ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI KOTA BEKASI PADA MASA OTONOMI DAERAH
OLEH PRITTA AMALIA H14103119
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
RINGKASAN
PRITTA AMALIA. Analisis Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bekasi pada Masa Otonomi Daerah (dibimbing oleh YETI LIS PURNAMADEWI).
Sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, Pemerintah Pusat mulai berhasil memulihkan perekonomian nasional kembali. Pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin membaik, diikuti pula oleh perbaikan pertumbuhan ekonomi diberbagai daerah pada masa otonomi daerah, meskipun dalam kenyataannya terjadi perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi di setiap daerah sebagai akibat dari berbedanya faktor endogen maupun eksogen yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan di suatu daerah. Sejalan dengan semakin membaiknya perekonomian nasional pada masa otonomi daerah yang terlihat dari meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi nasional, laju pertumbuhan ekonomi di Kota Bekasi yang juga mengimplementasikan kedua Undang-Undang tersebut, ternyata ikut mengalami peningkatan. Akan tetapi, berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistika (BPS) Kota Bekasi, laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi (5,4 persen) pada masa otonomi daerah (2001-2005) mengalami penurunan jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi (6,3 persen) pada masa sebelum otonomi daerah (1997-2000). Bersamaan dengan penurunan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi, ternyata jumlah keluarga miskin dan tingkat pengangguran di Kota Bekasi terus mengalami peningkatan. Terjadinya peningkatan jumlah keluarga miskin dan tingkat pengangguran di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah, tentunya akan sangat mengkhawatirkan bagi perkembangan ekonomi Kota Bekasi dimasa yang akan datang. Seperti yang diketahui bahwa perkembangan ekonomi suatu wilayah yang dapat dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi sangat tergantung pada pertumbuhan sektor-sektor perekonomian yang terdapat pada wilayah tersebut. Namun dengan adanya segala keterbatasan, maka Pemerintah Daerah tidak perlu memprioritaskan semua sektor-sektor perekonomian, cukup hanya dengan memprioritaskan sektor unggulan daerahnya pada saat merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi. Meskipun demikian, Kota Bekasi yang telah menjadikan sektor jasa dan perdagangan sebagai sektor unggulannya dan telah memprioritaskan sektor ini dalam kebijakan pembangunan ekonominya, laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi bukannya mengalami peningkatan justru mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan adanya kemungkinan Kota Bekasi kurang tepat dalam memilih atau menentukan sektor yang menjadi sektor unggulannya. Dengan demikian, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1) menganalisis laju pertumbuhan ekonomi rata-rata dan pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah tahun 2002-2005, 2) menganalisis daya saing sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah
tahun 2002-2005, dan 3) mengidentifikasi pergeseran bersih dan profil pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah, tahun 2002-2005. Pada penelitian kali ini Shift Share digunakan sebagai alat analisis karena dengan menggunakan Shift Share pertumbuhan dan daya saing sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi dapat diketahui dan dibandingkan dengan sektor ekonomi dan daerah/wilayah lainnya. Variabel yang digunakan untuk analisis Shift Share adalah data sekunder berupa PDRB Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi berdasarkan lapangan usaha yang terdiri dari sembilan sektor perekonomian dan disajikan berdasarkan harga konstan 2000. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pada tahun 2002-2005, hampir seluruh sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi memiliki nilai laju pertumbuhan ekonomi rata-rata (LPER) yang positif dan Nilai Persentase Perubahan (NPP) total PDRB Kota Bekasi lebih besar dibandingkan dengan nilai NPP total PDRB Jawa Barat. Kemudian berdasarkan komponen pertumbuhan wilayah, sejak kebijakan otonomi daerah diberlakukan di Kota Bekasi, sektor kontruksi merupakan sektor yang memiliki laju pertumbuhan tercepat dan sektor ini terdapat pada kuadran II karena sektor ini memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan tidak mampu berdaya saing. Sedangkan sektor yang memiliki laju pertumbuhan terlambat adalah sektor pertanian dan sektor ini terdapat pada kuadran III karena selain memiliki laju pertumbuhan yang lambat, sektor ini juga tidak mampu berdaya saing. Sementara itu, sektor yang paling mampu berdaya saing di Kota Bekasi adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor ini berada pada kuadran IV karena meskipun mampu berdaya saing, ternyata sektor ini memiliki pertumbuhan yang lambat, sedangkan sektor yang paling tidak mampu berdaya saing adalah sektor kontruksi, sektor ini berada di kuadran II karena walaupun tidak mampu berdaya saing, tetapi sektor ini memiliki pertumbuhan yang cepat. Walupun demikian, jika berdasarkan profil pertumbuhan, sektor perekonomian yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan mampu berdaya saing di Kota Bekasi adalah sektor listrik, gas dan air serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Bekasi disarankan agar dapat menjadikan kedua sektor ini sebagai sektor unggulan yang akan diprioritaskan dalam kebijakan pembangunan ekonomi Kota Bekasi selanjutnya. Setelah itu, Pemerintah Kota Bekasi diharapkan dapat menumbuhkembangkan secara akseleratif sektor unggulannya agar bisa menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi, sehingga laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi dapat meningkat kembali dan bisa menstimulasi seluruh laju pertumbuhan ekonomi pada sektor-sektor perekonomian lainnya.
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Pritta Amalia lahir pada tanggal 14 April 1984 di Jakarta. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Nur Effendi dan Tusi Gusniar. Jenjang pendidikan yang dilalui penulis diawali dari Taman KanakKanak di TK Yuli, lalu menamatkan sekolah dasarnya di SDN Bekasi Jaya Indah I, kemudian melanjutkan ke SLTPN 3 Bekasi dan menamatkan sekolah menengah atasnya di SMUN 2 Bekasi. Pada tahun 2003, penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif di organisasi HIPOTESA (Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan) sebagai Ketua Departemen Media dan Informasi, selain itu penulis juga aktif diberbagai kepanitian kegiatan yang diselenggarakan di kampus.
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIGUNAKAN
SEBAGAI
SKRIPSI
ATAU
KARYA
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Agustus 2007
Pritta Amalia H14103119
ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DAYA SAING SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DI KOTA BEKASI PADA MASA OTONOMI DAERAH
Oleh PRITTA AMALIA H14103119
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Pritta Amalia
Nomor Registrasi Pokok
: H14103119
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bekasi pada Masa Otonomi Daerah
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Ir.Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc. NIP. 131 967 243
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan:
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL......................................................................................... x DAFTAR GAMBAR.................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN................................................................................ xiii I. PENDAHULUAN …………………………………………................... 1 1.1. Latar Belakang............…………………………………………....... 1 1.2. Perumusan Masalah.......…………………………………................ 6 1.3. Tujuan Pelitian..........................………………………………......... 8 1.4. Manfaat Penelitian.........……………………………….................... 8 1.5. Ruang Lingkup Penelitian.................................................................. 9 II. KERANGKA PEMIKIRAN.................................................................... 10 2.1. Keterkaitan Antara Otonomi Daerah dengan Pertumbuhan Ekonomi........................................................................................... 10 2.2. Teori Pertumbuhan Wilayah............................................................ 12 2.3. Analisis Shift Share dan Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian .................................................................................. 14 2.3.1. Kegunaan Analisis Shift Share…………………………….... 15 2.3.2. Kelebihan dan Kelemahan Analisis Shift Share…………..... 15 2.4. Penelitian Terdahulu…..................................................................... 17 2.5. Kerangka Pemikiran Operasional..................................................... 20 III. METODE PENELITIAN....................................................................... 23 3.1. Lokasi Penelitian.............................................................................. 23 3.2. Jenis dan Sumber Data..................................................................... 23 3.3. Metode Analisis............................................................................... 24 3.3.1. Analisis Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Kota Bekasi 24 3.3.2. Analisis Shift Share........…………………………………… 25 3.3.2.1. Analisis PDRB Kota Bekasi dan PDRB Jawa Barat 25 3.3.2.2. Analisis Ratio PDRB Kota Bekasi dan PDRB Provinsi Jawa Barat................................................... 26 3.3.2.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah……….. 28 3.3.2.4. Analisis Pergeseran Bersih........................................ 32 3.3.2.5. Analisis Profil Pertumbuhan...................................... 33
3.4. Definisi Operasional Data.............................................................. 35 3.4.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).......................... 35 3.4.2. Tahun Dasar dan Tahun Akhir Analisis............................... 35 3.4.3 Sektor-sektor Perekonomian ................................................ 36 IV. GAMBARAN UMUM KOTA BEKASI ............................................. 37 4.1. Keadaan Geografi dan Pemerintahan.............................................. 37 4.2. Demografi........................................................................................ 39 4.3. Sarana dan Prasarana....................................................................... 41 4.3.1. Transportasi........................................................................... 41 4.3.2. Penyediaan Air bersih............................................................ 41 4.3.3. Pengelolaan Sampah.............................................................. 42 4.3.4. Sistem Drainase..................................................................... 43 4.3.5. Sarana Penerangan Jalan Umum............................................ 43 4.4. Kondisi Perekonomian.................................................................... 43 4.5. Kebijakan Pembangunan Ekonomi................................................. 45 4.5.1. Prioritas Kebijakan Pembangunan Ekonomi......................... 45 4.5.2. Arah Kebijakan Pembangunan Ekonomi............................... 47 4.5.3. Strategi Kebijakan Pembangunan Ekonomi.......................... 49 V. HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 50 5.1. Analisis Laju Perumbuhan Ekonomi Rata-rata Kota Bekasi Tahun 2002-2005...................……………………………………. 50 5.2. Analisis PDRB Kota Bekasi dan PDRB Provinsi Jawa Barat Tahun 2002-2005............................................................................ 52 5.3. Rasio PDRB Provinsi Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi Tahun 2002-2005. ……………………………………. 55 5.4. Analisis Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor-sektor Perekonomiaan di Kota Bekasi Tahun 2002-2005.......................... 57 5.5. Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian di Kota Bekasi Tahun 2002-2005......……………. 61 VI. KESIMPULAN DAN SARAN...…………………………………..... 65 6.1. Kesimpulan ……………………………………………………. 65 6.2. Saran ……………………………………………………………. 66 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 68 LAMPIRAN................................................................................................ 70
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1.
Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2001-2005 (Persen)...................................................... 3
1.2.
Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Menurut Provinsi, Tahun 2001-2005 (Persen).………………….................................... 4
1.3.
Laju Pertumbuhan Ekonomi, Jumlah Keluarga Miskin dan Tingkat Pengangguran di Kota Bekasi, Tahun 2001-2005............................. 6
4.1.
Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan Tahun 2005........................................................................................ 39
4.2 .
Laju Pertumbuhan Ekonomi Sektor-sektor Perekonomian Kota Bekasi, Tahun 2005 (Persen)............................................................. 44
5.1.
Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Kota Bekasi, Tahun 2002-2005 (Persen)............………………………………… 51
5.2.
PDRB Kota Bekasi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2002 dan 2005............................................... 53
5.3.
PDRB Kota Bekasi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2002 dan 2005............................................... 54
5.4.
Rasio PDRB Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi, Tahun 2002 dan 2005.............…………………………………………………... 55
5.5.
Komponen Pertumbuhan Regional, Tahun 2002 dan 2005.............. 57
5.6.
Komponen Pertumbuhan Proposional, Tahun 2002 dan 2005......... 58
5.7.
Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah, Tahun 2002 dan 2005 .. 60
5.8.
Pergeseran Bersih, Tahun 2002-2005............................................... 62
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
2.1.
Model Analisis Shift Share....……………………………………
15
2.2.
Kerangka Pemikiran Operasional...... ...........................................
22
3.1.
Profil Pertumbuhan PDRB..... .......................................................
33
5.1.
Profil Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian di Kota Bekasi
63
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Laju Pertumbuhan Ekonomi, Menurut Provinsi, Tahun 2002-2005 (persen)…………………………………………......... 71
2.
PDRB Kota Bekasi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2002-2005 (Juta Rupiah)................... 72
3.
PDRB Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2002-2005 (Juta Rupiah)................... 72
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapakan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam yang senantiasa memberi berbagai macam nikmat, anugrah dan hidayah kepada kita semua. Tidak lupa salawat dan salam juga penulis curahkan kepada Rasullulah Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan orang-orang yang tetap istiqomah memegang teguh ajaran beliau hingga akhir zaman. Berkat rahmat dan karunia yang diberikan Allah SWT, penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bekasi pada Masa Otonomi Daerah”. Otonomi daerah merupakan topik yang sangat menarik karena diharapkan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan di daerah, khususnya di Kota Bekasi. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan skripsi ini, terutama kepada Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc selaku dosen pembimbing yang selalu membimbing dengan penuh kesabaran dan ketulusan, kemudian kepada Sahara, SP, M.Si sebagai dosen penguji utama dan Widyastutik, SE, M.Si sebagai dosen penguji dari Komisi Pendidikan yang telah menguji hasil penelitian, memberikan masukan berupa saran dan kritik sekaligus perbaikan mengenai tata cara penulisan skripsi ini dengan baik dan benar. Selain itu, penulis juga sangat berterima kasih kepada kedua orang tua penulis atas segala dukungan dan semangat yang berupa material maupun spiritual. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak lain yang membutuhkan.
