ANALISIS PERBANDINGAN KANDUNGAN SERAT PANGAN KOLESOM (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) DENGAN PEMUPUKAN ORGANIK DAN ANORGANIK PADA PERBEDAAN MUSIM
SKRIPSI
HARUM FADHILATUNNUR F24080009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
META ANALYSIS OF DIETARY FIBER CONTENT IN WATERLEAF (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) WITH ORGANIC AND INORGANIC FERTILIZATION AT DIFFERENT SEASONS Harum Fadhilatunnur1, Didah Nur Faridah1, Nuri Andarwulan2 Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology, 2 Southeast Asia Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia. Phone: +6285711511615, email:
[email protected] 1
ABSTRACT Waterleaf (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) is one of tropical plant and has long been used as herbs and vegetable in daily menu. Its leaves are fleshy and sticky, presumably due to the high pectin content. Pectin is soluble dietary fiber component that performs ability to reduce cholesterol and LDL level in blood. The aim of this research was to study the effect of organic and inorganic fertilization as well as the cultivating season to the level of TDF, IDF, SDF and pectic substance in waterleaf. The research was conducted in five steps, i.e. cultivation, sample preparation, chemical analysis, data analysis, and meta analysis. The samples were ten waterleaf cultivated in dry season with organic and inorganic fertilizations, each in five different concentration of fertilizers. The TDF, IDF, SDF, and pectic substance in waterleaf cultivated with organic fertilizer were 40.52 2.72; 27.12 1.54; 13.40 1.68; and 6.58 0.74 g/100 dry basis respectively, while in waterleaf with inorganic fertilizer were 42.57 1.84; 27.12 0.75; 15.41 1.85; and 6.01 0.35 g/100 g dry basis respectively. All parameters, except IDF, were significantly different (p < 0.05). The meta analysis showed that the dry season waterleaf contain less TDF and IDF, and more SDF and pectic substance than the wet season waterleaf do (p < 0.01). The SDF and pectic substance content of the dry season waterleaf are relatively higher compared to other vegetables. It indicates that waterleaf is potential to be developed as functional food for lowering cholesterol and LDL level in blood. Keyword : Talinum triangulare (Jacq.) Willd, organic and inorganic fertilizer, TDF, IDF, SDF, pectic substance.
Harum Fadhilatunnur. F24080009. Analisis Perbandingan Kandungan Serat Pangan Kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) dengan Pengaruh Pemupukan Organik dan Anorganik pada Perbedaan Musim. Di bawah bimbingan Didah Nur Faridah dan Nuri Andarwulan. 2013. RINGKASAN Kolesom (Talinum triangulare (Jacq) Willd) adalah salah satu jenis sayuran tropis sekaligus obat herbal yang banyak tumbuh di Indonesia. Daun kolesom ini dapat dimakan mentah (dilalap) atau ditumis. Daun kolesom cukup lengket dan berair ketika dipatahkan. Hal ini diduga karena kandungan pektinnya yang tinggi. Pektin merupakan komponen serat larut air, sehingga dapat berfungsi menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Kandungan pektin ini merupakan salah satu keunggulan kolesom sebab sebagian besar sayuran yang umum dikonsumsi masyarakat Indonesia didominasi serat pangan tidak larut yang lebih berkhasiat melancarkan pencernaan, tidak berfungsi menurunkan kadar kolesterol LDL dalam darah. Dengan kandungan serat pangan yang lebih seimbang, diharapkan kolesom dapat menjadi sayuran yang tidak hanya mampu melancarkan sistem pencernaan, tetapi juga menjaga kadar kolesterol dalam darah. Penelitian ini terdiri atas lima tahap antara lain tahap budidaya sampel, tahap persiapan sampel, tahap analisis kimia, tahap analisis data, dan tahap meta analisis. Budidaya sampel tanaman kolesom dilakukan oleh Mualim (2012), terdiri atas sepuluh tanaman kolesom yang dibudidayakan pada musim kemarau dengan pemupukan organik dan anorganik, masing-masing dengan lima konsentrasi pupuk yang berbeda. Sampel yang digunakan adalah bagian tanaman kolesom yang dapat dimakan, yaitu sepanjang 15 cm dari pucuk. Sampel tersebut kemudian dikeringkan menggunakan oven selama 17 jam pada suhu 60C. Analisis kimia dan perhitungannya dilakukan untuk mengetahui kadar TDF, IDF, SDF, dan substansi pektat di dalam sampel. Data dianalisis menggunakan uji t dan ANOVA untuk melihat signifikansi data masingmasing perlakuan. Sementara itu, meta analisis dilakukan dengan membandingkan data penelitian dengan data Prabekti (2012) mengenai serat pangan pucuk kolesom pada musim hujan dan Mualim (2012) mengenai metabolit primer dan sekunder pucuk kolesom dengan pengaruh musim dan pemupukan. Uji t dilakukan untuk membandingkan kandungan serat pangan pucuk kolesom dengan perlakuan pemupukan organik dan anorganik pada musim yang berbeda (kemarau dan hujan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada sampel yang ditanam pada musim kemarau kadar TDF, SDF, dan substansi pektat antara perlakuan pemupukan organik dan anorganik berbeda nyata (p < 0.05) sedangkan kadar IDF tidak berbeda nyata (p > 0.05). Rata-rata kadar TDF dan SDF sampel yang dibudidayakan dengan pemupukan anorganik lebih tinggi dibandingkan pada sampel yang dibudidayakan dengan pemupukan organik (p < 0.05) sedangkan rata-rata kadar substansi pektat menunjukkan pola sebaliknya. Sementara itu, rata-rata kadar IDF sama antara kedua jenis pemupukan. Pada sampel musim kemarau, rata-rata kadar TDF, IDF, SDF, dan substansi pektat basis kering sampel kolesom organik sebesar 40.52 ± 2.72 g/100 g; 27.12 1.54 g/100 g; 13.40 g/100 g ; serta 6.58 0.74 g/100 g secara berturut-turut. Sementara itu, rata-rata kadar TDF, IDF, SDF, dan substansi pektat basis kering sampel kolesom anorganik sebesar 42.57 ± 1.84 g/100 g; 27.12 0.75 g/100 g; 15.41 g/100 g; dan 6.01 0.35 g/100 g secara berturut-turut. Penelitian sebelumnya oleh Prabekti (2012) melaporkan bahwa pada musim hujan, tanaman kolesom yang diberi pupuk organik memiliki rata-rata kadar TDF, IDF, SDF, dan substansi pektat basis kering sebesar 73.04 g/100 g; 68.42 g/ 100 g; 4.62 g/100 g dan 3.64 g/100 g secara berturut-turut. Pada perlakuan pemupukan anorganik, tanaman kolesom memiliki rata-rata TDF, IDF, SDF, substansi pektat basis kering sebesar 78.74 g/ 100 g; 73.55 g/ 100 g; 5.18 g/100 g dan 4.27 g/100 g secara berturut-turut. Hasil meta analisis menunjukkan bahwa sampel kolesom yang ditanam pada musim kemarau memiliki kadar TDF dan IDF yang lebih rendah serta SDF dan substansi pektat yang lebih tinggi dibandingkan kolesom yang ditanam pada musim hujan. Semua parameter berbeda sangat nyata pada taraf kepercayaan 95% (p < 0.01). Ini artinya perbedaan musim berpengaruh nyata pada kadar serat pangan, baik yang dipupuk secara organik maupun anorganik. Mualim (2012) menunjukkan bahwa tanaman kolesom yang diberi pupuk organik menghasilkan pucuk sebanyak 243.70 g/ tanaman. Jumlah ini 11.64% lebih besar dari produksi pucuk kolesom yang diberi pupuk anorganik, yakni sebesar 218.28 g/ tanaman. Dengan asumsi kadar air kolesom 90.39% (Prabekti 2012), maka akan diperoleh sekitar 11.795 g serat pangan/ tanaman dari
kolesom yang dipupuk secara organik dan sekitar 11.825 g serat pangan/ tanaman dari kolesom yang dipupuk secara anorganik. Pada kedua musim, kolesom yang diberi perlakuan pemupukan organik 3 memberikan asupan serat pangan relatif lebih seimbang dibandingkan sampel lainnya. Hal ini didukung dengan produksi pucuk yang lebih tinggi pada kolesom yang dipupuk secara organik dibandingkan kolesom yang dipupuk secara anorganik. Pada perlakuan ini koleosm dipupuk dengan pupuk kandang, guano, dan abu sekam dengan dosis N 46.01 kg/ha, P2O5 21.60 kg/ha, dan K2O 60.5 kg/ha.
ANALISIS PERBANDINGAN KANDUNGAN SERAT PANGAN KOLESOM (Talinum Triangulare (Jacq.) Willd) DENGAN PEMUPUKAN ORGANIK DAN ANORGANIK PADA PERBEDAAN MUSIM
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh HARUM FADHILATUNNUR F24080009
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Analisis Perbandingan Kandungan Serat Pangan Daun Kolesom (Talinum
triangulare (Jacq.) Willd) dengan Pemupukan Organik dan Anorganik pada Perbedaan Musim Nama NIM
: Harum Fadhilatunnur : F24080009
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Dr. Ir. Didah Nur Faridah, M.Si.) NIP. 19711117.199802.2.001
(Prof. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si.) NIP. 19630701.198811.2.001
Mengetahui : Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Si) NIP 19680526.199303.1.004
Tanggal lulus : 26 Februari 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Analisis Perbandingan Kandungan Serat Pangan Daun Kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) dengan Pemupukan Organik dan Anorganik pada Perbedaan Musim adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2013 Yang membuat pernyataan ,
Harum Fadhilatunnur F2408009
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2013 Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
BIODATA PENULIS Harum Fadhilatunnur. Lahir di Rembang, 15 Maret 1990 dari pasangan ayah Purwanto dan ibu Eny Sakdiyatuz Zahrok, sebagai anak terakhir dari empat bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan SMA pada tahun 2008 dari SMA Negeri 1 Pati. Pada tahun yang sama, penulis diterima di IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB pada departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Selama mengikuti perkuliahan, penulis terlibat dalam beberapa organisasi, antara lain Himpunan Keluarga Mahasiswa Rembang di Bogor (HKRB) pada 2008-2013 dan Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (Himitepa) pada 2009-2011. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Fisika dan praktikum Teknologi Pengolahan Pangan selama satu semester. Penulis juga pernah menjadi juara 3 pada kompetisi Pengantar Matematika pada 2008, mendapatkan dana hibah DIKTI pada program PKM kewirausahaan pada tahun 2010, dan menjadi peserta sekaligus penyaji pada seminar World Congress IAAS (International Students Association on Agriculture and Related Sciences) pada 2010. Pada tahun 2011, penulis berkesempatan mengikuti program pertukaran mahasiswa ke Universiti Putra Malaysia (UPM) selama satu semester.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Penelitian dengan judul Analisis Perbandingan Kandungan Serat Pangan Kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) dengan Pemupukan Organik dan Anorganik pada Perbedaan Musim dilaksanakan di IPB pada bulan Maret-Desember 2012. Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan apresiasi dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis selama melakukan tugas akhir, di antaranya: 1. Keluarga tercinta, Ayah Purwanto, Ibu Eny Sakdiyatus Zahro, Mbak Irma, Mbak Iyan, dan Mas Pandu, yang selalu mendukung, mendoakan, mencurahkan kasih sayang kepada penulis; 2. Dr. Ir. Didah Nur Faridah, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si selaku pembimbing skripsi penulis atas segala bimbingan dan arahan selama pelaksanaan tugas akhir; 3. Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, M.S. selaku dosen penguji sidang atas bimbingan dan masukan dalam penyusunan skripsi ini; 4. Para teknisi di laboratorium, Mbak Vera, Pak Sobirin, Pak Rojak, Pak Yahya, Mbak Nurul atas segala bimbingan dan bantuan selama pelaksanaan penelitian; 5. Keluarga kedua di HKRB (Himpunan Keluarga Rembang di Bogor) khususnya HKRB 45; Robin, Ita, Vivi, Tain, Kamal, Vita, Buyung, dll. Terima kasih atas kasih sayang, bantuan, dukungan, dan canda tawa yang dibagi bersama; 6. Sahabat-sahabat tercinta satu atap, A2/216 (Tanti, Gya, Andin) dan Harmoni 1 yang selalu menyemangati dan memberi keceriaan; 7. Teman-teman seperjuangan dan sepermainan di ITP 45, Mega, Hilda, Nisa Nurulhuda, Bangun, Elva, Atikah, Mbak Nisa, Sarinah, Angel, Ati, Ary, Ichal, Madun, Mbak Yun, Tiur dan semua teman yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Terima kasih atas segala doa, semangat, bantuan, diskusi, canda tawa, dan persahabatan yang indah bahkan di saat-saat terberat; 8. Teman-teman PPI UPM Malaysia dan program MIT atas bagi pengalaman dan persaudaraan selama mengikuti program pertukaran mahasiswa di UPM; 9. Kak Leo Mualim, dan Kak Yolanda Silvia Prabekti atas diskusi dan arahan yang menambah wawasan; 10. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyusunan skripsi. Akhirnya penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu pangan. Terima kasih. Bogor, Februari 2013 Harum Fadhilatunnur
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................................i DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii DAFTAR TABEL .................................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ................................................................................................................iv DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................................. v I. PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1 1.2 Tujuan Penelitian ..................................................................................................... 2 1.3 Manfaat Penulisan .................................................................................................... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................... 3 2.1 Kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd).......................................................... 3 2.2 Budidaya Organik dan Anorganik ............................................................................ 4 2.3 Pemupukan ............................................................................................................... 5 2.3.1 Nitrogen ................................................................................................................... 6 2.3.2 Fosfor ....................................................................................................................... 7 2.3.3 Kalium ...................................................................................................................... 7 2.4 Biosintesis Karbohidrat pada Tanaman .................................................................... 8 2.5 Serat Pangan ........................................................................................................... 10 2.6 Pektin ..................................................................................................................... 11 III. BAHAN DAN METODE ............................................................................................... 13 3.1 Bahan dan Alat ....................................................................................................... 13 3.2 Metode Penelitian................................................................................................... 13 3.2.1 Tahap Budidaya ..................................................................................................... 13 3.2.2 Tahap Persiapan Sampel ........................................................................................ 14 3.2.3 Tahap Analisis ........................................................................................................ 14 Analisis Kadar Air Metode Oven (SNI 01-2891-1992) ......................................... 15 Analisis Total Serat Pangan (AOAC Official Methods 985.29) ............................. 15 Analisis Serat Pangan Tidak Larut (AOAC Official Methods 991.42) .................. 16 Analisis Serat Pangan Larut (by difference) ........................................................... 17 Analisis Kadar Substansi Pektat ............................................................................. 17 3.2.4 Tahap Analisis Data ............................................................................................... 14 3.2.5 Tahap Meta Analisis .............................................................................................. 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................................... 19 4.1 Kadar Serat Pangan Pucuk Kolesom yang Ditanam pada Musim Kemarau .......... 19 4.2 Analisis Perbandingan Kadar Serat Pangan Pucuk Kolesom yang Ditanam pada Dua Musim .................................................................................................... 26 4.3 Perbandingan Produksi Pucuk Kolesom yang Ditanam pada Dua Musim yang Berbeda .................................................................................................................. 29 V. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................................ 31 5.1 Simpulan ................................................................................................................ 31 5.2 Saran ...................................................................................................................... 31 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 32 LAMPIRAN ............................................................................................................................. 35
ii
DAFTAR TABEL Tabel 1. Kandungan Talinum triangulare (Jacq.) Willd ................................................................... 4 Tabel 2. Perlakuan pemupukan organik tanaman kolesom ............................................................. 13 Tabel 3. Perlakuan pemupukan anorganik tanaman kolesom ......................................................... 14 Tabel 4. Kadar serat pangan berbagai sayuran ................................................................................ 21 Tabel 5. Kadar serat pangan kolesom yang ditanam pada musim kemarau (g/100 g sampel segar) ................................................................................................................................ 22 Tabel 6. Kadar pektin pada beberapa jenis buah dan sayuran ......................................................... 25 Tabel 7. Bobot basah pucuk kolesom dengan pemupukan organik dan anorganik ......................... 29
iii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6.
Tanaman kolesom ........................................................................................................ 3 Reaksi fotosintesis (Taiz and Zeiger 2002) ................................................................. 8 Siklus Calvin (Campbell et al. 2002)........................................................................... 9 Struktur dasar substansi pektat (Christian dan Vaclavik 2008) ................................. 11 Lintasan biosintesis SDF, modifikasi dari Leowus (2006) dan Cseke et al. (2006) .. 12 Histogram kadar serat pangan pucuk kolesom pada musim kemarau (a) TDF (b) IDF (c) SDF ......................................................................................................... 20 Gambar 7. Histogram kadar substansi pektat pucuk kolesom pada musim kemarau .................. 23 Gambar 8. Histogram perbandingan kadar substansi pektat pucuk kolesom pada musim hujan dan kemarau............................................................................................................... 24 Gambar 9. Histogram perbandingan kadar SDF dan substansi pektat pucuk kolesom pada musim kemarau ......................................................................................................... 24 Gambar 10. Histogram perbandingan serat pangan kolesom pada musim hujan dan kemarau ..... 26
iv
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lampiran 2. Lampiran 3. Lampiran 4. Lampiran 5. Lampiran 6. Lampiran 7. Lampiran 8. Lampiran 9. Lampiran 10. Lampiran 11. Lampiran 12. Lampiran 13. Lampiran 14. Lampiran 15. Lampiran 16. Lampiran 17. Lampiran 18. Lampiran 19. Lampiran 20. Lampiran 21. Lampiran 22. Lampiran 23. Lampiran 24. Lampiran 25. Lampiran 26.
Kadar air sampel kering ......................................................................................... 36 Analisis kadar TDF basis kering ............................................................................ 38 Analisis kadar protein residu TDF ......................................................................... 40 Analisis kadar abu residu TDF............................................................................... 42 Analisis kadar IDF basis kering ............................................................................. 43 Analisis kadar protein residu IDF .......................................................................... 45 Analisis kadar abu residu IDF ................................................................................ 47 Analisis kadar SDF basis kering ............................................................................ 48 Analisis kadar substansi pektat .............................................................................. 50 Analisis keragaman (ANOVA) kadar TDF basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik............................................................................................ 52 Analisis keragaman (ANOVA) kadar IDF basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik............................................................................................ 53 Analisis keragaman (ANOVA) kadar SDF basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik............................................................................................ 54 Analisis keragaman (ANOVA) kadar substansi pektat basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik ........................................................................ 55 Analisis statistik (t-student) kadar TDF basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik............................................................................................ 56 Analisis statistik (t-student) kadar IDF basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik............................................................................................ 57 Analisis statistik (t-student) kadar SDF basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik............................................................................................ 58 Analisis statistik (t-student) kadar substansi pektat basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik ........................................................................ 59 Analisis statistik (t-student) kadar TDF basis kering kolesom pemupukan organik pada musim yang berbeda......................................................................... 60 Analisis statistik (t-student) kadar TDF basis kering kolesom pemupukan anorganik pada musim yang berbeda ..................................................................... 61 Analisis statistik (t-student) kadar IDF basis kering kolesom pemupukan organik pada musim yang berbeda......................................................................... 62 Analisis statistik (t-student) kadar IDF basis kering kolesom pemupukan anorganik pada musim yang berbeda ..................................................................... 63 Analisis statistik (t-student) kadar SDF basis kering kolesom pemupukan organik pada musim yang berbeda......................................................................... 64 Analisis statistik (t-student) kadar SDF basis kering kolesom pemupukan anorganik pada musim yang berbeda ..................................................................... 65 Analisis statistik (t-student) kadar substansi pektat basis kering kolesom pemupukan organik pada musim yang berbeda .................................................... 66 Analisis statistik (t-student) kadar substansi pektat basis kering kolesom pemupukan anorganik pada musim yang berbeda ................................................ 67 Kurva standar asam anhidrogalakturonat ............................................................... 68
v
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sayuran merupakan bagian dari menu yang dikonsumsi sehari-hari oleh masyarakat Indonesia, baik dalam keadaan mentah (dilalap) maupun diolah. Sayuran bersama dengan buahbuahan merupakan sumber komponen-komponen gizi yang berguna bagi tubuh, seperti vitamin, mineral, antioksidan, dan serat pangan. Secara umum serat dapat digolongkan menjadi serat pangan (dietary fiber) dan serat kasar (crude fiber). Serat pangan terbagi menjadi serat pangan larut (soluble dietary fiber) dan serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber). Serat pangan larut memiliki fungsi utama menurunkan kolesterol darah, sedangkan serat pangan tidak larut berfungsi menurunkan waktu transit makanan dalam usus sehingga melancarkan buang air besar dan mencegah kanker kolon. Kolesom (Talinum triangulare (Jacq) Willd) adalah salah satu jenis sayuran tropis yang banyak tumbuh di Indonesia. Selain dikenal sebagai tanaman obat tradisional, kolesom juga banyak dikonsumsi sebagai sayuran (Rifai 1994), khususnya bagian daun dan pucuk muda. Daun kolesom ini dapat dimakan mentah (dilalap) atau ditumis. Daun kolesom berair dan cukup lengket ketika dipatahkan. Hal ini diduga karena kandungan pektinnya yang cukup tinggi. Pektin merupakan komponen serat larut, sehingga dapat berfungsi menurunkan kadar kolesterol LDL dalam darah (Aja et al. 2005). Kandungan pektin ini merupakan salah satu keunggulan kolesom sebab sebagian besar sayuran yang umum dikonsumsi masyarakat Indonesia didominasi serat tidak larut yang lebih berkhasiat melancarkan pencernaan, tidak berfungsi menurunkan kadar kolesterol LDL dalam darah (Aja et al. 2005). Dengan kandungan serat pangan yang lebih seimbang, diharapkan kolesom dapat menjadi sayuran yang tidak hanya mampu melancarkan sistem pencernaan, tetapi juga menjaga kadar kolesterol dalam darah. Nilai gizi suatu tanaman didefinisikan sebagai komposisi kimia dan potensi daya cerna yang merupakan faktor kimiawi, fisik, dan struktural yang diturunkan pada tanaman (Moore, 1994) tergantung pada faktor eksternal, termasuk musim tanam dan teknik budidaya. Beberapa studi menunjukkan bahwa budidaya organik menghasilkan tanaman dengan komposisi nilai gizi yang berbeda dengan tanaman anorganik. Studi tersebut melaporkan bahwa tanaman organik memiliki kandungan gula, vitamin C, besi, magnesium, fosfor, dan total polifenol yang lebih tinggi daripada tanaman anorganik (Benbrook et al. 2008; Carbonaro et al. 2002; Young et al. 2005; Abu-Zahra et al. 2007; Ren et al. 2008; Worthington 2001). Selain itu, senyawa toksik pada tanaman organik, misalnya nitrat, ditemukan dalam jumlah lebih rendah daripada tanaman anorganik (Benbrook et al. 2008; Wang et al. 2008). Penelitian sebelumnya mengenai kolesom menunjukkan bahwa kolesom yang dipupuk secara organik memiliki bobot pucuk, vitamin C, dan total fenolik yang lebih tinggi serta kadar protein, flavonoid, dan antosianin yang lebih rendah daripada kolesom yang dipupuk secara anorganik. Namun perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik (p > 0.05). Di sisi lain, kandungan klorofil dan total gula pada kolesom yang yang dipupuk secara organik lebih rendah daripada kolesom yang dipupuk secara anorganik pada taraf signifikansi 0.05 (Mualim 2012). Lebih lanjut Mualim (2012) menunjukkan bahwa kolesom yang ditanam pada musim kemarau memiliki bobot basah pucuk, protein, vitamin C, total fenolik, dan flavonoid yang lebih tinggi serta total gula dan klorofil yang lebih rendah daripada kolesom yang ditanam pada musim hujan (p < 0.05). Sementara itu, Prabekti (2012) melaporkan bahwa kolesom yang dipupuk secara organik memiliki kadar TDF, IDF, SDF, dan substansi pektat yang lebih rendah (p < 0.05)
1
daripada kolesom yang dipupuk secara anorganik. Sampel kolesom yang ditanam pada musim hujan ini menunjukkan kandungan serat pangan yang tinggi, khususnya TDF dan IDF. Berbagai hasil penelitian tersebut mendorong pada hipotesis bahwa ada kemungkinan kolesom akan menghasilkan komposisi serat pangan yang berbeda antara tanaman yang dibudidayakan secara organik dan anorganik pada musim yang berbeda. Sejauh ini belum ada penelitian yang mengungkap mengenai pengaruh teknik budidaya dan perbedaan musim terhadap komposisi atau kadar serat pangan khususnya pada tanaman kolesom sehingga hal ini menjadi menarik untuk diteliti lebih lanjut.
