ANALISIS PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT LOKAL BERBASIS PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM) MANDIRI DI YOGYAKARTA AN ANALYSIS OF SOCIETY EMPOWERING BASED ON NATIONAL PROGRAM FOR COMMUNITY EMPOWERMENT (PNPM) MANDIRI POLICY IN YOGYAKARTA Wasisto Raharjo Jati
Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jl. Jenderal Gatot Subroto, No.10. Jakarta Selatan-12170 E-mail:
[email protected] Diterima: 10 Agustus 2013. Direvisi: 4 Desember 2013. Disetujui: 5 Desember 2013. Abstract This paper aims to elaborate the implementation of people empowerment based on PNPM Mandiri in Kadisoka village, Sleman regency. The purpose of this study is to analyze the problems that occurred in the empowering development program utilizing their environment as a machine of the local economy. The research method used in this research is case study. This method was chosen to see directly towards interactive and participatory in the research field. The results showed that people empowerment based on PNPM Mandiri has helped in the economic management of local communities to be more structured so as to boost incomes. However, the problem of infrastructure is a major obstacle in both community empowerment program of capital and infrastructure. Keywords: Community development, PNPM Mandiri, minapolitan, Kadisoka village. Abstrak Tulisan ini bertujuan untuk mengelaborasi implementasi pemberdayaan masyarakat berbasis progam PNPM Mandiri di Desa Kadisoka, Kabupaten Sleman. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis permasalahan yang terjadi dalam progam pemberdayaan masyarakat dengan mendayagunakan lingkungan sekitarnya sebagai penggerak ekonomi lokal. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Metode ini dipilih untuk melihat secara langsung baik secara interaktif maupun partisipatoris di lapangan. Hasil penelitian ini menunjukkan pemberdayaan masyarakat berbasis PNPM sudah membantu dalam manajemen ekonomi masyarakat lokal agar lebih terstruktur sehingga dapat memacu pendapatan masyarakat. Namun demikian, permasalahan infrastruktur sendiri masih menjadi hambatan dalam progam pemberdayaan masyarakat baik dari modal maupun infrastruktur. Kata kunci: Pemberdayaan masyarakat, PNPM Mandiri, minapolitan, desa Kadisoka.
PENDAHULUAN Ihwal kemunculan Program Nasional Pemberdayaan (PNPM) Mandiri Kelautan dan Perikanan berasal dari gagasan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang ingin meningkatkan produksi perikanan nasional baik itu darat maupun laut sebesar 353% pada tahun 2014 dari sekarang yang semula berada di kisaran 8 ton per tahun (Satria, 2010). Maka
dari itu kemudian pelaksanaan PNPM Kelautan dan Perikanan menjadi sesuatu yang dianggap sangat mendesak dan merupakan salah satu kebijakan pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan progam nasional revitalisasi perikanan yang dicanangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004. PNPM Kelautan dan Perikanan sendiri selain untuk akselerasi produksi ikan nasional merupakan
Analisis Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Lokal Berbasis Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di Yogyakarta. Wasisto Raharjo Jati
331
penjumlahan dari produksi ikan secara daerah. Kemudian tentunya tujuannya adalah meningkatkan kesejahteraan para petani ikan dan otomatis adalah usaha memerangi kemiskinan. Operasionalisasi dari kegiatan PNPM Kelautan dan Perikanan tersebut adalah membangkitkan adanya potensi ekonomi yang bisa dioptimalkan dengan mendayagunakan basis sumber daya air sebagai pendukungnya. Adapun langkah operasional dalam pelaksanaan progam PNPM Kelautan dan Perikanan ini dilakukan dalam berbagai hal antara lain seperti, 1) penguatan perekonomian masyarakat kelautan dan sektor perikanan dalam skala yang kecil; 2) penguatan usaha perikanan segmen menengah dan atas; 3) pengembangan ekonomi kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan sistem manajemen kawasan (Poernomo, 2010). Dari beberapa langkah operasional PNPM Kelautan dan Perikanan bila dicermati ada konsep perikanan yang berbasis wilayah. Hal itu sendiri dijabarkan melalui suatu gagasan teknokratis yang bernama Minapolitan. Dalam hal ini konsep minapolitan khususnya yang berada di kawasan darat didasarkan pada tata ruang kawasan yang utamanya didukung kuat dengan unsur geografis dan sosiologis yang telah eksis sebelumnya. Unsur geografis yang dimaksud dalam pelaksanaan minapolitan ini seperti halnya terpenuhinya unsur ekologi, kesediaan sumber daya air yang melimpah dan tak pernah surut walaupun hujan. Sosiologis dalam minapolitan sendiri dimaknai adanya transisi perekonomian subsistensi dari mayoritas penduduk yang ada di lapangan yaitu pembudi daya ikan dan petani ikan darat. Kedua unsur tersebut merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan progam minapolitan yang ada di pedesaan. Adapun semenjak progam minapolitan ini dilakukan pada tahun 2004 hingga 2010, menurut data resmi Kementerian Kelautan dan
332
Perikanan, telah tercatat kurang lebih 197 progam minapolitan di seluruh Indonesia yang terbagi dalam beberapa zona wilayah. (Poernomo, 2010). Dari sekian wilayah tersebut salah satu penerapan progam minapolitan dari PNPM Kelautan dan Perikanan sendiri dilakukan di Pedukuhan Kadisoka, Puwomartani, Kalasan, Sleman, DIY. Pemilihan tempat tersebut didasarkan pada kondisi lokal yang telah eksis sebelumnya sehingga PNPM bertindak hanya sebagai fasilitator baik itu finansial maupun pelatihan teknis. Dari situ kemudian muncul berbagai pertanyaan 1) bagaimana pemetaan pemasalahan yang terjadi dalam kebijakan PNPM Kelautan dan Minapolitan di Padukuhan Kadisoka? Adapun tujuan ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi hambatan dan peluang yang ada dalam program di Kadisoka serta implikasi apa dari program yang diterapkan terhadap kondisi sosial-budaya masyarakat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yakni studi kasus dalam menganalisis lokus permasalahan yang diangkat dalam kajian ini. Adapun pemilihan metode ini dikarenakan didasarkan pada bentuk pertanyaan penelitian yaitu ‘bagaimana’ dan ‘mengapa’. Selain itu juga karena fokus penelitian yang kami kaji merupakan peristiwa kontemporer, yakni memfokuskan penelitian pada peristiwa yang terjadi saat ini dimana peneliti secara aktif maupun pasif dalam objek yang ditelitinya (Yin, 1997: 3). Dalam penelitian ini, peneliti berusaha untuk berinteraksi dengan informan maupun subjek penelitian melalui wawancara dalam mencari data dengan didukung adanya data-data pendukung relevan dengan studi. Adapun pemilihan Desa Kadisoka di Sleman, Yogyakarta ini sebagai lokus studi juga dimaksudkan untuk mengakomodasi, mengkonfirmasi, dan menyinergikan antara permasalahan, pemahaman konseptual, dan