Bogor, Agustus 2007
Pritta Amalia H14103119
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Sebenarnya bagi Indonesia, otonomi daerah bukanlah suatu hal yang baru
karena sejak zaman kemerdekaan sampai dengan tahun 1980 telah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang otonomi daerah, mulai dari Undang-Undang Nomor 01 Tahun 1945 sampai dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1974 (Elmi, 2004). Namun dalam pelaksanaannya dimasa lalu, otonomi daerah masih bersifat semu dan tidak sungguh-sungguh dalam penerapan maupun pelaksanaannya. Hal itu disebabkan karena masih mendominasinya campur tangan Pemerintah Pusat yang mengakibatkan kewenangan Pemerintah Pusat semakin hari bertambah besar terhadap pengaturan pemerintahan dan penyelenggaraan pembangunan di tingkat daerah. Kewenangan Pemerintah Pusat yang semakin bertambah besar tersebut, ternyata banyak menimbulkan dampak negatif, diantaranya adalah laju pertumbuhan ekonomi diberbagai daerah menjadi ralatif lamban karena panjangnya birokrasi pelayanan publik yang harus menunggu petunjuk dari Pemerintah Pusat. Tidak hanya itu, Pemerintah Pusat juga sering memperlakukan suatu daerah secara tidak adil, terutama dari segi ekonomi sumber daya alam. Pemerintah Pusat cenderung memiliki keinginan untuk mengeksploitasi seluruh potensi dan kekayaan daerah tanpa memperhatikan keadilan dan pemerataan ekonomi kepada daerah, sehingga setelah reformasi bergulir beberapa Pemerintah Daerah menuntut kepada Pemerintah Pusat agar membuat kebijakan-kebijakan
2
yang berkaitan dengan redistribusi sumber-sumber daya supaya mereka bisa memperoleh bagian lebih besar daripada sebelumnya. Sebagai wujud responsif dari tuntutan beberapa Pemerintah Daerah, maka Pemerintah Pusat mengganti beberapa Undang-Undang lama dengan UndangUndang baru yang dirasa memiliki kaitan erat dengan tuntutan-tuntutan tadi diantaranya: Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Menurut Undang-Undang ini otonomi daerah dipahami sebagai suatu kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan. Sedangkan untuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1956 Pemerintah Pusat menggantikannya dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Adapun yang dimaksud dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, mancangkup pembagian keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta pemerataan antar daerah secara proposional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi serta kebutuhan daerah. Kehadiran kedua Undang-Undang baru diatas merupakan salah satu bentuk dari upaya Pemerintah Pusat untuk memulihkan perekonomian nasional dan daerah setelah dilanda krisis ekonomi pada sekitar pertengahan tahun 1997. Dimana sebelumnya upaya-upaya pemulihan ekonomi nasional maupun daerah
3
merupakan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat saja, tetapi kini akhirnya Pemerintah Pusat turut melibatkan Pemerintah Daerah agar ikut bertanggung jawab dalam memulihkan perekonomian di daerahnya masing-masing (Saragih, 2003). Tabel 1.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 1997-2005 (Persen) Tahun 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Laju Pertumbuhan Ekonomi 4,91 -13,01 0,31 4,54 3,64 4,50 4,78 5,05 5,60
Sumber: BPS Pusat, 1997-2005. Setelah diimplementasikannya UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999, Pemerintah Pusat mulai berhasil memulihkan perekonomian nasional kembali. Pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin membaik (lihat Tabel 1.1), diikuti pula oleh perbaikan pertumbuhan ekonomi diberbagai daerah pada masa otonomi daerah (lihat Tabel 1.2), meskipun dalam kenyataannya terjadi perbedaan tingkat pertumbuhan ekonomi di setiap daerah sebagai akibat dari berbedanya faktor endogen maupun eksogen yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan di suatu daerah. Diantara banyaknya kategori faktor endogen yang mempengaruhi tingkat pertumbuhan disuatu daerah, namun pada penelitian kali ini hanya satu kategori saja yang menjadi fokus perhatian yaitu sektor-sektor perekonomian. Sementara untuk faktor eksogen tidak dibahas pada penelitian ini. Jika sektor-sektor
4
perekonomian disuatu wilayah secara relatif banyak yang mengalami peningkatan dalam laju pertumbuhannya, maka bisa dipastikan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan di daerah tersebut juga akan mengalami peningkatan, begitu pula sebaliknya. Tabel 1.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata, Menurut Provinsi, Tahun 20012005 (Persen) No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Nusa TenggaraTimur Maluku Maluku Utara Irian Jaya Barat Papua
Sumber: BPS Pusat, 2001-2005 (diolah).
Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-Rata Tahun 2001-2005 11,88 4,91 4,96 2,78 5,69 3,74 5,09 4,76 6,19 6,52 5,32 4,66 4,52 4,67 4,80 4,93 4,07 3,95 4,92 4,54 2,57 3,56 6,29 4,42 6,81 6,57 4,56 4,41 3,34 3,55 7,43 14,49
5
Kota Bekasi sebagai salah satu kota besar yang relatif tidak memiliki sumber daya alam dalam mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah ini mempunyai karakteristik tersendiri. Kota yang baru dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1996 tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi dan diresmikan pada tanggal 10 Maret 1997 tersebut, sebelumnya merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Bekasi. Ketika baru didirikan, Kota Bekasi memiliki sektor unggulan yang sama dengan Kabupaten Bekasi yaitu pada sektor industri, tetapi pada tahun 2000 berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 15 Tahun 2000, Kota Bekasi mengalihkan sektor unggulannya dari sektor industri ke sektor jasa dan perdagangan. Adanya peralihan sektor unggulan di Kota Bekasi pada tahun 2000 telah mengindikasikan bahwa sejalan dengan perkembangan ekonomi Kota Bekasi dimasa yang akan datang, tidak menutup kemungkinan jika Kota Bekasi akan mengalihkan lagi sektor unggulannya dari sektor jasa dan perdagangan ke sektor potensial lainnya. Untuk itu, supaya Pemerintah Kota Bekasi dapat mengambil keputusan dengan tepat dalam menentukan sektor unggulannya, maka Pemerintah Kota Bekasi memerlukan berbagai macam informasi mengenai perkembangan sektorsektor perekonomian di Kota Bekasi. Salah satu informasi yang dibutuhkan oleh Pemerintah Kota Bekasi adalah tentang pertumbuhan dan daya saing sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada kurun waktu tertentu.
6
1.2.
Perumusan Masalah Semakin membaiknya perekonomian nasional pada masa otonomi daerah
yang terlihat dari meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi nasional (lihat Tabel 1.1) dan laju pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah di Indonesia (lihat Tabel 1.2), laju pertumbuhan ekonomi di Kota Bekasi juga mengalami peningkatan (lihat Tabel 1.3). Akan tetapi, berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistika (BPS) Kota Bekasi, laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi (5,4 persen) pada masa otonomi daerah (2001-2005) mengalami penurunan jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi (6,3 persen) pada masa sebelum otonomi daerah (1997-2000). Tabel 1.3. Laju Pertumbuhan Ekonomi, Jumlah Keluarga Miskin dan Tingkat Pengangguran di Kota Bekasi, Tahun 2001-2005 Tahun
Laju Pertumbuhan Ekonomi (Persen)
2001 2002 2003 2004 2005
5,26 5,54 5,25 5,36 5,60
Jumlah Keluarga Miskin (Keluarga) 26422 30649 33013 35670 42878
Tingkat Pengangguran (Persen) 5,21 7,12 7,22 7,42 7,71
Sumber: BPS Kota Bekasi, 2001-2005. Bersamaan dengan penurunan laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi, ternyata jumlah keluarga miskin dan tingkat pengangguran di Kota Bekasi terus mengalami peningkatan (lihat Tabel 1.3). Terjadinya peningkatan jumlah keluarga miskin dan tingkat pengangguran di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah, tentunya akan sangat mengkhawatirkan bagi perkembangan ekonomi Kota Bekasi dimasa yang akan datang. Seperti yang diketahui bahwa perkembangan ekonomi suatu wilayah yang dapat dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi sangat
7
tergantung pada pertumbuhan sektor-sektor perekonomian yang terdapat pada wilayah tersebut. Namun dengan adanya segala keterbatasan, maka Pemerintah Daerah tidak perlu memprioritaskan semua sektor-sektor perekonomian, cukup hanya dengan memprioritaskan sektor unggulan daerahnya pada saat merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi. Meskipun demikian, Kota Bekasi yang telah menjadikan sektor jasa dan perdagangan sebagai sektor unggulannya dan telah memprioritaskan sektor ini dalam kebijakan pembangunan ekonominya, laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi bukannya mengalami peningkatan justru mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan adanya kemungkinan Kota Bekasi kurang tepat dalam memilih atau menentukan sektor yang menjadi sektor unggulannya. Oleh karenanya, maka diperlukan adanya suatu penelitian yang dapat memilih sektor unggulan dengan tepat. Dengan menggunakan alat analisis shift share, penelitian kali ini nantinya dimaksudkan akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat terutama dalam memberikan informasi secara lengkap mengenai sektor-sektor perekonomian mana saja yang tepat untuk dijadikan sektor unggulan. Adapun sektor unggulan yang dimaksud adalah sektor yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan mampu berdaya saing. Berdasarkan uraian diatas, maka secara sistematis penelitian ini akan menjawab berbagai macam permasalahan, sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah laju pertumbuhan ekonomi rata-rata dan pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah, tahun 2002-2005?
8
2.
Bagaimanakah daya saing sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah, tahun 2002-2005?
3.
Bagaimanakah pergeseran bersih dan profil pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Menganalisis laju pertumbuhan ekonomi rata-rata dan pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah, tahun 2002-2005.
2.
Menganalisis daya saing sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah, tahun 2002-2005.
3.
Mengidentifikasi pergeseran bersih dan profil pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi.
1.4.
Manfaat Penelitian Sesuai dan sejalan dengan tujuan penilitian, maka penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat untuk : 1.
Pemerintah Sebagai bahan pertimbangan dan rekomendasi bagi Pemerintah Kota Bekasi
agar
memprioritaskan
sektor-sektor
yang
memiliki
laju
9
pertumbuhan yang cepat dan mampu berdaya saing pada saat merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi Kota Bekasi selanjutnya. 2.
Masyarakat Memotivasi masyarakat Kota Bekasi agar mau ikut berperan dan berpartisipasi secara aktif dalam meningkatkan pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi.
3.
Mahasiswa Bahan informasi bagi mahasiswa lainnya yang memiliki ketertarikan dan keinginan untuk mengadakan penelitian tentang pertumbuhan sektorsektor perekonomian di Kota Bekasi selanjutnya.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah mengenai analisis pertumbuhan dan
daya saing sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah (2002-2005). Pada penelitian kali ini Shift Share digunakan sebagai alat analisis karena dengan menggunakan Shift Share pertumbuhan dan daya saing sektorsektor perekonomian di Kota Bekasi dapat diketahui dan dibandingkan dengan sektor ekonomi dan daerah/wilayah lainnya. Variabel yang digunakan untuk analisis Shift Share adalah data sekunder berupa PDRB Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi berdasarkan lapangan usaha yang terdiri dari sembilan sektor perekonomian dan disajikan berdasarkan harga konstan 2000.
II.
2.1.
KERANGKA PEMIKIRAN
Keterkaitan Antara Otonomi Daerah dengan Pertumbuhan Ekonomi Menurut Suwandi (2002), pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah
di Indonesia dapat dilacak dalam kerangka konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam UUD 1945 terdapat dua nilai dasar yang dikembangkan yakni, nilai unitaris dan nilai desentralisasi teritorial. Nilai dasar unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintah lain didalamnya yang bersifat negara, artinya kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan pemerintah. Sementara itu nilai dasar desentralisasi teritorial diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah dalam bentuk otonomi daerah. Berkaitan dengan dua nilai dasar konstitusi tersebut, penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia terkait erat dengan pola pembagian kekuasaan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah karena dalam penyelenggaraan desentralisasi selalu terdapat dua elemen penting yakni pembentukan daerah otonom dan penyerahan kekuasaan secara hukum dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus bagian-bagian tertentu urusan pemerintahan. Hal ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Dengan
demikian
pembentukan
daerah
otonom
desentralisasi di Indonesia memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
dalam
rangka
11
a.
Daerah Otonom tidak memiliki kedaulatan atau semi kedaulatan layaknya di negara federal.
b.
Desentralisasi dimanifestasikan dalam bentuk penyerahan atau pengakuan atas urusan pemerintahan.
c.
Penyerahan atau pengakuan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada butir diatas, terutama terkait dengan pengaturan dan pengurusan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Dalam persebaran pemerintahan otonomi daerah terdapat dua prinsip
pokok yang harus diperhatikan yaitu: 1) Selalu terdapat urusan pemerintah yang secara absolut tidak dapat diserahkan kepada daerah karena menyangkut kepentingan dan kelangsungan hidup bangsa dan negara, dan 2) Tidak ada urusan pemerintahan yang sepenuhnya dapat diserahkan kepada daerah. Bagian-bagian urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah hanyalah yang menyangkut kepentingan masyarakat setempat. Ini berarti ada bagian-bagian dari urusan pemerintahan tertentu yang dilaksanakan oleh Kota/Kabupaten dan ada bagianbagian yang diselenggarakan oleh provinsi dan ada juga bagian yang diselenggarakan oleh Pemerintah. Salah satu urusan yang termasuk tidak dapat diserahkan ke Pemerintah Daerah Oleh Pemerintah Pusat adalah keuangan. Pemerintah Pusat hanya melakukan suatu perimbangan keuangan dengan Pemerintah Daerah (Terdapat dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 19999). Hal ini dimaksudkan karena karakteristik sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan
12
yang sangat beragam dari satu daerah dengan daerah yang lain sehingga sebagai perwujudan nilai dasar konstitusi maka diperlukan pengaturan tentang pembagian hasil atas dasar sumberdaya-sumberdaya tersebut maupun atas dasar kegiatan perekonomian lainnya yang pada intinya kesemua itu memiliki tujuan untuk memperlancar pelaksanaan otonomi daerah dan memperkuat NKRI. Meskipun Keuangan menjadi salah satu urusan yang termasuk tidak dapat diserahkan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah. Namun dengan adanya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, telah menyiratkan bahwa setiap daerah telah diberi wewenang oleh Pemerintah Pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingan daerah dan masyarakatnya masing-masing, termasuk aturan maupun urusan yang menyangkut perkembangan perekonomian di suatu wilayah., sehingga setiap daerah diharuskan memiliki kemampuan untuk mengoptimalkan potensi sektor-sektor ekonomi (sektor unggulan) sebagai pendorong laju pertumbuhan ekonomi di daerah pada setiap tahunnya.
2.2.
