ANALISIS STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BERBASIS EKOSOSIOSISTEM (Studi Kasus Tahura Wan Abdul Rachman Di Propinsi Lampung)
NURUL FAJRI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis: ANALISIS STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BERBASIS EKOSOSIOSISTEM (Studi Kasus Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung) adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Desember 2006
Nurul Fajri NRP: P052034041
ABSTRAK
NURUL FAJRI. Analisis Strategi Kebijakan Pengelolaan Taman Hutan Raya Berbasis Ekososiosistem (Studi Kasus Tahura Wan Abdul Rachman Di Propinsi Lampung). Dibimbing oleh ANDRY INDRAWAN dan ARZYANA SUNKAR.
Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui karakteristik permasalahan di Tahura Wan Abdurrahman, membuat strategi yang tepat dalam pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman yang komprehensif dan berbasis ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, menyajikan peta kesesuaian ruang pemanfatan dalam kaitan pengelolaan tahura WAR berkelanjutan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini dengan menggunakan metode deskriptif.kualitatif dan kuantitatif. Analisis karakteristik permasalahan kawasan Tahura WAR dilakukan dengan menggunakan metode tabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Analisis strategi kebijakan pengelolaan Tahura WAR menggunakan metode PHA (Process Hierarki Analitic) dan SWOT. Sedangkan metode Sistem Informasi Geografis digunakan untuk memberikan arahan pemanfaatan ruang Tahura WAR secara optimal berdasarkan hasil analisis strategi kebijakan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik permasalahan yang mengakibatkan terjadi kerusakan kawasan tahura WAR antara lain: 1) adanya keterserdiaan sumberdaya lahan, 2) adanya oknum petugas yang tidak disiplin, 3) penegakan hukum yang tidak tegas dan tuntas, dan 4) adanya motif sosial ekonomi dan aspek kesejahteraan. Hasil analisis AHP terhadap bentuk pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman menunjukkan bahwa bentuk strategi yang paling utama adalah melakukan strategi pengelolaan secara ekowisata dengan bobot sebesar 0.402 (40,2%), kemudian diikuti strategi pengelolaan gabungan antara Ekowisata-Agroforestry dengan bobot sebesar 0,386 (38,6%) selanjutnya strategi pengelolaan secara Agroforestry dengan bobot sebesar 0,212 (21,2%). Strategi operasional yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah : 1) Menurunkan para perambah yang berada di sekitar kawasan yang tidak memiliki izin sebelumnya, 2) Mengkoreksi kembali kebijakan yang telah dibuat seperti misal pemberian izin kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan di kawasan tahura yang merupakan kawasan konservasi, padahal berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 hal tersebut dilarang, 3) Menindak tegas para petugas yang telah berlaku tidak disiplin dalam proses pengawasan, 4) Mencabut regulasi yang pengaturannya tidak sesuai dan bertentangan dengan perundang-undangan seperti Perda Lampung No. 7 Tahun 2000 tentang Retribusi Izin Pemungutan terhadap Pengambilan Hasil Hutan Bukan Kayu di kawasan Hutan, 5) Membuat pemetaan kawasan yang secara rinci telah memuat blok-blok, baik blok perlindungan maupun blok pemanfaatan yang dapat digunakan untuk kegiatan ekowisata dan kegiatan lainnya, 6) Mengembangkan kegiatan ekowisata di tahura WAR secara kolaboratif dengan masyarakat di sekitar kawasan. Sedangkan hasil analisis keruangan diketahui bahwa daerah yang memiliki kesesuaian ruang untuk pengembanagn ekowisata di Tahura WAR adalah daerah yang bertopografi < 600m dpl serta kemikringan lereng < 40%.
ABSTRACT
NURUL FAJRI, Policy Strategic Analysis of Grand Forest Park Management based on Ecosociosystem (Case study in WAR Grand Forest Park, Lampung Province). Under the direction of ANDRY INDRAWAN and ARZYANA SUNKAR.
The objective of this research is to determine the characteristics of the problems in WAR Grand Forest Park, to determine a comprehensive management based on ecology, economy and socioculture and to develop a zonation suitability map in relation to sustainable management of WAR Grand Forest Park. The method used are descriptive, qualitative and quantitative. Analysis of the characteristic of the problem of WAR Grand Forest Park was analyzed by using tabulation and descriptive methodes. Policy strategic analysis for WAR Grand Forest Park management was analyzed using PHA method and SWOT. GIS was used as direction to determine the optional zonation for WAR Grand Forest Park based on strategic policy analysis. The result showed that degradation of WAR Grand Forest Park is caused by: 1) land resources availability (Open access), 2) indiscipline staff in WAR Grand Forest Park, 3) lack of law enforcement, 4) social economic and welfare motivation. PHA analysis showed that the main strategy for management of Tahura WAR is ecotourism (value: 0.402 or 40.2%) followed by ecotourism-agro forestry (value 0.386 or 38.6%), and Agro forestry (value 0.212 or 21.2%). Operational strategies that must be carryout by government are: (1) reducing illegal logging, (2) Policy regulation, (3) law enforcement for indiscipline staffs, (4) removal of regulation that contrast to the local government regulation such as Perda No. 7/2000 on retribution, (5) produce zonation suitability map for ecotourism purpose, (6) develop collaboration management of ecotourism in WAR grand forest park with the communities around Tahura WAR. Spasial analysis showed that region allocated for ecotourism purpose in WAR grand forest park has a topography of 600 mdpl and countur less than 40%.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
ANALISIS STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BERBASIS EKOSOSIOSISTEM (Studi Kasus Tahura Wan Abdul Rachman Di Propinsi Lampung)
NURUL FAJRI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul Penelitian
: ANALISIS STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BERBASIS EKOSOSIOSISTEM (Studi Kasus Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung)
Nama
: NURUL FAJRI
NRP
: P052034041
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S. Ketua
Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc. Anggota
Mengetahui,
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S.
Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 2 Nopember 2006
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada Tanggal 12 Nopember 1976 dari pasangan Bapak Choiri Hasan (alm) dan Ibu Basyariah (alm). Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Tahun 1995 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bandar Lampung dan pada Tahun 1995 penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Lampung. Penulis memilih Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian pada Fakultas Pertanian dan lulus pada Tahun 2001. Penulis bekerja pada CV. Wira Persada yang bergerak di bidang konsultan. Kemudian pada Tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan pada program studi Pengelolan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Institut Pertanian Bogor.
PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Rabb semesta alam yang telah mengajarkan hamba-Nya dengan perantaraan kalam. Dengan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah dengan judul: ANALISIS STRATEGI KEBIJAKAN PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BERBASIS EKOSOSIOSISTEM (Studi Kasus Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung), yang merupakan satu dari sekian nikmat, rahmat dan karunia Allah Yang Maha Rahiim kepada penulis. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyelesaian tesis ini, mulai dari tahap pelaksanaan penelitian, pengolahan data hingga penulisan hasil tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan arahan berbagai pihak. Maka dengan segala kerendahan hati pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S., dan Ir. Arzyana Sunkar, M.Sc. atas ilmu, arahan, dan bimbingan yang diberikan selama penulis menjadi mahasiswa SPL, melaksanakan penelitian hingga penyelesaian tesis. 2. Prof. Dr. Ir. Endang Suhendang, M.S. selaku penguji luar komisi, atas ilmu, bimbingan dan arahan dalam penyempurnaan tesis. 3. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan atas arahannya selama penulis menjalankan studi dan penyusunan karya ilmiah ini. 6. Ku cintai Ba’ dan Ema’ (Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya) yang dengan rasa kasih sayang dan pengorbanan yang tulus telah memberikan inspirasi dan semangat bagi penulis (Terimakasih Do’a dan senyumnya ya Ma’, sungguh tidak sisa-sia). Ya Rabb, bahagiakan mereka di sana, aamiin. 7. Kakak-kakak dan adikku (Bang Nasir, Bang Agus, Bang Zul, Endra), serta Kaka Ona, Kaka Tuti, dan Nina atas doa, kasih sayang, dorongan semangat dan semua dukungan yang senantiasa dicurahkan untuk keberhasilan penulis. 8. Si cinta Amula Nurfiarini, yang dengan penuh kesabaran dan cinta mendampingi dan memberikan semangat untuk keberhasilan penulis.
9. Ayah dan Ibu serta saudara-saudaraku di Metro yang telah memberikan perhatian dan bantuan baik moril maupun materil bagi penulis. 7. Puan, Bos Udin & Istri, Mas Yanto, Pak Jamlis, Ophie, Sari, Yenny, dan Yudi atas bantuan serta ukhuwahnya yang indah dan dengan caranya masingmasing telah memberi warna kepada penulis. 8. Seluruh staf pengajar dan administrasi Program Studi PSL, staf administrasi pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor serta semua pihak yang telah membantu penulis selama masa perkuliahan, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Penulis berharap Tesis ini dapat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan semua pihak yang membutuhkan. Amiiin.
Bogor, Desember 2006
Nurul Fajri
DAFTAR ISI
Prakata
..........................................................................................................
Halaman i
Daftar Isi ........................................................................................................
iii
Daftar Tabel ....................................................................................................
v
Daftar Gambar .................................................................................................
vii
Daftar Lampiran ..............................................................................................
viii
I.
PENDAHULUAN ...................................................................................
1
1.1. Latar Belakang .................................................................................
1
1.2. Tujuan Penelitian .............................................................................
4
1.3. Kerangka Pemikiran .........................................................................
4
1.4. Rumusan Masalah ............................................................................
6
II. TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................
8
2.1. Sistem kawasan Konservasi di Indonesia ........................................
8
2.2. Landasan Teori ................................................................................
9
2.2.1. Konsep Strategi ...................................................................
9
2.2.2. Analisis Kebijakan ..............................................................
10
2.2.3. Pengelolaan Hutan ..............................................................
13
2.2.4. Konflik Pengelolaan Sumberdaya .......................................
14
2.2.5. Proses Hirarki Analitik ........................................................
15
2.2.6. Analisis SWOT ...................................................................
17
III. METODE PENELITIAN .............................................................
20
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................
20
3.2. Tahapan Penelitian .....................................................................
20
3.3. Pengumpulan Data .....................................................................
21
3.4. Analisis Data ..............................................................................
23
3.4.1
Analisis Karakteristik permasalahan kawasan tahura WAR
23
3.4.2
Analisis Strategi Kebijakan ....................................................
23
3.4.3
Analisis Kesesuaian Ruang .................................................
28
3.5. Definisi Operasional .......................................................................
29
IV. GAMBARAN UMUM ............................................................................
31
4.1 Letak Geografis dan Batas Kawasan ...............................................
31
4.2 Kondisi dan Potensi Fisik Kawasan ...............................................
31
4.3 Kondisi dan Potensi Biotik ...............................................................
39
4.4. Kondisi dan Potensi Sosial, Ekonomi, dan Budaya .........................
43
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ...............................................................
47
5.1 Pengelolaan Tahura WAR ..............................................................
47
5.1.1 Fungsi dan Kewenangan Kelembagaan .................................
53
5.2 Karakteristik Permasalahan di Kawasan Tahura WAR ...................
61
5.2.1 Dorongan dari Luar Tahura WAR .........................................
63
5.2.2 Daya Tarik dari Dalam tahura WAR .....................................
67
5.3 Strategi Pengelolaan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman .....
75
5.3.1 Aspek
..................................................................................
78
5.3.2 Sasaran .................................................................................
79
5.3.3 Alternatif Strategi yang Dipilih ............................................
81
5.3.4 Sintesis Strategi ....................................................................
83
5.3.5 Skenario Kebijakan (Analisis Sensistivitas) .........................
95
5.3.6 Skenario Kebijakan bila terjadi peningkatan di aspek Ekologi
96
5.3.7 Skenario Kebijakan bila terjadi peningkatan di aspek Ekonomi
97
5.3.8 Skenario Kebijakan bila terjadi peningkatan di aspek sosbud
97
5.4 Faktor Internal dan Eksternal (SWOT) ..........................................
98
5.5 Ruang Pemanfaatan pada Blok Pemanfaatan .................................
101
5.6 Arahan Pengelolaan Kawasan Tahura .............................................
103
V. KESIMPULAN ...................................................................................
107
6.1 Kesimpulan ................................................................................
107
6.2 Saran ..........................................................................................
108
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
109
LAMPIRAN.....................................................................................................
114
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
1.
Model Matriks TOWS dalam Analisis SWOT .......................................
18
2.
Jenis dan Sumber data primer yang diperlukan dalam penelitian ........
22
3.
Jenis dan sumber data sekunder yang diperlukan dalam penelitian ......
23
4.
Skala banding secara berpasangan ........................................................
26
5.
Nilai RI pada ordo bermatriks n ............................................................
27
6.
Indikator-indikator dalam pengambilan keputusan menggunakan AHP .......................................................................................................
28
7.
Curah hujan (mm) bulanan selama 10 tahun ........................................
33
8.
Kondisi iklim rata-rata selama 10 tahun ...............................................
33
9.
Kondisi hidrologi Sub-Das wilayah Gunung Betung ..........................
34
10.
Jenis Pohon dan tanaman yang dibudidayakan di areal tahura ..............
41
11.
Jenis hewan yang berada di sekitar kawasan tahura ..............................
43
12.
Jumlah dan kepadatan penduduk desa yang tercakup dalam wilayah kecamatan di sekitar Tahura WAR .......................................................
43
Distribusi penduduk tiga kecamatan di sekitar Tahura WAR berdasarkan mata pencahariannya .........................................................
44
Rangkaian proses dialog pemetaan masalah dan sengketa dalam pengelolaan Kawasan Tahura Wan Abdurrachman serta pengembangan gagasan penyelasaiannya...............................................
53
Peraturan perundangan-undangan yang mengatur pelaksanaan kawasan konservasi ..............................................................................
56
16.
Skala Prioritas Aspek ............................................................................
78
17.
Skala Prioritas Sasaran Keberlanjutan ekologi ......................................
79
18.
Skala Prioritas Sasaran keberlanjutan ekonomi .....................................
80
19.
Skala Prioritas Sasaran keberlanjutan Sosial Budaya ...........................
81
20.
Pilihan Strategi Pengelolaan Tahura WAR pilihan Responden ............
82
21.
Skala Prioritas Strategi .........................................................................
83
22.
Arahan program sumberdaya wisata alam .............................................
88
23.
Arahan program pengelolaan wisata ......................................................
88
13. 14.
15.
24.
Arahan program pengelolaan pengunjung..............................................
89
25.
Arahan program pelibatan masyarakat ..................................................
90
26.
Faktor eksternal dan internal ................................................................
99
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
Kerangka pemikiran Analisis Kebijakan Pengelolaan Tahura Wan Abdurrahman Berbasis Eko-Sosio-Sistem ...........................................
6
Diagram Alir Tahapan Penelitian Analisis Strategi Pengelolaan Tahura Wan Abdurrahman berbasis Ekososiosistem ...........................
21
3.
Matriks EFA/IFA dalam analisis SWOT ..............................................
28
4.
Langkah Kerja Pembuatan Peta Ruang Pemanfaatan ..........................
29
5.
Peta Lokasi. ...........................................................................................
32
6.
Peta Ketinggian .....................................................................................
37
7.
Peta Kelas Lereng ................................................................................
38
8.
Peta Land Use Tahura ..........................................................................
40
10.
Pengolahan tanah dan pola tanam yang tidak memperhatikan aspek pelestarian lahan ...................................................................................
45
11.
Peta Blok Pengelolaan Tahura .............................................................
49
12.
Tahapan Rencana Umum Proses Penyusunan Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Tahura WAR Register 19 . .................................
52
13.
Penyebab Kerusakan Kawasan Tahura WAR .......................................
59
14.
Potensi Wisata yang ada di Kawasan Tahura WAR .............................
60
15.
Grafik distribusi jumlah responden berdasar pekerjaan sampingan .....
64
16.
Grafik distribusi pendapatan masyarakat sekitar tahura .......................
65
17.
Grafik responden menurut alasan keberadaanya ..................................
66
18.
Grafik responden berdasarkan cara mendapatkan lahan garapan .........
69
19.
Grafik distribusi responden yang mendapat ijin menggarap lahan dalam kawasan Tahura WAR ...............................................................
71
20.
Struktur Hierarki Strategi pengelolaan tahura WAR ...........................
77
21.
Grafik skala prioritas strategi pengelolaan tahura WAR .....................
83
22.
Skema manfaat Agroforestry ..............................................................
92
23.
Grafik analisis sensitifitas model dynamic ..........................................
95
24.
Grafik analisis sensitifitas model dynamic untuk peningkatan ekologi sebesar 75% ........................................................................................
96
1.
2.
25.
Grafik analisis sensitifitas model dynamic untuk peningkatan ekonomi sebesar 68% ..........................................................................
97
Grafik analisis sensitifitas model dynamic untuk peningkatan sosbud sebesar 68% .........................................................................................
98
27.
Diagram kuadran strategi operasional di tahura WAR .........................
100
28.
Peta kesesuaian lokasi strategi pengelolaan. ........................................
104
26.
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran
Halaman
1. Jadwal Penelitian ....................................................................................
115
2. Matrik EFAS dan IFAS ...........................................................................
116
3. Daftar Pertanyaan (Kuesioner) ...............................................................
117
1 I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat Lampung.
Letak kawasan yang memiliki wilayah
seluas 22.244 hektar tersebut dikelilingi oleh wilayah administratif Kabupaten Lampung Selatan dan Kota Bandar Lampung. Karakteristik bentang alam yang demikian spesifik menjadikan wilayah tersebut sebagai penyedia berbagai jasa lingkungan bagi wilayah sekitarnya.
Di sisi lain, karakteristik demografi di
sekitar kawasan adalah penduduk dari 34 desa sehingga tidak dapat dihindari bahwa pengelolaan ekosistem di dalam kawasan turut dipengaruhi olehnya. Setidaknya terdapat lebih kurang 5000 kk di luar dan di dalam kawasan yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem Tahura Wan Abdul Rachman. Belum lagi adanya aktivitas perkotaan dengan berbagai macam bentuk sarana maupun prasarana seperti Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), transportasi, infrastruktur irigasi dan lain sebagainya, secara langsung maupun tidak langsung turut mempengaruhi bentuk perubahan penggunaan lahan di dalam kawasan Tahura Wan Abdul Rachman. Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman telah mengalami kerusakan sebesar 72% dan hanya 28% yang diperkirakan masih utuh berupa hutan alam atau primer (Dishut Lampung, 2004). Dari 72% areal di kawasan yang rusak tersebut telah terkonversi menjadi pemukiman (talang-talang), perkebunan coklat, kopi, dan tanaman hortikultura lainnya. Bahkan ada yang dibiarkan kosong dan berupa padang rumput.
Para penduduk melakukan kegiatan-kegiatan perambahan dan
pengrusakan hutan dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ditambah lagi dengan tidak efektifnya pola pengelolaan yang dilakukan oleh pemerintah yang disebabkan keterbatasan sarana dan prasarana dan juga sumberdaya manusia, sehingga laju kerusakan semakin bertambah. Sebelum menjadi kawasan konservasi, Tahura Wan Abdul Rachman merupakan kawasan hutan lindung dengan nama Gunung Betung Register 19
2 Berdasarkan Besluit Resident Lampung Distrik No. 307 tanggal 31 Maret 1941. Walaupun dengan status kawasan lindung, hutan tersebut mengalami kerusakankerusakan yang sangat parah yang dilakukan oleh para penduduk. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 408/KPTS-II/1993 tanggal 10 Agustus 1993, kawasan lindung tersebut berubah status menjadi kawasan konservasi yang berupa Taman Hutan Raya (Tahura) dengan nama Wan Abdul Rachman atau disingkat dengan WAR. Hal ini dilakukan untuk menekan laju kerusakan yang ditimbulkan. Adapun kriteria penunjukkan dan penetapan Tahura Wan Abdul Rachman sebagai kawasan taman hutan raya adalah karena (UU N0. 5/1990 pasal 1): 1. Merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang ekosistemnya sudah berubah; 2. Memiliki keindahan alam dan atau gejala alam; dan 3. Mempunyai luas yang cukup yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan atau satwa baik jenis asli dan atau bukan asli. Arah dan
tujuan pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman sebagai
kawasan konservasi dimaksudkan untuk melestarikan kawasan hutan alam yang memiliki koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli (endemik) atau bukan asli (eksotik) yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi (Dishut Lampung, 2004). Walaupun telah terjadi perubahan status kawasan menjadi kawasan konservasi, diiringi dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan masyarakat setempat serta kegiatan pembangunan di sekitar kawasan, memunculkan berbagai permasalahan dalam pemanfaatan sumberdaya alam Tahura Wan Abdul Rachman menyangkut aspek pemanfaatan sumberdaya hutan, sumberdaya lahan, daerah aliran sungai, dan sebagian kecil sumberdaya pesisir. Adapun kerusakan yang timbul adalah diakibatkan adanya kegiatan-kegiatan ilegal yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar kawasan dengan cara melakukan perambahan dan konversi lahan menjadi areal pemukiman dan budidaya.
3 Dengan sistem pengelolaan yang tidak serius dan apa adanya yang dilakukan oleh pemerintah setempat menyebabkan laju kerusakan kawasan tersebut semakin parah dan tak terkendali, dimana berdasarkan hasil pengamatan citra terlihat bahwa sebagaian besar kawasan hutan primer di kawasan tersebut telah rusak, dan berganti menjadi areal perkebunan dan permukiman bahkan menjadi areal rumput yang kosong dan tidak ditanami apa-apa. Sebagai kawasan konservasi, hendaknya pengelolaan yang dilakukan harus berbasis ekologi, ekonomi dan sosial-budaya (ekososiosistem). Sehingga dengan pengelolaan yang terintegrasi dimana memadukan antara aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya diharapkan dapat meminimalisir kerusakan. Adapun Rencana pengelolaan taman hutan raya sekurang-kurangnya memuat tujuan pengelolaan, dan garis besar kegiatan yang menunjang upaya perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan kawasan. Secara ekologis, keutuhan dan kelangsungan proses-proses ekologis dari masing-masing ekosistem harus tetap dijaga dan terpelihara, sehingga fungsi dan manfaat ekologis dari ekosistem tersebut tetap baik bagi berlangsungnya proses kehidupan hayati (flora dan fauna), maupun manfaat ekologis bagi kehidupan manusia dapat tetap berlangsung dan berkelanjutan. Secara ekonomis, dapat memberikan solusi yang sehat atas permasalahan ekonomi yang dihadapi oleh penduduk pada saat ini, setidaknya pemerintah daerah memberi alternatif sumber pendapatan kepada para penduduk sebagai alternatif ekonomi yang memungkinkan para penduduk untuk tidak kembali ke hutan. Secara sosial budaya, dimana prilaku masyarakat selama ini tergantung dari usaha melakukan budidaya di dalam kawasan dan pesimis terhadap peluang untuk mencari tingkat penghidupan yang layak di luar kawasan, sehingga dengan adanya pengelolaan yang memadukan ketiga aspek tersebut pemerintah dapat melakukan perubahan dari prilaku masyarakat tersebut, sehingga beralih ke prilaku berusaha di luar kawasan. Untuk menanggulangi kerusakan fisik habitat dan sumberdaya lebih lanjut dari praktek pemanfaatan sumberdaya kawasan yang cenderung tidak terkendali, serta tetap terpeliharanya keberadaan dan kelestarian ekosistem dengan segenap
4 fungsi utama kawasan, maka sangat diperlukan langkah-langkah kebijakan pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman secara lebih terencana dan terpadu yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan baik antar sektor maupun antar pengguna (user/stakeholders) terutama mencakup aspek perlindungan fungsi ekologis kawasan, dan aspek pemanfaatan terbatas dengan nilai ekonomi optimal, serta pemberdayaan dan pelibatan masyarakat setempat sesuai dengan fungsi dan daya dukung Tahura sebagai kawasan konservasi. Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian tentang analisis Kebijakan Pengelolaan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung berbasis Eko-Sosio-Sistem sangat relevan untuk dilakukan. 1.2. Tujuan dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk : (1) Mengetahui karakteristik permasalahan di Tahura Wan Abdurrahman, (2) Membuat strategi yang tepat dalam pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman yang komprehensif dan berbasis ekologi, ekonomi, dan sosial budaya, (3) Menyajikan peta kesesuaian ruang pemanfatan dalam kaitan pengelolaan tahura WAR berkelanjutan. Hasil penelitian ini akan memberikan informasi bagi pemerintah daerah Propinsi Lampung dalam pengelolaan wilayah Tahura Wan Abdul Rachman secara lebih baik. 1.3. Kerangka Pemikiran Berdasarkan latar belakang dan permasalahan, maka sebelum kerusakan ekosistem dan sumberdaya di kawasan Tahura Wan Abdul Rachman berlanjut, langkah yang harus dilakukan adalah membuat suatu kebijakan pengelolaan secara terencana dan terpadu yang dapat mengakomodasi berbagai kepentingan pemanfaatan dari berbagai sektor dan stakeholders melalui kebijakan pengelolaan pendekatan model ekososiosistem, sehingga nantinya akan diperoleh konsep pengelolaan tahura yang berkelanjutan.
5 Secara umum, kebijakan pengelolaan berbasis ekososiosistem dibangun berdasarkan pada tiga aspek (sistem), yaitu aspek ekologi, aspek ekonomi, dan aspek sosial budaya. Aspek ekologi ditekankan pada faktor-faktor kesesuaian peruntukkan dan daya dukung lingkungan yang mencirikan kondisi ekologi suatu kawasan berdasarkan kondisi biogeofisik, sosial, ekonomi dari sumberdaya dan lingkungan di kawasan tersebut. Aspek ekologi terkait pula dengan aspek sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat sebagai pelaku dan pengguna (pemanfaat) kawasan. Kajian aspek sosial ekonomi di bangun dari faktor pemberdayaan dan partisipasi masyarakat khususnya masyarakat di sekitar kawasan yang merupakan indikator bagi tingkat keterlibatan masyarakat dalam program pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan tahura secara terpadu dan berkelanjutan. Upaya pemberdayaan dan pelibatan masyarakat sangat penting, karena masyarakat sebagai pengguna kawasan akan memperoleh manfaat dari keberadaan kawasan tahura. Oleh karena itu, masyarakat juga harus peduli dan dapat terlibat aktif dalam pengawasan dan pengelolaan kawasan. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya kawasan adalah meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya perlindungan lingkungan dan pola pemanfaatan yang berkelanjutan, pengembangan keterampilan, peningkatan aksesibilitas di bidang ekonomi, dan penyediaan wadah organisasi kelembagaan sosial kemasyarakatan. Berdasarkan atas kajian kebijakan pengelolaan melalui pendekatan ekososiosistem dan dengan mengintegrasikan aspek kelembagaan, kebijakan pengelolaan dan program yang sebelumnya telah ditetapkan baik oleh pemerintah daerah, maupun lembaga pengelola kawasan, maka disusunlah analisis Kebijakan Pengelolaan Kawasan Tahura tersebut, yang hasilnya merupakan konsep atau desain pengelolaan tahura yang secara teknis memungkinkan, secara ekonomi menguntungkan, sosial dapat dipertanggungjawabkan, dan secara ekologi berkelanjutan. Secara skematik, kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada gambar 1.
6 Kawasan Tahura WAR
Kepentingan Masyarakat
Stakeholder
Kebijakan Pemerintah
Konflik Pengelolaan
Analisis Kebijakan
Aspek Ekologi
Aspek Ekonomi
Aspek Sosial-budaya
Analisis Ekososiosistem Kebijakan Pengelolaan Berkelanjutan Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis Kebijakan Pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman Berbasis Eko-Sosio-Sistem
1.4. Rumusan Masalah Dalam proses mengusahakan perlindungan suatu sumberdaya alam, sering kali usaha tersebut terganjal oleh dinamika masyarakat yang berada di sekitar suatu sumberdaya tersebut. Dimana kecenderungan dari dinamika tersebut adalah perlunya ruang untuk dimanfaatkan dalam proses pengembangan dan peningkatan kualitas hidup. Sehingga sering terjadi benturan antara kepentingan masyarakat yang menginginkan adanya penghidupan yang layak dan kepentingan pemerintah yang menginginkan lingkungan yang lestari.