Sosiokonsepsia Vol. 18, No. 03, September - Desember, Tahun 2013
temuan teoritik yang terjadi di lapangan. Desa ini dipilih sebagai lokasi studi dikarenakan desa ini merupakan inisiator dalam pengembangkan ekonomi berbasis air tawar di Kabupaten Sleman. Modal sosial berbasis solidaritas dan jejaring kuat membawa desa ini menjadi desa unggulan dan percontohan bagi Kabupaten Sleman pada tahun 2011 karena telah secara nyata dan aktif mendorong lingkungan sekitarnya sebagai sumber ekonomi potensial. Adanya kandungan sumber daya air yang melimpah dan didukung pada perikanan terpadu menjadikan desa ini sebagai desa pionir dalam menggerakkan potensi sumber daya lokal di setiap desa. PNPM Mandiri sebagai Media Pemberdayaan Masyarakat Selama ini permasalahan kemiskinan menempatkan masyarakat sebagai objek oleh para perumus kebijakan publik. Seolah bahwa perumus kebijakan tersebut mahatahu akan segala kemiskinan yang mendera dengan segala beragam indikator kemiskinan sehingga masyarakat tidak diajak berdialog dan menempatkan mereka sebagai subjek (Santoso, 2010). Maka oleh karena itu mereka hanya menuruti kehendak para perumus kebijakan dengan bantuan material melimpah yang diharapkan mampu sebagai jawaban atas permasalahan tersebut tanpa tahu akan akar substansi kemiskinan riil dalam masyarakat itu (Direktorat Prasarana dan Sarana Budidaya, 2010). Dalam hal ini masalah subjek atau pun objek berkaitan erat dengan masalah human agency yang ada dalam setiap struktur masyarakat yang mana para aktor dalam struktur sosial masyarakat akan mereproduksi sistem sosial baru dengan menempatkan kelas atas dan kelas bawah yang nantinya akan mengalami kontinuitas praksis (Giddens, 2010). Oleh karenanya masalah agensi turut berpengaruh dalam penyebab utama masalah kemiskinan
dalam masyarakat disamping faktor individual, keluarga, subbudaya, dan struktural. Melihat realita yang ada di atas maka pada tanggal 30 April 2007 bertempat di Kota Palu, Sulawesi Tengah, pemerintah dalam hal ini Presiden bersama Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat meluncurkan progam nasional penanggulangan kemiskinan yang berbasis pada partisipasi masyarakat secara menyeluruh yang dinamakan Progam Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri). Adapun partisipasi menyeluruh yang dimaksud adalah masyarakat turut serta berperan aktif sebagai subjek maupun objek dalam penanggulangan kemiskinan ini mulai dari menginisiasi, merencanakan, merumuskan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi kebijakan penanggulangan kemiskinan. Secara subjek, masyarakat adalah partisipan aktif dalam mereduksi masalah kemiskinan dengan cara membangkitkan modal sosial kolektif sebagai dasar pembentukan modal ekonomi kolektif yang hasilnya dapat dinikmati secara keseluruhan. Adapun sebagai objek, masyarakat adalah mitra asistensi pemerintah dalam melaksanakan kebijakan pemberdayaan masyarakat ini. Dikatakan sebagai mitra karena masyarakat adalah aktor langsung implementasi progam pemerintah tersebut sehingga perlu diposisikan setara terkait usulan maupun kritikan terhadap proses pelaksanaan progam ini. PNPM ini diharapkan tidak hanya sebatas pada penanggulangan kemiskinan semata tetapi juga bisa bersifat multitasking. Multitasking di sini dimaknai bahwa PNPM dapat turut serta membuka pembangunan yang efektif dan efisien di daerah yang terisolir, melakukan penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat, mengembangkan prinsip communitydriven development dalam masyarakat yang kesemuanya pada akhirnya akan bermuara pada pencapaian target pembangunan global dalam kerangka MDG’s pada tahun 2015.
Analisis Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Lokal Berbasis Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di Yogyakarta. Wasisto Raharjo Jati
333
Berbicara kebijakan PNPM tentunya tak lepas dari rumusan teknokratis yang dibangun oleh para perumus kebijakan publik. Dalam hal ini nalar berpikir yang dibangun dalam perumusan PNPM ini dapat dibedakan secara top-down dari pemerintah maupun bottomup dari masyarakat. Secara top-down alur kebijakan PNPM sendiri dapat dilihat dari beberapa langkah teknis yakni: 1) permasalahan penanggulangan kemiskinan yang ada dalam struktur masyarakat hanya bisa teratasi dengan membangun sinergisitas dan sinkronisasi antara beberapa pemangku kepentingan (stakeholders) seperti halnya pemerintah yang terkait baik pusat maupun daerah, LSM dan kelompok filantropis yang menaruh perhatian pada kemiskinan masyarakat, dan tentu saja masyarakat; 2) adanya harmonisasi dalam setiap implementasi kebijakan yakni penempatan semua kebijakan penanggulangan kemiskinan terkait dalam satu wadah yakni PNPM Mandiri dengan merubah mindset paradigma kebijakan yang mulanya dari skema proyek menjadi skema program serta mempunyai lokus di sektor kecamatan yang di dalamnya terdapat masalah kemiskinan yang membelit masyarakat. Sedangkan dari sisi masyarakat dalam segi bottom-down, dapat dilihat dari bentuk apresiasi dan penilaian masyarakat terhadap proses keberlanjutan PNPM akan ditentukan melalui indikator sejauh mana tingkat kepedulian dan kemandirian masyarakat dan kebijakan pemerintah yang propoor budgeting (Sujana, 2007). Oleh karenanya diharapkan dalam hal ini pola kemitraan antar lembaga multi-level yang dibangun akan lebih efektif dan efisien dalam penanggulangan kemiskinan. Pola keterikatan (engagement) tersebut diwujudkan melalui bentuk kerjasama baik dari pihak muspida, muspika, hingga aktor pasar sebagai penyerap hasil dari produk ekonomi yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut.
