ARTIKEL UTAMA
ANALISIS KEBUTUHAN RINTISAN IMPLEMENTASI SEKOLAH PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSIF (SPPI) PROPINSI JAWA TENGAH TAHUN 2010 Oleh: Subagya *) ABSTRACT The purpose of this study is to analyze the basic needs that are still needed in the implementation of inclusive education in Central Java Province. The subjects were all 155 schools as inclusive education providers Province Central Java. Data collection techniques using questionnaires and documentation. Data qualitative-descriptive analysis approach was used with gap-analysis techniques by analyzing the gap between the indicators of school success of inclusive education providers with the fact. The research concluded that the school readiness level of inclusion in general education provider has just reached 38.82%. When consulted on the delivery table indicator of the success of inclusive education schools score threshold 56, then the school inclusive education providers in Central Java province in 2010 is still in rank to E or not ready/not ready to implement inclusive education. The components that require immediate priority is the component cost centers (15.94% performance level), infrastructure (19.19% performance level), only the institutional components that have exceeded the minimum (61.10%). Keywords: analysis of needs, inclusive education ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kebutuhan dasar yang masih diperlukan di dalam implementasi penyelenggaraan pendidikan Inklusi di Provinsi Jawa Tengah. Subjek dari penelitian ini adalah seluruh sekolah inklusi di Provinsi Jawa Tengah sejumlah 155 sekolah. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dokumentasi dan kuisioner. Analisis yang digunakan adalah pendekatan diskriptif kualitatif dengan teknik gap analysis dengan cara menganalisis perbedaan antara indikator sekolah inklusif dengan fakta lapangan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kesiapan sekolah secara umum baru diperoleh 38,82%. Jika dibandigkan dengan tabel pendidikan inklusif yang ideal dengan skor dasar 56, sehingga kesiapan skolah penyelenggara pendidikan inklusif di provinsi Jawa Tengah masih pada tataran nilai E atau dapat dikatakan bahwa sekolah belum memiliki kesiapan dalam mengimplementasikan Pendidikan Inklusi. Komponen utama yang menjadi prioritas persyaratan utama adalah komponen yang berkaitan dengan pembiayaan (sebesar 15,94%), infrastuktur (sebesar 19,91%), komponen yang telah memeuhi standar minimal adalah komponen institusional sebesar 61,10 %. Kata kunci: analisis kebutuhan, pendidikan inklusi
PENDAHULUAN Hasil survei Badan Koordinasi (Bakor) Pendidikan Luar Biasa Jawa Tengah bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah menunjukkan ternyata masih terdapat 26.568 anak berkebutuhan khusus di Jawa Tengah belum sekolah (Subagya, 2009). Mereka tersebar di daerah-daerah yang jauh dari Sekolah Luar Biasa (SLB). Anak berkebutuhan khusus tersebut belum bersekolah disebabkan karena tempat tinggalnya jauh dari sekolah khusus, ditolak bersekolah pada sekolah terdekat, motivasi orang tua Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) sangat rendah/malu/menyembunyikan. Bertitik tolak dari data tersebut maka, penuntasan wajib belajar sembilan tahun belum menyentuh hak pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus. Sebagai efek dari data tersebut adalah Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2010 telah menggulirkan block grand rintisan untuk 160 sekolah penyelenggara pendidikan