Jurnal EducatiO Vol. 7 No. 1, Juni 2012, hal. 109-133
ANALISIS GENDER NOVEL PEREMPUAN DI TITIK NOL KARYA NAWAL EL SADAWI RELEVANSINYA DENGAN PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA Titin Ernawati STKIP Hamzanwadi Selong, email:
[email protected]
ABSTRAK Kajian ini bertujuan untuk menemukan isu-isu ketidakadilan gender yang terdapat dalam novel Perempuan Di Titik Nol karya Nawal El-Sa’adawi dan relevansinya dengan pembelajaran sastra di sekolah menengah atas. Selain itu, tujuan kajian ini adalah untuk mengidentifikasi citra perempuan yang ada di dalam novel. Guna mencapai sasaran di atas, kajian ini menggunakan metode kualitatif. Peneliti menggunakan Analisis Isi untuk menganalisis data. Berdasarkan hasil analisis, peneliti menemukan bahwa ketidakadilan gender yang terjadi pada tokoh utama novel ini terjadi sebelum menikah, ketika menikah dan setelah menikah. Bentuk-bentuk ketidakadilan gender itu adalah marginalisasi perempuan, subordinasi perempuan, stereotype perempuan, kekerasan terhadap perempuan dan perempuan dan neurosis. Hasil kajian ini sangat bermanfaat untuk pembelajaran sastra baik secara teoritis ataupun praktis. Secara teoritis, hasil kajian ini memperkaya teori pembelajaran sastra dan secara praktis (khususnya untuk pembelajaran sastra) dapat mengembangkan konsep untuk pembelajaran sastra yang berorientasi pada munculnya kesadaran para siswa dalam menghadapi ketidakadilan gender dalam hidup ini. Kata kunci: Ketidakadilan gender, citra perempuan, pembelajaran sastra.
ABSTRACT This study deals with the kinds of gender injustice issues that have been done to the woman figure in novel “Perempuan Di Titik Nol (Women At Point Zero) by Nawal ElSadawi and its relevance to literature learning in senior high schools. Besides, the purpose of the study is to identify the image of woman figures in the novel. To achieve of the objectives above, the study used qualitative design. To analyze the data obtained, the researcher used Content Analysis. Based on the analysis, the researcher found that gender injustice happened to the leading woman figure in the novel from before, during, and after their marriage. The kinds of gender injustice are in the forms of woman 109
Titin Ernawati
marginalization, woman subordination, woman stereotype, violence againts woman and woman’s neurotic. The result of this study is useful for literature learning theoretically and practically. Theoretically, the result of this study enriches the literature’s theories and practically (especially to literature learning) it can contribute concepts for literature learning development oriented to student’s awareness of their attitudes in facing gender injustice issues in this life. Key words: gender injustice, woman image, literature learning.
PENDAHULUAN Pembelajaran sastra sangat diperlukan oleh peserta didik karena dewasa ini dapat dirasakan bahwa kepekaan manusia terhadap peristiwa-peristiwa di sekitar semakin tipis, kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi semakin berkurang. Pembelajaran sastra merupakan pembelajaran apresiasi. Apresiasi karya sastra dapat meningkatkan kepekaan rasa dan budaya bangsa, memberikan kepuasan batin dan pengayaan daya estetis serta membiasakan peserta didik memahami nilai kemanusiaan yang ada di dalam karya sastra itu dapat dikaitkan dengan nilai kemanusiaan di dalam dunia nyata.
Karya sastra berbeda dengan karya-karya bukan sastra. Karya sastra bersifat fiksi, artinya karya sastra itu bersifat imajinasi (khayalan). Walaupun telah dipaparkan di atas bahwa sastra berbicara tentang kenyataan dan masalah kehidupan yang ada, tetapi karya sastra menciptakan dunianya sendiri sebagai tempat kenyataan-kenyataan dan masalahmasalah itu terjadi. Dunia fiksi inilah yang membantu pembaca memiliki penghayatan terhadap kenyataan-kenyataan dan masalah-masalah di dalam dunia nyata melalui apresiasi terhadap karya sastra itu. Hal lain yang membedakan karya sastra dengan karya-karya lain yakni dengan adanya nilai-nilai estetik (seni) yang merupakan syarat utama dalam sebuah karya sastra. Estetika inilah yang menyebabkan karya sastra menggunakan bahasa yang khusus yang tidak ditemukan pada karya-karya (tulisan) yang bukan sastra.
110
Analisis Gender Novel Perempuan di Titik Nol Karya Nawal El Sadawi ...
Materi apresiasi karya sastra perlu ditingkatkan karena secara psikologis manusia cenderung menyukai realita dan fiksi. Karya sastra memberikan ruang yang tidak terbatas untuk menghubungkan bahasa dengan pengalaman peserta didik. Selain itu karya sastra juga dapat memperkaya kehidupan peserta didik dengan mengambil nilai yang ada dalam karya sastra itu sehingga mereka mendapatkan pencurahan pengalaman dan gambaran dalam menyikapi berbagai permasalahan. Hal ini sesuai dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar (SK/KD) pembelajaran sastra yang terdapat dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang digunakan di tingkat sekolah menengah atas (SMA). Isi SK/KD yang termuat dalam KTSP jika dikaji dan dikaitkan dengan bahan ajar yang digunakan serta pelaksanaan proses pembelajaran di SMA, perwujudan kurikulum yamg digunakan kurang inovatif karena bahan ajar yang digunakan tidak pernah menyentuh kesadaran peserta didik terhadap hak dan kewajibannya sebagai mahluk individu dan mahluk sosial yang salah satunya adalah kesadaran dan wawasan peserta didik akan kesetaraan gender.