Teori Pertumbuhan Wilayah Dalam melaksanakan pembangunan diperlukan suatu landasan teori yang
mampu menjelaskan hubungan antara fakta-fakta yang diamati. Adapun teori yang dimaksud adalah teori pertumbuhan wilayah. Menurut Adisasmita (2005), teori pertumbuhan wilayah merupakan kerangka orientasi untuk analisis dan membuat ramalan terhadap gejala-gejala baru yang diperkirakan akan terjadi. Salah satu teori yang tergolong dalam teori pertumbuhan wilayah adalah teori sektor. Teori sektor merupakan bagian teori pertumbuhan wilayah yang
13
paling sederhana. Teori ini dikembangkan berdasakan hipotesis Clark Fisher yang mengemukakan bahwa kenaikan pendapatan perkapita akan dibarengi oleh penurunan dalam proporsi sumberdaya yang digunakan dalam sektor pertanian (sektor primer) dan kenaikan dalam sektor industri manufaktur (sektor sekunder) lalu kemudian dalam sektor industri jasa (tersier). Laju pertumbuhan dalam sektor yang mengalami perubahan (sector shift), dianggap sebagai determinan utama dari perkembangan suatu wilayah. Alasan dari perubahan atau pergeseran sektor tersebut dapat dilihat dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Pada sisi permintaan, yaitu elastisitas pendapatan dari permintaan untuk barang dan jasa yang disuplai oleh industri manufaktur dan indusri jasa adalah lebih tinggi dibandingkan untuk produkproduk primer. Maka pendapatan yang meningkat akan diikuti oleh perpindahan (realokasi) sumberdaya tenaga kerja dan modal dilakukan sebagai akibat dari perbedaan tingkat pertumbuhan produktivitas dalam sektor-sektor tersebut. Kelompok sektor-sektor sekunder dan tersier menikmati kemajuan yang lebih besar dalam tingkat produktivitas. Hal ini akan mendorong peningkatan pendapatan dan produktivitas yang lebih cepat (kombinasi dari keduanya misalnya dalam skala ekonomi), karena produktivitas yang lebih tinggi baik untuk tenaga kerja maupun untuk modal dan penghasilan yang tinggi tersebut memungkinkan untuk melakukan realokasi sumberdaya. Tingkat pertumbuhan produktivitas tergantung pada inovasi dan kemajuan teknik ataupun skala ekonomi. Bila produktivitas lebih tinggi dalam industri-industri, permintaan terhadap produk-produknya akan meningkat cepat,
14
maka terdapat kausalitas ”produktivitas - harga rendah - permintaan bertambah luas”, bukan sebaliknya.Terjadinya perubahan atau pergeseran sektor dan evaluasi spesialisasi (pembagian kerja) dipandang sebagai sumber dinamika pertumbuhan wilayah.
2.3.
Analisis Shift Share dan Pertumbuhan Sektor-Sektor Perekonomian Model Analisis Shift Share pertama kali diperkenalkan oleh Perloff et al
pada tahun 1960. Menurut Budiharsono (2001), analisis shift share ini menganalisis perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja pada dua titik waktu disuatu wilayah.
2.3.1. Kegunaan Analisis Shift Share Analisis shift share memiliki kegunaan dan kemampuan untuk menunjukkan: a.
Perkembangan
sektor
perekonomian
disuatu
wilayah
terhadap
perkembangan ekonomi wilayah yang lebih luas. b.
Perkembangan sektor-sektor perekonomian jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya.
c.
Perkembangan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya, sehingga dapat membandingkan besarnya aktivitas suatu sektor pada wilayah tertentu dan pertumbuhan antar wilayah.
d.
Perbandingan laju sektor–sektor perekonomian disuatu wilayah dengan laju pertumbuhan perekonomian nasional serta sektor-sektornya.
15
Pada Gambar 2.1 analisis shift share menunjukan bahwa perubahan sektor i pada wilayah j dipengaruhi oleh tiga komponen pertumbuhan wilayah. Ketiga komponen yang dimaksud adalah komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proposional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). Berdasarkan ketiga komponen pertumbuhan wilayah tersebut dapat ditentukan dan diidentifikasi perkembangan suatu sektor ekonomi pada suatu wilayah melalui pergeseran bersih. Komponen Pertumbuhan Nasional (PN) Maju PP+PPW ≥ 0 Wilayah ke j Sektor ke i
Wilayah ke j Sektor ke i
Komponen Pertumbuhan Proposional
Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah
Lamban PP+PPW<0
Gambar 2.1. Model Analisis Shift Share Sumber : Budiharsono, 2001
2.3.2. Kelebihan dan Kelemahan Analisis Shift Share Analisis
shift
share
memiliki
kelebihan-kelebihan
dalam
proses
pengumpulan data. Data yang dipergunakan dalam menganalisis pertumbuhan dengan metode analisis shift share dapat berupa data produksi, kesempatan kerja, PDB dan PDRB berdasarkan atas dasar harga konstan. Penelitian ini menggunakan nilai PDRB provinsi dan PDRB Kota yang menunjukan struktur perekonomian provinsi dan kota. Penggunaan data PDRB provinsi dan kota
16
seharusnya dapat dengan mudah diperoleh dan relatif tersedia mulai dari tingkat kabupaten/ kota hingga provinsi. Hal ini juga berlaku pada data kesempatan kerja dan produksi. Selain itu, kemampuan teknik analisis shift share tidak lepas dari kelemahan-kelemahan, antara lain: a.
Analisis shift share hanya merupakan suatu teknik pengukuran atau prosedur baku untuk mengurangi pertumbuhan satu variabel wilayah menjadi komponen-komponen. Persamaan shift share hanyalah identity equation dan tidak mempunyai implikasi-implikasi keprilakuan. Metode analisis
shift
share
juga
merupakan
teknik
pengukuran
yang
mencerminkan suatu sistem perhitungan semata dan tidak analitik. b.
Komponen pertumbuhan nasional secara implisit mengemukakan bahwa pertumbuhan sektor perekonomian di suatu wilayah ekuivalen dengan laju pertumbuhan nasional. Gagasan tersebut terlalu sederhana karena mengabaikan sebab-sebab pertumbuhan wilayah.
c.
Arti ekonomi dari kedua komponen pertumbuhan wilayah (PP dan PPW) tidak dikembangkan dengan baik. Kedua komponen pertumbuhan wilayah tersebut berkaitan dengan hal-hal yang sama seperti perubahan penawaran dan permintaan, perubahan teknologi dan perubahan lokasi, sehingga tidak dapat berkembang dengan baik.
d.
Teknik analisis shift share secara implisit mengambil asumsi bahwa semua barang dijual secara nasional, padahal tidak semua demikian. Apabila pasar suatu wilayah bersifat lokal maka barang itu tidak dapat bersaing
17
dengan wilayah-wilayah lain yang menghasilkan barang yang sama, sehingga tidak mempengaruhi permintaan agregat. e.
Analisis shift share tidak mampu menganalisis keterkaitan kedepan dan kebelakang antar sektor yang disebabkan oleh adanya pergeseran pertumbuhan seperti yang dilakukan pada analisis input output.
2.4.
Penelitian Terdahulu Penelitian mengenai pertumbuhan sektor-sektor perekonomian pada suatu
wilayah dengan menggunakan Shift Share sebagai alat analisis pernah dilakukan di Indonesia diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Putra (2004) mengenai analisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Jambi sebelum dan pada masa otonomi daerah menghasilkan kesimpulan bahwa pada saat sebelum otonomi daerah (1994-1996) sektor yang memiliki pertumbuhan paling cepat adalah sektor industri pengolahan, sedangkan sektor jasa-jasa merupakan sektor yang memiliki pertumbuahan paling lambat. Pada masa otonomi daerah, sektor pertambangan masih menjadi sektor yang memiliki pertumbuhan paling cepat, sementara
sektor
keuangan,
persewaan
dan
jasa
perusahaan
memiliki
pertumbuhan paling lambat. Untuk daya saing pada masa sebelum otonomi daerah, sektor pertambangan merupakan sektor yang paling mampu berdaya saing, sedangkan sektor industri pengolahan adalah sektor yang paling tidak mampu berdaya saing adalah sektor industri pengolahan. Pada masa otonomi daerah, sektor pertambangan justru menjadi sektor yang paling tidak mampu berdaya saing,
18
sedangkan sektor keuangan, persewaan dan jasa menjadi sektor yang paling mampu berdaya saing. Restuningsih (2004) dalam penelitiannya yang berjudul, ”Analisis Pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Provinsi DKI Jakarta Pada Masa krisis Ekonomi Tahun 1997-2002” menyimpulkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta dan laju pertumbuhan nasional mengalami penurunan pada masa krisis ekonomi. Akan tetapi penurunan laju pertumbuhan ekonomi Provinsi DKI Jakarta cukup besar yakni mencapai -7,6 persen dibandingkan dengan laju pertumbuhan nasional yang hanya mencapai -1,50 persen. Jika ditinjau secara sektoral, sebagian besar sektor perekonomian di Provinsi DKI Jakarta mengalami penurunan kontribusi terhadap pembentukan PDB secara nasional. Sektor bangunan merupakan sektor ekonomi yang mengalami kontraksi terbesar dan sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor ekonomi yang mengalami kontraksi terkecil. Selain itu adanya krisis ekonomi berpengaruh pada pertumbuhan proposional sehingga menyebabkan PDRB Provinsi DKI Jakarta mengalami penurunan. Namun demikian, pengaruh daya saing antar sektor perekonomian di Provinsi DKI Jakarta telah meningkatkan PDRB DKI Jakarta. Hasil penelitian Bahri (2005) terhadap sektor-sektor sumber pertumbuhan perekonomian Kota Bekasi yang menggunakan metode analisis basis wilayah (LQ), menyatakan bahwa ada beberapa sektor yang mampu menjadi sektor basis secara
berkesinambungan
pada
tahun
2000-2002
berdasarkan
indikator
19
pendapatan. Sektor tersebut adalah sektor industri pengolahan, sektor bangunan dan kontruksi, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Sedangkan sektor pertanian serta sektor pertambangan dan penggalian tidak mampu menjadi sektor basis pada tahun 2000-2002. Analisis pertumbuhan sektor-sektor perekonomian 30 provinsi di Indonesia yang dilakukan oleh Rini (2006) dengan alat analisis shift share menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 1998 dan 2003 mengalami pertumbuhan positif. Dengan membandingkan pertumbuhan ekonomi 30 provinsi di Indonesia, maka terdapat 16 provinsi yang mengalami pertumbuhan ekonomi lebih besar dari pertumbuhan ekonomi nasional. Sedikitnya 14 provinsi mengalami pertumbuhan yang lebih kecil daripada pertumbuhan ekonomi nasional dimana dua provinsi diantaranya mempunyai pertumbuhan yang negatif. Pada nilai PN (Pertumbuhan Nasional) menunjukan bahwa Provinsi DKI Jakarta adalah provinsi yang mampu mempengaruhi kebijakan pertumbuhan sektoral, sedangkan provinsi Maluku Utara merupakan Provinsi yang kurang mampu mempengaruhi kebijakan pertumbuhan sektoral. Nilai PP (Pertumbuhan Proposional) menunjukan bahwa Provinsi Banten merupakan provinsi yang mempunyai pertumbuhan ekonomi sektoral tercepat dan Provinsi Papua merupakan provinsi dengan pertumbuhan ekonomi sektoral terlamban. Sementara nilai PPW (Pertumbuhan Pangsa Wilayah) memperlihatkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan provinsi yang mampu berdaya saing dengan baik, sedangkan
20
Provinsi Jawa Timur merupakan provinsi yang tidak mampu berdaya saing dengan baik. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu telah dijelaskan bahwa metode analisis
shift
share
dapat
digunakan
untuk
menganalisis
sektor-sektor
perekonomian dari bagian terkecil wilayah sampai tingkat nasional dengan melakukan perbandingan laju pertumbuhan. Penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Restuningsih (2004) dan Rini (2006) dalam hal tempat dan tahun penelitian, sedangkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bahri, berbeda dalam hal tahun dan metode penelitian yang digunakan. Penelitian ini dilakukan di Kota Bekasi dengan menggunakan PDRB Jawa Barat dengan PDRB Kota Bekasi pada masa otonomi daerah (tahun 2002 dan 2005).
2.5.
Kerangka Pemikiran Operasional Pemikiran mengenai penelitian ini diawali semenjak diberlakukannya UU
No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999 pada awal tahun 2001 di Kota Bekasi. Pada tahun itu dan tahun-tahun setelahnya (2002-2005) laju pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi mengalami peningkatan (lihat Tabel 1.3), namun secara rata-rata, laju pertumbuhan ekonomi pada kurun waktu tersebut justru mengalami penurunan (5,4 persen) jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi ratarata (6,3 persen) pada kurun waktu sebelumnya (1997-2000). Seperti yang diketahui bahwa tahun 2001-2005 merupakan masa otonomi daerah, sedangkan tahun 1997-2000 merupakan masa sebelum otonomi daerah.
21
Laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi yang mengalami penurunan pada masa otonomi daerah, ternyata menjadi salah satu penyebab jumlah keluarga miskin dan tingkat pengangguran di Kota Bekasi terus mengalami peningkatan pada masa itu. Berdasarkan pernyataan tersebut, Pemerintah Kota Bekasi melalui berbagai kebijakan pembangunan diharapkan dapat melakukan upaya-upaya yang dapat meningkatkan perekonomian sekaligus kesejahteraan masyarakatnya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kota Bekasi adalah upaya dalam penyediaan sarana dan prasarana publik yang harusnya selalu diprioritaskan pada sektor-sektor perekonomian yang secara nyata dibutuhkan oleh masyarakat maupun pada sektor unggulan. Oleh karena itu, maka diperlukan adanya suatu penelitian yang dapat memilih sektor unggulan dengan tepat. Dengan menggunakan alat analisis shift share, penelitian kali ini nantinya dimaksudkan akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat terutama dalam memberikan informasi secara lengkap mengenai sektor-sektor perekonomian mana saja yang tepat untuk dijadikan sektor unggulan. Adapun sektor unggulan yang dimaksud adalah sektor yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan mampu berdaya saing. Selanjutnya, hasil dari penelitian ini akan di rekomendasikan kepada Pemerintah Kota Bekasi agar diprioritaskan dalam kebijakan pembangunan ekonomi Kota Bekasi selanjutnya. Secara sistematis kerangka pemikiran operasional dapat dijelaskan pada gambar 2.2
22
Kondisi Perekonomian Kota Bekasi pada Masa Otonomi Daerah (Tahun 2002-2005)
Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bekasi
Analisis Shift Share Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Kota Bekasi pada Masa Otonomi Daerah (2002-2005)
Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian
Cepat
Lambat
Daya Saing Sektor-sektor Perekonomian
Mampu
Tidak Mampu
Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan
Rekomendasi bagi Pemerintah Kota Bekasi agar memprioritaskan sektor-sektor perekonomian yang memiliki laju pertumbuhan cepat dan mampu berdaya saing (sektor unggulan) dalam merumuskan kebijakan pembangunan ekonomi Kota Bekasi selanjutnya. Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran Operasional
III.