inklusi agar tahun demi tahun anak berkebutuhan khusus yang belum sekolah tersebut lambat laun berkurang jumlahnya. Penyelenggaraan SLB memerlukan biaya tinggi, sehingga keberadaannya hanya terbatas di beberapa tempat, jadi tidak dapat menjangkau tempat tinggal semua ABK yang lokasinya menyebar. Kecuali itu pembelajaran dengan sistem segregasi di SLB tidak banyak memberi kesempatan pengembangan sosialitas pada anak berkebutuhan khusus, sehingga mereka yang telah tamatpun tetap tidak mudah diterima oleh masyarakat. Untuk itu diperlukan strategi pemenuhan dan perlindungan hak asasi di bidang perolehan layanan pendidikan bagi setiap warganegara tanpa kecuali (termasuk ABK) yang sampai saat ini masih dipinggirkan Secara umum rentangan anak berkebutuhan khusus meliputi dua kategori yaitu: anak yang memiliki kebutuhan khusus
yang bersifat permanen, yaitu akibat dari kecacatan tertentu, dan anak berkebutuhan khusus yang bersifat temporer, yaitu mereka yang mengalami hambatan belajar dan perkembangan yang disebabkan kondisi dan situasi lingkungan. Misalnya, anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat kerusuhan dan bencana alam, atau tidak bisa membaca karena kekeliruan guru mengajar, anak yang mengalami kedwibahasaan (perbedaan bahasa di rumah dan di sekolah), anak yang mengalami hambatan belajar dan perkembangan karena isolasi budaya dan karena kemiskinan dsb. Anak berkebutuhan khusus temporer, apabila tidak menda-patkan intervensi yang tepat dan sesuai dengan hambatan belajarnya bisa menjadi permanen. Adapun klasifikasi anak berkebutuhan khusus adalah anak berkebutuhan khusus dikelompokkan menjadi anak berkebutuhan khusus temporer dan permanen. Anak berkebutuhan khusus permanen yaitu mereka yang mengalami kelainan atau kecacatan dalam fisik, mental, perilaku dan sosial. Anak berkebutuhan khusus temporer meliputi anak dari daerah terbelakang/ terpencil/pulau-pulau kecil, masyarakat etnis minoritas, pekerja anak, anak TKI, SILN, pelacur anak/trafficking, lapas anak, anak jalanan, pengungsi (gempa, bencana, konflik) (Depdiknas 2007). Adapun anak yang dapat digolongkan sebagai anak berkebutuhan khusus berdasarkan Pasal 3 Permendiknas 70/2009 adalah setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.. Peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 terdiri atas (1) tunanetra; (2) tunarungu; (3) tunawicara; (4) tunagrahita; (5) tunadaksa; (6) tunalaras; (7) berkesulitan belajar; (8) lamban belajar; (9) autis; (10) memiliki gangguan motorik; (11) menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat
terlarang dan zat adiktif lainnya; (12) memiliki kelainan lainnya; (13) tunaganda. Mereka yang tersebut dinamakan ABK dan memiliki hak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Inklusivime perlu dimulai sejak lahir, hak saat seorang anak lahir. Proses pembelajaran, perkembangan dan evolusi mulai terlinding dari pengecualian. Pengecualian yang tidak alamiah cenderung menghambat pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dan dapat mengambat inklusifisme secara alamiah. Inklusif mungkin tumbuh ketika masyarakat mewujudkan mengembangkan sumber daya sendiri (Puri dan Abraham, 2004). Pendidikan inklusi adalah praktik menciptakan ruang kelas heterogen di lingkungan sekolah, di mana setiap anak berusaha untuk mencapai tujuan individual sedangkan berpartisipasi penuh dalam kegiatan sosial dan akademik (Ajodhia, 2010). Inklusi, sebagai sebuah ide, adalah fitur dari dokumen pengaturan kurikulum dan sistem pendidikan di banyak