334
PNPM sebagai suatu kebijakan publik yang partisipatif berusaha membentuk kelompok masyarakat menjadi modal sosial dengan diimbangi dengan pendanaan finansial yang kuat dengan tujuan memandirikan masyarakat dengan penguatan sinergisitas antara modal sosial, kapital, dan modal SDM yang ada maka untuk mencapai tujuan tersebut diperlukanlah berbagai strategi pendukungnya seperti halnya, 1) sebagai suatu strategi dasar adalah mengupayakan serta mengintensifkan segala progam pemberdayaan yang telah ada sehingga terjalin kemitraan yang luas untuk tercapainya keterpaduan trinitas konsep pembangunan yakni pembangunan sektoral, wilayah, dan partisipatif; 2) sebagai strategi operasional yakni mengoptimalisasi seluruh potensi sumber daya yang ada dengan basis penguatan kelembagaan masyarakat dan negara dengan meningkatkan kemampuan pembelajaran masyarakat untuk bisa memecahkan segala permasalahan yang timbul baik itu eksternal maupun internal. Seterusnya dalam hal implementasi dua strategi tersebut, maka dibuatlah tahapan perjenjangan implementasi progam PNPM tersebut dimulai dari tahun 2007 hingga 2015. Perjenjangan di sini dimulai dari tiga tahapan yang akan diterangkan dalam tulisan selanjutnya. Dalam tahapan participatory development ini PNPM masih dalam proses pembelajaran dan sosialisasi. Masyarakat dibangun kapasitas berpikirnya untuk memecahkan permasalahan kemiskinan dengan berbagai usaha awal pemberdayaan masyarakat yang dirancang pemerintah. Di satu sisi dalam jenjang ini pemerintah dan masyarakat masih berusaha menemui titik temu dalam mengintegrasikan pembangunan partisipatif ke dalam lingkup kebijakan pembangunan sektoral dan wilayah. Adapun dari sisi masyarakat terdapat rangkaian panjang dalam penerimaan sekaligus untuk mempelajari secara menyeluruh progam
Sosiokonsepsia Vol. 18, No. 03, September - Desember, Tahun 2013
pemberdayaan PNPM ini dimulai dari, 1) sosialisasi dan temu warga menyikapi hadirnya PNPM oleh agen pemerintah dengan tujuan membangkitkan kesadaran kritis masyarakat akan kemiskinan; 2) merefleksikan dan mengidentifikasikan penyebab permasalahan kemiskinan yang ada dengan mengenali kembali potensi sumber daya yang ada di sekeliling masyarakat untuk dijadikan motor penggerak perubahan; 3) setelah itu masyarakat mulai melembagakan dirinya dengan merumuskan segala rencana aksi dalam penanggulangan masalah kemiskinan; 4) penerimaan hadirnya pemerintah dengan memberi bantuan terkait inisiasi progam yang diajukan oleh masyarakat (Kemenkokesra, 2008: 9). Penjelasan deskriptif dari empat langkah teknis Kemenkokesra tersebut adalah fasilitator PNPM daerah mengajak temu diskusi terhadap tokoh masyarakat terhadap potensi ekonomi yang bisa digerakkan dan dapat diunggulkan sebagai sumber ekonomi potensial. Dari situlah kemudian problema kemiskinan strukural dapat dianalisis sejauh mana keterbatasan moda produksi yang membatasi pendapatan masyarakat sehingga menciptakan kemiskinan. Hal itulah yang kemudian berlanjut dari pola persuasif pemerintah dalam mengajak dan memotivasi masyarakat melalui serangkaian progam yang disesuaikan dengan potensi lingkungannya sebagai penggerak ekonomi. Sementara itu dari sisi pemerintah, dalam hal ini pemerintah mulai mengenalkan berbagai pemahaman awal disertai dengan berbagai komponen dasar mengenai PNPM mandiri yang terbagi dalam dua hal yakni PNPM inti yakni PNPM yang berbasiskan kewilayahan seperti halnya P2KP (kawasan perkotaan), PPK (kawasan kecamatan lokusnya pedesaan), P2DTK (kawasan daerah tertinggal). PNPM-penguataan yakni PNPM yang berbasiskan sektoral dan kewilayahan yakni PNPM yang berlaku di level pokmas
(kelompok masyarakat) (Tim Pengendali PNPM Mandiri 2007: 18). Pengenalan progam PNPM disini yang dimaksud meliputi, 1) Bantuan Langsung Masyarakat (BLM); 2) pengembangan masyarakat; 3) pengembangan kapasitas pemerintah dan pelaku local; 4) bantuan pengelolaan program. Penjelasannya sebagai betikut dari BLM yang disalurkan per kelurahan setelah mengindetifikasi berbagai masalah kemiskinan maupun potensi ekonomi yang bisa digerakkan utamanya yang menjadi sumber data adalah kelompok Gapoktan yang tersebar di masyarakat. Dari situlah kelompok Gapoktan bersama fasilitator PNPM dengan aparat kelurahan secara berkesinambungan mendorong publik menemukan potensi ekonomi lokalnya. Pemerintah dalam hal ini sebagai fasilitator utama sekaligus supervisor dalam progam ini. Secara lebih konkret langkah-langkah yang ditempuh dalam tahapan ini antara lain sebagai berikut, 1) harmonisasi pembelajaran dan lokasi P2KP dan PPK; 2) penyiapan sistem pendukung PNPM Mandiri dimulai dari modul, database, dan berbagai referensi yang mendukung lainnya; 3) pengidentifikasian progam-progam pemberdayaan masyarakat; 4) pengembangan kelembagaan PNPM; 5) pengenalan dan penyusunan PNPM Support Facility dan legal formal PNPM; 6) perumusan pendanaan dimulai dari pemerintah nasional menyiapkan dana sekitar 51 triliun rupiah dengan permulaan kebutuhan awal pendanaan PNPM mandiri berkisar di angka 32,06 triliun rupiah dan pemerintah daerah baik itu kabupaten maupun kota harus mampu menyiapkan dana pelaksanaan PNPM Mandiri dengan estimasi sekitar 8-12% dari pos belanja APBD; 7) pembentukan satuan kerja (satker) Tim Pengendali PNPM Mandiri di tingkat kabupaten maupun kota dengan target awal tahun 2007 mampu menjangkau 2827 kecamatan atau lebih.