Sejalan dengan hal tersebut, maka dalam ranah pembelajaran termasuk pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah menengah atas diharapkan tidak melupakan perspektif gender sehingga peserta didik telah mengenal konsep kesetaraan gender sejak masih di bangku sekolah dengan harapan mereka memiliki pemahaman yang benar tentang setaranya posisi perempuan dan laki-laki dalam segala hal kecuali yang sudah merupakan kodrati. Pembelajaran berperspektif gender merupakan sebuah proses pendidikan yang dijiwai oleh kesadaran adanya keadilan dan kesetaraan gender. Melalui pembelajaran sastra berperspektif gender, dalam masyarakat Indonesia yang masih didominasi oleh kultur patriarki, diharapkan terjadi penanaman nilai-nilai keadilan dan kesetaraan gender pada generasi muda khususnya peserta didik di sekolah menengah atas dapat dilakukan sehingga tercipta masyarakat yang berkeadilan gender dan saling menghargai antar sesama.
Pembicaraan tentang gender berarti membahas permasalahan perempuan dan laki-laki dalam kehidupan masyarakat. Arivia (2010) menyatakan, para pemerhati gender 111
Titin Ernawati
mendasarkan teori dan konsepnya dari 2 teori, yaitu teori nurture dan nature. Kedua teori itu yang akan melahirkan satu teori dalam mengurai bias gender, yakni teori equilibrium. Gender merupakan perwujudan konsep yang bersifat melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan budaya (Mufidah, 2010). Stereotipenya kaum laki-laki itu lebih kuat, gagah, keras, disiplin, lebih pintar, lebih cocok untuk bekerja di luar rumah sementara kaum perempuan stereotipenya, lemah lembut, keibuan, halus, cantik, lebih cocok untuk bekerja di dalam rumah (mengurus anak, memasak dan membersihkan rumah) maka itulah gender dan itu bukanlah kodrat karena gender dibentuk oleh manusia.
Meskipun cita-cita menuju kesetaraan dan keadilan gender telah cukup lama diwacanakan dan dilegalkan secara hukum, namun kenyataan yang terjadi saat ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Masih banyak ditemukan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan kaum laki-laki terhadap kaum perempuan yang terjadi baik pada ranah publik ataupun ranah domestik. Pada ranah publik, perempuan dijadikan sebagai manusia kelas dua dalam hal pemberian upah/gaji dengan beban dan resiko kerja yang sama dengan laki-laki, sering terjadi pelecehan seksual yang dilakukan oleh teman sejawat ataupun orang-orang yang berada di luar lingkup dunia kerja mereka. Diskriminasi kaum perempuan pada kesempatan untuk menjadi pemimpin, pengambil keputusan ataupun diskriminasi pada dunia pendidikan. Kaum perempuan seringkali ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Adanya anggapan bahwa kaum perempuan sebaiknya lingkup pekerjaannya domestik (di dalam rumah) sedangkan kaum laki-laki di publik. Selain itu kita sering menyaksikan di media massa tentang perempuan yang menjadi bahan eksploitasi dalam dunia bisnis ataupun entertainment. Sedangkan pada ranah domestik, perempuan ditempatkan sebagai pelayan yang siap melayani segala keperluan suami yang terkadang bisa dilakukan sendiri oleh sang suami. Perempuan juga sering mengalami kekerasan fisik berupa pemerkosaan, prostitusi atau kekerasan dalam rumah tangga, ataupun kekerasan psikis seperti umapatan-umpatan atau cacian yang merendahkan kaum perempuan. Bahkan dalam ranah keluarga pun bisa terjadi pelecehan seksual yang bisa saja dilakukan oleh mereka yang masih kerabat dekat. 112
Analisis Gender Novel Perempuan di Titik Nol Karya Nawal El Sadawi ...
Semua permasalahan itu terjadi karena kesadaran kita akan kesetaraan gender masih kurang dan adanya pemahaman yang keliru tentang kata gender dan seks yang sebenarnya sangat berbeda.
Kata gender sangat mudah diucapkan orang, tetapi tingkat pemahaman orang mengenai gender itu tidak pernah diperhatikan. Justru disinilah permasalahannya, gender umumnya dipahami orang mengenai keberadaan manusia sebagai laki-laki dan perempuan atau sesuai jenis kelamin (seks) yang sebenarnya adalah masalah kodrati bukan persoalan gender. Gender berkaitan dengan persepsi sosial dan kultural masyarakat mengenai keberadaan laki-laki dan perempuan dalam suatu masyarakat.
Kaum perempuan sudah tidak asing lagi dengan istilah gender, karena isu ini sudah berlangsung lebih dari dua dasawarsa. Pemikiran-pemikiran tentang gender ini juga seringkali memicu perdebatan-perdebatan panjang dan diskusi-diskusi diberbagai kalangan dan kelas masyarakat. Berbagai kajian tentang perempuan digelar, mulai dari dunia akademis, dengan diskusi-diskusi di kampus-kampus, dalam berbagai seminar, tulisan-tulisan di media massa, penelitian-penelitian bahkan sampai pada tingkatan masyarakat awam pun sudah mengenal istilah ini meskipun dengan pemahaman yang sangat sederhana.
