AKHIR LAPORAN ANALISIS PRODUK DALAM NEGERI DI TOKO MODERN
PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat serta hidayahNya, laporan “ANALISIS
PRODUK DALAM NEGERI DI TOKO MODERN”
dapat diselesaikan. Kajian ini dilatar belakangi sebagai antisipasi dari semakin melonjaknya proporsi produk impor yang dijual di toko modern. Terkait hal tersebut, pemerintah berinisiatif menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan
70/M-DAG/PER/12/2013
tentang
tentang
Pedoman
Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern dimana salah satu ketentuan dalam peraturan dimaksud mewajibkan ritel moderen untuk menjual setidaknya 80% produk dalam negeri. Mengingat produk yang dijual di toko modern jumlahnya sangat banyak, kemudian kemampuan sumber daya di daerah (tenaga pengawas) relatif belum memadai serta banyaknya jumlah toko modern yang responnya berlainan terhadap kebijakan tersebut, maka perlu diformalkan metoda apa yang dapat menunjang implementasi kebijakan tersebut. Kajian ini diselenggarakan secara swakelola oleh Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri, dengan tim peneliti terdiri dari Rifa Utama sebagai koordinator dan anggota tim terdiri dari Firman Mutakin, Bagus Wicaksena, Yudha Hadian Nur dan Nasrun serta dibantu tenaga Ahli Rahmat. Disadari bahwa laporan ini masih terdapat berbagai kekurangan, maka kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Dalam kesempatan ini tim mengucapkan terima kasih terhadap berbagai pihak yang telah membantu terselesainya laporan ini. Sebagai akhir kata semoga hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi pemimpin dalam merumuskan kebijakan di bidang perdagangan khususnya pendirian ritel di Indonesia. Jakarta,
Oktober 2014
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
i
ABSTRAK/ABSTRACT Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70/M-DAG/PER/12/2013 Tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern dimana salah satu ketentuannya adalah mewajibkan ritel modern memperdagangkan minimal 80% produk dalam negeri. Namun demikian, pelaksanaan ketentuan tersebut berpotensi tidak efektif mengingat perbedaan kemampuan pelaku usaha dalam stock management produk serta belum adanya mekanisme yang jelas tentang penentuan persentase 80% produk dalam negeri oleh pelaku usaha toko modern. Kajian ini bertujuan merumuskan pedoman perhitungan persentase produk dalam negeri di toko modern serta merekomendasikan kebijakan optimalisasi pemanfaatan pedoman tersebut melalui telaah literatur, analisis manajemen stock keeping unit pada toko modern, dan triangulasi melalui focus group discusion dengan stakeholder. Hasil dari analisis menunjukkan bahwa manajemen stock keeping unit pada toko modern perlu diintegrasikan dengan sistem kode unik standard internasional yang dikeluarkan oleh lembaga standardisasi distribusi global yang dapat menunjukkan informasi negara asal produk. Penggunaan sistem tersebut perlu didukung oleh kebijakan tata cara pendaftaran kode unik standar internasional untuk produk yang diproduksi di Indonesia, baik oleh manufaktur maupun toko modern. Kata Kunci: Toko Modern, Permendag No 70/M-DAG/PER/12/2013, Produk Dalam Negeri. The Government has issued the Minister Regulation of Trade Number 70/M-DAG/PER/12/2013 Regarding the Guideline of Regulating and Development for Traditional Market, Shopping Center, and Modern Retailer, of which one clause mandates 80 percent of traded goods are domestic products. Nevertheless, ineffectiveness may arise in the implementation since the capabilities of stock management varies among retailers, added with the absence of clear technical guidance that determines the fulfillment of 80 percent domestic product traded by a retailer. This study aims to formulate a guideline on fulfillment calculation and provide policy recommendation for adoption by retailers by performing literature review, stock keeping unit analysis, and triangulation through focus group discussion with key persons. The result shows stock keeping unit management in modern retail must be integrated with unique code that identify the manufacturer origin which is issued by global standardization and distribution institution. In addition, that system needs to be supported with policy of International unique code registration process, both by manufacturer and modern retail. Key Word: Modern Retail, the Minister Regulation of Trade Number 70/MDAG/PER/12/2013, Domestic Product. Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i ABSTRAK/ABSTRACT ............................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1 1.2 Tujuan Analisis............................................................................... 3 1.3 Keluaran Analisis ........................................................................... 3 1.4 Ruang Lingkup ............................................................................... 3 1.5 Sistematika Penulisan.................................................................... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 6 2.1 Perkembangan Toko Modern di Indonesia .................................... 6 2.2 Definisi Produk Dalam Negeri Berdasarkan Undang-Undang ....... 8 2.3 Sistem Pengelompokkan Barang Pada Toko Modern ................. 10 2.4 Identifikasi Barang Berdasarkan Sistem Stock Keeping Unit....... 12 2.4.1 Sistem Stock Keeping Unit Melalui Kode Batang (Barcode)........................................................................... 12 2.4.2 Standard Kode Batang (Barcode) Produk di Dunia........... 13 2.4.3 Internasionalisasi Sistem Stock Keeping Unit Melalui Kode Batang (Barcode) ..................................................... 15 2.4.4 Internasionalisasi Pengelompokkan Jenis Barang melalui Global Product Clasification .............................................. 18 BAB III METODOLOGI ............................................................................ 19 3.1 Kerangka Berpikir......................................................................... 19 3.2 Lokasi Kajian dan Responden ..................................................... 20 3.3 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data.............................. 21 3.4 Metode Analisis............................................................................ 21 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 24 4.1 Temuan lapangan ........................................................................ 24 4.1.1 Kota Denpasar................................................................... 24 4.1.2 Kota Bandung.................................................................... 25 4.1.3 Metode inventarisasi Stock Keeping Unit di Toko Modern 27 4.2 Implementasi Stock Keeping Unit Berstandar Internasional di Toko Modern ................................................................................ 28 BAB V PERHITUNGAN PERSENTASE PRODUK DALAM NEGERI ..... 31 DI TOKO MODERN .................................................................................. 31 5.1 Cara Perhitungan Persentase Produk Dalam Negeri (PPDN) di Toko Modern Bagi Pelaku usaha ................................................. 31 5.2 Cara Pengawasan Persentase Produk Dalam Negeri (PPDN) di Toko Modern oleh petugas lapangan........................................... 34 BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN .................... 35 6.1 Kesimpulan .................................................................................. 35 6.2 Rekomendasi Kebijakan .............................................................. 37 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 38
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
iii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Tabel 2.2. Tabel 2.3. Tabel 2.4 Tabel 3.1. Tabel 5.1.
Persentase Pangsa Pasar Toko Modern di Indonesia... Format Perhitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) Barang............................................................. Pengelompokkan Barang Pada Toko Modern ………… Pengelompokkan Jenis Barang berdasarkan Global Product Clasification .................................................... Metodologi dan Analisis Data……………..................... Tabel Format Perhitungan PPDN di Toko Modern berdasarkan kelompok barang ……………....
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
6 9 11 18 23 33
iv
DAFTAR GAMBAR
Tabel 2.1. Tabel 2.2. Tabel 3.1. Tabel 4.1
Barcode Tipe EAN-13………………………………….... Proses Identifikasi Oleh Sistem GS1 .......................... Kerangka Berpikir Analisis ……………………….......... Metode Invetarisasi Stock Keeping Unit .....................