Analisis Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Lokal Berbasis Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di Yogyakarta. Wasisto Raharjo Jati
335
Dalam tahapan Partnership (transisi 20082009) ini pemerintah beserta masyarakat masingmasing telah menemui titik temu implementasi PNPM. Pada era partnership ini, adanya relasi komunitas menjadi urgen dan signifikan dalam membentuk sinergisitas dan jejaring dengan para stakeholders lain yang terkait. Oleh karena itu masyarakat diharapkan mampu membentuk kemitraan implementasi PNPM dengan lembaga lainnya seperti pemerintah, swasta dan LSM. Masyarakat pula dapat mengakses pendanaan PNPM tak hanya dari pemerintah akan tetapi bisa jadi dana swakelola progam pribadi serta donor dari beberapa lembaga swasta dalam kerangka pelaksanaan CSR (Corporate Social Responsibility). Adapun progam PNPM tak lagi sebagai fasilitator dan inisiator penanggulangan kemiskinan yang ada dalam masyarakat akan tetapi PNPM lebih ditekankan pada pola supervisi pelaksanaan PNPM tersebut sehingga menjadi proses yang berkelanjutan. Sementara itu pemerintah juga meneruskan berbagai langkah-langkah keberlanjutan PNPM di masa transisi ini. Langkah-langkah pemerintah yang dimaksud adalah, 1) pengintegrasian komponen progam PNPM inti dan PNPM penguatan; 2) penyusunan PTO; 3) penentuan lokasi berkoordinasi dengan lembaga terkait baik itu lintas sektoral maupun pusat-daerah; 4) harmonisasi penyaluran dan redistribusi BLM (Bantuan Langsung Masyarakat); 5) adanya standarisasi pelayanan PNPM kepada masyarakat; 6) pengembangan MIS, monev, PPM; 7) strategi komunikasi dan sosialisasi kepada masyarakat luas khususnya pedesaan (Bappenas 2008: 9). Diharapkan dalam tahapan ini cakupan wilayah yang akan di-PNPM-kan akan bertambah luas mulai dari 2000 kecamatan menjadi sekitar 5000 kecamatan dalam tahapan ini. Dalam tahapan Sustainability Development (2009-2015). Adapun para era ini,
336
terdapat pola sinergisitas dengan entitas yang lain seperti halnya environment sustainability sebagai bentuk usaha penghargaan atas alam yang beperan sebagai penopang utama kegiatan ekonomi berbasis sumber daya lokal, economic sustainability yakni perlunya aktivasi ekonomi yang bisa berkesinambungan dengan pola manajemen kuat dan social sustainability perlunya penguatan kerjasama yang perlu diperkuat antara sesama anggota masyarakat sebagai implementor kebijakan PNPM ini. PNPM akan mendekati tujuan akhirnya yakni membentuk adanya local good governance dalam kerangka MDGs pada tahun 2015. Untuk itu maka masyarakat diharapkan dan diharuskan untuk mampu memanajerisasi segala pemecahan permasalahan tak hanya berbicara kemiskinan belaka akan tetapi juga hal lainnya. Oleh karena itu penting ditekankan bahwa dalam hal ini pemerintah mulai melepaskan hegemoninya atas masyarakatnya dengan pertimbangan bahwa masyarakat telah maju (advanced) dan mampu memberdayakan diri mereka sendiri dalam hal pembuatan untuk kemudian diimplementasikan kebijakannya kepada masyarakat itu sendiri sehingga membuat negara tak campur tangan lagi.Alur perumusan kebijakan PNPM dalam hal ini ditentukan oleh 3 Musrenbang antara lain dimulai dari desa, kecamatan, dan kota/ kabupaten. Dalam hal ini fungsi serta posisi Musrenbang tersebut antara lain: 1) Musrenbang Desa • Menginisiasi progam penanggulangan kemiskinan yang ada dalam masyarakat kepada stakeholders yang ada dalam Musrenbang tersebut. • Inisiasi progam yang nantinya akan difasilitasi PNPM tersebut haruslah mampu merefleksikan pola kemiskinan yang umum dalam masyarakat tersebut dalam forum tertinggi desa MAD (musyawarah antar desa).
Sosiokonsepsia Vol. 18, No. 03, September - Desember, Tahun 2013
2) Musrenbang Kecamatan • Inisiasi masyarakat tersebut haruslah masuk dalam Rencana Kerja (Renja) muspika yang ada. • Muspika kecamatan menempatkan inisiasi kebijakan tersebut ke dalam skala prioritas untuk kemudian dibawa ke level yang lebih tinggi. 3) Musrenbang Kabupaten/Kota • Forum SKPD akan mensikronisasi Renja Kecamatan dengan Renja Forum SKPD daerah. • Mengembangkan pembangunan partisipatif dalam PNPM pedesaan tersebut ke dalam integrasi pembangunan wilayah tahunan dengan skala prioritas tertentu. Maka PNPM merupakan terobosan terbaru dalam perumusan kebijakan publik yang selama ini menempatkan masyarakat sebagai objek percobaan lapangan kebijakan tersebut entah itu gagal ataupun tidak. PNPM bisa jadi merupakan jawaban atas itu disamping dengan pelibatan kebijakan yang bersifat dialogis antara negara dengan masyarakat sehingga mencerminkan adanya pendekatan musyawarah yang timbul di sana. Akan tetapi progam yang mulia ini masih dalam cakupan yang terbatas artinya tidak secara menyeluruh dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia disamping juga permasalahan aspek psikologis dan sosiologis masyarakat yang masih menganggap PNPM sebagai bantuan material seperti halnya Banpres maupun Inpres pada Orde Baru. Dalam hal ini tanpa mengesampingkan dilema di atas, PNPM haruslah menjadi cikal bakal pembentuk masyarakat Indonesia yang madani ke depannya. Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Kerangka Teoritik Pemberdayaan menjadi kata kunci dalam penulisan makalah ini sebagai pisau analisis dalam mengkaji permasalahan ini.