Fakih (2007: 12-23) mengemukakan bahwa untuk memahami bagaimana perbedaan gender menyebabkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk ketidakadilan, yakni: marginalisasi atau proses kemiskinan, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan stereotype atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (doubleburden), serta sosialisasi ideologi nilai peran gender.
Gender bisa dipertukarkan satu sama lain, gender bisa berubah dan berbeda dari waktu ke waktu, disuatu daerah dan daerah yang lainnya. Identifikasi seseorang dengan 113
Titin Ernawati
menggunakan perspektif gender tidaklah bersifat universal. Seseorang dengan jenis kelamin laki-laki mungkin saja bersifat keibuan dan lemah lembut sehingga dimungkinkan pula bagi dia untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang selama ini dianggap sebagai pekerjaan kaum perempuan. Sebaliknya, seseorang dengan jenis kelamin perempuan bisa saja bertubuh kuat, besar pintar dan bisa mengerjakan perkerjaan-pekerjaan yang selama ini dianggap maskulin dan dianggap sebagai wilayah kekuasaan kaum laki-laki.
Namun ironisnya, di tengah gencarnya upaya kaum feminis memperjuangkan keadilan dan kesetaraan gender, masih banyak pandangan sinis, cibiran dan perlawanan yang datang tidak hanya dari kaum laki-laki, tetapi juga dari kaum perempuan sendiri. Masalah tersebut dari ketakutan kaum laki-laki yang merasa terancam oleh kebangkitan perempuan atau bisa juga karena ketidaktahuan mereka akan istilah gender dan hakekat perjuangan gender itu sendiri.
Konsep baru yang sangat penting ini semestinya ditanamkan sejak dini pada kaum perempuan terutama pada usia remaja yaitu usia dimana mereka banyak ingin tahu dan mencoba hal-hal yang baru bagi mereka. Penanaman konsep ini tidak harus dilakukan melalui seminar-seminar atau kajian-kajian yang dihadiri oleh para ilmuwan ataupun pakar-pakar gender yang materi dan bahasanya terlalu berat untuk usia siswa-siswi di tingkat sekolah menengah atas (SMA), tetapi hal itu dapat dilakukan dengan mengintegrasikan konsep itu pada kurikulum yang digunakan, khususnya pada mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Salah satu materi mata pelajaran ini adalah pembelajaran sastra yang membahas tentang apresiasi karya-karya sastra seperti puisi, drama dan novel. Sayangnya konsep kesetaraan gender ini tidak pernah disentuh oleh guru baik pada bahan ajar ataupun pada proses pembelajarannya. Guru kurang kreatif dan inovatif dalam memberikan materi ajar (karya sastra) yang berisi tentang ketidakadilan gender. Bahan ajar yang digunakan kurang mencerminkan pembelajaran yang terintegrasi sehingga terkesan kurang variatif. Hal ini dapat dilihat adanya kesadaran akan kesetaraan gender pada cakupan mata pelajaran kewarganegaraan yang 114
Analisis Gender Novel Perempuan di Titik Nol Karya Nawal El Sadawi ...
sebenarnya dapat dintegrasikan ketika membahas materi apresiasi karya sastra dengan menggunakan karya sastra yang berideologi gender pada mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Salah satu karya sastra yang berisi tentang isu gender adalah novel Perempuan Di Titik Nol (selanjutnya disebut PDTN). PDTN ditulis oleh seorang sastrawan wanita berkebangsaan Mesir, Nawal El-Sa’adawi. Judul asli novel ini adalah Woman At Point Zero yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Amir Sutarga menjadi Perempuan Di Titik Nol. Penokohan serta masalah-masalah yang dimunculkan dalam novel ini mewujudkan adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender.
Berdasarkan hal di atas, kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk mengurai dan menjawab permasalahan-permasalahan yang ada dengan menggagas pembelajaran sastra yang berperspektif gender.
Guna mendeskripsikan kajian yang lebih tajam, fokus kajian penelitian ini pada dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan pada ranah publik ataupun ranah domestik yang dimunculkan karena adanya budaya patriarki di Indonesia. Adanya kekerasan fisik berupa pemerkosaan, prostitusi atau kekerasan dalam rumah tangga. Sedangkan kekerasan psikis seperti umpatan-umpatan atau cacian yang merendahkan kaum perempuan.