negara, meskipun berbeda dari satu negara dengan negara lain dan amat tergantung dari sistem pendidikan dari masing-masing negara. Inklusi adalah tentang kesadaran menempatkan ke nilai-nilai tindakan berdasarkan ekuitas, hak, masyarakat, partisipasi dan menghormati keragaman. Pengembangan pendidikan inklusif selalu dikaitkan dengan mengurangi pengecualian. Hal ini terkait dengan pengurangan kesenjangan, baik ekonomi dan sosial, baik dalam memulai posisi dan kesempatan. Sementara inklusi umumnya diidentifikasi dengan keprihatinan dengan peserta didik cacat atau mereka yang dikategorikan sebagai berkebutuhan khusus, yang penting adalah mengurangi hambatan belajar dan partisipasi bagi semua peserta didik . hal ini diupayakan mengurangi diskriminasi atas
dasar gender, kelas, ketidakmampuan, orientasi seksual, etnis dan latar belakang keluarga (Booth, dkk 2003). Secara sederhana pendidikan inklusif dimaksudkan sebagai bentuk layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Sekolah inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan/atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya. Pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Keuntungan dari pendidikan inklusif anak berkebutuhan khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat, dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya masingmasing. Konsekuensi penyelenggaraan pendidikan inklusif adalah pihak sekolah dituntut melakukan berbagai perubahan, mulai cara pandang, sikap, sampai pada proses pendidikan yang berorientasi pada kebutuhan individual tanpa diskriminasi. Ada 2 (dua) jenis indikator yang peneliti dikembangkan yaitu indikator sekolah dan kelas. Indikator sekolah dan kelas adalah penanda yang digunakan oleh kepala sekolah, guru, dan personalia sekolah dalam merencanakan, melaksanakan,dan mengevaluasi sekolah sebagai sekolah yang mengimplementasikan pendidikan inklusif. Indikator ini berkenaan juga dengan
kegiatan sekolah yang diprogramkan dan kegiatan sekolah sehari-hari (rutin). Indikator dirumuskan dalam bentuk upaya adaptasi dari sekolah biasa menjadi sekolah inklusif, sebagai berikut:
d. Kurang siap (peringkat D), jika memperoleh skor (NA) lebih besar atau sama dengan 41 sampai dengan 55 (41≤NA≤55). e. Tidak siap (peringkat E), jika memperoleh skor (NA) kurang dari 41 (NA < 40).
Tabel 1 : Indikator Sekolah dan Kelas KOMPONEN 1. Kelembagaan
2. Kurikulum dan pembelajaran
3. Tenaga pendidik
INDIKATOR SEKOLAH • Memiliki ijin operasional dari Pemerintah Daerah • Manajemen sekolah dilaksanakan secara fleksibel yang mampu mengakomodasi kebutuhan semua anak KTSP telah diadaptasi untuk semua peserta didik Terdapat kelas yang menyertakan ABK
Memiliki guru kelas, guru mata pelajaran. Memiliki guru pembimbing khusus
4. Sarana dan prasarana
Memiliki sarana dan prasarana yang aksesible untuk semua anak
5. Pembeayaan
Mengalokasikan anggaran untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif
Indikator itu sebagai tolok ukur keberhasilan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dengan rentang nilai sebagai berikut: a. Amat siap (peringkat A) jika memperoleh skor lebih besar atau sama dengan 86 sampai dengan 100 (86≤ NA≤100). b. Siap (peringkat B), jika memperoleh skor (NA) lebih besar atau sama dengan 71 sampai dengan 85 (71≤NA≤85). c. Cukup siap (peringkat C), jika memperoleh skor (NA) lebih besar atau sama dengan 56 sampai dengan 70 (56≤NA≤70).
INDIKATOR KELAS Memasukan ABK sebagai bagian warga kelas yang memiliki hak dan kewajiban yang sama tanpa kecuali.