Secara etimologis, pemberdayaan berasal dari kata “berdaya” yakni bentuk upaya revitalisasi masyarakat sebagai aktor penting dalam konteks pemerintahan. Adanya pergeseran paradigma dari government menuju governance yang berimplikasi pada munculnya dua aktor lain selain halnya negara (state) seperti masyarakat (society) maupun kelompok intermediari yakni media dan partai politik menjadikan konteks pemberdayaan sendiri menjadi penting (Peters & Pierre, 2000). Adapun makna pemberdayaan (empowering) atau dalam bahasa Indonesia serapan yakni empowerisasi pada dasarnya adalah memberikan power pada masyarakat untuk menjadikan entitas ini juga menjadi aktor yang perlu untuk diperkuat eksistensi posisinya. Gejala pemberdayaan ini sebenarnya sudah ada sejak tahun 1980 an bersamaan dengan diseminasi gagasan good governance di seluruh dunia, hanya saja dalam kasus Indonesia sendiri gaung tersebut baru terasa pada tahun 2006 akhir. Dalam hal ini terdapat dua kecenderungan mendasar terhadap munculnya pemberdayaan ini. Kecenderungan primer, yakni munculnya limitas kapasitas yang dimiliki negara dalam fungsi kontrol maupun regulator sehingga diperlukan adanya kekuatan ekstra parlementarian yang independen untuk mengontrol dirinya sendiri. Kecenderungan sekunder adalah perlunya penguatan kapasitas yang diperlukan oleh masyarakat dalam memperkuat kapasitas instusionalisasinya sebagai aktor yang berdaya. Maka penyebutan community (komunitas) adalah bentuk dari masyarakat berdaya yang mampu independen dan terinstitusionalisasi secara kolektif. Dalam bahasa sosiologis, makna pemberdayaan sendiri pada tiga hal yakni enabling yakni memungkinkan adanya masyarakat untuk bisa memperkuat kemandirian secara pribadi maupun kolektif. Empowering yakni memberikan kekuatan penggerak
Analisis Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Lokal Berbasis Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di Yogyakarta. Wasisto Raharjo Jati
337
bagi masyarakat untuk bisa menyelesaikan permasalahannya sendiri. Supporting yakni mendukung masyarakat untuk bisa menemukan potensi yang ada untuk didayagunakan semaksimal mungkin. Maka tidaklah mengherankan apabila konteks pemberdayaan sendiri acap kali disebut sebagai alternative development. Hal itulah yang menjadikan makna pemberdayaan kemudian berkembang menjadi berbagai hal seperti community development karena upaya pembangunan sendiri mengarah pada manusia (people centered development). Istilah community development sendiri pada dasarnya istilah teknis untuk mendeskripsikan model pemberdayaan yang dilakukan oleh masyarakat dengan memanfaatkan sinergisitas dengan pihak lainnya. Hal itulah yang menjadikan konteks relasi dalam komunitas menjadi penting untuk memperkuat jejaring dan lain sebagainya. Secara garis besar, konteks pemberdayaan yang dilakukan dalam community development sendiri pada dasarnya bersifat charity karena hanya untuk menstimulus adanya motivasi “berdaya” dari setiap anggota masyarakat. Namun pada perkembangannya, justru konteks charity itu berubah menjadi grant dikarenakan konteks empowerisasi kini mengalami transformasi dari sekadar berbasiskan social capital kini sudah mengarah pada economic capital. Dari situlah kemudian konteks pelayanan (services) sendiri kemudian berkembang dari semula non profit menuju profit yang berbasiskan sosial pula. Pemberdayaan Masyarakat berbasis Minapolitan Minapolitan secara etimologis berasal dari kata “mina” yang berarti ikan, dan “politan” yang berarti kawasan. Secara istilah ia merupakan suatu kawasan satu bahkan lebih pusat kegiatan pedesaan sebagai sistem produksi perikanan dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan dengan 338
adanya keterikatan fungsional dan hierarki keruangan sistem permukiman penduduk dan sistem minabisnis. Adapun sebagai kebijakan teknokratis, pendekatan kebijakan Minapolitan sendiri meliputi 1) pengembangan kawasan, 2) pengembangan komoditas unggulan, 3) pengembangan usaha. Minapolitan yang berbasis pengembangan wilayah ini didasarkan pada pola integrasi spasial lingkungan dan kondisi ekonomi, sosial, maupun fisik sehingga menciptakan zona baru pertumbuhan ekonomi baru di pedesaan dan mengurangi kesenjangan dan ketergantungan antara desa dan kota sekaligus menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan sehingga mereduksi secara bertahap angka kemiskinan dan angka krimininalitas di pedesaan. Meskipun minapolitan mengandung logika teknokratis dari perumus kebijakan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, akan tetapi harus memuat potensi lokal yang telah ada sebelumnya mengingat kebijakan ini harus didukung terlebih dahulu oleh adanya perlindungan dan pengembangan budaya sosial lokal yang telah lebih dulu hadir dalam masyarakat. Adapun potensi lokal yang harus dipenuhi dalam Minapolitan ini antara lain, 1) telah terbentuk secara alami skill dan knowledge para pembudi daya ikan; 2) adanya jaringan (networks) usaha bisnis yang terjadi dalam perikanan darat; 3) adanya pelembagaan diri (institusionalism) para pembudidaya ikan sehingga memudahkan penataan kinerja dan koordinasi antar pembudidaya ikan sebelumnya; 4) adanya pola keterkaitan antara pusat minapolitan sebagai zona produksi perikanan dengan pusat produksi hasil perikanan tersebut (Direktur Prasarana dan Budidaya, 2010). Selain itu sinergitas antara pemikiran teknokratis dan kearifan lokal yang ada di masyarakat menentukan karakter dasar prasyarat kawasan minapolitan itu sendiri sehingga menimbulkan dampak positif bagi