Penelitian ini menggunakan beberapa teori feminisme sesuai dengan isu-isu gender yangdominan dalam novel PDTN. Teori-teori feminisme yang digunakan adalah 1) feminisme eksistensialis yang mengatakan bahwa existensial freedom is a fasion of earlier considerations – the „human world, existence individualization and wholeness, etc – brought into the obit of practical philosophy into connection, that is, with matters of responsibility and commitment (Sarte dalam Arivia: 2010 ). Tulisan Sarte menjelaskan bahwa realitas manusia adalah bebas, yang betul-betul bebas. Manusia diciptakan di dunia ini tanpa harus menanggung apapun serta mereka dapat bertindak 115
Titin Ernawati
sesuai dengan yang diinginkan tanggung jawab mereka. Salah satu tokoh feminisme eksistensialis yang banyak memberikan kontribusi pada perkembangan isme ini adalah Simon de Beauvoir, 2) feminisme psikoanalisis yang tidak dapat terlepas dari Sigmund Freud (2003) yang mengatakan bahwa tingkat perkembangan super ego perempuan sangat jauh berbeda dengan laki-laki karena mereka tidak pernah bisa terlalu impersonal atau terlalu mandiri terhadap emosi. Perempuan selalu menunjukkan kurang siap dalam menghadapi kehidupan. Perempuan selalu terpengaruh perasaannya ketika harus melakukan penilaian, 3) feminisme radikal, teori feminisme radikal akan digunakan peneliti untuk menganalisis marginalisasi perempuan dan stereotype terhadap perempuan dalam novel PDTN karena novel ini sangat didominasi oleh masalahmasalah patriarki yang membelenggu kehidupan Firdaus sebagai tokoh utama. Selain teori-teori feminisme di atas, peneliti menggunakan teori belajar kognitif yang disampaikan oleh Piaget, seorang penganut aliran kognitif (dalam Budiningsih, 2005: 35-36) menyatakan bagaimana seseorang memperoleh kecakapan intelektual, pada umumnya akan berhubungan dengan proses mencari keseimbangan antara apa yang ia rasakan dan ketahui pada satu sisi dengan apa yang ia lihat sebagai suatu fenomena baru sebagai pengalaman dan persoalan. Artinya, jika seseorang dengan daya intelektual yang cakap akan mampu beradaptasi terhadap lingkungan dengan situasi baru tanpa mengganggu keseimbangan pada diri individu tersebut. Proses adaptasi itu terdiri dari dua bentuk dan terjadi secara simultan, yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi merupakan proses merespon lingkungan dengan struktur kognitif seseorang dan akomodasi merupakan proses penyesuaian atau modifikasi struktur kognitif seseorang.
Sedangkan penganut aliran kognitif yang lain, Bruner (dalam Budiningsih, 2005: 41-42) menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Teorinya yang disebut discovery learning, mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan atau pemahaman melalui contoh-contoh yang ia jumpai dalam kehidupannya. Pada teori Bruner terdapat salah satu teorema dalam pembelajaran sastra yaitu, teori konstruksi, yang menyatakan bahwa cara berpikir terbaik bagi seorang 116
Analisis Gender Novel Perempuan di Titik Nol Karya Nawal El Sadawi ...
siswa untuk memulai belajar adalah dengan mengkonstruksi konsep dan prinsip itu. Terutama bagi anak-anak usia sekolah dasar dan menengah, dalam proses pembelajaran sastra mereka harus diarahkan untuk dapat mengkonstruksi sendiri gagasan-gagasan yang dipelajarinya.
Sebagai pelopor aliran kognitif, David Ausable (dalam Budiningsih, 2005: 43) menyatakan bahwa belajar merupakan asimilasi bermakna, yaitu proses mengaitkan dalam informasi baru dengan konsep-konsep yang relevan dan terdapat dalam faktor kognitif seseorang. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengann pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Faktor motivsi dan pengalaman emosional sangat penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa motivasi dan keinginan yang kuat dari pihak pembelajar, maka tidak akan terjadi asimilsi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang dimilikinya.
Berdasarkan teori-teori di atas maka penelitian ini akan menggunakan teori belajar kognitif sebagai pisau bedahnya untuk mengurai relevansi perspektif gender novel PDTN dengan pembelajaran sastra di sekolah menengah atas. Pemilihan teori belajar kognitif sebagai landasan teori pembelajaran sastra karena sastra merupakan salah satu sarana untuk merangasang serta menunjang perkembangan kognitif atau penalaran peserta didik (Tarigan, 1995). Hal ini juga diakui oleh Sumardjo yang mengatakan bahwa pembelajaran sastra adalah salah satu sarana pengembangan intelektual peserta didik.
METODE Sifat Penelitian Penelitian dalam novel Perempuan Di Titik Nol karya Nawal El-Sadawi
adalah
penelitian dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Bogdan dan Taylor (1975: 5) dalam Moleong (2010 : 4) menyatakan bahwa metode deskriptif kualitatif
117
Titin Ernawati
sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Sumber Data Penelitian Sumber data primer penelitian ini adalah ketidakadilan gender dalam novel Perempuan Di Titik Nol karya Nawal El-Sadawi. Sedangkan sumber data sekundernya adalah kurikulum, silabus dan RPP yang memuat SK/KD yang digunakan di sekolah menengah atas. Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti sendiri. Sugiyono menyatakan “peneliti kualitatif sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, analisis data, menafsirkan data dan membuat kesimpulan atas temuannya” (2011: 306). Mekanisme kerja dalam penelitian kualitattif sangat ditentukan oleh kualitas pikir dan ketajaman analisis instrumen utamnya. “The researcher is the key instrument” (Sugiyono, 2011: 306).
Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pustaka dengan teknik membaca dan mencatat, dan metode dokumen. Studi pustaka (library research) yaitu mempergunakan sumber-sumber tertulis untuk memperoleh data (Subroto. 1992 : 42). Dokumen adalah setiap bahan tertulis ataupun film yang lain dari record (Moleong, 2011: 216).