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dan membandingkan (meta analisis) komposisi serat pangan (TDF, IDF, SDF, dan substansi pektat) pada tanaman kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) dengan perlakuan pemupukan organik dan anorganik pada musim yang berbeda.
1.3 Manfaat Penulisan Manfaat penelitian ini adalah mendapatkan informasi mengenai komposisi komponen serat pangan (TDF, IDF, SDF, dan substansi pektat) pada tanaman kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) yang diberi perlakuan pemupukan organik dan anorganik pada musim yang berbeda sehingga tercipta peluang untuk pemanfaatan lebih lanjut.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd)
Kolesom atau Talinum triangulare (Jacq) Willd adalah tanaman herbal sukulen, akar berbentuk silinder menggembung, tinggi antara 30-100 cm, daun berselang-seling dengan ujung membulat. Tanaman ini berumah satu, melakukan penyerbukan sendiri, berbunga sepanjang tahun dan mekar di pagi hari. Daunnya berwarna hijau muda, tebal berdaging, filotaksis spiral, kadang berhadapan. Bunganya berwarna merah jambu keunguan dengan tangkai bunga berbentuk segitiga dan susunan bunganya berbentuk tandan (racemus) (Anna 2010). Tanaman ini umumnya dikembangbiakkan dengan cara stek (USDA NRCS 2011). Gambar tanaman kolesom dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Tanaman kolesom Kolesom berasal dari Amerika Selatan dan dapat tumbuh dengan baik di daerah beriklim tropis, seperti Afrika Barat, Afrika Selatan, Amerika Selatan, dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Kolesom dibudidayakan secara luas di Nigeria dan merupakan salah satu sayuran daun terpenting di negara tersebut. Tanaman ini memiliki beberapa sebutan, antara lain waterleaf karena teksturnya yang berair, American ginseng, Philipine spinach, Ceylon spinach, daun ginseng, dll (Adeyemi et al. 2011). Daun dan pucuk mudanya berair dan lengket saat dipatahkan, diduga akibat kandungan pektinnya yang tinggi. Kolesom mudah tumbuh pada jenis tanah apapun dan dapat menyerap segala jenis mineral logam yang terkandung dalam tanah dalam jumlah besar tanpa terkecuali, termasuk arsenik (USDA NRCS 2011). Di Indonesia khususnya di daerah Jawa Barat, tanaman kolesom dikenal sebagai sayuran dan tanaman herbal. Pucuk dan daun muda tanaman ini sering dikonsumsi dengan cara dilalap atau ditumis. Kolesom enak dikonsumsi dan tidak menimbulkan rasa pahit serta kaya vitamin A dan C serta zat besi dan kalsium (Jircas 2010). Namun, kandungan asam oksalatnya yang relatif tinggi (1-2%) beresiko menimbulkan masalah bagi penderita penyakit ginjal yang mengonsumsinya secara berlebihan. Daun, batang, dan umbi tanaman kolesom diketahui dapat berkhasiat sebagai obat herbal. Penduduk Kalimantan Selatan biasa menggunakan daun kolesom untuk campuran bedak dingin (Susanti et al. 2008). Selain itu, menurut Aiyeloja dan Bello (2006) masyarakat di Nigeria menggunakan air perasan dari daun kolesom sebagai obat hipertensi yang diminum langsung. Menurut Hargono (2005), umbi kolesom dapat digunakan sebagai obat untuk mengatasi kelemahan tubuh atau obat kuat (tonikum) pengganti ginseng (Panax ginseng). Hutapea (1994) dan Hargono (2005) menyebutkan bahwa pemanfaatan umbi kolesom sebagai obat tradisional memiliki efek farmakologis sebagai afrosidiaka, mengobati neurasthenia (kelelahan tubuh), debilitas (kelemahan tubuh) setelah sembuh dari penyakit kronis. Susanti (2006) menyatakan
3
bahwa umbi kolesom memiliki kandungan alkaloid, steroid, saponin, dan tanin. Daunnya mengandung alkaloid, saponin, tanin, fenolik, flavanoid, triterpenoid, steroid, dan glikosida (Mualim 2009). Berikut adalah klasifikasi Talinum triangulare (Jacq.) Willd (USDA NRCS 2011). Kingdom
Plantae
Subkingdom
Tracheobionta
Superdivisi
Spermatophyta
Divisi
Magnoliophyta
Kelas
Magnoliopsida
Subkelas
Caryophyllidae
Ordo
Caryophyllales
Famili
Portulacaceae
Genus
Talinum Adans.
Spesies
Talinum triangulare (Jacq.) Willd
Hasil analisis proksimat dan serat pangan Talinum triangulare (Jacq.) Willd disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan Talinum triangulare (Jacq.) Willd
Kandungan
Satuan
Kadar (Basis Kering)
Kadar (Basis Basah)
a
mg/g % % % mg/g mg/g g/100 g g/100 g g/100 g
10.87±3.99 3.52±0.32 3.52 12.00 106.61±2.53 114.5±1.49 73.041 dan 78.742 68.421 dan 73.552 4.621 dan 5.182
12.38±2.76 18.75±2.72 1.42 8.50 11.37±1.19 40.02±0.50 6.361 dan 6.742 5.961 dan 6.292 0.401 dan 0.442
g/100 g
3.641 dan 4.272
0.351 dan 0.402
Karbohidrat Proteina Minyaka Serat kasara Steroida β-karotena TDFb IDFb SDFb Substansi pektatb a
Aja et al. (2010) Prabekti (2012) 1 perlakuan pemupukan organik 2 perlakuan pemupukan anorganik b
2.2 Budidaya Organik dan Anorganik Menurut SNI 01-6729-2002, sistem pertanian organik merupakan sistem manajemen produksi yang holistik untuk meningkatkan dan mengembangkan kesehatan agro-ekosistem, termasuk keragaman hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah. Pertanian organik menekankan penerapan praktek-praktek manajemen yang lebih mengutamakan penggunaan input dari limbah kegiatan budidaya di lahan, dengan mempertimbangkan daya adaptasi terhadap keadaan/kondisi setempat. Jika memungkinkan, hal tersebut dapat dicapai dengan penggunaan budaya, metode biologi dan mekanik, yang tidak menggunakan bahan sintesis untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam sistem. Selain aman terhadap lingkungan, budidaya organik dirasa aman
4
pula terhadap kesehatan sebab tidak menggunakan unsur-unsur kimia sintetis yang dikhawatirkan meninggalkan residu pada produk tanaman (Notohadiprawiro 2002). Sistem pertanian ini menghindarkan atau mengesampingkan penggunaan senyawa sintetik baik pupuk, zat tumbuh, maupun pestisida. Sebaliknya, pertanian anorganik dirancang untuk mengoptimalkan produktivitas tanaman dengan penggunaaan senyawa-senyawa sintetik, baik berupa pupuk, zat tumbuh, maupun pestisida. Sistem inilah yang saat ini lebih banyak diterapkan dalam masyarakat. Sebenarnya, pertanian organik ini sudah menjadi kearifan atau pengetahuan tradisional yang membudaya di kalangan kaum tani di Indonesia. Namun, teknologi pertanian organik ini mulai ditinggalkan oleh petani ketika teknologi intensifikasi yang mengandalkan bahan agrokimia diterapkan di bidang pertanian pada era revolusi hijau. Setelah muncul persoalan dampak lingkungan dan kesehatan akibat penggunaan bahan kimia di bidang pertanian, teknologi pertanian organik yang akrab lingkungan dan menghasilkan pangan yang sehat mulai diperhatikan lagi (Sutanto 2002). Kristensen et al. (2012) dalam studinya menyatakan bahwa hasil panen tanaman yang dibudidayakan secara anorganik lebih tinggi daripada hasil panen tanaman yang sama yang dibudidayakan secara anorganik. Oat, rye, selada, bawang merah, dan kol yang ditanam secara organik menghasilkan panen rata-rata hanya 82% dari hasil panen tanaman sama yang dibudidayakan secara anorganik. Meskipun demikian beberapa studi menunjukkan bahwa tanaman organik mengandung komponen-komponen bioaktif lebih banyak serta senyawa toksik yang lebih rendah daripada tanaman anorganik. Sebagai contoh, kandungan total polifenol pada tanaman organik lebih tinggi daripada tanaman anorganik (Benbrook et al. 2008; Carbonaro et al. 2002; Young et al. 2005; Abu-Zahra et al. 2007). Hallmann dan Rembialkowska (2006) menemukan bahwa tanaman yang dibudidayakan secara organik mengandung lebih banyak gula dibandingkan tanaman anorganik. Jus bayam, bawang bombai, dan kol organik memiliki aktivitas antioksidan 50-120% lebih tinggi daripada jus dari komoditas sejenis yang dibudidayakan secara anorganik (Ren et al. 2008). Studi lain melaporkan bahwa rata-rata kandungan vitamin C, besi, magnesium, dan fosfor pada beberapa tanaman organik berturut-turut 27.0; 21.1; 29.3; dan 13.6% lebih tinggi dibandingkan dengan produk anorganik (Worthington 2001). Senyawa berbahaya seperti nitrat ditemukan dalam jumlah yang lebih sedikit pada tanaman organik dibandingkan dengan tanaman anorganik (Benbrook et al. 2008; Wang et al. 2008). Mualim (2012) melaporkan bahwa kolesom yang dipupuk secara organik memiliki bobot pucuk, vitamin C, dan total fenolik yang lebih tinggi serta kadar protein, flavonoid, dan antosianin yang lebih rendah daripada kolesom yang dipupuk secara anorganik. Namun perbedaan tersebut tidak signifikan secara statistik (p > 0.05). Di sisi lain, kandungan klorofil dan total gula pada kolesom yang yang dipupuk secara anorganik lebih tinggi daripada kolesom yang dipupuk secara organik (Mualim 2012). Pengaruh pembudidayaan organik dan anorganik terhadap kadar total serat pangan maupun pektin pada kolesom belum banyak diteliti. Perbedaan hasil biosintesisnya pun belum diketahui.
2.3 Pemupukan Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah baik yang organik maupun anorganik dengan maksud untuk mengganti kehilangan unsur hara dari dalam tanah dan bertujuan meningkatkan produksi tanaman dalam keadaan faktor keliling atau lingkungan yang baik (Sutedjo 1987). Sebenarnya, unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman telah tersedia di dalam tanah, namun jumlahnya seringkali tidak mencukupi karena terus menerus diserap tanaman untuk
5
pertumbuhan dan terbawa oleh air irigasi atau air hujan. Oleh karena itu, diperlukan pemupukan untuk mempertahankan pertumbuhan dan produktivitas tanaman sesuai yang diinginkan. Terkait dengan budidaya organik dan anorganik, pupuk pun terbagi atas pupuk organik dan anorganik. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Kelebihan pupuk anorganik adalah kandungan nutriennya yang lebih tersedia bagi tanaman. Nutrien pupuk anorganik sudah dalam bentuk ion-ion yang mudah larut sehingga lebih mudah diserap oleh tanaman sehingga unsur-unsur tersebut lebih mudah digunakan di dalam proses fotosintesis (Lingga dan Marsono 2007; Hasibuan 2006). Sementara itu, pupuk organik memiliki kandungan mineral yang lebih rendah dan membutuhkan waktu lebih lama untuk diserap tanaman sebab kandungan di dalamnya masih berupa senyawa organik kompleks yang perlu didekomposisi terlebih dahulu sebelum dapat digunakan oleh tanaman (Sutedjo 1987). Oleh karena itu, umumnya tanaman yang dibudidayakan menggunakan pupuk organik membutuhkan waktu panen sekitar 2-3 minggu lebih lama sebelum dapat dipanen (Lingga dan Marsono 2007). Kelebihan pupuk organik adalah sifatnya yang mampu menggemburkan lapisan tanah permukaan (top soil), meningkatkan jasad renik dalam tanah, mempertinggi daya serap dan daya simpan air, yang secara keseluruhan dapat meningkatkan kualitas tanah (Sutedjo 1987). Apapun jenis pupuknya, pemupukan harus memperhatikan ketercukupan kebutuhan hara tanaman. Menurut Hakim et al. (1986), unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman digolongkan ke dalam dua kelompok besar yaitu unsur hara makro dan mikro. Unsur hara makro merupakan unsur hara yang diperlukan tanaman dalam jumlah yang besar, terdiri atas C, H, O, N, P, K, Ca, Mg, dan S. Unsur hara mikro merupakan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman dalam jumlah kecil, terdiri atas Fe, Mn, B, Mo, Cu, Zn, Cl, dan Co. 2.3.1
Nitrogen Nitrogen merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan tanaman yang umumnya diperlukan untuk pertumbuhan vegetatif tanaman, misal pembentukan daun, batang, dan akar. Namun, apabila pemberian unsur ini terlalu banyak akan menghambat pembungaan dan pembuahan pada tanaman. Nitrogen tersedia dalam jumlah besar di alam. Namun N 2 di atmosfer maupun yang terikat di dalam tanah tidak bisa dimanfaatkan oleh tanaman. Nitrogen hanya bisa diserap dalam bentuk NO3- (nitrat) dan NH4+ (amonium). Ikatan dengan hidrogen, yang mereduksi N, dapat terbentuk karena petir, oleh organisme penambat N, atau secara komersial dengan proses Haber-Bosch (Gardner et al. 1991). Nitrat yang diserap selanjutnya akan segera tereduksi menjadi amonium oleh enzim yang mengandung molibdenum, yakni enzim nitrat reduktase dan nitrit reduktase (Sutedjo 1987). Di dalam tanaman, nitrogen merupakan unsur pembentukan klorofil, alkaloid, dan protein seperti asam amino, enzim, dan nukleotida, berperan terhadap pembelahan dan pembesaran sel, serta berpengaruh terhadap penggunaan karbohidrat dan penyerapan nutrisi yang lain (Gardner et al. 1991; Tisdale et al. 1985). Nitrogen bergerak bebas dalam tubuh tumbuhan. Daun yang muda dan organ yang sedang tumbuh mungkin akan menarik nitrogen lebih banyak dan menyebabkan daun yang tua kekurangan nitrogen. Defisiensi unsur N ditandai dengan pertumbuhan yang terhambat (kerdil) dan menguning, terutama di bagian-bagian tanaman yang lebih tua. Gangguan pertumbuhan ini juga dapat menyebabkan penimbunan gula pada beberapa spesies, terutama jagung (Gardner et al. 1991).
6
2.3.2 Fosfor Fosfor merupakan unsur yang umumnya terdapat dalam konsentrasi yang amat rendah di dalam tanah. Fosfor berasal dari pelapukan mineral tanah dan bahan-bahan lain penyusun tanah. Fosfor bersifat immobil di dalam tanah dan memiliki retensi yang sangat tinggi sehingga ketersediaanya untuk dapat digunakan oleh tanaman umumnya sangat rendah (Gardner et al. 1991). Fosfor diserap oleh tanaman dalam bentuk bentuk ion bervalensi tunggal H 2PO4- dan kurang dalam bentuk ion bervalensi dua HPO42- (Gardner et al. 1991). Fungsi fosfor yang penting pada tanaman antara lain untuk penyimpanan dan transfer energi dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) dan adenosin difosfat (ADP), NAD, NADPH, serta merupakan komponen struktural penting dalam penyusunan asam nukleat, kofaktor enzim, fosfolipid, dan nukleotida (Jones 1998, Mosali et al. 2005). Fosfolipid seperti kolin dan lesitin memegang peranan penting dalam hal integritas membran. Unsur ini bergerak dalam tubuh tumbuhan, dapat diredistribusikan dari bagian yang tua ke bagian yang lebih muda. Gejala defisiensi fosfor berlawanan dengan gejala defisiensi nitrogen, yaitu daun tidak menguning melainkan berwarna hijau gelap atau hijau kebiru-biruan. Pada tanaman yang mengalami defisiensi fosfor terjadi penimbunan gula, yang ditunjukkan dalam bentuk pigmentasi antosianin pada bagian dasar batang dan urat daun. Tanaman juga tumbuh kerdil (Gardner et al. 1991). 2.3.3 Kalium Kalium berasal dari mineral primer dan sekunder, seperti misalnya tanah liat. Umumnya tanah yang kandungan tanah liatnya tinggi cenderung mengandung kalium yang relatif tinggi juga sedangkan tanah organik dan tanah berpasir umumnya rendah kandungan kaliumnya. Sumber utama kalium untuk tanaman berasal dari pelapukan mineral yang mengandung kalium (Gardner et al. 1991). Unsur ini tersedia di tanah dalam 3 bentuk, yakni: (1) bentuk kalium yang tidak dapat dipertukarkan, (2) bentuk kalium yang dapat dipertukarkan, (3) bentuk kalium yang larut. Kalium dalam bentuk yang tidak dapat dipertukarkan banyak terdapat dalam tanah, tapi pelepasannya lambat, sehingga sulit diserap tanaman. Kalium yang dapat dipertukarkan adalah bentuk yang tersedia untuk dimanfaatkan oleh tanaman, ada yang cepat tersedia dan ada yang lambat tersedia. Kalium yang mudah diserap tanaman adalah kalium yang larut dalam larutan tanah (Reddy et al. 2000). Kalium diserap dalam bentuk kation K + yang monovalen. Unsur ini menyusun 80% dari kation yang didapati dalam floem. Kalium bukanlah bagian penyusun tubuh tanaman. Kalium disimpan dalam jumlah besar di vakuola. Dalam tanaman, kalium berperan sebagai kofaktor berbagai enzim, merangsang pertumbuhan akar, dan sebagai katalisator (Pettigrew 2008). Selain itu, kalium juga berperan dalam proses translokasi gula, metabolisme protein, serta memelihara potensial osmotik dan pengambilan air sehingga mempertahankan vigor tanaman (Gardner et al. 1991; Marchsner 1995; Jones 1998). Tanaman yang cukup kalium hanya kehilangan sedikit air karena kalium meningkatkan potensial osmotik dan mengatur membuka dan menutupnya stomata (Humble dan Hsiao 1969). Defisiensi kalium terutama pada awal pertumbuhan akan mengakibatkan perubahan terhadap hasil karbohidrat dan secara cepat diikuti oleh berkurangnya konsentrasi K + pada tanaman. Gejala kekurangan kalium akan mengakibatkan daun menjadi kering dan terbakar pada sisi-sisinya serta memperlihatkan klorosis yang tidak merata sehingga fotosintesis terganggu (Havlin et al. 2005). Gejala defisiensi kalium sering kali juga bergabung dengan gejala infeksi
7
patogen yang disebabkan oleh mikroorganisme sehingga sukar dibedakan, sebagaimana yang dilaporkan oleh Leibhart dan Murdock (1965) bahwa defisiensi kalium pada jagung berakibat pada meningkatnya jatuh rebah batang dan akar yang menunjukkan kemungkinan adanya hubungan dengan penyakit. Jumlah akar penunjang menurun dan parenkim batang mengalami disintegrasi apabila pupuk kalium dihilangkan.