7 Seiring dengan perkembangan waktu dimana populasi manusia semakin meningkat, terdapat fakta bahwa kawasan tersebut mengalami kerusakan akibat ketidakjelasan proses pengelolaannya, tercatat lebih dari 72% lahan di kawasan telah mengalami kerusakan dan hanya 28% yang masih utuh menjadi hutan primer. Sehingga permasalahan yang dapat dirumuskan adalah: Bagaimana membangun strategi yang harus diterapkan dalam pengelolaan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman yang berkelanjutan ditinjau secara ekologi, ekonomi dan sosial budaya.
8 II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sistem kawasan Konservasi di Indonesia Menurut IUCN (1980) Kawasan Pelestarian Alam (KPA) yaitu Kawasan Konservasi, baik di daratan maupun perairan yang mempunyai fungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.
Kawasan pelestarian alam mencakup Taman Nasional (TN),
Taman Wisata Alam (TW), dan Taman Hutan Raya (Tahura). Taman Hutan Raya merupakan KPA untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli atau bukan asli (eksotik) yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi (IUCN, 1980). Menurut Dinas Kehutanan Propinsi Lampung (2005) Tahura Wan Abdul Rachman ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam (konservasi) oleh Menteri Kehutanan berdasarkan Keputusan No. 408/KPTS-II/1993 tanggal 10 Agustus 1993, yang ditujukan untuk tempat koleksi tumbuhan dan satwa liar yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli. Kemudian berdasarkan SK Menhut No 107/Kpts-II/2003 tertanggal 24 Maret 2003, tugas pembantuan pengelolaan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman diserahkan kepada Gubernur Propinsi Lampung. Hal ini dikarenakan wilayah Tahura Wan Abdul Rachman terletak di antara dua wilayah administrasi tingkat II yakni Kotamadya Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan. Sehingga tugas pengelolaannya diserahkan kepada Gubernur Propinsi Lampung. Tugas pengelolaan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman meliputi: pembangunan, pemeliharaan, pemanfaatan dan pengembangan Taman Hutan Raya.
9 2.2. Landasan Teori 2.2.1. Konsep Strategi Strategi merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan.
Dalam
perkembangannya, konsep mengenai strategi memiliki perbedaan pandangan atau konsep selama 30 tahun terakhir. Seperti yang diungkapkan oleh Chandler (1962) dalam Rangkuti (2004) menyebutkan bahwa strategi adalah tujuan jangka panjang dari suatu perusahaan, serta pendayagunaan dan alokasi semua sumber daya yang penting untuk mencapai tujuan tersebut. Namun menurut
Andrews (1980), strategi adalah kekuatan motivasi
untuk stakeholders, seperti stakeholders, debtholders, manajer, karyawan, konsumen, komunitas, pemerintah, dan sebagainya, yang baik secara langsung maupun tidak langsung menerima keuntungan atau biaya yang ditimbulkan oleh semua tindakan yang dilakukan oleh perusahaan. Berdasarkan pandangan dan konsep-konsep di atas dapat disimpulkan bahwa strategi merupakan suatu alat dalam mengelola segala unsur yang terkandung di perusahaan atau organisasi tersebut untuk mencapai tujuan jangka panjang perusahaan.
Pemahaman yang baik mengenai konsep strategi dan
konsep-konsep lain yang berkaitan, sangat menentukan suksesnya strategi yang disusun. Konsep-konsep tersebut adalah sebagai berikut : a.
Distinctive Competence : tindakan yang dilakukan oleh perusahaan agar dapat melakukan kegiatan lebih dibandingkan dengan pesaingnya.
b. Competitive Advantage: kegiatan spesifik yang dikembangkan oleh perusahaan agar lebih unggul dibandingkan dengan pesaingnya.
Tahura Wan Abdul Rachman merupakan salah satu asset yang dimiliki oleh Propinsi Lampung yang manfaatnya dapat dirasakan oleh banyak pihak, dan bukan hanya satu pihak saja.
Oleh karena itu dalam pengelolaannya harus
memperhatikan strategi yang tepat dimana harus memperhatikan stakeholders yang secara langsung maupun tidak langsung menerima keuntungan atau biaya yang ditimbulkan dalam pengelolaan sumberdaya alam di kawasan tersebut.
10 2.2.2. Analisis Kebijakan Analisis kebijakan diambil dari berbagai macam disiplin dan profesi yang bersifat deskriptif, evaluatif dan prespektif. Dunn (2003) menyatakan bahwa analisis kebijakan merupakan sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang ada hubungannya dengan kebijakan sehingga dapat dimanfaatkan ditingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan. Selanjutnya analisis kebijakan didefinisikan pula sebagai salah satu diantara sejumlah banyak faktor didalam sistem kebijakan. Suatu sistem kebijakan (policy system) dimana didalamnya kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik antara tiga unsur yaitu : kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan. Sistem kebijakan adalah produk manusia yang subjektif yang diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan. Berikut gabungan tiga unsur didalam sistem kebijakan (Thomas R Dye dalam Dunn, 2003). Pelaku
Lingkungan Kebijakan
Kebijakan Publik
Kebijakan publik (public policies) merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih berhubungan termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah yang diformulasikan didalam berbagai bidang termasuk lingkungan hidup. Masalah kebijakan tergantung pula pada pola keterlibatan pelaku kebijakan (policy stakeholders) yang khusus, yaitu para individu atau kelompok individu yang mempunyai andil didalam kebijakan karena mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah.
11 Sedangkan lingkungan kebijakan (policy environment) yaitu konteks khusus
dimana
kejadian-kejadian
di
sekeliling
isu
kebijakan
terjadi,
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik. Salah satu faktor yang menyebabkan sulitnya mengambil keputusan (kebijakan) adalah sulitnya memperoleh informasi yang cukup serta bukti-bukti yang sulit disimpulkan. Karena itu dalam pengambilan keputusan akan lebih mudah bila menggunakan model tertentu. Model kebijakan adalah sajian yang disederhanakan mengenai aspek-aspek terpilih dari situasi problematik yang disusun untuk tujuan-tujuan khusus. Model-model kebijakan tersebut yaitu model deskriptif, model normatif, model verbal, model simbolik, model prosedural, model pengganti dan model perspektif. Penerapan setiap model kebijakan tidak dapat dilakukan pada semua perumusan kebijakan karena masing-masing model memiliki fokus pada aspekaspek yang berbeda. Menurut Forrester dalam Dunn (2003), persoalan kebijakan tidak terletak pada menggunakan atau membuang model, persoalannya hanyalah terletak pada pemilihan diantara berbagai alternatif. Menurut Dunn (2003) proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai rangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan penilaian kebijakan. Selanjutnya Dunn (2003) menjelaskan bahwa analisis kebijakan adalah awal, bukan akhir, dari upaya untuk meningkatkan proses pembuatan kebijakan, berikut hasilnya.
Itulah sebabnya analisis kebijakan didefinisikan sebagai
pengkomunikasian, atau penciptaan dan penilaian kritis, pengetahuan yang relevan dengan kebijakan, yang jelas, kualitas analisis kebijakan adalah penting sekali untuk memperbaiki kebijakan dan hasilnya. Adapun menurut Ramdan dan Yusran (2001) ukuran efektifitas kebijakan yang perlu diperhatikan adalah : a. Efisiensi, Kebijakan dalam pengelolaan Sumberdaya Alam (SDA) harus mampu meningkatkan efisiensi penggunaan SDA secara optimal. Kebijakan
12 pengelolaan SDA yang tidak mencerminkan efisiensi dapat menimbulkan degradasi lingkungan. b. Fair (adil),
bobot kebijakan harus ditempatkan secara adil, dimana
kepentingan publik tidak terabaikan. Sebagai contoh rusaknya hutan tropis Indonesia disebabkan oleh tidak tercerminnya rasa keadilan publik. Masayarakat lokal selama 32 tahun rejim orde baru tidak mendapatkan kesempatan untuk menikmati langsung hutan yang ada di lingkungannya. Kebijakan konsesi hutan yang tidak fair dalam prakteknya telah memperkaya sekelompok
pengusaha
(pusat)
dan
memiskinkan
masyarakat
lokal.
Ketidakadilan ini menyebabkan konflik sosial. c. Mengarah kepada insentif,
perbaikan lingkungan adalah tanggung jawab
bersama karena SDA ini prinsipnya obligasi bersama yang harus dijaga. Namun untuk menciptakan attitude diperlukan insentif.
Oleh karena itu
kebijakan dalam pengelolaan SDA harus mengarah kepada insentif untuk merangsang tindakan dalam perbaikan lingkungan. d. Penegakan hukum (enforcebility), kebijakan tidak akan efektif berjalan dalam kondisi disorder dan poor law enforcement.
Penegakan hukum akan
memaksa setiap anggota masyarakat untuk mentaati kebijakan yang telah ditetapkan. e. Diterima oleh publik (public acceptable), kebijakan pengelolaan SDA selalu menyangkut kepentingan publik. Dengan demikian kebijakan yang baik harus dapat diterima oleh publik. f. Moral, kebijakan yang baik tidak akan ada pengaruhnya dalam perbaikan SDA dan lingkungan apabila tidak dilandasi oleh moral yang baik. Moral adalah aspek normatif yang sangat penting dalam menjamin aspek positif dari suatu kebijakan.
Moral menjadi spirit of soul dalam pengelolaan SDA.
Kerusakan SDA di Indonesia yang meningkat selama ini dipengaruhi oleh pelaksanaan kebijakan tanpa moral. Oleh karena itu terjadinya moral hazard menjadi titik awal kerusakan SDA dan lingkungan. Dalam kaitannya dengan pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman dimana semua pihak merasa berhak dan berwenang untuk mengelola kawasan tersebut, perlu adanya kebijakan yang dapat memberikan rasa adil (fair) kepada
13 semua pihak baik masyarakat lokal maupun pemerintah, dapat diterima oleh publik, efisien, dan dengan pendekatan moral kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat menerima walaupun diterapkannya sanksi-sanksi sebagai pendekatan penegakkan hukum di dalam menindak segala pelanggaran yang ada. Pendekatan yang mestinya diterapkan oleh pemerintah dalam merumuskan suatu kebijakan pengelolaan kawasan tahura adalah dengan melakukan pendekatan kolaboratif terhadap semua aktor yang berperan pada kawasan tersebut baik pemerintah, masyarakat, LSM, perguruan tinggi dan lain-lain. Sehingga dengan pendekatan kolaboratif tersebut diharapkan dapat memadukan semua aspek yang ada baik aspek ekologi yang lestari, ekonomi yang meningkat, maupun sosial budaya masyarakat setempat yang baik dan dapat dipertahankan, yang disebut dengan konsep ekososiosistem. 2.2.3. Pengelolaan Hutan Sebagaimana tercantum dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan, bahwa pengelolaan hutan merupakan serangkaian kegiatan yang meliputi : a. Tata guna lahan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan b. Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan c. Rehabilitasi dan reklamasi hutan d. Perlindungan hutan dan konservasi alam Peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan menurut UU Kehutanan No. 41 tahun 1999 pasal 68 meliputi: 1) masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan 2) masyarakat dapat
memanfaatkan
hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan yang berlaku, mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan dan melakukan pengawasan, 3) berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses atau hak atas tanah miliknya. Dalam pengelolaan hutan isu pokok yang sering muncul adalah adanya gangguan terhadap hutan terutama pencurian kayu bakar, faktor-faktor yang menyebabkan gangguan terhadap hutan adalah:
14 1. Pendapatan yang diperoleh relatif tinggi dan caranya mudah 2. Rantai pemasaran yang rendah 3. Keterbukaan wilayah yang tinggi 4. Alternatif lapangan pekerjaan yang terbatas.
2.2.4. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Suporaharjo (1999) menyatakan bahwa konflik merupakan benturan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, yang disebabkan oleh adanya perbedaan nilai, status, kekuasaan, dan kelangkaan sumberdaya. Dengan kata lain bahwa konflik terjadi karena adanya beda kepentingan antar individu yang satu dengan yang lain (antar individu) antar kelompok individu. Ada lima pemicu konflik, yaitu: Pertama, konflik hubungan (relation conflict) adalah konflik yang terjadi karena adanya hubungan disharmonis yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti : salah paham, tidak ada komunikasi, prilaku emosional dan steotypes; Kedua, konflik data (data conflict) adalah suatu keadaan dimana pihak-pihak yang bersangkutan tidak mempunyai data dan informasi tentang perihal yang dipertentangkan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa; Ketiga, konflik nilai (value conflict) adalah kondisi dimana pihak-pihak yang berurusan mempunyai nilai-nilai yang berbeda yang melandasi tingkah lakunya masing-masing dan tidak diakui kebenarannya oleh pihak lain; Keempat, konflik kepentingan (interest conflict) adalah pertentangan mengenai substansi atau pokok permasalahan yang diperkarakan, kepentingan prosedural dan psikologis; dan Kelima, Konflik struktural (structural conflict) adalah leadaan dimana secara struktural atau keadaan di luar kemampuan kontrolnya pihak-pihak yang berurusan mempunyai perbedaan status kekuatan, otoritas, kelas atau kondisi fisik yang tidak berimbang (Moore. 1986 dalam Sahwan. 2002). Ada tiga hal yang merupakan acuan menjadi penyebab suatu konflik, yakni: (1)
Ketidakadilan akses kontrol berbagai kelompok sosial terhadap
tanah/lahan dan kekayaan alam; (2) ketidakadilan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam, terutama perihal berbagai usaha dan organisasi serta kehidupan di atas tanah/lahan, dan (3) pemusatan pengambilan keputusan berkenaan dengan akses dan kontrol serta pemanfaatan tanah dan kekayaan alam (Malik et al. 2003).
15 2.2.5. Proses Hirarki Analitik Metode pemecahan masalah menggunakan Proses Hirarki Analitik (PHA) memiliki ciri khas, yaitu dipakainya hirarki untuk menguraikan sistem yang kompleks menjadi elemen-elemen yang lebih sederhana. Metode PHA pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas Pittsburgh pada awal tahun 1970-an yang pada awalnya ditujukan untuk memodelkan sejumlah problem yang tidek berstruktur, baik bidang ekonomi, sosial, dan sains manajemen.
Metode PHA memasukkan aspek
kualitatif dan kuantitatif pikiran manusia, dimana aspek kuantitatif untuk mengekspresikan penilaian dan preferensi secara ringkas dan padat (Ramdan (2001). PHA dalam kaitannya dengan proses perumusan strategi pengelolaan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan sangat erat dengan permasalahan tertentu yang ada dikawasan tahura tersebut melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada suatu skala preferensi di antara berbagai alternatif. PHA juga banyak digunakan pada keputusan untuk banyak kriteria, perencanaan, alokasi sumberdaya dan penentuan prioritas dari strategi-strategi yang dimiliki pemain dalam situasi konflik yang ada di kawasan Tahura Wan Abdul Rachman (Saaty 1993). PHA merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem. Pada penyelesaian persoalan dengan PHA ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami antara lain : a.
Dekomposisi, setelah mendefinisikan permasalahan atau persoalan yang akan dipecahkan, maka dilakukan dekomposisi, yaitu : memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika menginginkan hasil yang akurat, maka dilakukan pemecahan unsurunsur tersebut sampai tidak dapat dipecah lagi, sehingga didapatkan beberapa tingkatan persoalan.
b.
Comparative
Judgement,
yaitu
membuat
penilaian
tentang
kepentingan relatif diantara dua elemen pada suatu tingkatan tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan
16 inti dari PHA, karena akan berpengaruh terhadap prioritas elemenelemen yang disajikan dalam bentuk matriks Pairwise Comparison. c.
Synthesis of Priority, yaitu melakukan sintesis prioritas dari setiap matriks pairwise comparison “vektor eigen” (ciri) – nya untuk mendapatkan prioritas lokal. Matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, oleh karena itu untuk melakukan prioritas global harus dilakukan sintesis diantara prioritas lokal.
d.
Logical Consistency, yang dapat memiliki dua makna, yaitu 1) obyek-obyek yang serupa dapat dikelompokkan sesuai keseragaman dan relevansinya; dan 2) tingkat hubungan antara obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu.
Beberapa keuntungan menggunakan PHA sebagai alat analisis dalam strategi pengelolaan tahura adalah (Saaty 1993) : a. b. c.
d.
e. f. g. h.
i.
PHA memberi model tunggal yang mudah dimengerti dan luwes untuk beragam persoalan yang tidak terstruktur. PHA memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks di wilayah tahura. PHA dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen yang ada di tahura dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier. PHA mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilahmilah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur serupa dalam setiap tingkat. PHA memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan prioritas. PHA melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas. PHA menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif. PHA mempertimbangkan prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan mereka. PHA tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari penilaian yang berbeda-beda yang dimiliki oleh para pakar yang memiliki perhatian terhadap pengelolaan tahura.
17 j.
PHA memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.
Menurut Suryadi (2000) dalam Sahwan (2002), kelebihan
AHP
dibandingkan dengan yang lainnya adalah: 1. Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, pada sub kriteria yang paling dalam. 2. Memperhitungkan validasi sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan. 3. Memperhitungkan daya tahan atau ketahanan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan. 4. Mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi objektif dan multi-kriteria yang berdasar pada perbandingan preferensi dalam setiap elemen dalam hierarki. Khusus untuk Kawasan Konservasi yang memiliki permasalahan yang kompleks di dalam pengelolaannya, perlu adanya strategi pengelolaan yang mempu merangkum setiap kebutuhan para stakeholder.
Sehingga untuk
merumuskan strategi apa yang tepat dalam pengelolaan kawasan konservasi yang dalam hal ini adalah wilayah Tahura Wan Abdul Rachman digunakan pendekatan PHA. 2.2.8. Analisis SWOT Menurut Salusu (1996) analisis SWOT adalah analisis yang mencoba mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi organisasi/perusahaan.
Analisis tersebut didasarkan pada logika yang dapat
memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats). Jenis keputusan yang hendak diambil dapat diklasifikasikan ke dalam 4 kategori, yaitu: 1) cita-cita (goals), 2) keputusan strategis, 3) keputusan taktis dan 4) keputusan teknis operasional.
18 Lebih lanjut Salusu (1996) menyatakan bahwa analisis SWOT dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu dari 2 model matriks yaitu: MATRIKS SWOT atau
MATRIKS TOWS. Model MATRIKS TOWS
berbeda dengan
MATRIKS SWOT. Matrik TOWS mendahulukan faktor-faktor eksternal (ancaman dan peluang), kemudian melihat kapabilitas internal (kekuatan dan kelemahan). Suatu strategis dirumuskan setelah TOWS selesai dianalisis. Matirks TOWS menghasilkan 4 strategi (Salusu, 1996), yaitu: (1). Strategi SO, memanfaatkan kekuatan untuk merebut peluang (2). Strategi WO, memperbaiki kelemahan untuk dapat memanfaatkan peluang (3). Strategi ST, memanfaatkan kekuatan untuk menghindari atau memperkecil dampak dari ancaman eksternal. (4). Strategi WT, memperkecil kelemahan dan menghindari ancaman
Tabel 1. Model Matriks TOWS dalam Analisis SWOT MATRIKS TOWS
OPPORTUNITIES
THREATS
STRENGTHS
WEAKNESSES
Strategi SO:
Strategi WO:
Pakai kekuatan untuk
Tanggulangi kelemahan
memanfaatkan peluang
dengan memanfaatkan peluang
Strategi ST:
Strategi WT:
Pakai kekuaran untuk
Perkecil kelemahan dan
menghindari ancaman
hindari ancaman
Selanjutnya menurut Marimin (2004) menyatakan bahwa analisis SWOT merupakan suatu cara untuk mengidentifikasikan berbagai faktor secara sistematis dalam rangka merumuskan suatu strategi dalam pengambilan kebijakan. Analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan (weakness) dan
ancaman (threats).
Proses
pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi dan kebijakan (Marimin. 2004).
19 Analisis SWOT didahului dengan identifikasi posisi suatu institusi melalui evaluasi nilai faktor internal dan evaluasi nilai faktor eksternal. Selanjutnya Marimin (2004) menjelaskan proses yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat perlu melalui berbagai tahapan sebagai berikut: 1. Tahap pengambilan data yaitu evaluasi faktor eksternal dan internal. 2. Tahap analisis yaitu pembuatan matriks internal eksternal dan matriks SWOT. 3. Tahap pengambilan keputusan.
20 III. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian dilakukan di Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman yang secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Lampung Selatan dan Kota Bandar Lampung (Gambar 5). Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Agustus 2006 (lampiran 1). 3.2. Tahapan Penelitian Tahap penelitian terbagi 3 (tiga), yaitu: 1.
Tahap pertama; pada tahap ini yang dilakukan adalah studi pustaka terhadap pustaka yang relevan bagi penelitian, dan juga melakukan observasi awal terhadap kondisi lapangan yang ada.
Sehingga
berdasarkan kegiatan tersebut dapat dilakukan: (1) Perumusan Tujuan penelitian (2) Formulasi Permasalahan 2.
Tahap kedua; pada tahap ini dilakukan analisis dari sistem-sistem yang terkait dalam pengelolaan kawasan, sehingga berdasarkan analisis tersebut dapat melakukan strukturisasi terhadap hierarki yang ada dalam pengelolaan kawasan tahura.
3.
Tahap ketiga, merupakan tahap akhir dalam penelitian ini dengan melakukan sintesis terhadap data yang diperoleh dengan menggunakan analisis deskriptif dari hasil tabulasi data serta dengan menggunakan analisis AHP dan SWOT untuk merumuskan strategi utama dan operasional dalam pengelolaan kawasan Tahura Wan Abdul Rachman.
Secara ringkas dan terstruktur dapat dilihat pada Gambar 2.
21
Tahap Pertama
Mulai 1. Studi Pustaka 2. Survei lapang
(1) Perumusan Tujuan penelitian (2) Formulasi Permasalahan
Tahap Kedua Analisis Sistem
Identifikasi Sistem yang terkait dan proses strukturisasi
Tahap Ketiga AHP & SWOT
Strategi Kebijakan Pengelolaan Tahura WAR berbasis Ekososiosistem
Selesai
Gambar 2. Diagram Alir Tahapan Penelitian Analisis Strategi Pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman berrbasis Ekososiosistem 3.3. Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder. Teknik pengambilan contoh dilakukan secara sengaja (Purpossive Sampling) dengan pertimbangan bahwa responden adalah masyarakat yang berada di sekitar
kawasan
dan pelaku (individu atau lembaga) yang
mempengaruhi pengambilan kebijakan, baik langsung maupun tidak langsung
22 dalam pengelolaan kawasan tahura. Juga dilakukan pengamatan langsung terhadap objek penelitian di lapangan untuk mendapatkan gambaran kondisi Tahura Wan Abdul Rachman. Pengumpulan data primer dilakukan secara langsung dari Stakeholders lewat kuesioner sebagai panduan dan dilakukan wawancara langsung, Lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Jenis dan Sumber data primer yang diperlukan dalam penelitian No 1 2 3 4
Keterangan (sumber Informasi) Kondisi Fisik/gambaran umum Kawasan Observasi Lapangan Karakteristik Permasalahan Tahura Masyarakat di kawasan Kebijakan Pengelolaan Kawasan tahura Pengelola Tahura (UPTD) Pendapat Strategi Pengelolaan Tahura yang BAPPEDA, tepat BAPEDALDA, Dishut Lampung, Masyarakat, LSM, Pemuka Masyarakat, KKRPSDAL, UPTD tahura, DPRD Propinsi, Perguruan Tinggi Jenis Data
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen hasil studi/penelitian, peraturan perundang-undangan dan data pendukung lainnya sebagai kompilasi kebijakan dari berbagai sektor baik nasional maupun lokal yang dikeluarkan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah dari Dinas/Instansi yang terkait yaitu: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Lampung, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Propinsi Lampung, Kantor Wilayah Dinas Kehutanan Propinsi Lampung, Kantor Camat/Desa di wilayah studi.
Pada Tabel 3 disajikan secara rinci jenis dan
sumber data yang diperlukan dalam penelitian.
23 Tabel 3. Jenis dan sumber data sekunder yang diperlukan dalam penelitian. No Jenis data Sumber Data 1 Sejarah Kawasan Tahura Dinas Kehutanan 2 Peta Administrasi dan Penggunaan Lahan Dinas Kehutanan/Bappeda dalam Kawasan 3 Perda-perda mengenai Tahura Dinas Kehutanan/Bappeda 4 Data Kebijakan pengelolaan Tahura Dinas Kehutanan/Bappeda 5 Pendapatan Asli Daerah Dispenda Prop Lampung 6 Monografi Kecamatan/Desa Kantor Camat/Desa 7 Keadaan Sosial Ekonomi Penduduk Kantor Camat/Desa 9 Permasalahan dan kasus-kasus yang Dinas Kehutanan/BKSDA terjadi di Tahura Propinsi lampung 10 Data Penunjang lainnya Dinas/Kantor yang terkait 3.4. Analisis Data 3.4.1. Analisis Karakteristik Abdurrahman
permasalahan
Kawasan
Tahura
Wan
Pengolahan dilakukan dengan menggunakan metode tabulasi dan dianalisis secara deskriptif. 3.4.2. Analisis Strategi Kebijakan Metode analisis data yang digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab permasalahan pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman dengan melakukan wawancara terhadap reponden. Metode analisis data yang digunakan untuk merumuskan kebijakan pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman berkelanjutan yang mampu mengatasi permasalahan dan konflik pengelolaan adalah dengan metode PHA (Process Hierarki Analitic) dan metode deskriftif yang dalam penelitian ini mengacu pada metode yang dikemukakan oleh Saaty (1993). Prinsip kerja PHA adalah penyederhanaan suatu persoalan yang kompleks dan tidak terstruktur, strategis dan dinamis serta menata dalam suatu hierarki. Kemudian tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut secara relatif dibanding dengan variabel yang lain. Dengan berbagai pertimbangan kemudian dilakukan sintesis untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin, 2004).
24 Secara umum langkah-langkah yang dilakukan adalah: 1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah. 2. Membuat struktur hierarki, yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub-sub tujuan, kriteria, dan kemungkinan alternatif-alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah. Pendekatan PHA menggunakan skala banding berpasangan menurut Saaty (1993). Skala banding berpasangan tersebut disajikan pada Tabel 4. Tahapan dalam melakukan analisis data PHA menurut Saaty (1993) dikemukakan sebagai berikut : 1.
Identifikasi sistem, yaitu untuk mengidentifikasi permasalahan dan menentukan solusi yang diinginkan. Identifikasi sistem dilakukan dengan cara mempelajari referensi dan berdiskusi dengan para responden yang memahami permasalahan, sehingga diperoleh konsep yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi.
2.
Penyusunan struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan dengan sub tujuan, kriteria dan kemungkinan alternatifalternatif pada tingkatan kriteria paling bawah.
3.
Perbandingan berpasangan, menggambarkan pengaruh relatif setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria yang setingkat diatasnya. Teknik perbandingan berpasangan yang digunakan dalam PHA berdasarkan judgement atau pendapat dari para responden yang dianggap sebagai key person. Mereka dapat terdiri atas : 1) pengambil keputusan; 2) para pakar; serta 3) orang yang terlibat dan memahami permasalahan yang dihadapi.
4.
Matriks pendapat individu, formulasinya dapat disajikan sebagai berikut:
C2 ......... Cn C1 C1 1 a12 ......... a1n A = (aij) = C2 1/a12 1 ......... a2n ......... . . ......... . Cn 1/a1n 1/a2n ......... 1 Dalam hal ini C1, C2, ..... Cn adalah set elemen pada satu tingkat dalam hirarki. Kuantifikasi pendapat dari hasil perbandingan berpasangan membentuk matriks
n x n.
Nilai aij merupakan nilai matriks
25 pendapat hasil perbandingan yang mencerminkan nilai kepentingan Ci terhadap Cj. 5.
Matriks pendapat gabungan, merupakan matriks baru yang elemenelemennya berasal dari rata-rata geometrik elemen matriks pendapat individu yang nilai rasio inkonsistensinya memenuhi syarat
6.
Nilai pengukuran konsistensi yang diperlukan untuk menghitung konsistensi jawaban responden
7.
Penentuan prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama.