Penganalisisan Data Penganalisisan data dalam penelitian ini menggunakan metode Analisis Isi (Content Analysis). Menurut kamus bahasa Inggris Content Analysis adalah “analysis of the manifest and latent content of a body of communicatted material (as a book or film) through classification, tcertaabulation, and evaluation of its key symbols and themes in order to ascertain its meaning and probable effect (Webster’s Dictionary,1961:1018). Sedangkan Krippendorf (2004:18) mendefinisikan analisis isi sebagai “a research technique for making replicable and valid inferences from texts (or the other meaningful matter) to the context of their use”. Holsti (1969 dalam Guba dan Lincoln,1981: 240) 118
Analisis Gender Novel Perempuan di Titik Nol Karya Nawal El Sadawi ...
menyatakan bahwa analisis isi adalah teknik apa pun yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan, dan dilakukan secara obyektif dan sistematis. Analisis ini memfokuskan kajiannya pada pesan yang terdapat dalam konteks teks yang diteliti.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Mengacu pada konsep dan teori gender dapat dikatakan bahwa walaupun peran gender dapat dirubah atau dapat dipertukarkan, namun dalam realitas kehidupan menyatakan tidak adanya keseimbangan dalam pembagian peran antara perempuan dan laki-laki, dimana tugas domestik perempuan pada akhirnya menempatkan perempuan pada posisi yang inferior ketimbang laki-laki, karena tugas publik laki-laki dianggap superior yang pada akhirnya melahirkan penindasan hak-hak perempuan baik dalam keluarga maupun masyarakat.
Adapun isu-isu ketidakadilan gender yang nampak dalam novel PDTN ini adalah: 1. Gender dan Marginalisasi Perempuan (GdMP) Marginalisasi terjadi disegala bidang kehidupan bagi kaum perempuan. Peminggiran ini
menyebabkan perempuan menjadi
kaum
yang dinomorduakan dalam
bermasyarakat. Perempuan dicitrakan sebagai manusia yang lemah, tidak rasional, tidak memiliki keberanian seperti laki-laki. Firdaus sebagai tokoh utama dalam novel ini sangat menyadari posisinya sebagai perempuan sehingga bagaimanapun ia tidak setuju terhadap pencitraan yang terjadi, hanya mampu memendam hasratnya untuk menunjukkan kemarahannya pada kaum laki-laki dan tidak punya keberanian untuk menghantamnya sebagai pelampiasan kemarahan itu. 2. Gender dan Subordinasi Subordinasi terhadap perempuan telah menyebabkan perempuan kehilangan kebebasannya karena mereka tidak bisa menentukan apa yang terbaik untuk dirinya. Penentu keputusan adalah kaum laki-laki karena laki-laki lebih rasional sehingga segala tindakannya didasarkan pada pikiran dan bukan perasaan.
119
Titin Ernawati
Seseorang dikatakan eksis jika ia mendapatkan kebebasannya dan hidup dalam keadaan bebas sebebas-bebasnya tanpa harus menanggung akibat dari perbuatan orang lain apakah itu sebuah kaum, komunitas, atau masyarakat tertentu. Eksistensi juga
membebaskan
manusia
bertindak
apapun
selagi
mampu
mempertanggungjawabkan tindakannya itu. Firdaus sebagai tokoh utama dalam novel ini sejak kanak-kanak telah dihadapkan pada realita yang sangat berbeda dengan konsep di atas. Dia merasa tidak memiliki kebebasan yang sama dengan lakilaki. 3. Gender dan Stereotype Steroetype atau penandaan yang diberikan pada perempuan oleh konstruksi sosial dan budaya yang ada membuat perempuan mengalami ketidakadilan dan kesenjangan berkepanjangan. Kemajuan zaman dan daya pikir manusia yang terus berkembang tidak membawa pengaruh yang signifikan untuk mengubah konsep stereotipe terhadap perempuan. Pernyataan bahwa setinggi-tinggi ilmu, status sosial ataupun jabatan perempuan tidak akan menggugurkan kewajibannya sebagai seorang wanita yaitu kewajiban memasak, mengurus anak, membersihkan rumah, belanja ataupun pekerjaan domestik lainnya.
Penandaan terhadap perempuan sudah dimulai sejak diketahui jenis kelamin seorang bayi. Begitu mengetahui jenis kelamin dari bayi tersebut, kita langsung mempunyai pemikiran yang membedakan tingkah laku perempuan dan laki-laki. Misalnya dengan memberikan kado untuk bayi perempuan warnanya merah muda dan untuk laki-laki warnanya biru. Artinya, stereotype dilakukan oleh masyarakat dan tidak bersifat kodrati, atau ketentuan dari Tuhan sehingga seharusnya tidak terjadi pembakuan diskriminatif antara perempuan dan laki-laki. Pembakuan sifat perempuan yang lemah, emosional, irrasional, tidak berdaya dan menjadi pelengkap bagi laki-laki membuat mereka tidak mampu membebaskan diri dari kekangan definisi yang membakukan tersebut. Stereotype inilah yang membuat laki-laki menjadi superior dan semakin memperkuat dogma bahwa perempuan tidak bisa melindungi dirinya sendiri dari superioritas lakilaki. 120
Analisis Gender Novel Perempuan di Titik Nol Karya Nawal El Sadawi ...
4. Gender dan Violence (Kekerasan) Kata violence merupakan padanan kata dari kekerasan yang diartikan sebagai serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Anggapan selama ini bahwa kekerasan itu hanya sebatas pada kekerasan fisik sangat tidak tepat karena kekerasan terhadap psikis seseorang juga termasuk violence. Justru efek dari kekerasan psikis yang dialami seorang perempuan berakibat lebih fatal baginya. Alasan untuk melakukan kekerasan terhadap sesama manusia itu bermacam-macam, seperti politik atau keyakinan keagamaan atau bahkan rasisme.