2.4 Pengaruh Musim terhadap Produksi dan Kualitas Tanaman Suhu udara di daerah tropis umumnya kondusif untuk pertumbuhan tanaman selama setahun penuh. Namun, variasi musiman pada ketersediaan air, sinar matahari, dan unsur hara berpotensi membatasi produktivitas tanaman. Sebagai contoh laju fotosintesis mungkin terhambat akibat intensitas cahaya yang rendah selama musim hujan saat air melimpah atau akibat intensitas cahaya yang sangat tinggi pada musim kemarau (Wright dan Van Schaik 1994, Mulkey et al. 1996). De Lima et al. (2001) melaporkan bahwa buah belimbing matang pada musim kemarau memiliki kandungan vitamin C yang lebih tinggi serta asam oksalat yag lebih rendah dibanding buah pada musim hujan. Sementara itu, kandungan total solid terlarut tidak berbeda secara statistik antara kedua musim. Mohammadkhani dan Heidari (2008) meneliti akumulasi gula terlarut dan prolin pada tanaman jagung yang mengalami cekaman kekeringan. Studi ini melaporkan bahwa tanaman yang mengalami cekaman kekeringan memiliki kandungan gula terlarut dan prolin yang tinggi serta kadar pati yang rendah pada akar dan pucuk tanaman. Hal ini diduga karena gula dan prolin memiliki peran penting dalam mekanisme pengaturan osmotik untuk meminimalkan kerusakan akibat dehidrasi. Mualim (2012) mempelajari kualitas dan produksi pucuk kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) WIlld) akibat pengaruh perbedaan musim. Kolesom yang ditanam pada musim kemarau memiliki vitamin C, protein, total fenolik, total flavonoid, dan total antosianin yang lebih tinggi dibandingkan kolesom pada musim hujan. Sementara itu, kolesom yang ditanam pada musim hujan memiliki total gula dan total klorofil yang lebih tinggi dibandingkan kolesom pada musim kemarau.
2.5 Biosintesis Karbohidrat pada Tanaman Karbohidrat dalam tanaman dibuat melalui proses fotosintesis. Fotosintesis merupakan proses metabolisme dalam tanaman untuk membentuk karbohidrat dengan menggunakan karbon dioksida dari udara dan air dari dalam tanah dengan bantuan sinar matahari dan klorofil (Jumin 2005). Reaksi fotosintesis berlangsung di kloroplas dan terbagi menjadi dua, yakni fase terang dan fase gelap. Fase terang terjadi di tilakoid. Pada fase ini, energi cahaya ditangkap dan diubah menjadi energi kimiawi. Fase gelap (siklus Calvin) terjadi di stroma dan menghasilkan komponen gula dengan menggunakan energi reaksi di fase gelap (Gardner et al. 1991). Reaksi kimia fotosintesis ditampilkan pada Gambar 2 sementara reaksi dalam siklus Calvin ditampilkan pada Gambar 3.
Gambar 2. Reaksi fotosintesis (Taiz and Zeiger 2002)
8
1.
2.
3.
Siklus Calvin terbagi menjadi tiga fase (Campbell et al. 2002): Fiksasi karbon. Siklus Calvin memasukkan setiap molekul CO 2 dengan menautkannya pada senyawa berkarbon lima, ribulosa bisfosfat (RuBP). Hasilnya adalah senyawa intermediet yang langsung terpecah menjadi dua molekul 3-fosfogliserat. Reduksi. Setiap molekul 3-fosfogliserat menerima gugus fosfat dari ATP membentuk 1,3bisfosfogliserat. Selanjutnya NADPH mereduksi senyawa ini menjadi gliseraldehida 3fosfat (G3P). ATP dan NADPH yang digunakan dalam siklus ini diperoleh dari reaksi gelap. Regenerasi akseptor CO2 (RuBP). Untuk setiap 3 molekul CO2 yang difiksasi, dihasilkan 6 molekul G3P. Namun hanya 1 molekul G3P yang dapat digunakan untuk membentuk karbohidrat. Sebanyak 5 molekul G3P lainnya disusun ulang dengan menggunakan energi dari ATP menjadi tiga molekul RuBP. RuBP digunakan kembali untuk menerima CO 2 lagi dan siklus berlanjut. G3P dari siklus Calvin menjadi awal untuk jalur metabolisme yang mensintesis senyawa organik lainnya, termasuk glukosa, pati, serat, dan karbohidrat lainnya.
Gambar 3. Siklus Calvin (Campbell et al. 2002) Dinding sel penyusun tanaman merupakan tempat terdapatnya serat pangan pada tanaman. Dinding sel ini utamanya disusun oleh komponen polisakarida selain komponen lainnya seperti protein struktural dan berbagai enzim. Di antara semua polisakarida, selulosa merupakan penyusun utama dan terbanyak. Dinding sel sendiri terbagi menjadi tiga bagian, yakni dinding sel primer, lamella tengah, dan dinding sel sekunder. Dinding sel primer tersusun atas selulosa, hemiselulosa, substansi pektat, dan protein. Dinding sel sekunder umumnya tersusun atas hemiselulosa, selulosa, dan lignin. Substansi pektat menjadi penyusun utama lamella tengah (Salisbury dan Ross 1995). Menurut Selvendran (1983), proses pembentukan dinding sel tanaman terjadi dalam tiga tahapan utama yaitu: 1. Terbentuknya sekat pemisah selama daerah meristematis membelah akibat pembelahan sel. Pada saat ini middle lamella terbentuk yang utamanya tersusun atas substansi pektat. 2. Tahap penumpukan dan pengontrolan polimer-polimer pada dinding selama dinding sel tersebut membesar. Kandungan utama dinding yang terbentuk akibat penumpukan polimer ini
9
3.
adalah polisakarida seperti substansi pektat, hemiselulosa, selulosa, dan beberapa glikoprotein. Dinding yang terbentuk tersebut disebut dinding sel pertama/ primer. Tahap penebalan kedua yang menentukan struktur akhir dari sel-sel tertentu. Pada tahap ini terjadi penumpukan zat seperti lignin. Dinding sel yang terbentuk ini kemudian disebut dinding sel kedua/ sekunder yang komponen utamanya adalah selulosa, lignin, dan hemiselulosa sebagai matriks amorf. Komponen lain seperti gum, musilase, kutin, asam fitat, dan lainnya merupakan komponen serat dalam jumlah kecil dari dinding sel tanaman.
2.6 Serat Pangan The American Association of Cereal Chemist mendefinisikan serat pangan sebagai bagian tumbuhan yang dapat dimakan atau analog dengan karbohidrat, yang tahan terhadap pencernaan dan absorpsi di dalam usus halus manusia dan mengalami fermentasi sebagian atau seluruhnya di dalam usus besar (AACC 2001). Serat pangan ini meliputi polisakarida (selulosa, hemiselulosa, gum, polifruktosa, oligosakarida, pektin, dan musilage), karbohidrat analog (dekstrin yang tidak tercerna, pati tidak tercerna, polideskstrosa, dll), lignin, dan bahan yang terkait dengan dinding sel tanaman (waxes, fitat, saponin, tanin, kutin, suberin). Berdasarkan kelarutannya, serat pangan dibedakan menjadi serat larut (soluble dietary fiber) dan serat tidak larut (insoluble dietary fiber), tergantung kelarutan komponen serat tersebut di dalam air atau larutan bufer. Serat tak larut terutama terdiri atas yaitu selulosa, hemiselulosa dan lignin, sementara serat larut antara lain pektin, gum, musilase, glukan dan alga (Almatsier 2001). Umumnya, tanaman mengandung kedua-duanya dengan serat tidak larut pada porsi yang lebih banyak. Komponen-komponen serat pangan sebagian besar ditemukan dalam struktur dinding sel, seperti selulosa, hemiselulosa, substansi pektat, dan polisakarida lain. Hasil penelitian menunjukan bahwa kurangnya konsumsi serat terbukti secara konsisten menimbulkan tiga dampak negatif bagi kesehatan, antara lain konstipasi, meningkatnya resiko penyakit jantung koroner, dan meningkatnya fluktuasi kadar insulin dan glukosa darah (AACC 2001). Serat pangan memiliki sifat laksatif atau mencuci perut. Konsumsi serat pangan menyebabkan feses lebih meruah, mengurangi waktu transit feses di usus besar, meningkatkan frekuensi dan keteraturan defekasi, dan mengurangi kekerasan feses. Efek lebih lanjut antara lain pH kolon menurun, populasi mikroflora usus meningkat, disertai perubahan distribusi spesies mikroflora yang lebih menguntungkan. Serat pangan juga memiliki kemampuan menurunkan kadar kolesterol darah yang menjadi biomarker dari penelitian terhadap penyakit jantung koroner. Sebuah penelitian selama 12 tahun terhadap 859 pria dan wanita di California menunjukkan bahwa penambahan serat pangan sebanyak 6 gram per hari mengurangi kematian akibat penyakit jantung koroner (Khaw & Barret-Cormor 1987). Banyak penelitian membuktikan secara signifikan mengenai penurunan resiko diabetes akibat meningkatnya konsumsi serat pangan. Kiehm et al. (1976), Anderson dan Ward (1979), Rivellese (1980), dan Simpson et al. (1981) mendesain dan mengadakan serangkaian penelitian yang menunjukkan efek positif diet tinggi serat pada penderita diabetes mellitus. Efek positif dari peningkatan konsumsi serat pangan tampak pada penderita diabetes tipe 1 dan tipe 2, antara lain meningkatkan toleransi terhadap glukosa, mengurangi kebutuhan insulin, meningkatkan sensitifitas insulin jaringan periferal, memperbaiki kontrol berat badan, dan berpotensi menurunkan tekanan darah secara konsisten. Serat pangan larut ternyata menunjukkan efek terbaik dalam hal menurunkan kolesterol dan resiko penyakit diabetes. Sementara serat tak larut lebih berperan dalam menurunkan waktu transit di usus. Sebuah meta analisis atas 67 penelitian yang berfokus pada serat pangan larut menunjukkan adanya pengurangan kolesterol darah secara signifikan seiring dengan meningkatnya
10
konsumsi serat pangan (Brown et al. 1999). Hal ini diduga karena serat pangan larut mengikat asam dan garam empedu sehingga reabsorpsinya dapat dicegah. Dengan demikian, garam empedu dibuang dari sirkulasi usus-hati (entero-hepatic circulation) dan hanya sedikit yang tersedia untuk absorpsi lipid di usus. Hal ini akan memacu ekskresi sterol dan secara tidak langsung dapat menurunkan kolesterol yang disirkulasi (Malkki 2001). Selain itu, produk fermentasi serat pangan oleh mikroflora di dalam kolon, berupa asam lemak rantai pendek terutama asam propionat, dapat juga memberikan kontribusi pada penurunan kolesterol. Hara et al. (1999) melaporkan bahwa pada tikus, asam lemak rantai pendek dapat menekan sintesis kolesterol baik di liver maupun di usus. Serat tidak larut lebih berperan dalam mencegah wasir, sembelit, divertikulosis, dan kanker kolon (Burkitt 1983). Hal ini disebabkan serat tak larut mempunyai sifat mudah menahan air sehingga menyebabkan feses meruah (bulky) dan mudah dikeluarkan. Sifat meruah ini juga disebabkan oleh bertambahnya massa bakteri dalam feses yang kaya serat, sebab serat pangan merupakan substrat yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroflora usus.
2.7 Pektin Substansi pektat, termasuk protopektin, asam pektinat, dan asam pektat merupakan polimer linear dari asam D-galakturonat yang dihubungkan dengan ikatan α-1-4 glikosidik. Sebagian dari gugus karboksilnya sering kali diesterifikasi dengan methanol (Christian dan Vaclavik 2008). Struktur kimia asam galakturonat dan pektin ditampilkan pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur dasar substansi pektat (Christian dan Vaclavik 2008) Setiap ikatan glikosidik pada molekul substansi pektat adalah ikatan silang-planar, karena dibentuk dari reaksi antara satu gugs hidroksil yang terletak di atas bidang dari cincin pertama dengan gugus hidroksil yang terletak di bawah bidang cincin kedua. Konfigurasi ini membuat struktur polimer pektat menjadi berbentuk pita yang berputar (twisted). Ikatan silang-planar tidak dapat dicerna oleh system pencernaan manusia, sehingga substansi pektat dapat diklasifikasikan ke dalam serat pangan (Christian dan Vaclavik 2008). Substansi pektat dapat dibagi menjadi tiga golongan, tergantung jumlah gugus metil ester yang terikat pada rantai polimer. 1. Protopektin merupakan polimer asam galakturonat dengan berat molekul besar dan banyak ditemukan di buah yang belum masak. Protopektin tidak larut dalam air, namun dapat dihidrolisis menjadi substansi pektat larut air, yakni asam pektinat dan pektin. 2. Asam pektinat adalah bentuk termetilasi dari asam galakturonat melalui hidrolisis enzimatis dari protopektin saat buah masak. Pektin sendiri merupakan asam pektinat dengan berat molekul besar. Asam pektinat ini larut air dan dapat membentuk gel. 3. Asam pektat adalah rantai pendek turunan dari asam pektinat saat buah terlalu masak. Enzimenzim seperti poligalakturonase dan pektinesterase menyebabkan depolimerisasi dan
11
demetilasi asam pektinat. Demetilasi secara sempurna dari asam pektinat menghasilkan asam pektat, yang tidak dapat membentuk gel pektin. . Secara struktural, pektin merupakan campuran polisakarida dengan komponen utama polimer α-D-galakturonat yang mengandung gugus metil ester pada konfigurasi atom C-2. Komponen minor berupa polimer unit-unit α-L-arabinofuranosil bergabung dengan ikatan α-L-(15). Komponen minor lainnya adalah rantai lurus dari unit-unit β-D-galaktopiranosil yang mempunyai ikatan 1-4. Komposisi kimia pektin sangat tergantung pada sumber dan kondisi isolasinya. Jumlah unit asam anhidrogalakturonat setiap rantai adalah kurang dari 100 sampai lebih dari 1000 (Glicksman 1969). Pektin disintesis di badan golgi, lalu dikirim ke dinding sel malalui vesikel yang terikat pada membran. Jalur biosintesis pektin beserta komponen SDF lainnya ditampilkan pada Gambar 5.
Myo-inositol 1P
D-Glucose 6-P
Myo-inositol
D-Glucose 1-P
D-glucuronic acid
D-glucuronic acid 1-P
Gula nukleotida lain: GDP-Glucose GDP-Mannose GDP-Fucose, etc
UDP-D-Glucose
UDP-D-Galactose
UDP-DGlucuronic acid
UDP-D-Galacturonic acid
CO
Penyusun dinding sel: Hemiselulosa Pektin Gum Mucilage
UDP-D-Apiose
2
UDP-D-Xylose
UDP-L-Arabinose
Gambar 5. Lintasan biosintesis SDF, modifikasi dari Leowus (2006) dan Cseke et al. (2006)
Salisbury dan Ross (1995) menyebutkan bahwa pektin merupakan polisakarida yang menyusun 10-35% bagian dinding sel primer tanaman, khususnya di antara selulosa dan hemiselulosa, dan sebagian besar lamella tengah. Di dalam dinding sel, substansi pektat berfungsi sebagai elemen struktural bersama dengan selulosa dan hemiselulosa. Dalam lamella tengah senyawa substansi pektat berfungsi sebagai perekat antar sel. Di industri pangan, pektin merupakan salah satu polisakarida penting karena sifat fungsionalnya sebagai hidrokoloid. Pektin digunakan secara luas sebagai pembentuk gel, pengental, dan penstabil makanan. Pektin sendiri banyak dijumpai pada buah-buahan dan sayursayuran serta dalam jumlah kecil dijumpai dalam serealia (Kertesz 1951). Berbagai penelitian membuktikan bahwa pektin sebagai bagian dari serat pangan larut (SDF) dapat mengurangi kadar kolesterol dalam darah (Story dan Kritchevsky 1977; Brown et al. 1990; Hunninghake et al. 1994). Pektin mengikat cairan empedu yang merupakan hasil metabolisme kolesterol dan mengurangi reabsorpsinya di usus. Cairan empedu ini digunakan dalam metabolisme lemak. Semakin banyak cairan empedu yang berikatan dengan pektin dan terbuang ke luar tubuh, semakin banyak kolesterol yang dimetabolisme, sehingga pada akhirnya kolesterol menurun jumlahnya (Soesilawaty 2008).
12
III.
BAHAN DAN METODE
3.1 Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah bagian yang dapat dimakan dari tanaman kolesom yang diberi perlakuan pemupukan organik dan anorganik yaitu daun dan pucuk (masing-masing 5 perlakuan) yang dibudidayakan di laboratorium percobaan IPB di Leuwikopo. Bahan kimia yang digunakan antara lain etanol, aseton, buffer fosfat 0.08 M pH 6.0, termamyl (120 L, Novo Laboratories), protease (P-3910, Sigma Chemical), amiloglukosidase (A-9913, Sigma Chemical), NaOH (Merck), HCl (Merck), celite C-211, viscozyme (V-2010, Sigma Chemical), K2SO4 (Merck), HgO (Merck), H2SO4 pekat (Merck), NaOH 60%-Na2SO3 5% (Merck), H3BO3 (Merck), TRIS, indikator MM dan MB, EDTA-4Na, Na2B4O7 (Merck), o-hidroksidifenil, standar asam galakturonat monohidrat, serta akuades. Alat-alat yang digunakan antara lain oven vakum, oven pengering, hot plate, pompa vakum, vortex, spektrofotometer, kertas Whatman 40, alat-alat gelas, neraca analatik, mortar dan alu, blender, desikator, crucible dengan celite, tanur, waterbath, waterbath shaker, pH meter, labu Kjehldal, alat destilasi dan alat destruksi protein.