Silabus dan RPP telah diadaptasi untuk semua anak tanpa kecuali Terdapat PPI untuk ABK dengan kecerdasan di bawah anak lain sebaya. Penilaian didasarkan pada kemampuan masing-masing anak Untuk ABK yang tidak menggunakan kurikulum standar tidak mengenal tinggal kelas, tidak mengenal tidak lulus. Memuat program kompensatoris sesuai denga n kebutuhan anak • Guru kelas, guru mata pelajaran memahami perbedaan individu dan mengakomodasi ke dalam kebutuhan masigmasing • Guru pembimbing khusus adalah sarjana PLB yang memiliki kompetensi program khusus dan mengatasi kesulitan ABK dan guru lain Kelas aksesible Terdapat sarana dan prasarana khusus untuk pembelajaran ABK Memiliki media, alat peraga khusus, alat kompensatoris untuk ABK Memberikan beasiswa kepada ABK Memuat anggaran khusus bagi layanan ABK dalam pembelajaran
Berkaitan dengan hal tersebut penelitian ini bermaksud melakukan need assessment terhadap sekolah model yang ditunjuk sebagai rintisan sekolah inklusif. Untuk mengimplementasikan sistem pendidikan inklusi, perlu diperha-tikan beberapa permasalahan yang lebih dulu harus dikaji. Permasalahan tersebut adalah kebutuhan esensial apa yang diperlukan berkaitan dengan penyiapan implementasi sekolah inklusif di Propinsi Jawa Tengah. Sehingga diketahui tingkat keberhasilan implementasi pendidikan inklusif Propinsi Jawa Tengah dan diperoleh gambaran tentang kebutuhan esensial terhadap imple-mentasi sekolah inklusif Propinsi Jawa Tengah tahun 2010.
METODE Penelitian yang dilakukan berupa “explanation research” yaitu menjelaskan gambaran tentang gejala yang ada. Dalam hal ini berupa gambaran tentang kondisi komponen penyelenggaraan pendidikan inklusi. Hal ini penting bagi penyiapan penyelenggaraan pendidikan inklusi. Berdasarkan hal tersebut, maka pendekatan yang dilakukan berupa pendekatan “expose facto” yaitu memaparkan fakta yang ada.. Variable dalam penelitian ini adalah: (1) Aspek legalitas kelembagaan rintisan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif (2) Kurikulum yang mengakomodasi semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus; (3) Ketenagaan yang terlibat dalam rintisan sekolah inklusif; (4) Layanan pendidikan Anak berkebutuhan khusus; (5)Penyediaan sarana dan prasarana khusus; (6) Pembeayaan yang memberikan anggaran untuk implementasi sekolah inklusif. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dengan teknik gap analysis yaitu analisis kesenjangan antara parameter yang telah ditentukan dengan kenyataan yang ada Penelitian dilaksanakan pada 160 rintisan sekolah inklusif di Propinsi Jawa pada tahun pelajaran 2009/2010. Penelitian diselenggarakan dalam waktu 45 hari, yaitu diawali pada bulan Agustus sampai dengan September 2010. Subjek penelitian ini adalah 160 Kepala Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Propinsi Jawa Tengah. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket evaluasi diri sekolah penyelenggara pendidikan inklusif (SPPI) untuk mengumpulkan data tentang komponen yang telah dan atau belum ada. Angket evaluasi diri sekolah itu terdiri dari enam komponen yang jabarkan dalam 84 deskriptor/item untuk dijawab ya/tidak sesuai kenyataan yang ada. Dokumentasi,
untuk mengumpulkan profil sekolah penyelenggara sekolah inklusif. Dokumentasi digunakan untuk mengecek validitas jawaban pada angket evaluasi diri tersebut. Data yang diperoleh dari angket evaluasi diri SPPI jawaban ya dikonversi ke dalam nilai kuantitatif 1 dan tidak 0. Kompilasi data tiap sekolah dicek validitasnya melalui dokumen/bukti fisik yang ada. Data yang bersifat kuantitatif dianalisis dengan Gap-analysis yaitu mencari kesenjangan antara standar minimal yang telah ditentukan (indikator kinerja SPPI) dengan kenyataan yang ada. Kesenjangan itu dapat dijadikan asumsi untuk menentukan kebutuhan dasar yang diperlukan SPPI. Kinerja yang telah dicapai sesuai batas kriteria minimal disebut sebagai keberhasilan dan kinerja yang masih berada di bawah kriteria yang ditetapkan disebut kebutuhan dasar yang masih diperlukan atau kesenjangan. Adapun analisis data yang dilakukan meliputi (1) membuat tabulasi data (2) mengentry data (3) mereduksi data (4) membuat kategorisasi (5) menyusun kategori sehingga menjadi cacatan yang sistematik (6) mengaitkan dengan kerangka teoritik (7) menyusun kesimpulan hasil penelitian. HASIL Subjek tidak dibedakan jenjang satuan pendidikan, namun mencakup SD, SMP, SMA yang ditunjuk oleh Dinas Kabupaten/Kota, tiap Kabupaten/ Kota terdiri 4 (empat) sekolah kecuali untuk kabupaten Klaten, Boyolali, Karanganyar dan Wonogiri masing-masing 9 (sembilan) sekolah sehingga berjumlah 160 sekolah. Dari 160 sekolah tersebut terdapat 5 (lima) sekolah yang tidak mengisi instrumen yang diberikan sehingga data penelitian menjadi 155 sekolah.