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
14 17 20 28
v
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penetrasi ritel modern di Indonesia memiliki peluang besar dengan tingkat penetrasi rata-rata sebesar 14%. Pada tahun 2014, omzet ritel modern diperkirakan tumbuh sekitar 10% dengan nilai mencapai Rp 162,8 Triliun dan diperkirakan tumbuh sekitar 7,3% per tahun hingga tahun 2017 (Rangkuti dan Wright, 2013). Secara umum, format minimarket tumbuh rata-rata 17,4%, hypermarket tumbuh 17,9%, dan format supermarket tumbuh 3% per tahun selama 10 tahun terakhir. Selain itu, A. T Kearney’s 2014 Global Retail Development Index (GRDI) menempatkan Indonesia pada peringkat 15 negara berkembang untuk tujuan investasi ritel, naik dari peringkat 19 pada tahun 2013 (Bank Mandiri, 2014). Pertumbuhan industri ritel yang cepat diharapkan dapat membantu produk pemasaran produk dalam negeri di pasar domestik. Namun pada kenyataannya, sebagai salah satu pemain dalam bisnis global, ritel modern umumnya memiliki preferensi yang relatif rendah dalam menjual produk Indonesia. Pada tahun 2010, produk impor yang dijual di gerai ritel modern dalam negeri diperkirakan mencapai 15% yang umumnya terdiri dari produk alas kaki, garmen, mainan anak, dan aksesoris (Aprindo, 2010)1. Sementara untuk produk pangan, (Rangkuti dan Wright, 2013) menyebutkan bahwa persentase produk impor yang dijual format hypermarket dan supermarket mencapai antara 5% - 30%, sedangkan pada specialty retailer mencapai hingga 60% yang dikhususkan bagi konsumen premium. Untuk mengantisipasi melonjaknya proporsi produk impor yang dijual di toko modern, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan
70/M-DAG/PER/12/2013
tentang
tentang
Pedoman
Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan 1
http://economy.okezone.com/read/2010/02/12/320/303180/320/search.html
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
1
Toko Modern dimana salah satu ketentuan dalam peraturan dimaksud mewajibkan ritel modern untuk menjual setidaknya 80% produk dalam negeri yang mengacu pada perundang-undangan yang berlaku. Dalam Pasal 22 Ayat 1 Permendag dimaksud dinyatakan bahwa Pusat perbelanjaan dan toko modern wajib menyediakan barang dagangan produksi dalam negeri paling sedikit 80% (delapan puluh per seratus) dari jumlah dan jenis barang yang diperdagangkan dan pada Pasal 2 dalam hal tertentu, Menteri dapat memberikan izin penyediaan barang dagangan produksi dalam negeri kurang dari 80% (delapan puluh per seratus) setelah mempertimbangkan rekomendasi dari forum komunikasi penataan da pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Ketentuan tentang syarat minimum 80% produk dalam negeri di toko modern merupakan kebutuhan pelaku usaha di Indonesia untuk mengembangkan pasar produk dalam negeri. Selain itu, ketentuan serupa juga pernah diterapkan di beberapa negara seperti India dan Thailand walaupun dalam format yang berbeda, seperti ketentuan proporsi produk dalam negeri minimal 30% pada single-brand store di India dan proporsi produk UMKM minimal 40% pada gerai toko modern di Thailand. Namun demikian, penilaian proporsi produk dalam negeri pada gerai toko modern di Indonesia belum dilakukan secara komprehensif mengingat perbedaan sumberdaya dan kemampuan pelaku usaha dalam stock management produk yang dijual. Hal ini berdampak pada hasil penilaian yang dapat bervariasi antar ritel modern. Selain itu, mekanisme teknis penentuan proporsi 80% produk lokal juga belum ditetapkan sehingga dapat menghasilkan penilaian yang bias. Atas pertimbangan tersebut, diperlukan analisis yang dapat menjelaskan teknis penilaian kriteria 80% produk dalam negeri di toko modern agar implementasi Permendag dapat terlaksana secara efektif.
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
2
1.2 Tujuan Analisis Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan dari analisis ini adalah sebagai berikut: 1. Membuat usulan pedoman perhitungan persentase produk dalam negeri di toko modern. 2. Merumuskan
kebijakan
optimalisasi
pemanfaatan
pedoman
perhitungan persentase produk dalam negeri di toko modern. 1.3 Keluaran Analisis Berdasarkan latar belakang dan tujuan di atas, analisis ini diharapkan dapat memghasilkan keluaran sebagai berikut: a. Pedoman perhitungan persentase produk dalam negeri di toko modern. b. Rumusan kebijakan optimalisasi pemanfaatan pedoman perhitungan persentase produk dalam negeri di toko modern. 1.4 Ruang Lingkup Analisis ini mencakup beberapa aspek yang terdiri dari regulasi, kategori toko modern, dan kategori produk dalam negeri, sebagai berikut: a. Peraturan
Menteri
Perdagangan
Nomor
70/M-DAG/PER/12/2013
tentang tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern yang telah disempurnakan dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 56/M-DAG/PER/9/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70/MDAG/PER/12/2013 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. b. Toko Modern dengan format hipermarket, supermarket dan departemen store, mini market, dan perkulakan modern. c. Kategori produk yang dikelompokan menjadi kelompok makanan (food product),
produk
non-makanan
(non
food
product),
general
merchandise, produk segar (fresh food), dan produk lainnya.
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
3
1.5 Sistematika Penulisan Laporan analisis ini terdiri dari lima bab yang terdiri dari Pendahuluan, Tinjauan Pustaka, Metodologi Penelitian, Hasil dan Pembahasan, Usulan Pedoman, dan Kesimpulan dan Rekomendasi. Secara rinci, penjelasan dari setiap bab adalah sebagai berikut: BAB I
: Pendahuluan. Bab ini mendeskripsikan latar belakang, tujuan,
keluaran,
dan
ruang
lingkup
analisis
yang
dilakukan. BAB II
: Tinjauan Pustaka. Bab ini menjelaskan tinjauan literatur yang akan digunakan sebagai referensi dalam analisis dan Peraturan
Menteri
Perdagangan
Nomor
56/M-
DAG/PER/9/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri tentang
Perdagangan Nomor Pedoman
Penataan
70/M-DAG/PER/12/2013 dan
Pembinaan
Pasar
Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. BAB III
: Metodologi
Penelitian
menjelaskan
metode
yang
digunakan dalam analisis ini meliputi kerangka pemikiran, metode analisis data, serta sumber data dan teknik pengumpulan data. BAB IV
: Hasil dan Pembahasan. Bab ini memuat hasil analisis deskriptif perbandingan metode pengelolaan stok toko modern
(baik
sistem
barcode
maupun
manual),
pelaksanaan database toko modern, termasuk hambatan yang dialami pelaku usaha, serta ketentuan pengecualian bagi ritel tertentu terkait implementasi Permendag. BAB V
: Perhitungan Persentase Produk Dalam Negeri di Toko Modern. Bab ini membahas usulan alur pedoman perhitungan persentase produk dalam negeri di toko modern
dan
bagaimana
mekanisme
pengawasan
(monitoring) oleh Instansi Pemerintah yang membidangi
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
4
perdagangan di daerah. BAB VI
: Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan. Bab ini mengulas
kesimpulan
dan
saran
untuk
optimalisasi
pemanfaatan pedoman perhitungan presentase produk dalam negeri di toko modern.
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perkembangan Toko Modern di Indonesia Industri ritel di Indonesia berkembang pesat sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2000 dan Keputusan Presiden Nomor 118 Tahun 2000 yang memberikan izin kepada ritel asing untuk membuka usaha di Jakarta. Masuknya ritel asing tersebut diikuti oleh sejumlah pengusaha dalam negeri dan luar negeri untuk mengembangkan toko modern dengan format hypermarket, supermarket dan department store, minimarket, dan perkulakan modern yang beragam. Tabel 2.1 Persentase Pangsa Pasar Toko Modern di Indonesia
Merek
Perusahaan
2009
2010
2011
2012
Wholesale/Hypermarket Carrefour
Trans Retail Indonesia, PT
1,5
1,4
1,5
1,4
Hypermart
Matahari Putra Prima Tbk, PT
0,9
1,0
1,0
1,1
Giant
Hero Supemarket Tbk, PT
0,9
0,9
1,0
1,1
Lotte Mart
Lotte Shopping Indonesia, PT
-
0,0
0,0
0,1
Supermarket Superindo
Lion Superindo – Gelael, PT
0,3
0,3
0,4
0,4
Alfa Midi
Midi Utama Indonesia Tbk, PT
0,1
0,2
0,3
0,4
Foodmart
Matahari Putra Tbk, PT
0,1
0,1
0,1
0,1
Hero
Hero Supemarket Tbk, PT
0,1
0,1
0,1
0,1
Minimarket/Convenience Store Alfamart (minimarket)
Sumber Alfaria Trijaya, PT
1,6
2,0
2,3
2,5
Indomart (minimarket)
Indomarco Prismatama, PT
1,2
1,5
1,8
2,0
Circle K
Indonesia Utama, PT
0,1
0,1
0,1
0,1
93,4
95,2
91,5
90,8
Lainnya Sumber: Rangkuti dan Wright (2013)
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
6
Meskipun jika dilihat dari kontribusi nilai transaksi masih didominasi oleh pasar taradisional, namun pangsa pasar toko modern meningkat signifikan dari hanya 25,1% pada tahun 2002 menjadi sekitar 44,2% pada tahun 2012 (Rangkuti dan Wright, 2013). Meningkatnya pangsa pasar toko modern tidak terlepas dari konsep yang ditawarkan sehingga menarik minat masyarakat (Dyck, Woolverton, dan Rangkuti, 2012). Beberapa diantaranya adalah: 1. Jaminan keamanan pangan (food safety assurance). Keberadaan teknologi pendinginan pada rantai pasokan toko modern membuat produk-produk (terutama makanan yang mudah basi) dapat terlindung dari kerusakan, dimana sector tradisional yang tidak terintegrasi tidak dapat menyediakan hal tersebut. Selain itu, rantai pasokan modern yang terintegrasi, dapat memberikan sumber pasokan secara lebih jelas secara dokumentasi, karena biasanya harus tersertifikasi. 2. Kenyamanan (Convenience). Skala usaha yang besar dan modern memungkinkan jam operasi toko menawarkan waktu operasional lebih panjang daripada outlet tradisional, terutama pasar. Selain itu, toko modern menawarkan keamanan, bebas parkir pelanggan untuk mobil dan sepeda motor, dan pilihan untuk menggunakan kartu kredit. Maraknya
kepemilikan
memungkinkan
mobil
pembelian
di
kelas
makanan
menengah
skala
besar
perkotaan
yang
dapat