Sosiokonsepsia Vol. 18, No. 03, September - Desember, Tahun 2013
pengembangan usaha perikanan darat tersebut. Adapun karakter dasar maupun prasyarat yang harus dipenuhi untuk membangun sinergistas minapolitan antara lain sebegai berikut, 1) Memiliki sumber daya lahan yang sesuai untuk pengembangan komoditas perikanan yang telah memiliki pangsa pasar yang jelas dan berprospek cerah dan menjadikan kegiatan perikanan darat tersebut menjadi business core serta sumber pendapatan utama masyarakat yang ada di sekitarnya. 2) Telah memiliki unit pendukung sarana dan prasarana (supporting system) pengembangan minapolitan sendiri seperti halnya: • Pasar • Lembaga keuangan • Memiliki lembaga pembudidaya ikan (kelompok petani ikan) • Memiliki fasilitator perikanan • Jaringan jalan yang menuju ke pasar sebagai pusat konsumsi dan memiliki aksesbilitas menuju pusat kota • Telah memiliki unsur aquaculture dan juga kondisi lingkungan alam yang memungkinan lokasi perikanan darat berbasis minapolitan itu dilaksanakan di dalam masyarakat. Maka apabila prasyarat dan karakter dasar pengembangan minapolitan ini telah dipenuhi semua, maka progam minapolitan ini akan berjalan efektif dan bermanfaat dalam masyarakat ke depannya. HASIL DAN PEMBAHASAN Permasalahan Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Minapolitan Padukuhan Kadisoka yang berada di wilayah Desa Purwomartani, Kalasan, Sleman merupakan sebuah desa yang sebagian besar mengalami transisi spasial dari sekitar luas wilayah sekitar ± 70.000 meter persegi yang
dulunya merupakan lahan persawahan berganti menjadi perikanan darat dengan rincian mayoritas ± 40.000 meter persegi untuk budidaya dan pendederan ikan dan hanya menyisakan sekitar ± 30.000 meter persegi untuk lahan persawahan. Transisi tersebut terjadi dikarenakan konteks persawahan di Kadisoka yang bermula berbentuk Minapadi yakni menggabungkan persawahan dengan peternakan ikan justru tidak membawa dampak perekonomian yang signifikan, malahan peternakan ikan yang hanya merupakan usaha sampingan berkembang dengan baik. Hal itu dikarenakan kontur spasial lingkungan yang memungkinkan perikanan darat berkembang dengan pesat di Kadisoka antara lain seperti Kali Kuning yang mengaliri Kadisoka mempunyai debit air sekitar 450 liter per detik (pada musim kemarau) sampai 650 liter per detik (pada musim hujan). Selain itu pula banyaknya curah hujan yang melimpah 2.000 mm/tahun didukung dengan topografi berdataran rendah bersuhu 33-37 derajat celcius. Melihat kondisi alam yang bersahabat, maka mulai pertengahan 2006 masyarakat Kadisoka mulai menrintis usaha perikanan darat di bekas lahan persawahan. Maka seiring dengan berjalannya waktu terjadilah proses perpindahan profesi dari penduduk Kadisoka yang secara tradisional merupakan petani tradisional berubah menjadi nelayan ikan darat yang bermula hanya 32 orang kini telah menarik minat banyak penduduk Kadisoka untuk berkecimpung dalam bidang perikanan darat. Klaim sebagai kawasan Minapolitan yang disematkan pada Padukuhan Kadisoka ini bisa dilihat dari berbagai indikator seperti adanya kemampuan (skill) maupun pengetahuan (knowledge) warga Padukuhan Kadisoka untuk menjadi nelayan perikanan darat yang telah tumbuh secara alamiah bersamaan berkembangnya kolam perikanan darat Hal itu
Analisis Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Lokal Berbasis Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di Yogyakarta. Wasisto Raharjo Jati
339
semakin berkembang ketika pada pertengahan 2007 mereka mulai melembagakan diri (self institusionalism) menjadi Kelompok Pembudidaya Ikan (KPI) Mina Soka Makmur & Mina Soka Mandiri. Kemudian secara periodik, hasil perikanan darat tumbuh pesat bahkan
sudah memiliki jejaring (networks) pasar tersendiri untuk menerima hasil budidaya ikan mereka. Adapun potensi pasar yang terbuka luas bagi hasil perikanan darat Kadisoka dapat dilihat dari tabel di bawah ini (KPI Mina Soka Makmur, n.d.).
Tabel 1. Pangsa Pasar Komoditas Pemberdayaan Masyarakat di Kadisoka No.
Pasar Penerima Hasil Perikanan Darat Kadisoka
1.
Warung Makan Pemancingan Pak Wandi
500 kilogram / minggu
2.
Warung Makan “Ticha”
150 kilogram / minggu
3.