3.1.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian Lokasi atau wilayah yang digunakan sebagai objek penelitian mengenai
analisis pertumbuhan dan daya saing sektor-sektor perekonomian adalah Kota Bekasi. Kota Bekasi dipilih menjadi lokasi atau wilayah penelitian karena beberapa alasan yaitu: 1) Kota Bekasi berbatasan langsung dengan Ibu Kota DKI Jakarta sehingga Kota Bekasi memiliki struktur perekonomian yang berbeda jika dibandingkan oleh Kota-kota lain yang terdapat di Provinsi Jawa Barat, 2) Sebagai salah satu kota besar di Provinsi Jawa Barat, Kota Bekasi dapat memberi kontribusi yang berarti bagi PDRB Provinsi Jawa Barat, 3) Data-data yang berkenaan dengan Kota Bekasi dan diperlukan pada penelitian ini relatif tersedia dengan lengkap, 4) Belum adanya penelitian tentang analisis pertumbuhan dan daya saing sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah (tahun 2002 dan 2005).
3.2.
Jenis dan Sumber Data Data yang dibutuhkan sebagai bahan analisis penelitian ini adalah data
sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional dan BPS Kota Bekasi. Data yang dipergunakan antara lain yaitu data PDRB Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi tahun 2002 dan 2005 disajikan berdasarkan harga konstan tahun 2000 menurut lapangan usaha. Selain itu juga terdapat data-data penunjang
24
lainnya yang diperoleh dari internet dan perpustakaan-perpustakaan di lingkungan IPB maupun yang diluar lingkungan IPB.
3.3.
Metode Analisis Alat analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi pertumbuhan dan
daya saing sektor-sektor perekonomian pada suatu wilayah tertentu adalah analisis shift share. Analisis shift share juga merupakan suatu alat analisis mengenai perubahan berbagai indikator kegiatan ekonomi, seperti produksi dan kesempatan kerja pada dua titik waktu (tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis) disuatu wilayah. Hasil yang dapat ditunjukan oleh analisis shift share antara lain: (1) Perkembangan suatu sektor disuatu wilayah jika dibandingkan secara relatif dengan sektor-sektor lainnya, (2) Perkembangan suatu wilayah bila dibandingkan dengan wilayah lainnya yang lebih luas.
3.3.1. Analisis Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-Rata Kota Bekasi n
LPER =
∑ LPEt t =1
n Dimana: LPER = Laju pertumbuhan ekonomi rata-rata LPEt = Laju pertumbuhan ekonomi pada tahun tertentu. t
= Tahun
n
= Banyaknya tahun
25
3.3.2. Analisis Shift Share 3.3.2.1. Analisis PDRB Kota Bekasi dan PDRB Jawa Barat Menurut Budiharsono (2001), jika dalam suatu negara terdapat m daerah/wilayah/propinsi (j = 1, 2, 3…, m) dan n sektor ekonomi (i = 1, 2, 3…, n), maka PDRB provinsi dan PDRB kota dari sektor i pada tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis dapat dirumuskan sebagai berikut: a.
PDRB Provinsi Jawa Barat dari sektor i pada tahun dasar analisis (2002). m
Yi = ∑ Yij j =1
Dimana: Yi. = PDRB Provinsi Jawa Barat dari sektor i pada tahun 2002. Yij = PDRB Kota Bekasi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2002.. b.
PDRB Provinsi Jawa Barat dari sektor i pada tahun akhir analisis (2005). m Y ' i = ∑ Y ' ij j =1
Dimana: Y’i. = PDRB Provinsi Jawa Barat dari sektor i pada tahun 2005. Y’ij = PDRB Kota Bekasi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2005. Sedangkan total PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis, dirumuskan sebagai berikut: c.
Total PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun dasar analisis (2002). n
m
Y .. = ∑∑ Yij i =1 j =1
26
Dimana: Y.. = Total PDRB Provinsi Jawa Barat dari sektor i pada tahun 2002. Yij = PDRB Kota Bekasi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2002. d.
Total PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun akhir analisis (2005). n
m
Y '.. = ∑∑ Y ' ij i =1 j =1
Dimana: Y’.. = Total PDRB Provinsi Jawa Barat dari sektor i pada tahun 2005. Y’ij = PDRB Kota Bekasi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2005. Perubahan PDRB Kota Bekasi/Provinsi Jawa Barat sektor i pada wilayah j dapat dirumuskan sebagai berikut:
Δ Yij = Y’ij –Yij Dimana:
Δ Yij = Perubahan PDRB dari sektor i pada wilayah j. Yij
= PDRB dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2002.
Y’ij
= PDRB dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2005.
Persentase perubahan PDRB provinsi/kota sektor i pada wilayah j dapat dirumuskan sebagai berikut: % Δ Yij = Y’ij –Yij X 100 Yij
3.3.2.2. Analisis Ratio PDRB Kota Bekasi dan PDRB Provinsi Jawa Barat Nilai ri, Ri dan Ra digunakan untuk mengidentifikasi perubahan PDRB dari sektor i pada wilayah j pada tahun dasar analisis dan tahun akhir analisis.
27
Menghitung nilai ri, Ri dan Ra menggunakan nilai PDRB yang terjadi pada dua titik waktu. a.
ri Nilai ri adalah selisih antara PDRB kota dari sektor i pada wilayah j pada
tahun akhir analisis dengan PDRB kota dari sektor i pada wilayah j pada tahun dasar analisis dibagi dengan PDRB kota dari sektor i pada wilayah j pada tahun dasar analisis, dengan rumus sebagai berikut: ri = Y’ij -Yij Yij Dimana: Yij = PDRB Kota Bekasi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2002. Y’ij = PDRB Kota Bekasi dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2005. b.
Ri Nilai Ri adalah selisih antara PDRB provinsi dari sektor i pada tahun akhir
analisis dengan PDRB provinsi sektor i pada tahun dasar analisis dibagi dengan PDRB provinsi sektor i pada tahun dasar analisis, dengan rumus sebagai berikut: Ri = Y’i.- Yi. Yi. Dimana: Yi. = PDRB Provinsi Jawa Barat dari sektor i pada tahun 2002. Y’i. = PDRB Provinsi Jawa Barat dari sektor i pada tahun 2005.
28
c.
Ra Nilai Ra adalah selisih antara total PDRB provinsi pada tahun akhir
analisis dengan total PDRB provinsi pada tahun dasar analisis dibagi dengan total PDRB provinsi pada tahun dasar analisis, dengan rumus sebagai berikut: Ra = Y’..- Y.. Y.. Dimana: Y.. = Total PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun 2002. Y’..= Total PDRB Provinsi Jaba Barat pada tahun 2005.
3.3.2.3. Analisis Komponen Pertumbuhan Wilayah Komponen pertumbuhan wilayah terdiri atas komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proposional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa pasar wilayah (PPW). Nilai PN, PP dan PPW diperoleh dari perhitungan nilai ri, Ri dan Ra, dengan rumus sebagai berikut: a.
Komponen Pertumbuhan Nasional (PN) Komponen pertumbuhan nasional adalah perubahan produksi suatu
wilayah yang disebabkan oleh perubahan produksi nasional secara umum, perubahan kebijakan ekonomi nasional atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi perekonomian suatu sektor dan wilayah. Bila diasumsikan bahwa tidak ada perbedaan karakteristik ekonomi antar sektor dan antar wilayah, maka adanya perubahan akan membawa dampak yang sama pada semua sektor dan wilayah. Akan tetapi pada kenyataannya beberapa sektor dan wilayah tumbuh
29
lebih cepat daripada sektor dan wilayah lainnya. Komponen PN dapat dirumuskan sebagai berikut: PNij = (Ra) Yij………………………………………….................. (1) Dimana: PNij = Komponen pertumbuhan nasional dari sektor i pada wilayah j. Yij = PDRB kota dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2002. (Ra) = Persentase perubahan PDRB yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan nasional. Apabila: PRij < (Ra) Yij, maka pertumbuhan sektor-sektor ekonomi wilayah tersebut (kota) lebih besar daripada pertumbuhan sektor-sektor ekonomi wilayah diatasnya (provinsi). PRij > (Ra) Yij, maka pertumbuhan sektor-sektor ekonomi suatu wilayah (kota) lebih kecil daripada pertumbuhan sektor-sektor ekonomi wilayah di atasnya (provinsi). b.
Komponen Pertumbuhan Proposional (PP) Komponen pertumbuhan proposional tumbuh karena perbedaan sektor
dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri dan perbedaan dalam struktur dan keragaman pasar. Komponen PP dapat dirumuskan sebagai berikut: PPij = (Ri – Ra) Yij............................................................................(2) Dimana: PPij = Komponen pertumbuhan proposional sektor i untuk wilayah j.
30
Yij = PDRB kota dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2002.. (Ri-Ra) = Persentase perubahan PDRB yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan proposional. Apabila: PPij < 0: Menunjukan bahwa sektor i pada wilayah j pertumbuhannya lambat. PPij > 0: Menunjukan bahwa sektor i pada wilayah j pertumbuhannya cepat. c.
Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPW) Komponen pertumbuhan pangsa wilayah timbul karena peningkatan atau
penurunan produksi/kesempatan kerja dalam suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat lambatnya pertumbuhan suatu wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses ke pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi regional pada wilayah tersebut. Komponen PPW dapat dirumuskan sebagai berikut: PPWij = (ri – Ri) Yij ……………………………………………. (3) Dimana: PPWij = Komponen pertumbuhan pangsa wilayah sektor i pada wilayah j. Yij
= PDRB Kota dari sektor i pada wilayah j pada tahun 2002.
(ri-Ra) = Persentase perubahan PDRB yang disebabkan oleh komponen pertumbuhan pangsa wilayah.
31
Apabila: PPWij < 0: Berarti sektor i pada wilayah j tidak mempunyai daya saing yang baik apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya untuk sektor i. PPWij > 0: Berarti sektor i pada wilayah j mempunyai daya saing yang baik apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya untuk sektor i. Adapun perubahan dalam PDRB sektor i pada wilayah j dirumuskan sebagai berikut:
Δ Yij = PRij + PPij + PPWij......................................................... (4) Δ Yij = Y’ij – Yij...............................................................................(5) Apabila persamaan (1), (2), (3) dan (5) disubtitusikan kepersamaan (4), maka didapatkan rumus sebagai berikut:
Δ Yij
= PRij + PPij + PPWij
Y’ij – Yij
= Y’ij – Yij + Yij (Ri-Ra) + Yij (ri – Ri)
Dimana:
Δ Yij = Perubahan PDRB sektor i pada wilayah j. Yij
= PDRB sektor i pada wilayah j pada tahun 2002..
Y’ij
= PDRB sektor i pada wilayah j pada tahun 2005.
Persentase ketiga komponen pertumbuhan wilayah dapat dirumuskan sebagai berikut:
32
% PNij
= (PNij)/Yij X 100%
% PPij
= (PPij)/Yij X 100%
% PPWij
= (PPWij)/Yij X 100%
3.3.2.4. Analisis Pergeseran Bersih Analisis profil pertumbuhan PDRB suatu wilayah dapat dilihat berdasarkan penjumlahan komponen pertumbuhan proposional dan pangsa wilayah. Pergeseran bersih yang diperoleh dari penjumlahan tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi pertumbuhan suatu sektor perekonomian. Pergeseran bersih sektor i pada wilayah j dapat dirumuskan sebagai berikut: PBij = PPij + PPWij Dimana: PBij = Pergeseran bersih sektor i pada wilayah j. PPij
= Komponen pertumbuhan proposional sektor i pada wilayah j.
PPWij = Komponen pertumbuhan pangsa wilayah sektor i pada wilayah j. Apabila: PBij > 0: Berarti pertumbuhan sektor i pada wilayah j termasuk ke dalam kelompok progresif (maju). PBij < 0: Berarti pertumbuhan sektor i pada wilayah j termasuk ke dalam kurang/tidak progresif (kurang/tidak maju).
33
Persentase pergeseran bersih sektor i pada wilayah j dapat dirumuskan sebagai berikut: %PBij = PBij/Yij X 100%
3.3.2.5. Analisis Profil Pertumbuhan Analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi pertumbuhan PDRB sektor ekonomi di suatu wilayah pada kurun waktu yang ditentukan dengan cara mengekspresikan persentase perubahan komponen pertumbuhan proposional (PPij) dan pertumbuhan pangsa wilayah (PPWij). Pada sumbu horizontal terdapat PP sebagai absis, sedangkan pada sumbu vertikal terdapat PPW sebagai ordinat. PPW Kuadran IV
Kuadran I
PP
Kuadran III
Kuadran II
Gambar 3.1. Profil Pertumbuhan PDRB Sumber : Budiharsono, 2001 Keterangan: a.
Kuadran I menunjukan bahwa sektor-sektor di wilayah yang bersangkutan
memiliki pertumbuhan yang cepat, demikian juga daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut baik apabila dibandingkan dengan wilayah-wilayah lainnya.
34
Hal ini menunjukan bahwa sektor/wilayah yang bersangkutan merupakan wilayah maju. b.
Kuadran II menunjukan bahwa sektor-sektor ekonomi yang ada diwilayah
yang bersangkutan pertumbuhannya cepat, tetapi daya saing wilayah untuk sektorsektor tersebut dibandingkan dengan wilayah lainnya tidak baik. c.
Kuadran III menunjukan bahwa sektor-sektor ekonomi di wilayah yang
bersangkutan memiliki pertumbuhan yang lambat dengan daya saing yang kurang baik jika dibandingkan dengan wilayah lain. Hal ini menunjukan bahwa sektor/wilayah yang bersangkutan merupakan wilayah yang lambat. d.
Kuadran IV menunjukan bahwa sektor-sektor ekonomi pada wilayah yang
bersangkutan memiliki pertumbuhan yang lambat, tetapi daya saing wilayah untuk sektor-sektor tersebut baik jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. e.
Pada kuadran II dan kuadran IV terdapat garis miring yang membentuk
sudut 450 dan memotong kedua kuadran tersebut. Garis ini merupakan nilai PB=0. Bagian yang tepat atau di atas garis menunjukkan PB>0 yang mengindikasikan bahwa sektor/wilayah yang bersangkutan merupakan sektor/wilayah yang maju (progresif), sedangkan di bawah garis berarti sektor/wilayah yang bersangkutan menunjukkan sektor/ wilayah yang tidak maju (tidak progresif). Untuk memudahkan pengolahan data PDRB setiap sektor perekonomian di Provinsi Jawa Barat dan di Kota Bekasi, maka dalam analisisnya dibantu dengan menggunakan software Microsoft Excel. Kemudian hasil-hasil analisis dengan menggunakan model analisis shift share tersebut digunakan sebagai dasar untuk
35
merumuskan secara deskripsi pertumbuhan dan daya saing sektor-sektor di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah, tahun 2002-2005.