Berdasarkan data di atas dapat dirangkum dalam kesiapan/kinerja SPPI yang ditunjuk sebagai model Propinsi Jawa Tengah tiap komponen berkisar 15% sampai dengan 61%, dengan rincian sebagai berikut: Tabel 2: Rangkuman Hasil Penelitan No
Komponen
Jmlh Item
%
1
Kelembagaan
10
61,10
2
Kurikulum
19
54,36
3
Ketenagaan
14
31,20
4
Peserta didik
15
51,10
5
Sarpras
16
19,19
6
Pembeayaan
10
15,94
Jumlah/Rerata
84
38,82
Grafik 1. Rangkuman Kesiapan SPPI Provinsi Jawa Tengah
Memerhatikan perhitungan data tersebut terbukti bahwa tingkat kesiapan sekolah penyelenggara pendidikan inklusi secara umum baru mencapai 38,82%. Jika dikonsultasikan pada tabel indikator
keberhasilan sekolah penyelenggaran pendidikan inklusif skor batas minimal 56, maka sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2010 masih pada peringkat E atau tidak siap/belum siap melaksanakan pendidikan inklusif. Analisis Kebutuhan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi Komponen yang amat dibutuhkan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif Propinsi Jawa Tengah tahun 2010 adalah skor-skor terendah pada tiap komponen dari peringkat kesiapan di atas. Jika menggunakan indikator keberhasilan sekolah inklusif, maka yang amat dibutuhkan adalah skor yang memiliki peringkat kurang atau skor kurang dari 56 pada tiap item. Adapun hasil analisis kebutuhan esensial tersebut adalah sebagai berikut: a. Kelembagaan (1) penunjukkan koordinator sekolah inklusif pada tingkat SPPI (2) laporan tertulis pelaksanaan SPPI (3) kerjasama dengan SLB dan (3) adaptasi manajemen sekolah. b. Kurikulum dan Pembelajaran (1) adaptasi KTSP (2) adaptasi silabus (3) adaptasi RPP (4) administrasi khusus (5) layanan kompensatoris (6) pelatihan guru dalam bidang adaptasi kurikulum (7) pelatihan PPI (8) penyediaan media/alat peraga khusus (9) Melibatkan tenaga ahli lain dalam pembuatan rencana PPI (10) adaptasi rapor. c. Ketenagaan (1) ketersediaannya GPK (2) sosialisasi pendidikan inklusif kepada warga sekolah (3) bagi sekolah yang telah memiliki GPK perlu penugasan dengan jadwal yang jelas (4) tersedianya angggaran yang jelas untuk GPK d. Peserta didik (1) instrumen asesmen (2) media promosi untuk prestasi ABK (3) fasilitasi bakat minat khusus pada ABK (4) adaptasi sistem penerimaan siswa
baru (5) keterlibatan pihak lain dalam asesmen (6) keterlibatan profesional dalam studi kasus (7) program pembinaan bakat minat khusus ABK. e. Sarana Prasarana: (1) Sarana dan prasarana khusus ABK (2) media pembelajaran khusus sesuai dengan jenis kelainan ABK (3) aksesibilitas bangunan sekolah (4) ruang khusus untuk layanan kompensatoris sesuai jenis kelainan ABK (5) ruang koordinator program pendidikan inklusif (6) jaringan internet. f. Pembeayaan: (1) RAPBS harus memuat anggaran untuk pendidikan inklusif (2) menyertakan orang tua dan masyarakat dalam menggali dana dalam implementasi pendidikan inklusif (3) dukungan dana komite sekolah dalam implementasi pendidikan inklusif (4) alokasi dana untuk GPK dalam RAPBS (5) alokasi beasiswa untuk ABK (6) Block Grand dari pemerintah pusat, dan daerah dalam imple-mentasi pendidikan inklusif. PEMBAHASAN