3.2 Metode Penelitian Penelitian terdiri atas lima tahap, antara lain 1) tahap budidaya tanaman kolesom secara organik dan anorganik, 2) persiapan sampel, 3) analisis kimia, 4) analisis data, dan 5) meta analisis. 3.2.1
Tahap Budidaya Tahap pertama merupakan tahap budidaya sampel hingga pemanenan. Tanaman kolesom dibudidayakan dengan diberi perlakuan pemupukan secara organik dan anorganik selama bulan Mei-Juli 2011 di laboratorium percobaan IPB, Leuwikopo. Proses budidaya sampel dilakukan oleh Mualim (2012), peneliti dari Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas lima sampel yang dipupuk secara organik dan lima sampel yang dipupuk secara anorganik. Tanaman dipanen setelah berumur delapan minggu dengan diambil bagian yang dapat dimakan yakni daun dan pucuknya sepanjang 15 cm. Dari masingmasing perlakuan diambil dua kali ulangan untuk tahap analisis kimia. Perlakuan pemupukan pada tanaman kolesom yang dipakai sebagai sampel ditampilkan pada Tabel 2 dan Tabel 3. Tabel 2. Perlakuan pemupukan organik tanaman kolesom Dosis Pemupukan Organik
Pupuk kandang1* (ton/ha)
Dosis N (kg/ha)
1
6.1
22.82
2
9.2
3
12.3
4
15.4
Guano2* (kg/ha)
Dosis P2O5 (kg/ha)
Abu sekam3 (ton/ha)
Dosis K2O (kg/ha)
75.6
7.20
2.7
29.70
34.42
151.2
14.40
4.1
45.10
46.01
226.8
21.60
5.5
60.50
57.61
302.4
28.80
6.8
74.80
5 18.4 68.83 378 35.99 8.2 90.20 kandungan N 1.29%, kadar air 71%; 2kandungan P2O5 10.43%, kadar air 8.69%; 3kandungan K2O 1.10%; *dosis dalam basis basah dengan faktor konversi kadar air. 1
13
Contoh perhitungan pada perlakuan organik 1:
dosis unsur N
:(100-71)% x 1.29% x 6.1 ton/ha = 22.82 kg/ha
dosis unsur P (dalam bentuk P 2O5)
:(100-8.69)% x 10.43% x 75.6 kg/ha = 7.2 kg/ha
dosis unsur K (dalam bentuk K2O)
:(1.10% x 2.7) ton/ha x 1000 =29.7 kg/ha
Tabel 3. Perlakuan pemupukan anorganik tanaman kolesom Dosis Pemupukan Anorganik
Urea1 (kg/ha)
Dosis N (kg/ha)
SP-362 (kg/ha)
Dosis P2O5 (kg/ha)
KCl3 (kg/ha)
Dosis K2O (kg/ha)
1
50
23.00
20
7.20
50
30.00
2
75
34.50
40
14.40
75
45.00
3
100
46.00
60
21.60
100
60.00
4
125
57.50
80
28.80
125
75.00
36.00
150
90.00
5 150 69.00 100 1 2 3 kandungan N 46%; kandungan P2O5 36%; kandungan K2O 60%
Contoh perhitungan pada perlakuan anorganik 1:
dosis unsur N
: 46% x 50 kg/ha = 23 kg/ha
dosis unsur P (dalam bentuk P 2O5)
: 36% x 20 kg/ha = 7.2 kg/ha
dosis unsur K (dalam bentuk K2O)
: 60% x 50 kg/ha = 30 kg/ha
3.2.2
Tahap Persiapan Sampel Setelah dipanen, dilakukan penyortiran sampel sebagai langkah awal agar sampel yang digunakan representatif dan relatif seragam. Setelah dibersihkan, sampel dikeringkan menggunakan oven vakum selama 17 jam pada suhu 60 oC. Sampel kering kemudian digiling sampai 40 mesh dan diperoleh tepung daun. 3.2.3
Tahap Analisis Setelah dilakukan persiapan sampel, sampel daun Talinum triangulare Willd. organik dan anorganik dianalisis kadar air dengan metode oven (SNI 01-2891-1992) , total serat pangan (AOAC Official Methods 985.29 (2005)), serat pangan tidak larut (AOAC Official Methods 991.42 (2005)), serat pangan larut (by different), dan substansi pektatnya (McCready dan McComb (1952) yang dimodifikasi oleh Blumenkrantz dan Asboe-Hansen (1973)) . . 3.2.4 Tahap Analisis Data Data analisis kimia kadar serat pangan dan kadar substansi pektat tanaman kolesom yang dibudidayakan secara organik dan anorganik akan dianalisis menggunakan statistik ANOVA untuk melihat perbedaan antar sampel, dan statistik uji t untuk melihat perbedaan antarbudidaya. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK). Pengujian dilakukan dengan menggunakan model matematika: i j Yij
Yij = + i + βj + ij = 1, 2, 3, …, 6 = 1, 2, 3, …, r = pengamatan pada perlakuan kelompok ke-i dan kelompok ke-j
= rataan umum
i βj
= pengaruh perlakuan (organik/anorganik) = pengaruh kelompok ke-j
14
ij = pengaruh acak perlakuan ke-I dan kelompok ke-j Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut: H0: 1 = … = r = 0 (perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati) H1: paling sedikit ada satu i di mana i 0 Pengaruh pengelompokan: H0: β1 = … = βr = 0 (kelompok tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati) H1: paling sedikit ada satu j di mana βj 0 3.2.5
Tahap Meta Analisis Data analisis kimia kandungan serat pangan kolesom ini akan dibandingkan dengan data penelitian dari Prabekti (2012). Kedua penelitian ini sama-sama mengamati kandungan serat pangan pucuk kolesom pada budidaya dengan pemupukan organik dan anorganik. Perbedaannya adalah penelitian ini menggunakan sampel yang ditanam pada musim kemarau sementara Prabekti (2012) menggunakan sampel yang ditanam pada musim hujan. Masing-masing parameter diuji dengan uji t untuk melihat signifikansi data dengan pengaruh perbedaan musim. Lebih lanjut lagi hasil penelitian akan dibandingkan dengan penelitian Mualim (2012) yang mengamati metabolit primer dan sekunder kolesom dengan perlakuan pemupukan organik dan anorganik dan perbedaan musim. 3.2.6
Prosedur Analisis Analisis Kadar Air Metode Oven (SNI 01-2891-1992)
Cawan kosong dikeringkan di dalam oven selama 15 menit kemudian didinginkan di dalam desikator, ambil dengan penjepit. Cawan kering yang sudah didinginkan kemudian ditimbang beratnya. Pada cawan tersebut ditimbang 1-2 gram sampel, kemudian dikeringkan pada oven 105C selama 3 jam. Selanjutnya cawan beserta sampel didinginkan di dalam desikator, kemudian ditimbang. Penimbangan diulangi hingga diperoleh bobot tetap (≤0.0005 g). Perhitungan: Kadar air basis basah: Kadar air (g/100 g bahan basah)
=
Kadar air basis kering: Kadar air (g/100 g bahan kering)
=
Keterangan: W = bobot contoh sebelum dikeringkan (g) W1 = bobot contoh + cawan kering kosong (g) W2 = bobot cawan kosong (g) Analisis Total Serat Pangan (AOAC Official Methods 985.29) Semua prosedur analisis dilakukan terhadap blanko untuk melihat adanya endapan non serat yang berasal dari reagen atau enzim yang tersisa dalam residu dan dapat terhitung sebagai serat pangan. Sampel ditimbang secara duplo sebanyak 0.5 g, dengan keakuratan hingga 0.1 mg, dalam gelas piala 200 ml. Perbedaan bobot sampel dalam masing-masing ulangan diusahakan tidak lebih dari 20 mg. Sebanyak 25 ml buffer fosfat 0.08 M pH 6.0 dimasukkan ke dalam gelas piala. Nilai pH diukur hingga pH 6.0±0.2. Sebanyak 0.05 ml enzim termamyl ditambahkan. Kemudian gelas piala ditutup menggunakan kertas aluminium foil (alufo) dan diletakkan dalam air mendidih. Selama inkubasi, gelas piala digoyangkan secara perlahan setiap 5 menit. Saat suhu
15
larutan dalam gelas piala mencapai 100oC, lanjutkan inkubasi selama 15 menit. Waktu pemanasan dapat ditambahkan jika jumlah sampel yang ditempatkan di dalam waterbath sulit mencapai suhu internal antara 95-100oC. Prosedur ini dapat dilakukan selama 30 menit. Selanjutnya larutan tersebut didinginkan sampai mencapai suhu ruang. Nilai pH ditepatkan hingga 7.5±0.1 dengan 5 ml NaOH 0.275 N. Sebanyak 2.5 mg protease dimasukkan ke dalam sampel. Protease dapat pula digunakan dalam bentuk larutan (50 mg dalam 1 ml buffer fosfat) yang dibuat sesaat sebelum digunakan dan ditambahkan sebanyak 0.1 ml. Sampel ditutup kembali dengan alufo lalu diinkubasi selama 30 menit pada suhu 60oC dengan agitasi kontinyu. Sampel didinginkan dan ditambahkan 5 ml HCl 0.325 M. Nilai pH diukur hingga berkisar antara 4.0-4.6, jika nilai pH belum tercapai, dapat ditetesi kembali dengan asam. Enzim amiloglukosidase (AMG) ditambahkan sebanyak 0.15 ml dan sampel ditutup kembali dengan alufo. Selanjutnya diinkubasi kembali selama 30 menit pada suhu 60oC dengan agitasi kontinyu. Sebanyak 140 ml etanol 95% yang sebelumnya telah dipanaskan hingga suhunya 60oC (volume diukur setelah pemanasan) ditambahkan. Agar terbentuk endapan, sampel dibiarkan pada suhu kamar selama 60 menit. Secara kuantitatif endapan disaring melalui crucible. Sebelumnya, crucible yang mengandung celite ditimbang hingga keakuratan mendekati 0.1 mg. Residu dicuci dengan 3 x 10 ml etanol 78%, 2 x 5 ml etanol 95%, dan 2 x 5 ml aseton secara berturut-turut. Waktu yang dibutuhkan untuk pencucian dan penyaringan bervariasi antara 0.1 sampai 6 jam, rata-rata waktu yang dibutuhkan ialah 0.5 jam per sampel. Lamanya waktu filtrasi dapat dikurangi dengan penghisapan vakum secara hati-hati. Crucible yang mengandung residu dikeringkan selama satu malam di dalam oven vakum dengan suhu 70oC atau selama 5 jam di oven biasa pada suhu 105 oC. Kemudian crucible didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga keakuratan mencapai 0.1 mg. Untuk memperoleh bobot residu, kurangi dengan bobot crucible dan celite. Analisis residu dari satu sampel ulangan digunakan untuk analisis protein menggunakan metode Kjeldahl, faktor konversi yang digunakan ialah N x 6.25, kecuali pada kasus sampel yang diketahui nilai N dalam proteinnya. Sampel ulangan lainnya diabukan selama 5 jam pada suhu 525oC. Kemudian hasilnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga keakuratan mendekati 0.1 mg. Kurangi dengan bobot crucible dan celite untuk memperoleh bobot abu. Penentuan blanko : B = blanko = bobot residu – PB – AB (g) Bobot residu = bobot residu blanko (g) PB = bobot protein blanko (g) AB = bobot abu blanko (g) Perhitungan total serat pangan (TDF) : TDF (%) = [(bobot residu – P – A – B) / bobot sampel] x 100 Bobot residu = bobot residu masing-masing sampel (g) P = bobot protein residu (g) A = bobot abu residu (g) B = blanko (g) bobot sampel = bobot sampel yang diambil (g) Analisis Serat Pangan Tidak Larut (AOAC Official Methods 991.42) Prosedur yang dilakukan sama dengan analisis total serat pangan sampai tahap inkubasi dengan enzim selesai. Pada analisis serat pangan tidak larut, sampel tidak ditambahkan dengan etanol 95% 60oC. Residu dicuci dengan 2 x 5 ml air (melarutkan SDF), 2 x 5 ml etanol 95%, dan 2
16
x 5 ml aseton secara berturut-turut. Langkah pengeringan crucible dan analisis residu hingga tahap akhir serupa dengan prosedur total serat pangan. Penentuan blanko : B = blanko = bobot residu – PB – AB (g) Bobot residu = bobot residu blanko (g) PB = bobot protein blanko (g) AB = bobot abu blanko (g) Perhitungan serat pangan tidak larut (IDF) : IDF (%) = [(bobot residu – P – A – B) / bobot sampel] x 100 Bobot residu = bobot residu masing-masing sampel (g) P = bobot protein residu (g) A = bobot abu residu (g) B = blanko (g) bobot sampel = bobot sampel yang diambil (g) Analisis Serat Pangan Larut (by difference) Kadar serat pangan larut (SDF) ditentukan dengan mengurangi kadar total serat pangan dengan kadar serat pangan tidak larut. Perhitungan serat pangan larut (SDF) : SDF (%) = TDF (%) –IDF (%) Analisis Kadar Substansi Pektat Substansi pektat dihitung berdasarkan metode kolorimetrik McCready dan McComb (1952) yang telah dimodifikasi oleh Blumenkrantz dan Asboe-Hansen (1973). Anhidrouronat yang diperoleh dari hidrolisis terhadap substansi pektat dengan diberi orto-hidroksi difenil akan menghasilkan warna yang dapat diukur pada panjang gelombang 520 nm. Contoh yang telah dikeringkan ditimbang sebanyak 0.1 gram, diberi 10 ml etanol 70%, diaduk secara kontinyu selama 30 menit, lalu dibiarkan selama 1 jam untuk menghilangkan gula-gulanya. Kemudian larutan disaring dan endapan yang diperoleh diambil dan diberi 40 ml reagen Versene (larutan EDTA-4Na 0.5%). Larutan sampel diinkubasi selama 30 menit dengan agitasi kontinyu pada suhu ruang untuk melarutkan substansi pektat. Larutan diasamkan sampai pH 3.3-5.5 menggunakan asam asetat, selanjutnya ditambahkan 0.5 ml viscozyme (V2010) yang mengandung pektinase, silanase, arabinase, selulase, hemiselulase, dan β-glukanase. Larutan kembali diinkubasi pada suhu ruang selama 60 menit dengan agitasi kontinyu. Volume campuran ditepatkan sampai 50 ml dengan akuades, kemudian disaring menggunakan kertas saring Whatman 42 dan diperoleh filtrat. Filtrat dipipet sebanyak 0.8 ml, kemudian ditambahkan 4.8 ml larutan tetraborat dalam asam sulfat pekat (0.0125 M larutan Na2B4O7 dalam asam sulfat pekat). Larutan sampel didinginkan pada penangas es sampai suhu 4 ºC, dan di-vortex. Sampel dipanaskan dalam penagas air 100 ºC selama 5 menit, didinginkan kembali dalam penangas es sampai suhu 20 ºC. Sampel kemudian ditambahkan 0.08 ml larutan o-hidroksidifenil (0.075 g o-hidroksidifenil dilarutkan dalam NaOH 0.5%) dan divortex. Sampel dibiarkan selama ± 5 menit sampai terbentuk warna yang sempurna kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Blanko dibuat dengan memipet 0.8 ml aquades dan diperlakukan sama seperti sampel. Standar asam galakturonat ditimbang sebanyak 24.1 mg, ditambahkan 2 ml NaOH 0.05 N, diencerkan hingga volume 100 ml dengan aquades. Larutan standar dibiarkan semalam pada suhu kamar. Setiap ml larutan standar mengandung 24.1 mg/L asam galakturonat. Kurva standar
17
dibuat dengan mengencerkan larutan standar menggunakan aquades. Standar dipipet 0.8 ml dan direaksikan sama seperti pada sampel. Perhitungan kadar substansi pektat dengan persamaan regresi y = a + bx. Kadar substansi pektat (dihitung dari jumlah asam anhidrouronat yang terhidrolisis) Kadar substansi pektat (% bk) =
⁄
⁄
18
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kadar Serat Pangan Pucuk Kolesom yang Ditanam pada Musim Kemarau Kadar TDF, IDF, dan SDF pucuk kolesom yang ditanam pada musim kemarau ditampilkan pada Gambar 5. Berdasarkan hasil analisis, sampel kolesom yang dipupuk secara organik menunjukkan kadar total serat pangan (TDF) rata-rata yang lebih rendah daripada kolesom yang dipupuk secara anorganik (p < 0.05) (Lampiran 14). TDF kolesom dengan pupuk organik tercatat sebesar 40.52 ± 2.72 g/100 g basis kering, sementara TDF kolesom dengan pupuk anorganik sebesar 42.57 ± 1.84 g/100 g basis kering. Pada perlakuan pemupukan organik, kadar TDF tertinggi dimiliki sampel organik 4 dan organik 5, yakni sebesar 42.35 g/100 g bk. Pada perlakuan anorganik, kadar TDF tertinggi dimiliki sampel anorganik 2 sebesar 44.39 g/100 g bk. Secara berurutan, sampel dengan kadar TDF dari tinggi ke rendah antara lain sampel anorganik 2, anorganik 3, anorganik 1, organik 4, organik 5, anorganik 5, organik 3, anorganik 4, organik 1, dan terakhir organik 2. Namun, uji lanjut menunjukkan bahwa kadar TDF sampel anorganik 2 dan anorganik 3 tidak berbeda nyata (p = 0.187). Demikian halnya dengan sampel anorganik 3 dan anorganik 1 (p = 0.387); sampel anorganik 1, organik 4, dan organik 5 (p = 0.180); sampel organik 4, organik 5, anorganik 5, dan organik 3 (p = 0.157); serta sampel anorganik 4 dan organik 1 (p = 0.392). Ini artinya pada dosis pemupukan yang sama, nilai TDF berbeda nyata (p < 0.05) antara sampel organik dengan sampel anorganik, kecuali pada sampel organik 5 dan anorganik 5 (Lampiran 10). Data mengenai perhitungan kadar TDF ditampilkan pada Lampiran 1, 2, 3, dan 4. Hasil analisis serat pangan tidak larut (IDF) menunjukkan rata-rata IDF yang tidak berbeda antara sampel kolesom dengan pemupukan organik dan kolesom dengan pemupukan anorganik, yakni sebesar 27.12 g/ 100 g basis kering (p > 0.05) (Lampiran 15). Kadar IDF tertinggi pada sampel organik dicapai pada sampel organik 3 yakni sebesar 28.94 g/ 100 g bk, sementara kadar IDF tertinggi perlakuan pemupukan anorganik yakni 28.45 g/ 100 g bk pada sampel anorganik 1. Secara berurutan, sampel dengan kadar IDF dari tinggi ke rendah antara lain sampel organik 3, anorganik 1, anorganik 2, anorganik 5, organik 4, organik 1, organik 5, anorganik 3, anorganik 4, dan terakhir organik 2. Namun, uji lanjut menunjukkan bahwa kadar IDF antara sampel organik 3 dan anorganik 1 tidak berbeda secara signifikan (p = 0.179). Demikian halnya dengan sampel anorganik 1, anorganik 2, dan anorganik 5 (p = 0.081); anorganik 2, anorganik 5, organik 4, dan organik 1 (p = 0.107); antara sampel anorganik 5, organik 4, organik 1, dan organik 5 (p = 0.057); serta antara sampel organik 1, organik 5, anorganik 3, dan anorganik 4 (p = 0.051). Ini artinya pada perlakuan dosis pupuk yang sama, sampel dengan pemupukan organik dan anorganik mengandung IDF dengan nilai yang berbeda nyata (p < 0.05), kecuali sampel organik 5 dan anorganik 5 (Lampiran 11). Data dan perhitungan analisis kadar IDF ditampilkan pada Lampiran 5, 6, dan 7.
19
TDF (g/100 g basis kering)
100 80 60
39.51e
40
36.24f
41.47d
42.35cd
40.52±2.72** 42.57±1.84** 44.39a 43.35eb 43.16bc 39.69e 40.79d 42.35cd
20 0
1
2
3
4
5
ẋ
1
organik
2
3
4
5
ẋ
anorganik Perlakuan
IDF (g/100 basis kering)
a 100 80 60 27.12±1.54 27.77bcd a 27.57bc cde 28.94 de e 26.38e cd 27.17 27.00 ab 26.48 27.63 40 27.12±0.75 28.45 25.08f 20 0 1 2 3 4 5 ẋ 1 2 3 4 5 ẋ organik
anorganik Perlakuan
SDF (g/100 g basis kering)
b 100 80 60 15.41±1.85** 40 15.35b 14.70bc def 16.83a 17.16a bc ef cd ** cd 12.52 14.72 12.34 13.86 f 13.40±1.68 13.62 11.16 20 0 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 ẋ ẋ organik
anorganik Perlakuan c
a-f
: nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda pada tiap batang menunjukkan hasil analisis rata-rata TDF berbeda nyata antar sampel (nilai p < 0.05) ** : nilai rata-rata analisis TDF berbeda nyata untuk dua jenis perlakuan (nilai p < 0.05) Gambar 6. Histogram kadar serat pangan pucuk kolesom pada musim kemarau (a) TDF (b) IDF (c) SDF
Analisis serat pangan larut (SDF) pada sampel kolesom menunjukkan rata-rata SDF sampel kolesom dengan pemupukan anorganik (15.41 g/ 100 g bk) lebih tinggi daripada SDF sampel kolesom dengan pemupukan organik (13.40 g/ 100 g bk) (Lampiran 8). Uji t menunjukkan bahwa kadar SDF ini berbeda secara signifikan (p < 0.05) (Lampiran 16). Nilai SDF tertinggi pada perlakuan pemupukan organik terdapat pada sampel organik 5 sebesar 15.35 g/ 100 g bk, sedangkan pada pemupukan anorganik ada pada sampel anorganik 3 sebesar 17.16 g/ 100 g bk. Secara berurutan, sampel dengan kadar SDF dari tinggi ke rendah antara lain anorganik 3, anorganik 2, organik 5, organik 4, anorganik 1, anorganik 5, anorganik 4, organik 3, organik 1, dan terakhir organik 2. Namun, uji lanjut menunjukkan bahwa kadar SDF antara sampel anorganik 3 dan anorganik 2 tidak berbeda secara signifikan (p = 0.580). Demikian halnya dengan kadar SDF
20
antara sampel organik 5, organik 4, dan anorganik 1 (p = 0.352); antara sampel organik 4, anorganik 1, anorganik 5 dan anorganik 4 (p = 0.129); antara sampel anorganik 5, anorganik 4, dan organik 3 (p = 0.057); antara sampel anorganik 4, organik 3, dan organik 1 (p = 0.67); serta antara sampel organik 3, organik 1, dan organik 2 (p = 0.052). Ini artinya dosis pupuk yang sama antara pupuk organik dan anorganik memberikan nilai SDF yang berbeda nyata (p < 0.05), kecuali sampel organik 4 dan anorganik 4 (Lampiran 12). Proporsi komponen serat pangan sangat bervariasi antara satu bahan pangan dengan bahan pangan lainnya. Faktor-faktor seperti spesies, tingkat kematangan, bagian tanaman yang dikonsumsi dan perlakuan terhadap bahan tersebut, sangat berpengaruh terhadap komposisi kimia dan sifat fisik dari serat pangan (Anderson dan Clydesdale 1980). Sebagai contoh, Tabel 4 ini menampilkan kandungan serat pangan berbagai jenis sayuran. Tabel 4. Kadar serat pangan berbagai sayuran Jenis sayuran Kacang tanah
a
Nama latin Arachis hypogaea L.
b
Metode
Serat Pangan (g/100 g basis kering) TDF
IDF
SDF
Asp, 1995
10.91 ± 2.84
9.63 ± 2.50
1.18 ± 0.24
Kacang polong
Pisum sativum
AOAC, 1983
13.17 ± 1.64
11.31 ± 1.51
1.86 ± 0.86
Wortelc
Daucus carota L.
AOAC, 1990
26.78 ± 1.13
10.46 ± 1.26
16.32 ± 4.79
Tomat hijaud
Solanum lycopersicum
Asp, 1983
32.84 ± 0.23
25.22 ± 0.47
7.62 ± 0.24
Genjer
Limnocharis flava
Asp, 1983
39.38 ± 1.29
31.74 ± 0.94
7.62 ± 0.35
Kacang kedelai 1e Daun kolesom organik (musim kemarau) Daun kolesom anorganik (musim kemarau)
Glycine max (L.)
Asp, 1992
35.22 ± 0.23
30. 43 ± 0.25
4.79 ± 1.98
Talinum triangulare (Jacq.) Willd
AOAC, 1999
40.52 ± 2.72
27.12 ± 1.54
13.40 ± 1.68
Talinum triangulare (Jacq.) Willd
AOAC, 1999
42.57 ± 1.84
27.12 ± 0.75
15.41± 1.85
Daun jambu meted
Anacardium occidentale L. Ipomoea batatas
Asp, 1983
45.64 ± 1.29
39.98 ± 0.20
5.66 ± 1.09
d
Daun ubi jalard Pariad Kemangid d
Daun singkong Daun melinjo
d
Asp, 1983
46.66 ± 1.41
39.82 ± 0.28
6.82 ± 0.56
Momordica charantia Ocinum bassilicum ferina citratum Manihot utilissima
Asp, 1983
49.34 ± 1.09
42.96 ± 0.35
6.38 ± 0.42
Asp, 1983
50.63 ± 0.89
43.51 ± 2.00
7.12 ± 1.11
Asp, 1983
52.26 ± 2.72
43.03 ± 2.74
9.23 ± 0.01
Gnetum gnemon
Asp, 1983
57.45 ± 0.16
48.69 ± 0.25
876 ± 0.09
Daun pepayad
Carica papaya
Asp, 1983
57.46 ± 2.26
48.75 ± 0.35
8.71 ± 0.49
Kacang kedelai 2e
Glycine max (L.)