Revisi pendapat, dapat dilakukan apabila nilai rasio inkonsistensi pendapat cukup tinggi (> 0,1). Beberapa ahli berpendapat jika jumlah revisi terlalu besar, sebaiknya responden tersebut dihilangkan. Jadi penggunaan revisi ini sangat terbatas mengingat akan terjadinya penyimpangan dari jawaban yang sebenarnya. Dalam PHA dipergunakan skala angka Saaty mulai dari 1, yang menggambarkan atribut yang satu terhadap yang lain sama penting. Untuk atribut yang sama selalu bernilai 1 sampai 9, yang menggambarkan satu atribut sangat penting terhadap atribut lainnnya. Jika hasil perhitungan tersebut menunjukkan nilai CR < 0,10 artinya penilaian pada pengisian kuesioner tergolong konsisten, sehingga nilai bobotnya dapat digunakan. Analisis data dibantu dengan menggunakan perangkat lunak "Expert Choice 2000".
26 Tabel 4. Skala banding secara berpasangan Intensitas Definisi Pentingnya 1 Kedua elemen sama pentingnya
Penjelasan
Sumbang peran dua elemen sama besar pada sifat tersebut (dua elemen mempunyai pengaruh yang sama besar terhadap tujuan) 3 Elemen satu sedikit lebih Pengalaman dan pertimbangan penting daripada yang lainnya sedikit menyokong satu elemen atas yang lain 5 Elemen satu lebih penting Pengalaman dan pertimbangan dibanding yang lain dengan kuat mendukung satu elemen atas yang lain 7 Elemen satu jelas lebih Satu elemen dengan kuat penting dari elemen yang lain dominansinya telah terlihat dalam praktek 9 Elemen satu mutlak lebih Bukti yang mendukung elemen penting dari elemen yang lain yang satu terhadap elemen lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan 2,4,6,8 Nilai-nilai diantara dua Nilai ini diberikan bila ada dua pertimbangan yang berdekatan kompromi di antara dua pilihan Kebalikan Jika untuk aktivitas i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i Sumber : Saaty (1993) Tahapan pengolahan setelah matriks berpasangan ditentukan nilainya
(Saaty, 1993) adalah sebagai berikut: 1. Perkalian baris (z) dengan persamaan:
z=n
n
∏a j =1
ij
(i, j = 1,2,..., n)
2. Perhitungan vektor Prioritas n
n
Vp
=
∏ a j = 1
∑
t = 1
ij
n
n
n
∏ a j = 1
ij
Vpi adalah vektor prioritas elemen ke-1
27 3. Perhitungan nilai λ maks (eigen maximum) VA = (a1j) x Vp, dengan VA = (vai) VB = VA : Vp, dengan VB = (vbi), sehingga : 1 n λ maks = ∑ vbi n i =1 Untuk i = 1,2,...,n, dengan VA dan VB adalah vektor antara. 4. Perhitungan indeks konsistensi (CI, Consistency Index) CI =
λ maks − n n −1
5. Perhitungan rasio konsistensi (CR, Consistency Ratio) CI RI Nilai RI (Random Index) ditetapkan oleh Oaks Ridge Laboratory dari matriks berorde 1 sampai dengan 15 yang disajikan pada Tabel 5. CR =
Tabel 5. Nilai RI pada ordo bermatriks n (Saaty, 1993) n 1 2 3 4 5
RI 0 0 0.58 0.90 1.12
n 6 7 8 9 10
RI 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49
n 11 12 13 14 15
RI 1.51 1.48 1.56 1.57 1.59
Nilai rasio konsistensi mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan. Nilai rasio konsistensi harus 10 persen (0,10) atau kurang yang menunjukkan bahwa konsistensi pertimbangan yang dilakukan baik (Saaty, 1993). Proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman terdapat beberapa indikator yang harus dicapai agar dapat berkelanjutan, seperti yang tertera pada Tabel 6.
28 Tabel 6. Indikator-indikator dalam pengambilan keputusan menggunakan AHP No Aspek 1 Ekologi
2
Ekonomi
3
Sosial
Indikator Siklus Hidrologi dapat dipertahankan Iklim mikro tetap terjaga Adanya Nilai estetika Penyelamatan Kenekaragaman hayati Diversifikasi usaha Peningkatan pendapatan masyarakat Peningkatan PAD Penyerepan tenaga kerja Rekreasi
Selanjutnya untuk menentukan strategi yang akan digunakan dengan memperhatikan faktor internal dan faktor eksternal yaitu kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman digunakan analisis SWOT dengan mengelompokkan faktorfaktor internal maupun eksternal yang ada dengan menggunakan matriks SWOT seperti yang terlihat pada Gambar 3 berikut.
IFA/EFA
Strenghts (S)
Weakness (W)
Opportunities (O)
Strategi SO Menciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang. Berada pada Kuadran I Strategi ST Menciptakan Strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman. Berada pada kuadran II
Strategi WO Menciptakan Strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang. Berada pada Kuadran III Strategi WT Menciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman. Berada pada kuadran IV
Threats (T)
Gambar 3. Matrik IFA/EFA dalam Analisis SWOT 3.4.3. Analisis Kesesuaian Ruang Analisis ini dilakukan dengan melakukan penggabungan antara peta ketinggian, landuse, dan peta kemiringan.
Kemudian hasil penggabungan
merupakan informasi wilayah-wilayah yang berpotensi untuk dikembangkan suatu strategi baik ekowisata maupun agroforestri. Langkah kerja dapat di lihat pada Gambar 4.
29 Peta Ketinggian
Peta Landuse
Peta Kemiringan
Re-class nilai batasan
Peta Ruang pemanfaatan Gambar 4. Langkah Kerja Pembuatan Peta Ruang Pemanfaatan
3.5. Definisi Operasional Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian yang berjudul Analisis Kebijakan Pengelolaan Taman hutan Raya Wan Abdul Rachman berbasis Ekososiosistem di Propinsi Lampung meliputi : 1. Taman Hutan Raya adalah salah satu Kawasan Pelestarian Alam yang untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli atau bukan asli (eksotik) yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi (IUCN. 1980). 2. Kebijakan adalah Peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, baik besaran maupun arahnya yang melingkupi keadaan kehidupan masyarakat umum (Sanim. 2000 dalam Ramdan H dan Yusran. 2001) 3. Analisis Kebijakan merupakan aktifitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan.
Dalam menciptakan
pengetahuan tersebut, analisis kebijakan meneliti sebab, akibat, dan kinerja kebijakan dan program publik (Dunn. 1999). 4. Ekososiosistem adalah suatu pendekatan sistem dalam pengambilan keputusan yang memadukan keseimbangan dalam aspek lingkungan, ekonomi dan sosial-budaya sehingga kebijakan yang diterapkan dapat berkelanjutan. Menurut Ollagnon H. 1989 ekososiosistem merupakan
30 hasil dari gabungan sistem ekonomi, sosial dan ekologi, yang disajikan sebagai basis untuk pengembangan sistem manajemen. 5. Pengelolaan Sumberdaya merupakan suatu tindakan atau perlakuan yang diberikan pada suatu sumberdaya untuk menjaga dan mempertinggi produktivitas sumberdaya tersebut secara berkesinambungan. 6. Agroforestry merupakan sistem penggunaan lahan secara berkelanjutan yang
bertujuan
untuk
meningkatkan
penghasilan
dari
kegiatan
mengkombinasikan antara tanaman pangan (musiman) dengan tanaman pohon-pohonan dengan mengunakan prinsip pengelolaan yang sesuai dengan prinsip dan karakteristik budaya masyarakat sekitar (Vergara, 1982). 7. Strategi agroforestry, merupakan strategi mengoptimalkan penggunaan zona pemanfaatan dalam kawasan konservasi TAHURA WAR dengan tujuan meningkatkan penghasilan dari kegiatan mengkombinasikan antara tanaman pangan (musiman) dengan tanaman pohon-pohonan dengan menggunakan prinsip pengelolaan yang sesuai dengan prinsip dan karakteristik budaya masyarakat sekitar 8. Ekowisata, sebagai aktivitas perjalanan yang tidak mengganggu atau mengkontaminasi daerah alami dengan tujuan khusus dari belajar, menikmati dan mengamati suasana alam (hewan dan tumbuhan liar), dan juga manifestasi dari budaya setempat (baik yang lalu maupun sekarang) yang ditemui di daerah tersebut (Minca. et.al. 2000) 9. Strategi Ekowisata merupakan strategi mengoptimalkan penggunaan zona pemanfaatan dalam kawasan konservasi TAHURA WAR dengan tujuan meningkatkan penghasilan masyarakat sekitar melalui kegiatan wisata alam yang diiringi prinsip kelestarian.
IV. GAMBARAN UMUM LOKASI
4.1.
Letak Geografis dan Batas Kawasan Kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman terletak antara
5o18’47” – 5 29 34 LS dan 105o02’42” – 105o14’42” BT dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara
: Kecamatan Bernung Kabupaten Lampung Selatan
Sebelah Selatan
: Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Lampung Selatan
Sebelah Timur
: Kecamatan Kedondong Kabupaten Lampung Selatan
Sebelah Barat
: Kecamatan Telukbetung Utara dan Telukbetung Barat Kota Bandar Lampung
Adapun luas wilayah kawasan Tahura Wan Abdul Rachman adalah sekitar 22.244 hektar yang termasuk ke dalam 2 (dua) wilayah administrasi, yakni Kota Bandar Lampung dan Kabupaten Lampung Selatan dengan 7(tujuh) kecamatan yakni Kecamatan Padang Cermin, Kecamatan Kedondong, Kecamatan Way Lima, kecamatan Gedong Tataan, Kecamatan Kemiling, Kecamatan Telukbetung Barat dan Kecamatan Telukbetung Utara (Dishut. 2005).
Peta lokasi kawasan tahura
dapat dilihat pada Gambar 5. 4.2.
Kondisi dan Potensi Fisik Kawasan
4.2.1 Iklim Menurut data iklim dari stasiun pengamat iklim terdekat berdasarkan curah dan hari hujan selama 10 tahun secara berturut-turut, menunjukkan bahwa bulanbulan basah (curah hujan > 100 mm/bulan) terjadi pada Desember sampai Maret, bulan-bulan lembab (curah hujan 60--100 mm/bulan) terjadi selama 5 bulan dan sisanya merupakan bulan kering (curah hujan < 60 mm/bulan) terjadi pada Mei-Juli.
32
33 Kondisi iklim rata-rata dalam 5 tahun terakhir, suhu mencapai 27.7oC, RH atau kelembaban sebesar 83.1%, dan persentasi sinar matahari adalah 33.1%. Sedangkan jumlah hari hujan berkisar antara 4,7 hari/bulan (September) sampai 17,8 hari/bulan (januari). Secara rinci kondisi curah hujan kondisi iklim selama 5 tahun berturutturut disajikan pada Tabel 7 dan Tabel 8. Tabel 7. Curah hujan (mm) bulanan selama 10 tahun Tahun
Jan 1982 208 1983 281 1984 134 1985 205 1986 182 1987 314 1988 187 1989 182 1990 149 1991 198 Rerata 204
Feb 148 106 186 155 123 218 176 191 197 123 162.3
Mar 85 27 156 125 136 97 218 96 118 107 116.5
Apr 129 118 73 69 108 71 106 88 32 76 87.0
Mei 25 86 87 21 46 59 37 129 51 108 64.9
Bulan Jun Jul 68 47 52 101 47 84 58 69 32 20 102 46 49 15 33 45 11 54 9 22 46.1 50.3
Agu 3 9 38 72 55 12 62 43 69 0 36.3
Sep 342 7 54 67 84 16 28 20 71 0 68.9
Okt 13 42 60 68 174 49 121 23 54 1 60.5
Nov 71 88 88 54 122 29 18 105 41 91 70.7
Des 217 126 161 102 68 129 117 175 127 462 168.4
Jml 1356 993 1168 1065 1150 1150 1034 1080 964 1297
Sumber : Stasiun Klimatologi Natar Tabel 8. Kondisi iklim rata-rata selama 10 tahun Tahun 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 Jml Rerata
RH (%) 81.2 81.8 85.3 84.4 84.2 83.4 85.9 86.3 74.7 83.6 830.8 83.1
Suhu (oc) 26.1 28.6 27.5 27.0 27.3 27.5 27.2 29.1 28.0 28.4 276.7 27.7
Evaporasi (mm) 3.9 5.2 3.2 3.6 3.5 3.9 3.4 3.9 3.6 3.9 38.1 3.8
Radiasi (cal/cm2/hr) 435.0 435.9 413.4 426.7 462.7 410.2 327.6 354.2 324.6 401.1 3991.4 399.1
Sinar Matahari (%) 24.9 22.6 40.7 46.8 45.1 41.1 27.4 24.2 23.9 34.0 330.7 33.1
Sumber : Stasiun Klimatologi Natar 4.2.1 Geologi dan Fisiografi Kondisi geologi wilayah ini tersusun atas jaluran-jaluran (outliers) Pegunungan Barisan yang sebagian besar tersusun oleh bahan volkan muda. Secara umum wilayah ini tersusun oleh batuan pre-tersier dan andesit tua, ditunjukkan dengan banyaknya batu jenis andesit yang berserakan di sungaisungai yang berada di wilayah ini. Formasi andesit tua terdiri dari lava, andesit,
34 breksi dan tufa sebagian kecil batuan bersusunan basal dan liparit. Terdapat rekahan-rekahan dan sesar-sesar pada batuan andesit, hal ini menunjukkan bahwa batuan telah mengalami gerakan tektonik. Endapan kuarter berupa tuf Lampung menutupi bagian terluas, dan merupakan endapan ignimbrit yang diendapkan pada lingkungan marin. Tuf mempunyai komposisi dasatik sampai liparitik dengan kadar tinggi (Watala, 2005). Fisiografi wilayah ini secara umum termasuk dalam grup vulkan (Volcanic Group), secara umum bentang alam di wilayah ini terdiri dari pegunungan, perbukitan dan dataran.
Di wilayah pegunungan terdiri dari pegunungan
berlereng curam sampai sangat curam dan pegunungan berlereng sangat curam sekali. Wilayah pegunungan ini tersusun dari batuan volkan tua (basal, andesit dan dasit). Pada wilayah perbukitan bahan penyusun batuannya hampir sama dengan pegunungan, namun pada beberapa wilayah perbukitan terdapat batuan intrusif (granit) dan batuan metamorfik (skis, gneis).
Pada formasi dataran
tersusun oleh batuan granit dan skis (Watala, 2005). 4.2.2 Hidrologi Kawasan tahura merupakan salah satu sumber kebutuhan air bagi Kota Bandar Lampung. Berdasarkan wilayah pengelolaannya termasuk dalam wilayah pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Sekampung. Sungai-sungai yang mengalir ke Kota Bandar Lampung dan dimanfaatkan sebagai sumber air minum oleh PDAM Way Rilau adalah Way Simpang Kanan, Way Simpang Kiri, dan Way Betung. Secara rinci kondisi Sub-Das sungai-sungai tersebut disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Kondisi hidrologi Sub-Das wilayah Gunung Betung No 1. 2. 3. 4.
Parameter Fisik Luas (km2) Panjang sungai utama (km) Kerapatan drainase Bentuk DAS
Sumber : Watala, 2005
Sub-Das Way Sp.Kiri 14.38 35.95 2.54 Bulu burung
Sub-Das Way Sp.Kanan 16.58 36.75 2.35 Bulu burung
Sub-Das Way Betung 16.34 40.25 2.62 Bulu burung
35 Dari parameter fisik Sub-Das yang ada terutama kerapatan drainase dan bentuk DAS, maka dapat digambarkan karakteristik hidrologi dari masing-masing sungai tersebut. Sebagai contoh kondisi hidrologi Way Betung masih lebih baik apabila dibandingkan dengan kedua Sub-Das lainnya, hal ini disebabkan oleh kerapatan drainasenya yang lebih tinggi.
Apabila suatu Sub-Das memiliki
kerapatan drainase yang tinggi maka air hujan yang jatuh di atas Sub-Das tersebut akan tersebar merata ke dalam anak-anak sungainya, sehingga sebelum memasuki sungai utama akan memiliki waktu tunggu (time lag) yang lebih lama dan akan meresap ke dalam tanah dalam jumlah yang lebih banyak. Sehingga pada umumnya nanti sungai yang memiliki kerapatan drainase tinggi akan mampu meningkatkan ketersediaan air bawah tanah.
Hal ini dengan asumsi kondisi
penutupan lahan untuk Sub-Das tersebut relatif sama (Watala, 2005). Selain itu bentuk Sub-Das Way Betung yang menyerupai bulu burung mempunyai kemampuan yang cukup baik dalam menyimpan air hujan yang jatuh sebagai masukan utama Sub-Das tersebut apabila dibandingkan dengan bentuk radial. Hal ini disebabkan karena bentuk Sub-Das bulu burung mempunyai waktu puncak (time consentration) yang lebih panjang daripada bentuk Sub-Das yang radial, sehingga secara tidak langsung akan meningkatkan jumlah air yang diresapkan ke dalam tanah pada Sub-Das tersebut (Watala, 2005). Hasil pengamatan pada beberapa sungai yang bermuara di Teluk Lampung, ternyata hanya Way Betung dan Way Simpang Kiri yang tetap mengalir walaupun pada musim kemarau.
Sungai-sungai di sekitarnya tidak
berair (mengalir), tampaknya hanya mengalir apabila musim hujan dan pada musim kemarau kering. Sungai yang demikian termasuk dalam tipe intermitten rivers, yaitu hanya mengalir pada musim hujan dan tidak mengalir (kering) di musim kemarau kecuali bila ada hujan. Hal ini disebabkan karena pada musim kemarau permukaan air bawah tanah (water table) lebih rendah dari dasar sungai. Sungai-sungai yang bertipe intermitten ini sebagian besar berada pada Sub-Das Simpang Kanan (Watala, 2005).
36 4.2.3 Tanah a. Topografi Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman dengan luas wilayah sebesar 22.244 hektar memiliki kondisi lapangan dari topografi bergelombang, perbukitan lereng, tebing dan daerah pegunungan. Beberapa lembah terdapat di antara daerah perbukitan dan Gunung Betung, Pesawaran dan Tangkit Ulu Padang Ratu (1600 m dpl) (Watala, 2005). Peta ketinggian dan kelas lereng kawasan tahura dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7. b. Jenis Tanah Jenis tanah berasal dari bahan induk batuan vulkan muda dan terbentuk dengan fisiografi pegunungan serta beriklim basah. Sedangkan vegetasi yang mempengaruhi pembentukan tanah adalah hutan, walaupun pada saat ini kondisi penutupan hutan tidak sepenuhnya bagus, bahkan pada beberapa wilayah telah berubah fungsinya.
Secara umum jenis tanah terdiri dari latosol coklat dan
andosol coklat, atau Typic Dystropepts. Tanah ini termasuk jenis Inceptisols (tanah yang baru berkembang), dengan kondisi umum sebagai berikut: kedalaman tanah cukup dalam, tekstur liat sampai liat berlempung, struktur kubus membulat (angular blocky), reaksi tanah masam, serta drainase baik (Watala, 2005).
c. Sifat Kimia Tanah Reaksi tanah (kemasaman) berkisar antara masam sampai agak masam, dengan kisaran kemasaman tanah (pH ) 4.78--6.02. Sedangkan Al-dd (Alluminium dapat dipertukarkan) berpotensi masam tergolong sangat rendah (Watala, 2005). Sedangkan kandungan unsur hara utama seperti N, P, K dan KTK Tanah adalah sebagai berikut:
Kandungan Nitrogen tanah tergolong sangat rendah
(0.08%--0.16%), kandungan fosfor tanah tergolong rendah sampai sangat rendah berkisar antara 2.06 ppm P--7.29 ppm P, kandungan Kalium tanah berkisar antara 0.03--0.91 me/100g. Sedangkan KTK (Kapasitas Tukar Kation) tanah tergolong rendah (9.7--18.50 me/100g) (Watala, 2005).
37
38
39 d. Sifat Fisika Tanah Hasil analisis sifat fisika tanah di wilayah ini digambarkan dari parameterparameter yang diukur yaitu, berat jenis (bulk density), ruang pori, pori drainase, air tersedia, serta permeabilitas. Berat jenis tanah tergolong sedang yang berkisar antara 1,11--1,36 g/cc, hal ini menunjukkan bahwa kondisi kepadatan tanah relatif padat. Ruang pori total tergolong sedang berkisar antara 48,7--58,11 % volume, hal ini menggambarkan bahwa ruang pori yang terisi udara berkisar antara 40--60 % sehingga tanah tidak terlalu padat. Pori drainase menggambarkan kondisi drainase pada suatu jenis tanah, berdasarkan hasil pengamatan pori drainase tergolong tinggi pada lapisan atas (top soil) dan tergolong sedang pada lapisan bawah (sub soil).
Sedangkan kondisi
permeabilitas tanah pada lapisan atas tergolong agak cepat sampai cepat (10.1-23.7 cm/jam) dan pada lapisan bawah tergolong sangat lambat sampai lambat (0.12--0.65 cm/jam) (Watala, 2005). 4.1.
Kondisi dan Potensi Biotik
4.1.1. Tipe vegetasi dan jenis tumbuhan serta Fauna Tipe vegetasi secara umum mencakup vegetasi yang terbentuk oleh jenisjenis tumbuhan liar atau tumbuhan alam dan tumbuhan yang dibudidayakan oleh petani penggarap. Tipe vegetasi yang ada di areal garapan petani dalam tahura pada umumnya merupakan tipe vegetasi hutan sekunder yang keberadaan jenis tumbuhan alamnya terdesak oleh jenis tanaman budidaya yang dikembangkan oleh petani di kawasan ini (seperti terlihat pada peta landuse Gambar 8). Jenis tumbuhan alam masih ada yang mencakup kelompok pohon, perdu, liana, dan tumbuhan bawah. Frekuensi ditemukannya jenis tersebut sangat kecil yang berarti keberadaannya sangat jarang (Watala, 2005).
40
41 Dari jenis tumbuhan alam yang ditemukan di areal garapan petani, beberapa jenis di antaranya kelompok pohon dan jenis yang penyebarannya luas, yaitu pohon dadap, aren, sonokeling, dan bayur, sedangkan jenis lainnya penyebarannya terbatas pada areal-areal garapan tertentu dan secara rinci disajikan pada Tabel 10. (Watala, 2005). Jenis-jenis tanaman yang dibudidayakan di areal garapan sangat beragam, terdiri dari kelompok pohon, perdu, liana, empon-empon, dan palawija (seperti tersaji Tabel 10). Kerapatan jenis pohon yang dibudidayakan di tiap-tiap areal garapan petani sangat bervariasi, yaitu antara 307 batang/hektar hingga 1.934 batang/hektar. Tidak setiap penggarap membudidayakan semua jenis tanaman tersebut, karena masing-masing memiliki pilihan atau kesukaan yang berbedabeda. (Watala, 2005). Sedangkan jenis fauna yang dilindungi terdapat dikawasan ini adalah beruang madu, kijang, harimau, kukang, siamang, kera ekor putih (cecah), burung rangkong, dan yang lainnya (lihat pada Tabel 11). Sebelum kawasan tahura mengalami degradasi, banyak sekali hewan-hewan yang dapat dijumpai dengan mudah, namun saat ini sangat sedikit sekali hewan-hewan dapat dijumpai. Hal ini dikarenakan tempat hidup (habitat) mereka telah rusak, sehingga hewan-hewan tersebut hilang.
Tabel 10. Jenis pohon dan tanaman yang dibudidayakan di areal tahura Wan Abdul Rachman Nama lokal Nama Latin Jenis yang penyebarannya luas Dadap Erythrina orientalis Aren Arenga pinnata (Wurmb.) Sonokeling Dalbergia latifolia Bayur Pterospermum javanicum Jenis yang penyebarannya terbatas pada areal garapan tertentu Ketapang Terminalia cattapa L. Pinang Areca catechu Picung Pangium edule Reinw Jarak Ricinus communis Duwet Syzigium cumini Suren, Toona sureni Merr Kapuk randu Ceiba petandra
42 Tabel 10. lanjutan Nama lokal Cempaka Mahoni Salam Gondang Sengon Kiciung Medang Jenis pohon yang dibudidayakan Durian Alpokat Tangkil Petai Coklat Nangka Jengkol Mangga Kemiri Karet Kelapa Jambu biji Rambutan Cengkeh Duku Sirsak Jenis tanaman budidaya selain pohon Salak Pisang Pepaya Lada Kecipir Timun Labu siam Sirih Waluh Jahe Serai Kunyit Talas Mantang Singkong Cabe Buncis Terong
Nama Latin Michelia champaca L Swietenia sp. Syzigium polyanthum Ficus variegata B1 Albizia chinensis Ficus septica Burm. F. Litsea Spp. Durio zibethinus Persea americana Mill. Gnetum gnemon L Parkia speciosa Hassk. Theobroma cacao L Artocapus heterophyllus Pithecellobium jiringa Jack Mangifera indica Alcurites molluccana Willd Hevea brasiliensis Muell. Cocus nucifera Psidium guajava Nephelium lappaceaum Linn Syzigium aromaticus L. Lansium domesticum Annona muricata L. Salacea edulis reinw Musa Spp. Carica papaya L. Piper nigrum L. Psophocarpus tetragonolabus Cucumis sativus Linn. Sechium edule Sw. Piper betle L Averrhoa bilimbi Zingiber officinale Rosc. Cymbopogon nardus L. Rendle Curcuma domestica Colocasia esculenta L. Schott Ipumea batatas L. Lam Manihot esculanta Crantz. Capsicum annuum L Phascolus valgeris L Solanum melongena L
43 Tabel 10. lanjutan Nama lokal Kacang gude Jagung Kedelai Bawang merah Kacang panjang Padi gogo Rempai/tomat Tebu
Nama Latin Laganus cajan L. Mill. Zea mays L Glycine max L. Merr. Allium ascalonicum L Vigna unguculata Oryza sativa L Lycopersium esculentum Mill Sccharum offinarum L
Tabel 11. Jenis Hewan yang berada di sekitar kawasan tahura Wan Abdul Rachman Nama Lokal Beruang madu Rusa Harimau Kukang Siamang Kera Ekor Panjang (cecah) Burung Rangkong 4.1.
Nama Latin Alluropus ursinus Cervus timorensis Panthera tigris Nyeticebus coucang Hylobates syndatylus Raffles Macaca fascicularis Bucirotidae
Kondisi dan Potensi Sosial, Ekonomi, dan Budaya
4.1.1. Keadaan Sosial Ekonomi Keadaan WAR dikelilingi oleh 5 kecamatan yang meliputi 35 desa/kelurahan (Dinas Kehutanan, 2004) dengan keadaan jumlah dan kepadatan penduduk dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Jumlah dan kepadatan penduduk desa yang tercakup dalam wilayah kecamatan di sekitar Tahura WAR Kecamatan
Gedong Tataan Kedondong Padang Cermin Tl. Betung Barat Tj. Karang Barat Jumlah
Jumlah desa/ Klurahan 36 29 26 9 9 109
Desa berba tasan dg. THR 10 6 12 4 3 35
Luas Desa (ha)
8.201 5.146 26.322 1.826 2.604 44.099
Keterangan: * = data tidak tercatat Sumber : Watala. 2005
Luas lahan pertanian (ha) 3.392 4.373 13.782 1.311 *
Jumlah penduduk (orang) Lakilaki 20.169 10.279 24.345 7.834 12.698 73.821
Perempuan 19.916 7.981 23.771 7.703 12.136 70.193
Jumlah
40.085 18.260 48.116 15.537 24.834 144.014
Kepadatan (orang/ha) AbPersotanilut an 4.88 11.82 3,55 4.17 1,83 3.49 8.51 11.85 9,54 * 3,27
44 Data pada Tabel 10 menunjukan bahwa kepadatan penduduk desa-desa di sekitar Tahura WAR, baik kepadatan absolut maupun pertanian, relatif tinggi. Kepadatan penduduk yang tinggi menyebabkan tingginya kebutuhan akan lahan untuk berbagai kepentingan;
mata pencaharian dalam bidang pertanian
memerlukan lahan; kaum buruh yang umumnya berdaya beli rendah tidak mampu membeli lahan. Keadaan sosial ekonomi ini merupakan daya dorong yang kuat untuk mendapatkan lahan dan menimbulkan perambahan. Sementara itu, berdasarkan mata pencaharian sebagian besar penduduk bermatapencaharian
dalam bidang pertanian (50,93%), buruh (36,29%) dan
sisanya terdistribusi sebagfai pegawai negeri, buruh tambang, konstruksi, jasa dan dagang (dapat dilihat pada Tabel 13). Tabel 13. Distribusi penduduk tiga kecamatan di sekitar Tahura WAR berdasarkan mata pencahariannya Jumlah yang bekerja dalam bidang Kecamatan Kedondong Gedong tataan Teluk Betung Barat Jumlah
Pegawai Negeri
Pertanian
Tambang
Kerajinan
Konstruksi
jasa
Dagang
Buruh
154
6.935
83
93
409
274
785
1.729
1)
7.008 2.252
83 -
97 -
407 -
185 75
822 258
1.965 4.817
699 16.195
166
190
816
534
1.865
8.511
372 173
Keterangan: 1) = Guru saja Sumber: Watala (2005) Perambahan di Tahura WAR sudah berlangsung lama, sejak masih berstatus hutan lindung. Menurut Dinas Kehutanan Propinsi Lampung (2005) bahwa di kawasan tahura Wan Abdul Rachman lebih dari separuhnya dipakai oleh lebih kurang 5000 KK untuk lahan usahatani. Sampai sekarang perambahan dalam kawasan Tahura WAR masih belum dapat ditanggulangi secara tuntas, bahkan cenderung kembali meningkat. 4.4.2. Sistem budidaya yang dilakukan oleh masyarakat Secara umum masyarakat membudidayakan tanaman keras maupun tanaman palawija dan sayuran di dalam kawasan tahura. Sistem tanam yang mereka lakukan adalah sistem tanam campuran. Berbagai jenis tanaman pertanian ditanam bersama-sama dalam suatu areal garapan dengan jarak tanam bebas, tidak
45 membentuk rotasi ataupun pergiliran tanaman, seperti terlihat pada Gambar 10. Cara pengolahan tanah pun pada umumnya tidak memperhatikan aspek pelestarian lahan, contohnya adalah masih banyaknya petani yang membuat arah larikan tanaman tidak searah dengan garis kontur (garis tinggi).
