasaaan. Erotisme dalam sastra menjadi narasi yang menjembatani waktu, dalam arti menunda waktu kematian dengan mengantisipasi melalui tindak reproduksi. Hal ini menunjukkan bahwa waktu terstruktur sebagai kisah. Tanpa narasi tidak ada pintu masuk ke waktu, kata Paul Ricoeur. “Waktu tidak membiarkan diri terungkap di dalam wacana langsung tentang fenomenologi, tetapi menuntut mediasi wacana naratif yang tidak langsung (1985:435). Jadi kalau narasi memberi struktur terhadap waktu, pengalaman manusia yang berlangsung dalam waktu selalu bersifat kebahasaan. Maka apapun bentuk kisah selalu mengandung paradigma kehidupan. Hal ini dimungkinkan karena tindakan manusia selalu merupakan tiruan (mimesis). Ada tindakan meniru dalam bentuk pengulangan, ada peniruan lebih miskin dan ada peniruan yang kreatif. Dalam sastra, narasi bisa mengambil bentuk ketiganya. Salah satu kekuatan sastra ialah membantu pembaca untuk bercermin dan menemukan kemanusiaannya tanpa harus merasa digurui. Bukan memperkosa teks yang dilakukan oleh pembaca ketika menafsirkan yang dibacanya, tetapi masuk di dalam lintasan makna teks. Dengan demikian, pembaca tidak terjebak pada mencari maksud
7 pengarang, namun mau menyingkap makna teks. Bukan mengutamakan reproduksi maksud pengarang, namun memproduksi makna. Beberapa tahun lalu penulis menerima buku kumpulan puisi dari Anne Lecocq, penyair Perancis kontemporer. Pesannya singkat: “Jangan tanya saya, apa maksud goresan-goresan kata-kata itu!”. Pesan Anne Lecocq ini jelas, hasrat pengarang untuk mengkomunikasikan diri dengan dunia pembacanya lebih kuat dari pada keinginan menyampaikan pesan. Itulah arti suatu lintasan makna. Bukan maksud pengarang yang diutamakan, melainkan dunia baru yang dibuka teks yang ditawarkan. Dunia baru yang dibuka teks menjadi mungkin ketika terjadi peleburan cakrawala teks dan cakrawala pembaca/penafsir (Gadamer, 1976). Peleburan karena pembaca tidak mungkin mengambil alih dunia teks seluruhnya dan meninggalkan dunia aktual yang dihayatinya. Ia tidak membiarkan dunianya tetap, namun sekaligus tidak menolak dunia yang ditawarkan teks. Dunia pembaca mengalami transformasi atau transfigurasi karena teks pada akhirnya mampu mengubah diri pembaca untuk memahami diri lebih baik. Peleburan cakrawala-cakrawala itu tak hendak mengkhianati lintasan makna yang digariskan oleh teks. Maka semangat pemberontakan menemukan kendaraan yang komunikatif di dalam sastra.
Sastra Memecah Kesunyian Penindasan Warna pemberontakan dalam sastra mengingatkan pada Emily Brönte, pengarang Wuthering Heights (ketinggian di mana angin merajalela). Penulis ini hidup dalam diam. Hanya satu yang memecahkan kesunyiannya, yaitu sastra. Sastra telah memecah kesunyian penindasan dunia perempuan atas nama tradisi, agama atau tatanan sosial patriarkis. Catherine Earnshaw (representasi Emily Brönte) sanggup menerima kekasaran dan kejahatan Heathcliff karena cintanya. Erotisme di dalam novel ini menjadi jawaban “ya” terhadap kehidupan sampai pada kematian. Menjadi jelas bahwa landasan pengungkapan seksualitas adalah bentuk negasi terhadap kesendirian “aku”. Erotisme, entah dalam bentuk cinta penuh hasrat atau sensualitas tubuh, selalu disertai intensitas perasaan karena kematian membayanginya. Emily Brönte yang dibesarkan dalam lingkungan Protestan yang saleh dan ketat, ingin keluar dari isolasi rigiditas moral lingkungannya. Ia mampu melukiskan kejahatan yang
8 sedemikian rupa, padahal sebetulnya merupakan dunia yang jauh darinya. Ternyata kejahatan bukan monopoli orang jahat, melainkan impian orang saleh juga. Kematian merupakan hukuman yang dicari dan diterima oleh impian gila itu. Subyek novel adalah pelanggaran hukum yang tragis. Penulis melandaskan emosinya pada simpati
yang dirasakan terhadap