Rumah Makan (RM) Masakan Padang Cita Rasa
50 kilogram / minggu
Dari situlah kemudian kawasan Padukuhan Kadisoka berkembang pesat menjadi kawasan budidaya ikan terpadu (Minapolitan) yang tumbuh secara alamiah di Sleman Timur dan bahkan sempat menjadi kawasan percontohan nasional di Pulau Jawa. daerah Kadisoka yang berpotensial dengan perikanan darat ditunjukkan dengan adanya 19 kolam pembesaran ikan terutama ikan nila hitam sebagai komoditas utama dengan ukuran 12 x 8 x 0,80 meter yang setiap panen per mingguan mencapai 100 kg dan hasil pendederan ikan mencapai 3000 kg. Pasar pun merespon cepat dengan semakin meningkatnya permintaan ikan dari Kelompok Pembudidaya Ikan (KPI) Mina Suka Makmur dan Mina Suka Mandiri yang semakin besar dari minggu ke minggu. Dari situ kemudian persoalan pun hadir yakni munculnya kemiskinan modal dan infrastruktur dalam pengembangan perikanan darat dalam memenuhi tuntutan pasar. Permasalahan kemiskinan modal dan kemiskinan infrastruktur yang mendera warga yang tergabung dalam KPI tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Problema kemiskinan masyarakat Kadisoka secara kontekstual 1) Menurunnya kapasitas redistribusi produk dari produsen kepada konsumen
340
Jumlah Permintaan Ikan
2) Problema involusi pertanian, yakni semakin mengecilnya lahan pertanian sehingga menurunkan daya saing produk pertanian 3) Ketiadaan bentuk moda produksi yang dapat diolah menjadi produk ekonomi unggulan. 4) Ketiadaan kemitraan yang ada antara pasar, pemerintah, maupun masyarakat sehingga menjadikan problema kemiskinan sendiri sulit terdeteksi. b. Kemiskinan Infrastruktur 1) Keterbatasan kolam penampungan dan pembesaran ikan dikarenakan stok permintaan ikan yang semakin besar. 2) Keterbatasan gudang penyimpanan pakan dan ikan yang sudah overload untuk menyimpan keduanya. c. Kemiskinan Modal 1) Kebutuhan untuk membeli benih dan pakan ikan yang harganya semakin tinggi seiring dengan permintaan pasar. 2) Kebutuhan akan peralatan teknis lainnya seperti pemeliharaan kolam ikan, pembelian jaring, kapur, pupuk dan lain sebagainya. Walaupun untuk mengatasi dua kemiskinan ini, KPI sudah menjalin kerjasama dengan PT. Aqua PAM yakni sebuah
Sosiokonsepsia Vol. 18, No. 03, September - Desember, Tahun 2013
perusahaan pengalengan ikan yang berbasis pasar ekspor dan impor. Kerjasama yang terkait dengan penjualan dan pemberian bibit dan pakan sebesar 50% sebagai bentuk bagi hasil yang mutualistik antara pasar dan masyarakat. Akan tetapi hal itu belum cukup mengatasi dua kemiskinan itu malahan kekayaan hasil perikanan darat tersebut hanya terabsorsi perusahaan tersebut dan masyarakat Kadisoka hanya menerima porsi bagi hasil yang tidak seimbang dengan kinerja mereka sehingga terjadi penurunan perekonomian subsistensi masyarakat. Dari situlah kemudian PNPM Kelautan dan Perikanan masuk ke Kadisoka untuk memfasilitasi perikanan darat yang telah eksis sebelumnya. PNPM Kelautan dan Perikanan yang ada di Padukuhan Kadisoka murni atas inisiatif warga untuk mengembangkan perikanan darat dan untuk memperluas pekerjaan bagi generasi muda yang ada sehingga mampu mengurangi ketergantungan perekonomian dengan Kota Yogyakarta. Kebiasaan masyarakat yang terbiasa dengan lingkungan sumber daya air membuat karamba maupun kolam menjadi identitas ekonomi bagi publik desa. Adaya prospek yang menguntungkan dari pemberdayaan kolam tersebut secara gradual mereduksi Hal itu kemudian direspon baik oleh Pemerintah Desa Purwomartani dan Pemerintah Kecamatan Kalasan yang kemudian membawa inisiatif warga tersebut berupa penembusan proposal permohonan dana PNPM ke Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi DIY melalui Dinas Pertanian dan Kehutanan subbidang Perikanan Kabupaten Sleman. Seterusnya kemudian ditembuskan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan pada September 2009. Selain itu alasan inisiatif proposal diloloskan Pemerintah Kecamatan Kalasan dikarenakan untuk mendukung RTRW Kecamatan Kalasan yakni menjadi kawasan perikanan terpadu perikanan Sleman.
Adapun pertimbangan Kementerian Perikanan dan Kelautan dalam memberikan dana PNPM ke Desa Purwomartani khususnya Padukuhan Kadisoka adalah: 1) konteks perikanan darat di Kadisoka telah memenuhi standar kualifikasi minapolitan yang dicanangkan oleh Kementerian; 2) piagam kelas madya yang diberikan Bupati Sleman kepada kelompok pembudidaya ikan sebagai acuan bahwa dana bergulir PNPM nantinya akan berjalan berkelanjutan dan berkembang pesat dan itu didukung pengadministrasian data yang cukup baik; 3) komitmen pemerintah setempat untuk mengembangkan wilayahnya berbasiskan pada perikanan darat; 4) mempunyai prospek perikanan yang cerah dengan luas areal 12.800 meter persegi dengan total produksi 28.000 kg/tahun dengan komoditas unggulan ikan nila hitam sebesar 15 gram yang kesemuanya diestimasi mempunyai nilai jual Rp392.000.000 per tahun (KPI Mina Soka Makmur, n.d.). Adapun pendanaan ini sejatinya sudah dimulai 2010 dan berakhir pada 2011. Skema pendanaan memang pada dasarnya adalah charity yang sifatnya asistensi kepada kelompok-kelompok perikanan yang kemudian berkembang menjadi insentif ekonomi dalam pengembangan baik secara manajerial maupun pengelolaan. Hal itulah yang menjadikan skema pendanaan sendiri hanya berlangsung setahun karena masyarakat berhasil mendayagunakan secara maksimal dana tersebut menjadi basis pemberdayaan dan penguatan ekonomi lokal di lingkungannya. Dalam hal ini dana yang diberikan PNPM Kelautan dan Perikanan dari Kementerian sebesar Rp 47.025.000 sesuai dengan 9 pengusung inisiatif dana PNPM tersebut yang kemudian dari 9 inisiator tersebut dibagikan lagi kepada 30 anggotanya sehingga tiap anggota menerima Rp 5.525.000. Selain itu untuk mendukung perikanan darat, dana PPK dari
Analisis Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Lokal Berbasis Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di Yogyakarta. Wasisto Raharjo Jati
341
pemerintahan desa Purwomartani yang bernama Purwo Mandiri juga memberikan bantuan kepada para pembudidaya ikan di Kadisoka. Kesemua dana itu kemudian dikelola dan di-monitoring dengan transparan oleh warga, perwakilan LKM Purwomartani, dan juga fasilitator PNPM yang datang langsung memantau pelaksanaannya. Mereka pun dievaluasi dalam
forum besar yang dinamakan FKPI (Forum Komunikasi Pembudidaya Ikan) se-Kecamatan Kalasan yang diketuai oleh inisiator PNPM Kelautan dan Perikanan di Kadisoka. Dalam hal ini dana dari Purwo Mandiri yang digagas LKM Purwomartani antara lain seperti bantuan pembangunan kolam ikan.