AOAC, 1999
59.42 ± 0.10
57.65 ± 0.23
1.31 ± 0.02
Pakisd
Cycas rumphii
Asp, 1983
60.97 ± 0.52
53.64 ± 0.81
7.33 ± 0.25
Pilea trinervia
Asp, 1983
67.03 ± 0.44
57.04 ± 0.25
9.99 ± 0.15
Asp, 1983
70.26 ± 1.06
67.29 ± 1.09
2.97 ± 0.03
AOAC, 1999
73.04 ± 5.46
68.42 ± 5.38
4.62 ± 0.24
AOAC, 1999
78.74 ± 2.60
73.55 ± 2.54
5.18 ± 0.48
Poh-pohan d
d
Beluntas Pluchea indica Daun kolesom Talinum triangulare organik (musim (Jacq.) Willd f hujan) Daun kolesom Talinum triangulare anorganik (musim (Jacq.) Willd f hujan) a Kutoz et al. (2003) b Stoughton-Ens et al. (2009) c Englyst dan Hudson (1996) d Desminarti (2001) e Jelita (2011) f Prabekti (2012)
21
Dibandingkan sayuran daun yang umum dikonsumsi masyarakat Indonesia, rata-rata TDF dan IDF pada sampel kolesom yang ditanam pada musim kemarau memang lebih rendah, berbeda dengan kolesom yang ditanam pada musim hujan yang memiliki kandungan TDF dan IDF yang tinggi. Namun, kolesom musim kemarau memiliki SDF yang lebih tinggi daripada sayuran kebanyakan. Sebagai contoh TDF dan IDF beluntas 70.26 g/ 100 g bk dan 67.29 g/100 g bk, sementara TDF dan IDF kolesom musim kemarau secara berturut-turut sebesar 40.52 g/100 g bk dan 27.12 g/ 100 g bk untuk sampel dengan pemupukan organik serta 42.57 g/ 100 g bk dan 27.12 g/100 g bk untuk sampel dengan pemupukan anorganik. Sementara itu, kadar SDF beluntas 2.97 g/ 100 g bk jauh lebih rendah daripada rata-rata kadar SDF kolesom musim kemarau dengan pemupukan organik dan anorganik, yakni sebesar 13.40 g/ 100 g bk dan 15.41 g/ 100 g bk. Prabekti (2012) menunjukkan bahwa kolesom segar memiliki kadar air rata-rata 90.39%. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa dari 100 g kolesom segar didapati 90-92 g air (Rifai 1994; Mensah et al. 2008). Pada penelitian ini tidak diukur kadar air pucuk kolesom segar. Oleh karena itu, perhitungan kadar serat pangan pucuk kolesom yang ditanam di musim kemarau ini menggunakan asumsi kadar air 90.39%. Data serat pangan pucuk kolesom basis basah disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Kadar serat pangan kolesom yang ditanam pada musim kemarau (g/100 g sampel segar) Serat Pangan Pemupukan organik Pemupukan anorganik TDF 3.89 4.09 IDF 2.61 2.61 SDF 1.29 1.48 Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan asumsi kadar air kolesom segar 90.39%, konsumsi 100 g kolesom yang ditanam pada musim kemarau akan dapat memberikan asupan serat pangan sebesar 3.89 – 4.09 g. FDA (Food and Drug Administration) menganjurkan konsumsi serat pangan sebesar 25 gram per hari untuk wanita dewasa dan 38 gram per hari untuk pria dewasa. Ini artinya untuk memenuhi kebutuhan serat pangan harian, kolesom perlu dikonsumsi sekitar 625 g bagi wanita dewasa dan 950 g bagi pria dewasa. Dengan kata lain, konsumsi 100 g kolesom yang ditanam pada musim kemarau akan menyumbang 10-16% TDF dan 9-13.9% IDF dari kebutuhan harian manusia. Hal ini jauh berbeda dengan asupan serat pangan dari kolesom yang ditanam pada musim hujan. Berdasarkan penelitian Prabekti (2012), dengan kandungan TDF dan IDF yang tinggi, 100 g kolesom yang ditanam pada musim hujan akan menyumbang sekitar 17-26% TDF dan 21.3-32.6% IDF dari kebutuhan harian manusia. Ini artinya untuk asupan TDF dan IDF yang sama, konsumsi kolesom yang ditanam pada musim kemarau harus lebih besar daripada konsumsi kolesom yang ditanam pada musim hujan. Bila kadar TDF dan IDF menjadi keunggulan kolesom yang ditanam pada musim hujan, kadar SDF menjadi keunggulan kolesom yang ditanam pada musim kemarau. Kadar SDF kolesom yang ditanam pada musim kemarau lebih tinggi dari kadar SDF berbagai jenis sayuran lain, kecuali wortel. Hal ini membuat kolesom yang ditanam pada musim kemarau berpotensi dapat menurunkan kadar kolesterol darah dengan baik. Brown et al. (1999) melakukan meta analisis atas 67 penelitian yang berfokus pada serat pangan larut (SDF). Hasilnya menunjukkan adanya pengurangan kolesterol darah secara signifikan seiring dengan meningkatnya konsumsi serat pangan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa konsumsi 2-10 g serat pangan larut per hari secara signifikan mengurangi total kolesterol dalam serum dan konsentrasi LDL-kolesterol. Ini artinya konsumsi 200 g kolesom yang ditanam pada musim kemarau akan memberikan asupan SDF sekitar 2.8 g, lebih dari cukup untuk memberikan efek pengurangan kadar kolesterol dalam darah
22
substansi pektat (g/100 g basis kering)
secara signifikan. Institute of Medicine di bawah naungan FDA merekomendasikan konsumsi SDF antara 20-30% dari konsumsi total serat pangan. Bila mempergunakan rekomendasi konsumsi serat pangan dari FDA ini, setidaknya dibutuhkan asupan SDF sebesar 5 gram bagi wanita dan 7.6 g bagi pria per harinya. Konsumsi kolesom yang ditanam pada musim kemarau sebanyak 200 g mencukupi kebutuhan SDF harian sekitar 55% bagi wanita dewasa dan 36% bagi pria dewasa. Konsumsi kolesom yang disarankan adalah sebesar 200 g kolesom segar/ hari dengan takaran saji sebesar 100 g kolesom segar. Dari kolesom yang ditanam pada musim kemarau, jumlah ini mampu mengurangi kadar kolesterol dalam darah secara signifikan dan memenuhi kebutuhan TDF harian sebesar 20-32% dan SDF sebesar 36-55%. Untuk mencukupi kebutuhan serat pangan sampai 100% perlu dikombinasikan dengan pangan lain yang memiliki kandungan serat pangan yang tinggi. Berbeda dengan hasil analisis TDF, IDF, dan SDF, sampel kolesom dengan pemupukan organik memiliki kadar substansi pektat (6.58 g/ 100 g bk) lebih tinggi dibandingkan sampel kolesom dengan pemupukan anorganik (6.01 g/ 100 g bk). Uji t pada taraf kepercayaan 95% memberikan nilai p 0.044 (Lampiran 17). Artinya hasil analisis kadar substansi pektat sampel dengan pemupukan organik dan anorganik menunjukkan perbedaan nyata (p < 0.05). Kadar substansi pektat tertinggi pada perlakuan pemupukan organik terdapat pada sampel organik 3, yakni 7.47 g/ 100 g bk. Sementara pada perlakuan pemupukan anorganik, sampel anorganik 3 memiliki kadar substansi pektat tertinggi, yakni sebesar 6.28 g/ 100 g bk. Secara berurutan, sampel dengan kadar substansi pektat dari tinggi ke rendah antara lain sampel organik 3, organik 4, organik 2, anorganik 3, anorganik 5, anorganik 2, anorganik 4, organik 1, organik 5, dan anorganik 1. Kadar substansi pektat antara sampel organik 4 dan organik 2 tidak berbeda nyata (p = 0.228). Demikian halnya dengan kadar substansi pektat antara sampel anorganik 3, anorganik 5, dan anorganik 2 (p = 0.56) serta antara anorganik 4, organik 1, dan organik 5 (p = 0.318) (Lampiran 13). Pada dosis pupuk yang sama, pemupukan dengan pupuk organik selalu menghasilkan kadar substansi pektat yang lebih tinggi daripada pemupukan dengan pupuk anorganik dengan nilai yang berbeda nyata (p < 0.05). Kadar substansi pektat pucuk kolesom yang ditanam pada musim kemarau ini ditampilkan pada Gambar 6, sementara data perhitungannya ditampilkan pada Lampiran 9 dan Lampiran 26.
a-e
**
10 8 6 4 2 0
a b 7.47 7.03b 5.77e 6.89
1
2
3
4
c 6.58±0.74** 6.20c 6.28c 5.88d 6.25 6.01±0.35** 5.76d 5.42e
5
ẋ
1
organik
2
3
4
5
ẋ
anorganik Perlakuan
: nilai rata-rata dengan huruf yang berbeda pada tiap batang menunjukkan hasil analisis rata-rata substansi pektat berbeda nyata antar sampel (nilai p < 0.05) : nilai rata-rata analisis substansi pektat berbeda nyata untuk dua jenis perlakuan (nilai p < 0.05) Gambar 7. Histogram kadar substansi pektat pucuk kolesom pada musim kemarau
Histogram pada Gambar 7 menunjukkan adanya pola yang mirip antara tren perubahan kadar substansi pektat kolesom pada musim kemarau dan kolesom pada musim hujan dengan pengaruh dosis pemupukan. Pada perlakuan pemupukan organik, kolesom yang ditanam pada
23
musim hujan memiliki kandungan substansi pektat yang relatif rendah pada dosis pupuk yang rendah (perlakuan organik 1), meningkat seiring meningkatnya dosis pupuk pada perlakuan organik 2, 3, dan 4, lalu menurun kadar substansi pektatnya pada dosis pupuk tertinggi yakni pada perlakuan organik 5. Pada kolesom yang ditanam di musim kemarau, pola perubahan kadar substansi pektat hampir serupa. Kadar substansi pektat relatif rendah pada perlakuan 1, lalu meningkat seiring meningkatnya dosis pupuk pada perlakuan 2 dan 3. Namun, sedikit berbeda dengan kolesom di musim hujan, sampel di musim kemarau mulai menunjukkan penurunan kadar substansi pektat pada perlakuan organik 4, dilanjutkan dengan penurunan berikutnya pada perlakuan organik 5. Sebagaimana pada perlakuan pemupukan organik, pada perlakuan pemupukan anorganik, kolesom yang ditanam pada musim hujan memiliki kadar substansi pektat yang rendah pada dosis pemupukan rendah (perlakuan anorganik 1), dan meningkat seiring meningkatnya dosis pupuk di perlakuan anorganik 2. Kadar substansi pektat ini lalu menurun pada perlakuan anorganik 3 dan 4, dan meningkat kembali pada perlakuan anorganik 5. Pola ini juga terjadi pada kolesom yang ditanam di musim kemarau, namun penurunan kadar substansi pektat baru terjadi pada perlakuan anorganik 4 dan meningkat kembali kadarnya pada perlakuan anorganik 5. Hal ini menunjukkan bahwa pada musim apapun kenaikan dan penurunan kadar substansi pektat sama-sama dipengaruhi oleh dosis pemupukan. Pada sampel kolesom ini, substansi pektat menyusun SDF pada proporsi yang cukup besar, sekitar 36.60-61.74% . Dengan memperhatikan hal ini, tingginya kadar SDF pada kolesom yang ditanam pada musim kemarau kemungkinan disumbang dari kenaikan kadar substansi pektat kolesom pada musim kemarau. Perbandingan antara kadar SDF dan substansi pektat ditampilkan pada Gambar 8.
Substansi pektat g/ 100 g basis kering)
10 8 6
6.89
7.47
7.03
5.77
4 3.16
5.76 3.87
3.73
4.05
3.37
6.58
3.64
6.28 5.88 6.25 6.01 6.2 5.42 5.00 4.27 4.13 4.33 4.23 3.67
2 0 1
2
3
4
ẋ
5
1
2
3
4
ẋ
5
organik
anorganik Perlakuan musim hujan (Prabekti 2012) musim kemarau
kadar komponen (g/100 g basis kering)
Gambar 8. Histogram perbandingan kadar substansi pektat pucuk kolesom pada musim hujan dan kemarau
20
14.72 15.35
15 12.34 11.16 12.52 10 6.89 7.47 5.77
7.03
13.40
14.70
16.83 17.16 13.62 13.86
15.41
5.76
6.58
5.42
6.20
6.28
5.88
6.25
6.01
5
ẋ
1
2
3
4
5
ẋ
5 0 1
2
3
4
organik SDF
anorganik Perlakuan substansi pektat
Gambar 9. Histogram perbandingan kadar SDF dan substansi pektat pucuk kolesom pada musim kemarau
24
Pektin merupakan komponen penting dari serat pangan larut dan terdapat dalam jumlah cukup besar dalam sampel kolesom. Sebagaimana yang ditampilkan pada Tabel 6, kandungan pektin pada kolesom yang ditanam pada musim kemarau, khususnya yang diberi pemupukan organik, lebih besar daripada pektin pada berbagai buah atau sayuran lain. Pektin pada kolesom musim kemarau yang diberi pemupukan organik lebih tinggi dari kandungan pektin rasberi, lengkeng, kolesom yang ditanam pada musim hujan, kacang-kacangan, apel, jeruk orange, dan ubi jalar. Namun kandungan pektin ini lebih rendah dari pektin pada anggur, grapefruit, dan wortel. Kolesom musim kemarau yang diberi pemupukan anorganik memiliki kandungan pektin lebih rendah daripada kolesom yang diberi pemupukan organik, namun masih tetap lebih tinggi daripada banyak buah dan sayur lain, seperti rasberi, lengkeng, kolesom yang ditanam pada musim hujan, apel, kacang-kacangan, dan jeruk orange. Kandungan pektin yang tinggi membuat kolesom sangat baik untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Berbagai penelitian membuktikan bahwa pektin sebagai bagian dari serat pangan larut (SDF) dapat mengurangi kadar kolesterol dalam darah (Story dan Kritchevsky 1977; Brown et al. 1990; Hunninghake et al. 1994; Baker 1994). Penelitian Baker (1994) menunjukkan bahwa pektin sebesar 0.23 g/100 g dari kulit buah jeruk orange yang dicampurkan ke dalam ransum dapat menurunkan kadar LDL tikus percobaan hingga 5% serta menurunkan respon glukosanya. Pada manusia, Palmer dan Dixon (1966) memaparkan bahwa konsumsi pektin sebesar 6-10 gram per hari memberikan efek hipokolesterolemik. Tabel 6. Kadar pektin pada beberapa jenis buah dan sayuran Kadar Pektin (g/100 g Sumber Nama Latin sampel segar) Rasberia Lengkenga Kolesom organik (musim hujan)b Kolesom anorganik (musim hujan)b Apelc Kacang-kacanganc Jeruk orangec Kolesom anorganik (musim kemarau) Ubi jalard Jeruk lemond Kolesom organik (musim kemarau) Grapefruite Anggurf Wortelc
Rubus idaeus Dimocarpus longan Talinum triangulare (Jacq.) Willd Talinum triangulare (Jacq.) Willd Pyrus malus Legumoniceae Citrus sinensis Talinum triangulare (Jacq.) Willd Ipomoea batatas Citrus limon Talinum triangulare (Jacq.) Willd Citrus x paradise Vitis vinifera Daucus carota L.
0.34 0.34 0.35 0.40 0.39-0.49 0.43-0.63 0.57 0.58 0.61 0.63 0.63 0.65 0.7-0.8 0.72-1.01
a
Voragen et al. (1983) yang dikutip dalam Baker (1997) Prabekti (2012) c Ross et al. (1985) yang dikutip dalam Baker (1997) d Vollendorf dan Marlett(1993) yang dikutip dalam Baker (1997) e Graumlich (1981) yang dikutip dalam Baker (1997) f Morrison (1990) yang dikutip dalam Baker (1997) b
25
4.2 Analisis Perbandingan Kadar Serat Pangan Pucuk Kolesom yang Ditanam pada Dua Musim
100 80
78.74
73.04
60
42.57
40.52
40 20 0 organik
IDF (g/100g berat kering)
TDF (g/100g berat kering)
Meta analisis dilakukan dengan membandingkan kandungan serat pangan antara penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Prabekti (2012). Kedua penelitian ini menggunakan sampel kolesom dengan parameter analisis dan perlakuan pemupukan yang sama. Sampel penulis ditanam pada periode musim kemarau (Mei-Juli 2011) sementara sampel Prabekti ditanam pada periode musim hujan (Maret-Mei 2011). Histogram perbandingan rata-rata kadar TDF, IDF, SDF, dan substansi pektat dari sampel kolesom dengan perlakuan pemupukan organik dan anorganik pada musim hujan dan kemarau disajikan pada Gambar 8. Hasil meta analisis ini menunjukkan bahwa secara umum, kandungan serat pangan kolesom sangat dipengaruhi oleh musim dan perlakuan pemupukan organik dan anorganik. Kandungan serat pangan (TDF, SDF, IDF, dan substansi pektat) antara kolesom pada musim hujan dengan kolesom pada musim kemarau menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan (p < 0.01) baik pada pemupukan organik maupun anorganik (Lampiran 18-25). Ini artinya, pemupukan organik maupun anorganik memberikan hasil TDF, IDF, SDF, dan substansi pektat yang berbeda sangat nyata (p < 0.01) pada musim yang berbeda. Perlakuan pemupukan organik dan anorganik umumnya memberikan hasil yang berbeda nyata (p < 0.05) pada kolesom di masing-masing musim, kecuali pada parameter IDF di musim kemarau. Pada musim ini, apapun jenis pemupukan, baik organik maupun anorganik, kadar IDF kolesom tidak berbeda nyata.
100 80
73.55
68.42
60 40 20 0
anorganik
organik
Perlakuan
80 60 40 4.62
13.4
15.41 5.18
0 organik
anorganik
Perlakuan
c : musim hujan **
Substansi pektat (g/100g basis kering)
SDF (g/100g berat kering)
b
**
20
anorganik
Perlakuan
a
100
27.12
27.12
10 8 6 4 2 0
**
**
**
**
6.58
6.01 4.27
3.64
organik
anorganik
Perlakuan
d
: musim kemarau : nilai rata-rata analisis berbeda nyata untuk dua jenis perlakuan (nilai p < 0.05)
Gambar 10. Histogram perbandingan serat pangan kolesom pada musim hujan dan kemarau (a) TDF, (b) IDF, (c) SDF, dan (d) substansi pektat
26
Pada perlakuan pemupukan organik, kadar TDF, IDF, SDF, dan substansi pektat antara kolesom yang ditanam pada musim hujan dengan kolesom yang ditanam pada musim kemarau menunjukkan perbedaan yang sangat signifikan (p < 0.01). Pada kolesom yang dipupuk secara organik, rata-rata kadar TDF dan IDF pada musim hujan mencapai 73.04 g/100 g bk dan 68.42 g/ 100 g bk, jauh di atas rata-rata kadar TDF dan IDF sampel organik pada musim kemarau, yakni 40.52 g/100 g bk dan 27.12 g/100 g bk. Sementara itu, rata-rata kadar SDF dan substansi pektat kolesom yang ditanam pada musim kemarau menunjukkan hasil yang lebih tinggi, yakni 13.40 g/100 g bk dan 6.58 g/100 g bk, dibandingkan rata-rata kadar SDF dan substansi pektat sampel pada musim hujan yang hanya 4.62 g/100 g bk dan 3.64 g/100 g bk. Pada kolesom yang dipupuk secara anorganik, rata-rata kadar TDF dan IDF kolesom yang ditanam pada musim hujan (78.74 g/ 100 g bk dan 73.55 g/ 100 g bk) masih lebih tinggi dibanding parameter yang sama pada sampel kolesom yang ditanam pada musim kemarau (42.57 g/100 g bk dan 27.12 g/100 g bk). Sebaliknya rata-rata kadar SDF dan substansi pektat kolesom pada musim kemarau (15.41 g/100 g bk dan 6.01 g/100 g bk) lebih tinggi daripada rata-rata kadar SDF dan substansi pektat kolesom yang ditanam pada musim hujan (5.18 g/100 g bk dan 4.27 g/100 g bk). Nilai gizi suatu tanaman didefinisikan sebagai komposisi kimia dan potensi daya cerna yang merupakan faktor kimiawi, fisik, dan struktural yang diturunkan pada tanaman dimana kesemuanya sangat tergantung pada faktor eksternal, termasuk musim tanam dan teknik budidaya (Moore 1994). Sebagai contoh adalah pembentukan senyawa metabolit sekunder tanaman yang dipengaruhi oleh perubahan lingkungan, misalnya perubahan temperatur siang dan malam, curah hujan, kekeringan, serta lama dan intensitas cahaya matahari (Siatka & Kasparova 2010; Marsic et al. 2011). Eppendorfer dan Eggum (1995) juga melaporkan bahwa kondisi tempat pertumbuhan tanaman mempengaruhi kandungan TDF serta distribusi SDF dan IDF. Pada saat musim kemarau, tanaman mengalami cekaman kekeringan karena curah hujan yang rendah dan lama penyinaran yang tinggi. Hal ini diduga membuat suhu tanah meningkat. Jumin (2005) menjelaskan bahwa suhu mempengaruhi dosis pemupukan dalam tanah. Suhu yang lebih tinggi seharusnya diiringi peningkatan dosis pemupukan yang lebih besar karena berkurangnya kandungan N dalam tanah. Suhu tanah yang tinggi mengakibatkan mineralisasi bahan organik dan pupuk lebih cepat. Nitrifikasi lebih besar daripada amonifikasi sehingga nitrat yang terbentuk lebih besar daripada laju penyerapan tanaman. Akibatnya banyak nitrat yang tercuci ke lapisan bawah. Di samping itu, jumlah amonium yang terbentuk dari proses amonifikasi sering kali tidak dapat langsung digunakan oleh tanaman karena kondisi udara yang oksidatif mendorong nitrifikasi lebih lancar sehingga kemampuan tanaman dalam menerapkan N terbatas. Kondisi ini diperparah dengan terbatasnya air yang tersedia dalam tanah saat musim kemarau. Air merupakan media untuk penyerapan unsur hara dari dalam tanah ke tanaman. Kurangnya air membuat penyerapan unsur-unsur hara menjadi kurang optimal. Kondisi kekeringan, jumlah N dan unsur hara tersedia yang rendah, dan terhambatnya penggunaan N oleh tanaman membuat penyerapan dan penggunaan unsur-unsur hara, termasuk N, menjadi terbatas. Unsur N sendiri merupakan komponen penyusun klorofil. Senyawa klorofil merupakan pigmen penangkap cahaya yang digunakan dalam reaksi terang fotosintesis. Berkurangnya pasokan N membuat sintesis klorofil menurun. Hal ini dibuktikan dengan data sekunder dari Mualim (2012) yang menunjukkan total klorofil pada tanaman kolesom pada musim kemarau lebih rendah daripada kolesom pada musim hujan. Hal ini membuat proses fotosintesis yang terjadi pada kolesom pada musim kemarau kurang optimal dibandingkan dengan kolesom pada musim hujan. Akibatnya sintesis karbohidrat, termasuk serat pangan, juga terhambat.