berlangsung lebih sering, belanja perjalanan bahkan setiap hari berjalan kaki ke outlet modern yang tradisional atau lebih kecil. Secara fasilitas gedung pun, toko modern terletak di lingkungan tertutup dan ber-AC, kian mendukung kondisi Indonesia yang beriklim tropis. 3. Informasi (Information). Semua aktivitas transaksi di toko modern diberi label dengan harga yang past, dan pembeli sendiri memilih makanan. Selain itu, jaringan iklan yang modern mampu memberikan informasi mengenai harga jual dan berbagai produk lebih luas. 4. Keragaman (Variety). Toko modern dapat menawarkan produk yang beragam disertai dengan kenyamanan dimana pembeli tidak perlu berhadapan dengan penjual yang berbeda-beda. Jaringan toko
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
7
modern memiliki kekuatan khusus dalam memaksimalkan kebutuhan pembeli
karena
hubungan
nasional
dan
internasional
yang
memberikan informasi tentang dan akses suatu item dengan teknologi yang memadai. 2.2 Definisi Produk Dalam Negeri Berdasarkan Undang-Undang Definisi produk dalam negeri diatur dalam dua Undang-Undag yaitu Undang-Undang Perdagangan Nomor 7 Tahun 2014 dan Undang-Undang Perindustrian No 3 Tahun 2014. Dalam Undang-Undang Perdagangan, dijelakan bahwa produk dalam negeri adalah barang yang dibuat dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha di Indonesia, Barang yang dimaksud adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau Pelaku Usaha, Dalam undangundang juga ditegaskan bahwa pemerintah berhak mengatur kegiatan perdagangan dalam negeri melalui kebijakan yang salah satunya adalah peningkatan akses produk dalam negeri, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian juga mengatur tentang produk dalam negeri yang merupakan barang/jasa termasuk rancang bangun dan perekayasaan yang diproduksi atau dikerjakan oleh perusahaan yang berinvestasi dan berproduksi di Indonesia, yang menggunakan sebagian tenaga kerja bangsa/warga negara Indonesia, yang prosesnya menggunakan bahan baku/komponen dalam negeri dan/atau sebagian impor, Kewajiaban penggunaan produk dalam negeri yang dimaksud dalam undang-undang dilakukan sesuai dengan besaran komponen dalam negeri pada setiap barang/jasa yang ditunjukkan dengan nilai tingkat komponen dalam negeri yang merujuk pada Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16/M-IND/PER/02/2011 Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Penghitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri, dimana TKDN barang dihitung berdasarkan perbandingan antara harga barang jadi
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
8
dikurangi harga komponen luar negeri terhadap harga barang jadi, Format rekapitulasi
perhitungan
TKDN
barang
berdasarkan
Permenperin
dimaksud disajikan pada Tabel 2.1 berikut. Tabel 2,2 Format Perhitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) Barang Biaya per 1 (satu) Satuan Produk
URAIAN
% TKDN
KDN
KLN
Total
(1A)
(1B)
(1C)
(1D)
I,
Material Baku)
II,
Tenaga Kerja Langsung
(2A)
(2B)
(2C)
(2D)
III,
Biaya Tidak Langsung Pabrik (Factory Overhead)
(3A)
(3B)
(3C)
(3D)
(4A)
(4B)
(4C)
(4D)
Langsung
(Bahan
Biaya Produksi
Sumber: Peraturan Menteri Perindustrian No,16/M-IND/PER/02/2011
Berdasarkan tabel 2.2, beberapa hal yang dijadikan landasan antara lain: 1. Biaya Komponen Dalam Negeri (KDN) adalah biaya material langsung (bahan baku), biaya tenaga kerja langsung, dan biaya tidak langsung pabrik (factory overhead) yang berasal dari dalam negeri. 2. Biaya Komponen Luar Negeri (KLN) adalah biaya material langsung (bahan baku), tenaga kerja langsung, dan biaya tidak langsung pabrik (factory overhead) yang berasal dari luar negeri. 3. Formulasi Perhitungan:
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
9
2.3 Sistem Pengelompokkan Barang Pada Toko Modern Pengelompokkan
barang
merupakan
hal
penting
sekaligus
merupakan salah satu keunggulan yang ditawarkan oleh toko modern dalam menarik minat konsumen. Sujana (2004) menjelaskan setidaknya terdapat 4 (empat) langkah dalam menentukan batasan kategori barang, yaitu: 1. Penetapan kategori berdasarkan informasi dari manufaktur, lembagalembaga riset pemasaran, dan pendapat atau kecenderungan umum konsumen.
Misalnya
pembagian
assortment
dalam
kelompok-
kelompok kategori barang fresh food, groceries, non food, house hold, dan sebagainya. Untuk tiap kategori barang tersebut ditetapkan batasan-batasan yang dapat membedakannya dari kelompok kategori yang lain. 2. Penetapan
sub-kategori,
bersangkutan,
sebagai
berdasarkan
bagian
dari
kecenderungan
kategori
yang
konsumen
dari
karakteristik umum barang dalam kategori. Misalnya dalam kelompok kategori barang fresh ditetapkan mencakup kategori sayur dan buah, yang di dalamnya antara lain ada sub-kategori buah-buahan daerah tropis, buah-buahan sub tropis, sayur daun, sayur buah, sayur umbi, dan sebagainya. 3. Pertimbangan pendekatan kegunaan antar kategori atau subkategori dalam
pengelompokan
maupun
dalam
pemajangan.
Misalnya,
pengelompokan margarine sebagai bagian dari subkategori barang sarapan pagi karena biasa digunakan sebagai pengoles roti atau dikelompokkan sebagai bagian dari sub-kategori bahan pembuat kue. 4. Pertimbangan kecenderungan intensitas konsumsi. Misalnya dengan pertimbangan intensitas konsumsinya, gula pasir dikelompokkan ke dalam sub-kategori tepung terigu, tepung sagu, tepung jagung, dan sebagainya.
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
10
Secara umum, klasifikasi kategori produk yang sering dilakukan dalam pengelolaan barang di toko modern menjadi Food Product, NonFood Product, General Merchandise, Persihable, dan Miscellanious. Setiap kategori memiliki detil produk sebagai berikut: Tabel 2.3 Pengelompokkan Barang Pada Toko Modern A. Food Product
B. Non Food Product
C. General Merchandise Product
D. Perishable
E. Miscellaneous
1. Beverage 2. Tea, coffe, creamer & traditional drinks, 3. Honey, jam, cereal, & cheese 4. Diet & diabetes foods 5. Staple food (bahan dasar) 6. Cake mix 7. Spices, soya, sauce, & Ingredient 8. Canned food & dried meat 9. Instant noodle & food 10. Milk (6 th ke atas) 11. Baby milk & food 12. Snack, biscuit & ready to eat 13. Confectionary, candy & chocolate 14. Cigarette & lighter 15. Medicine 16. Personal care 17. Oral hygiene 18. Paper goods 19. Baby need 20. House hold 21. Battery, film, electrical & lamp 22. Apparel, towel, underwear 23. Comb, accessories &footwear 24. Housewares & party need 25. Office supplier & stationary 26. Toys & dolls hobbies & games 27. Eggs 28. Cake & bread 29. Chilled & frozen product 30. Fruit 31. Snack & candy curah 32. Parcel
Sumber: Sujana (2004)
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
11
2.4 Identifikasi Barang Berdasarkan Sistem Stock Keeping Unit Menurut Levy dan Weitz (2009), salah satu atribut dalam memenuhi market target yang berorientasi kepuasan konsumen adalah melalui strategi retail mix dengan menerapkan manajemen keberagaman dan kedalaman produk (merchandise assortment management) melalui stock keeping unit (SKU), yaitu serangkaian huruf dan angka yang secara unik mengidentifikasi produk. Lebih jauh, pemahaman terhadap SKU dapat membantu dalam penyimpanan tipe produk dan pelaksanaan manajemen penyimpanan stok yang pada akhirnya dapat berkontribusi pada peningkatan penjualan. Singh dan Khan (2013) menjelaskan setidaknya terdapat beberapa manfaat dari pengelolaan SKU yang baik yaitu memudahkan konsumen dalam berbelanja, kemudahan dalam perolehan informasi produk, dan jaminan keamanan. Sementara manfaat bagi retailer antara lain pengelolaan persediaan, keperluan audit (stock opname), peramalan permintaan atas produk, dan pengawasan kualitas produk yang dijual. Kampen, Akkerman, dan Donk (2012) juga menganalisis bahwa SKU dapat diklasifikasikan untuk memudahkan pelaksanaan manajemen stok, peramalan penjualan, dan bahkan keputusan produksi atau pembelian. Dalam menggambarkan
implementasinya, bahwa
Setiawan
merchandise
dan
Kunto
assortment
(2013)
management
merupakan variabel yang berpengaruh secara dominan terhadap kepuasan pelanggan sehingga manajemen terhadap SKU semakin diperlukan. Hal ini dikarenakan dengan semakin beragam produk yang ditawarkan, SKU yang harus dikelola juga semakin banyak. Dengan demikian,
kebutuhan
atas
sistem
registrasi
produk
yang
cepat,
kemampuan menelusuri identitas produk, dan dapat diakses oleh berbagai pengguna sudah menjadi prioritas. 2.4.1 Sistem Stock Keeping Unit Melalui Kode Batang (Barcode) Babu, Babu, dan Narayana (2012) menjelaskan bahwa adopsi tekhnologi informasi merupakan kebutuhan yang mendesak dalam Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
12
mengelola suatu toko modern (modern retailer). Toko modern saat ini dituntut untuk menerapkan supply chain management yang efisien dengan memanfaatkan data yang akurat, valid, dan real time untuk mendukung fungsi pengelompokkan barang, penjualan eceran (breaking the bulk), pengelolaan persediaan, dan pelayanan utama. Selama ini, adopsi tekhnologi informasi yang umum dilakukan oleh toko modern adalah Automatic Identification Technologies (AID) dengan tekhnologi barcode yang setidaknya memberikan 3 (tiga) manfaat yaitu penghematan biaya dan waktu karena proses pemeriksaan yang cepat, pengurangan secara signifikan kesalahan pemeriksaan (checker errors), dan pengurangan penggunaan label harga berbasis kertas (Al-Kassab, Thiesse, dan Buckel, 2013). Terlepas dari beberapa kekurangannya dibandingkan dengan sistem lain seperti Radio Frequency Identification (RFID) dan Electronic Shelf Signage (ESS), barcode merupakan instrumen yang umum digunakan oleh setiap perusahaan sehingga relatif populer bagi bisnis ritel (Babu et. al, 2012). 2.4.2 Standar Kode Batang (Barcode) Produk di Dunia Aliaji dan Harjoko (2013) menyebutkan bahwa hampir setiap produk konsumen memiliki barcode yang dapat memberikan informasi yang disediakan oleh produsen. Milne (2013) juga menjelaskan bahwa penggunaan barcode, khususnya pada produk konsumen, pertama kali dilakukan oleh retailer di Amerika pada tahun 1974 dengan sistem Universal Product Code (UPC) yang awalnya diadopsi dari Universal Grocery
Produce
Identifier.