3.4.
Definisi Operasional Data
3.4.1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang kondisi perekonomian suatu wilayah dalam satu tahun tertentu sehingga PDRB mempunyai lingkup lebih kecil dibandingkan dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) nasional. Terdapat dua macam perhitungan PDRB yaitu PDRB atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada setiap tahun, sedangkan PDRB atas dasar harga konstan menunjukan nilai tambah barang dan jasa tersebut yang dihitung menggunakan harga yang berlaku pada satu waktu tertentu sebagai tahun dasar (BPS, 2002).
3.4.2. Tahun Dasar Analisis dan Tahun Akhir Analisis Tahun dasar analisis merupakan faktor penentu yang digunakan sebagai titik awal dalam menganalisis data untuk mengukur pertumbuhan ekonomi dan tahun akhir analisis merupakan faktor penentu yang digunakan sebagai titik akhir dalam menganalisis data untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Keduanya memiliki peran yang sama yakni sebagai penentu dan dasar untuk menganalisis dan mengelola data.
36
3.4.3. Sektor-Sektor Perekonomian Sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi terdiri atas sembilan sektor, yang meliputi: 1) sektor pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman pangan, tanaman
perkebunan,
peternakan,
kehutanan
dan
perikanan.
2)
sektor
pertambangan dan penggalian yang terdiri dari subsektor minyak dan gas bumi, pertambangan tanpa migas dan penggalian. 3) sektor industri pengolahan yang terdiri dari subsektor industri migas dan industri tanpa migas. 4) sektor listrik, gas dan air bersih. 5) sektor bangunan atau konstruksi. 6) sektor perdagangan, hotel dan restoran. 7) sektor pengangkutan dan komunikasi yang meliputi subsektor angkutan rel, angkutan jalan raya, angkutan laut, angkutan sungai dan penyebrangan, angkutan udara dan jasa penunjang angkutan. 8) sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yang meliputi subsektor bank, lembaga keuangan lainnya, sewa bangunan dan jasa perusahaan. 9) sektor jasa-jasa yang terdiri subsektor pemerintahan umum dan swasta yang meliputi sosial kemasyarakatan, hiburan dan rekreasi serta perorangan dan rumah tangga.
IV.
4.1.
GAMBARAN UMUM KOTA BEKASI
Keadaan Geografi dan Pemerintahan Kota Bekasi terletak di bagian Utara Propinsi Jawa Barat antara
106o48’28’’ – 107o27’29’’ Bujur Timur dan 6o10’6’’ – 6o30’6’’ Lintang Selatan. Wilayah Kota Bekasi memiliki luas sebesar 21.049 Ha dan berdasarkan Peraturan Daerah No 04 Tahun 2004 tentang Pemekaran Kecamatan dan Kelurahan, terdiri dari 12 Kecamatan dan 56 Kelurahan yang terdiri dari 12 Kecamatan yaitu Kecamatan Bekasi Timur, Bekasi Selatan, Bekasi Barat, Bekasi Utara, Pondokgede, Jatiasih, Bantargebang, Jatisampurna, Medan Satria, Rawa Lumbu, Mustikajaya dan Pondok Melati. Dengan batas wilayah Kota Bekasi adalah: -
Sebelah Utara
: Kabupaten Bekasi
-
Sebelah Selatan
: Kabupaten Bogor dan Kota Depok
-
Sebelah Barat
: Propinsi DKI Jakarta
-
Sebelah Timur
: Kabupaten Bekasi
Kondisi topografi relatif datar dengan kemiringan lahan 0 – 3% dan ketinggian tanah antara 10 – 45 m di atas permukaan air laut. Kondisi tanah sebagian besar berupa aluvial yang merupakan endapan pantai di bagian Utara kota dan tanah liat serta vulkanik di bagian Selatan kota. Suhu udara Kota Bekasi cukup tinggi antara 24 – 33 0C karena terletak di dataran rendah. Dengan kondisi topografi demikian, maka secara teknis kerekayasaan Kota Bekasi memiliki potensi yang sangat baik untuk segala kegiatan budidaya, khususnya budidaya
38
permukiman perkotaan. Pada sisi lain kondisi topografis yang relatif datar ini menciptakan permasalahan pada pengelolaan drainase. Posisi wilayah Kota Bekasi yang berbatasan dengan wilayah DKI Jakarta membawa konsekwensi pada arah kebijakan pembangunan Kota Bekasi yang berorientasi pada kepentingan nasional, hal ini terlihat pada kedudukan Kota Bekasi dalam kebijakan tata ruang makro baik dalam RTRWN, RTRWP Jawa Barat, maupun RTRW Kawasan tertentu Jabodetabek, yang mengarahkan pembangunan Kota Bekasi sebagai Pusat Kegiatan Nasionall (PKN) bersamasama dengan Bogor dan Depok sekaligus menjadi bagian dari kawasan pengimbang DKI Jakarta. Di samping potensi dan permasalahan kewilayahan di atas, hal yang juga harus menjadi perhatian adalah wilayah Kota Bekasi dilintasi oleh tiga infrastruktur penting bagi skala nasional yaitu, lintasan kereta api Jakarta – Cikampek, Jalan Tol Cawang – Cikampek dan aliran pasokan air bersih otorita Jatiluhur untuk DKI Jakarta. Kondisi ini disamping merupakan potensi yang perlu didayagunakan secara efektif juga menciptakan permasalahan pada penyediaan dan pengelolaan prasarana dan sarana penunjang di sekitar tiga infrastruktur skala nasional tersebut, misalnya penyediaan jalan akses, frontage road dan penanganan perlintasan kereta. Selain itu, Kota Bekasi juga dilintasi oleh 5 (lima) sungai utama yaitu: Kali Cakung, Kali Bekasi, Kali Sunter, Kali Cikeas dan Kali Cileungsi. Kelima sungai ini karena mempunyai daerah tangkapan air yang cukup luas disamping mempunyai potensi yang cukup sebagai drainase utama/primer juga potensial
39
dalam menciptakan permasalahan banjir apabila penanganannya tidak dilakukan secara komprehensif dari hulu ke hilir.
4.2.
Demografi Laju pertumbuhan penduduk Kota Bekasi mengalami sedikit penurunan
dibandingkan periode tahun 1990-an. Pada awal tahun 1990-an laju penduduk Kota Bekasi masih sekitar 6,29 persen. Pada awal tahun 2001 menurun menjadi 4,93 persen kemudian pada tahun 2005 sebesar 4,10 persen. Sementara persebaran penduduk di Kota Bekasi belum merata. Jumlah penduduk Kota Bekasi pada tahun 2005 mencapai 2.005.899 jiwa yang terdiri dari 997.622 jiwa penduduk laki-laki dan 1.004.277 jiwa penduduk perempuan. Tabel 4.1. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk di Kota Bekasi Menurut Kecamatan Tahun 2005 Kecamatan
Jumlah Penduduk (Jiwa) Pondok Gede 196.318 Jati Sampurna 101.456 Pondok Melati 69.759 Jati Asih 168.210 Bantar Gebang 72.114 Mustika Jaya 97.768 Bekasi Timur 243.552 Rawa Lumbu 185.640 Bekasi Selatan 185.776 Bekasi Barat 250.308 Medan Satria 147.030 Bekasi Utara 274.968 Sumber: BPS Kota Bekasi, 2005.
Kepadatan Penduduk (Jiwa /Km2) 12.051 7.002 3.759 7.648 4.230 3.952 18.068 11.847 12.410 13.727 10.002 13.993
Kepadatan penduduk Kota Bekasi selama periode tahun 2001-2005 dapat dikatakan tidak mengalami perubahan yang cukup berarti. Pada tahun 2005 kepadatan penduduk sekitar 9.511 jiwa/km2 sedangkan pada tahun 2004 sebesar
40
9.095 jiwa/km2. Kecamatan Bekasi Timur merupakan wilayah Kecamatan yang terpadat penduduknya, dimana kepadatan penduduk di Kecamatan ini mencapai 18.068 jiwa/km2 pada tahun 2005. Sementara Kecamatan yang penduduknya tidak padat yaitu Kecamatan Pondok Melati, angka kepadatan penduduknya sekitar 3.759 jiwa/km2. Jumlah penduduk yang besar merupakan salah satu modal bagi pembangunan jika sebagian besar memiliki tingkat produktivitas yang tinggi. Oleh karena itu meningkatkan rasio jumlah penduduk bekerja dengan jumlah penduduk usia kerja merupakan salah satu tujuan/sasaran dalam rencana strategis Kota Bekasi. Pada tahun 2005, jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas berjumlah 1.432.449 jiwa dimana 794.208 jiwa termasuk kedalam kelompok angkatan kerja dan 638.241 jiwa bukan angkatan kerja. Dari 794.208 jiwa, penduduk yang bekerja sekitar 692.189 jiwa dan penduduk yang mancari pekerjaan sekitar 102.019 jiwa. Jumlah penduduk yang termasuk kedalam angkatan kerja pada tahun 2005 lebih kecil dibandingkan pada tahun 2004. Sebagian penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah mereka yang bertempat tinggal di Kecamatan Bekasi Timur dan Bekasi Barat. Sektor Industri merupakan sektor paling dominan, 28,07 persen pekerja di Kota Bekasi bekerja di sektor ini. Sektor yang juga banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan dan jasa. Pertambahan jumlah penduduk yang bekerja juga diikuti dengan semakin bertambahnya jumlah pencari kerja di Kota Bekasi selama setahun terakhir. Berdasarkan catatan Dinas Tenaga Kerja Kota Bekasi,
41
jumlah pencari kerja terdaftar pada tahun 2005 sebanyak 51.608 orang, sedangkan tahun 2004 sebanyak 64.890 orang (BPS,2005).
4.3.
Sarana dan Prasarana
4.3.1. Transportasi Sampai dengan tahun 2005 panjang jalan di Kota Bekasi mencapai 322,09 km, yang terdiri dari 18,3 km jalan negara, 23,3 km jalan provinsi, dan 280,19 km jalan kota. Dari total panjang jalan tersebut, kondisi yang rusak sekitar 27,87% dan sisanya 72,13% berada dalam kondisi baik. Kemudian bila dilihat dari kelas jalan, terbagi dalam kelas I 12,93%, kelas II 34,96% dan kelas III/A 52,11%. Sarana angkutan darat di Kota Bekasi pada tahun 2005 jumlah angkutan kota sebanyak 11.495 unit, sedangkan mikrobus dari 603 unit menurun manjadi 483 unit dan taksi sebanyak 1.746 unit. Sementara itu, angkutan kereta api merupakan sarana transportasi masal yang cukup banyak digunakan masyarakat Kota Bekasi. Jumlah pengguna sarana kereta api mengalami penurunan dari 8,0 juta orang selama tahun 2004 menjadi 3,0 juta orang selama tahun 2005.
4.3.2. Penyediaan Air bersih Pada tahun 2005 cakupan pelayanannya baru mencapai 24 persen, karena terbatasnya kapasitas air terpasang belum mencukupi. Dengan dibangunnya WTP baru di Teluk Buyung diharapkan dapat menambah kapasitas air bersih 200 lt/dt dan program WJUDSP Loan ADB 1384 INO dengan pendamping dari daerah sebesar 45 %. Jumlah pelanggan air bersih saat ini mencapai 70.808 sambungan
42
rumah atau sekitar 424.848 jiwa. Permasalahan dalam pengembangan air bersih ini disamping investasinya sangat mahal, juga masalah kepemilikan PDAM belum ada penyelesaiannya. Padahal Pemerintah Kota Bekasi telah menyampaikan kesepakatan pembagian aset yang sesuai dengan Pemerintah Kabupaten.
4.3.3. Pengelolaan Sampah Cakupan pelayanan persampahan di Kota Bekasi relatif masih rendah baru mencapai 26 persen dari jumlah penduduk. Sesuai dengan standar pelayanan persampahan, maka dengan jumlah penduduk yang ada pemerintah Kota Bekasi memerlukan 180 truk sampah (dengan asumsi 1 truk sampah melayani 10.000 penduduk).
4.3.4. Sistem Drainase Di Kota Bekasi terdapat 27 lokasi genangan banjir yang tersebar di 12 kecamatan. Pada umumnya lokasi banjir ini berada di daerah permukiman karena masalah sebagai berikut : 1.
Lokasi permukiman berada di bawah peil banjir.
2.
Pelaksanaan pengurugan tanah permukiman tidak sesuai dengan ketentuan peil banjir yang telah ditetapkan.
3.
Tidak terintegrasinya perencanaan drainase antar lokasi permukiman karena izinnya/site plannya diberikan secara partial tidak skala kawasan.
4.
Pembangunan drainase biayanya mahal dan harus tuntas mulai dari daerah hulu sampai dengan daerah hilir (out-fall). Adapun upaya yang telah
43
dilakukan antara lain pembangunan dan normalisasi saluran yang dibiayai APBD maupun dalam paket MBUDSP melalui Loan ADB 1511-INO masih belum terselesaikan seluruhnya dan masih perlu dilanjutkan.
4.3.5. Sarana Penerangan Jalan Umum Penyediaan Penerangan Jalan Umum (PJU) sangat dibutuhkan untuk meningkatkan keindahan kota pada malam hari dan juga meningkatkan keselamatan pengguna jalan serta mengurangi kemungkinan terjadinya tindak kejahatan. Pada saat ini ketersediaan PJU di Kota Bekasi masih sangat terbatas, baik kualitas maupun kuantitasnya. Pada tahun 2001 jumlah PJU baru mencapai 6.084 titik, kemudian tahun 2002 meningkat sebesar 22,4% menjadi 7.448 titik dan meningkat lagi pada tahun 2003 menjadi 7.979 titik. Dalam APBD Kota Bekasi tahun 2005 telah dialokasikan anggaran untuk pembangunan PJU sebanyak 350 titik.
4.4.