27
Selain itu, akibat ketersediaan air yang terbatas, tanaman kolesom pada musim kemarau mengalami cekaman kekeringan. Pada saat mengalami cekaman, tanaman cenderung mensintesis metabolit sekunder dalam bentuk senyawa-senyawa antioksidan, misalnya vitamin C, senyawa fenolik, antosianin, dan flavonoid. Senyawa-senyawa ini membantu tanaman menghadapi radikal bebas dan oksidasi. Akibatnya terjadi kompetisi subtrat untuk sintesis senyawa antioksidan dan karbohidrat. Substrat yang tersedia untuk sintesis senyawa karbohidrat seperti serat pangan terbatas sehingga pada akhirnya mengurangi kandungan serat pangan tanaman pada musim kemarau. Mualim (2012) menyebutkan bahwa pada musim kemarau, tanaman kolesom memiliki total fenolik tinggi namun aktivitas PAL (phenylalanine ammonia lyase) yang rendah. Hal ini menunjukkan senyawa fenolik ini sebagian besar disintesis melalui lintasan asam malonat dengan prekursor berupa asetil koenzim A hasil glikolisis, bukan dari lintasan fenilpropanoid. Akibatnya, terjadi kompetisi substrat untuk pembentukan fenolik dan klorofil, karena keduanya menggunakan prekursor yang sama. Karena sintesis fenolik meningkat akibat adanya cekaman kekeringan, maka kandungan klorofil tanaman pun menurun. Pada akhirnya, hal ini membuat hasil fotosintesis dan sintesis serat pangan berkurang. Hal ini diperkuat dengan data Mualim (2012) yang menunjukkan bahwa pada musim kemarau, kandungan klorofil kolesom lebih rendah, sementara kadar total fenolik dan total flavonoid lebih tinggi daripada pada musim hujan (p < 0.05). Dalam menghadapi cekaman kekeringan, tanaman melakukan pengaturan osmotik (osmotic adjustment). Adaptasi ini berfungsi untuk menurunkan potensial osmotik tanaman sehingga memungkinkan tanaman tetap menyerap air dari dalam tanah dalam kondisi kekeringan sekalipun. Pengaturan osmotik ini dilakukan dengan cara mengakumulasi zat tertentu yang sesuai yang dapat menurunkan potensial osmotik tanaman tanpa membatasi fungsi enzim. Senyawasenyawa tersebut di antaranya sukrosa, asam amino (prolin dan glisin betain), mannitol, sorbitol, serta inositol dan turunannya (Morgan 1984; Turner dan Jones 1980; Styer 2000; Sheveleva et al. 1997). Sebagai contoh Nicotina tabacum transgenik yang mengakumulasi D-ononitol menunjukkan penghambatan fotosintesis yang lebih sedikit dalam menghadapi cekaman air dan salinitas (Sheveleva et al. 1997). Saat cekaman terjadi, inositol, D-ononitol, dan D-pinitol melindungi tanaman dengan dua mekanisme, yakni melindungi struktur sel dari radical oxygen species (ROS) dan mengontrol tekanan turgor sel (Styer 2000). Inositol sendiri merupakan prekursor dari serat-serat pangan. Inositol akan dioksidasi untuk membentuk uridin difosfat (UDP)-D-galakturonat dan UDP gula lain, misal UDPglucuronat dan UDP-L-arabinosa (Styer 2000). Senyawa glucuronat merupakan prekursor dari komponen serat pangan larut, misalnya hemiselulosa, gum, musilage, dan pektin (Cseke et al. 2006). Towle dan Christensen (1973) menyebutkan bahwa komponen utama pektin adalah asam D-galakturonat, juga terdapat L-arabinosa, D-galaktosa, dan L-ramnosa dalam jumlah yang beragam. Akumulasi inositol sebagai mekanisme pengaturan osmotik tanaman kemungkinan mendorong sintesis SDF, terutama substansi pektat. Dalam penelitian ini yang dianalisis hanya kandungan SDF saja, tanpa mengukur kandungan inositol atau senyawa antara lainnya. Namun, bila melihat keterkaitan antara pengaruh cekaman kekeringan dan akumulasi inositol dari berbagai literatur, tingginya kadar SDF khususnya substansi pektat sangat mungkin disebabkan oleh mekanisme ini.
28
4.3 Perbandingan Produksi Pucuk Kolesom yang Ditanam pada Dua Musim yang Berbeda Penelitian Mualim (2012) menunjukkan bahwa secara umum pada dua musim, produksi pucuk kolesom yang diberi pupuk organik 11.64% lebih tinggi dari kolesom yang diberi pupuk anorganik. Produksi pucuk kolesom rata-rata per tanaman ini ditampilkan pada Tabel 7. Dengan asumsi kadar air kolesom 90.39% (Prabekti 2012), maka dari tanaman kolesom yang dipupuk secara organik diperoleh sekitar 11.795 g serat pangan/ tanaman. Sementara itu, dari tanaman kolesom yang dipupuk secara anorganik diperoleh sekitar 11.825 g serat pangan/ tanaman. Tabel 7. Bobot basah pucuk kolesom dengan pemupukan organik dan anorganik Bobot basah pucuk (g/tanaman) Perlakuan Musim Hujan
Musim Kemarau
Rata-rata
Organik
188.52
298.88
243.70
Anorganik
218.77
217.79
218.28
(Mualim 2012)
Pupuk organik memberikan kondisi yang lebih kondusif di daerah perakaran tanaman. Bahan organik menyebabkan tanah dapat mengikat air lebih banyak dan meningkatkan daya serap akar terhadap air. Hal ini membuat pertumbuhan tanaman lebih baik dibandingkan kolesom yang diberi pupuk anorganik karena air merupakan media masuknya zat hara ke dalam tanaman. Ketersediaan air sangat penting bagi pertumbuhan tanaman, khususnya yang ditanam pada musim kemarau, mengingat rendahnya curah hujan pada periode ini. Pada musim kemarau, dengan adanya cahaya matahari yang melimpah, tanaman memperoleh energi yang cukup untuk pertumbuhan tajuk. Data iklim saat musim kemarau menunjukkan lama penyinaran sebesar 85.27%, lebih tinggi dari lama penyinaran pada musim hujan yakni 63.99% (Mualim 2012). Perpaduan antara sinar matahari yang melimpah dan efek pengikatan air oleh pupuk organik kemungkinan membuat bobot basah pucuk kolesom yang diberi perlakuan pemupukan organik meningkat. Pada kolesom yang diberi perlakuan pemupukan anorganik, kondisi perkaran tidak seoptimal kolesom yang dipupuk secara organik sehingga penyerapan zat hara pun terbatas. Oleh karena itu, walaupun tanaman sama-sama memperoleh penyinaran yang melimpah, kolesom yang dipupuk secara anorganik tidak memproduksi pucuk sebanyak kolesom yang dipupuk secara organik. Namun, rendahnya kadar total serat pangan kolesom yang dibudidayakan pada musim kemarau menunjukkan bahwa kendati tajuk tanaman lebih banyak, tanaman bersifat lebih kamba. Sementara itu dengan produksi pucuk yang lebih rendah dan serat pangan yang tinggi, kolesom yang dibudidayakan pada musim hujan memiliki densitas lebih tinggi. Ini artinya, untuk dapat memberikan asupan serat pangan dalam jumlah yang sama, kolesom yang harus dikonsumsi pada musim kemarau harus lebih banyak daripada saat musim hujan. Dengan kandungan SDF dan pektin yang tinggi, konsumsi kolesom segar yang ditanam pada musim kemarau pada semua perlakuan sebanyak 200 g/ hari telah melebihi syarat minimal konsumsi untuk menurunkan kadar kolesterol dalam darah secara signifikan. Kolesom segar pada jumlah ini akan memberikan asupan SDF sekitar 36-55% dari kebutuhan SDF harian. Hal ini akan semakin baik bila ditunjang dengan kadar IDF yang tinggi untuk menjaga kesehatan saluran pencernaan. Dengan pertimbangan ini, kolesom dengan perlakuan organik 3 dapat menjadi pilihan karena memiliki kadar substansi pektat dan IDF tertinggi, yakni pemupukan dengan pupuk kandang, guano, dan abu sekam dengan dosis N 46.01 kg/ha, P2O5 21.60 kg/ha, dan K2O 60.5 kg/ha. Prabekti (2012) juga menyatakan bahwa pada kolesom yang ditanam pada musim hujan,
29
perlakuan ini menghasilkan kadar TDF, IDF, SDF dan substansi pektat yang secara konsisten relatif lebih tinggi dibanding sampel-sampel dengan perlakuan lainnya. Hal ini diperkuat dengan data Mualim (2012) yang menunjukkan produksi pucuk kolesom yang dipupuk secara organik lebih tinggi daripada kolesom yang dipupuk secara anorganik.
30
V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada musim kemarau, kolesom yang dibudidayakan dengan pemupukan anorganik memiliki kadar rata-rata TDF dan SDF yang lebih tinggi dibandingkan kolesom yang dipupuk secara organik. Sebaliknya kadar substansi pektat kolesom dengan pemupukan organik lebih tinggi dibandingkan kolesom dengan pemupukan anorganik. Sementara itu, nilai IDF keduanya sama. Semuanya berbeda secara nyata pada taraf kepercayaan 95%, kecuali untuk substansi pektat. Rata-rata kadar TDF basis kering sampel kolesom organik sebesar 40.52 ± 2.72 g/100 g, sedangkan pada sampel anorganik sebesar 42.57 ± 1.84 g/100 g. Rata-rata kadar IDF basis kering sampel kolesom organik sebesar 27.12 1.54 g/100 g, sedangkan pada sampel anorganik sebesar 27.12 0.75 g/100 g. Kadar IDF di dalam kolesom lebih tinggi dibandingkan kandungan SDF. Rata-rata kadar SDF basis kering sampel kolesom organik sebesar 13.40 g/100 g, sedangkan pada sampel anorganik sebesar 15.41 g/100 g. Sementara itu, rata-rata kadar substansi pektat basis kering sampel kolesom organik sebesar 6.58 0.74 g/100 g, sedangkan pada sampel anorganik sebesar 6.01 0.35 g/100 g. Konsumsi kolesom yang disarankan adalah sebesar 200 g/ hari dengan takaran saji sekitar 100 g. Meta-analisis menunjukkan bahwa kolesom yang ditanam pada musim kemarau memiliki kadar TDF dan IDF yang lebih rendah serta SDF dan substansi pektat yang lebih tinggi dibandingkan kolesom yang ditanam pada musim hujan (p < 0.05), baik dengan pemupukan organik maupun anorganik. Pada kedua musim, kolesom yang diberi perlakuan pemupukan organik 3 memberikan asupan serat pangan relatif lebih seimbang dibandingkan sampel lainnya. Hal ini didukung dengan produksi pucuk yang lebih tinggi pada kolesom yang dipupuk secara organik dibandingkan kolesom yang dipupuk secara anorganik.
5.2 Saran Berdasarkan hasil dianalisis, disarankan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai komponen karbohidrat pada kolesom, misalnya profil oligosakarida dan inositol. Hal ini penting untuk mengetahui pengaruh perlakuan pemupukan dan musim secara lebih tepat pada biosintesis serat pangan dengan mengamati senyawa-senyawa antara pada lintasan biosintesisnya.
31
DAFTAR PUSTAKA [AACC] American Association of Cereal Chemist. 2001. American Association of Cereal Chemist: The Definition of Dietary Fiber. AACC Report vol.46, no.3. Abu-Zahra TR, Al-Ismail K, Shatat F. 2007. Effect of organic and conventional systems on fruit quality of strawberry (fragaria x ananassa duch) grown under plastic house conditions in the Jordan Valley. Acta Hort. (ISHS) 741, 159–171. Adeyemi O, Oyeniyi O, Mbagwu H, Jackson C . 2011. Evaluation of the gastrointestinal activity of the aqueous root extract of Talinum triangulare. Res. Pharm. Biotech. Vol. 3(6), pp. 61-67. Aiyeloja AA, Bello OA. 2006. Ethnobotanical potentials of common herbs in Nigeria: a case study of Enugu State. Edul. Res. Rev. 1:16-22. Aja PM, Okaka ANC, Onu PN, Ibiam U, Urako AJ. 2010. Proximate Analysis of Talinum triangulare (Water Leaf) Leaves and its Softening Principle. Pakistan J. Nutr. (9) 6: 524528. Aja PM, Okaka ANC, Onu PN, Ibiam U, Urako AJ. 2010. Phytochemical Composition of Talinum triangulare (Water Leaf) Leaves. Pakistan J. Nutr. 9 (6): 527-530. Almatsier S. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Anderson NE, Clydesdale FM. 1980. Effect of processing on the dietary fiber content of wheat bran, pureed green beans and carrots. J. Food Sci. 45: 1533-1537. Anderson JW, Ward K. 1979. High carbohydrate, high-fiber diets for insulin treated men with diabetes mellitus. Am. J. Clin. Nutr. 32:2312-2321. Anna IW. 2010. Produksi pucuk kolesom (Talinum triangulare (Jacq.) Willd) pada berbagai interval panen dan pemupukan N dan K. Skripsi. Fakultas Pertanian-IPB, Bogor. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. AOAC Inc. Arlington, Virginia. Baker RA. 1997. Reassessment of some fruit and vegetables pectin levels. J. Food Sci. 62 (2): 225-229. Benbrook Ch, Zhao X, Yanez J, Davies N, Andrews P. 2008. New Evidence Confirms the Nutritional Superiority of Plant-Based Organic Foods. State of Science Review. Blumenkrantz dan Asboe-Hansen. 1973. New method for quantitative determination of uronic acid. Analytical Chemistry 54, 484-489. Brown L, Rosner B, Willett WW, Sacks FM. 1999. Cholesterol-lowering effects of dietary fiber: a meta-analysis. Am. J. Clin. Nutr. 69:30-42. Burkitt DF. 1983. The development of the fiber hypothesis. Di dalam Birch GG dan Parker KJ (eds.). Dietary Fiber. Applied Science Publ. London. Campbel NA, Reece JB, Mitchell LG. 2002. Biologi Jilid 2. Terjemahan dari: Biology. Penerjemah: Lestari R dkk. Jakarta: PT Balai Pustaka. Carbonaro M, Mattera M, Nicoli S, Bergamo P, Cappelloni M. 2002. Modulation of antioxidant compounds in organic vs. conventional fruit (peach Prunus persica L., and pear Pyrus communis L.). J. Agric. Food Chem. 50(19), 9–11. Cockburn dan Street. 1972. Plant Metabolism. New York: Pergamon Press. Cseke LJ, Kirakosyan A, Kaufman PB, Warber S, Duke JA, Brielmann HL. 2006. Natural Products from Plants. Boca Raton: CRC Press. De Lima VAG, Melo EDA, Lima LS. 2001. Physicochemical Characteristics of Bilimbi (Averrhoa bilimbi L.). Rev. Bras. Frutic., Jaboticabal - SP, v. 23, n. 2, p. 421-423.
32
De Martin S, Restani P. (2003). Determination of nitrates by a novel ion chromatographic method: occurrence in leafy vegetables (organic and conventional) and exposure assessment for Italian consumers, Food Additives and Contaminants, 20(9), 787-792. Eppendorfer EH, Eggum BO. 1996. Fertilizers effects on yield, mineral and amino acid composition, dietary fiber and nutritive value of leeks. Plant Foods for Human Nutrition 49: 163-174. Gardner FP, Pearce RB, dan Mitchel RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Terjemahan dari : Physiology of Crop Plant. Penerjemah : H. Susilo. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Glicksman. 1969. Gum Technology in the Food Industry. Academic Press. New York. Hakim N, Nyakpa MY, Lubis AM, Nugroho SG, Diha MA, Hong GB, Bailey HH. 1986. Dasardasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung. Hallmann E, Rembiałkowska E. 2006. Antioxidant compounds content in selected onion bulbs from organik and conventional cultivation. J. Res. Appl. Agric. Eng. 51 (2): 42-46. Hara H. 1999. Short-Chain Fatty Acids Suppress Cholesterol Synthesis in Rat Liver and Intestine. J. Nutr. 942-948. Hargono D. 2005. Menambah Energi dengan Bahan Alami. Herba 35: 18-21. Hasibuan BE. 2006. Pupuk dan Pemupukan. Medan: Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Havlin JL, Tisdale SL, Beaton JD, Nelson WL. 2005. Soil Fertility and Fertilizer : An Introduction to Nutrient Management. 7th edition. Pearson Prentice Hall. New Jersey. Humble GD dan Hsiao TC. 1969. Specific requirement of potassium for light-activated opening of stomata in epidermal strips. Plant Physiol. 44: 230-234. Hunninghake DB, Miller VT, LaRosa JC, Kinosian B, Brown V, Howard WJ, DiSerio FJ, O’Connor RR. 1994. Hypocholesterolemic effects of a dietary fiber supplement. Am. J. Clin. Nutr. 59:1050-1054. Hutapea JR. 1994. Inventaris Tanaman Obat Indonesia III. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI. Jircas. 2010. Talinum triangulare (Jacq.) Willd. (Portulacaceae). http://www.jircas.affrc.go.jp. [2 Februari 2011]. Jones JB. 1998. Plant Nutrition Manual. Florida: CRC Press. Jumin HB. 2005. Dasar-Dasar Agronomi. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Kertesz ZA. 1951. The Pectic Substance. London: Interscience Publisher Ltd. Khaw KT, Barrett-Connor E. 1987. Dietary fiber and reduced ischemic heart disease mortality rates in men and women: a 12-year prospective study. Am. J. Epidemiol. 126(6):10931102. Kiehm TG, Anderson JW, Ward K. 1976. Beneficial effects of a high carbohydrate, high fiber diet on hyperglycemic men. Am. J. Clin. Nutr. 29:895-899. Kristensen KT, Dresboll DB, Kristensen HL. 2012. Crop yield, root growth, and nutrient dynamics in a conventional and three organic cropping systems with different levels of external inputs and N re-cycling through fertility building crops. Europ. J. Agronomy 37:66-82. Loewus FA. 2006. Inositol and Plant Cell Wall Polysaccharide Biogenesis. Dalam: A. Lahiri Majumder dan B. B. Biswas (eds.). Biology of Inositols and Phosphoinositides, 21–46. Netherlands: Springer. Lingga dan Marsono. 2007. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Jakarta: Penebar Swadaya.
33
Malkki Y, Virtanen. 2001. Gastrointestinal effects of oat bran and gum: a review. LWT Food Science and Technology. p.337-347. Marschner H. 1995. Mineral Nutrition of Higher Plants. Ed ke-2. London: Academic Press Limited. Marsic NK, Gasperlin L, Abram V, Budic M, Vidrih R. 2011. Quality parameters and total phenolic content in tomato fruits regarding cultivar and microclimatic conditions. Turk. J. Agric. For. 35:185-194. Mohammadkhani N, Heidar R. 2008. Drought-induced Accumulation of Soluble Sugars and Proline in Two Maize Varieties. World Applied Sciences Journal 3 (3): 448-453. Moore JE. 1994. Forage quality indices: Development and application. p 967-998. Dalam GC Fahey (ed.) Forage quality, evaluation, and utilization. ASA, CSSA, and SSSA. Madison. Morgan JM. 1984. Osmoregulation and waterstress in higher plants. Annual Review Plant Phys. 35: 299-319. Mosali J, Girma K, Teal RK, Freeman KW, Martin KL, Raun WR. 2005. Effect of foliar application on winter grain yield, phosporus uptake and use efficiency. J. Plant. Nutr. 29:2147-2163. Mualim L, Aziz SA, Melati M. 2009. Kajian pemupukan NPK dan jarak tanam pada produksi antosianin daun kolesom. J. Agron. Indonesia 37:55-61. Mualim L. 2012. Produksi dan kualitas kolesom dengan pemupukan organik dan inorganik. Disertasi. Sekolah Pascasarjana-IPB, Bogor. Muchtadi D. 1998. Kajian terhadap serat makanan dan antioksidan dalam berbagai jenis sayuran untuk pencegahan penyakit degenerative. Laporan Penelitian Hibah Bersaing VII/I. Fakutas Teknologi Pertanian-IPB, Bogor. Mulkey SS, Kitajima K, Wright SJ. 1996. Plant physiological ecology of tropical forest canopies. Trends Ecol Evol 11:408– 412. Wright SJ dan Van Schaik CP. 1994. Light and the phenology of tropical trees. Am Nat 143:192– 199.