Dengan
semakin
berkembangnya
perdagangan dunia, beberapa negara di Eropa mulai mengadopsi sistem UPC dengan modifikasi beberapa hal seperti kode negara asal dan manufaktur yang kemudian diterjemahkan dalam sistem European Article Numbering yang terdiri dari 13 digit (EAN-13). Selama perkembangannya, Milne (2013) menggambarkan bahwa sistem EAN merupakan sistem barcode yang paling banyak digunakan di beberapa wilayah seperti Eropa, Asia, dan Australia karena memiliki
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
13
beberapa keunikan dalam hal kode negara. Dalam sistem EAN-13, terdapat 13 karakter numerik yang juga dikenal sebagai digit dimana dua atau tiga karakter pertama menunjukkan kode negara, kemudian diikuti dengan 11 atau 10 karakter (tergantung pada panjang kode negara) untuk kode produsen dan kode produk, dan karakter ke-13 merupakan digit cek (Aliaji dan Harjoko, 2013). Gambar 2.1 menunjukkan bagian dari tipe barcode EAN-13.
Gambar 2.1 Barcode Tipe EAN-13 Sementara
untuk
produk
lainnya,
seperti
penerbitan
dan
percetakan, barcode yang digunakan adalah International Standard Book Number (ISBN) untuk produk buku dan International Standard Serial Number (ISSN) untuk produk percetakan seperti majalah dan produk lainnya yang memiliki periode berkala. Secara umum fungsi yang dimiliki relatif sama yaitu mengidentifikasi lokasi dan penerbit. Selama hampir 30 tahun, seluruh kegiatan perdagangan, baik produk maupun sistem perdagangan, telah menggunakan barcode dan semakin berkembang dukungan sistem elektronik dan komunikasi untuk menciptakan perdagangan yang efisien. Beberapa perkembangan sistem elektronik perdagangan saat ini antara lain: 1. Standard Penomoran dan Identifikasi Internasional yang terdiri dari: a. The Global Shipping Container Code (SSCC) sebagai kode unik untuk karton, palet, paket, dan container yang mulai digunakan pada sistem perdagangan sejak tahun 1980.
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
14
b. The Family of Global Trade Item Numbers (GTIN) sebagai identifikasi kode unik pada produk dan jasa yang terhubung dalam rantai distribusi dan penjualan global. Salah satu contohnya adalah EAN/UPC. c. The Global Location Number (GLN) sebagai kode unik yang dapat mengidentifikasi lokasi pembuatan, pergudangan, dan badan usaha (legal entities). 2. Pemindai dengan frekuensi elektronik yang dikenal dengan istilah Radio Frequency Identification (RFID) yang umum digunakan dalam supply chain dengan informasi yang relatif lebih banyak dari pada kode batang. 3. Sistem informasi komunikasi yang didukung dengan perkembangan teknologi internet. 2.4.3 Internasionalisasi Sistem Stock Keeping Unit Melalui Kode Batang (Barcode) Penggunaan barcode pada produk konsumen menjadi dominan dalam perdagangan global. Pada periode 1990an hingga pertengahan tahun 2000an, sistem barcode produk konsumen yang umum diadopsi adalah EAN (EAN-13 dan EAN-8) yang disesuaikan dengan kebutuhan, dan UPC. EAN merupakan sistem barcode yang umum dipakai oleh produk konsumen yang dijual di Eropa, Asia, dan Australia sementara UPC lebih umum bagi pasar Amerika Serikat dan Kanada (Aliaji dan Harjoko, 2013). Pada tahun 2005, sebuah federasi dari Badan Standard Bisnis Nasional didirikan dengan tujuan untuk mengatasi permasalahan yang timbul akibat perbedaan sistem barcode produk konsumen. Milne (2013) menyebutkan bahwa federasi tersebut kemudian dikenal dengan istilah GS1 yang sudah mengakomodir sistem perdagangan berbasis elektronik salahsatunya adalah dengan mengharmonisasikan sistem berbasis EAN dan UPC sehingga sistem barcode pada produk konsumen dapat disesuaikan di setiap pasar Amerika dan non Amerika.
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
15
GS1
saat
ini
merupakan
lembaga
non-profit
yang
terus
berkembang dalam mendukung sistem rantai pasok global (global value chain) yang efisien, baik untuk produsen, distributor, maupun retailer2. Peran GS1 menjadi penting karena saat ini, sistem GS1 digunakan oleh sekitar dua juta perusahaan yang melakukan enam miliar transaksi per hari di 150 negara. Selain itu, salah satu keunggulan sistem GS1 adalah perolehan kemudahan dalam mengidentifikasi produk, lokasi, asset, dokumen, dan lain-lain yang memiliki struktur standar internasional. Beberapa cakupannya antara lain sebagai berikut (Gambar 2.2). 1. Global Trade Item Number (GTIN), berfungsi sebagai penyedia cara yang unik untuk mengidentifikasi produk sehingga mempercepat akses dalam database. Cakupan fungsi ini antara lain harga, penjualan, konfirmasi pengiriman, dan/atau identifikasi order pada setiap titik rantai pasokan baik nasional maupun global., 2. Global Location Number (GLN), yaitu kunci identifikasi GS1 yang digunakan untuk mengidentifikasi lokasi (negara) dan badan hukum (produsen/manufacturer) 3. Serial Shipping Container Code (SSCC) adalah sebagai kode unik untuk karton, palet, paket, dan container yang mulai digunakan pada sistem perdagangan sejak tahun 1980. 4. Global
Returnable
Asset
Identifier
(GRAI),
digunakan
untuk
mengidentifikasi aset yang dapat digunakan kembali pada alat transportasi seperti krat, peti, palet atau galon air yang dapat digunakan berulang. GRAI juga dapat digunakan untuk pelacakan, pengembalian asset, dan/atau sistem sewa bagi perusahaan. 5. Global
Individual
mengidentifikasi diidentifikasi
Asset aset
secara
Identifier
tetap unik
(GIAI),
dalam yang
digunakan
perusahaan
umumnya
untuk
yang
untuk perlu
keperluan
transportasi seperti truk, trailer, Unit Load Device (ULD), container, mobil, dan sebagainya.
2
http://www.gs1.org/about/overview diunduh pada 02 Agustus 2014
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
16
6. Global Shipment Identification Number (GSIN), yaitu nomor yang ditetapkan oleh penjual (pengirim) barang yang menyediakan sejumlah nomor global yang unik untuk mengidentifikasi informasi pengiriman sebagai bagian dari hubungan antara penjual dan pembeli.
GSIN
memenuhi
persyaratan
Unique
Consignment
Reference (UCR) dari World Customs Organisation (WCO) yang dapat digunakan oleh otoritas Bea Cukai untuk mengidentifikasi pengiriman dalam proses ekspor-impor. 7. Global
Identification
Number
for
Consignment
(GINC)
mengidentifikasi pengelompokan barang yang telah diserahkan ke pengirim barang. GINC dilengkapi dengan GS1 Identifier Application (GS1 AI) yang bertindak dapat digunakan dalam aplikasi pasokan multi-sektor dan rantai pasok internasional.