Kekerasan berbasis gender terjadi dalam seluruh aspek hubungan antar manusia, yaitu dalam hubungan keluarga dan dengan orang-orang terdekat lainnya, dalam hubungan
kerja,
maupun
dalam
menjalankan
hubungan-hubungan
sosial
kemasyarakatan secara umum. Pemerkosaan, pelecehan seksual, pemukulan termasuk dalam kekerasan fisik sedangkan cacian, makian atau umpatan yang menyinggung kehormatan dan harga diri seseorang merupakan kekerasan psikis.
Selain masalah-masalah ketidakadilan gender yang terjadi pada Firdaus sebagai tokoh utama novel PDTN, kajian ini juga memaparkan masalah yang terjadi akibat tajamnya ketidakadilan gender, yaitu neurosis yang dialami oleh Firdaus. Neurosis merupakan cabang psikologi yang mengkaji kepribadian karakter melalui kejadian-kejadian traumatik masa lalu. Sebenarnya, neurosis merupakan suatu kelainan psikologis yang wajar dan bisa terjadi pada setiap manusia. Menurut teori psikoanalisis kejadiankejadian di masa lalu memiliki peranan yang sangat penting untuk menjelaskan kondisi psikologis seseorang di masa kini dan masa depan.
Konsep utama Karen Horney dalam neurosis adalah basic anxiety yang berasal dari rasa takut dalam menghadapi tekanan lingkungan yang penuh dengan ancaman. Setiap individu membutuhkan kehangatan dan kasih sayang untuk mendapatkan rasa aman
121
Titin Ernawati
dalam kehidupannya. Apabila kehangatan dan kasih sayang tidak cukup diperoleh maka individu marah dan muncul perasaan permusuhan karena diperlakukan secara salah.
Relevansi Perspektif Gender Dalam Novel PDTN Karya Nawal El-Sadawi Dengan Pembelajaran Sastra Di SMA Banyak pakar mengeluhkan kelemahan pembelajaran sastra di sekolah, diantaranya adalah materi pembelajaran sastra lebih menekankan hapalan istilah, pengertian sastra, sejarah sastra daripada pengakraban diri dengan karya sastra. Selama ini pengajaran sastra di sebagian besar sekolah hanya terjadi dalam ruang yang diapit dinding-dinging kelas. Hasilnya, daya imajinasi dan kreasi mereka kurang berkembang secara optimal. Ada kemungkinan guru juga kurang menguasai dunia sastra dan pembelajarannya sehingga mereka tidak mampu mengajarkan. Setiap ada kompetensi yang berkaitan dengan sastra yang seharusnya dikembangkan dari diri peserta didik, kompetensi ini dilalui begitu saja dan tidak diajarkan. Alat evaluasi untuk pembelajaran sastra juga kurang menantang dan kurang komprehensif. Pembelajaran sastra selama ini masih terasa sulit dan menakutkan bagi siswa. Sudah saatnya pembelajaran sastra jadi pembelajaran yang nyaman, menantang, dan menyenangkan. Kondisi pembelajaran sastra yang kurang mengakrabkan peserta didik pada karya sastra membuat siswa menjadi rabun novel, rabun cerpen, rabun drama, dan rabun puisi.
Guru seharusnya lebih kreatif dan inovatif mencari model pembelajaran yang tepat sehingga peserta didik menjadi lebih tertarik untuk mengasah aspek apresiatif dan kreatifnya. Terdapat banyak jenis model pembelajaran yang bisa dipilih oleh guru untuk menciptakan proses pembelajaran yang lebih variatif dan inovatif.
Salah satu model pembelajaran yang landasan teorinya teori belajar kognitif adalah model pembelajaran kontekstual. Model pembelajaran ini merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa mengaitkan pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga dan masyarakat. 122
Analisis Gender Novel Perempuan di Titik Nol Karya Nawal El Sadawi ...
Melalui model pembelajaran kontekstual, hasil pembelajaran lebih bermakna bagi peserta didik. Proses pembelajaran bersifat alami, karena siswa bekerja dan mengalami, bukan sekadar mentransfer pengetahuan dari guru ke peserta didik.
Pembelajaran kontekstual dapat digunakan untuk mengaitkan perspektif gender yang ada di novel dengan pembelajaran sastra di sekolah menengah atas karena teori belajar pembelajaran kontekstual dapat mengolah aspek-aspek emosi dan kejiwaan peserta didik sehingga terbiasa untuk memberikan apresiasi terhadap novel yang berperspektif gender, misalnya novel PDTN karya Nawal El-Sa’adawi ini.
Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil (Nurhadi, 2002:1). Lima bentuk belajar dalam model pembelajaran kontekstual adalah bentuk belajar relating, experiencing, applying, cooperating, dan transfering. Relating adalah bentuk belajar dalam konteks kehidupan nyata. Experiencing adalah belajar dalam konteks kegiatan eksplorasi, penemuan, dan penciptaan. Applying adalah belajar dalam bentuk penerapan pengalaman hasil belajar ke dalam penggunaan dan kebutuhan praktis. Cooperating adalah belajar dalam bentuk berbagi informasi dan pengalaman, saling merespon, dan saling berkomunikasi. Transfering adalah kegiatan belajar dalam bentuk memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya berdasarkan konteks baru untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman belajar yang baru (Suparno, 2003).
Pembelajaran kontekstual menyandarkan pada memori spasial. pemilihan informasi didasarkan kepada kebutuhan individu siswa. Adanya kecenderungan mengintegrasikan beberapa bidang (disiplin). Pembelajaran kontekstual juga selalu mengaitkan dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki peserta didik.