Gambar 10. Pengolahan tanah dan pola tanam yang tidak memperhatikan aspek pelestarian lahan. Pemanfaatan lahan di bawah tegakan hutan ataupun di bawah pohonpohon belum dipahami oleh para petani karena mereka menyukai menanam jenis palawija dan sayuran yang justru membutuhkan sinar matahari banyak.
Hal
demikian sudah pasti memerlukan lahan terbuka atau tanpa naungan, sehingga seperti yang dikemukakan di muka tadi bahwa akan ada kecenderungan selalu memanfaatkan lahan-lahan terbuka untuk menanam palawija, bukan untuk menanam atau mengembangkan pohon-pohon multiguna.
Di sinilah peran
kegiatan pembinaan masyarakat dalam pembangunan hutan kemasyarakatan yang perlu selalu ditekankan supaya memiliki motivasi untuk memperbaiki kondisi hutan. Oleh karena itu, kombinasi tanaman keras (pohon) dengan tanaman selain pohon diarahkan melalui upaya membudidayakan tanaman yang bersifat toleran di bawah tegakan hutan, misalnya talas, laos, kunyit, kencur. Penanaman padi gogo, jagung, kacang panjang, dan cabe sebenarnya tidak layak lagi dilakukan dalam kawasan hutan lindung yang dikelola sebagai areal hutan kemasyarakatan, sehingga sistem budidaya ini harus diubah dengan memotivasi petani untuk
46 mengembangkan pohon-pohon MPTS (multipurpose trees species) supaya nantinya para petani mampu membangun hutan secara baik. Tentu indikasinya adalah terjaganya areal garapan dengan penutupan vegetasi pohon secara permanen. Cara-cara yang dilakukan untuk membudidayakan jenis tanaman memang masih menggunakan cara-cara konvensional misalnya dalam pengolahan lahan, penyiangan, ataupun pendangiran. Aspek pemeliharaan tanaman yang dilakukan petani saat ini perlu mendapat perhatian, mengingat cara-cara pemeliharaan tanaman secara benar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokasi belum dilakukan oleh para petani. Suatu contoh adalah cara penyiangan dan pendangiran tanaman dilakukan secara menyeluruh atau secara total pada areal tanaman dengan sabit dan cangkul. Diketahui bahwa 100% petani melakukan pembabatan bersih terhadap tumbuhan bawah (tumbuhan pengganggu) di areal garapannya. Mestinya penyiangan harus terbatas pada tempat-tempat sekitar tanaman saja, karena di areal-areal yang miring seperti di kawasan hutan lindung register 19 sangat peka terhadap proses erosi tanah, sehingga penutupan tumbuhan bawah sesungguhnya sangat diperlukan juga untuk mencegah terjadinya erosi, tanah longsor, dan menjaga kesuburan tanah.
Demikian pula cara-cara pendangiran tanaman sebaiknya
dilakukan pada tempat-tempat tertentu di sekitar tanaman saja.
Kebiasaan
pendangiran dan penyiangan memang dilakukan oleh petani di areal garapannya, akan tetapi cara ini mesti diarahkan menuju cara-cara pertanian konservasi, supaya tidak mengganggu kelestarian lahan.
Petani yang sudah terbiasa
mendangir tanamannya lebih kurang 45,1 %. Sedangkan pemupukan tanaman dan pemberantasan hama penyakit tidak begitu diperhatikan oleh para petani. Hal ini disebabkan oleh faktor harga pupuk dan harga pestisida yang mahal, sehingga para petani tidak melakukan pemeliharaan ini atau disebabkan faktor rendahnya pengetahuan tentang aspek pemupukan dan pemberantasan hama penyakit. Dengan demikian alternatif cara penyelesaiannya adalah dengan melakukan tindakan pemeliharaan secara murah menggunakan pupuk kandang atau pupuk hijau, dan melakukan pencegahan terhadap kemungkinan adanya serangan hama penyakit tanaman dengan perbaikan sanitasi lingkungan tempat tumbuh.
47 V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Pengelolaan Tahura WAR Pengelolaan Tahura WAR yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Propinsi Lampung berdasarkan pada perundang-undangan atau peraturan pemerintah yang berlaku baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Adapun dasar hukum Pengelolaan Tahura WAR adalah : 1. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. 2. Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan 3. Undang-undang No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah 4. PP No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. 5. PP No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa 6. PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pengawetan jenis Tumbuhan dan satwa liar 7. PP. No. 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Propinsi sebagai Daerah Otonomi 8. PP No. 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. 9. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 408 Tahun 1993 tentang Persetujuan dan Penetapan Perubahan Fungsi dan Penunjukkan menjadi Hutan Lindung Reg. 19 Gunung Betung Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman. 10. Perda Propinsi Lampung No. 7 tahun 2000 tentang Retribusi terhadap pemungutan hasil hutan non kayu di kawasan hutan 11. Perda Propinsi lampung no 6 tahun 2002 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah. 12. Keputusan Gubernur Lampung No 3 Tahun 2001 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pada Dinas Propinsi.
48 13. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 129 Tahun 1996 tentang Pola Pengolahan Kawasan Suaka Alam, kawasan Alam, Taman Buru dan Hutan Lindung. Tahura Wan Abdul Rachman dikelola secara khusus oleh Unit Pelayanan Teknis Dinas (UPTD) Tahura Wan Abdul Rachman di bawah pembinaan dan pengendalian Dinas Kehutanan Propinsi Lampung. Selanjutnya menurut Dishut Propinsi Lampung (2005), dalam penyelenggaraan tugas pengelolaan dan pengawasan di lapangan, sementara ini Tahura Wan Abdul Rachman dibagi dalam 6 (enam) Satuan Wilayah Kerja (UWK) dan
masing-masing dipimpin oleh
Koordinator Wilayah, terdiri dari : -
Satuan Wilayah Kerja (UWK) Youth Camp
-
Satuan Wilayah Kerja (UWK) Padang Cermin I
-
Satuan Wilayah Kerja (UWK) Padang Cermin II
-
Satuan Wilayah Kerja (UWK) Bandar Lampung
-
Satuan Wilayah Kerja (UWK) Gedongtataan
-
Satuan Wilayah Kerja (UWK) Kedondong dan Way Lima Sebenaranya, pihak pengelola sudah melakukan perencanaan terhadap tata
ruang wilayah tahura dalam bentuk blok-blok, namun sampai saat ini rencana tersebut belum selesai dan masih dalam tahap kajian dan penelitian atas kelayakannya, adapun rencana penataan ruang wilayah pada Tahura Wan Abdul Rachman secara umum dikelola berdasarkan dua blok yaitu blok perlindungan dan blok pemanfaatan seperti disajikan pada Gambar 11. Adapun fungsi dan peranan masing-masing blok adalah: 1. Blok Perlindungan diutamakan untuk perlindungan kawasan bagi kepentingan penelitian ekosistem hutan dalam penyangga kehidupan, hidro-ekologi kawasan dan tidak dapat dilakukan kegiatan yang bersifat merubah bentang alam.
Blok ini mencakup wilayah-wilayah yang
bertopografi gunung 2. Blok Pemanfaatan adalah wilayah kawasan yang dikhususkan untuk pembangunan ekowisata tahura.
Dalam blok ini dapat dilakukan
pemanfaatan obyek dan dan fasilitas kegiatan wisata alam tahura.
49
Gambar 11. Peta Blok Pengelolaan Tahura
50 Saat ini kebijakan yang dilakukan oleh Dinas Kehutanan Propinsi Lampung adalah dengan cara memposisikan masyarakat sebagai mitra untuk membangun kawasan Tahura WAR, yang diarahkan kepada bentuk-bentuk pembinaan dan pemanfaatan hutan dalam bentuk : 1. Mengelola hasil hutan bukan kayu seperti; biji, getah, buah, kulit, bambu, rotan, obat-obatan dan sebagainya. 2. Pengamanan hutan 3. Perlindungan dan pelestarian hutan 4. Rehabilitasi kawasan hutan 5. Mengelola sumberdaya hutan yang bersifat jasa lingkungan seperti; air, pengembangan potensi wisata, penangkaran satwa dan budidaya tanaman hutan di luar kawasan (lebah madu, ulat sutra, damar dan nilam). Lebih dari separuh kawasan Tahura WAR telah dimanfaatkan sebagai lahan budidaya tanaman seperti coklat, kopi dan MPTS, serta mengingat Perda Lampung No. 7 tahun 2000, maka akses diberikan dalam hal pemanfaatan hasil hutan bukan kayu khusus bagi masyarakat sekitar hutan yang dilaksanakan pada blok pemanfaatan yang tetap menerapkan kaidah konservasi dalam kesepakatan kerjasama pengelolaan hutan, dan memiliki kartu identitas pengelola hutan yang memiliki jangka waktu usaha kelola hutan. Namun permasalahan yang timbul adalah kurangnya pengawasan dari pihak terkait yang dalam hal ini adalah Dinas Kehutan Propinsi Lampung atau UPTD Tahura WAR, sehingga masih banyak perambah atau pengelola hutan liar, dan tak ayal lagi kawasan semakin rusak. Kurangnya pengawasan yang dilakukan oleh dinas terkait disebabkan oleh minimnya jumlah petugas yang bertugas di sekitar kawasan, sehingga hanya sebagian kecil kawasan yang dapat terawasi, serta tidak adanya aturan yang jelas yang mengatur proses pengawasan di sekitar kawasan. Selain adanya masalah perambah dan illegal logging, terdapat pula masalah perubahan atau pergeseran tata batas (PAL) kawasan sehingga mengakibatkan ketidakjelasan mengenai ukuran luas kawasan tersebut. Mengingat
begitu
kompleksnya
permasalahan-permasalahan
yang
dihadapi, perlu adanya pemikiran yang lebih integratif yang memadukan
51 permasalahan yang bersifat ekologi bagi kawasan tersebut, ekonomi bagi masyarakat dan wilayah sekitar dan juga sosial budaya yang ada sehingga ke depan diharapkan pengelolaan dapat berjalan efektif. Sejalan dengan hal tersebut melalui siaran pers Departemen Kehutanan Republik Indonesia Nomor: S.6333/II/PIK-1/2004, menjelaskan bahwa Menteri kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Peraturan Menhut ini dimaksudkan sebagai acuan umum dan landasan para pihak yang berkepentingan dalam pelaksanaan kolaborasi untuk membantu meningkatkan efektifitas dan kemanfaatan pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam bagi kesejahteraan masyarakat. Jenis-jenis kegiatan yang dapat dikolaborasikan adalah penataan kawasan berupa dukungan dalam percepatan tatabatas kawasan dan penataan zonasi; penyusunan rencana pengelolaan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam; pembinaan daya dukung kawasan yang meliputi inventarisasi dan monitoring flora fauna, pembinaan populasi dan habitat jenis, rehabilitasi kawasan di luar cagar alam dan zona inti taman nasional. Adapun pihak-pihak yang menjalin kolaborasi diantaranya kelompok masyarakat setempat, perorangan, LSM bidang Konservasi sumberdaya alam hayati,
Pemerintah
daerah,
ilmiah/lembaga pendidikan.
BUMN,
BUMD,
BUMS,
serta
lembaga
Pihak-pihak tersebut dapat bertindak sebagai
inisiator, fasilitator ataupun pendampingan.
Sedangkan dukungan dalam
melakukan kolaborasi dapat berupa sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, data dan informasi, dana atau dukungan lain sesuai kesepakatan bersama. Berdasarkan hal tersebut, maka Dinas Kehutanan Propinsi Lampung berinisiatif untuk menggagas proses dialog multipihak yang dilandasi oleh harapan semua pihak akan terciptanya pengelolaan kolaboratif kawasan Tahura yang terpadu secara ekologis, ekonomi dan sosial, serta berazaskan keadilan sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 41/1997 tentang kehutanan. Hal ini juga dilakukan oleh Dinas Kehutanan agar terjaringnya partisipasi aktif dari masyarakat untuk dapat ikut mengelola kawasan tersebut. Secara umum, tahapan
52 kerangka proses pemecahan masalah dan implementasi dari kegiatan kolaboratif yang akan dilakukan berdasarkan pada Gambar 12.
Tahap 1. Pemetaan kembali perbedaan kepentingan dalam pengelolaan Tahura
Tahap 2. Membangun gagasan pemcahan masalah dan penyelesaian sengketa
Tahap 4. Pelaksanaan Pengelolaan Kolaboratif Kawasan Tahura jangka menengah (5 th)
Tahap 3. Perencanaan Kolaboratif Pengelolaan Tahura
Pengelolaan Kawasan Tahura WAR berkelanjutan
Gambar 12. Tahapan Rencana Umum Proses Penyusunan Kolaboratif Kawasan Tahura WAR Register 19.
Pengelolaan
Tahap 1 dan tahap 2 merupakan tahap-tahap dimana pemetaan kembali secara umum permasalahan, perbedaan kepentingan dan sengketa, serta kesepahaman pengelolaan sumberdaya alam
yang terjadi dalam pengelolaan
kawasan Tahura Wan Abdul Rachman, sedangkan tahap 2 merupakan tahap dimana berbagai gagasan pemecahan masalah dan penyelesaian sengketa dibangun. Kedua tahap tersebut telah dilaksanakan melalui rangkaian proses dialog seperti pada Tabel 14. Secara umum, masalah, sengketa, dan gagasan yang berkembang pada dialog Tahap 1 dan 2 dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Masalah yang berkaitan dengan tata batas. 2. Masalah rehabilitasi lahan kawasan 3. Masalah sosial, kemiskinan, dan mata pencaharian 4. Masalah kelembagaan dan kemitraan.
53 Tabel 14. Rangkaian proses dialog pemetaan masalah dan sengketa dalam pengelolaan Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman serta pengembangan gagasan penyelasaiannya. No Tahapan Dialog Kegiatan Jadwal 1 Dialog Dialog Pemetaan kembali 26 September Pendahuluan perbedaan kepentingan dan 2005 kesepahaman dalam pengelolaan Tahura. 2 Dialog Antara Membangun Gagasan 29 September Pengembagan Bentuk2005 bentuk akses pengelolaan kawasan Tahura WAR Membangun gagasan pe21 Nopember nyelesaian sengketa lahan di 2005 dalam kawasan Tahura WAR Membangun gagasan pe28 Nopember ngembangan model ma2005 najemen kolaborasi kawasan Tahura WAR Dialog Membangun ga1 Desember 2005 gasan dalam pensinergian rencana tata ruang Tahura dan wilayah sekitar Dialog dan Lokakarya 21 Desember Perencanaan Kolaborasi 2005 Pengelolaan kawasan Tahura WAR
Lead Fasilitator Dishut dan Icraft
Walhi, dan Dishut Propinsi
Dishut Propinsi, dan Icraf
Watala dan Dishut Propinsi
Bappeda/KKRPS DAL, Dishut Propinsi, dan Icraf Dishut Propinsi, Walhi, Watala, KKRPSDAL, Icraf, Ford Foundation.
Keterangan : Dishut Walhi Watala Bappeda KKRPSDAL
: : : : :
Dinas Kehutanan Wahana Lingkungan Hidup (LSM) Keluaraga Pecinta Alam (LSM) Badan Perencana dan pembangunan Derah Kelompok Kerja Relawan Pengelola Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Hasil dialog tahap 1 dan tahap 2 tersebut perlu ditindaklanjuti dengan upaya pemecahan masalah dan rencana kegiatan. Pendekatan kolaborasi menjadi pilihan dalam rangka membangun legitimasi rencana pengelolaan kawasan dari semua pihak yang berkepentingan. 5.1.1 Fungsi dan Kewenangan Kelembagaan Terdapat beberapa fungsi dan kewenangan dari suatu kelembagaan dalam pengelolaan kawasan suatu wilayah konservasi, dimana masing-masing lembaga
54 memiliki fungsi dan peranan tersendiri dalam proses pengelolaan tersebut. Akan tetapi, dalam kasus Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman, proses pengelolaan berada langsung di bawah kewenangan Dinas Kehutanan Propinsi Lampung yang secara operasional di lapangan diserahkan langsung kepada Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Tahura WAR. Hal tersebut didasarkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34 Tahun 2002 (pasal 37, 38, 39, 40, 41, 42), yaitu melalui : a. Menteri Kehutanan, apabila kawasan berada pada lintas propinsi. b. Gubernur, apabila hutan berada di lintas kabupaten c. Bupati/Walikota, apabila hutan berada dalm 1 (satu) kabupaten/kota. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Propinsi Lampung No. 3 tahun 2001 tentang penetapan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) yang berfungsi dalam proses pengelolaan secara langsung kawasan Tahura Wan Abdurrahman, maka secara operasional pengelolaan diserahkan kepada UPTD Tahura WAR yang pertanggungjawabannya berada di bawah Dinas Kehutanan Propinsi Lampung. Selain Dinas Kehutanan, ada beberapa instansi pemerintah yang memiliki keterkaitan dalam proses pengelolaan Tahura WAR walaupun tidak secara langsung berwenang melakukan pengelolaan terhadap kawasan Tahura WAR, namun dinas atau instansi tersebut dapat memberikan sumbang saran bagi pengelolaan Tahura WAR bahkan dapat juga memberikan bantuan berupa SDM maupun bantuan lain yang diperlukan bagi pengelolan kawasan. Adapun instansi yang terkait di antaranya adalah :
a. Bappeda Propinsi Lampung Dinas atau badan ini berperan di dalam melakukan perencanaan pembangunan di wilayah Propinsi Lampung, yang dalam hal ini termasuk juga kawasan Tahura WAR.
Walaupun secara operasional tidak diberikan hak kelola,
namun dapat memberikan saran-saran apabila diperlukan dalam proses pengelolaannya.
55 b. Bapedalda Propinsi Lampung Dinas atau Badan yang berperan di dalam pengelolaan lingkungan ini memiliki lingkup kerja di seluruh wilayah Propinsi Lampung, termasuk juga kawasan Tahura yang merupakan wilayah kerjanya. Sehingga Dinas/Badan ini dapat berperan di dalam memberikan saran untuk pengelolaan Tahura yang lebih efektif, sama dengan Bappeda. c. Bapedalda Kabupaten Lampung Selatan dan Bapedalda Kotamadya Bandar Lampung Seperti diuraikan sebelumnya, bahwa kawasan Tahura WAR berada di wilayah Kabupaten Lampung Selatan dan Kota Bandar Lampung, maka Bapedalda Kabupaten Lampung Selatan dan Bapedalda Kota Bandar Lampung memiliki peran ikut memikirkan pengelolaan yang efektif bagi kawasan Tahura, bantuan pengelolaan juga dapat berupa SDM, dan sarana prasarana yang dapat menunjang kelestarian bagi kawasan Tahura WAR. Secara umum, pengelolaan kawasan konservasi harus melibatkan berbagai pihak, karena berdasarkan peraturan pemerintah dan perundang-undangan maupun yang berlaku mengisyaratkan bahwa semua lembaga/instansi memiliki peran masing-masing di dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Namun
terkadang fungsi dan kewenangan masing-masing lembaga dalam pengelolaan suatu kawasan khususnya hutan tidak jelas dan saling tumpang tindah, seperti tertera pada Tabel 15. dasar aturan formal dan kebijakan yang digunakan dalam pengelolaan terfragmentasi, tidak konsisten antara satu dengan lainnya, kadang saling bertentangan. Ditambah lagi dengan visi dan misi serta kepentingan yang berbeda dari berbagai lembaga tersebut akan memicu konflik antar lembaga.
56 Tabel 15. Peraturan Perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan pengelolaan kawasan konservasi No 1
2
Peraturan Perundang-undangan Uraian UU No. 5/1990 tentang koonservasi - Pelaksanaan kegiatan konservasi Saumberdaya Alam Kehati dan sumberdaya alam hayati Ekosistemnya - Pembinaan Konservasi UU No. 9/1990 tentang - Pemberian izin usaha pariwisata Kepariwisataan UU No 24/1992 tentang penataan ruang
- Pengelolaan kawasan tertentu - Perencanaan tata ruang darat, laut dan udara - Perencanaan ruang wilayah kabupaten - Pemberian izin - Koordinasi perencanaan dan pengelolaan lingkungan
4
UU No. 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan hidup
5
UU No. 41/1999 tentang Kehutanan - Aturan Pengelolaan Hutan
6
UU No. 5/1974 tentang Pokokpokok Pemerintah di daerah
- Pengelolaan sumberdaya darat - Pengelolaan sumberdaya nasional dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan
7
UU No. 33/2004 tentang perinbangan keuangan pusat dan daerah
- Pendistribusian keuangan bagi sumberdaya alam yang diambil
- Pemerintah Pusat c.q. Dep. Parsenibud dan Pemerintahan daerah - Pemerintah pusat c.q. Depdagri - Pemerintah Propinsi - Pemerintah Kabupaten/Kota - Pemerintah Pusat c.q. Menteri Lingkungan hidup danPemda c.q. Bappeda, Bapedalda - Pemerintah pusat c.q. Dephutbun - Pemerintah daerah - Pemerintah daerah
- Pemerintah Pusat dan Daerah
-
Fungsi Manajemen Implementasi Pengawasan/Pengendalian
-
Perizinan
-
Perencanaan Perencanaan Perencanaan dan perizinan
-
Perencanaan dan implementasi
-
Implementasi
-
Implementasi Perencanaan, implementasi, pengawasan, pengendalian. Implementasi dan Perencanaan
-
56
3
Lembaga yang Berwenang - Pemerintah Pusat - POLRI, Dephutbun
57 Tabel 15. lanjutan No 8
9
10
11
12
13 14
Peraturan Perundang-undangan PP No. 24/1979 tentang penyerahan sebagian usaha pemerintah dalam bidang Kepariwisataan Kepala Daerah tk I PP No. 24/1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan Taman wisata Alam PP No. 25/2000 tentang kewenangan pemerintah pusat dan kewenangan Propinsi sebagai daerah otonom PP No. 62/1998 tentang penyerahan sebagian urusan pemerintah di bidang kehutanan kepada daerah Kepres No. 32/1990 tentang Pengelolaan kawasan lindung
Kepres No. 77/1994 tentang Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Kepres No. 25/1994 tentang Koordinasi Penyelenggaraan transmigrasi dan pemukiman perambahan hutan
Uraian - Pemberian izin untuk kegiatan usaha di bidang kepariwisataan
Lembaga yang Berwenang - Pemerintah daerah c.q. Dinas Pariwisata
-
Fungsi Manajemen Perizinan
- Pemberian izin pengusaha pariwisata
- Pemerintah pusat c.q. Dephutbun
-
Perizinan
- Kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom
- Pemerintah pusat - Pemerintah daerah
-
Implementasi
- Penyerahan sebagian urusan pemerintahan di bidang kehutanan kepada daerah - Penetapan wilayah tertentu sebagai kawasan lindung - Mengendalikan pemanfaatan ruang di kawasan lindung - Koordinasi dampak lingkungan
- Pemerintah pusat c.q Dephutubun
-
Implementasi
- Pemerintah daerah tk I - Pemerintah daerah tk I
-
Perencanaan Pengawasan dan pengendalian
- Pemerintah pusat dan daerah - Pemerintah pusat c.q. Dep Transmigrasi dan Kependudukan
-
Pengawasan dan penmgendalian Perencanaan dan Implementasi
- Koordinasi antar lembaga
-
57
58 Fungsi dan wewenang masing-masing lembaga atau instansi yang bertanggung jawab dalam mengelola kawasan konservasi dapat diuraikan sebagai berikut : A. Sektor Kehutanan Dalam mengelola sektor kehutanan, kewenangannya di limpahkan kepada Departemen Kehutanan yang kemudian berdasarkan fungsi dan kewenangan pemberian izin pemanfaatan hutan diserahkan kepada masing-masing daerah dimana areal hutan tersebut berada di daerah kewenangannya sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 2002 seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Permasalahan yang terjadi di Propinsi Lampung sehubungan dengan pengelolaan kawasan konservasi dan hutan lindung adalah : a. Sebagian besar hutan di kawasan Tahura WAR belum dilakukan reskoring untuk mengetahui kelayakan alokasi fungsi hutan melalui perhitungan bobot/skor berdasarkan faktor kelerengan, jenis tanah dan intensitas hujan. b. Terbatasnya data dan informasi mengenai gambaran umum yang ada di kawasan tersebut baik berupa flora maupun fauna yang ada. c. Sering terjadi pemindahan patok batas (PAL) di kawasan tersebut bahkan hilang. d. Terjadi pengrusakan hutan akibat adanya perambahan dan ilegal loging sehingga menyebabkan hutan primer di kawasan tersebut hanya tinggal sekitar 20% lagi (seperti terlihat pada Gambar 13). e. Terbatasnya tenaga pendukung dalam mengelola kawasan sehingga proses pengawasan hutan tidak efektif.
59
Gambar 13. Penyebab Kerusakan Kawasan Tahura WAR B. Sektor Pariwisata Sektor Pariwisata memiliki peran di dalam mengelola kawasan yang memiliki potensi kekayaan sumberdaya alam dari segi estetika dalam rangka pemanfaatan kawasan tersebut menjadi kawasan yang memiliki daya tarik wisata dan digunakan untuk proses pembangunan nasional. Adapun instansi yang berwenang adalah Dirjen Pariwisata, Seni dan Budaya untuk tingkat pusat dan Dinas Pariwisata untuk tingkat propinsi dan Kabupaten/kota.