Gambar 1,1 Alur Kunci Identifikasi GS1 Dari tujuh kunci identifikasi ada GLN (Global Location number) yang
Gambar 2.2 Proses Identifikasi Oleh Sistem GS1 Sumber : GS1 (2014)
Dalam proses identifikasi barang menggunakan sistem GS1 terdapat kunci identifikasi GS1 yang digunakan untuk mengidentifikasi lokasi (negara) dan badan hukum (produsen/manufacturer). Kunci identifikasi tersebut dapat menjadi alat identifikasi produk indonesia atau bukan produk indonesia, dimana kunci identifikasi terdapat pada 3 digit awal SKU dengan EAN-13 untuk indonesia adalah 899 dan untuk luar Indonesia selain 899.
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
17
2.4.4 Internasionalisasi Pengelompokkan Jenis Barang melalui Global Product Clasification Selain penggunaan barcode pada barang
menjadi dominan dalam
perdagangan global, sistem pengelompokkan jenis barang juga menjadi hal yang penting. Menurut sujana (2004) pengelompokkan barang di toko modern secara umum terbagi menjadi 4 kelompok yaitu Food Product, Non-Food Product, General Merchandise, Persihable, dan Miscellanious. Namun menurut lembaga standardisasi logistik internasional GS1 yang dipublikasikan pada bulan juni 2014 dikelompokkan menjadi 37 kelompok seperti pada tabel 2.4 Tabel 2.4 Pengelompokkan Jenis Barang berdasarkan Global Product Clasification No 1 2 3
Kelompok Barang Arts/Crafts/Needlework Audio/Visual/Photography Automotive
No 20 21 22
Kelompok Barang Kitchen Merchandise Lawn/Garden Supplies Live Animals
4 5 6
Baby Care Beauty/Personal Care/Hygiene Building Products
23 24 25
Lubricants Music Personal Accessories
7
Camping
26
8
Cleaning/Hygiene Products
27
9 10 11
Clothing Communications Computing
28 29 30
Pet Care/Food Plumbing/Heating/Ventilation/Air Conditioning Safety/Security/Surveillance Safety Protection Sports Equipment
12
Electrical Supplies
31
13
Food/Beverage/Tobacco (FBT)
32
14
Footwear
33
15 16
Fuels/Gases Healthcare
34 35
Storage/Haulage/Containers Textual/Printed/Reference Materials Tool Storage/Workshop Aids Tools Equipment - Hand
17 18
Home Appliances Horticulture Plants Household/Office Furniture/Furnishings
36 37
Tools Equipment - Power Toys/Games
19
Stationery/Office Machinery/Occasion Supplies
Sumber : GS1 (2014)
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
18
BAB III METODOLOGI 3.1 Kerangka Berpikir Toko Modern di Indonesia dibagi menjadi minimarket, supermarket, departemen
store,
hipermarket
dan
perkulakan
modern.
Dalam
kegiatannya, toko modern dapat menjual barang produk dalam negeri dan produk Impor dengan definisi produk dalam negeri seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Perdagangan No 07 Tahun 2014. Sedangkan definisi produk impor adalah produk yang di produksi di luar wilayah Indonesia dan maksuk ke Indonesia melalui kepabeanan. Amanat Menteri Perdagangan Nomor 70/M-DAG/PER/12/2013 tentang tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern diharapkan Pusat perbelanjaan dan toko modern dapat menyediakan barang dagangan produksi dalam negeri paling sedikit 80% (delapan puluh per seratus) dari jumlah dan jenis barang
yang
diperdagangkan.
Namun
demikian,
informasi
terkait
persentase produk dalam negeri yang dijual di toko modern terhadap total produk yang dijual saat ini masih belum tersedia. Hal ini dikarenakan Pemerintah belum memiliki mekanisme yang baku dalam menganalisis persentase produk dalam negeri yang dijual di toko modern yang dapat dijadikan landasan kebijakan. Untuk itu, telaahan melalui literature review Undang-Undang Nomor 07 Tahun 2014 Tentang Perdagangan, sistem barcode, klasifikasi produk di toko modern, dan depth interview dengan stakeholder diharapkan dapat menghasilkan pedoman perhitungan persentase produk dalam negeri di toko modern yang diharapkan dapat dijadikan rekomendasi kebijakan optimalisasi pemanfaatan pedoman perhitungan persentase produk dalam negeri di toko modern. Kerangka pemikiran dijelaskan pada Gambar 3.1 berikut.
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
19
Toko Modern Produk Dalam Negeri
Produ k Impor
Permendag 70/M-DAG/PER/12/2013. & 56/M-DAG/PER/9/2014 Mengenai Ketetapan 80 % produk dalam negeri di toko modern
1. UU Perdagangan 2. SKU Standar Global 3. Klasifikasi Produk Standar Global
Panduan Perhitungan Persentase produk dalam Negeri di Toko Modern
Kebijakan optimalisasi pemanfaatan pedoman perhitungan persentase produk dalam negeri di toko modern
Gambar 3.1 Kerangka Berpikir Analisis 3.2 Lokasi Kajian dan Responden Untuk menggali data dan informasi tentang produk dalam negeri di toko modern, dilakukan survey kepada pelaku usaha toko modern di wilayah Jabodetabek, Denpasar, dan Bandung. Pelaksanaan survey di Jabodetabek dan Bandung didasarkan pada isu sebaran toko modern dimana sebaran toko modern di Jabodetabek mencapai 30% dari jumlah
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
20
pusat belanja modern di Indonesia3. Sementara untuk wilayah Bandung, jumlah toko modern diperkirakan mencapai 703 unit. Padahal idealnya, jumlah toko modern adalah 273 unit dan maksimal 400 unit4. Sementara pertimbangan survey dilakukan di Kota Denpasar lebih didasarkan pada kegiatan pariwisata di Propinsi Bali yang dapat berdampak pada penjualan produk impor di toko modern. Selain itu, terdapat isu himbauan bagi toko modern untuk tidak menjual produk khas Bali karena dapat mematikan pasar seni di Bali. Hal tersebut dapat bersifat kontradiktif dengan Permendag yang menggiatkan penjualan produk dalam negeri di toko modern5. Selanjutnya, pemilihan responden dilakukan secara purposive dan wawancara dengan pengelola toko modern yang bersifat lokal, nasional, dan global. 3.3 Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam analisis ini dilakukan dengan cara survey dan observasi lapangan kepada pengelola toko modern di daerah dan wawancara mendalam (in depth). Selain itu, informasi yang diperoleh dari survey di lapangan akan disintesa melalui diskusi dengan stakeholder untuk merumuskan kebijakan. Analisis ini menggunakan data primer dan data sekunder, Data primer yang digunakan antara lain database produk di toko modern dan deskripsi manajemen stok (procurement dan stok) sedangkan data sekunder yang digunakan antara lain pertumbuhan toko modern, pangsa pasar toko modern, dan pangsa pasar pertoko modern sejak tahun 2009, dan peraturan terkait toko modern, Selain itu, studi literatur yang terkait dengan kebijakan ritel modern juga digunakan sebagai data dan informasi pendukung.
3.4 Metode Analisis 3
Informasi dari Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia Disperindagkop Kota Bandung 5 http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/nusantara-nasional/12/04/17/m2lzgd-pemkab-gianyar-mintatoko-oleholeh-modern-dibatasi 4
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
21
Dalam menjawab tujuan pertama tentang usulan pedoman perhitungan persentase produk dalam negeri di toko modern, maka digunakan analisis deskriptif melalui: 1) Perbandingan sistem manajemen stok (stock keeping unit - SKU) sebagai bagian dari database management di bisnis toko modern. Perbandingan stock keeping unit (SKU) dilakukan antara sistem yang modern (dilengkapi perangkat teknologi informasi) dengan sistem yang manual. 2) Depth Interview dengan pelaku usaha dalam mengeksplorasi sistem manajemen database barang (SKU berstandar global dan SKU internal) Sementara untuk menjawab tujuan kedua tentang rumusan kebijakan optimalisasi pemanfaatan pedoman perhitungan persentase produk dalam negeri di toko modern, digunakan metode triangulasi. Menurut Denzin (2000), metode triangulasi yang digunakan dalam analisis ini adalah jenis metode triangulasi sumber data, yaitu menggali kebenaran hasil survey dan telaahan literatur, melalui focus group discusion dengan stakeholder yang meliputi pelaku usaha dan pemerintah. Secara detil, metodologi dan analisa data ditampilkan dalam Tabel 3.1 berikut.
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
22
Tabel 3.1 Metodologi dan Analisis Data
Tujuan Kajian 1. Membuat usulan • pedoman perhitungan persentase produk dalam negeri di toko modern.
2. Merumuskan • kebijakan optimalisasi pemanfaatan pedoman perhitungan persentase produk dalam negeri di toko modern
Metode analisis Analisis deskriptif melalui telaahan literatur dan Stock Keeping Unit
Triangulasi
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
Data Primer: Survey dan In-depth interview
Sumber
Output
Pelaku Usaha, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian
Usulan pedoman perhitungan persentase produk dalam negeri di toko modern.