pelanggaran. Dengan mengalami, ia mengomunikasikan diri dengan pelaku pelanggaran. Silih dilakukan dengan terlibat di dalam pelanggaran. Derita cinta yang tak acuh terhadap yang ragawi menjadi sangat simbolis bagi kebenaran cinta yang paling dalam karena kematian selalu akan membayangi. Yang menarik dari novel ini ialah bahwa mabuk ilahiah tidak tahan terhadap dunia rasional yang penuh perhitungan. Lupa diri surgawi tidak peduli terhadap kategori kebaikan. Kebaikan didasarkan pada pertimbangan yang akan datang, sedangkan mabuk ilahiah seluruhnya berpusat pada masa sekarang. Dalam L’âge de raison, Sartre menggambarkan mabuk dewani yang tak peduli lagi terhadap dunia yang penuh perhitungan itu dalam keputusan Mathieu untuk tidak menikahi Marcelle karena hasrat untuk menjadi dirinya sendiri. “Ingin menjadi diri saya sendiri. Itulah satu-satunya kebebasan yang masih saya miliki. (…) Saya tidak memerlukan kehendak untuk menikahi Marcelle. Cukup membiarkan diri saya. Ia merasa melihat kebebasannya. Kebebasan itu serasa di luar jangkauannya, muda, penuh fantasi dan mudah berubah. Kebebasan itu menyuruh Mathieu untuk meninggalkan Marcelle…kebebasan yang tidak dapat dijelaskan ini mengambil bentuk kejahatan” (1945:272). Namun hasrat untuk tidak hanya membiarkan diri diseret oleh arus siklus kehidupan membuka kebaharuan yang membuat pembaca berpikir. Lupa diri menemukan topangannya pada masa sekarang. Sedangkan kebaikan selalu melibatkan pertimbangan yang akan datang. Dalam perspektif ini, kelihatan bahwa hidup tidak hanya diukur dari pertimbangan moral. Imajinasi mau menyodorkan paradigma kehidupan alternatif. Hal ini dapat dipahami karena ada dua sisi tindakan, yaitu tahap pertimbangan dan sisi hasil tindakan. Di antara keduanya ada jurang. Jarak atau ruang kosong ini diisi oleh substansi moral yang mengambil bentuk suatu kisah. Maka penderitaan dalam kehidupan tokoh-tokoh tragis menjadi wilayah pemahaman dan belajar (Maria Pia Lara 2001:243).
9 Bukan Menggurui, tapi Mengatasi Prasangka Moral Seperti Emily Brönte mampu mengatasi prasangka tatanan moral, sastra tidak mau terjebak di dalam pertimbangan baik/jahat. Dengan demikian berkembang ilustrasi yang beragam tentang paradigma kehidupan. Sastra menolak menggurui, namun menawarkan pilihan dan memupuk imajinasi. Maka ia menjadi sumber pembebasan. Pembebasan dari masyarakat yang ditata melulu menurut moral perlu diperjuangkan. Dalam tatanan moral, spontanitas dan improvisasi meredup, namun kemunafikan tetap tinggal. Imajinasi diatur dan dibatasi, tapi kehendak menjadi kaku. Maka yang indah diabaikan. Sastra tidak bisa dipisahkan dari keindahan, maka menolak dikekang. Melalui sastra, terungkap kerinduan untuk memisahkan diri dari dunia yang penuh aturan agar dapat memeluk hidup yang penuh. Tumbuh hasrat untuk menyingkap, melalui kreasi seni, apa yang ditolak oleh realitas. Pertaruhan virtualitas ini tidak perlu dicurigai. Bukan filsafat, bukan teologi, bukan pula teori formal yang dapat dengan lebih baik membela penindasan dan penderitaan perempuan, tetapi sastra mampu mengisahkan lebih nyaman belarasa dan perjuangan perempuan. Filsafat dan teologi yang lama menjadi alat dominasi laki-laki melalui wacana berupaya memahami kekejaman, penderitaan, penindasan dan semua bentuk kekalahan perempuan masih menyisakan bias analisa. Kelemahan ini tentu tidak pada tempatnya bila dibandingkan dengan kedalaman, intensitas dan kekayaan makna kisah yang dituturkan dengan indah. Masalahnya,baik agama atau filsafat tidak bisa membangun teori tentang yang baik dan yang jahat tanpa bantuan metafisika. Oleh karena itu narasi religius cenderung apologetis karena mau memadukan keyakinan akan transenden dengan pengakuan adanya kejahatan di dunia. Memang, Leibniz berhasil menunjukkan bahwa Tuhan tidak bisa dilibatkan dalam adanya kejahatan di dunia. Meski realitas akan selalu mengandung kejahatan, Leibniz menulis dunia ini terbaik dari semua dunia yang mungkin (Maria Pia Lara 2001:240). Dengan demikian ia membuka ruang bagi estetika untuk memainkan peran penting di dalam berpikir dan menafsirkan kejahatan dan bentuk-bentuk pelanggaran norma tanpa harus jatuh dalam kategori penilaian baik/jahat. Sisi ini dengan bagus diisi oleh sastra. Sastra dan Mistisisme: Kebebasan demi Kreativitas Pada akhirnya, pelanggaran terhadap tatanan yang ada, dalam L’âge de raison, justru menolong memberi makna pada perjuangan Mathieu untuk mengenyam kebebasan.