Fungsi dari Dirjen Pariwisata menyusun perencanaan dan
pengembangan obyek wisata yang kemudian mempromosikannya. Kemudian di tingkat daerah sehubungan juga dengan otonomi daerah, pengelolaannya diserahkan kepada Dinas Pariwisata Propinsi. Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman memiliki potensi wisata yang besar, dimana kawasan ini memiliki bentang alam yang beragam, dari gununggunung dan bukit hingga lembah bahkan teluk yang memiliki keindahan dan cocok untuk dikembangkan pariwisata, sebagaimana terlihat pada Gambar 14. Selain itu, kawasan ini sangat dekat dengan Ibukota propinsi yakni Kota Bandar Lampung,
sehingga
pengembangannya.
memiliki
akses
yang
besar
pula
dalam
proses
60
Air terjun
Danau Buatan
Sunrise
Pesona Teluk lampung
Gambar 14. Potensi Wisata yang ada di Kawasan Tahura WAR Kebijakan pariwisata pada kawasan konservasi harus di atur dengan baik agar tidak mengganggu fungsi kawasan, yakni sebagai hutan lindung dan hutan pemanfaatan terbatas. Selanjutnya, untuk prospek ke depan perlu dikeluarkan perda-perda yang mengatur secara khusus pariwisata, dengan demikian kawasan-kawasan wisata dapat dikelola secara profesional, agar dapat menambah pendapatan bagi masyarakat sekitar dan bagi daerah tersebut dalam bentuk Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Prospek ini dapat terwujud dengan baik jika pengelolaannya
dikoordinasikan atau kolaborasi program dengan stakeholder yang terkait. Jenis pariwisata yang dapat dikembangkan dalam penelitian ini adalah dalam bentuk Ekowisata. C. Sektor Lingkungan Sektor lingkungan memiliki peran di dalam pengelolaan lingkungan yang kapasitas pengelolaannya diserahkan kepada Menteri Lingkungan Hidup pada tingkat pusat, sedang pada tingkat daerah sektor ini masih banyak yang belum
61 berdiri sendiri sebagai lembaga koordinasi dan masih melekat pada instansi lain yang biasanya terintegrasi dengan Bappeda. Hal ini terjadi dikarenakan masingmasing daerah belum merasakan penting akan kehadirannya, dan masih dianggap sektor lingkungan memiliki ruang lingkup yang sempit. Jika hal tersebut berlangsung terus, maka kapasitas dan kapabilitas lembaga ini hanya sebagai pemberi informasi saja dan tidak lebih tanpa melakukan
tindakan-tindakan,
baik
berupa
pengelolaan
maupun
proses
pengawasan hingga pemberian sangsi apabila ada tindakan penyelewengan. Propinsi Lampung memiliki lembaga atau instansi lingkungan
yang
disebut dengan Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan Hidup Daerah (Bapedalda), Kabupaten/kota sebagian besar telah meiliki badan/instansi tersebut, namun masih ada yang belum berdiri sendiri dan masih melekat pada instansi lain. Adapun peran lembaga ini di kawasan Tahura Wan Abdul Rachman sebenarnya memiliki peran yang strategis, dimana permasalahan pemukiman ilegal dan perusakan lingkungan juga merupakan wewenang dari badan ini. Untuk itu kedepan, sebaiknya Bapedalda harus lebih intens di dalam mengawasi kerusakan kawasan Tahura Wan Abdul Rachman walaupun pengelolaannya telah diserahkan kepada Dinas Kehutanan Propinsi Lampung. 5.2.
Karakteristik Permasalahan di kawasan Tahura Wan Abdul Rachman. Permasalahan sebenarnya yang terjadi di sekitar kawasan Tahura Wan
Abdul Rachman adalah adanya penggarapan lahan yang telah berlangsung lama, sejak kawasan tersebut masih berstatus hutan lindung. Berdasarkan hasil inventarisasi, tahun 1979 terdapat 1.733 KK dan tahun 1986 menjadi 10.940 KK. Sampai dengan tahun 1991 penggarapan tersebut telah dikeluarkan melalui program transmigrasi lokal (translok) sebanyak 9.964 KK dan rnasih tersisa 2.297 KK. Sampai sekarang penggarapan dalam kawasan Tahura WAR masih belum dapat ditanggulangi secara tuntas, bahkan cenderung kembali meningkat (Watala. 2006). Sejak tahun 1990 Bupati Kabupaten Lampung Selatan telah menyatakan kawasan Hutan Lindung Reg. 19 Gunung Betung "Kosong dari Pemukiman". Akan tetapi, era reformasi memicu munculnya kembali pemukiman di dalam
62 kawasan dan berkembang pesat (± 2.468 gubuk) di dalam kawasan Tahura WAR. Saat ini, menurut Dinas Kehutanan Propinsi Lampung (2006), lebih dari separuh Kawasan Tahura WAR telah dipakai oleh sekitar 5.000 KK untuk lahan usaha tani (budidaya tanaman). Perambahan yang dilakukan berkaitan dengan penggarapan lahan, penebangan, penebasan, dan pembakaran hutan. Penyediaan lahan pertanian dilakukan dengan menebang hutan untuk membuka lahan, setelah itu dilanjutkan dengan pembersihan lahan dengan cara pembakaran, hal ini dilakukan merupakan cara pembersihan yang paling cepat dan murah. Setelah pembersihan lahan selanjutnya dilakukan penanaman. Tanaman yang paling cepat menghasilkan adalah tanaman palawija (semusim). Tanaman semusim umumnya memerlukan perawatan yang relatif intensif setiap hari. Bagi masyarakat (peladang) yang bertempat tinggal di kampung yang dekat dengan areal perladangannya, perawatan tersebut dapat dilakukan dengan cara pulang pergi setiap hari. Akan tetapi, bagi peladang yang tempat tinggalnya jauh mereka membuat gubuk (rumah sederhana). Dalam rangka memudahkan aktivitas sosial (berkomunikasi dan interaksi lainnya), para penggarap lahan yang lahan garapannya berdekatan biasanya membangun gubuk di tempat yang berdekatan sehingga gubuk-gubuk tersebut membentuk umbulan (talang). Selain sebagai tempat bersitirahat atau menginap selama merawat tanaman, gubug tersebut berfungsi sebagai gudang penyimpanan peralatan pertanian dan hasil produksi pertanian sebelum dijual sekaligus sebagai pos penjagaan (keamanan). Para peladang menyatakan bahwa untuk pulang pergi ke kampung, terlalu banyak waktu dan tenaga yang harus mereka korbankan. Apabila waktu tempuh yang diperlukan untuk sampai ke ladang l sampai 2 jam, pada kenyataannya waktu yang diperlukan lebih lama karena ketika sampai harus istirahat dahulu, tidak dapat langsung bekerja. Menurut peraturan, sebagai kawasan pelestarian alam, seharusnya kegiatan perladangan, tebang-tebas-bakar, dan pembangunan gubuk di dalam kawasan Tahura WAR merupakan hal terlarang. Namun hal tersebut masih saja terjadi.
63 Secara umum faktor penyebab terjadinya penggarapan lahan dalam kawasan Tahura WAR terdiri atas dorongan dari luar dan daya tarik dari kawasan Tahura WAR. 1.2.1. Dorongan dari Luar Tahura WAR Dorongan dari luar terdiri atas motif sosial-ekonomi dan aspek kesejarahan. Dorongan sosial ekonomi yang menyebabkan terpilihnya Tahura WAR sebagai sumberdaya bagi pemenuhan kebutuhan hidup dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain pemilikan lahan, pendapatan, pendidikan dan keterampilan, ketersediaan lapangan kerja lain di luar sektor pertanian, dan aksesibilitas. Faktor-faktor tersebut satu sama lain saling terkait yang menghasilkan
resultante
mendapatkan
sumberdaya
berupa (lahan)
ketidakberdayaan atau
dorongan
masyarakat untuk
untuk
mendapatkan
sumberdaya yang secara finansial dapat dijangkau. Dorongan tersebut, didukung oleh berbagai faktor yang menjadi daya tarik Tahura WAR menyebabkan terjadinya pembukaan dan penggarapan lahan dalam Kawasan Tahura WAR semakin meningkat. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Watala mengenai studi karakteristik permasalahan di register 19 Tahura Wan Abdul Rachman, dari 118 responden yang diwawancarai 116 (98,30%) menyatakan bekerja sebagai petani, hanya 2 orang (1,70%) yang bekerja sebagai buruh. Akan tetapi, dari 118 responden tersebut hanya 17 orang (14,41%) yang memiliki lahan garapan (ladang) di luar Tahura WAR dengan rata-rata luas pemilikan lahan 5.646 m2 Oleh karenanya, selain pekerjaan pokok sebagai petani mereka mencari pekerjaan sampingan. Akan tetapi, karena keterampilan dalam bidang lain tidak mereka miliki, pendidikan formal mereka rendah, dan kesempatan kerja di sektor lain sangat terbatas, maka pekerjaan sampingan mereka pun hanya sebagai buruh atau buruh tani (Gambar 15).
64 28%
Buruh
29%
buruh tani tidak tentu
2%
Ternak kambing
2%
Penggilingan
2%
Nyadap aren
2%
Keagamaan
2%
Garap Sawah
2%
Upahan
3%
Garap sawah TNI AL
3%
Ngojek
6%
Kuli bangunan
6% 13%
Dagang 0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Gambar 15. Distribusi jumlah responden berdasarkan pekerjaan sampingan Pada Gambar 15 dapat dilihat bahwa sebagian besar pekerjaan sampingan yang tersedia atau dimiliki petani di sekitar Tahura WAR adalah buruh dan buruh tani. Jenis pekerjaan tersebut dan pekerjaan lainnya merupakan pekerjaan yang tidak memerlukan keahlian atau keterampilan khusus dan tidak memerlukan pendidikan formal (ijazah). Untuk mencari pekerjaan lain di luar sektor pertanian di daerah lain (di kota) mereka tidak memiliki daya saing karena tidak memiliki tingkat pendidikan atau keterampilan yang memadai. Bahkan kalau di lihat dari asal-usul keberadaan mereka di desa sekitar Tahura, disamping tidak memiliki lahan, mereka nampaknya orang-orang yang tidak mampu bersaing dalam mendapatkan pekerjaan di daerahnya (perkotaan). Dari 118 responden yang diwawancarai 78,81% menyatakan bukan penduduk asli desa tersebut, melainkan pindahan dari daerah lain. Sedangkan mereka yang menyatakan penduduk asli pun sebenarnya bukan penduduk asli (Lampung) tetapi pindahan dari daerah lain, umunya dari Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa tengah, Banten, dan Sumatera Selatan. Bahkan ditemui peladang yang berasal dari Sumatera Utara. Pendapatan bulanan rata-rata mereka bervariasi di bawah Rp 1.000.000 dan sebagian besar berkisar antara Rp 100.000 s.d. Rp 400.000 (Gambar 16).
65 27%
200 < Pendapatan < 300 19%
300 < Pendapatan < 400 5%
400 < Pendapatan < 500
4%
500 < Pendapatan < 600 600 < Pendapatan < 700
2%
700 < Pendapatan < 800
2%
800 < Pendapatan < 900
2% 1%
900 < pendapatan <1000
9%
<100
29%
100
Gambar 16.
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Distribusi pendapatan masyarakat sekitar Tahura WAR (Rp per bulan). (Pendapatan tersebut merupakan pendapatan bersih dihitung berdasarkan hasil panen dalam satu tahun terakhir ditambah dengan pendapatan dari pekerjaan sampingan. Tidak termasuk pedapatan yang langsung dikonsumsi).
Data distribusi pendapatan seperti disajikan pada Gambar 16 tersebut menggambarkan bahwa secara ekonomi (finansial) mereka sangat lemah. Mereka tidak memiliki dana untuk ditabung sehingga mereka tidak dapat mencari pekerjaan lain, apalagi di daerah lain. Untuk mencari pekerjaan lain, selain diperlukan keterampilan juga diperlukan modal untuk transpor dan bekal selama menunggu mendapatkan pekerjaan. Lemahnya kemampuan finansial menyebabkan mereka juga lemah dari segi pendidikan. Lama pendidikan rata-rata masyarakat di sekitar Tahura WAR adalah 6 tahun dengan kisaran 0-12. Hal ini berarti pendidikan rata-rata yang dicapai hanya sampai SD (34% di antaranya tidak tamat SD) dan yang tertinggi sampai SLTA. Sekolah yang ada di desa sekitar Tahura WAR umumnya hanya sampai tingkat SD. Sekolah dengan jenjang yang lebih tinggi umumnya terdapat di ibukota kecamatan atau di desa-desa yang mudah dijangkau dari pusat permukiman. Untuk mencapai sekolahan tersebut dari permukiman di sekitar Tahura WAR, selain jarak tempuhnya jauh juga tidak ada kendaraan umum yang murah. Kendaraan yang tersedia adalah ojek, tetapi biayanya mahal sehingga tidak terjangkau. Di satu sisi pendapatan mereka rendah, di sisi yang lain untuk
66 mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi mereka harus mengeluarkan biaya yang relatif lebih tinggi. Oleh karena itu, mereka umumnya tidak menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Masih berkaitan dengan ekonomi, alasan penduduk di sekitar Tahura WAR tidak menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi adalah karena tenaga mereka diperlukan untuk membantu. Pembukaan dan penggarapan lahan memerlukan banyak tenaga. Musim tanam di suatu desa biasanya serempak karena ditentukan oleh ketersediaan air (hujan). Apabila tertinggal menanam, maka tidak dapat tumbuh dengan baik. Oleh karena itu, sulit mencari tenaga buruh pada musim tanam. Untuk mendatangkan buruh dari luar daerah memerlukan biaya yang relatif tinggi. Oleh karena itu, keluarga yang memiliki anak remaja, terutama lelaki biasanya diikutkan untuk bekerja di ladang. Akhirnya mereka melakukan usaha perladangan sendiri dengan cara membeli, meneruskan orang tua, atau membuka sendiri. Data pada Gambar 17 memperlihatkan distribusi responden yang pindah ke daerah tersebut ikut orang tua relatif tinggi (24%). Oleh karena itu, lingkaran permasalahan —karena pendapatan rendah mereka tidak mampu medapatkan pendidikan yang tinggi, selanjutnya tidak mampu bersaing mendapatkan pekerjaan yang dapat memberikan pendapatan sehingga pendapatannya rendah—akan terus turun temurun dari generasi ke generasi. 29%
Usaha
24%
Ikut Orang tua
16%
Tidak ada lahan
9%
Merantau
22%
lain-lain
0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
35%
Gambar 17. Distribusi responden menurut alasan keberadaannya di tempat tinggal sekarang (di sekitar Tahura WAR)
67 Pada Gambar 17 dapat dilihat bahwa prosentase alasan keberadaan di tempat tinggal sekarang "untuk usaha", "tidak ada lahan" dan "merantau" relatif tinggi yaitu 54%. Pada dasarnya ketiga alasan tersebut adalah sama yaitu didorong oleh ketidak mampuan bersaing dalam memperoleh pekerjaan atau lahan di daerah asalnya. Pada akhirnya, lapangan pekerjaan yang diperoleh di tempat tinggal sekarang adalah lama, yaitu bidang pertanian dengan menggarap lahan di dalam kawasan Tahura WAR. Ketergantungan mereka terhadap lahan pertanian sangat tinggi karena, seperti telah dijelaskan, tingkat pendidikan dan penguasaan keterampilan dalam bidang non-pertanian rendah. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa keterampilan bertani mereka tinggi. Pertanian mereka pada umumnya belum mempraktekkan sistem pertanian berkelanjutan, yaitu yang menerapkan teknik-teknik konservasi tanah dan air. Karena didukung oleh kondisi tanah yang relatif subur (baru dibuka), dalam tahun-tahun pertama mereka masih dapat memanen hasil yang cukup banyak. Dalam lima tahun, bahkan kurang, setelah pembukaan diperkirakan lahan tersebut umumnya subur lagi, sehingga diperlukan input (pupuk) yang banyak. 1.2.2. Daya Tarik dari Dalam Tahura WAR Disamping dorongan yang kuat dari luar, faktor penyebab terjadinya penggarapan lahan oleh masyarakat adalah adanya daya tarik dari dalam kawasan Tahura WAR sendiri. Daya tarik dari dalam terdiri atas berbagai faktor yang secara
umum
dapat
dikelompokkan
kedalam
keterbukaan/ketersediaan
sumberdaya lahan dan adanya kesempatan yang memungkinkan dilakukannya pembukaan lahan dalam kawasan Tahura WAR. Pada dasarnya, terjadinya okupasi dan penggarapan lahan oleh masyarakat tersebut menunjukkan inkonsistensi kebijakan kehutanan serta keterbatasan kemampuan UPTD Tahura WAR dan Dinas Kehutanan Propinsi Lampung memangku kawasan dengan baik. A. Ketersediaan Sumberdaya Lahan yang sangat terbuka (Open Acces) Kurangnya pengawasan menyebabkan lahan dalam kawasan Tahura WAR seolah-olah sumberdaya alam yang tidak ada pemiliknya, bersifat terbuka bagi siapa saja. Kurangnya pengawasan disebabkan oleh kurang tersedianya
68 sumberdaya manusia (SDM), baik kuantitas maupun kualitas serta kurangnya sarana dan prasarana. Para petugas Tahura WAR yang diwawancarai menyatakan bahwa pengawasan Tahura WAR belum sepenuhnya dapat dilakukan dengan baik karena kurangnya dukungan sumberdaya manusia serta sarana dan prasarana. Bahkan pembinaan pegawai pun belum dapat dilaksanakan secara optimal karena garis komando pun belum jelas. Kurangnya tenaga pengawas, sementara jalan masuk ke kawasan Tahura WAR tersedia dari berbagai arah dan kebutuhan masyarakat akan lahan sangat tinggi menyebabkan okupasi lahan tidak dapat dibendung. Para penggarap lahan nampaknya lebih menguasai lahan. Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Tahura WAR sebagai pemangku kawasan, secara defacto tidak efektif lagi. Bahkan lahan garapan tersebut saat ini telah "diperjualbelikan" dengan istilah ganti rugi. Dari hasil wawancara dengan para penggarap diketahui bahwa luas garapan mereka berkisar antara kurang dari 1 ha sampai dengan 4 ha. Walaupun demikian, ada penggarap yang sebenarnya tidak memiliki lahan garapan, jadi ia bertindak hanya sebagai "penggarap" sedangkan "hak garapannya" berada pada orang lain. Hal tersebut menunjukkan bahwa, di antara para penggarap lahan Tahura WAR terdapat semacam konsensus tentang pengakuan "hak garapan" sehingga secara umum tidak terjadi saling rambah-merambah. Fenomena "penggarap"
menunjukkan
bahwa
"hak
garapan"
tersebut
merupakan
kelembagaan yang telah diakui oleh masyarakat penggarap. Oleh karena itu, lahan garapan tersebut dapat diperjualbelikan. Bahkan dikalangan mereka sistem warispun diakui. Kondisi ini tentu akan mengancam kelestarian Tahura WAR. Untuk memenuhi kebutuhannya, para penggarap lahan akan berusaha melakukan ekstensifikasi dengan berbagai cara, baik dengan cara membeli (mengganti rugi) lahan garapan orang lain atau membuka areal hutan baru. Fenomena jual-beli dan pembukaan lahan dalam kawasan Tahura WAR merupakan hal yang sudah biasa, bukan rahasia lagi, dan telah melembaga di lingkungan para peladang. Bahkan para petugas Tahura WAR pun, secara personal telah mengetahuinya. Untuk mendapatkan uang kontan yang bersifat mendesak, para penggarap dapat menjual sebagian atau seluruh lahan garapannya. Selanjutnya mereka dapat membuka
69 lahan baru di tempat lain yang kosong. Lokasi lahan kosong tersebut biasanya mereka peroleh dari peladang lain yang lokasinya berbatasan. Peladang di lokasi yang berbatasan dengan areal yang belum ada "pemiliknya" akan senang jika lahan tersebut dibuka orang. Selain akan mendapatkan teman, juga berarti akan berbagi risiko dalam menghadapi hama. Keadaan tersebut menyebabkan frekuensi jual beli dan pembukaan lahan baru relative tinggi. Hal ini terlihat dari pengakuan responden dalam cara mendapatkan lahan garapan seperti disajikan pada Gambar 18 cara lain
7%
Membuka sendiri
21%
Warisn
41%
Ganti rugi
31%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
Gambar 18. Distribusi responden berdasarkan cara mendapatkan lahan garapan dalam kawasan Tahura WAR Gambar 18 memperlihatkan bahwa cara mendapatkan lahan garapan dengan ganti rugi (pembelian) dan membuka sendiri relatif tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa penggarap lahan yang baru masih terus berdatangan, karena di samping oleh peladang lama pembelian dan pembukaan lahan tersebut juga dilakukan oleh orang baru. B. Adanya oknum petugas yang tidak disiplin Oknum petugas yang tidak disiplin berperan cukup besar sebagai faktor penarik dari dalam yang menyebabkan terjadinya penggarapan dalam kawasan Tahura WAR. Dari hasil studi yang dilakukan oleh watala dalam studi karakteristik permasalahan tahura dengan metode Focus Group Discussion (FGD) didapat keterangan bahwa dengan memberikan sejumlah uang,
70 seseorang dapat memperoleh (membuka) lahan garapan di dalam Kawasan Tahura dengan aturan tidak tertulis yang biasanya mereka sepakati (konsensus). Fenomena ini telah berlangsung lama dan tidak hanya terjadi di Tahura WAR, melainkan juga di wilayah-wilayah lain di Propinsi Lampung, bahkan di Indonesia. Ditinjau dari perspektif sosial-ekonomi, fenomena tersebut merupakan hal yang wajar. Petugas lapangan, umumnya bergaji relatif "minim" jika dibandingkan dengan kebutuhan hidup sehari-hari. Sementara yang harus mereka jaga adalah sumberdaya (lahan) berharga yang memiliki demand tinggi. Secara psikologis, kondisi tersebut telah menimbulkan dampak yang sangat nyata, Dengan adanya kesepakatan (konsensus) tersebut penggarap merasa aman menggarap lahan. Setidaknya mereka tidak akan ditangkap sebagai "perambah" karena jika akan ada penertiban mereka akan diberi tahu. Oleh karena itu, walaupun tidak mendapat ijin resmi mereka tetap berani menggarap lahan tersebut. Dari 118 orang penggarap lahan dalam kawasan Tahura WAR 83 orang (70,34%) menyatakan tidak mendapat ijin. Akan tetapi mereka sadar, bahwa tindakan mereka secara hukum tidak sah dan sewaktu-waktu harus mau "
dikeluarkan" dari kawasan Tahura WAR dan melepaskan "hak" garapannya. Oleh
karena itu, mereka lebih suka menanam tanaman semusim daripada tanaman tahunan. Dengan menanam tanaman semusim mereka merasa lebih pasti dapat memanennya dan walaupun harus ditinggalkan kerugiannya tidak terlelu besar. Sementara dengan menanam tanaman tahunan, mereka tidak memiliki kepastian untuk dapat memanennya. C. Penegakan hukum yang kurang tegas dan tidak tuntas Kegiatan penggarapan lahan dalam kawasan Tahura WAR sudah berlangsung lama. Dari 118% responden, 35% menyatakan telah menggarap lahan dalam kawasan tersebut lebih dari 20 tahun, artinya sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai Tahura. Akan tetapi, sebelumnya (tahun 1941 atau 65 tahun
71 yang lalu dari tahun 2006) kawasan tersebut telah ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung. Pengukuhan tersebut diperkuat dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGRK). Di dalam hutan lindung pun, penggarapan lahan merupakan hal yang tidak diperbolehkan. Akan tetapi ternyata dari penggarap lahan diperoleh informasi bahwa mereka (setidaknya merasa) telah mendapatkan berbagai ijin seperti disajikan pada Gambar 19. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari para penggarap lahan, pada tahun 1966 pemerintah mengeluarkan ijin tumpang sari, yaitu ijin untuk membuka dan menggarap lahan dengan sistem tumpang sari. Yang dimaksud dengan tumpang sari adalah menanam tanaman sampingan (palawija) di sela-sela tanaman pokok (pohon). Salah satu klausul dalam aturan tersebut menyatakan bahwa, apabila tumpangsari berjalan baik maka akan dikeluarkan ijin yang bersifat tetap. Akan tetapi Pemerintah tidak konsisten, ijin tersebut tidak ada kelanjutannya dan dicabut. Diduga pencabutan ijin tersebut tidak disertai dengan tindakan di lapangan sehingga penggarap tersebut tetap menggarap lahan. Karena tidak ada tindakan hukum, maka penggarap merasa bahwa tindakan mereka tidak dilarang sehingga terus mereka lakukan. Selanjutnya mereka mengajak keluarga atau teman dari kampung asalnya untuk juga membuka dan menggarap lahan. 10%
lisan izin dephut
3%
izin buka lahan
3%
Izin tokoh masyarakat
3% 0
Izin tebang/tebas Retribusi
3%
Sertifikat
3% 27%
SK menteri 16%
Surat Izin 1966
19%
Surat Izin No. 92.19 0%
5%
10%
15%
20%
25%
30%
Gambar 19. Distribusi Responden yang mendapat ijin menggarap lahan dalam kawasan Tahura WAR berdasarkan ijin yang diperoleh
72 Salah satu cara yang dilakukan Pemerintah dalam upaya penanggulangan masalah perambahan Kawasan Hutan di Propinsi Lampung adalah transmigrasi lokal (translok). Selama program tersebut dilaksanakan, telah puluhan ribu kepala keluarga (KK) yang bermukim di kawasan hutan ditranslokkan, termasuk dari Tahura WAR (saat itu masih berstatus hutan lindung). Tetapi cara penanganan ini juga ternyata tidak tuntas karena masih adanya penggarap yang bermukim dalam kawasan hutan, termasuk di Tahura WAR. Pelaksanaan sistem transmigrasi lokal telah menimbulkan ekses yang menyebabkan sistem tersebut tidak menyelesaikan masalah. Ijin jenis lain yang berkaitan dengan penggarapan lahan di dalam Kawasan Tahura WAR adalah ijin tentang Hutan Kemasyarakatan (HKm), yaitu SK Menteri Kehutanan Nomor. 677 Tahun 1998. Momentum keluarnya ijin tersebut, yaitu saat awal bergulirnya Era Reformasi, menimbulkan dampak yang luas terhadap kerusakan Tahura WAR. Sebelum teknis pelaksanaan SK 677 tersebut di lapangan ada/dibuat, di masyarakat telah tersebar berita bahwa penggarapan lahan di Kawasan Hutan Gunung Betung diperbolehkan. Sehingga masyarakat dengan cepat memanfaatkan kesempatan tersebut. Bentuk lain yang oleh masyarakat dianggap sebagai ijin adalah "pernyataan" pejabat/aparat atau tokoh masyarakat yang dikemukakan dalam pertemuan dengan masyarakat. Bagi masyarakat, pernyataan yang menyiratkan dibolehkannya menggarap lahan kawasan Tahura, meskipun baru wacana, sudah cukup dijadikan dasar untuk menggarap kawasan. Mesayarakat melakukan hal tersebut karena umumnya mereka "takut kehabisan" lahan yang dapat digarap. Salah satu bentuk ketidak konsistenan dalam pengelolaan Tahura WAR adalah dikeluarkannya Peraturan Daerah Propinsi Lampung Nomor 7 Tahun 2000 Tentang Retribusi Izin Pemungutan terhadap Pengambilan Hasil Hutan Bukan Kayu di Kawasan Hutan. Menurut Peraturan Daerah tersebut, subjek retribusi adalah kelompok tani masyarakat setempat yang tergabung dalam koperasi dan lembaga lainnya yang memperoleh izin pemanfaatan kawasan hutan. Dalam penjelasan Peraturan Daerah tersebut, yang dimaksud dengan kelompok tani masyarakat setempat adalah masyarakat di sekitar atau di dalam kawasan hutan yang selama ini memanfaatkan kawasan hutan sebagai sumber penghidupannya.
73 Sedangkan koperasi adalah koperasi yang dibentuk oleh kelompok masyarakat tersebut dan bergerak dibidang pengusahaan hutan yang dibentuk oleh kelompok masyarakat tersebut. Hal tersebut dimaksudkan agar masyarakat yang ingin mendapatkan ijin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu (HHBK) harus membentuk kelompok dan tergabung dalam koperasi. Artinya, penggarap perorangan (yang tidak tergabung dalam kelompok dan koperasi) tidak akan mendapat ijin. Akan tetapi, fakta di lapangan, seluruh penggarap di kawasan Tahura WAR diminta membayar retribusi. Oleh karena itu, di kalangan masyarakat perambah, retribusi ini justru dianggap bentuk legitimasi (sebagai ijin) kegiatan penggarapan lahan mereka. Berkaitan dengan retribusi HHBK tersebut, pemegang ijin dilarang untuk: 1)
Menebang pohon-pohon vegetasi hutan yang berada di dalam maupun di luar areal yang diberikan izinnya kepada kelompok yang bersangkutan;
2)
Memanen atau memungut hasil hutan bukan kayu di luar areal yang diizinkan;
3) Membuka areal yang bervegetasi semak belukar untuk dijadikan areal
budidaya pada kawasan hutan lindung, Taman Nasional dan Taman Hutan Raya; 4) Memperluas tanaman budidaya, khususnya tanaman kopi di dalam kawasan
hutan lindung dan Taman Nasional serta Taman Hutan Raya; 5) Mengalihkan izin kepada pihak lain; 6) Mengagunkan izin dan areal kepada pihak lain; 7) Mendirikan bangunan.