Pickard (2009) menyatakan bahwa gerakan inklusi bukanlah obat mujarab untuk meningkatkan keberhasilan semua peserta didik yang diidentifikasi berkebutuhan khusus, data dan penelitian mengungkapkan bahwa ketika praktik inklusi dimasukkan ke dalam kelas reguler, anak berkebutuhan khusus menunjukkan peningkatan secara akademis serta perbaikan tetapi tidak semua memenuhi tuntutan nilai standar yang ditetapkan Negara. Hal ini perlu kesiapan sekolah melakukan fleksibilitas manajemen sekolah. Perubahan sekolah konvensional menjadi sekolah inklusif memerlukan perencanaan dalam berbagai adaptasi dan modifikasi. Adaptasi suatu objek merupakan proses penyesuaian objek yang telah ada, untuk disesuaikan dengan berbagai faktor yang
dimiliki oleh populasi, sedangkan modifikasi merupakan langkah untuk melakukan perubahan tertentu pada cara, media, pelajaran atau keduanya, sehingga dapat sesuai dengan kondisi subjek yang akan menggunakan (Hallahan & Kauffman, 1998). Penilaian kesiapan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif Propinsi Jawa Tengah didasarkan pada seberapa jauh sekolah melaukan berbagai adaptasi dan modifikasi yang dituangkan dalam indikator kinerja yang telah ditetapkan sebelumnya yang dituangkan dalam rumusan 84 deskriptor. Hasil penelitian secara umum menunjukkan bahwa tingkat kesiapan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif (SPPI) Propinsi Jawa Tengah baru mencapai 38,82% artinya tingkat kesiapan SPPI masih amat rendah. Analisis kebutuhan secara esensial SPPI Propinsi Jawa Tengah didasarkan pada skor diskriptor yang belum mencapai batas minimal yang telah dirumuskan dalam indikator kinerja SPP. Tiap komponen memiliki kebutuhan yang beragam. Kebutuhan dasar yang diperlukan menyebar pada semua komponen dengan derajat yang berbeda pula. Perubahan sekolah biasa menjadi sekolah inklusif memerlukan adaptasi sedikitnya enam komponen. Upaya adaptasi itu harus dimulai tahap demi tahap agar semua anak berkebutuhan khusus dapat terlayani sesuai dengan karakteristiknya. Komponen kelembagaan ternyata masih memerlukan banyak upaya perbaikan. Hal ini dapat diperiksa pada hasil analisis kebutuhan. Komponen kelembagaan masih memerlukan penegasan perlunya penunjukkan seorang guru sebagai koordinator/ manager pelaksana pendidikan inklusif yang dapat diambil dari guru yang ada atau mengangkat tenaga lain yang kompeten. Hal ini dimaksudkan agar tugas layanan khusus dapat berjalan dengan lancar tanpa mengganggu aktivitas lain. Fleksibilitas
manajemen sekolah harus lebih luwes, ramah dan akomodatif. Diperlukan bentuk managemen sekolah yang berbasis sekolah dengan mengakomodasi kebutuhan semua anak tanpa mengabaikan mutu layanan pendidikan. Bekerjasama dengan lembaga lain termasuk SLB amat diperlukan untuk membantu mengatasi keterbatasan sekolah. Perubahan sekolah biasa menjadi sekolah inklusif tentu belum tersedia guru pembimbing khusus (GPK). Bekerjasama dengan SLB diperlukan untuk membantu mengatasi layanan bidang asesmen, kompensatoris dan PPI. Laporan implementasi pendidikan inklusif belum dilakukan pelaporan kepada pihak yang berwenang, sehingga para pemegang kebijakan