10 Memang konsep kebebasan yang terwujud dalam diri tokoh Mathieu ini mendapat koreksi dari tokoh Bonet dan Daniel. Kalau pada Mathieu, kebebasan lebih menekankan pada pengobyekkan atau negasi terhadap yang lain, sedangkan pada tokoh Bonet dan Daniel kebebasan justru mau menggambarkan komitmen demi orang lain. Dengan demikian kebebasan justru dilihat dari kemampuan seseorang menegasi egonya. Dua posisi kebebasan digambarkan sekaligus dari aspek moral dan hipermoral. Pelanggaran terhadap tatanan moral yang berlaku itu semakin terasa pada karya Sade. Sade menantang, seperti dikutip oleh G.Bataille: “Hei manusia! Apa hakmu bisa mengatakan yang baik dan yang jahat? Kau mau memeriksa hukum alam, dan hatimu…hatimu yang di dalamnya tertulis hukum itu merupakan enigma yang engkau sendiri tidak tahu jalan pemecahannya” (1957:83). Sade seakan memang menghendaki yang jahat karena yang jahat tidak dapat menghukum, tetapi tidak dapat juga memberi pembenaran. “…nikmati, sahabatku, nikmati dan jangan mengadili…nikmati, bujukku, biarkan alam menggerakanmu seturut keinginannya, dan biarkanlah yang abadi menghukummu. Jika terlepasnya hasrat-hasrat itu dikutuk, setidaknya kutukan itu, bila ada yang membelokkan, bukan karena kejahatan” (1957:84). Dari situ kelihatan bahwa hanya sastra bisa menelanjangi permainan pelanggaran norma. Mengapa? Sastra sering dibandingkan dengan mistisisme, bukan dalam arti sistem pemikiran, namun dalam arti pengalaman mistik yang dirasakan di dalam kesepian dan keheningan. Ada dua hal yang menempatkan sastra sejajar dengan pengalaman mistik. Pertama, kematian dalam arti hancurnya sistem individu yang terisolasi dalam pencarian kebahagiaan. Mistik biasanya mengandalkan pada kematian diri. Apa yang ditemukan kembali di dalam pengalaman seperti itu ialah terlepas dari rasa bersalah serta terangkat ke suasana trans. Kedua, dengan lenyapnya diri yang terisolasi itu membantu masuk ke realitas yang melampaui batas-batas bersama. Seperti halnya gerak kanak-kanak, pelampauan batas-batas itu terjadi berkat gerak hasrat. Hasrat tidak sistematis karena bukan dari kehendak yang dipikirkan. Hasrat tidak peduli apakah gambar dunia sesuai dengan tuntutan koherensi. Intensitas hasrat akan mengatasinya. Hasrat lebih mau merasakan lamanya kenikmatan di dalam lenyapnya diri, meski gerak pertama melupakan diri adalah demi yang lain. Kalau sastra dibebaskan dari
11 rigoritas moral, ia akan seperti mistisisme sejauh sebagai kontemplasi yang dibebaskan dari refleksi sehingga memiliki kesederhanaan derai tawa kanak-kanak. Sastra tidak bisa bila harus memperhitungkan kewajiban memenuhi tugas mengatur keperluan kolektif (G.Bataille, 1957). Sastra tidak mungkin menyimpulkan: “Apa yang saya katakan menuntut saya untuk menghormati hukum yang mengatur negara”. G. Bataille dengan jeli mengatakan: “Sastra sendiri merupakan bentuk pelanggaran hukum dan moral. Sastra itu berbahaya. Karena tidak merupakan organisme, sastra tidak bisa dituntut tanggung jawabnya. Sastra bisa mengatakan segalanya” (Bataille, 20-21). Maka sastra menjadi sangat berbahaya bila menjadi alat atau ekspresi