34
LAMPIRAN
35
Lampiran 1. Kadar air sampel kering Sampel
Ulangan
Bobot cawan kering (g)
Bobot sampel basah (g)
Bobot (cawan kering + sampel kering) (g)
Bobot sampel kering (g)
OR1
1 2 3 4
5,0941 5,2409 5,1032 5,3054
0,2004 0,2006 0,2014 0,2014
5,2845 5,4316 5,2952 5,4972
0,1904 0,1907 0,1920 0,1918
OR2
1 2 3 4
5,0943 5,2407 5,1034 5,3058
0,2014 0,2009 0,2006 0,2007
5,2830 5,4297 5,2917 5,4946
0,1887 0,1890 0,1883 0,1888
OR3
1 2 3 4
5,4628 4,9534 4,3928 2,4321
0,1999 0,1999 0,2005 0,2005
5,6426 5,1325 4,5725 2,6113
0,1798 0,1791 0,1797 0,1792
OR4
1 2 3 4
5,0938 5,2398 5,1036 5,3047
0,2001 0,2003 0,2004 0,2005
5,2812 5,4269 5,2915 5,4920
0,1874 0,1871 0,1879 0,1873
OR5
1 1 2 2
5,1039 5,3064 5,1040 5,3062
0,2004 0,2006 0,2004 0,2007
5,2859 5,4889 5,2861 5,4887
0,1820 0,1825 0,1821 0,1825
Bobot air (g) 0,0100 0,0099 0,0094 0,0096 Rata-rata 0,0127 0,0119 0,0123 0,0119 Rata-rata 0,0201 0,0208 0,0208 0,0213 Rata-rata 0,0127 0,0132 0,0125 0,0132 Rata-rata 0,0184 0,0181 0,0183 0,0182 Rata-rata
Kadar air (bb) (%) 4,99 4,94 4,67 4,77 4,84 ± 0,15 6,31 5,92 6,13 5,93 6,07 ± 0,18 10,06 10,41 10,37 10,62 10,36 ± 0,23 6,35 6,59 6,24 6,58 6,44 ± 0,18 9,18 9,02 9,13 9,07 9,10 ± 0,07
36
Lampiran 1. Kadar air sampel kering (lanjutan) Sampel
Ulangan
Bobot cawan kering (g)
Bobot sampel basah (g)
Bobot (cawan kering + sampel kering) (g)
Bobot sampel kering (g)
AN1
1 1 2 2
5,4631 4,9534 4,3941 2,4327
0,2001 0,2002 0,2002 0,2010
5,6508 5,1414 4,5826 2,6214
0,1877 0,1880 0,1885 0,1887
AN2
1 1 2 2
5,1033 5,0938 5,3056 5,2403
0,2008 0,2004 0,2008 0,2003
5,2839 5,2740 5,4868 5,4211
0,1806 0,1802 0,1812 0,1808
AN3
1 1 2 2
2,5694 3,1124 4,3333 2,8319
0,1994 0,2002 0,2008 0,2001
2,7470 3,2914 4,5122 3,0108
0,1776 0,1790 0,1789 0,1789
AN4
1 2 3 4
5,2396 5,4618 5,3055 4,9532
0,2017 0,2011 0,2013 0,2017
5,4273 5,6491 5,4935 5,1414
0,1877 0,1873 0,188 0,1882
AN5
1 2 3 4
5,103 5,0931 3,1673 3,1120
0,2009 0,2011 0,2011 0,2007
5,2895 5,2801 3,3543 3,2980
0,1865 0,1870 0,1870 0,1860
Bobot air (g)
Kadar air (%)
0,0124 0,0122 0,0117 0,0123 Rata-rata 0,0202 0,0202 0,0196 0,0195 Rata-rata 0,0218 0,0212 0,0219 0,0212
6,20 6,09 5,84 6,12 6,06 ± 0,15 10,06 10,08 9,76 9,74 9,91 ± 0,19 10,93 10,59 10,91 10,59
Rata-rata 0,0140 0,0138 0,0133 0,0135 Rata-rata 0,0144 0,0141 0,0141 0,0147 Rata-rata
10,76 ± 0,19 6,94 6,86 6,61 6,69 6,78 ± 0,15 7,17 7,01 7,01 7,32 7,13 ± 0,15
37
Lampiran 2. Analisis kadar TDF basis kering
1 2 3 4
W sampel awal (g) 0,5004 0,5005 0,5006 0,5004
W W crucible W sampel W blanko crucible + sampel (g) (g) (g) (g) 30,9147 31,2046 0,2899 0,0020 30,9745 31,2697 0,2952 0,0020 30,9847 31,2797 0,2950 0,0020 30,7484 31,0320 0,2836 0,0020
OR2
1 2 3 4
0,5010 0,5006 0,4998 0,5001
30,8213 30,9690 30,8866 30,9127
31,1121 31,2648 31,1834 31,2116
0,2908 0,2958 0,2968 0,2989
OR3
1 2 3 4
0,5000 0,5007 0,5002 0,5002
30,9439 30,9848 30,8927 31,0548
31,2373 31,2821 31,1905 31,3477
0,2934 0,2973 0,2978 0,2929
Sampel
Ulangan
OR1
0,0227 0,0231 0,0231 0,0222
W W sampel W air protein blanko - abu - sampel (g) protein (g) kering (g) 0,0777 0,1875 0,0242 0,0791 0,1910 0,0242 0,0791 0,1908 0,0242 0,0760 0,1834 0,0242
0,0079 0,0079 0,0079 0,0079
0,0277 0,0282 0,0283 0,0285
0,0878 0,0893 0,0896 0,0902
0,1674 0,1705 0,1711 0,1723
0,0304 0,0304 0,0304 0,0304
0,0015 0,0015 0,0015 0,0015
0,0243 0,0246 0,0247 0,0243
0,0829 0,0840 0,0841 0,0827
0,1847 0,1872 0,1875 0,1844
0,0518 0,0519 0,0518 0,0518
W abu (g)
OR4
1 2 3 4
0,5001 0,5003 0,5005 0,5005
30,9288 30,9718 30,8341 30,7474
31,2158 31,2632 31,1211 31,0346
0,2870 0,2914 0,2870 0,2872
0,0018 0,0018 0,0018 0,0018
0,0240 0,0244 0,0240 0,0240
0,0637 0,0647 0,0637 0,0638
0,1975 0,2005 0,1975 0,1976
0,0322 0,0322 0,0322 0,0322
OR5
1 2 3 4
0,5002 0,5007 0,5007 0,5005
30,8899 30,8255 30,9270 30,7495
31,1957 31,1328 31,2377 31,0597
0,3058 0,3073 0,3107 0,3102
0,0015 0,0015 0,0019 0,0019
0,0282 0,0283 0,0286 0,0286
0,0849 0,0854 0,0863 0,0862
0,1912 0,1921 0,1939 0,1936
0,0455 0,0456 0,0456 0,0456
W basis kering (g) 0,4762 0,4763 0,4764 0,4762 Rata-rata 0,4706 0,4702 0,4694 0,4697 Rata-rata 0,4482 0,4488 0,4484 0,4484 Rata-rata 0,4679 0,4681 0,4683 0,4683 Rata-rata 0,4547 0,4551 0,4551 0,4549 Rata-rata
TDF (g/100 g bk) 39,38 40,10 40,06 38,51 39,51 ± 0,74 35,58 36,25 36,44 36,69 36,24 ± 0,47 41,22 41,71 41,82 41,13 41,47 ± 0,35 42,20 42,84 42,17 42,20 42,35 ± 0,32 42,05 42,21 42,60 42,54 42,35 ± 0,26
38
Lampiran 2. Analisis kadar TDF basis kering (lanjutan) Sampel Ulangan AN1
1 2 3 4
AN2
1 2 3 4
W W sampel W crucible crucible awal (g) + sampel (g) (g) 0,5001 30,9157 31,2210 0,5003 30,8255 31,1343 0,5007 30,9822 31,2880 0,5009 31,0525 31,3567 0,5007 0,5004 0,5011 0,5001
30,9212 30,8297 30,8914 31,0246
31,2157 31,1206 31,1950 31,3253
W sampel (g) 0,3053 0,3088 0,3058 0,3042
W blanko (g) 0,0018 0,0018 0,0018 0,0018
0,2945 0,2909 0,3036 0,3007
0,0016 0,0016 0,0016 0,0016
W sampel W air W abu W protein W basis blanko - abu sampel (g) (g) kering (g) - protein (g) kering (g) 0,0282 0,0728 0,2024 0,0303 0,4698 0,0286 0,0737 0,2048 0,0303 0,4700 0,0283 0,0729 0,2028 0,0304 0,4703 0,0281 0,0726 0,2017 0,0304 0,4705 Rata-rata 0,0231 0,0715 0,1982 0,0496 0,4511 0,0229 0,0707 0,1958 0,0496 0,4508 0,0239 0,0737 0,2044 0,0497 0,4514 0,0236 0,0730 0,2024 0,0496 0,4505
AN3
1 2 3 4
0,5000 0,5001 0,5009 0,5007
30,8253 30,9187 30,9826 31,0529
31,1223 31,2155 31,2789 31,3593
0,2970 0,2968 0,2963 0,3064
0,0013 0,0013 0,0013 0,0013
0,0269 0,0269 0,0268 0,0277
0,0753 0,0752 0,0751 0,0777
0,1935 0,1934 0,1931 0,1997
0,0538 0,0538 0,0539 0,0539
AN4
1 2 3 4
0,5008 0,5009 0,5000 0,5005
30,9136 30,9160 30,9787 30,9713
31,2155 31,2237 31,2842 31,2866
0,3019 0,3077 0,3055 0,3153
0,0040 0,0040 0,0040 0,0040
0,0255 0,0260 0,0258 0,0267
0,0893 0,0910 0,0903 0,0932
0,1831 0,1867 0,1853 0,1914
0,0339 0,0339 0,0339 0,0339
AN5
1 2 3 4
0,5007 0,5007 0,4998 0,5002
31,0514 30,8886 31,0253 30,8242
31,3622 31,2077 31,3393 31,1649
0,3108 0,3191 0,3140 0,3407
0,0040 0,0040 0,0040 0,0040
0,0260 0,0267 0,0262 0,0285
0,0937 0,0962 0,0947 0,1027
0,1871 0,1922 0,1891 0,2055
0,0357 0,0357 0,0356 0,0357
TDF (g/100 g bk) 43,09 43,57 43,11 42,87 43,16 ± 0,30 43,94 43,43 45,28 44,93
Rata-rata 0,4462 0,4463 0,4470 0,4468 Rata-rata 0,4669 0,4670 0,4661 0,4666 Rata-rata 0,4650 0,4650 0,4642 0,4645
44,39 ± 0,86 43,37 43,33 43,19 44,69 43,35± 0,03 39,22 39,98 39,76 41,02 39,60 ± 0,54 40,24 41,34 40,73 44,24
Rata-rata
40,79 ± 0,78
39
Lampiran 3. Analisis kadar protein residu TDF Sampel
Ulangan
W sampel (g)
Vol HCl (ml)
Vol HCl blanko (ml)
N HCl (N)
Kadar protein (g/100g)
OR1
1 2 3 4
0,1346 0,1319 0,1252 0,1292
19,1000 18,8000 18,2500 19,0000
0,25 0,25 0,25 0,25
OR2
1 2 3 4
0,1227 0,1231 0,1225 0,1239
15,65 15,25 15,3 15,45
0,1 0,1 0,1 0,1
0,0215 0,0215 0,0215 0,0215 Rata-rata 0,0277 0,0277 0,0277 0,0277 Rata-rata
26,36 26,47 27,06 27,32 26,80 ± 0,46 30,73 29,84 30,09 30,04 30,18 ± 0,38
OR3
1 2 3 4
0,1490 0,1526 0,1488 0,1435
24,1000 24,2500 23,6500 23,9000
0,15 0,15 0,15 0,15
OR4
1 2 3 4
0,1372 0,1375 0,1389 0,1390
16,0500 16,0000 16,6000 16,7500
0,05 0,05 0,05 0,05
OR5
1 2 3 4
0,1410 0,1384 0,1485 0,1484
23,0000 22,3000 23,9000 24,0000
0,15 0,15 0,15 0,15
0,0201 0,0201 0,0201 0,0201 Rata-rata 0,0215 0,0215 0,0215 0,0215 Rata-rata 0,0197 0,0197 0,0197 0,0197 Rata-rata
28,28 27,79 27,79 29,12 28,25 ± 0,63 21,95 21,83 22,43 22,61 22,21 ± 0,37 28,02 27,67 27,65 27,78 27,78 ± 0,17
40
Lampiran 3. Analisis kadar protein residu TDF (lanjutan) Sampel
Ulangan
W sampel (g)
Vol HCl (ml)
Vol HCl blanko (ml)
AN1
1 2 3 4
0,1290 0,1296 0,1284 0,1286
16,5 16,6 16,1 16,15
0 0 0 0
AN2
1 2 3 4
0,1226 0,1234 0,1231 0,1245
15,65 15,9 16,15 16
0 0 0 0
AN3
1 2 3 4
0,1372 0,1391 0,1450 0,1449
19,75 20,15 21,80 21,75
0,15 0,15 0,15 0,15
AN4
1 2 3 4
0,1251 0,126 0,1235 0,1251
15,25 16 14,9 15,4
0,1 0,1 0,1 0,1
AN5
1 2 3 4
0,1249 0,1246 0,1252 0,1257
15,75 15,5 15,8 15,8
0,1 0,1 0,1 0,1
N HCl (N)
Kadar protein (g/100g)
0,0215 0,0215 0,0215 0,0215 Rata-rata 0,0215 0,0215 0,0215 0,0215 Rata-rata 0,0198 0,0198 0,0198 0,0198 Rata-rata
24,07 24,11 23,60 23,64 23,86 ± 0,27 24,03 24,25 24,69 24,19 24,29 ± 0,29 24,76 24,92 25,88 25,84 25,35 ± 0,59
0,0276 0,0276 0,0276 0,0276 Rata-rata 0,0276 0,0276 0,0276 0,0276 Rata-rata
29,26 30,49 28,96 29,55 29,56 ± 0,66 30,28 29,86 30,30 30,18 30,15 ± 0,20
41
Lampiran 4. Analisis kadar abu residu TDF Sampel
Ulangan
W crucible (g)
OR1
1 2
30,9147 30,9847
Wcrucible + abu (g) 30,9376 31,0076
OR2
1 2
30,969 30,9127
30,9962 30,9417
OR3
1 2
31,0548 30,9848
31,0787 31,0098
OR4
1 2
30,9718 30,7474
30,9957 30,7719
OR5
1 2
30,8899 30,927
30,918 30,9557
W abu (g) 0,0229 0,0229 Rata-rata 0,0272 0,029 Rata-rata 0,0239 0,0250 Rata-rata 0,0239 0,0245 Rata-rata 0,0281 0,0287
AN1
1 2
30,8255 31,0525
30,8537 31,081
AN2
1 2
30,8297 31,0246
30,8522 31,0486
AN3
1 2
30,8253 30,9826
30,8517 31,0099
Rata-rata 0,0282 0,0285 Rata-rata 0,0225 0,024 Rata-rata 0,0264 0,0273 Rata-rata 0,0258
AN4
AN5
1
30,9160
30,9418
2
30,9713
30,9982
Kadar abu (g/100 g) 7,90 7,76 7,83 ± 0,10 9,35 9,70 9,53 ± 0,25 8,16 8,41 8,28 ± 0,18 8,20 8,53 8,37 ± 0,23 9,19 9,24 9,21 ± 0,03 9,13 9,37 9,25 ± 0,17 7,73 7,98 7,86 ± 0,17 8,89 9,21 9,05 ± 0,23 8,38
0,0269
8,53
Rata-rata
8,46 ± 0,10
1
30,8886
30,9152
0,0266
8,34
2
30,8242
30,8505
0,0263
8,38
Rata-rata
8,36 ± 0,03
42
Lampiran 5. Analisis kadar IDF basis kering W Sampel Ulangan sampel awal (g) 1 0,5003 2 0,5003 OR1 3 0,5006 4 0,5009
W W crucible W sampel crucible + sampel kasar (g) (g) kasar (g) 30,8274 31,0456 0,2182 31,0505 31,268 0,2175 30,8872 31,1001 0,2129 30,8216 31,0361 0,2145
W blanko (g) 0,0006 0,0006 0,0006 0,0006
0,0159 0,0159 0,0155 0,0156
W protein (g) 0,0708 0,0706 0,0691 0,0696
W sampel blanko - abu protein (g) 0,1309 0,1305 0,1277 0,1287
W air sampel kering (g) 0,0242 0,0242 0,0242 0,0242
W abu (g)
OR2
1 2 3 4
0,5003 0,5001 0,5002 0,4998
30,9767 30,7428 30,9684 30,9132
31,1744 30,9400 31,1645 31,1190
0,1977 0,1972 0,1961 0,2058
0,0002 0,0002 0,0002 0,0002
0,0164 0,0164 0,0163 0,0171
0,0641 0,0640 0,0636 0,0668
0,1169 0,1166 0,1160 0,1217
0,0304 0,0304 0,0304 0,0304
OR3
1 2 3 4
0,4999 0,5006 0,5008 0,5002
30,8191 30,8799 30,9110 30,8192
31,0201 31,0770 31,1196 31,0237
0,2010 0,1971 0,2086 0,2045
0,0002 0,0002 0,0002 0,0002
0,0156 0,0153 0,0162 0,0158
0,0566 0,0555 0,0587 0,0576
0,1287 0,1262 0,1335 0,1309
0,0518 0,0519 0,0519 0,0518
OR4
1 2 3 4
0,5001 0,5005 0,5002 0,5011
30,9127 30,8196 30,9663 30,9759
31,1135 31,0105 31,1647 31,1724
0,2008 0,1909 0,1984 0,1965
0,0041 0,0041 0,0041 0,0041
0,0136 0,0129 0,0134 0,0133
0,0509 0,0484 0,0503 0,0498
0,1322 0,1255 0,1306 0,1293
0,0322 0,0322 0,0322 0,0323
OR5
1 2 3 4
0,5000 0,5004 0,5005 0,5001
31,0488 30,8796 30,7437 30,8053
31,2495 31,0831 30,9470 31,0083
0,2007 0,2035 0,2033 0,2030
0,0041 0,0041 0,0041 0,0041
0,0165 0,0167 0,0167 0,0167
0,0585 0,0594 0,0593 0,0592
0,1216 0,1233 0,1232 0,1230
0,0455 0,0455 0,0456 0,0455
W basis kering (g) 0,4761 0,4761 0,4764 0,4767 Rata-rata 0,4699 0,4697 0,4698 0,4694 Rata-rata 0,4481 0,4487 0,4489 0,4484 Rata-rata 0,4679 0,4683 0,4680 0,4688 Rata-rata 0,4545 0,4549 0,4549 0,4546 Rata-rata
IDF (g/100 g bk) 27,49 27,40 26,81 26,99 27,17 ± 0,33 24,88 24,83 24,68 25,93 25,08 ± 0,57 28,71 28,12 29,75 29,20 28,94 ± 0,69 28,26 26,80 27,90 27,58 27,63 ± 0,62 26,75 27,11 27,08 27,06 27,00 ± 0,17
43
Lampiran 5. Analisis kadar IDF basis kering (lanjutan)
1 2 3 4
W sampel awal (g) 0,4999 0,4999 0,5003 0,5004
W crucible (g) 30,8812 30,8929 30,9759 30,8189
1 2 3 4
0,5001 0,5007 0,5008 0,5003
30,9112 30,9638 30,7408 31,0475
Sampel
Ulangan
AN1
AN2
W crucible W W sampel + sampel blanko kasar (g) kasar (g) (g) 31,1041 0,2229 0,0002 31,1234 0,2305 0,0002 31,2024 0,2265 0,0002 31,0443 0,2254 0,0002 31,1328 31,1808 30,9594 31,2570
0,2216 0,2170 0,2186 0,2095
0,0002 0,0002 0,0002 0,0002
0,0159 0,0164 0,0161 0,0161
W W sampel W air protein blanko - abu sampel (g) - protein (g) kering (g) 0,0752 0,1316 0,0303 0,0777 0,1361 0,0303 0,0764 0,1338 0,0303 0,0760 0,1331 0,0303
0,0164 0,0160 0,0161 0,0155
0,0779 0,0763 0,0768 0,0736
W abu (g)
0,1271 0,1245 0,1254 0,1202
0,0496 0,0496 0,0496 0,0496
AN3
1 2 3 4
0,5000 0,5004 0,5001 0,5001
30,7376 30,8186 30,9085 31,0472
30,9376 31,0247 31,1096 31,2473
0,2000 0,2061 0,2011 0,2001
0,0009 0,0009 0,0009 0,0009
0,0154 0,0158 0,0154 0,0154
0,0666 0,0687 0,0670 0,0667
0,1171 0,1207 0,1178 0,1172
0,0538 0,0538 0,0538 0,0538
AN4
1 2 3 4
0,5009 0,5005 0,5009 0,5011
30,8746 30,9634 30,9743 30,8922
31,0834 31,1724 31,1850 31,1027
0,2088 0,2090 0,2107 0,2105
0,0009 0,0009 0,0009 0,0009
0,0124 0,0125 0,0126 0,0125
0,0729 0,0729 0,0735 0,0734
0,1226 0,1227 0,1237 0,1236
0,0339 0,0339 0,0339 0,0340
AN5
1 2 3 4
0,5010 0,5010 0,5007 0,5004
30,8013 30,9692 30,9044 30,8683
31,0424 31,2097 31,1400 31,1085
0,2411 0,2405 0,2356 0,2402
0,0009 0,0009 0,0009 0,0009
0,0144 0,0144 0,0141 0,0143
0,0957 0,0955 0,0935 0,0953
0,1301 0,1298 0,1271 0,1296
0,0357 0,0357 0,0357 0,0357
W basis IDF (g/100 g kering bk) (g) 0,4696 28,03 0,4696 28,99 0,4700 28,47 0,4701 28,32 Rata-rata 28,45 ± 0,40 0,4505 28,22 0,4511 27,60 0,4512 27,80 0,4507 26,66 Rata-rata 0,4462 0,4466 0,4463 0,4463 Rata-rata 0,4670 0,4666 0,4670 0,4671 Rata-rata 0,4653 0,4653 0,4650 0,4647
27,57 ± 0,66 26,25 27,03 26,39 26,25 26,48 ± 0,37 26,26 26,30 26,50 26,46 26,38 ± 0,12 27,96 27,89 27,34 27,89
Rata-rata
27,77 ± 0,29
44
Lampiran 6. Analisis kadar protein residu IDF
1 2 3 4
W sampel (g) 0,0941 0,0940 0,0970 0,0969
Vol HCl (ml) 12,85 12,95 13,30 13,15
Vol HCl blanko (ml) 0,05 0,05 0,05 0,05
OR2
1 2 3 4
0,0875 0,0870 0,0903 0,0910
10,85 10,55 11,35 11,55
0,05 0,05 0,05 0,05
OR3
1 2 3 4
0,0890 0,0867 0,0893 0,0894
10,50 10,70 10,55 10,80
0,05 0,05 0,05 0,05
OR4
1 2 3 4
0,0915 0,0922 0,0904 0,0908
10,60 10,40 9,90 10,15
0,1 0,1 0,1 0,1
OR5
1 2 3 4
0,0909 0,0903 0,0932 0,0935
11,90 11,55 12,20 11,90
0,1 0,1 0,1 0,1
Sampel
Ulangan
OR1
N HCl (N) 0,0272 0,0272 0,0272 0,0272 Rata-rata 0,0269 0,0269 0,0269 0,0269 Rata-rata
Kadar protein (g/100 g) 32,39 32,68 32,53 32,19 32,45 ± 0,21 29,07 28,42 29,47 29,76 29,18 ± 0,58
0,0269 0,0269 0,0269 0,0269 Rata-rata 0,0260 0,0260 0,0260 0,0260 Rata-rata 0,0260 0,0260 0,0260 0,0260 Rata-rata
27,65 28,93 27,69 28,32 28,15 ± 0,60 26,12 25,43 24,67 25,19 25,35 ± 0,60 29,55 28,86 29,55 28,73 29,17 ± 0,44
45
Lampiran 6. Analisis kadar protein residu IDF (lanjutan) Sampel
Ulangan
W sampel (g)
Vol HCl (ml)
AN1
1
0.1006
14.00
Vol HCl blanko (ml) 0
2
0.1001
14.05
3
0.1011
14.20
4
0.1016
14.25
AN2
AN3
AN4
AN5
N HCl (N)
Kadar protein (g/100g)
0.0275
33.50
0
0.0275
33.79
0
0.0275
33.81
0
0.0275
33.77
Rata-rata
33,72 ± 0,14
1
0.0838
12.40
0
0.0275
35.62
2
0.0837
12.00
0
0.0275
34.52
3 4
0.0844 0.0847
12.40 12.35
0 0
0.0275 0.0275 Rata-rata
35.37 35.10 35,15 ± 0,48
1
0.0916
13.15
0
0.0261
32.78
2
0.0918
13.15
0
0.0261
32.71
3
0.0907