tidak mengetahui hal-hal yang telah dilakukan sekolah. Kurikulum tingkat satuan pendidikan sebagai sekolah penyelenggara pendidikan inklusif (SPPI) belum diadaptasi agar memberikan ruang dan fleksibilitas pelaksanaan kurikulum untuk semua anak. Jika kurikulum standar yang telah ada saat ini diterapkan untuk semua anak, akan memberikan hasil yang tidak optimal. Hal ini disebabkan bahwa setiap peserta didik memiliki karakteristik masing-masing dan memerlukan penyesuaian secara fleksibel. Sebagai dampaknya adalah perlunya adaptasi silabus dan RPP agar pembelajaran bersifat adaptif dan akomodatif terhadap keragaman peserta didik. Selain Silabus dan RPP, untuk peserta didik yang tidak menggunakan kurikulum standar harus diterapkan Program Pendidikan Individual (PPI). PPI belum dikenal oleh guru kelas, guru mata pelajaran. PPI sebaiknya dilakukan oleh GPK secara terus-menerus dengan melibatkan stakeholders yang berkepentingan. Pelaksanaan kurikulum adaptatif sebaiknya dilakukan layanan administrasi khusus di luar administrasi sekolah pada umumnya. Selain PPI para guru belum memahami program khusus yaitu layanan
kompensatoris untuk anak berkebutuhan khusus. Hal ini akan berakibat kelainan ABK tidak direhabilitasi, sehingga pemanfaatan potensi lain tidak dapat berkembang. Sekolah harus menyediakan sarana khusus sesuai dengan kelainan ABK agar pembelajaran dapat berlangsung dengan makna bagi semua. Hasil prestasi belajar ABK sebagian besar SPPI masih menggunakan rapor standar yang telah ada. Hal ini akan berakibat tidak dipahaminya secara kualitatif prestasi ABK sebenarnya. Rapor harus dilengkapi dengan keterangan naratif-kualitatif yang menggambarkan prestasi ABK sebenarnya. Komponen ketenagaan ditandai dengan ketidaktersedianya GPK dan anggaran untuk transport GPK. Jika GPK tidak tersedia, maka SPPI akan berujung pada ilusi. GPK yang kompeten akan mampu mengatasi permasalahan ABK dan guru kelas/guru mata pelajaran. GPK dapat dijadikan mediator untuk mengatasi hambatan ABK dan guru dalam pembelajaran. Komponen peserta didik pada SPPI Propinsi Jawa Tengah sebagian besar tidak memiliki instrumen asesmen untuk ABK, memiliki media promosi untuk prestasi ABK, fasilitasi bakat minat khusus pada ABK, belum ada adaptasi sistem penerimaan siswa baru, keterlibatan pihak lain dalam asesmen, keterlibatan profesional dalam studi kasus, program pembinaan bakat minat khusus ABK. Justifikasi bahwa seseorang anak disebut ABK memerlukan asesmen yang mendalam, tanpa ada kegiatan asesmen, maka akan berdampak pada kesalahan dalam treatmen dan perencanaan pembelajaran. Asesmen berfungsi untuk mengetahui bahwa seseorang anak diduga sebagai ABK, sedangkan kepastiannya harus ditetapkan oleh hasil tes yang dilakukan oleh profesional. Kebutuhan dasar pada komponen sarana prasarana SPPI Propinsi Jawa Tengah adalah ruang khusus untuk layanan