Kondisi Perekonomian Menurut Badan Pusat Statistik Kota Bekasi pada tahun 2005, laju
pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi berdasarkan hasil perhitungan PDRB Kota Bekasi mengalami kemajuan yang cukup signifikan sebesar 5,60 persen. Pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa semua sektor perekonomian di Kota Bekasi pada tahun tersebut seluruhnya mengalami pertumbuhan positif. Diawali dengan sektor yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 8,48 persen. Pada sektor ini, sub sektor pengangkutan
44
menyumbang pertumbuhan sebesar 8,55 persen, sedangkan subsektor komunikasi mengalami pertumbuhan sebesar 7,93 persen. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi juga dirasakan oleh sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 6,13 persen. Sub sektor listrik memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi (6,24 persen) jika dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan pada sub sektor air bersih.(4,56 persen). Sementara itu, sektor perdagangan, hotel dan restoran memiliki tingkat pertumbuhan sebesar 5,87 persen. Angka ini disumbang dari sub sektor perdagangan besar dan eceran sebesar 5,79 persen, sub sektor hotel sebesar 5,30 persen dan subsektor restoran sebesar 6,38 persen. Tabel 4.2. Laju Pertumbuhan Ekonomi Sektor-sektor Perekonomian Kota Bekasi, Tahun 2005 (Persen) No 1 2 3 4 5 6 7 8
Sektor Perekonomian/ Lapangan Usaha
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pegolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 9 Jasa-jasa Laju Pertumbuha Ekonomi Keseluruhan Sumber: BPS Kota Bekasi, 2005.
Laju Pertumbuhan Ekonomi, Tahun 2005 0,22 5,25 6,13 4,98 5,87 8,48 4,85 5,15 5,60
Sektor-sektor lainnya yang masih mengalami pertumbuhan positif adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan tumbuh sebesar 4,85 persen. Disektor ini sub sektor jasa perusahaan mengalami pertumbuhan tertinggi (7,35
45
persen), diikuti oleh sub sektor bank yang tumbuh sebesar 5,90 persen, sewa bangunan 4,72 persen dan lembaga keuangan lainnya sebesar 2,91 persen. Sektor jasa-jasa juga mengalami pertumbuhan positif yaitu sebesar 5,15 persen. Sub sektor pemerintahan umum memiliki tingkat pertumbuhan tertinggi pada sektor ini yaitu sebesar 5,34 persen sedangkan sektor swasta mengalami pertumbuhan sebesar 4,95 persen. Selanjutnya sektor industri pengolahan yang memberikan kontribusi terbesar dalam pembentukan PDRB Kota Bekasi juga mengalami pertumbuhan sebesar 5,25 persen. Angka tersebut merupakan sumbangan dari sub sektor satu-satunya yang dimiliki sektor ini yaitu sub sektor industri tanpa migas. Tingkat pertumbuhan terendah dari semua sektor perekonomian di Kota Bekasi adalah sektor pertanian yang hanya memiliki tingkat pertumbuhan sebesar 0,02 persen. Adapun sub sektor yang meliputi sektor ini antara lain: sub sektor pangan sebesar 0,02 persen, sub sektor tanaman perkebunan sebesar 0,11 persen dan sub sektor perternakan dan hasil-hasilnya sebesar 0,01 persen.
4.5.
Kebijakan Pembangunan Ekonomi
4.5.1. Prioritas Kebijakan Pembangunan Ekonomi Berdasarkan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Kota Bekasi tahun anggaran 2006, prioritas kebijakan pembangunan ekonomi di Kota Bekasi terdiri dari:
46
1.
Meningkatkan Usaha Kecil Menengah (UKM). Untuk mengembangkan UKM dan Koperasi Pemerintah Daerah perlu meningkatkan kemitraan usaha dalam memajukan Perekonomian Daerah. UKM yang ada di Kota Bekasi hingga saat ini belum terkelola dengan baik, hal ini secara umum diakibatkan oleh masih rendahnya kemampuan permodalan
dan
manajerial
sehingga
menyebabkan
rendahnya
produktifitas UKM. Melalui analisis terhadap permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan UKM dan Koperasi di Kota Bekasi saat ini, didapatkan program prioritas; peningkatan kemampuan usaha kecil untuk memasok input industri /jasa/ dan perdagangan berskala besar dan pendataan profil. 2.
Memberdayakan potensi agribisnis dan industri rumah tangga. Kota Bekasi mempunyai prospek agribisnis dan industri rumah tangga yang baik apabila pengelolaannya dilaksanakan secara terpadu dan optimal dengan memberdayakan kemampuan masyarakat. Sebagai upaya untuk meningkatkan kontribusi aktivitas agribisnis dan industri rumah tangga tersebut maka pada tahun 2006 untuk menunjang hal tersebut ditentukan program berikut: a. Pemberdayaan agribisnis. b. Pengembangan industri rumah tangga.
3.
Membentuk dan mengembangkan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). LKS merupakan sarana dalam mengembangkan ekonomi kerakyatan sebagai sumber pembiayaan bagi usaha mikro, kecil (UMK) yang
47
didasarkan pada nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, dalam hal ini adalah nilai-nilai Islam. Oleh karena itu Pemerintah Kota Bekasi sebagaiman tertera dalam Renstra Kota Bekasi tahun 2003-2008 memiliki komitmen untuk memberdayakan lembaga keuangan syariah. Adapun program tahun 2006 untuk menunjang komitmen tersebut adalah; Pembentukan LKS/BUMD yang meliputi pembuatan jaringan antar LKS yang kelembagaannya sudah berkembang, penyediaan data base, peningkatan kinerja, sosialisasi dan penguatan permodalan. 4.
Meningkatkan penanaman modal (Investasi). Untuk memenuhi kebutuhan pembangunan dibutuhkan biaya yang sangat besar oleh karena itu diperlukan peran serta swasta dan dunia luar dalam penyediaan modal melalui investasi. Untuk menunjang tujuan tersebut program yang akan dilakukan pada tahun 2006 adalah : a. Penyelenggaraan promosi investasi diberbagai kesempatan event-even baik dalam negeri maupun luar negeri. b. Peningkatan kualitas pelayanan Pemerintah Daerah terhadap Investor baru.
4.5.2. Strategi Kebijakan Pembangunan Ekonomi Berdasarkan Rencana Startegik Kota Bekasi (2003-2008) yang dibuat oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bekasi, strategi kebijakan pembangunan ekonomi Kota Bekasi dirumuskan sebagai berikut:
48
1.
Memobilisasi segenap potensi sumberdaya yang ada bagi upaya peningkatan pemenuhan dan akses terhadap kebutuhan dasar masyarakat, pangsa relatif sektor jasa dan perdagangan, peningkatan pendapatan per kapita, pengembangan usaha serta penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi masuknya investasi.
2.
Membuka dan memperluas jalur dan simpul-simpul ekonomi antar kecamatan dan antar kelurahan yang ada melalui kerjasama fungsional dan penguatan kelembagaan usaha jasa dan perdagangan di sektor dunia usaha dan masyarakat.
3.
Membangun kompetensi BUMD sebagai profit center dan transformasi struktur keuangan daerah secara akseleratif melalui pencarian sumbersumber alternatif pembiayaan pembangunan daerah.
4.
Memperkuat fondasi ekonomi daerah melalui pemaduan pengembangan ekonomi lokal yang diarahkan pada mekanisme pasar secara terintegratif.
5.
Meningkatkan kemitraan usaha untuk memajukan perekonomian daerah.
6.
Memberdayakan potensi agribisnis dan industri rumah tangga.
7.
Membentuk dan mengembangkan lembaga keuangan syariah dan BUMD.
8.
Meningkatkan penanaman modal (investasi).
9.
Pengembangan wisata daerah.
49
4.5.3. Arah Kebijakan Pembangunan Ekonomi Berdasarkan Rencana Startegik Kota Bekasi (2003-2008) yang dibuat oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bekasi, arah kebijakan pembangunan ekonomi Kota Bekasi dirumuskan sebagai berikut: 1.
Mempercepat proses dan pentahapan transformasi struktur perekonomian wilayah Kota Bekasi menuju Kota Jasa dan Perdagangan.
2.
Mewujudkan pemerataan pembangunan untuk mengatasi disparitas sosial dengan
mendorong
pertumbuhan
investasi
melalui
penguatan
perekonomian rakyat. 3.
Menumbuhkembangkan secara akseleratif sektor jasa dan perdagangan menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi Kota Bekasi dan menstimulasi pertumbuhan sektor-sektor lainnya.
4.
Meningkatkan
manajemen
kauangan
daerah
yang
ditopang
oleh
kompetensi SDM yang memadai dan peningkatan disiplin anggaran aparatur pemerintah. 5.
Mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi (lokal) berbasis klaster komoditas
melalui
skema
pembangunan berkelanjutan.
kemitraan
fungsional
dalam
koridor
V.
5.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Kota Bekasi Tahun 2002-2005 Berdasarkan Tabel 5.1, pada tahun 2002-2005 hampir seluruh sektor-
sektor perekonomian di Kota Bekasi memiliki nilai Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-Rata (LPER) yang positif. Sektor pengangkutan dan komunikasi merupakan sektor yang memiliki nilai LPER terbesar yaitu 6,72 persen. Besarnya nilai LPER di sektor ini karena posisi Kota Bekasi sebagai kota penyangga Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, sehingga menimbulkan pergerakan penduduk yang cukup besar dari Kota Bekasi ke wilayah DKI Jakarta. Pada saat ini sarana transportasi di Kota Bekasi terdiri dari sarana transportasi darat dan kereta api. Pemerintah Kota Bekasi juga selalu berusaha untuk mengatasi tingkat kemacetan setiap tahunnya dengan cara membangun Jalan Tol, Fly Over dan Underpass. Seperti halnya dengan transportasi, Kota Bekasi yang merupakan kota penyangga DKI Jakarta juga sangat memerlukan fasilitas komunikasi yang cukup. Mengingat besarnya mobilitas penduduk Kota Bekasi dan DKI Jakarta, maka diperlukan fasilitas komunikasi, terutama yang sifatnya bergerak. Sedangkan sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki nilai LPER terkecil di Kota Bekasi dengan nilai persentase -0,21 persen. Faktor yang menjadi penyebab sektor pertanian di Kota Bekasi mempunyai nilai LPER yang negatif adalah semakin berkurangnya lahan pertanian yang subur untuk bercocok tanam
51
dan semakin sempitnya lahan kosong yang bisa digunakan untuk pengembangan perikanan maupun perternakan di Kota Bekasi. Tabel 5.1. Laju Pertumbuhan Ekonomi Rata-rata Kota Bekasi, Tahun 2002-2005 (Persen) No
Lapangan Usaha
1 2
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Nilai Rata-rata/Tahun
3 4 5 6 7 8 9
Laju Pertumbuhan Ekonomi/Tahun 2002 2003 2004 2005
Nilai LPER
-6,17
2,1
3,22
0,02
-0,21
0 3,89
0 5,35
0 4,92
0 5,25
0 4,85
4,34 10,36
5,15 4,62
5,75 4,86
6,13 4,98
5,34 6,21
9,38
5,03
5,68
5,87
6,49
4,71
6,14
7,53
8,48
6,72
3,91 3,96 5,54
4,85 5,68 5,25
4,38 5,76 5,36
4,85 5,15 5,60
4,49 5,14 5,44
Sumber: BPS Kota Bekasi, 2002-2005 (diolah). Pada Tabel 5.1 juga terlihat dua sektor yang mengalami penurunan nilai Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) yang cukup memprihatinkan. Dua sektor yang dimaksud adalah sektor kontruksi dan sektor perdagangan, hotel dan restoran. Sektor kontruksi pada tahun 2002 memiliki nilai LPE sebesar 10,36 persen dan pada tahun 2005 mengalami penurunan nilai LPE menjadi 4,98 persen. Hal ini disebabkan oleh semakin berkurangnya kegiatan pembangunan fisik di Kota Bekasi yang berupa pembangunan gedung, jalan, jembatan dan jaringan-jaringan (listrik, air minum, telepon, dll) setelah tahun 2002. Sementara itu, sektor perdagangan, hotel dan restoran yang pada tahun 2002 memiliki nilai LPE sebesar 9,38 persen juga mengalami penurunan menjadi sebesar 5,87 persen pada tahun 2005. Dalam mengembangkan sektor ini,
52
Pemerintah Kota Bekasi saat ini tidak hanya berorientasi pada pengembangan dan pembangunan pasar modern saja, tetapi Pemerintah Kota Bekasi juga telah melakukan penataan ulang terhadap pasar-pasar tradisonal dan melakukan relokasi pedagang kali lima pada area tertentu. Disamping itu, adanya peralihan perhatian Pemerintah Kota Bekasi dari pasar modern ke pasar tradisional pada tahun 2003 menjadi salah satu faktor penyebab laju petumbuhan ekonomi (LPE) pada sektor ini mengalami penurunan
5.2.
Analisis PDRB Kota Bekasi dan PDRB Provinsi Jawa Barat, Tahun 2002-2005 Berdasarkan Tabel 5.2, Nilai Persentase Perubahan (NPP) Total PDRB
Kota Bekasi tahun 2002-2005 mengalami peningkatan, yaitu sebesar 17,11 persen. Sektor yang memiliki NPP PDRB terbesar di Kota Bekasi adalah sektor pengangkutan dan komunikasi, yakni sebesar 23,81 persen. Pada tahun 2002 kontribusi sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar Rp 748 802 juta meningkat menjadi Rp 927 067 juta pada tahun 2005. Adapun faktor yang menjadi penyebab besarnya NPP PDRB pada sektor ini sama dengan yang menjadi penyebab besarnya nilai LPER pada sektor ini. Sektor yang menempati urutan terakhir dalam perolehan NPP PDRB di Kota Bekasi adalah sektor pertambangan dan penggalian, yakni sebesar nol persen. Faktor yang menjadi penyebab sektor pertambangan dan penggalian di Kota Bekasi mempunyai nilai LPER sebesar 0 persen adalah karena Kota Bekasi tidak memiliki sumber daya alam yang berupa bahan tambang dan galian.