orang-orang yang terlalu melandaskan karyanya pada nilai-nilai moral. Kepolosan dan aspek pemberontakan akan diredam. Padahal dalam sastra pemberontakan adalah dimensi yang paling menonjol. Tugas otentik sastra hanya dapat dipahami di dalam hasrat untuk komunikasi dengan pembaca. Kreativitas penulis sastra diukur dari kemampuannya mengkomunikasikan ke dunia pembaca. Untuk bisa kreatif justru perlu jarak terhadap kehidupan yang terlalu diatur oleh keprihatinan moral. Analogi permainan merupakan pengambilan jarak yang positif (P.Ricoeur, 1986). Permainan merupakan bentuk pengambilan jarak terhadap kehidupan yang terlalu formal dan serius. Di dalam permainan, seseorang dibebaskan dari ketakutan terhadap norma-norma sosial dan sanksi-sanksinya, dari keseriusan hidup dan tekanan hirarki sosial. Permainan membantu kita menyingkap kemungkinan-kemungkinan baru yang terpenjara oleh pemikiran-pemikiran yang terlalu serius. Tindakan-tindakan kreatif tidak akan berkembang bila visi kehidupan dibatasi hanya pada pertimbanganpertimbangan moral. Moral cenderung memaksakan pembatasan atau larangan pada manuver imajinasi. Padahal, kebebasan merupakan tanah yang subur bagi kreativitas. Melalui permainan, fenomena dasariah mekar, yaitu proses kelahiran kreativitas. Pertama-tama di dalam imajinasi, dan bukan di dalam kehendak, kreativitas-kreativitas baru bermunculan. Mengapa? Karena kemampuan ditangkap oleh kemungkinankemungkinan baru mendahului kemampuan untuk memilih atau memutuskan. Imajinasi merupakan dimensi pada diri orang yang menjawab teks secara puitis.
*) Makalah ini merupakan perbaikan dari artikel penulis yang pernah dimuat di Majalah BASIS, no.9-10, Tahun 54, September-Oktober, 2005, hal. 13-18.
12 BACAAN ACUAN Bataille, Georges, 1957: L’Erotisme, Paris: Minuit. Bataille, Georges, 1957: La littérature et le mal, Paris: Gallimard. Brönte, Emily, 1945: Wuthering Heights, London: The Continental Book. Dostoevsky, Fyodor, 1965: The Idiot, New York: Bantam Books. Gilbert, Muriel, 2001: L’identité narrative, Genève: Labor et Fides. Hottois, Gilbert, 1997: De la Renaissance ā la Postmodernité, Bruxelles: De Boeck Kundera, Milan, 1984: The Unbearable Lightness of Being, translated by M.Henry Heim, New York: Harper & Row. Lara, Maria Pia (ed.), 2001: Rethinking Evil, Berkeley: University of California Press. Lasch, Christopher, 1978: The Culture of Narcissism, New York: W.W.Norton. Ricoeur, Paul, 1969, Le conflit des interprétation. Essais d’herméneutique I, Paris:Seuil -----------------, 1975 : La Métaphore vive, Paris: Seuil. -----------------, 1983; Temps et récit. L’intrigue et le récit historique, tome I, Seuil, Paris, 1983 -----------------, 1984: Temps et récit. La configuration dans le récit de fiction, tome II, Paris: Seuil -----------------, 1985: Temps et récit. Le temps raconté, tome III, Paris: Seuil -----------------, 1986: Du texte à l’action. Essais d’herméneutique II, Paris: Seuil. -----------------, 1991: Soi-même comme un autre, Paris: Seuil Sartre, Jean-Paul, 1945: L’âge de raison, Paris: Gallimard. Sindhunata, 2003: Air Kata Kata, Galang Press, Yogyakarta.