Relevansinya dengan perspektif gender, selama ini telah terjadi pemahaman yang salah tentang gender. Gender dipahami sebagai perspektif yang bersifat kodrati sehingga tidak dapat ditawar atau dipertukarkan. Budaya patriarki yang telah berkembang dengan kuat semakin memperkokoh pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan sifat 123
Titin Ernawati
feminitas dan maskulinitasnya. Setiap perempuan di muka bumi ini menginginkan adanya persepsi yang sama tentang gender. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya. Namun belum langsung menyentuh ke peserta didik sebagai obyek sasaran karena masih dibicarakan pada forum-forum seminar, workshop ataupun pelatihan-pelatihan yang atmosfirnya terlalu formal untuk usia mereka. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui dunia pendidikan yaitu dengan mengimplementasikannya dalam kurikulum yang digunakan oleh sekolah menengah, khususnya sekolah menengah atas.
Melalui model pembelajaran kontekstual guru dapat menerapkan lima bentuk belajar kontekstual kepada peserta didik. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah guru mencari bahan ajar yang berhubungan dan sesuai dengan konteks budaya bangsa Indonsia dan sesuai juga untuk usia peserta didik yang duduk di sekolah menengah atas, misalnya novel PDTN. Pemilihan novel PDTN karya Nawal El-Sa’adawi sebagai bahan ajar karena latar tempat novel ini adalah negara Mesir yang memiliki beberapa kesamaan dengan Indonesia, yaitu masyarakat yang hidup dengan sistem patriarki, sama-sama negara berkembang sehingga masalah-masalah kehidupan masyarakatnya pun tidak jauh berbeda dan sesuai dengan SK dan KD yang ada dalam kurikulum di sekolah menengah atas, yaitu menganalisis novel Indonesia/terjemahan.
Selanjutnya peserta didik diminta untuk menelaah novel berperspektif gender yang dipilih. Hasil telaah tersebut dihubungkan dengan kehidupan atau pengalaman nyata peserta didik yang bersumber dari fenomena-fenomena perspektif gender yang terjadi pada lingkungan dimana peserta didik berada atau merupakan pengalaman yang mungkin dialami oleh peserta didik sendiri.
Sebelum memulai pembelajaran, guru seharusnya membekali diri dengan teori-teori gender dan feminisme yang dapat diterima secara benar oleh peserta didik sehingga mereka tidak latah membuat kesalahan yang sama dalam memahami perspektif gender.
124
Analisis Gender Novel Perempuan di Titik Nol Karya Nawal El Sadawi ...
Selanjutnya teori-teori gender dan feminisme yang dipahami guru di transfer kepada peserta didik melalui apresiasi novel berperspektif gender, yakni novel PDTN.
Novel PDTN memaparkan ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh utama (Firdaus) dalam tiga fase kehidupannya, yaitu fase sebelum menikah (masa kanakkanak), ketika menikah dan setelah menikah. Usia Firdaus yang masih 19 tahun sama dengan usia peserta didik yang duduk di kelas XII sekolah menengah akan lebih membantu mereka untuk menyelami kerasnya kehidupan yang harus dilalui Firdaus. Sehingga peserta didik dapat memaknai setiap ketidakadilan gender yang terjadi pada Firdaus sebagai sebuah pembelajaran yang dapat dikaitkan dengan kehidupan nyata mereka. Peserta didik dapat menelaah perspektif gender yang dialami Firdaus ke masyarakat Indonesia umumnya dan lingkungan masyarakat dimana peserta didik tinggal.
Keberpahaman yang benar tentang gender paling tidak dapat mencegah terjadinya ketidakadilan di lingkungan sekolah mereka. Sering kita dengar dan kita lihat di mass media tentang tindak pelecehan seksual yang dilakukan guru pada peserta didik, atau antar peserta didik atau bahkan komponen-komponen lain yang ada di lingkungan sekolah mereka. Hal itu tidak terjadi lagi kalau guru memberikan konsep-konsep dan teori-teori yang tepat dan benar. Sehingga tujuan pembelajaran model kontekstual dapat dicapai. Yakni pemaknaan isi cerita novel PDTN karya Nawal El-Sa’adawi yang isinya sarat dengan ketidakadilan gender dapat dihubungakan dengan kehidupan nyata para peserta didik sehingga mereka bisa mencegah terjadinya ketidakadilan gender pada diri mereka ataupun masyarakat lingkungan tempat tinggal mereka dan masyarakat lingkungan sekolah para peserta didik.
Perspektif gender yang ada dalam novel PDTN dapat diintegrasikan dalam pembelajaran sastra yang dipaparkan dalam SK dan KD kelas X, XI dan XII jurusan IPA dan IPS (tabel terlampir), karena keberpahaman peserta didik pada perspektif gender akan meminimalisir terjadinya praktek-praktek ketidakadilan gender dalam lingkup terkecil, 125
Titin Ernawati
yaitu keluarganya atau masyarakat lingkungannya secara luas. Berdasarkan SK dan KD pembelajaran sastra SMA di atas, terdapat beberapa SK dan KD yang bisa dintegrasikan dengan pembelajaran sastra berperspektif gender.