Primer: Pelaku Usaha, Focus Group Kementerian Discusion Perdagangan, dan Kementerian Perindustrian
Rumusan kebijakan optimalisasi pemanfaatan pedoman perhitungan persentase produk dalam negeri di toko modern
Sekunder: Peraturan terkait toko modern
23
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk dapat menjawab tujuan penelitian maka dilakukan proses pengumpulan data, baik yang sifatnya data primer maupun data sekunder. Pengumpulan data primer (survey) dilakukan dengan melalui wawancara dan kunjungan (observasi) ke Bali dan Bandung. Sementara untuk di Jabodetabek,
dilakukan
mengklarifikasi
hasil
pengumpulan
temuan
survey,
informasi dengan
(data)
mengundang
untuk para
stakeholders yaitu pelaku usaha (diwakili oleh Alfamart dan Indomaret), APRINDO dan Bina Usaha Kementerian Perdagangan, serta GS1 Indonesia. 4.1 Temuan lapangan 4.1.1 Kota Denpasar Dalam melakukan pengumpulan data di kota Denpasar, selain melakukan observasi ke toko modern multinasional seperti Carefour dan Giant juga melakukan observasi ke toko modern asli daerah setempat seperti Nirmala dan Hardy’s. penting
dalam
Dalam observasi ditemukan hal yang
pengidentifikasian
barang
di
toko
modern
untuk
penghitungan produk dalam negeri di toko modern yaitu dengan mengidentifikasi barcode pada produk yang dijual. Selain itu, teknis penghitungan produk dalam negeri sangat bergantung pada sistem database yang digunakan oleh pelaku usaha ritel modern. Pelaku usaha toko modern di Bali telah menerapkan sistem identifikasi produk berdasarkan kategori produk. Untuk produk yang diperoleh dari supplier besar, barang yang dibeli pada umumnya sudah memiliki kode produk (product barcode) sehingga secara otomatis terdaftar dalam sistem database pelaku usaha. Sedangkan untuk produk yang diperoleh dari supplier kecil (UKM), pengkodean produk dilakukan oleh pelaku usaha ritel dengan menggunakan pengkodean internal (internal barcode). Selain penggunaan barcode, toko modern lokal masih
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
24
menggunakan dilakukan untuk
sistem
identifikasi
barang
manual.
Sistem
manual
sebagian barang produksi UKM yang pembeliannya
melalui sistem konsinyasi. Dalam sistem pembelian konsinyasi toko modern mencatatkan barang dalam database hanya pada saat barang laku terjual sedangkan pada saat barang di pajang dalam etalase catatan barang dilakukan dalam database yang terpisah. Hasil dari observasi toko modern di kota Denpasar untuk penghitungan persentase produk dalam negeri di toko modern lebih mudah dilakukan dengan mengidentifikasi barcode pada produk. Pada umumnya, product barcode yang tertera pada produk dari supplier besar merupakan barcode yang memiliki informasi kode negara dimana barang tersebut
diproduksi
atau
disebut
barcode
standar
internasional.
Sedangkan produk yang menggunakan barcode internal umumnya merupakan produk dalam negeri yang diproduksi oleh UKM. Mengenai penerapan ketentuan persentase produk dalam negeri di toko
modern
minimal
80%
sesuai
dengan
permendag
70/M-
DAG/PER/12/2013, pelaku usaha toko modern di kota Denpasar pada umumnya mendukung kebijakan tersebut, namun yang dikhawatirkan oleh para pelaku usaha toko modern adalah kesulitan implementasinya. 4.1.2 Kota Bandung Dalam melakukan pengumpulan data di kota Bandung,
observasi
dilakukan ke toko modern lokal seperti Griya dan Borma. Pada umumnya, hasil observasi ke pelaku toko modern di kota Bandung sama dengan pelaku usaha toko modern di bali. Hal yang penting dari hasil observasi adalah: 1. Pengklasifikasian produk di toko modern di bandung sama dengan toko modern lainnya yaitu berdasarkan kategori produk makanan (food product), produk non-makanan (non food product), general merchandise, produk segar (fresh food), dan produk lainnya. 2. Identitas barang didasarkan kode data unik yang biasa disebut stock keeping unit yang stardar dalam barang. Kode unik barang yang
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
25
digunakan oleh pelaku usaha adalah kode barang yang tertera pada kemasan produk berupa kode barcode yang terdiri dari 13 digit. Apabila dalam kemasan tidak terdapat kode barcode 13 digit pelaku usaha akan memberikan kode unik yang dibuat oleh toko modern itu sendiri. 3. Didalam database toko modern tidak ada pengelompokkan produk dalam negeri dan bukan produk dalam negeri karena menurut pelaku usaha sebelum ada kebijakan minimal 80% produk dalam negeri di toko modern tidak ada kepentingan terhadap informasi tersebut. Untuk mengantisipasi kebijakan tersebut pelaku usaha
akan melakukan
pengembangan databasenya dengan memberi identitas untuk setiap produknya dengan produk dalam negeri atau produk luar negeri. 4. Khusus untuk Toko Modern Borma diakui bahwa sistem database yang dimilikinya belum sebaik sistem data base toko modern pada umumnya, karena pada sistem point of sales (POS) nya hampir 50% masih menggunakan input manual nomor stock Keeping Unit (SKU), bukan menggunakan scanner barcode. 5. Toko modern di Bandung merasa produk yang di jual di outletnya sebagian besar merupakan produk lokal. Walaupun secara pasti belum menghitung berapa persen produk dalam negeri tapi toko modern memiliki keyakinan persentasenya sudah mendekati angka 80% sesuai dengan ketentuan di kebijakan. Dari modern
hasil wawancara mendalam dengan pelaku usaha toko
di kota bandung, pada umumnya pelaku usaha mendukung
kebijakan pemerintah mengenai persentase produk dalam negeri sebesar 80% dari barang yang dijual dengan catatan tidak memberatkan toko modern dalam penghitungannya. Pelaku Toko modern juga
setuju
penggunaan barcode EAN-13 (13 Digit) yang memiliki informasi negara asal barang dalam perhitungan persentase 80% produk dalam negeri selama biaya tambahan dalam penggunaannya tidak besar
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
26
4.1.3 Metode inventarisasi Stock Keeping Unit di Toko Modern Berdasarkan observasi dan wawancara mendalam yang dilakukan di kota Denpasar dan Kota Bandung dapat disimpulkan beberapa hal yang dapat menjadi dasar usulan pedoman perhitungan persentase produk dalam negeri di toko modern. Secara umum metode inventarisasi SKU dapat dibagi menjadi: 1. Metode Modern, dengan indikator-indikator sebagai berikut: a. Supplier (Pemasok) dengan skala besar; b. Produk impor maupun produk lokal yang diperdagangkan telah menggunakan sistem Product Barcode dengan identifikasi European Article Numbering yang terdiri dari 13 digit (EAN-13). c. Dengan menggunakan Product Barcode EAN-13, maka lokasi produksi (atau negara produksi) dapat diketahui secara langsung. 2. Metode Manual, memiliki indikator-indikator yakni: a. Supplier
(Pemasok)
dengan
skala
kecil
(Usaha
Kecil
Menengah); b. Pada
umumnya,
produk
lokal
yang
dipasok
belum
menggunakan Product Barcode, atau dengan kata lain masih menggunakan metode SKU yang di-develop sendiri (internal barcode). c. Dengan
menggunakan
internal
SKU,
belum
dapat
mengidentifikasi asal produk (atau negara produksi).
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
27
Procurement
Database Ritel
Keterangan
Produk Impor dan Lokal: Product Barcode
Supplier Besar
Kategori produk dilengkapi dengan product barcode
Lokasi produksi dapat diketahui via product barcode
Umumnya produk lokal: tidak ada Product Barcode
Supplier Kecil
Kategori produk dengan internal SKU
Lokasi produksi dipastikan di dalam negeri
Ket: Penggunaan barcode internal dilakukan jika supplier tidak menyertakan produk yang dilengkapi dengan barcode. Hal ini umumnya terjadi pada supplier UKM dalam negeri.
Gambar 4.1 Metode Invetarisasi Stock Keeping Unit Sumber : data primer 4.2 Implementasi Stock Keeping Unit Berstandar Internasional di Toko Modern Kesimpulan hasil survey di dua kota kemudian di uji kebenarannya dengan metode triangulasi. Metode triangulasi yang digunakan adalah jenis metode triangulasi sumber data, yaitu menggali kebenaran hasil survey dan telaahan literatur melalui focus group discusion yang dihadiri oleh perwakilan dari APRINDO (Asosiasi Pedagang Retail Indonesia), Pelaku Usaha (retailer) yang diwakili oleh Pemilik Indomaret dan Alfamart, Perusahaan GS1 dan Bina Usaha Perdagangan. Beberapa hal dari hasil FGD antara lain adalah: 1. Hasil survey lapangan di Denpasar dan Bandung sesuai dengan hasil verifikasi melalui FGD. Dimana barang yang masuk ke toko modern memiliki kode unik barang/stok keeping unit (SKU) yang berupa barcode dengan standardisasi internasional. Tipe barcode yang banyak digunakan di Indonesia adalah EAN-13. Selain Tipe barcode EAN-13, masih ada barang yang menggunakan barcode tidak standar dan barang yang tidak berbarcode sama sekali. Untuk
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
28
barang yang barcodenya tidak standard dan barang tanpa barcode toko modern memberikan barcode sendiri yang biasa disebut barcode internal dengan sistem pengkodeanya dibangun oleh toko modern sendiri. 2. Tipe Barcode EAN-13 adalah barcode standar internasional yang dikeluarkan oleh lembaga standardisasi logistik internasional GS1. Tipe tersebut adalah tipe barcode dengan 13 digit. Dimana 3 kode awalnya merupakan kode negara Indonesia (899). Kemudian empat angka berikutnya menunjukkan kode perusahaan. Selanjutnya lima angka secara berturut-turut merupakan kode produk dan angka terakhir berupa validasi atau cek digit. 3. Dengan barcode EAN-13, barang akan mudah diidentifikasi asal negara dan perusahaan manufakturnya, kecuali untuk barang yang di produksi di Indonesia tapi kode 3 digitnya 888 (singapura). Hal tersebut disebabkan manufakturnya mendaftakan perusahaannya di singapura.