13.45
0
0.0261
33.86
4
0.0852
12.65
0
1
0.0818
12.45
0
0.0261 Rata-rata 0.0261
33.90 33,31 ± 0,66 34.75
2
0.0817
12.45
0
0.0261
34.79
3
0.0820
12.55
0
0.0261
34.94
4
0.0820
12.60
0
0.0261
35.08
Rata-rata
34,89 ± 0,15
1
0.1005
17.90
0
0.0261
40.66
2
0.1004
17.55
0
0.0261
39.91
3
0.1024
17.45
0
0.0261
38.91
4
0.0994
17.10
0
0.0261
39.28
Rata-rata
39,69 ± 0,77
46
Lampiran 7.. Analisis kadar abu residu IDF
1 2
W crucible (g) 31.0505 30.8216
Wcrucible + abu (g) 31.0661 30.8375
OR2
1 2
30.7428 30.9132
30.7594 30.9301
OR3
1 2
30.8799 30.8192
30.8951 30.8351
OR4
1 2
30.8196 30.9759
30.8327 30.989
OR5
1 2
30.8796 30.8053
30.8964 30.8219
AN1
1 2
30.8929 30.8189
30.9091 30.8352
AN2
1 2
30.9638 31.0475
30.9797 31.0631
AN3
1 2
30.8186 31.0472
30.8342 31.0628
AN4
1
30.9634
2
30.8922
Sampel
Ulangan
OR1
AN5
W abu (g) 0.0156 0.0159 Rata-rata 0.0166 0.0169 Rata-rata
Kadar abu (g/100 g) 7.17 7.41 7,29 ± 0,17 8.42 8.21 8,31 ± 0,15
0.0152 0.0159 Rata-rata 0.0131 0.0131 Rata-rata 0.0168 0.0166 Rata-rata
7.71 7.78 7,75 ± 0,04 6.86 6.67 6,76 ± 0,14 8.26 8.18 8,22 ± 0,06
0.0162 0.0163 Rata-rata 0.0159 0.0156 Rata-rata 0.0156 0.0156 Rata-rata
7.03 7.23 7,13 ± 0,14 7.33 7.45 7,39 ± 0,08 7.57 7.80 7,68 ± 0,16
30.9761
0.0127
6.08
30.9045
0.0123
5.84
Rata-rata
5,96 ± 0,17
1
30.9692
30.9833
0.0141
5.86
2
30.8683
30.8829
0.0146
6.08
Rata-rata
5,97 ± 0,15
47
Lampiran 8. Analisis kadar SDF basis kering Sampel
TDF (g/100 g bk)
IDF (g/100 g bk)
SDF (g/100 g bk)
OR1
39,38
27,49
11,88
40,10
27,40
12,69
40,06
26,81
13,25
38,51
26,99
11,52
Rata-rata
12,34 ± 0,78
35,58
24,88
10,70
36,25
24,83
11,42
36,44
24,68
11,75
36,69
25,93
10,76
Rata-rata
11,16 ± 0,51
41,22
28,71
12,50
41,71
28,12
13,59
41,82
29,75
12,07
41,13
29,20
11,93
Rata-rata
12,52 ± 0,75
42,20
28,26
13,95
42,84
26,80
16,04
42,17
27,90
14,27
42,20
27,58
14,62
Rata-rata
14,72 ± 0,92
42,05
26,75
15,30
42,21
27,11
15,10
42,60
27,08
15,52
42,54
27,06
15,49
Rata-rata
15,35 ± 0,19
OR2
OR3
OR4
OR5
48
Lampiran 8. Analisis kadar SDF basis kering (lanjutan) Sampel AN1
AN2
AN3
AN4
AN5
TDF (g/100 g bk)
IDF (g/100 g bk)
SDF (g/100 g bk)
43,09
28,03
15,06
43,57
28,99
14,58
43,11
28,47
14,64
42,87
28,32
14,54
Rata-rata
14,70 ± 0,24
43,94
28,22
15,73
43,43
27,60
15,83
45,28
27,80
17,48
44,93
26,66
18,27
Rata-rata
16,83 ± 1,25
43,37
26,25
17,12
43,33
27,03
16,30
43,19
26,39
16,80
44,69
26,25
18,43
Rata-rata
17,18 ± 0,91
39,22
26,26
12,97
39,98
26,30
13,68
39,76
26,50
13,27
41,02
26,46
14,56
39,60 ± 0,54
Rata-rata
13,69 ± 0,69
40,24
27,96
12,27
41,34
27,89
13,44
40,73
27,34
13,40
44,24
27,89
16,34
40,79 ± 0,78
Rata-rata
13,86 ± 1,74
49
Lampiran 9. Analisis kadar substansi pektat Sampel
Ulangan
W sampel (g)
W air (g)
W bk (g)
Abs I
Abs II
Rata2
Konsentrasi
Pektat (g/100 g bk)
Pektat (g/100 g sampel segar)
OR1
1
0,1011
0,0049
0,0962
0,689
0,677
0,6830
113,0500
5,88
0,56
2
0,1012
0,0049
0,0963
0,653
0,665
0,6590
109,0500
5,66
0,54
Rata-rata
5,77 ± 0,15
0,55 ± 0,01
OR2
OR3
OR4
OR5
1
0,1007
0,0104
0,0903
0,7600
0,7490
0,7545
124,9667
6,92
0,67
2
0,1009
0,0105
0,0904
0,7420
0,7560
0,7490
124,0500
6,86
0,66
Rata-rata
6,89 ± 0,05
0,66 ± 0,00
1
0,1009
0,0105
0,0904
0,8140
0,8230
0,8185
135,6333
7,50
0,72
2
0,101
0,0105
0,0905
0,8340
0,7910
0,8125
134,6333
7,44
0,71
Rata-rata
7,47 ± 0,04
0,72 ± 0,00
1
0,1004
0,0065
0,0939
0,789
0,78
0,7845
129,9667
6,92
0,66
2
0,1006
0,0065
0,0941
0,808
0,814
0,8110
134,3833
7,14
0,69
Rata-rata
7,03 ± 0,16
0,68 ± 0,02
1
0,1006
0,0092
0,0914
0,652
0,632
0,6420
106,2167
5,81
0,56
2
0,1005
0,0091
0,0914
0,656
0,605
0,6305
104,3000
5,71
0,55
Rata-rata
5,76 ± 0,07
0,55 ± 0,01
50
Lampiran 9. Analisis kadar substansi pektat (lanjutan) Sampel
Ulangan
W sampel (g)
W air (g)
W bk (g)
Abs I
Abs II
Rata2
Konsentrasi
Pektat (g/100 g bk)
AN1
1
0,1003
0,0061
0,0942
0,6080
0,6120
0,6100
100,8833
5,35
Pektat (g/100 g sampel segar) 0,51
2
0,1004
0,0061
0,0943
0,6210
0,6310
0,6260
103,5500
5,49
0,53
Rata-rata
5,42 ± 0,10
0,52 ± 0,01
AN2
AN3
AN4
AN5
1
0,1004
0,0099
0,0905
0,6920
0,6780
0,6850
113,3833
6,27
0,60
2
0,1003
0,0099
0,0904
0,6750
0,6660
0,6705
110,9667
6,14
0,59
Rata-rata
6,20 ± 0,09
0,60 ± 0,01
1
0,1007
0,0108
0,0899
0,6850
0,6500
0,6675
110,4667
6,15
0,59
2
0,1008
0,0108
0,0900
0,6920
0,7010
0,6965
115,3000
6,41
0,62
Rata-rata
6,28 ± 0,19
0,60 ± 0,02
1
0,1006
0,0068
0,0938
0,6860
0,6620
0,6740
111,5500
5,95
0,57
2
0,1005
0,0068
0,0937
0,6620
0,6530
0,6575
108,8000
5,81
0,56
Rata-rata
5,88 ± 0,10
0,56 ± 0,01
1
0,1009
0,0072
0,0937
0,6920
0,7240
0,7080
117,2167
6,25
0,60
2
0,1009
0,0072
0,0937
0,6930
0,7220
0,7075
117,1333
6,25
0,60
Rata-rata
6,25 ± 0,00
0,60 ± 0,00
51
Lampiran 10. Analisis keragaman (ANOVA) kadar TDF basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik
Oneway ANOVA TDF Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
F
204.406
9
22.712
18.512
30
.617
222.918
39
Sig.
36.805
.000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets TDF Duncan Subset for alpha = 0.05 Sampel
N
1
2
3
4
5
or2
4
or1
4
39.5125
an4
4
39.9950
an3
4
41.4700
an5
4
41.6375
or5
4
42.3500
42.3500
or4
4
42.3525
42.3525
an1
4
an3
4
an2
4
Sig.
6
36.2375
43.1575
43.1575 43.6450
43.6450 44.3950
1.000
.392
.157
.180
.387
.187
52
Lampiran 11. Analisis keragaman (ANOVA) kadar IDF basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik
Oneway ANOVA IDF Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
F
44.739
9
4.971
7.703
30
.257
52.442
39
Sig.
19.360
.000
5
6
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets IDF Duncan Subset for alpha = 0.05 Sampel
N
1
2
3
4
or2
4
an4
4
26.3800
an3
4
26.4800
or5
4
27.0000
27.0000
or1
4
27.1700
27.1700
27.1700
or4
4
27.6350
27.6350
an5
4
27.7700
27.7700
27.7700
an2
4
27.8200
27.8200
an1
4
or3
4
Sig.
25.0800
28.4525
28.4525 28.9450
1.000
.051
.057
.107
.081
.179
53
Lampiran 12. Analisis keragaman (ANOVA) kadar SDF basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik
Oneway ANOVA SDF Sum of Squares Between Groups Within Groups Total
df
Mean Square
F
134.652
9
14.961
24.797
30
.827
159.449
39
Sig.
18.100
.000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets SDF Duncan Subset for alpha = 0.05 Sampel
N
1
2
3
4
5
6
or2
4
11.1575
or1
4
12.3350
12.3350
or3
4
12.5225
12.5225
12.5225
an4
4
13.6200
13.6200
13.6200
an5
4
13.8625
13.8625
an1
4
14.7050
14.7050
or4
4
14.7150
14.7150
or5
4
an2
4
16.8275
an3
4
17.1875
Sig.
15.3500
.052
.067
.057
.129
.352
.580
54
Lampiran 13. Analisis keragaman (ANOVA) kadar substansi pektat basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik
Oneway ANOVA Substansi_pektat Sum of Squares Between Groups
Mean Square
F
7.570
9
.841
.119
10
.012
7.689
19
Within Groups Total
df
Sig.
70.769
.000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Substansi_pektat Duncan Subset for alpha = 0.05 Sampel
N
1
2
3
4
5
an1
2
or5
2
5.7600
or1
2
5.7700
an4
2
5.8800
an2
2
6.2050
an5
2
6.2500
an3
2
6.2800
or2
2
6.8900
or4
2
7.0300
or3
2
Sig.
5.4200
7.4700 1.000
.318
.526
.228
1.000
55
Lampiran 14. Analisis statistik (t-student) kadar TDF basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik
Group Statistics Sampel TDF
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
Organic
20
40.3845
2.41389
.53976
anorganik
20
42.5660
1.84416
.41237
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of
F TDF
Equal variances assumed Equal variances not assumed
1.616
Sig. .211
T
df
Sig. (2-tailed)
Mean
Std. Error
Difference
Difference
the Difference Lower
Upper
-3.212
38
.003
-2.18150
.67926
-3.55659
-.80641
-3.212
35.543
.003
-2.18150
.67926
-3.55971
-.80329
56
Lampiran 15. Analisis statistik (t-student) kadar IDF basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik
Group Statistics Sampel IDF
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
organik
20
27.1660
1.35839
.30375
anorganik
20
27.3805
.94375
.21103
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the Std. Error
F IDF Equal variances assumed Equal variances not assumed
Sig. .499
.484
t -.580
df
Sig. (2-tailed) Mean Difference Difference
Difference Lower
Upper
38
.565
-.21450
.36986
-.96324
.53424
-.580 33.876
.566
-.21450
.36986
-.96624
.53724
57
Lampiran 16. Analisis statistik (t-student) kadar SDF basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik
Group Statistics Sampel SDF
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
organik
20
13.2160
1.71959
.38451
anorganik
20
15.2405
1.81051
.40484
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the
F SDF Equal variances assumed Equal variances not assumed
Sig. .012
.913
t
Df
Sig. (2-tailed)
Mean
Std. Error
Difference
Difference
Difference Lower
Upper
-3.626
38
.001
-2.02450
.55834
-3.15480
-.89420
-3.626
37.900
.001
-2.02450
.55834
-3.15490
-.89410
58
Lampiran 17. Analisis statistik (t-student) kadar substansi pektat basis kering kolesom pemupukan organik dan anorganik
Group Statistics Perlakuan Substansi_pektat
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
organik
10
6.5840
.73751
.23322
anorganik
10
6.0070
.35415
.11199
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval
F Substansi_pektat Equal variances assumed Equal variances not assumed
13.429
Sig. .002
t
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
tailed)
Difference
Difference
of the Difference Lower
Upper
2.230
18
.039
.57700
.25872
.03346
1.12054
2.230
12.941
.044
.57700
.25872
.01782
1.13618
59
Lampiran 18. Analisis statistik (t-student) kadar TDF basis kering kolesom pemupukan organik pada musim yang berbeda
Group Statistics Organik TDF
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
musim hujan
15
73.0393
5.45851
1.40938
musim kemarau
20
40.3845
2.41389
.53976
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of
F TDF Equal variances assumed Equal variances not assumed
4.976
Sig. .033
t
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
tailed)
Difference
Difference
the Difference Lower
Upper
23.904
33
.000
32.65483
1.36606
29.87556
35.43410
21.637
18.121
.000
32.65483
1.50920
29.48563
35.82404
60
Lampiran 19. Analisis statistik (t-student) kadar TDF basis kering kolesom pemupukan anorganik pada musim yang berbeda
Group Statistics Anorganik TDF
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
musim hujan
15
78.7393
2.59905
.67107
musim kemarau
20
42.5660
1.84416
.41237
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval of the
F TDF Equal variances assumed Equal variances not assumed
1.314
Sig. .260
t
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
tailed)
Difference
Difference
Difference Lower
Upper
48.219
33
.000
36.17333
.75019
34.64705
37.69961
45.926
24.043
.000
36.17333
.78765
34.54787
37.79880
61
Lampiran 20. Analisis statistik (t-student) kadar IDF basis kering kolesom pemupukan organik pada musim yang berbeda
Group Statistics organik IDF
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
musim hujan
15
68.4207
5.37684
1.38829
musim kemarau
20
27.1660
1.35839
.30375
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval
F IDF Equal variances assumed Equal variances not assumed
12.732
Sig. .001
t
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
of the Difference
tailed)
Difference
Difference
Lower
Upper
33.085
33
.000
41.25467
1.24694
38.71774 43.79159
29.029
15.347
.000
41.25467
1.42113
38.23154 44.27779
62
Lampiran 21. Analisis statistik (t-student) kadar IDF basis kering kolesom pemupukan anorganik pada musim yang berbeda
Group Statistics Anorganik IDF
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
musim hujan
15
73.5180
2.49512
.64424
musim kemarau
20
27.3805
.94375
.21103
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval
F IDF Equal variances assumed
Equal variances not assumed
16.682
Sig. .000
t
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
tailed)
Difference
Difference
of the Difference Lower
76.059
33
.000
46.13750
.60660
44.90336
68.058
17.021
.000
46.13750
.67792
44.70735
Upper 47.371 64 47.567 65
63
Lampiran 22. Analisis statistik (t-student) kadar SDF basis kering kolesom pemupukan organik pada musim yang berbeda
Group Statistics organik SDF
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
musim hujan
15
4.6173
.24324
.06280
musim kemarau
20
13.2160
1.71959
.38451
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval
F SDF
Equal variances assumed Equal variances not assumed
40.026
Sig. .000
T
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
tailed)
Difference
Difference
of the Difference Lower
Upper
-19.153
33
.000
-8.59867
.44895
-9.51206
-7.68528
-22.070
20.008
.000
-8.59867
.38961
-9.41135
-7.78598
64
Lampiran 23. Analisis statistik (t-student) kadar SDF basis kering kolesom pemupukan anorganik pada musim yang berbeda
Group Statistics anorganik SDF
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
musim hujan
15
5.1853
.47635
.12299
musim kemarau
20
15.2405
1.81051
.40484
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval
F SDF
Equal variances assumed Equal variances not assumed
21.368
Sig.
T
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
tailed)
Difference
Difference
of the Difference Lower
Upper
.000 -20.902
33
.000 -10.05517
.48106
-11.03388
-9.07645
-23.765
22.410
.000 -10.05517
.42311
-10.93172
-9.17862
65
Lampiran 24. Analisis statistik (t-student) kadar substansi pektat basis kering kolesom pemupukan organik pada musim yang berbeda
Group Statistics organik substansi_pektat
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
musim hujan
15
3.6387
.34082
.08800
musim kemarau
10
6.5840
.73751
.23322
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval
F substansi_pektat Equal variances assumed Equal variances not assumed
19.607
Sig. .000
t
df
Sig. (2-
Mean
Std. Error
tailed)
Difference
Difference
of the Difference Lower
Upper
-13.549
23
.000
-2.94533
.21739
-3.39503
-2.49564
-11.816
11.594
.000
-2.94533
.24927
-3.49056
-2.40011
66
Lampiran 25. Analisis statistik (t-student) kadar substansi pektat basis kering kolesom pemupukan anorganik pada musim yang berbeda
Group Statistics anorganik substansi_pektat
N
Mean
Std. Deviation
Std. Error Mean
musim hujan
15
4.2727
.44456
.11479
musim kemarau
10
6.0070
.35415
.11199
Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
t-test for Equality of Means 95% Confidence Interval Sig. (2-
F substansi_pektat Equal variances assumed Equal variances not assumed
Sig. .119
.733
t
df
tailed)
Mean
Std. Error
Difference Difference
of the Difference Lower
Upper
-10.322
23
.000
-1.73433
.16802
-2.08190
-1.38676
-10.815
22.137
.000
-1.73433
.16037
-2.06680
-1.40187
67
Lampiran 26. Kurva standar asam anhidrogalakturonat
Absorbansi
Kurva standar 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 0.00
y = 0.006x - 0.0047 R² = 0.9994
50.00
100.00 150.00 konsentrasi (mg/L)
200.00
250.00
Kurva standar asam galakturonat mg/L
Absorbansi
0.00
0
24.10
0.132
48.20
0.295
144.60
0.848
192.80
1.168
68