Apabila dikaji secara mendalam, larangan-larangan tersebut tidak memungkinkan bagi pemegang ijin untuk membuat tanaman baru atau memperluas tanaman yang telah ada di Tahura WAR. Akan tetapi, larangan tersebut oleh penggarap dapat diartikan lain, misalnya pernyataan pada ayat 4 dapat diartikan "selain tanaman kopi diperbolehkan". Masalah penggarapan lahan dalam kawasan hutan, khususnya Tahura WAR, sesungguhnya adalah masalah ketersediaan lapangan kerja (sumber pendapatan) di luar kawasan hutan. Oleh karena itu, sesungguhnya bukan merupakan lingkup tugas dinas kehutanan. Penyediaan lapangan kerja dan
74 peningkatan kesejahteraan masyarakat merupakan tugas Pemerintah Daerah melalui instansi terkait, Dinas Perdagangan dan Perindustrian, Dinas Sosial, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pertanian, Dinas Peternakan, Badan Penanaman Modal dan lain-lain. Sebagaimana terungkap dari hasil wawancara, sebagian besar para penggarap dalam kawasan hutan menyatakan alasan menggarap lahan dalam kawasan hutan karena di luar kawasan hutan tidak memiliki lahan atau lahan yang ada tidak mencukupi. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketergantungan masyarakat terhadap lahan pertanian sangat tinggi. Bagi mereka, seolah-olah sumber pendapatan atau matapencaharian hanyalah lahan pertanian. Ketergantungan yang tinggi terhadap lahan pertanian tersebut disebabkan oleh kurangnya kesempatan kerja di sektor lain, sementara pengetahuan dan keterampilan mereka untuk menciptakan lapangan kerja produktif masih rendah. Mereka beranggapan dan merasakan bahwa pertanian, tidak memerlukan keterampilan dan biaya yang tinggi. Hanya dengan bermodal kemauan, tenaga, dan keberanian meraka dapat membuka lahan dan bercocok tanam dalam kawasan Tahura WAR. Hal ini didukung oleh ketersediaan lahan yang "gratis" dan cukup subur. Kesuburan lahan tersebut terjadi sebagai hasil akumulasi unsur hara di pemukaan tanah yang berlangsung melalui siklus unsur hara bertahun tahun. Sebenarnya, penggarap lahan tersebut ingin beralih ke bidang pekerjaan lain. Akan tetapi, untuk beralih ke bidang pekerjaan lain memerlukan dana, baik untuk proses pencarian maupun untuk biaya cadangan selama menunggu memperoleh sumber pendapatan baru. Bagi mereka dana tersebut tidak tersedia karena pendapatan yang diperoleh dari kegiatan perladangan selama ini hanya cukup untuk kehidupan sehari-hari. Selain itu, mereka masih dihadapkan pada resiko tidak memperoleh pekerjaan atau sumber pendapatan baru. Oleh karena itu, para peladang tersebut "terjebak" di lahan perladangannya. Setelah masuk mereka sulit untuk keluar. Karena mereka tidak dilengkapi keterampilan dan modal, maka cara bertani yang mereka terapkan tidak didasarkan pada pertanian berkelanjutan. Input pertanian (teknologi, bibit, dan hara) yang rendah menghasilkan produksi yang juga rendah dan cenderung menurun. Dalam tahun pertama, ketika unsur hara di permukaan tanah masih banyak, produksi masih tinggi. Dalam tahun tahun
75 berikutnya, ketersediaan unsur hara semakin menurun karena terambil tanaman sementara input baru tidak ada. Kehilangan unsur hara dipercepat oleh proses erosi karena teknik pertanian yang diterapkan tidak memperhatikan azas-azas konservasi. Satu-satunya cara yang dapat mereka lakukan untuk mendapatkan hasil pertanian yang lebih banyak adalah ekstensifikasi dengan membuka areal (hutan) baru. Akibatnya areal perladangan semakin luas dan penutupan hutan semakin berkurang sehingga fungsi hidroorologis kawasan tersebut menurun, bahkan rusak. 1.3.
Strategi Pengelolaan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Filsuf Alasdaire MacIntyre dari Universitas Boston dalam Rangkuti
(2004), mengidentifikasikan empat sifat yang harus dimiliki dan menjadi ciri bagi seorang pengambil keputusan dalam menangani persoalan sosial, yakni: a. Kebenaran dengan tidak menyederhanakan kompleksitas secara berlebihan. Secara sadar kita pahami bahwa persoalan kawasan Tahura Wan Abdul Rachman adalah persoalan kompleks yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan mengikuti satu aspek saja, harus ditimbang semua variabel pokok yang berkaitan dengan masalah tersebut, dan variabel tersebut adalah variabel ekologi, ekonomi, dan sosial budaya yang harus ditangani secara bersamasama. b. Keadilan dengan menilai biaya serta manfaat dan mengalokasi biaya kepada mereka yang memperoleh manfaat. Ketika menetapkan suatu kebijakan harus diidentifikasi dahulu siapa yang menerima keuntungan dan siapa yang menerima kerugian, agar dengan rasa keadilan tersebut penerima keuntungan dapat membayar manfaat yang diterimanya kepada yang mendapat kerugian. Rasa keadilan menuntut bukan saja setiap orang mempunyai hak tetapi juga mereka akan menanggung resiko dari hak yang mereka terima tadi. c. Kemampuan untuk merencanakan hal yang belum diketahui dengan memperhitungkan perubahan, menetapkan dimana perubahan itu mungkin akan muncul, dan memutuskan prioritas untuk melakukan tindakan.
76 d. Keluwesan
dalam
penyesuaian
terhadap
perubahan
dengan
cara
merencanakan, melaksanakan, dan sebagai tanggapan terhadap kondisi yang baru, merencanakan ulang dan melaksanakan ulang. Kemudian kita kaitkan dengan persoalan Tahura Wan Abdul Rachman, dengan begitu kompleksnya permasalahan yang terjadi di sana. Perlu adanya rumusan kebijakan pengelolaan yang mampu mensinergikan beberapa aspek yang terkait dalam persoalan tersebut. Dalam pendekatan AHP, hal yang pertama kali dilakukan adalah melakukan penyederhanaan masalah yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam suatu hierarki yang di gambarkan dalam bentuk grafis yang telah dikelompokkan ke dalam beberapa level goal/tujuan, aspek, kriteria dan strategi, Dari penyederhanaan tersebut dapat diperoleh bahwa ada beberapa aspek yang dapat mempengaruhi pengelolaan kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman yang pengelolaannya harus bersinergi dan dilakukan secara bersamasama, yakni aspek ekologi, aspek ekonomi, dan aspek sosial budaya. Dari aspek ekologi tujuan yang harus dicapai adalah terciptanya lingkungan yang lestari, dimana semua fungsi dari kawasan Tahura Wan Abdul Rachman dapat dipertahankan, lalu dari aspek ekonomi diharapkan kebijakan pengelolaan tersebut mampu menjawab persoalan yang ada berkaitan dengan terpenuhinya kebutuhan hidup masyarakat dan adanya tingkat penghidupan yang layak serta mampu menunjang pendapatan di daerah tersebut. Kemudian lagi, dari sisi sosial budaya diharapkan agar dapat menjaga kehidupan sosial budaya masyarakat yang telah baik dan dapat mengubah pola hidup atau tatacara masyarakat yang negatif dan merusak. Struktur hierarki lengkap dapat dilihat pada Gambar 20. Kemudian dengan pendekatan AHP (Analitical Hierarkhi Process) kesemua aspek tersebut diolah dan diterjemahkan menjadi sebuah strategi yang diharapkan mampu untuk mengatasi seluruh permasalahan yang ada di kawasan tersebut.
Hidrologi
Keberlanjutan ekologi
Nilai Estetika Agroforestry Iklim Mikro Penyelamatan Keanekaragaman hayati
Pengelolaan THR WAR berbasis Ekososiosistem
Keberlanjutan ekonomi
Ekowisata
Diversifikasi Usaha Peningkatan Pendapatan Masy. dan daerah Agroforestry & Ekowisata
Keberlanjutan sosial
Penyerapan tenaga kerja
Rekreasi 77
Gambar 20. Struktur Strategi Pengelolaan Taman Hutan Raya Wan Abdurrachman berbasis Ekososiosistem
78 5.3.1. Aspek Terdapat 3 (tiga) aspek yang harus diperhatikan untuk dapat mencapai strategi yang optimal dalam pengelolaan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman berbasis Ekososiosistem, yaitu : (1) Keberlanjutan Ekologi, (2) Keberlanjutan Ekonomi, (3) Keberlanjutan Sosial Budaya. Berdasarkan hasil analisis dari pendapat beberapa aspek yang dapat memberikan kontribusi terhadap tujuan yang ingin dicapai adalah tertera pada Tabel 16. Tabel 16. Skala Prioritas Aspek No Aspek 1 Keberlanjutan ekologi 2 Keberlanjutan ekonomi 3 Keberlanjutan sosial-budaya Sumber : diolah dari data primer
Bobot 0,633 0,186 0,181
Persentase 0,63 0,18 0,18
Prioritas 1 2 3
Dari hasil analisis persepsi responden pakar, aspek keberlanjutan Ekologi merupakan aspek yang paling utama di dalam penentuan strategi pengelolaan Tahura WAR dengan bobot sebesar 0,633 (63%), diikuti dengan aspek keberlanjutan ekonomi dengan bobot sebesar 0,186 (19%), dan aspek yang terakhir adalah keberlanjutan sosial budaya dengan bobot sebesar 0,181 (18%). Dalam pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman yang berkelanjutan, aspek keberlanjutan ekologi sangat diutamakan, mengingat kawasan tahura ini merupakan kawasan hutan yang telah mengalami degradasi dan dikhawatirkan akan semakin parah akibat adanya kegiatan-kegiatan dari masyarakat sekitar yang cendrung merusak seperti perambahan hutan dan ilegal logging serta kegiatan lainnya yang merusak. Ditambah lagi dari segi pengelolaan kawasan tersebut yang tidak terintegratif dengan permasalahan di lapangan seperti minimnya sumberdaya dan sarana-prasarana, sehingga kawasan tahura semakin menyusut. Apabila proses pengelolaannya tidak mengutamakan aspek keberlanjutan ekologi, dapat diramalkan hanya beberapa tahun ke depan kawasan Tahura Wan Abdul Rachman akan hilang dari kelompok kawasan konservasi. Menurut salah seorang petugas UPTD Tahura,
bahwa selama kurun waktu 3 (tiga) tahun
79 masyarakat telah mengubah hutan primer seluas 10 ha atau lebih yang berada di puncak ketinggian di atas 700 mdpl menjadi areal perkebunan bahkan berubah menjadi semak belukar yang dibiarkan begitu saja. 5.3.2. Sasaran 5.3.2.1. Sasaran dari keberlanjutan ekologi Sasaran dari aspek keberlanjutan ekologi adalah : (1) Mempertahankan fungsi hidrologi, (2) Mempertahankan iklim mikro, (3) Mengoptimalkan nilai estetika, dan (4) Penyelamatan Keanekaragaman hayati. Berdasarkan hasil olahan dari pendapat beberapa responden pakar, dari aspek keberlanjutan ekologi seperti yang tertera pada Tabel 17, responden lebih memilih Penyelamatan Keanekaragaman Hayati.
Hal ini disebabkan karena
kawasan tahura merupakan kawasan konservasi yang memiliki arti penting di dalam menjaga keseimbangan alam, dimana kawasan ini memiliki banyak fungsi dan kegunaan bagi masyarakat yang berada di sekitar kawasan tersebut.
Tabel 17. Skala Prioritas Sasaran Keberlanjutan ekologi No Sasaran 1 Mempertahankan Fungsi Hidrologi 2 Mempertahankan Iklim Mikro 3 Mengoptimalkan Nilai Estetika 4 Penyelamatan Keanekaragaman Hayati Sumber : diolah dari data primer
Bobot 0,354 0,149 0,118 0,380
Persentase 35,4 14,9 11,8 38,0
Prioritas 2 3 4 1
Selain itu pula fungsi dari kawasan tersebut telah banyak dirasakan bukan hanya di sekitar kawasan, tetapi masyarakat yang jauh dari kawasan tersebut ikut merasakan arti dan peran pentingnya yakni masyarakat kota Bandar Lampung dimana kawasan Tahura memberikan sumbangan bagi masyarakat dalam bentuk penyedia air baku. Namun akibat dari kegiatan masyarakat yang tidak bertanggung jawab dengan melakukan pengrusakan kawasan tersebut mengakibatkan keseimbangan alam menjadi terganggu, menurut hasil dialog lintas institusi dalam menggagas akses pengelolaan tahura WAR secara kolaboratif pada tanggal 30 September
80 2005 tercatat bahwa debit air yang ada di kawasan tahura telah menurun 400 l/dtk sampai 100 l/dtk. 5.3.2.2. Sasaran dari keberlanjutan ekonomi Sasaran dari aspek keberlanjutan ekonomi adalah : (1) Peningkatan Pendapatan bagi masyarakat sekitar dan pemerintah daerah, dan (2) Diversifikasi usaha bagi masyarakat di sekitar kawasan. Hasil dari analisis dapat dilihat pada Tabel 18 berikut. Tabel 18. Skala Prioritas Sasaran keberlanjutan ekonomi No Sasaran 1 Peningkatan Pendapatan 2 Diversifikasi usaha Sumber : diolah dari data primer
Bobot 0,545 0,455
Persentase 54,5 45,5
Prioritas 1 2
Berdasarkan pada Tabel 18, di dapat bahwa dalam keberlanjutan ekonomi, menurut para responden sasaran dalam mencapai peningkatan pendapatan lebih diutamakan karena selama ini penduduk sekitar kawasan merupakan masyarakat yang
bertempat
tinggal
di
sekitar
perbatasan
kawasan
yang
hanya
menggantungkan hidup dengan melakukan kegiatan di dalam kawasan tahura seperti berkebun atau berusahatani tanaman lainnya di dalam kawasan tersebut. Demi hanya mencari pendapatan walau sedikit mereka melakukan pengrusakan di kawasan tahura.
Oleh karena itu maka yang harus dilakukan dalam strategi
pengelolaan tahura agar terus berlanjut adalah dengan lebih mengutamakan peningkatan pendapatan masyarakat. 5.3.2.3. Sasaran dari keberlanjutan Sosial Budaya Sasaran dari aspek keberlanjutan sosial budaya adalah : (1) Adanya penyerapan tenaga kerja, (2) rekreasi, dan (3) perubahan pola hidup masyarakat di sekitar kawasan. Berdasarkan hasil perhitungan seperti tertera pada Tabel 19, didapat bahwa sasaran penyerapan tenaga kerja lebih diutamakan, kemudian sasaran perubahan pola hidup masyarakat di sekitar kawasan, setelah itu diikuti dengan
81 rekreasi.
Dalam pembahasan sebelumnya bahwa masyarakat yang berada di
dalam kawasan adalah masyarakat yang sebelumnya tidak memiliki pekerjaan, namun mereka dituntut untuk menghidupi keluarga mereka sehingga yang mereka lakukan adalah melakukan kegiatan yang ilegal dan cenderung merusak ekologi hutan di kawasan tahura itu sendiri. Tabel 19. Skala Prioritas Sasaran keberlanjutan Sosial Budaya No Sasaran 1 Penyerapan tenaga kerja 2 Rekreasi 3 Perubahan pola hidup Masyarakat Sumber : diolah dari data primer
Bobot 0,439 0,212 0,349
Persentase 43,9 21,2 34,9
Prioritas 1 3 2
Dengan demikian diharapkan adanya strategi kebijakan yang mampu memberikan harapan baru bagi masyarakat sekitar untuk mendapatkan pekerjaan yang layak bagi mereka, sehingga ketergantungan masyarakat terhadap kawasan semakin berkurang. 5.3.3.
Alternatif Strategi yang dipilih Strategi yang dirumuskan dalam pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman
yang berbasis ekososiosistem terdiri dari: (1) Strategi Ekowisata, (2) Agroforestry, dan (3) gabungan antara Ekowisata dan Agroforestry.
Strategi
tersebut dipilih karena dianggap dapat memenuhi beberapa aspek tujuan yang diinginkan yaitu dapat menciptakan lingkungan atau ekologi yang lestari, ekonomi masyarakat dan daerah sekitar terjamin, dan dapat menunjang sosial budaya yang sehat dan beradab. 5.3.3.1 Strategi yang dipilih oleh masing-masing responden. Dalam penelitian ini ada 10 (sepuluh) responden yang dianggap pakar dan mengetahui keadaan Tahura Wan Abdul Rachman, yaitu (1) Keluarga Pecinta Alam Lampung (Watala), (2) Wahana Lingkungan Hidup Daerah Lampung (Walhi), (3) Bapedalda Propinsi Lampung, (4) Bappeda Propinsi Lampung, (5) Dinas Kehutanan
Propinsi lampung, (6) DPRD Propinsi Lampung, (7) Unit
82 Pelayanan Teknis Dinas Tahura Wan Abdul Rachman, (8) Perguruan Tinggi Universitas Lampung, (9) Tokoh Masyarakat dekat kawasan, dan (10) Kelompok Kerja Relawan Pengelola Sumber Daya Alam dan Lingkungan (KKR-PSDAL). Dari hasil analisis dengan menggunakan Analisys Hierarchy Process (AHP) dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Pilihan Strategi Pengelolaan Tahura WAR pilihan Responden No Responden
Agroforestry Ekowisata
1 Watala 0.323 2 Walhi 0.207 3 UPTD 0.084 Tahura 4 Bapedalda 0.240 5 Bappeda 0.173 6 DPRD 0.441 7 PT (Unila) 0.491 8 Dishut 0.078 9 KKRPSDAL 0.176 10 Masyarakat 0.114 Sumber : diolah dari data primer
0.332 0.295 0.656
Ekowsata Index Prioritas Agroforestry consist 0.346 0.03 Ekowisata+Agro 0.207 0.08 Ekowisata+Agro 0.261 0.02 Ekowisata
0.339 0.481 0.227 0.131 0.647 0.485 0.481
0.420 0.346 0.332 0.379 0.275 0.339 0.405
0.10 Ekowisata+Agro 0.08 Ekowisata 0.04 Agroforestry 0.04 Agroforestry 0.02 Ekowisata 0.08 Ekowisata 0.04 Ekowisata
Dari Tabel 17 ada 5 (lima) responden pakar yang memilih strategi untuk melakukan ekowisata dalam pengelolaan kawasan Tahura Wan Abdul Rachman yang terdiri dari UPTD Tahura, Bappeda, Dinas Kehutanan Propinsi Lampung, KKRPSDAL, dan tokoh masyarakat di sekitar kawasan.
Kemudian, yang
memilih Agroforestry adalah 2 (dua) responden pakar yang terdiri dari DPRD Propinsi Lampung dan Perguruan Tinggi Universitas Lampung. Sedangkan yang memilih strategi gabungan dari keduanya ada 3 (tiga) responden pakar, yakni berasal dari LSM (Watala dan Walhi) dan Bapedalda Propinsi Lampung. 5.3.3.2. Strategi Pendapat Gabungan. Setelah dilakukan perhitungan dari pendapat gabungan para responden menunjukkan besarnya kontribusi yang diberikan terhadap alternatif yang ingin di capai pada Strategi pengelolaan kawasan tahura Wan Abdul Rachman berbasis ekososiosistem seperti pada Tabel 21 berikut.
83 Tabel 21. Skala Prioritas Strategi No Sasaran 1 Agroforestry 2 Ekowisata 3 Agroforestry + Ekowisata Sumber : Diolah dari data primer
Bobot 0,212 0,402 0,386
Persentase 21,2 40,2 38,6
Prioritas 3 1 2
Synthesis of Lef Nodes with respect to GOAL Ideal Mode OVERALL INCONSISTENCY INDEX = 0,01 Agroforestry + Ekow isata
0,386
Ekow isata
Agrof orestry
0,402
0,212
Gambar 21. Grafik skala prioritas stratgei pengelolaan tahura WAR
Tabel 21 menunjukkan bahwa hasil dari pendapat gabungan para responden pakar, strategi yang lebih diutamakan adalah Ekowisata dengan bobot sebesar 0,402 (40,2%), kemudian gabungan antara agroforestry dan ekowisata dengan bobot sebesar 0,396 (39,6%), setelah itu strategi yang terakhir adalah agroforestry dengan bobot sebesar 0,212 (21,2%). 5.3.4.
Sintesis Strategi
a. Strategi ekowisata Ekowisata merupakan suatu kegiatan wisata alam dengan tetap memperhatikan kaidah pengelolaan lingkungan yang lestari. Kemudian menurut Minca. et.al (2000) Ekowisata didefinisikan sebagai aktivitas perjalanan yang tidak mengganggu atau mengkontaminasi daerah alami dengan tujuan khusus dari belajar, menikmati dan mengamati suasana alam (hewan dan tumbuhan liar), dan juga manifestasi dari budaya setempat (baik yang lalu maupun sekarang) yang ditemui di daerah tersebut. The International Ecotourism Society dalam Rahardjo (2005), mendefinisikan bahwa ekowisata adalah perjalanan di kawasan alami yang mampu melestarikan lingkungan hidup dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal.
84 Selanjutnya Rahardjo (2005) menjelaskan bahwa ekoturisme semestinya harus : 1. Berdampak rendah terhadap kawasan lindung dan sumberdaya alam 2. Melibatkan para pihak yang berkepentingan (perorangan, masyarakat, wisatawan, bisnis wisata, dan lembaga-lembaga pemerintahan) dalam proses perencanaan, pengembangan, pelaksanaan dan monitoring; 3. Menghargai budaya dan tradisi-tradisi lokal. 4. Meningkatkan keberlanjutan dan kesetaraan pendapatan untuk masyarakat sebagaimana bagi pihak lainnya termasuk operator wisata dari kalangan wisata. 5. Meningkatkan pendapatan untuk konservasi kawasan lindung 6. Mendidik semua pihak tentang peran mereka masing-masing dalam konservasi. Dari prinsip-prinsip tersebut, diharapkan kegiatan ekowisata dapat memberikan kontribusi yang positif dalam pengelolaan kawasan Tahura WAR yang berkelanjutan, karena dengan kegiatan ekowisata dapat menjangkau permasalahan di berbagai aspek meliputi aspek ekologi, ekonomi, serta sosial budaya. Secara ekologi, pengembangan kegiatan ekowisata dapat memelihara dan mempertahankan bentang alam dan kekhasan kawasan tersebut. Secara ekonomi, dimana sampai saat ini masih merupakan alasan yang paling utama penyebab kerusakan Tahura WAR melalui kegiatan perambahan dan alih guna lahan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar, sehingga dengan diterapkannya ekowisata diharapkan dapat memberikan alternatif pekerjaan baru bagi masyarakat sekitar dan juga dapat memperbaiki taraf hidup mereka, di samping itu nilai ekonomi bagi pemerintah adalah dapat memberikan sumbangan bagi PAD di daerah setempat.
Sedangkan secara sosial budaya, adanya pengembangan ekowisata
diharapkan dapat mengubah pola hidup masyarakat sekitar yang melakukan kegiatan merusak lingkungan di kawasan Tahura WAR. Selain itu pula, ekowisata dapat
menciptakan
peluang
berusaha
bagi
masyarakat
menggantungkan hidupnya dari kawasan tahura WAR.
yang
selama
85 Upaya pengembangan ekowisata secara garis besar mencakup aspek pengembangan sumberdaya manusia, sumberdaya alam, promosi, dukungan sarana dan kelembagaan (Departemen Kehutanan. 2006). Sumberdaya Manusia Sumberdaya manusia mulai dari pengelola sampai kepada masyarakat berperan penting dalam keberhasilan pengembangan ekowisata. Kemampuan pengelola ekowisata dalam menetapkan target sasaran dan menyediakan, mengemas, menyajikan paket-paket wisata serta promosi yang terus menerus sesuai dengan potensi yang dimiliki sangat menentukan keberhasilan dalam mendatangkan wisatawan.
Dalam hal ini keberadaan/peran pemandu wisata
dinilai sangat penting. Kemampuan pemandu wisata yang memiliki pengetahuan ilmu dan keterampilan menjual produk wisata sangat menntukan. Pengetahuan pemandu wisata seringkali tidak hanya terbatas kepada produk dari obyek wisata yang dijual tetapi juga pengetahuan umum terutama hal-hal yang lebih mendalam berkaitan dengan produk wisata tersebut. Ketersediaan dan upaya penyiapan tenaga pemandu ekowisata saat ini dinilai masih terbatas. Pada jenjang pendidikan formal seperti pendidikan pariwisata, mata ajaran ekowisata dinilai belum memadai sesuai dengan potensi wisata di Indonesia. Lebih dari itu semua, adalah diharapkan adanya peran serta dari masyarakat setempat yang ikut membantu mengelola ekowisata tersebut. Pemerintah tidak perlu bersusah payah mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah, karena sumberdaya manusia di sekitar kawasan lebih banyak dan cukup bisa diandalkan untuk mengelola kawasan tersebut. Sehingga dengan melibatkan tenaga dari masyarakat sekitar diharapkan dapat menggugah masyarakat untuk ikut peduli dalam melestraikan lingkungan kawasan tahura tersebut. Promosi Kegiatan promosi merupakan kunci dalam mendorong kegiatan wisata. Informasi dan pesan promosi dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti melalui leaflet, booklet, pameran, cinderamata, mass media (dalam bentuk iklan
86 atau media audiovisual), serta penyediaan informasi pada tempat public (hotel, restoran, bandara dan lainnya). Dalam kaitan ini kerjasama antara obyek wisata dengan Biro Perjalanan, Perhotelan, dan Jasa Angkutan sangat berperan. Salah satu metoda promosi yang dinilai efektif dalam mempromosikan obyek wisata adalah
metoda
"tasting",
yaitu
memberi
kesempatan
kepada
calon
konsumen/wisatawan untuk datang dan menentukan pilihan konsumsi dan menikmati produk tanpa pengawasan berlebihan sehingga wisatawan merasa betah. Kesan yang dialami promosi ini akan menciptakan promosi tahap kedua dan berantai dengan sendirinya. Sumberdaya Alam dan Lingkungan Ekowisata
sangat
mengandalkan
kondisi
sumberdaya
alam
dan
lingkungan. Sumberdaya alam dan lingkungan tersebut mencakup sumberdaya obyek wisata yang dijual serta lingkungan sekitar termasuk masyarakat. Untuk itu upaya mempertahankan kelestarian dan keasrian sumberdaya alam dan lingkungan yang dijual sangat menentukan keberlanjutan usaha wisata. Kondisi lingkungan masyarakat sekitar sangat menentukan minat wisatawan untuk berkunjung. Sebaik apapun obyek wisata yang ditawarkan namun apabila berada ditengah masyarakat tidak menerima kehadirannya akan menyulitkan dalam pemasaran obyek wisata. Antara usaha wisata dengan pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan terdapat hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Usaha wisata berkelanjutan membutuhkan terbinanya sumberdaya alam dan lingkungan yang lestari, sebaliknya dari usaha bisnis yang dihasilkannya dapat diciptakan sumberdaya alam dan lingkungan yang lestari. Usaha ekowisata bersifat jangka panjang dan hampir tidak mungkin sebagai usaha jangka pendek, untuk itu segala usaha perlu dilakukan dalam perspektif jangka panjang. Sekali konsumen/wisatawan mendapatkan kesan buruknya kondisi sumberdaya wisata dan lingkungan, dapat berdampak jangka panjang untuk mengembalikannya.