Tabel 2. Analisis Modal Pemberdayaan Masyarakat PNPM Kadisoka No.
Lokasi
Rincian Kegiatan
Swadaya
APBD
Dana Lain
Jumlah
1.
Kadisoka
Kolam Ikan
7.350.000
12.005.000
5.145.000
24.500.000
Adapun rincian progam pelaksanan PNPM Kelautan dan Perikanan yang ada di Padukuhan Kadisoka (KPI Mina Soka Makmur, n.d.) adalah sebagai berikut, a. Infrastruktur 1) Perbaikan Pematang =
Rp
1.250.000,-
2) Pengapuran
=
Rp
360.000,-
3) Pemupukan
=
Rp
450.000,-
4) Alat Tangkap Ikan
=
Rp
150.000,-
Rp 2.210.000,b. Modal 1) Benih Ikan
=
Rp
300.000,-
2) Pakan Ikan
=
Rp
2.715.000,-
Rp 3.015.000,
Rp
5.225.000,- x 9 = Rp 47.025.000,-
Tabel 3. Analisis Permasalahan Kekurangan dan Kelebihan PNPM Minapolitan No.
Bidang
Implikasi PNPM
1.
Pengentasan Kemiskinan
Berhasil menciptakan lapangan kerja baru di Kadisoka dan menurunkan angka kriminalitas pemuda desa berupa kebiasaan mabuk minuman keras dan pencurian ayam serta
2.
Produksi Perikanan
Meningkatkan produksi perikanan yakni 1 kolam pembesaran ikan mampu menghasilkan panen per minggu 400 kg nila
3.
Pemasaran
JAPFA yang bergerak dalam industri makanan dengan membeli produk perikanan Kadisoka.
4.
Agribisnis
Adanya transisi perekonomian subsisten masyarakat menjadi perekonomian agribisnis subsistem hulu.
342
Sosiokonsepsia Vol. 18, No. 03, September - Desember, Tahun 2013
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa strategi Minapolitan sebagai ujung tombak pelaksaan PNPM Kelautan dan Perikanan tidaklah selalu menempatkan para teknokrat perumus kebijakan sebagai orang yang mengerti segala hal dan seolah pola berpikir teknokratis mampu menyelesaikan segala masalah publik dalam kehidupan sehari-hari. Minapolitan mengajarkan bahwa kebijakan tidaklah melulu dari atas, akan tetapi bisa jadi dari pola relasi hubungan publik dalam kehidupan sehari-hari.
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Sleman. (2009). “Penerima Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) PNPM Mandiri Kelautan dan Perikanan”. Sleman: Pemerintah Kabupaten Sleman.
Oleh karena itulah Minapolitan merupakan sinergisitas pola berpikir negara dan masyarakat dintegralkan yang justru menimbulkan kemaslahatan masyarakat. Hal itulah yang terbukti dalam studi kasus lapangan di Padukuhan Kadisoka dimana pemerintah mengkondisikan konteks lokal yang ada dan kemudian mengafirmasikannya dalam suatu kebijakan publik yang demokratik dan mengajak masyarakat bukan lagi implemetator akan tetapi sebagai aktor mulai dari tahapan perumusan agenda setting hingga evaluasinya sehingga pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator kehendak masyarakatnya. Dari situ kemudian terbukti bahwa strategi minapolitan yang dikehendaki masyarakat justru bersifat multitasking yakni tidak hanya bertugas mereduksi secara bertahap angka kemiskinan yang ada di wilayahnya tetapi juga bisa mereduksi angka kriminalitas, bahkan membuka peluang swasta untuk terlibat dalam progam perekonomian rakyat. Oleh karena itulah integrasi negara dan masyarakat dalam setiap tahapan kebijakan publik merupakan hal yang penting dan akan menciptakan hubungan saling menguntungkan dan harmonis baik bagi negara maupun masyarakat.
Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Sleman. (2009). “BAP Serah Terima Bantuan BLM/PNPM-KP”. Sleman: Pemerintah Kabupaten Sleman. Direktorat Prasarana dan Sarana Budidaya. (2010). Kebijakan Pengembangan Kawasan Minapolitan sebagai Langkah DKP dalam Mendukung Pengembangan Wilayah. Jakarta: Kementerian Perikanan dan Kelautan. Giddens, A. (2010). Teori Strukturasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. KPI Mina Soka Makmur. (2009). “Proposal PNPM-KP: Sarana dan Pembesaran Ikan Nila”. Sleman: KPI Mina Soka Makmur. Pemerintah Desa Purwomartani. (2010). “Data Kemiskinan Padukuhan Kadisoka”. Kadisoka: Pemerintah Desa Purwomartani. Pemerintah Desa Purwomartani. (2009). “Laporan Pengendalian Pembangunan Tahunan Desa Purwomartani”. Kadisoka: Pemerintah Desa Purwomartani. Pemerintah Desa Purwomartani. (2010). “Rencana Progam Kegiatan LKM Purwomartani”. Kadisoka: Pemerintah Desa Purwomartani. Peters, G., and Pierre, J. (2000). Governance, Politics, and The State. London: Palgrave Macmillan.
Analisis Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Lokal Berbasis Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri di Yogyakarta. Wasisto Raharjo Jati
343
Poernomo, S. (2010). “Minapolitan untuk Memerangi Kemiskinan”.
. Diakses 13 Juli 2010. Royat, S. (2007). Government Policy on Poverty Alleviation. Jakarta: Kemenkokesra.
344
Satria, A. (2010). “Minapolitan & Minapolitik”. . Diakses 23 Mei 2010. Yin, R.K. (1997). Metode Penelitian Studi Kasus. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sosiokonsepsia Vol. 18, No. 03, September - Desember, Tahun 2013