Begitu
juga
kebalikannnya
dimana
kode
asal
perusahaannya 899 (Indonesia) namun diproduksi di negara lain. Kondisi pengecualian pencantuman kode asal negara yang berbeda dengan lokasi negara yang sebenarnya persentasenya relative kecil yaitu lebih kecil dari 5% 4. Penggunaan tipe barcode EAN-13 dibeberapa negara relatif tinggi bahkan ada negara yang telah menggunakan 90-100% barcode EAN-13 seperti Australia (100% barang yang beredar) dan China (100% barang yang dikemas). 5. Penggunaan tipe barcode EAN-13 dapat dijadikan salah satu cara untuk menghitung persentase produk dalam negeri ditoko modern. Dengan melakukan olah data pada databasenya dapat dipilah mana yang merupakan produk Indonesia/dalam negeri (899) dan produk luar negeri/impor (bukan 899). 6. Menghitung persentase produk dalam negeri dengan alat bantu barcode EAN-13 dapat mudah dilakukan apabila seluruh produk yang dijual di Indonesia telah 100% menggunakan barcode EAN-13.
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
29
Namun saat ini penggunaan barcode tersebut di Indonesia relative kecil yaitu 60-70% untuk barang yang ada toko modern dan 20% untuk seluruh barang di Indonesia. 7. Selain memiliki sistem barcode EAN-13, GS1 juga memiliki sistem GPC (global Product Classification). GPC mengelompokkan barang berdasarkan klasifikasi yang standar global yang dapat menjadi rujukan
dalam
pengelompokkan
barang
dalam
perhitungan
presentase produk dalam negeri di toko modern. Berdasarkan analisis maka barcode standar internasional (tipe barcode EAN-13) dianggap memiliki kelebihan dalam hal : 1. Dikembangkan oleh lembaga standardisasi logistik Internasional dan telah diterapkan diseluruh dunia. 2. Memiliki identifikasi barang yang lengkap dengan kode asal negara dan kode perusahaan. kode tersebut memudahkan pelaku usaha mengidentifikasi produk dalam negeri dan produk luar negeri. 3. Terintegrasi mulai dari industri hulu (produsen) hingga ke hilir (penjual akhir) 4. Karena memiliki identifikasi yang lengkap dan terintegrasi dari hulu sampai hilir maka persentase produk dalam negeri terhadap produk keseluruhan dapat diketahui/dihitung dengan mudah. Faktor-faktor yang menjadi tantangan antara lain adalah: 1. Masih ada barang yang menggunakan barcode tidak standar dan barang yang tidak berbarcode sama sekali 2. Mayoritas pelaku usaha toko modern skala menengah dan kecil, yang masih menggunakan sistem manual (internal barcode) seperti Nirmala di Bali dan Borma Bandung 3. Banyak produk UKM dalam negeri yang dipasok ke pasar toko modern yang belum mengunakan sistem barcode, baik internal maupun modern/product barcode
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
30
BAB V PERHITUNGAN PERSENTASE PRODUK DALAM NEGERI DI TOKO MODERN Berdasarkan hasil temuan lapangan di Denpasar dan Bandung yang kemudian dilanjutkan dengan verifikasi melalui FGD dapat di rumuskan ketentuan umum dalam perhitungan persentase produk dalam negeri di toko modern dan Pengawasan Persentase Produk Dalam Negeri (PPDN) di Toko Modern oleh petugas lapangan. 5.1 Cara Perhitungan Persentase Produk Dalam Negeri (PPDN) di Toko Modern Bagi Pelaku usaha Dalam menghitung Persentase Produk Dalam Negeri di toko modern, pelaku usaha perlu memperhatikan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Definisi. Pelaku ritel perlu memahami definisi tentang produk dalam negeri, barang yang dijual, tingkat persentase produk dalam negeri dan kelompok barang. Adapun definisi mengenai produk dalam negeri, barang dan tingkat persentase dalam negeri sesuai dengan Permendag
no
70/M-DAG/PER/12/2013,
sementara
definisi
kelompok barang sesuai dengan klasifikasi produk global (global product classification) yang di terbitkan oleh lembaga standardisasi logistik internasional 2. Penentuan kelompok barang. Sebelum menghitung tingkat PPDN secara keseluruhan, pelaku usaha perlu menghitung terlebih dahulu persentase produk dalam negeri dari masing-masing kelompok barang. Adapun hal yang perlu diperhatikan dalam penentuan penghitungan persentase kelompok barang antara lain: a. Perhitungan didasarkan pada perbandingan antara jumlah unit barang produk dalam negeri yang dijual dalam kelompok barang terhadap total jumlah barang yang dijual dalam kelompok barang.
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
31
b. Kelompok barang yang dimaksud merupakan kelompok barang yang sesuai dengan klasifikasi produk global (global product classification) yang di terbitkan oleh lembaga standardisasi logistik internasional c. Perhitungan
persentase
produk
dalam
negeri
dilakukan
berdasarkan data yang dapat dipertaggungjawabkan. Jika tidak maka nilai PPDN di toko modern yang bersangkutan dinilai nihil. 3. Cara perhitungan tingkat persentase produk dalam negeri di toko modern. Dalam hal ini, beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain : a. Perhitungan didasarkan pada perbandingan antara jumlah unit barang produk dalam negeri yang dijual terhadap total jumlah barang yang dijual. b. Penentuan barang dalam negeri berdasarkan database produk yang memiliki unsur nama barang, kode SKU standar internasional dan kode SKU diluar standar internasional yang telah ditambah informasi negara asal barang. c. Perhitungan
persentase
produk
dalam
negeri
dilakukan
berdasarkan data yang dapat dipertaggungjawabkan. Jika tidak maka nilai PPDN di toko modern yang bersangkutan dinilai nihil. d. Hasil perhitungan persentase produk dalam negeri di toko modern merupakan gabungan dari perhitungan masing-masing tingkat persentase produk dalam negeri dalam kelompok barang.
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
32
Rumus perhitungan PPDN
Dimana : Tingkat PPDN = Tingkat Persentase Produk Dalam Negeri PDN = Jumlah Produk Dalam Negeri yang di jual di toko modern PLN = Jumlah Produk Luar Negeri yang di jual di toko modern Hasil perhitungan Tingkat PPDN suatu toko modern adalah merupakan rata-rata dari Tingkat PPDN perklasifikasi barang di toko modern. Contoh format perhitungan PPDN di toko modern seperti pada tabel 5.1 5.1. Tabel Format Perhitungan PPDN di Toko Modern berdasarkan kelompok barang Kelompok
PDN
Barang
PLN
TOTAL
PPDN (%)
1
Arts/Crafts/Needlework
2
Audio/Visual/Photography
3
Automotive
4
Baby Care
5
Beauty/Personal Care/Hygiene
6
Building Products
.
…………………………..
.
…………………………..
.
……………………………
N
…………………………… Total
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
33
5.2 Cara Pengawasan Persentase Produk Dalam Negeri (PPDN) di Toko Modern oleh petugas lapangan. Dalam Pengawasan Persentase Produk Dalam Negeri di toko modern, petugas lapangan perlu memperhatikan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Definisi. Petugas lapangan
perlu memahami definisi tentang
produk dalam negeri, barang yang dijual, tingkat persentase produk dalam negeri dan kelompok barang. Adapun definisi mengenai produk dalam negeri, barang dan tingkat persentase dalam negeri sesuai dengan permendag no 70/M-DAG/PER/12/2013 sementara definisi kelompok barang sesuai dengan klasifikasi produk global (global product classification) yang di terbitkan oleh lembaga standardisasi logistik internasional 2. Verifikasi laporan perhitungan PPDN dari toko modern. Dokumen yang harus di verifikasi adalah laporan perhitungan PPDN dari toko modern yang disertai lampiran database produk. Database produk memiliki unsur nama barang, kode SKU standar internasional dan Kode SKU diluar standar internasional yang telah ditambah informasi asal barang. 3. Memverifikasi penghitungan PPDN dari masing-masing kelompok barang dan perhitungan PPDN gabungan dari perhitungan masingmasing tingkat persentase produk dalam negeri dalam kelompok barang
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
34
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 6.1 Kesimpulan 1. Ketentuan tentang syarat minimum 80% produk dalam negeri di toko modern merupakan kebijakan pemerintah untuk mengembangkan pasar produk dalam negeri. 2. Dalam perhitungan persentase produk dalam negeri di toko modern pelaku usaha masih memiliki kesulitan karena barang yang dijual di toko modern jumlahnya dan jenisnya sangat banyak. Selain jumlah dan jenisnya yang banyak pelaku usaha juga belum memiliki definisi produk dalam negeri yang sama sehingga sulit menyatakan suatu barang itu produk dalam negeri atau bukan. 3. Penilaian persentase produk dalam negeri pada gerai toko modern belum
dilakukan
secara
komprehensif
mengingat
perbedaan
sumberdaya dan kemampuan pelaku usaha dalam stock management produk yang dijual. Dengan demikian, identifikasi asal produk berpotensi dapat bervariasi antar toko modern sehingga penilaian syarat minimum 80% produk dalam negeri bagi suatu toko modern berpotensi menjadi bias. 4. Dalam mendukung efektivitas pelaksanaan syarat minimum 80% produk dalam negeri di toko modern, diperlukan mekanisme dan pedoman perhitungan persentase produk dalam yang terintegrasi sehingga dapat diterapkan di setiap toko modern. Penilaian yang terintegrasi dapat dilakukan melalui analisis Stock Keeping Unit (SKU) yang merupakan kode unik barang yang dapat membedakan setiap barang pada gerai toko modern. Analisis SKU dalam menilai proporsi produk dalam negeri pada toko modern diperlukan karena: a. Jumlah dan jenis barang yang diperdagangkan pada toko modern pada umumnya mencapai puluhan ribu jenis dengan variasi yang beragam.