87 Dukungan Sarana dan Prasarana Kehadiran konsumen/wisatawan juga ditentukan oleh kemudahankemudahan yang diciptakan, mulai dari pelayanan yang baik, kemudahan akomodasi dan transportasi sampai kepada kesadaran masyarakat sekitarnya. Upaya menghilangkan hal-hal yang bersifat formal, kaku dan menciptakan suasana santai serta kesan bersih dan aman merupakan aspek penting yang perlu diciptakan. Kelembagaan Pengembangan ekowisata memerlukan dukungan semua pihak pemerintah, swasta terutama pengusaha wisata, lembaga yang terkait seperti perjalanan wisata, perhotelan dan lainnya, perguruan tinggi serta masyarakat. Pemerintah bertindak sebagai fasilitator dalam mendukung berkembangnya ekowisata dalam bentuk kemudahan perijinan dan lainnya. Intervensi pemerintah terbatas kepada pengaturan agar tidak terjadi iklim usaha yang saling mematikan. Untuk itu kerjasama baik antara pengusaha obyek wisata, pemerintah, masyarakat sekitar dan lembaga terkait lainnya sangat penting dengan kata lain bahwa semua unsur dalam kegiatan ekowisata tersebut dapat melakukan pengelolaan secara kolaboratif demi mewujudkan hutan yang lestari dan rakyat yang sejahtera. Dalam rangka pengembangan ekowisata di kawasan tahura WAR maka pengelola harus memperhatikan beberapa program dalam rangka untuk mengatasi permasalahan yang ada dan akan dihadapi dalam pelaksanaan kegiatan ekowisata tersebut. Adapun arahan program tersebut adalah berupa arahan program untuk sumber daya alam dan wisata, program pengelolaan wisata, dan program pengelolaan pengunjung (seperti terlihat pada tabel 22, 23, 24)
88 Tabel 22. Arahan Program Sumberdaya Wisata Alam No 1
Permasalahan Pokok Keanekaragaman flora/fauna langka dan obyek wisata terancam punah
Program Kebijakan a. Pelarangan dan penyelesaian hukum bagi penebang liar b. Pelarangan dan penyelesaian hukum bagi perburuan satwa dilindungi c. Penertiban perladangan liar d. Penertiban pemukiman (penurunan dan relokasi) e. Penyelesaian hukum bagi perambahan liar a. Kegiatan restorasi (pemulihan hutan ke 2 Kawasan wisata terancam mengarah pada kondisi semula) di bencana banjir, longsor puncak gunung, tebing sungai, atau dan kekeringan lereng terjal yang mengalami kerusakan. b. Penanaman hutan dengan jenis buahbuahan di kawasan berdekatan dengan desa sekitar, areal perladangan, areal semak belukar, bekas pemukiman. 3 Kayu Bakar a. Kayu bakar berasal dari luar kawasan hutan b. Penanaman pohon kayu bakar di luar kawasan c. Pelarangan menebang pohon untuk kayu bakar dari kawasan hutan d. Peraturan kayu bakar yang boleh diambil dari kawasan hutan e. Peraturan pembuatan api unggun dari kayu bakar Sumber : Winarno, 2004 Tabel 23. Arahan Program Pengelolaan wisata No Permasalahan Pokok Program Kebijakan a. Inventarisasi sumberdaya wisata 1. Inventarisdasi b. Pelibatan pihak terkait sumberdaya wisata belum c. Penggalangan dana dari berbagai sektor lengkap dan infrastruktur/fasilitas tidak terawat a. Pendidikan dan latihan wisata di dalam 2 Tenaga ahli/profesional dan luar negeri bagi semua pihak yang bidang wisata lingkup peduli wisata tahura UPTD belum ada b. Pelibatan pihak terkait yang mempunyai tenaga kompeten bidang wisata c. Membuka peluang usaha bagi tenaga profesioanl di lapangan
89 Tabel 23. lanjutan No Permasalahan Pokok 3 Tidak tersedia teknologi dan perlengkapan dalam inventarisasi, komunikasi dan informasi serta pemantauan sumberdaya wisata 4 Kurangnya personil atau tidak ada petugas kehutanan yang tinggal di lapangan 5
Kurangnya koordinasi dan kerjasama dengan pihak terkait
6
Kurangnya promosi
7
Tidak ada Pusat Informasi
8
Belum intensif pelibatan masyarakat sekitar dalam berbagai kegiatan Pemantauan obyek wisata belum optimal
9
Program Kebijakan a. Promo untuk penggalangan dana b. Pelibatan perguruan tinggi dan LSM dalam inventarisasi sumberdaya wisata a. Penempatan personil kehutanan di lapangan b. Penyiapan sarana dan prasarana untuk petugas di lapangan a. Usulan dan penerapan jalur birokrasi yang lebih fleksibel b. Adanya kesepakatan peran masingmasing dalam pengelolaan Tahura a. Promosi melalui media cetak dan elektronik b. Pelibatan pihak terkait (Dinas Pariwisata) c. Promosi langsung a. Kerjasama dengan pihak terkait b. Penggalangan dana c. Diklat petugas terkait/kompeten a. Program kerja yang terpadu dengan masyarakat a. b. c. d.
Kerjasama dengan investor Pelibatan tenaga ahli Kerjasama dengan masyarakat Adanya variasi paket wisata
Sumber : Winarno, 2004 Tabel 24. Arahan Pengelolaan Pengunjung No Permasalahan Pokok Program Kebijakan 1. Sampah a. Tersedianya tempay sampah di lokasilokasi wisata b. Adanya petugas kebersihan di setiap lokasi wisata c. Pemberitahuan kesadaran akan kebersihan melalui papan himbauan dan penyuluhan a. Penangkaran satwa liar 2 Fauna langka sulit b. Pemetaan penyebaran satwa liar (SIG) dijumpai seperti siamang, c. Akses dipermudah (jalan setapak) harimau, beruang, d. Pembuatan tempat pengintaian satwa rangkong dan kukang langka (jembatan gantung, menara pengintai, pondok canopy)
90 Tabel 24. lanjutan No Permasalahan Pokok 3 Obyek wisata (Air terjun, goa, pemandangan lepas) sulit dicapai
a. b. c. d.
4.
Kesehatan Lingkungan
a. b. c.
5
Etika/Prilaku
a. b.
6
Daya Tampung
7
Keamanan
c. a. b. a. b. c.
Program Kebijakan Pembuatan jalan setapak Pemutaran film petualangan Landasan pesawat heli Adanya satwa tunggangan seperti kuda, gajah MCK disesuaiakan dengan kebutuhan Pembuatan sumur air bersih Penyuluhan dan penempatan papan larangan dan himbauan Adanya kontrol/pengawasan yang ketat Pembuatan papan larangan/peringatan/himbauan Teguran dan sanksi Pengaturan jumlah pengunjung Pengaturan waktu kunjungan Teguran dan sanksi bagi pengunjung yang berbuat kerusakan Penerapan aturan berkemah Pembuatan papan laranagan/peringatan/himbauan
Sumber : Winarno, 2004
Selain itu pula perlu adanya program pengeloaan yang dilakukan secara kolaboratif antara pengelola seperti dinas kehutan dan lembaga terkait dengan masyarakat setempat, sehingga sasaran dalam rangka pengembangan ekonomi masyarakat lokal dapat tercapai. Adapaun bentuk program pengelolaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Arahan Program Pelibatan Peran Masyarakat No Variasi Peran Uraian 1. Pemanduan Penunjuk jalan dan membuka rintisan sambil menceritakan karakteristik obyek wisata 2 Porter Pengangkut barang pengunjung 3 Pelayanan dan Akomodasi bagi pengunjung dan pelayanannya, penyediaan akomodasi seperti sebagian kamar mereka yang disewakan (homestay) ataus ebagai pelayan dari suatu pondok yang dibangun oleh investor 4 Pijat tradisional Pelayanan pijat bagi pengunjung Pekerja lepas dalam pembuatan akomodasi dan 5 Pembangunan dan infrastruktur serta pemeliharaannya. pemeliharaan infrastruktur dan akomodasi
91 Tabel 25. lanjutan No Variasi Peran 6 Pembuatan souvenir atau kerjinan tangan 7
Pedagang
8 Transportasi Sumber : Winarno, 2004
Uraian Membuat kerajinan tangan tradisonal, seperti anyaman keranjang, topi, gelang, kalung, ukiran, kain tenun tapis, alat musik tradisional dll. Pedagang kerjainan tangan atau buah tangan, makanan, minuman dan lain-lain Angkutan ojek dengan motor, kuda atau sapi.
Selain itu, bentuk pelibatan masyarakat yang lain adalah melakukan penjagaan dan pemeliharaan terhadap obyek wisata dan lingkungan lainnya agar tetap terjaga dan lestari. Untuk itu diperlukan adanya tindakan proaktif dari pemerintah dengan melakukan kampanye dan pelatihan kepada masyarakat dalam perawatan pemeliharaan lingkungan. Bahkan bila perlu diberikan insentif bagi masyarakat sekitar yang telah berperan aktif dalam menjaga sumberdaya alam dan wisata di kawasan tahura. B. Strategi Agroforestri Secara sederhana, Agroforestri mengandung artian sebagai kegiatan penanaman (intercropping) tanaman berkayu dengan tanaman pangan atau perkebunan (Napoleon T. Vergara, 1982).
Lebih lanjut Vergara (1982) juga
menjelaskan bahwa agroforestri merupakan sistem penggunaan lahan secara berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan penghasilan dari kegiatan mengkombinasikan antara tanaman pangan (musiman) dengan tanaman pohonpohonan dengan menngunakan prinsip pengelolaan yang sesuai dengan prinsip dan karakteristik budaya masyarakat sekitar. Ilustrasi lengkap dari agroforestry dapat dilihat pada gambar 22. Kegiatan penanaman secara bersama antara pohon berkayu dengan tanaman budidaya diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tanah. Berbagai keuntungan dengan melakukan kegiatan ekonomi melalui penananam sistem agroforestri, antara lain:
92
Gambar 22. Skema manfaat agroforestry
93 (1) Manfaat Lingkungan/ekologi Kombinasi antara pohon berkayu dengan tanaman budidaya pada suatu areal memiliki manfaat yang penting, diantaranya adalah manfaat ekologis baik secara umum maupun khusus. Manfaat ekologi secara umum, yaitu: -
Mereduksi tekanan terhadap hutan diantaranya pohon hutan di suatu area dapat melindungi dari penurunan kualitas lingkungan
-
Lebih efisien mendaur nutrisi yang dilakukan akar pohon dan
-
Melindungi sistem ekologi di permukaan tanah melalui stabilisasi budidaya secara nomadic
Secara khusus: -
Mereduksi aliran permukaan, kehilangan nutrisi dan erosi tanah karena akar pohon dan batang dapat menahan proses ini
-
Memperbaiki iklim mikro seperti menurunkan temperatur permukaan tanah dan mereduksi evaporasi suhu tanah melalui kombinasi antara mulsa dengan teduhan pohon
-
Meningkatkan nutrisi tanah melalui penambahan dan dekomposisi guguran daun dan seresah tumbuhan.
-
Memperbaiki struktur tanah melalui penambahan secara konstan bahan organik dari dekomposisi guguran daun.
(2) Manfaat Ekonomi Secara umum, pengembangan sistem pertanian agroforestri dapat memberikan manfaat ekonomi yang cukup signifikan bagi petani dan masyarakat berupa tambahan pendapatan berusaha serta manfaat ekonomi bagi pemerintah daerah setempat berupa pendapatan asli daerah (PAD) melalui pajak dan pemasaran hasil, yaitu: •
Memelihara dan meningkatkan hasil pangan, bahan bakar, makanan, kesuburan tanah dan kayu.
•
Mengurangi kemungkinan terjadinya kegagalan panen jika dibandingkan dengan budidaya sistem monokultur
94 •
Meningkatkan level dari yang semula hanya memiliki manfaat pertanian saja menjadi manfaat produktivitas yang berkelanjutan
(3) Manfaat Sosial Budaya Manfaat sosial budaya yang berkembang dengan adanya pertanian sistem agroforestri ini antara lain: • Memperbaiki standar hidup dari pekerjaan yang berkelanjutan dengan pendapatan lebih baik • Memperbaiki nutrisi dan kesehatan melalui peningkatan jumlah dan penganekaragam pangan • Menstabilkan
dan
memperbaiki
komunitas
permukaan
dengan
mengeliminir pergiliran aktifitas penanaman.
C. Strategi Ekowisata dan Agroforestry Strategi ekowisata dan agroforestry merupakan gabungan dari strategi ekowisata dan strategi agroforestri dalam kebijakan pengelolaan kawasan Tahura Wan Abdul Rachman, sehingga di dalam kawasan tersebut ada dua kegiatan yang dilakukan bersama-sama dalam mendukung pengelolaan sumberdaya alam tahura Wan Abdul Rachman yang berbasis ekososiosistem. Kedua kegiatan tersebut diharapkan dapat menangkap aspirasi dari kedua pihak yang selama ini saling bertentangan. Dimana satu pihak adalah pemerintah yang menginginkan tahura merupakan kawasan konservasi yang boleh ditanam tanaman lain selain pohon-pohon keras, dan di sisi lain adalah keinginan masyarakat untuk dapat melakukan kegiatan perkebunan di kawasan tersebut. Seperti telah diuraikan di atas bahwa agroforestri merupakan kegiatan penanaman tanaman budidaya (kopi, coklat, durian dan sebagainya) dengan tanaman lain yang berkayu keras yang berfungsi untuk mencegah bahaya longsor dan kehilangan unsur hara tanah, sehingga diharapkan kegiatan agroforestri bermanfaat dan berkelanjutan. Namun selama ini pengertian agroforestri telah disalahartikan oleh masyarakat sekitar, dimana ketika mereka telah menanam kopi dan coklat secara monokultur berarti mereka telah melakukan kegiatan
95 agroforestri. Sehingga yang terjadi adalah sering terjadi pemotongan tanamantanaman hutan yang kurang memiliki nilai tambah, tanaman-tanaman tersebut memiliki peranan penting
padahal secara ekologi dalam
menahan laju
kerusakan hutan. Diharapkan kegiatan Agroforestri dan ekowisata dapat memberikan solusi yang adil bagi semua pihak, sehingga salah satu pihak tidak merasa dirugikan. Ada kemungkinan pula apabila terjadi penggabungan kegiatan tersebut dapat menciptakan suatu kegiatan yang disebut dengan wisata agro. Dimana pada suatu areal lahan dapat dilakukan penanaman tanaman-tanaman yang menghasilkan seperti buah-buahan yang beraneka ragam, kemudian akses pemanfaatannya dibuka untuk umum. Sehingga dapat menimbulkan daya tarik bagi wisatawan lain dalam mengunjungi kawasan Tahura Wan Abdul Rachman. 5.3.3.
Skenario Kebijakan (Analisis Sensistivitas) Suatu kebijakan sudah tentu memiliki pengaruh kepada semua aspek,
sehingga ketika ingin menerapkan kebijakan dalam kegiatan tertentu, yang harus dilakukan adalah mengukur seberapa besar dampak yang ditimbulkan dan dapat mempengaruhi aspek yang mana saja. Untuk melihat implikasi dan tingkat sensitivitas perubahan skala prioritas dapat dilakukan dengan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas ini dimaksudkan untuk melihat kecenderungan perubahan suatu skala prioritas terhadap faktor lain yang mempengaruhinya. Dari hasil pendapat gabungan responden terlihat bahwa model dinamik analisis sensitivitas dari ketiga kriteria terhadap strategi yang dipilih seperti pada Gambar 23 berikut ini.
Gambar 23. Grafik analisis sensitifitas model dinamik
96 Dari grafik di atas diperoleh bahwa pada kondisi awal strategi pertama yang diperoleh adalah strategi ekowisata dengan bobot sebesar 40,2% diikuti strategi agroforestri dan ekowisata dengan bobot sebesar 38,5% setelah itu strategi yang ketiga adalah strategi agroforestri dengan bobot sebesar 21,1% 5.3.4.
Skenario Kebijakan bila terjadi peningkatan di aspek Ekologi Preferensi masyarakat terhadap suatu aspek bisa jadi berubah-ubah sesuai
dengan penerapan kebijakan pemerintah dan atau bahkan dorongan dari lembagalembaga independen lainnya seperti LSM, perguruan tinggi. Dengan berubahnya preferensi masyarakat terhadap aspek-aspek tersebut maka akan menyebabkan perubahan pada aspek lainnya, sehingga boleh jadi akan menyebabkan perubahan derajat kepentingan dari strategi yang ada.
Gambar 24. Grafik analisis sensitifitas untuk peningkatan ekologi Dalam grafik yang dituangkan pada Gambar 24 terlihat bahwa preferensi masyarakat mengalami peningkatan menjadi 75,2%.
Perubahan tersebut
menyebabkan terjadinya perubahan pada aspek yang lain, dimana aspek ekonomi mengalami penuruanan sebesar 12,5% dan aspek sosial budaya mengalami penurunan sebesar 12,2%. Walaupun dari sisi strategi tidak mengalami perubahan urutan kepentingan, namun mengalami perubahan dalam bobot kepentingannya. Dimana bobot untuk aspek ekowisata mengalami penuruanan menjadi 39,8% dan bobot untuk gabungan antara ekowisata dan agroindustri menuruan sebesar 37,6%, sedangkan untuk strategi agroforestri mengalami kenaikan sebesar 22,4%.
97 5.3.5.
Skenario Kebijakan bila terjadi peningkatan di aspek Ekonomi Ketika masyarakat mengalami kenaikan preferensi pada aspek ekonomi
(Gambar 25) sebesar 68%, maka aspek ekologi akan mengalami penuruanan sebesar 24,8% dan aspek sosial budaya mengalami penuruanan sebesar 7,1%.
Gambar 25. Grafik analisis sensitifitas model dinamik untuk peningkatan ekonomi sebesar 68% Sedangkan dari sisi strategi, mengalami perubahan urutan prioritas, dimana pada urutan pertama adalah strategi gabungan antara ekowisata dan agroforestri dengan bobot sebesar 41,1%.
Diurutan kedua adalah strategi
ekowisata dengan bobot sebesar 40,9%. Kemudian diurutan ketiga adalah strategi agroforestri dengan bobot sebesar17,8%. 5.3.6.
Skenario Kebijakan bila terjadi peningkatan di aspek sosbud Ketika preferensi masyarakat mengalami perubahan bobot sebesar 68%
(Gambar 26) pada aspek sosial budaya, maka aspek ekologi akan mengalami penurunan sebesar 24,7%.
Dan aspek ekonomi akan mengalami penurunan
sebesar 7,2%. Kemudian untuk urutan strategi, untuk ekowisata dan gabungan antara ekowisata dan agroforestri memiliki urutan yang dapat dikatakan hampir sama dengan bobot sebesar 42,1%. sebesar 15,6%.
Sedangkan untuk agroforestri bobot berubah
98
Gambar 26. Grafik analisis sensitifitas model dinamik untuk peningkatan sosbud sebesar 68%
5.4.
Faktor Internal dan Eksternal (SWOT) Untuk memperoleh arahan strategi yang tepat dalam penjabaran dari
strategi utama yang dipilih yakni ekowisata, perlu adanya identifikasi faktorfaktor eksternal dan internal yang mempengaruhi strategi tersebut.
Sehingga
ketika suatu kebijakan digulirkan tidak menyebabkan blunder bagi pencipta kebijakan itu sendiri. Apabila perumusan faktor-faktor eksternal dan internal dapat dirumuskan secara tepat, sudah pasti kebijakan yang digulirkan tersebut dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Seperti yang dikemukakan oleh Sun Tzu (1992) dalam Rangkuti (2006) bahwa apabila kita telah mengenal kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dan mengetahui kekuatan dan kelemahan lawan, sudah dapat dipastikan bahwa kita akan dapat memenangkan pertempuran. Lebih lanjut konsep dasar pendekatan ini dinamakan konsep dasar pendekatan
SWOT
(Strength, Weakness, Opportunity, dan Threath). Adapun hasil identifikasi dari faktor eksternal dan internal beserta pembobotan dan skor dapat dilihat pada Tabel 26 berikut. Berdasarkan pada Tabel 26 didapat nilai skor yaitu 3,65 dan 3,7 yang berarti bahwa strategi terlatak pada kuadran I (seperti yang terlihat pada Gambar 27) dan strategi operasional yang sesuai dalam pengelolaan Tahura adalah mendukung strategi Agresifitas, memanfaatkan peluang yang ada dengan mengerahkan segala kekuatan yang dimiliki oleh kawasan tahura.
99 Tabel 26. Faktor eksternal dan internal No S1 S2 S3 S4 S5 S6 S7 W1 W2 W3 W4 W5
O1 O2 O3 O4 O5 O6
T1 T2 T3 T4 T5 T6
KEKUATAN Potensi luas kawasan tahura 22.249,31 ha Merupakan kawasan konservasi Dekat dengan ibukota bandar lampung/aksesibilitas Ketersediaan sarana, prasarana dan fasilitas: perkemahan (Youth Camp) dan tempat wisata lain Keaneragaman hayati yang tinggi Sumbangan terhadap pendapatan asli daerah Keberadaan masyarakat dan adat budaya setempat/lokal KELEMAHAN Bentang alam yang kritis dengan tingkat kelerengan > 45% Tidak jelasnya rencana tata ruang wilayah tahura Tidak jelasnya regulasi pengelolaan kawasan Kurangnya pelibatan segenap stakeholders dalam pengelolaan kawasan Kurangnya aparat yang menjaga keamanan tahura TOTAL
Bobot rating Skor 0,075 4 0,3 0,15 4 0,6 0,1 4 0,4 0,05 4 0,2 0 0,075 4 0,3 0,075 3 0,225 0,025 3 0,075 0,075 0,1 0,1 0,075
2 4 4 4
0,15 0,4 0,4 0,3
0,1 1
3
0,3 3,65
4 3 4 3 3 4
0,4 0,3 0,4 0,15 0,3 0,4
4 4 4 3 3 4
0,4 0,4 0,4 0,075 0,075 0,4 3,7
PELUANG Diversifikasi usaha dan peningkatan pendapatan masyarakat 0,1 Optimalisasi pemanfaatn hasil hutan non kayu 0,1 Tempat pendidikan dan pelatihan 0,1 Dukungan pemerintah dan masayarakat setempat 0,05 Dukungan Dunia Internasional 0,1 Dukungan dasar hukum yang kuat baik aturan maupun kebijakan 0,1 pemerintah ANCAMAN Tingginya intensitas penebangan liar 0,1 Perambahan hutan 0,1 Pemukiman liar 0,1 Rawan konflik pemanfaatan 0,025 Kondisi ekonomi masyarakat miskin 0,025 Kerusakan hutan tahura tak terkendali (mencapai 72%) 0,1 1 TOTAL
Sumber : Data diolah
100 Berbagai Peluang (3,65 ; 3,7)
Kelemahan Internal
Kekuatan Internal
Berbagai Ancaman Gambar 27. Diagram Kuadran Strategi Opersional di Tahura WAR Dengan mengerahkan segala kekuatan yang ada untuk mamanfaatkan peluang, maka arahan strategi operasional pengelolaan tahura WAR adalah berupa: 1. Membuat regulasi yang mengatur tentang pengelolaan kawasan konservasi secara khusus bagi tahura 2. Pengembangan ekowisata berbasis masyarakat 3. Mengoptimalkan dukungan masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan tahura Kemudian berdasarkan arahan dari strategi kebijakan tersebut, diperoleh beberapa kebijakan yang dapat diambil yaitu : 1.
Menurunkan para perambah yang berada di sekitar kawasan yang tidak memiliki izin sebelumnya.
2.
Mengkoreksi kembali kebijakan yang telah dibuat seperti misal pemberian izin kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan di kawasan tahura yang merupakan kawasan konservasi, padahal berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 hal tersebut dilarang.
3.
Menindak tegas para petugas yang telah berlaku tidak disiplin dalam proses pengawasan.
101 4.
Mencabut regulasi yang pengaturannya tidak sesuai dan bertentangan dengan perundang-undangan seperti Perda Lampung No. 7 Tahun 2000 tentang Retribusi Izin Pemungutan terhadap Pengambilan Hasil Hutan Bukan Kayu di kawasan Hutan.
5.
Membuat pemetaan kawasan yang secara rinci telah memuat blok-blok, baik blok perlindungan maupun blok pemanfaatan yang dapat digunakan untuk kegiatan ekowisata dan kegiatan lainnya.
6.
Mengembangkan kegiatan ekowisata di tahura WAR secara kolaboratif dengan masyarakat di sekitar kawasan. Adapun bentuk pelibatan terhadap masyarakat seperti yang tertuang pada Arahan Program Pelibatan Peran Masyarakat (Tabel 25).
5.5.
Ruang Pemanfaatan pada Blok Pemanfaatan Pengelolaan kawasan Tahura Wan Abdul Rachman semestinya tidak
hanya ditentukan dari sejauh mana kelayakannya dengan menggunakan analisis pendapat dari para stakeholder saja, tetapi semestinya pula dapat menampilkan kelayakannya dari segi kelayakan ruang yang di kawasan tersebut. Dalam arti bahwa, apakah strategi yang diterapkan pada kawasan tersebut telah sesuai dengan topografi yang ada atau memerlukan syarat lainnya. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis bermaksud untuk meninjau pula kelayakan dari strategi dengan melakukan peninjauan ruang menggunakan peta thematic yang ada.
Kemudian dilakukan pengolahan dengan menggunakan
perangkat lunak (software) ArcView 3.3. Dalam peninjauan kelayakan ruang yang ada untuk jenis pengelolaan dengan menggunakan strategi ekowisata, tidak ada literatur yang secara khusus memberikan syarat-syarat atas kesesuaian dari penerapan ekowisata pada suatu tempat. Mengingat pada masing-masing tempat, memiliki keragaman karakter wilayah baik topografi, bentang alam, maupun jenis tanah yang ada. Namun apabila suatu daerah tersebut memiliki daya tarik tersendiri dan unik, maka sangat cocok untuk diterapkan ekowisata. Hanya saja, Douglass (1970) dalam Fandeli (2000) memberikan sedikit prinsip kepada pengelola ekowisata, agar :
102 1. Pengembangan ekowisata harus sesuai dengan perencanaan tata ruang. 2. Menyesuaikan antara potensi alam dengan tujuan pengembangan 3. Sedapat mungkin diusahakan agar pengembangan yang dilakukan mempunyai fungsi ganda 4. Sejauh mungkin mengalokasikan tetap adanya areal alami yang tidak dikembangkan. Apabila menggunakan prinsip yang dikemukan di atas, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan ekowisata harus sesuai dengan RTRW wilayah tersebut, potensi wisata yang ada di sana, dan harus memperhatikan kawasan lindung yang tidak boleh dilakukan pengusahaan dalam bentuk apapun. Dalam proses penempatan ruang bagi strategi yang ada pada penelitian ini, digunakan beberapa peta thematic, seperti Peta Tataguna Lahan (Landuse), Peta Kemiringan Lahan (Kelas Lereng), Peta Topografi (Ketinggian), dan Peta Penyebaran Potensi Ekowisata yang ada di wilayah Tahura Wan Abdul Rachman. Berdasarkan pada Tataguna Lahan yang menjadi batasan adalah semua area memiliki potensi pengembangan kecuali wilayah yang masuk dalam kategori Hutan Primer, karena merupakan areal alami yang tidak dapat digunakan untuk kegiatan apapun. Berdasarkan Kemiringan Lereng, yang menjadi batasan adalah lahan yang memiliki kemiringan di bawah 40% berpotensi untuk dikembangkan ekowisata. Karena areal dengan kemiringan lebih dari 40% merupakan areal curam yang harus dilindungi agar tidak rusak sehingga menyebabkan tanah longsor. Kemudian untuk lahan yang bertopografi di bawah 600 mdpl berpotensi dikembangkan untuk wisata. Sedangkan lebih dari 600 mdpl merupakan areal blok perlindungan bagi Tahura Wan Abdul Rachman. Dari proses overlay terhadap peta thematic yang ada dihasilkan peta thematic baru berupa Peta Ruang Pemanfaatan bagi pengelolaan ekowisata di wilayah Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung (Gambar 27).
Sedangkan untuk pengembangan agroforestri adalah areal yang cocok
dengan ekowisata tetapi hanya areal yang telah ditanami oleh masyarakat berupa kopi dan coklat dan atau tanaman lainnya yang menghasilkan. Tetapi dalam hal ini para pengelola berkewajiban untuk menanam bahkan memelihara pohon-
103 pohon di luar tanaman budidaya yang memiliki fungsi untuk menjaga kestabilan tanah. Sedangkan untuk areal lindung yang telah ditanami masyarakat untuk tanaman budidaya lainnya, dihimbau supaya untuk tidak melakukan lagi kegiatan di areal tersebut dan dicarikan alternatif lain bagi pekerjaan mereka. 5.6.
Arahan Pengelolaan Kawasan Tahura Berdasarkan pada hasil analisis dan sintesis dari hasil penelitian yang telah
dilakukan didapat strategi utama yang diinginkan adalah melakukan strategi pengelolaan ekowisata.