53
Tabel 5.2. PDRB Kota Bekasi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan, Tahun 2002 dan 2005
No
Lapangan Usaha
1 2
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pegolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDRB
PDRB (Juta Rupiah)
2002
3 4 5 6 7 8 9
2005
Perubahan PDRB (Juta Rupiah)
Persen (%)
117 384
123 735
6 351
5,41
0 4 752 376
0 5 528 623
0 776 247
0 16,33
206 954 353 871
244 305 407 545
37 351 53 674
18,05 15,17
2 841 529
3 339 089
497 560
17,51
748 802
927 067
178 265
23,81
351 537 646 683 10 019 136
403 359 760 008 11 733 731
51 822 113 325 1 714 595
14,74 17,52 17,11
Sumber: BPS Kota Bekasi, 2002 dan 2005 (diolah). Tidak hanya NPP total PDRB Kota Bekasi yang mengalami peningkatan, NPP total PDRB Jawa Barat juga ikut mengalami peningkatan, walaupun NPP total PDRB Jawa Barat lebih kecil jika dibandingkan dengan NPP total PDRB Kota Bekasi, yaitu sebesar 16,28 persen. Sektor yang memiliki NPP PDRB terbesar di Jawa Barat adalah sektor kontruksi, yaitu sebesar 39,43 persen. Pada tahun 2002 kontribusi sektor kontruksi sebesar Rp 5 580 463 juta meningkat menjadi Rp 7 780 824 juta pada tahun 2005. Besarnya NPP PDRB sektor kontruksi ini karena pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2005, Provinsi Jawa Barat banyak melakukan pembangunan infrastruktur, seperti: pembangunan Waduk Jatigede yang sangat bernilai strategis bagi pembangunan regional maupun nasional, serta pembangunan beberapa ruas
54
jalan tol, diantaranya Jalan Tol CIPULARANG (Cikampek-PurwakartaPadalarang) dan Jalan Tol CISUMDAWU (Cileunyi-Sumedang-Dawuan). Tabel 5.3. PDRB Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan, Tahun 2002 dan 2005
No
Lapangan Usaha
1 2
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pegolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDRB
PDRB (Juta Rupiah)
2002
3 4 5 6 7 8 9
2005
Perubahan PDRB (Juta Rupiah)
Persen (%)
31 307 840
34 691 240
3 383 400
10,81
7 999 634 89 177 060
7 194 526 104 886 919
-805 108 15 709 859
-10,06 17,62
4 858 690 5 580 463
5 649 830 7 780 824
791 140 2 200 361
16,28 39,43
41 837 785
47 259 970
5 422 185
12,96
8 478 452
10 295 854
1 817 402
21,43
6 490 645 15 661 132 211 391 701
7 570 633 20 468 266 245 798 062
1 079 988 4 807 134 34 406 361
16,64 30,69 16,28
Sumber: BPS Pusat, 2002 dan 2005 (diolah). Sedangkan sektor yang memiliki NPP PDRB terkecil dan berada pada urutan terakhir adalah sektor pertambangan dan penggalian, yaitu sebesar -10,06 persen. Pada tahun 2002 kontribusi sektor pertambangan dan penggalian sebesar Rp 7 999 634 juta menurun menjadi Rp 7 194 526 juta pada tahun 2005. Kecilnya NPP PDRB sektor pertambangan dan penggalian ini karena persediaan sumber daya alam di Jawa Barat sangat kecil sekali jenis maupun jumlahnya. Adapun jenis bahan galian tambang yang paling banyak dieksploitasi di Provinsi Jawa Barat adalah batu kapur, tanah liat dan andesit (termasuk jenis bahan galian tambang yang tidak dapat diperbarui kembali).
55
5.3.
Rasio PDRB Provinsi Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi Tahun 2002-2005 Dalam
kurun
waktu
2002
sampai
2005,
PDRB
sektor-sektor
perekonomian Provinsi Jawa Barat maupun PDRB Kota Bekasi hampir semuanya memiliki pertumbuhan yang positif, kecuali sektor pertambangan dan penggalian yang mengalami pertumbuhan negatif di Provinsi Jawa Barat dan tidak mengalami pertumbuhan sama sekali di Kota Bekasi. Apabila nilai PDRB Provinsi Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi setiap sektor diperbandingkan antara dua titik waktu, yaitu tahun 2002 sebagai tahun dasar analisis dan tahun 2005 sebagai tahun akhir analisis, maka setiap sektor akan memiliki rasio yang berbeda-beda. Rasio PDRB Provinsi Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi disajikan dalam bentuk nilai Ra, Ri dan ri.. Tabel 5.4. Rasio PDRB Jawa Barat dan PDRB Kota Bekasi, Tahun 2002 dan 2005 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
Ra 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16 0,16
Ri
ri
0,11 -0,10 0,18 0,16 0,39 0,12 0,21 0,17 0,31
0,05 0,00 0,16 0,18 0,15 0,17 0,24 0,15 0,17
Sumber: BPS Pusat dan Kota Bekasi, 2002 dan 2005 (diolah). Nilai Ra diperoleh dari selisih antara total PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun 2005 dengan total PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun 2002 dibagi total PDRB Provinsi Jawa Barat pada tahun 2002. Karena merupakan pembagian total
56
PDRB, maka nilai Ra tiap sektor untuk setiap daerah di Provinsi Jawa Barat memiliki besaran yang sama, yaitu sebesar 0,16 persen Sedangkan nilai Ri untuk setiap sektor di Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Jawa Barat hampir semuanya bernilai positif (Ri>0), kecuali untuk sektor pertambangan dan penggalian yang bernilai negatif (Ri<0). Ini berarti bahwa hampir setiap sektor perekonomian mengalami pertumbuhan positif, kecuali sektor pertambangan dan penggalian yang mengalami pertumbuhan negatif. Berdasarkan Tabel 5.4, sektor kontruksi memiliki nilai Ri terbesar di Provinsi Jawa Barat yaitu sebesar 0,39 dan sektor pada urutan terakhir adalah sektor pertambangan dan penggalian yang memiliki nilai Ri terkecil di Provinsi Jawa Barat yaitu sebesar -0,10. Selanjutnya untuk nilai ri di setiap sektor perekonomian di Kota Bekasi dihitung berdasarkan selisih antara PDRB Kota Bekasi sektor i pada tahun 2005 dengan PDRB Kota Bekasi sektor i pada tahun 2002 dibagi PDRB Kota Bekasi sektor i pada tahun 2002. Karena nilai ri merupakan perbandingan PDRB dari masing-masing daerah, maka nilai ri di setiap daerah memiliki besaran yang berbeda-beda. Pada Kota Bekasi nilai ri yang diperoleh dari masing-masing sektor hampir semuanya bernilai positif (ri>0), kecuali sektor pertambangan dan penggalian yang memiliki nilai ri = 0. Menurut Tabel 5.4 sektor pengangkutan dan komunikasi memiliki nilai ri terbesar di Kota Bekasi, yaitu sebesar 0,24. Sedangkan sektor pertambangan dan penggalian memiliki nilai ri terkecil, yaitu sebesar 0,00.
57
5.4.
Analisis Pertumbuhan dan Daya Saing Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bekasi Tahun 2002-2005 Pertumbuhan dan daya saing sektor-sektor perekonomian suatu wilayah
pada analisis shift share dipengaruhi oleh tiga komponen yaitu komponen pertumbuhan nasional (PN), komponen pertumbuhan proposional (PP) dan komponen pertumbuhan pangsa wilayah (PPW). Pada Tabel 5.5 sektor industri pengolahan memberikan kontribusi terbesar, yaitu sebesar Rp 773 502 juta. Oleh karenanya, maka sektor industri pengolahan memiliki pengaruh yang besar terhadap setiap perubahan kebijakan ekonomi yang terjadi di Provinsi Jawa Barat, artinya jika terjadi perubahan kebijakan ekonomi maka sektor industri pengolahan akan mengalami perubahan juga. Selain itu, sektor perdagangan, hotel dan restoran, juga memberi sumbangan yang cukup besar, yaitu sebesar Rp 462 490 juta, sehingga sektor ini juga cukup berpengaruh terhadap perubahan kebijakan ekonomi regional. Tabel 5.5. Komponen Pertumbuhan Nasional, Tahun 2002 dan 2005
No
Lapangan Usaha
Pertumbuhan Regional (PRij) Rupiah
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
19 105 0 773 502 33 684 57 596 462 490 121 875 57 216 105 254
Persen 16,28 0 16,28 16,28 16,28 16,28 16,28 16,28 16,28
Sumber: BPS Pusat, 2002 dan 2005 (diolah). Kontribusi terkecil terhadap PDRB pada komponen pertumbuhan regional diberikan oleh sektor pertambangan dan penggalian, yaitu sebesar Rp 0. Hal ini
58
berarti bahwa sektor pertambangan dan penggalian tidak memiliki pengaruh sama sekali terhadap perubahan kebijakan ekonomi yang terjadi di Provinsi Jawa Barat. Sektor selanjutnya yang memberikan kontribusi relatif kecil adalah sektor pertanian, yaitu sebesar Rp 19 105 juta, sehingga sektor pertanian juga tidak terlalu berpengaruh terhadap perubahan kebijakan ekonomi di Provinsi Jawa Barat. Persentase total perubahan PDRB sektor-sektor perekonomian Kota Bekasi sebesar (0,17) lebih besar dari pada persentase komponen pertumbuhan nasional yang hanya sebesar (0,16) persen. Pernyataan tersebut memiliki arti bahwa tingkat pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi lebih besar bila dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan sektor-sektor perekonomian di Provinsi Jawa Barat. Tabel 5.6. Komponen Pertumbuhan Proposional, Tahun 2002 dan 2005
No
Lapangan Usaha
Pertumbuhan Proposional (PPij) Rupiah
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
-6 420 0 63 699 14 81 933 -94 227 38 633 1 276 93 242
Persen -5,47 0 1,34 0,01 23,15 -3,32 5,16 0,36 14,42
Sumber: BPS Pusat dan Kota Bekasi, 2002 dan 2005 (diolah). Lalu berdasarkan Tabel 5.6, diketahui bahwa terdapat beberapa sektor/ lapangan usaha di Kota Bekasi yang memberikan kontribusi positif, seperti: sektor industri pengolahan (1,34 persen), sektor listrik, gas dan air bersih (0,01 persen),
59
sektor kontruksi (23,15 persen), sektor pengangkutan dan komunikasi (5,16 persen), sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (0,36 persen) serta sektor jasa-jasa (14,42 persen) karena sektor-sektor tersebut memberikan kontribusi positif dengan persentase lebih dari nol (PP>0), maka dapat diartikan bahwa sektor-sektor tersebut memiliki laju pertumbuhan yang cepat. Kedelapan sektor diatas memiliki laju pertumbuhan yang cepat disebabkan karena permintaan terhadap produk akhir yang dihasilkan oleh kedelapan sektor itu mengalami peningkatan. Selain itu, bahan mentah yang dibutuhkan kedelapan sektor tersebut pun relatif tersedia dengan mudah dan murah. Meskipun demikian terdapat juga beberapa sektor yang memberikan kontribusi negatif, seperti: sektor pertanian (-5,47 persen) dan sektor perdagangan, hotel dan restoran (-3,32 persen). Hal itu karena sektor-sektor tersebut memberikan kontribusi negatif dengan persentase kurang dari nol (PP<0), maka dapat diartikan bahwa sektor-sektor tersebut memiliki laju pertumbuhan yang lambat. Kedua sektor diatas memiliki laju pertumbuhan yang lambat dikarenakan oleh permintaan terhadap produk akhir yang dihasilkan oleh kedua sektor ini relatif menurun dan bahan mentah yang dibutuhkan oleh kedua sektor ini sulit tersedia dan meskipun ada harganya menjadi relatif mahal. Berikutnya berdasarkan Tabel 5.7, dapat diketahui pula sektor-sektor mana saja yang mampu berdaya saing dan yang tidak mampu berdaya saing dengan wilayah lain di Provinsi Jawa Barat. Pada Kota Bekasi hanya terdapat tiga sektor perekonomian yang mampu berdaya saing dengan wilayah lainnya. Hal ini dikarenakan ketiga sektor perekonomian tadi mempunyai nilai persentase PPW
60
yang bernilai positif (PPW>0). Sektor yang dimaksud adalah sektor listrik, gas dan air bersih (1,76 persen), sektor perdagangan, hotel dan restoran (4,55 persen) serta sektor pengangkutan dan komunikasi (2,37 persen). Dari ketiga sektor itu, sektor perdagangan, hotel dan restoran merupakan sektor yang paling mampu berdaya saing atau memiliki daya saing paling baik dibandingkan dengan sektor lainnya karena sektor ini memiliki nilai persentase PPW yang terbesar. Tabel 5.7. Komponen Pertumbuhan Pangsa Wilayah, Tahun 2002 dan 2005
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
Pertumbuhan Pangsa Wilayah (PPWij) Rupiah Persen -6 334 0 -60 954 3 653 -85 856 129 297 17 755 -6 670 -85 172
-5,40 0 -1,28 1,76 -24,26 4,55 2,37 -1,90 -13,17
Sumber: BPS Pusat dan Kota Bekasi, 2002 dan 2005 (diolah). Sisanya, yaitu sekitar lima sektor lagi, kecuali sektor pertambangan dan penggalian termasuk kedalam kategori sektor perekonomian yang tidak mampu berdaya saing dengan wilayah lainnya karena kelima sektor ini mempunyai nilai persentase PPW yang bernilai negatif (PPW<0). Kelima sektor yang dimaksud, antara lain: sektor pertanian (-5,40 persen), sektor industri pengolahan (-1,28 persen), sektor kontruksi (-24,26 persen), sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (-1,90 persen) serta sektor jasa-jasa (-13,17 persen). Dari kelima sektor tersebut, sektor kontruksi merupakan sektor yang paling tidak mampu
61
berdaya saing atau memiliki daya saing paling buruk dibandingkan dengan sektor lainnya karena sektor ini memiliki nilai persentase PPW yang terkecil. Mampu atau tidak mampunya suatu sektor perekonomian di Kota Bekasi untuk berdaya saing disebabkan oleh karena terjadinya peningkatan atau penurunan tingkat produksi di Kota Bekasi, apabila dibandingkan dengan kota/kabupaten lainnya yang terdapat di Provinsi Jawa Barat. Besar kecilnya peningkatan/penurunan tingkat produksi yang terjadi di Kota Bekasi jika dibandingkan dengan kota/kabupaten lainnya di Provinsi Jawa Barat ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses ke pasar, dukungan kelembagaan, prasarana sosial ekonomi serta kebijakan ekonomi regional yang dimiliki oleh Kota Bekasi.
5.5.