kompensatoris, bangunan yang aksesibel, media dan alat peraga khusus dan jaringan internet. Kebutuhan yang paling penting pada komponen ini adalah media/alat peraga khusus untuk ABK, dan bangunan yang mudah dijangkau oleh ABK/aksesibel, sedangkan yang lain dapat dilakukan secara bertahap. Komponen yang penting dalam implementasi pendidikan inklusif adalah pembeayaan. Kebutuhan dasar pada komponen pembeayaan SPPI Propinsi Jawa Tengah adalah mengalokasikan dana untuk implementasi pendidikan inklusi ke dalam RAPBS, melibatkan orangtua dan masyarakat dalam menggali dana dalam implementasi pendidikan inklusif, dukungan dana komite sekolah dalam implementasi pendidikan inklusif, alokasi dana untuk GPK, alokasi beasiswa untuk ABK dan Block Grand dari pemerintah pusat dan daerah dalam implementasi pendidikan inklusif. Sub komponen yang paling penting pada komponen pembeayaan adalah adanya alokasi dana untuk implementasi pendidikan inklusi dan alokasi beaya transport untuk GPK dan beasiswa untuk semua ABK. SIMPULAN Upaya pemerintah baik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah/Propinsi Jawa Tengah mendorong implementasi
pendidikan inklusif adalah agar semua anak memperoleh akses yang sama dalam bidang pendidikan. Pemerintah menghindarkan adanya diskriminasi layanan pendidikan termasuk layanan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus. Pemerintah Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2010 telah melakukan rintisan 160 sekolah penyelenggara pendidikan inklusif pada 35 kabupaten/ kota se Jawa Tengah. Hal ini dimaksudkan agar anak berkebutuhan khusus yang belum sekolah dapat ditampung/diterima pada sekolah terdekat dengan tempat tinggalnya. Penelitian ini membuktikan bahwa tingkat kesiapan sekolah penyelenggara pendidikan inklusi secara umum baru mencapai 38,82%. Jika dikonsultasikan pada tabel indikator keberhasilan sekolah penyelenggaraan pendidikan inklusif skor batas minimal 56, maka sekolah penyelenggara pendidikan inklusif Propinsi Jawa Tengah pada tahun 2010 masih pada peringkat E atau tidak siap/belum siap melaksanakan pendidikan inklusif. Adapun komponen yang segera memerlukan prioritas adalah komponen pembeayaan (tingkat kinerja 15,94%), sarana prasarana (tingkat kinerja 19,19%), hanya komponen kelembagaan yang telah melampaui batas minimal (61,10%).
DAFTAR PUSTAKA Ajodhia, dkk, 2010, Inclusive Education in Guyama: A Call for Change, International Journal of Special Education, Vol 25 No 1 2010 Direktorat PSLB, 2007, Implementasi Pendidikan Inklusi, makalah disajikan di Hotel Sahid, tanggal 6-9 Maret 2007 Hallahan, D. P & Kauffman, A.S, 1998. Exceptional Children, Introduction to Special Education, Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey. Madhumita Puri dan George Abraham, 2004, Handbook of Inclusive Education for Educators, Administrators, and Planners, Sage Publications India Pvt Ltd B-42, Panchsheel Enclave New Delh Permendiknas nomor 70 tahun 2009, 2009, Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, Dit.PSLB, Depdiknas, Jakarta Stephen R Pickard, 2009, The Use Of The Welsh Inclusion Model And Effect On Elementary School Students. The Perceptions of School Teachers, Journal of Disability Policy Studies Subagya, (2009), Laporan hasil validasi data ABK Provinsi Jawa Tengah 2008, Bakor PLB Jateng Tony Booth, dkk, 2003, Developing Inclusive Teacher Education, New Fetter Lane, London