Hal ini diharapkan agar dalam pengelolaan tersebut
dapat memenuhi tiga aspek keberlanjutan yaitu pertama, keberlanjutan ekologi, dimana dalam pengelolaan diharapkan tidak membuat lingkungan tahura menjadi rusak bahkan lestari, kedua, keberlanjutan ekonomi, dimana diharapkan strategi ekowisata dapat menciptakan alternatif kerja yang baru dan peluang usaha yang lebih luas sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat setempat, dan ketiga keberlanjutan sosial budaya, dengan harapan bahwa strategi ekowisata mampu mempertahankan kultur masyarakat setempat dan disamping itu juga
mampu
mengubah
perilaku
masyarakat
sekitar
yang
memiliki
ketergantungan terhadap hutan dalam mempertahankan hidup. Namun, walaupun demikian kebijakan tersebut belum tentu menyentuh seluruh masyarakat setempat. Apabila yang berwenang tidak dapat menangkap permasalahan
tersebut
dikhawatirkan
kebijakan
tersebut
bukan
untuk
menyelesaikan masalah bahkan menimbulkan masalah baru dan tidak akan pernah selesai apabila pemerintah mengabaikannya. Untuk menanggulangi masalah penggarapan (perambahan) lahan dalam kawasan tahura, ada baiknya pemerintah menempuh tiga alternatif seperti yang disarankan oleh Keluarga Pecinta Alam Lampung (Watala), yaitu : 1) menerapkan aturan kawasan pelestarian secara ketat, 2) menerapkan aturan kawasan pelestarian alam yang dimodifikasi, dan 3) amandemen kebijakan dan peraturan perundangan yang lebih memperjelas status dan batasan masyarakat di dalam pengelolaan Kawasan Konservasi, yaitu berupa manajemen kolaborasi antar masayarakat dengan pemerintah dan para stakeholder lainnya.
104
105 1. Penerapan aturan kawasan pelestarian alam secara ketat Sebagai kawasan Pelestarian alam yang diamanatkan dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam hayati dan Ekosistemnya semestinya di kawasan tahura WAR tidak diperkenankan adanya aktivitas penggarapan lahan dan kegiatan ilegal lainnya.
Dengan begitu, seluruh
masyarakat atau perorangan maupun kelompok yang berada di kawasan tahura WAR harus dikeluarkan atau dipindahkan dari kawasan tersebut. Sehingga untuk ini perlu adanya pengkajian yang lebih mendalam dan komprehensif melalui koordinasi antar instansi, agar dapat berjalan efektif dan tridak menimbulkan masalah lagi. 2. Menerapkan aturan kawasan pelestarian alam yang dimodifikasi Berarti bahwa masyarakat diperbolehkan untuk menggarap sebagian lahan tahura WAR dengan tidak mengabaikan fungsi sebagai kawasan pelestarian alam. Namun untuk ini diperlukan kajian yang lebih mendalam, karena akan sangat sulit pelaksanaannya mengingat kurangnya pengawasan pemerintah terhadap kawasan tahura dan apabila hanya dengan mengandalkan kesadaran dari masyarakat sangat sulit untuk terwujud. Namun apabila proses kontrol dari pemerintah sebagai pihak yang berwenang telah dapat diandalakan, boleh jadi hal tersebut dapat terwujud.
3. Amandemen Kebijakan dan Peraturan Perundangan yang lebih memperjelas status dan batasan masayarakat di dalam pengelolaan Kawasan Konservasi. Di dasarkan pada fakta bahwa di kawasan tahura telah banyak penggarap bahkan semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Ditambah lagi dengan
keterbatasan pengurusan wilayah hutan oleh pemerintah baik SDM maupun sumberdaya lainnya sementara kondisi riil yang terjadi di lapangan bahwa spot-spot biofisik yang masih berfungsi sebagai hutan sudah sangat minim. Untuk itu diperlukan penenetuan zonasi berdasarkan nilai skoring yang adaptif terhadap kondisi di lapangan dan tentunya diperlukan peran dari berbagai stakeholder. Sehingga dengan peraturan perundangan yang berlaku,
106 pada kawasan hutan tersebut dapat memungkinkan dilaksanakannya program pengelolaan dan pelestarian hutan dengan melibatkan peran serta masyarakat. Walaupun demikian, pelaksanaannya bukan hal yang mudah, terutama dalam hal: 1) penentuan siapa yang berhak menggarap, 2) penentuan luas garapan, 3) pengawasan sistem pertanian dan jenis tanaman yang boleh ditanam, 4) pengendalian masuknya penggarap baru, dan 5) monitoring efektifitas fungsi kawasan. Apapun alternatif yang digunakan, yang berwenang atau Dinas Kehutan Propinsi Lampung perlu melakukan kajian yang mendalam dan komprehensif terlebih dahulu baik dari segi kelayakan maupun dampak yang akan didapatkan dari kebijakan tersebut, karena apabila tidak layak dan menyebabkan dampak yang lebih besar maka dipastikan akan gagal dan tidak akan mendapat dukungan dari semua pihak.
107 VI. KESIMPULAN
6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan mengenai Strategi pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman, ada beberapa garis besar yang dapat disimpulkan, yaitu : 1. Karakteristik permasalahan yang mengakibatkan terjadi kerusakan kawasan tahura WAR adalah karena faktor dari dalam tahura dan faktor dari luar tahura. Adapun faktor dari dalam tahura adalah: 1) adanya keterserdiaan sumberdaya lahan, 2) adanya oknum petugas yang tidak disiplin, 3) penegakan hukum yang tidak tegas dan tuntas. Dorongan dari luar yaitu dikarenakan adanya motif sosial ekonomi dan aspek kesejahteraan. 2. Hasil analisis terhadap pendapat para pakar dengan menggunakan AHP, secara keseluruhan menunjukkan bahwa bentuk pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman dengan menggabungkan aspek Ekologi, ekonomi, dan sosial budaya adalah bentuk strategi yang paling utama melakukan strategi pengelolaan secara ekowisata ekowisata dengan bobot sebesar 0.402 (40,2%), kemudian diikuti strategi pengelolaan gabungan antara Ekowisata dan Agroforestry dengan bobot sebesar 0,386 (38,6%) selanjutnya strategi pengelolaan secara Agroforestry dengan bobot sebesar 0,212 (21,2%). 3. Berdasarkan hasil analisis SWOT, didapat strategi operasional yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah : 1) Menurunkan para perambah yang berada di sekitar kawasan yang tidak memiliki izin sebelumnya, 2) Mengkoreksi kembali kebijakan yang telah dibuat seperti misal pemberian izin kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan di kawasan tahura yang merupakan kawasan konservasi, padahal berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 hal tersebut dilarang, 3) Menindak tegas para petugas yang telah berlaku tidak disiplin dalam proses pengawasan, 4) Mencabut regulasi yang pengaturannya tidak sesuai dan bertentangan dengan perundang-undangan seperti Perda Lampung No. 7 Tahun 2000 tentang Retribusi Izin Pemungutan terhadap Pengambilan Hasil Hutan Bukan Kayu di kawasan
108 Hutan, 5) Membuat pemetaan kawasan yang secara rinci telah memuat blokblok, baik blok perlindungan maupun blok pemanfaatan yang dapat digunakan
untuk
kegiatan
ekowisata
dan
kegiatan
lainnya,
6)
Mengembangkan kegiatan ekowisata di tahura WAR secara kolaboratif dengan masyarakat di sekitar kawasan. Adapun bentuk pelibatan terhadap masyarakat seperti yang tertuang pada Arahan Program Pelibatan Peran Masyarakat (Tabel 25). . 6.2. Saran 1. Strategi Pengelolaan Tahura WAR dengan Ekowisata diharapkan mengandung unsur-unsur pembelajaran, pendidikan, dan memiliki kontribusi terhadap masyarakat sekitar. 2. Pemda selaku pengelola diharapkan memiliki prioritas khusus dalam pengembangan Tahura WAR, karena keadaan Tahura yang semakin memprihatinkan. 3. Pengelola diharapkan lebih giat untuk mensosialisasikan keberadaan Tahura WAR, mengingat masih banyak warga sekitar yang belum mengetahui keberadaanya. 4. Agar kedepan pengelolaan lebih profesional lagi dengan melakukan pemberian tugas kepada masing-masing elemen-elemen atau instansi terkait yang sesuai dengan bidang kerja amsing-masing, misal : tugas pengelolaan ekowosata diserahkan kepada dinas pariwisata dan lain sebagainya.
109 DAFTAR PUSTAKA
Andrews, K R. 1980. The Concept of Corporate Strategy. Homewood. New York. Departemen Kehutanan. Strategi pengembangan Wisata Agro di Indonesia. http://www.Dephut.go.id. (1 Agustus 2006). Dinas Kehutanan Provinsi Lampung. 2004. Dialog Lokakarya Perencanaan Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman. Provinsi Lampung. ----------------------------------------------. 2005. Dialog Lokakarya Perencanaan Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman. Provinsi Lampung. Dunn, W.N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. University Press. Jogjakarta.
Gadjah Mada
Fandeli, C. 2000. Perencanaan Kepariwisataan Alam. Di dalam Pengusahaan Ekowisata. Chafid Fandelli, dkk. Yogyakarta, Desember 2000. Fakultas Kehutanan UGM dan Unit Konservasi Sumberdaya Alam. Yogyakarta. Harja, H.R. 2001. Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove (Studi Kasus di Desa Durian dan Desa Sidodadi Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Lampung Selatan) [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor (tidak dipublikasikan). IUCN. 1980. World Conservation Strategy: Living Resources Concervation for Sustainable Development. IUCN-UNEF-WWF, Gland. Malik, I.B., Wijardjo, N. Fauzi, dan A. Royo. 2003. Menyeimbangkan Kekuatan. Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumberdya Alam. Yayasan Kemala. Jakarta. Marimin. 2004. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo. Jakarta. Menteri Kehutanan Republik Indonesia. 2004. Siaran Pers Departemen Kehutan RI Nomor: S.633/II/PIK-1/2004. Pusat Informasi Kehutanan. Jakarta. Minca. C, and M. Linda. 2000. Forest Tourism and Recreation : Case studies in Environmental Management. CABI Fublishing. Wallingford. United Kingdom.
110 O’Connor, J., and I. Mc Dermott. Thorsons. San Francisco.
1997.
The Art of Systems Thinking.
Ollagnon H., 1989, Une approche patrimoniale de la qualité du milieu naturel, in "Du rural à l'environnement. La question de la nature aujourd'hui", N.Mathieu & M.Jollivet (eds.), L'Harmattan, Paris, 258-68 Pemerintah Republik Indonesia. 1990. Undang-undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemya. Jakarta. Purwadhi, F., dan S. Hardayanti. 1998. Sistem Informasi Geografis. Deputi penginderaan Jauh, lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Kerjasama LAPAN-BPPIT. Departemen Hankam. Rahardjo, B. 2005. Ekoturisme Berbasis Masyarakat dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Pustaka latin. Bogor. Ramdan, H., dan Yusran. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Otonomi Daerah : Kajian Kebijakan dan Valuasi Ekonomi [Thesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Rangkuti, F. 2004. Analisis SWOT Teknik Mewmbedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Rohidin. 2004. Desain Sistem Budidaya Sapi Potong Berkelanjutan untuk Mendukung Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saaty, T. L. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin : Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks terjemahan Decisions Making for Leaders : The Analytical Hierarchy Process for Decissions in Complex World. LPPM dan PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta. Sahwan. 2002. Analisis kebijakan Pengelolaan Taman Hutan Raya (Studi Kasus Tahura Sesaot Provinsi Nusa Tenggara Barat) [Tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Salusu, J. 1996. Proses Pengambilan Keputusan Perencanaan. Modul Perencanaan Pembangunan. Pusat Studi Kebijaksanaan dan Manajemen Pembangunan – LPPM – Universitas Hasanudin. Program Pendidikan dan Latihan Teknik dan Manajemen Perencanaan Pembangunan Tingkat Dasar (TMPP-D), Kerjasam OTO-BAPPENAS – Departemen Dalam Negeri dengan Universitas Hasanudin T.A. 1995/1996. Ujung Pandang. Suporaharjo. 1999. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumberdaya Hutan. Pustaka latin. Bogor.
111 Vergara, N T. 1982. New Directions in Agroforestry : The Potenstial of tropical legume trees Improving Agroforestry in the Asia-Fasific Tropic. EastEwst Centre. Honolulu. Watala (Keluarga Pencinta Alam). 2005. Studi Karakteristik Permasalahan di Register 19 Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman. Watala. Bandar Lampung. WWF Indonesia. 2004. WWF: Wilayah Selatan TNBBS Lampung Kritis. wwfindonesia.com. Winarno, G.D. 2004. Kajian Pengembangan Wisata di Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Propinsi Lampung [Tesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Jadwal Penelitian No 1 2 3 4 5 6 7
Uraian kegiatan Studi pustaka Penyusunan proposal Sidang komisi Kolokium Penelitian Penyusunan draft tesis Seminar hasil penelitian
1
2
3
Bulan ke: 4 5
6
7
8
Lampiran 2. Matriks EFAS dan IFAS SWOT
IFAS
EFAS
Opportnity 1. Diversifikasi usaha dan peningkatan pendapatan masyarakat 2. Optimalisasi pemanfaatn hasil hutan non kayu 3. Tempat pendidikan dan pelatihan 4. Dukungan pemerintah dan masayarakat setempat 5. Dukungan Dunia Internasional 6. Dukungan dasar hukum yg kuat baik aturan maupun kebijakan pemerintah
Strength 1. Potensi luas kawasan tahura 22.249,31 ha 2. Merupakan kawasan konservasi 3. Dekat dengan ibukota bandar lampung/aksesibilitas 4. Ketersediaan sarana, prasarana dan fasilitas: perkemahan (Youth Camp) dan sumber air minum, PLN, PDAM 5. Keaneragaman hayati yang tinggi 6. Sumbangan terhadap pendapatan asli daerah 7. Keberadaan masyarakat dan adat budaya setempat/lokal SO 1. Membuat regulasi yang mengatur tentang pengelolaan kawasan konservasi secara khusus bagi tahura 2. Pengembangan ekowisata berbasis masyarakat 3. Mengoptimalkan dukungan masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaan tahura
Weakness 1. Bentang alam yang kritis dengan tingkat kelerengan > 45% 2. Tidak jelasnya rencana tata ruang wilayah tahura 3. Tidak jelasnya regulasi penge-lolaan kawasan 4. Kurangnya pelibatan segenap stakeholders dalam pengelolaan kawasan 5.Kurangnya aparat yang menjaga keamanan tahura
1.
2. 3.
WO Melakukan perencanaan terhadap tataruang wilayah di tahura bersama dengan lembaga terkait baik formal maupun non formal Pengembangan ekowisata berbasis masyarakat Mempetakan kawasan terlindung
Threats ST WT 1. Tingginya intensitas pene- 1. Memberikan penyuluhan 1. Penegakan hukum (W4-5 bangan liar kepada masyarakat tentang arti & T1236) 2. Perambahan hutan dan fungsi kawasan konservasi 2. Penguatan lembaga 3. Pemukiman liar dan memberikan peringatan masyarakat baik ekonomi 4. Rawan konflik pemanfaatan untuk tidak merusak (S2 & maupun sosial 5. Kondisi ekonomi masyaT1236) rakat miskin 2. Melakukan pengelolaan secara 6. Kerusakan hutan tahura tak kolaborasi antar stakeholder terkendali (mencapai 72%) 3. Penguatan lembaga adat lokal
Lampiran 3. Kuesioner
KUESIONER
Penelitian : Analisis Strategi Pengelolaan Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman berbasis Ekososiosistem di Propinsi Lampung
Nama : Nurul Fajri NRP : P052034041
SEKOLAH PASCA SARJANA PENGELOLAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN INSITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 KUESIONER
I.
TUJUAN Untuk mengumpulkan data primer guna menyusun Analisis Strategi Pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman berbasis Ekososiosistem di Provinsi Lampung. II.
PENGERTIAN UMUM Responden untuk kuesioner adalah para pakar/expert bidang Kehutanan dan konservasi serta yang berhubungan dengan pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman yang dipilih secara sengaja berdasarkan jabatan, profesi atau predikat tokoh masyarakat. III.
HIERARKI AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan dengan pendekatan sistem. Pendekatan AHP menggunakan metoda Skala Saaty mulai dari bobot 1 sampai 9. Nilai bobot 1 menggambarkan sama penting (maksudnya untuk atribut yang sama skalanya selalu nilai bobotnya 1) sedangkan nilai bobot 9 menggambarkan kasus atribut yang penting absolut dibanding nilai lainnya. Berikan penilaian dalam bentuk angka dalam kolom yang telah disediakan pada setiap pertanyaan dengan menggunakan dasar penilaian sebagai berikut :
Tingkat Kepentingan 1 3 5
7 9 2, 4, 6, 8 1/3 – 1/9 (resiprokal)
Penjelasan Dua aktivitas memberikan kontribusi yang sama kepada tujuan Pengalaman dan selera sedikit menyebabkan yang satu sedikit lebih disukai daripada yang lain Pengalaman dan selera sangat menyebabkan penilaian yang satu lebih daripada lain. Yang satu sangat lebih disukai daripada yang lain Aktivitas yang satu sangat disukai dibandingkan yang lain; dominasinya tampak dalam kenyataan Bukti bahwa antara yang satu lebih disukai daripada yang lain menunjukkan kepastian tingkat tertinggi yang dapat dicapai Nilai tengah diantara nilai diatas/bawahnya Menunjukkan kebalikan dari tingkat kepentingan 1-9
Kajian ini disusun berdasarkan metode Analysis Hierarchy Process yang dibagi atas Level I sampai dengan IV, sebagai berikut : Level I : Fokus Strategi Pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman berbasis Ekososiosistem. Level II : Tujuan Merupakan Tujuan yang ingin dicapai dalam model, yang terdiri atas : a. keberlanjutan ekologi b. keberlanjutan ekonomi c. keberlanjutan sosial-budaya Level III : Sasaran Merupakan Sasaran yang ingin dicapai dalam model ini : a. Mempertahankan Fungsi Hidrologi b. Mempertahankan Iklim Mikro
1
c. d. e. f. g. h.
Mengoptimalkan nilai estetika Penyelamatan Keanekaragaman hayati Peningkatan Pendapatan Diversifikasi Usaha Penyerapan tenaga kerja Rekreasi
Level IV : Startegi Merupakan Strategi yang akan digunakan dalam rangka pemantapan/pengelolaan ketahanan pangan menuju pertanian berkelanjutan : 1. Pengembangan kapasitas produksi 2. Pengembangan dan peningkatan intensitas jaringan kerjasama 3. Peningkatan efektifitas dan kualitas kinerja pemerintah 4. Peningkatan pemberdayaan dan partisipasi masyarakat 5. pengembangan agribisnis pangan Secara sederhana gambaran diatas disajikan dalam Struktur Hierarki berikut : Pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman berbasis Ekososiosistem
A
B
C
D
Keberlanjutan ekologi
Keberlanjutan ekonomi
Hidrologi
Iklim Mikro
Nilai Estetika
Penyelamatan Keanekaragam an hayati
Konservasi & Agroforestry
A = FOKUS
Peningkatan Pendapatan Masyarakat dan daerah
Diversisikasi Usaha
Ekowisata
B = ASPEK/TUJUAN
Keberlanjutan sosial
Penyerapan tenaga kerja
Rekreasi
Agroforestry & Ekowisata
C = SASARAN D = STRATEGI
Gambar 1. Struktur Hierarki Pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman berbasis Ekososiosistem
2
IV.
Petunjuk Pengisian Kuesioner Petunjuk Nilai Skala Banding :
Mohon diisi titik-titik pada kotak pertanyan kuesioner, dengan ketentutan : 1. Bila A sama pentingnya dibanding B, maka = 1 2. Bila A sedikit lebih penting dibanding B, maka = 3 ; bila sebaliknya (B sedikit lebih penting dari A) = 1/3 3. Bila A jelas lebih penting dibanding B, maka = 5 ; bila sebaliknya (B jelas lebih penting dari A) = 1/5 4. Bila A sangat jelas lebih penting dibanding B, maka = 7 ; bila sebaliknya (B sangat jelas lebih penting dari A) = 1/7 5. Bila A mutlak lebih penting dibanding B = 9 ; bila sebaliknya (B mutlak lebih penting dari A) = 1/9 Nilai skala banding genap (2, 4, 6, 8 atau ½, ¼, 1/6, 1/8) diberikan untuk nilai skala perbandingan yang nilainya berada diantara 2 pembanding ganjil yang berurutan. Misalnya, pada kasus A dibandingkan B, nilai A diantara sedikit lebih penting hingga jelas lebih penting dibandingkan B, maka skala perbandingan yang diberikan adalah antara 3 dan 5 yaitu 4, (atau bila sebaliknya maka nilainya jadi ¼).
V.
ISI KUESIONER
Tanggal saat pengisian kuesioner (Hari/Bulan/Tahun) : ................ Jam Mulai (Catat jam berapa wawancara mulai dilakukan : ................ Nama lengkap responden Jabatan/Profesi Usia
: ....................................... : ....................................... : .......................................
PERTANYAAN KUESIONER I. Penilaian Level 2 (Tujuan ) terhadap Level 1 (Fokus) 1. Dalam pelaksanaan strategi Pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman berbasis Ekososiosistem ini terdapat beberapa tujuan yang mempengaruhinya, yaitu : a. keberlanjutan ekologi b. keberlanjutan ekonomi c. keberlanjutan sosial-budaya Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara tujuan tersebut sehingga menentukan strategi pengelolaan Pengelolaan Tahura Wan Abdul Rachman berbasis Ekososiosistem: 1
Keberlanjutan ekologi dibanding keberlanjutan ekonomi
...........
2
Keberlanjutan ekologi dibanding keberlanjutan sosial-budaya
...........
3
Keberlanjutan ekonomi dibanding keberlanjutan sosial-budaya
...........
3
II. Penilaian Level 3 (Sasaran) terhadap Level 2 (Tujuan) 1. Untuk tujuan keberlanjutan ekologi, terdapat beberapa sasaran yang hendak dicapai, yaitu : a. Mempertahankan Fungsi Hidrologi b. Mempertahankan Iklim Mikro c. Mengoptimalkan nilai estetika d. Penyelamatan Keanekaragaman hayati Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara sasaran tersebut : 1
Mempertahankan Fungsi Hidrologi dibanding Mempertahankan iklim mikro
...........
2
Mempertahankan Fungsi Hidrologi dibanding Mengoptimalkan nilai estetika
...........
3
Mempertahankan Fungsi Hidrologi dibanding Penyelamatan Keanekaragaman hayati
...........
4
Mempertahankan Iklim Mikro dibanding Mengoptimalkan nilai estetika
...........
5
Mempertahankan Iklim Mikro dibanding Penyelamatan Keanekaragaman hayati
...........
6
Mengoptimalkan nilai estetika dibanding Penyelamatan Keanekaragaman hayati
...........
2. Untuk tujuan keberlanjutan ekonomi, terdapat beberapa sasaran yang hendak dicapai, yaitu : a. Peningkatan Pendapatan b. Diversifikasi Usaha Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara sasaran tersebut : 1
Peningkatan Pendapatan dibanding Diversifikasi usaha
...........
3. Untuk tujuan keberlanjutan sosial-budaya, terdapat beberapa sasaran yang hendak dicapai, yaitu : a. Penyerapan tenaga kerja b. Rekreasi c. Perubahan pola kehidupan masyarakat sekitar Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara sasaran tersebut : 1
Penyerapan tenaga kerja dibanding Rekreasi
2
Penyerapan tenaga kerja dibanding Perubahan pola kehidupan masyarakat sekitar
...........
3
Rekreasi dibanding Perubahan pola kehidupan masyarakat sekitar
...........
4
...........
III. Penilaian Level 4 (Strategi) terhadap Level 3 (Sasaran) 1. Dalam pencapaian sasaran mempertahankan fungsi hidrologi, terdapat beberapa strategi yang harus diprioritaskan: a. Konservasi Agroforestry b. Konservasi Ekowisata d. Konservasi Ekowisata dan Agroforestry Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara strategi tersebut : 1
Konservasi Agroforestry dibanding Konservasi Ekowisata
2
Konservasi Agroforestry dibanding Konservasi ekowisata dan Agroforestry
...........
3
Konservasi Ekowisata dibanding dan Konservasi ekowisata dan Agroforestry
...........
...........
2. Dalam pencapaian sasaran Mempertahankan Iklim Mikro, terdapat beberapa strategi yang harus diprioritaskan: a. Konservasi Agroforestry b. Konservasi Ekowisata d. Konservasi Ekowisata dan Agroforestry Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara strategi tersebut : 1
Konservasi Agroforestry dibanding Konservasi Ekowisata
2
Konservasi Agroforestry dibanding Konservasi ekowisata dan Agroforestry
...........
3
Konservasi Ekowisata dibanding dan Konservasi ekowisata dan Agroforestry
...........
...........
3. Dalam pencapaian sasaran Mengoptimalkan nilai estetika, terdapat beberapa strategi yang harus diprioritaskan: a. Konservasi Agroforestry b. Konservasi Ekowisata d. Konservasi Ekowisata dan Agroforestry Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara strategi tersebut : 1
Konservasi Agroforestry dibanding Konservasi Ekowisata
2
Konservasi Agroforestry dibanding Konservasi ekowisata dan Agroforestry
...........
3
Konservasi Ekowisata dibanding dan Konservasi ekowisata dan Agroforestry
...........
5
...........
4. Dalam pencapaian sasaran Penyelamatan Keanekaragaman hayati, terdapat beberapa strategi yang harus diprioritaskan: a. Konservasi Agroforestry b. Konservasi Ekowisata d. Konservasi Ekowisata dan Agroforestry Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara strategi tersebut : 1
Konservasi Agroforestry dibanding Konservasi Ekowisata
2
Konservasi Agroforestry dibanding Konservasi ekowisata dan Agroforestry
...........
3
Konservasi Ekowisata dibanding dan Konservasi ekowisata dan Agroforestry
...........
...........
5. Dalam pencapaian sasaran Peningkatan Pendapatan, terdapat beberapa strategi yang harus diprioritaskan: a. Konservasi Agroforestry b. Konservasi Ekowisata d. Konservasi Ekowisata dan Agroforestry Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara strategi tersebut : 1
Konservasi Agroforestry dibanding Konservasi Ekowisata
2
Konservasi Agroforestry dibanding Konservasi ekowisata dan Agroforestry
...........
3
Konservasi Ekowisata dibanding dan Konservasi ekowisata dan Agroforestry
...........
...........
6. Dalam pencapaian sasaran Diversifikasi Usaha, terdapat beberapa strategi yang harus diprioritaskan: a. Konservasi Agroforestry b. Konservasi Ekowisata d. Konservasi Ekowisata dan Agroforestry Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara strategi tersebut : 1
Konservasi Agroforestry dibanding Konservasi Ekowisata
2
Konservasi Agroforestry dibanding Konservasi ekowisata dan Agroforestry
...........
3
Konservasi Ekowisata dibanding dan Konservasi ekowisata dan Agroforestry
...........
6
...........
7. Dalam pencapaian sasaran Penyerapan tenaga kerja, terdapat beberapa strategi yang harus diprioritaskan: a. Konservasi Agroforestry b. Konservasi Ekowisata d. Konservasi Ekowisata dan Agroforestry Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara strategi tersebut : 1
Konservasi Agroforestry dibanding Konservasi Ekowisata
2
Konservasi Agroforestry dibanding Konservasi ekowisata dan Agroforestry
...........
3
Konservasi Ekowisata dibanding dan Konservasi ekowisata dan Agroforestry
...........
...........
8. Dalam pencapaian sasaran Rekreasi, terdapat beberapa strategi yang harus diprioritaskan: a. Konservasi Agroforestry b. Konservasi Ekowisata d. Konservasi Ekowisata dan Agroforestry Bandingkanlah besarnya tingkat kepentingan diantara strategi tersebut : 1
Konservasi Agroforestry dibanding Konservasi Ekowisata
2
Konservasi Agroforestry dibanding Konservasi ekowisata dan Agroforestry
...........
3
Konservasi Ekowisata dibanding dan Konservasi ekowisata dan Agroforestry
...........
Terima kasih atas partisipasinya
7
...........