Pergeseran Bersih dan Profil Pertumbuhan Perekonomian di Kota Bekasi Tahun 2002-2005
Sektor-sektor
Pergeseran bersih (PB) diperoleh dari penjumlahan PP dan PPW. Pada tahun 2002-2005 di Kota Bekasi kecuali sektor pertambangan dan penggalian terdapat lima sektor yang memiliki nilai persentase PB positif dan tiga sektor yang memiliki nilai persentase PB negatif. Adapun kelima sektor yang memiliki nilai persentase PB positif, antara lain: sektor industri pengolahan (0,06 persen), sektor listrik, gas dan air bersih (1,77 persen), sektor perdagangan, hotel dan restoran (1,23 persen), sektor pengangkutan dan komunikasi (7,53 persen) dan sektor jasajasa (1,25 persen). Kelima sektor ini termasuk kedalam kategori pertumbuhan maju (progresif). Sektor-sektor diatas telah berhasil masuk ke dalam kategori sektor yang memiliki pertumbuhan progresif dikarenakan sektor-sektor ini minimal memiliki nilai PP atau PPW yang besar.
62
Sedangkan tiga sektor yang memiliki nilai persentase PB negatif, diantaranya: sektor pertanian (-10,86 persen), sektor kontruksi (-1,11) dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan (-1,53 persen) termasuk kedalam kategori pertumbuhan tidak maju (tidak progresif). Ketiga sektor ini tidak berhasil masuk dalam kategori sektor yang memiliki pertumbuhan progresif dikarenakan sektor-sektor ini minimal memiliki nilai PP atau PPW yang terlalu kecil (negatif). Tabel 5.8. Pergeseran Bersih, Tahun 2002-2005 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDRB
PBij Rupiah -12 754 0 2 744 3 666 -3 922 35 069 56 389 -5 394 8 070 83 868
Persen -10,86 0 0,06 1,77 -1,11 1,23 7,53 -1,53 1,25 0,84
Sumber: BPS Pusat dan Kota Bekasi, 2002 dan 2005 (diolah). Selanjutnya berdasarkan nilai komponen PP dan komponen PPW, dapat diperoleh profil pertumbuhan PDRB dengan cara mengekspresikan nilai persentase PP dan PPW kedalam sumbu vertikal dan horizontal. PP diletakkan pada sumbu horizontal sebagai absis dan PPW diletakkan pada sumbu vertikal sebagai ordinat. Pada tahun 2002-2005 sektor listrik, gas dan air bersih serta sektor pengangkutan dan komunikasi memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan daya saing yang baik atau mampu berdaya saing dengan kota/kabupaten lain. Hal ini dikarenakan nilai PP dan PPW kedua sektor ini bernilai positif dan berada pada kuadran I. Besarnya nilai persentase PP dan PPW dari masing-masing sektor ini
63
berturut-turut adalah 0,01 persen dan 1,76 persen untuk sektor listrik, gas dan air serta 5,16 persen dan 2,37 persen untuk sektor pengangkutan dan komunikasi. Gambar 5.1. Profil Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bekasi Profil Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian di Kota Bekasi Pertanian
10 Pertambangan dan Penggalian
5
Industri Pengolahan
0 -10 PPW
-5 0
10
-10
20
30
Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi
-15
Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan
-20 -25 -30 PP
Jasa Perusahaan Jasa-jasa
Sumber : Budiharsono, 2001 (diolah). Pada kuadran II ditempati oleh empat sektor, antara lain: sektor industri pengolahan, sektor kontruksi, sektor keuangan, persewaan jasa perusahaan dan sektor jasa-jasa. Keempat sektor ini memiliki laju pertumbuhan yang cepat, tetapi tidak mampu berdaya saing dengan kota/kabupaten lain. Hal ini ditandai dengan nilai persentase PP yang positif dan nilai persentase PPW yang negatif. Besarnya nilai persentase PP dan PPW dari masing-masing sektor ini berturut-turut adalah 1,34 persen dan -1,28 persen untuk sektor industri pengolahan, 23,15 persen dan 24,26 persen untuk sektor kontruksi, 0,36 dan -1,90 untuk sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta 14,42 persen dan -13,17 persen untuk sektor jasa-jasa.
64
Kuadran berikutnya, adalah kuadran III ditempati oleh sektor pertanian, ditandai dengan nilai persentase PP dan PPW yang negatif yaitu sebesar -5,47 persen dan -5,40 persen artinya sektor pertanian selain memiliki laju pertumbuhan yang lambat juga tidak mampu berdaya saing dengan kota/kabupaten lainnya. Dan yang terakhir adalah kuadran IV yang duduki oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan nilai persentase PP yang negatif sebesar -3,32 persen dan nilai persentase PPW yang positif sebesar 4,45 persen. Hal ini memiliki arti bahwa sektor tersebut mempunyai laju pertumbuhan yang lambat, tetapi mampu berdaya saing dengan kota/kabupaten lainnya.
6.1.
VI.
KESIMPULAN DAN SARAN
hasil
penelitian
Kesimpulan Berdasarkan
analisis
pertumbuhan
sektor-sektor
perekonomian di Kota Bekasi pada masa otonomi daerah dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1.
Pada tahun 2002-2005, hampir seluruh sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi memiliki nilai laju pertumbuhan ekonomi rata-rata (LPER) yang positif, kecuali sektor pertambangan dan penggalian serta sektor pertanian. Sektor pengangkutan dan komunikasi merupakan sektor yang memiliki nilai LPER terbesar, sementara sektor pertanian memiliki nilai LPER terkecil.
2.
Nilai Persentase Perubahan (NPP) total PDRB Kota Bekasi lebih besar dibandingkan dengan nilai NPP total PDRB Jawa Barat. Sektor yang memiliki NPP PDRB terbesar di Kota Bekasi adalah sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor yang memiliki nilai NPP PDRB terbesar di Jawa Barat adalah sektor kontruksi. Sedangkan, untuk sektor yang memiliki NPP PDRB terendah di Kota Bekasi dan Jawa Barat adalah sama yakni, sektor pertambangan dan penggalian.
3.
Berdasarkan komponen pertumbuhan wilayah dan profil pertumbuhan, sejak kebijakan otonomi daerah diberlakukan di Kota Bekasi, sektor kontruksi merupakan sektor yang memiliki laju pertumbuhan tercepat dan sektor ini terdapat pada kuadran II karena sektor ini memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan tidak mampu berdaya saing. Sedangkan
66
sektor yang memiliki laju pertumbuhan terlambat adalah sektor pertanian dan sektor ini terdapat pada kuadran III karena selain memiliki laju pertumbuhan yang lambat, sektor ini juga tidak mampu berdaya saing. Sementara itu, sektor yang paling mampu berdaya saing di Kota Bekasi adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor ini berada pada kuadran IV karena meskipun mampu berdaya saing, ternyata sektor ini memiliki pertumbuhan yang lambat, sedangkan sektor yang paling tidak mampu berdaya saing adalah sektor kontruksi, sektor ini berada di kuadran II karena walaupun tidak mampu berdaya saing, tetapi sektor ini memiliki pertumbuhan yang cepat.
6.2. 1.
Saran Berdasarkan profil pertumbuhan, sektor perekonomian yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan mampu berdaya saing adalah sektor listrik, gas dan air serta sektor pengangkutan dan komunikasi. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Bekasi disarankan agar dapat menjadikan kedua sektor ini sebagai sektor unggulan yang akan diprioritaskan dalam kebijakan pembangunan ekonomi Kota Bekasi selanjutnya.
2.
Sektor jasa-jasa berada pada kuadran II (memiliki laju pertumbuhan yang cepat, namun tidak mampu berdaya saing), sementara sektor perdagangan, hotel dan restoran berada pada Kuadran IV (mampu berdaya saing, tetapi memiliki pertumbuhan yang lambat). Apabila Pemerintah Kota Bekasi masih berkeinginan untuk mempertahankan kedua sektor ini menjadi
67
sektor unggulannya, maka Pemerintah Kota Bekasi disarankan dapat melakukan upaya-upaya yang dapat menggeser posisi kedua sektor ini kedalam kuadran I (memiliki laju pertumbuhan yang cepat dan mampu berdaya saing). 3.
Setelah Pemerintah Kota Bekasi menentukan dan menetapkan sektor unggulannya dengan tepat, maka Pemerintah Kota Bekasi diharapkan dapat menumbuhkembangkan secara akseleratif sektor unggulannya agar bisa menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi, sehingga laju pertumbuhan ekonomi rata-rata Kota Bekasi dapat meningkat kembali dan bisa menstimulasi seluruh laju pertumbuhan ekonomi pada sektor-sektor perekonomian lainnya. Jika seluruh sektor perekonomian di Kota Bekasi memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang baik, tidak menutup kemungkinan, sektor-sektor perekonomian di Kota Bekasi akan dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak lagi, sehingga diharapakan dapat menurunkan tingkat pengangguran dan kemiskinan di Kota Bekasi.
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, R. 2005. Dasar-dasar Ekonomi Wilayah. Graha Ilmu. Yogyakarta. Badan Pusat Statistik. 2005. Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk di Kota Bekasi Menurut Kecamatan Tahun 2005. Badan Pusat Statistik. Jakarta ________________. 2005. Jumlah Keluarga Miskin dan Tingkat Pengangguran di Kota Bekasi, Tahun 2001-2005. Badan Pusat Statistik. Jakarta ________________. 2005. Laju Pertumbuhan Ekonomi Atas Dasar Harga Konstan 2000 Menurut Provinsi. Badan Pusat Statistik. Jakarta ________________. 2005. Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Atas Dasar Harga Konstan 2000 . Badan Pusat Statistik. Jakarta ________________. 2005. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota Bekasi Atas Dasar Harga Konstan 2000 . Badan Pusat Statistik. Bekasi ________________. 2005. PDRB Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2002 dan 2005 . Badan Pusat Statistik. Jakarta ________________. 2005. PDRB Kota Bekasi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2002 dan 2005 . Badan Pusat Statistik. Bekasi Bahri, S. 2005. Identifikasi Sektor-sektor Sumber Pertumbuhan Perekonomian Kota Bekasi. [skripsi]. FEM IPB. Bogor Budiharsono, S. 2001. Teknis Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. PT Pradnya Paramita. Jakarta Elmi, B. 2002. Keuangan Pemerintah Daerah Otonom di Indonesia. Universitas Indonesia Press. Jakarta Putra, A. 2004. Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian di Kota Jambi Sebelum dan Sesudah Masa Otonomi Daerah. [skripsi]. FEM IPB Bogor Restuningsih. 2004. Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian di Provinsi DKI Jakarta pada Masa Krisis Ekonomi Tahun 1997-2002. [skripsi]. FEM IPB. Bogor Rini, S. 2006. Analisis Pertumbuhan Sektor-sektor Perekonomian 30 Provinsi di Indonesia. [skripsi]. FEM IPB. Bogor
69
Saragih, J.P. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan Daerah Dalam Otonomi. Ghalia Indonesia. Jakarta Suwandi, M. 2002. Konsepsi Dasar Otonomi Daerah Indonesia. Departemen Dalam Negeri. Jakarta
LAMPIRAN
71
Lampiran 1. Laju Pertumbuhan Ekonomi, Menurut Provinsi, Tahun 2002-2005 (Persen) No
Provinsi 2001
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33.
Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Kepulauan Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Nusa Tenggara Barat Nusa TenggaraTimur Maluku Maluku Utara Irian Jaya Barat Papua
Sumber: BPS Pusat, 2001-2005.
Laju Pertumbuhan Ekonomi 2002 2003 2004 2005
10,73 3,98 3,66 0,46 6,65 2,47 4,15 3,59 5,86 0 4,74 3,89 3,59 4,26 3,76 3,95 3,54 2,69 2.95 3,97 4,73 2,13 5,10 5,11 5,01 5,55 0 7,32 4,73 0,03 1,67 0 7,92
20,07 4,56 4,69 2,64 5,86 3,08 4,73 5,62 6,85 0 4,89 3,94 3,55 4,50 3,80 4,11 3,04 4,55 5,30 3,66 1,74 3,32 5,62 4,09 6,66 6,45 0 3,51 4,88 2,87 2,44 0 5,15
5,52 4,81 5,26 2,45 5,00 3,68 5,37 5,76 11,80 0 5,31 4,84 4,98 4,58 4,78 5,07 3,57 3,06 4,91 4,71 1,86 3,20 6,21 5,25 7,57 6,88 0 3,90 4,57 4,31 3,82 7,86 0,28
9,63 5,74 5,47 2,93 5,38 4,63 5,38 5,07 3,20 6,47 5,65 5,16 5,13 5,12 5,83 5,63 4,62 4,79 5,56 5,15 1,75 4,26 7,15 5,31 7,51 6,93 0 6,25 4,77 4,43 4,70 7,61 22,53
13,45 5,48 5,73 5,41 5,57 4,84 5,82 3,76 3,25 6,57 6,01 5,47 5,35 4,91 5,84 5,88 5,56 4,68 5,90 5,21 2,79 4,90 7,35 2,33 7,31 7,06 0 1,82 3,10 5,07 5,11 6,81 36,57
72
Lampiran 2. PDRB Kota Bekasi Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2002-2005 (Juta Rupiah) No
PDRB
Lapangan Usaha 2002
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pegolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDRB
2003
2004
2005
117 384
119 853
123 709
123 735
0 4 752 376 206 954 353 871
0 5 006 595 217 611 370 214
0 5 252 919 230 199 388 215
0 5 528 623 244 305 407 545
2 841 529
2 984 438
3 154 082
3 339 089
748 802
794 757
854 614
927 067
351 537 646 683 10 019 136
368 580 683 580 10 545 455
384 708 722 759 11 111 205
403 359 760 008 11 733 731
Sumber: BPS Kota Bekasi, 2002-2005.
Lampiran 3. PDRB Jawa Barat Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000, Tahun 2002-2005 (Juta Rupiah) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pegolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Konstruksi Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa PDRB
Sumber: BPS Pusat, 2002-2005
2002 31 307 840
PDRB 2003 2004 32 078 345 34 038 121
7 999 634 89 177 060 4 858 690 5 580 463
8 232 371 94 276 295 4,918,154 5,985,267
7 705 213 97 902 362 5 337 897 6 602 399
7 194 526 104 886 919 5 649 830 7 780 824
41 837 785
42,420,431
44 604 770
47 259 970
8 478 452
9,323,764
10 274 963
10 295 854
6,967,353
7 247 002
15 661132
17,426,194
19 344 963
20 468 266
211 391 701
221,628,174
233 057 691
245 798 062
6 490 645
2005 34 691 240
7 570 633
73