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
35
b. Sistem stock management toko modern telah mengadopsi SKU yang dapat mengidentifikasi jenis produk, ukuran produk, produsen, dan lain-lain. Dengan demikian, identifikasi negara asal barang dapat diketahui berdasarkan database toko modern. c. SKU di toko modern umumnya memiliki dua kategori yaitu kode unik internal yang dibuat oleh masing-masing toko modern dan kode unik standar internasional yang dibuat oleh lembaga standardisasi distribusi global. Kode unik internal umumnya digunakan pada produk UMKM yang belum memiliki sistem database produk yang dijual ke toko modern. 5. Untuk memperoleh hasil penilaian syarat minimum 80% produk dalam negeri di toko modern yang akurat, mekanisme dan petunjuk teknis analisis Stock Keeping Unit (SKU) perlu diintegrasikan dengan sistem kode unik standard internasional yang dikeluarkan oleh lembaga standardisasi distribusi global. Saat ini lembaga standardisasi distribusi global adalah GS1. GS1 merupakan lembaga internasional yang mengeluarkan sistem pengkodean produk dengan sistem GS1 EAN-13 yang merupakan kode barcode dengan 13 digit, dimana tiga angka pertama merupakan kode negara produsen barang, empat angka berikutnya menunjukkan kode perusahaan, selanjutnya lima angka secara berturut-turut merupakan kode produk dan angka terakhir berupa validasi atau cek digit (kode verifikasi dalam sistem komputer). Sistem tersebut dapat mengidentifikasi negara asal barang yang sudah terintegrasi secara global. Sekitar 70% toko modern di Indonesia sudah mengadopsi sistem GS1 EAN-13. 6. Dalam menghitung Persentase Produk Dalam Negeri di toko modern, pelaku usaha dan Pengawas perlu memahami : (1) definisi tentang produk dalam negeri; (2) barang yang dijual; (3) tingkat persentase produk dalam negeri; dan (4) kelompok barang.
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
36
6.2 Rekomendasi Kebijakan 1. Mewajibkan toko modern menyampaikan laporan berupa jumlah gerai yang dimiliki, omset penjualan, dan lain-lain sesuai dengan ketentuan dalam Permendag No. 70/M-DAG/PER/12/2013 pasal 32 dan dilengkapi dengan laporan persentase jumlah dan jenis barang produk dalam negeri yang diperdagangkan berdasarkan database persediaan barang yang sudah dilengkapi identitas asal barang di produksi. 2. Dalam menjalankan fungsi pengawasan, diperlukan pembekalan bagi petugas pengawasan di daerah dalam rangka identifikasi asal barang yang diperdagangkan di toko modern dengan menggunakan 3 digit kode awal barcode EAN-13 sebagai acuan negara asal barang di produksi. 3. Mengingat banyak produk industri yang diperdagangkan di toko modern belum menggunakan kode unik standar internasional yang terintegrasi
secara
global,
maka
diperlukan
kordinasi
Kementerian Perdagangan dengan kementerian terkait
antara untuk
meningkatkan penggunan kode unik standar internasional yang terintegrasi secara global dalam pengkodean produk. 4. Peningkatan penggunaan kode unik standar internasional perlu didukung dengan kebijakan yang mengatur tata cara pendaftaran kode unik standar internasional untuk produk yang diproduksi di Indonesia.
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
37
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kassab, J., Thiesse, F., & Buckel, T. (2013). RFID – Enabled Business Process Intelligence in Retail Stores: A Case Report. Journal of Theoretical and Applied Electronic Commerce Research, Vol 8 (2), pp. 112 – 137. http://www.scielo.cl/pdf/jtaer/v8n2/art10.pdf. Diakses pada tanggal 17 September 2014. Aliaji, S. & Harjoko, A. (2013). Identifikasi Barcode Pada Gambar Yang Ditangkap Kamera Digital Menggunakan Metode JST. Indonesian Journal of Computing and Cybernetics System, Vol. 7 (2), pp. 121 – 132. http://jurnal.ugm.ac.id/ijccs/article/view/3351/2910. Diakses pada tanggal 15 September 2014. Babu, S.R., Babu, P.R., & Narayana, M.S. (2012). Retail Technology: A Competitive Tool For Customer Service. International Journal of Engineering Science & Advanced Technology, Vol. 2 (1), pp. 110 116. http://ijesat.org/Volumes/2012_Vol_02_Iss_01/IJESAT_2012_02_01_ 18.pdf. Diakses pada tanggal 17 September 2014. Bank Mandiri (2014, September). Perdagangan Ritel. Industry Update, Office of Chief Economist. Volume 16, pp. 1-4. Denzin, N.K. & Lincoln, Y.S. (2000). Introduction: The Discipline and Practice of Qualitative Research. In N. K. Denzin and Y. S. Lincoln (Ed.), Handbook of Qualitative Research 2nd Edition (pp. 1 – 27). California: Sage Publications. Dyck, J., Woolverton, A.E., & Rangkuti, F.Y. (2012). Indonesia’s Modern Retail Sector: Interaction With Changing Food Consumption and Trade Pattern . June 2012. USDA Economic Research Service, Economic
Information
Bulletin
Number
97.
http://www.ers.usda.gov/media/820767/eib97_1_.pdf. Diakses pada tanggal 18 Agustus 2014. Kampen, T.J., Akkerman,R., Donk, D.P. (2012). SKU Classification: A Literature Review and Conceptual Framework. International Journal of
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
38
Operations & Production Management, Vol. 32 (7), pp.850 – 876. http://www.emeraldinsight.com/doi/abs/10.1108/01443571211250112. Diakses pada tanggal 10 September 2014. Levy, Michael & Weitz, Barton A. (2009). Retailing Management (7th Ed.). New York: McGraw-Hill Irwin.
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
39
Milne, A. (2013). The Rise and Success of The Barcode: Some Lessons for Financial Services. Journal of Banking Reguation, Vol 14 (3), pp. 241
–
254.
http://www.palgrave-
journals.com/jbr/journal/v14/n3/full/jbr201316a.html.
Diakses
pada
tanggal 15 September 2014. Rangkuti, F.Y., & Wright, T. (2013). Indonesia Retail Food. December 2013.
USDA
Foreign
Agricultural
Service,
Global
Agricultural
Information
Network.
http://gain.fas.usda.gov/Recent%20GAIN%20Publications/Retail%20F oods_Jakarta_Indonesia_12-13-2013.pdf. Diakses pada tanggal 18 Agustus 2014. Kementerian Perdagangan. (2013). Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70/M-DAG/PER/12/2013 tentang tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Jakarta. Kementerian Perdagangan. (2014). Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 56/M-DAG/PER/9/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
70/M-DAG/PER/12/2013
tentang
Pedoman
Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern. Jakarta. Kementerian Perdagangan. (2011). Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 16/M-IND/PER/02/2011 Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Penghitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri. Jakarta Sujana, A.S. (2004). Paradigma Baru Dalam Manajemen Ritel Moderen. Yogyakarta: Graha Ilmu. Singh, R., & Khan, I.A. (2013). Analyzing The Importance of Store Keeping Unit and Understanding Availability Messages in Retail. International Research
Journal
of
(IJATER),
Advanced Vol.
3
Technology (1),
&
pp.
Engineering
67
–
72.
http://www.ijater.com/Files/2348e7d6-81d3-408f-83ff910da8c8eaa4_IJATER_08_12.pdf.
Diakses
pada
tanggal
10
September 2014.
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
40
Setiawan, A. & Kunto, Y.S. (2013). Pengaruh Retail Mix Terhadap Kepuasan Pelanggan di Toko Musik Melodia Surabaya. Jurnal Manajemen Pemasaran Petra, Vol. 1 (2), pp. 1 – 11. Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian. Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Perdagangan.
Puska Dagri, BP2KP, Kemendag
41