Pada SK dan KD pembelajaran sastra SMA kelas X semester 1 dan 2, yang dapat diintegrasikan dengan karya sastra berperspektif gender adalah karya sastra-karya sastra yang dapat berupa puisi atau cerpen sesuai dengan pembelajaran sastra yang diberikan. Sedangkan pada SK dan KD pembelajaran sastra SMA kelas XI semester 1 lebih memfokuskan pada pembelajaran sastra yang berjenis novel. Hal ini sesuai dengan penelitian yang sedang dilakukan sehingga pembelajaran sastra berperspektif gender dapat memilih novel Perempuan Di Titik Nol karya Nawal El-Sa’adwi sebagai bahan ajarnya. Apalagi dalam SK dan KD pembelajaran sastra SMA kelas XI semster I tercantum bahwa novel yang dikaji tidak hanya novel Indonesia tetapi juga novel terjemahan seperti novel PDTN karya Nawal El-Sa’adawi ini.
Banyak pakar mengeluhkan kelemahan pembelajaran sastra di sekolah, diantaranya adalah materi pembelajaran sastra lebih menekankan hapalan istilah, pengertian sastra, sejarah sastra daripada pengakraban diri dengan karya sastra. Selama ini pengajaran sastra di sebagian besar sekolah hanya terjadi dalam ruang yang diapit dinding-dinging kelas. Hasilnya, daya imajinasi dan kreasi mereka kurang berkembang secara optimal. Ada kemungkinan guru juga kurang menguasai dunia sastra dan pembelajarannya sehingga mereka tidak mampu mengajarkan. Setiap ada kompetensi yang berkaitan dengan sastra yang seharusnya dikembangkan dari diri peserta didik, kompetensi ini dilalui begitu saja dan tidak diajarkan. Alat evaluasi untuk pembelajaran sastra juga kurang menantang dan kurang komprehensif. Pembelajaran sastra selama ini masih terasa sulit dan menakutkan bagi siswa. Sudah saatnya pembelajaran sastra jadi pembelajaran yang nyaman, menantang, dan menyenangkan. Kondisi pembelajaran sastra yang kurang mengakrabkan peserta didik pada karya sastra membuat siswa menjadi rabun novel, rabun cerpen, rabun drama, dan rabun puisi.
126
Analisis Gender Novel Perempuan di Titik Nol Karya Nawal El Sadawi ...
Guru seharusnya lebih kreatif dan inovatif mencari model pembelajaran yang tepat sehingga peserta didik menjadi lebih tertarik untuk mengasah aspek apresiatif dan kreatifnya. Terdapat banyak jenis model pembelajaran yang bisa dipilih oleh guru untuk menciptakan proses pembelajaran yang lebih variatif dan inovatif.
Salah satu model pembelajaran yang landasan teorinya teori belajar kognitif adalah model pembelajaran kontekstual. Model pembelajaran ini merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa mengaitkan pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga dan masyarakat. Melalui model pembelajaran kontekstual, hasil pembelajaran lebih bermakna bagi peserta didik. Proses pembelajaran bersifat alami, karena siswa bekerja dan mengalami, bukan sekadar mentransfer pengetahuan dari guru ke peserta didik.
Pembelajaran kontekstual dapat digunakan untuk mengaitkan perspektif gender yang ada di novel dengan pembelajaran sastra di sekolah menengah atas karena teori belajar pembelajaran kontekstual dapat mengolah aspek-aspek emosi dan kejiwaan peserta didik sehingga terbiasa untuk memberikan apresiasi terhadap novel yang berperspektif gender, misalnya novel PDTN karya Nawal El-Sa’adawi ini.
Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil (Nurhadi, 2002:1). Lima bentuk belajar dalam model pembelajaran kontekstual adalah bentuk belajar relating, experiencing, applying, cooperating, dan transfering. Relating adalah bentuk belajar dalam konteks kehidupan nyata. Experiencing adalah belajar dalam konteks kegiatan eksplorasi, penemuan, dan penciptaan. Applying adalah belajar dalam bentuk penerapan pengalaman hasil belajar ke dalam penggunaan dan kebutuhan praktis. Cooperating adalah belajar dalam bentuk berbagi informasi dan pengalaman, saling merespon, dan saling berkomunikasi. Transfering adalah kegiatan belajar dalam bentuk memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya berdasarkan konteks baru untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman belajar yang baru (Suparno, 2003). 127
Titin Ernawati
Pembelajaran kontekstual menyandarkan pada memori spasial. pemilihan informasi didasarkan kepada kebutuhan individu siswa. Adanya kecenderungan mengintegrasikan beberapa bidang (disiplin). Pembelajaran kontekstual juga selalu mengaitkan dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki peserta didik.
Relevansinya dengan perspektif gender, selama ini telah terjadi pemahaman yang salah tentang gender. Gender dipahami sebagai perspektif yang bersifat kodrati sehingga tidak dapat ditawar atau dipertukarkan. Budaya patriarki yang telah berkembang dengan kuat semakin memperkokoh pembedaan laki-laki dan perempuan berdasarkan sifat feminitas dan maskulinitasnya. Setiap perempuan di muka bumi ini menginginkan adanya persepsi yang sama tentang gender. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya. Namun belum langsung menyentuh ke peserta didik sebagai obyek sasaran karena masih dibicarakan pada forum-forum seminar, workshop ataupun pelatihan-pelatihan yang atmosfirnya terlalu formal untuk usia mereka. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui dunia pendidikan yaitu dengan mengimplementasikannya dalam kurikulum yang digunakan oleh sekolah menengah, khususnya sekolah menengah atas.
Melalui model pembelajaran kontekstual guru dapat menerapkan lima bentuk belajar kontekstual kepada peserta didik. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah guru mencari bahan ajar yang berhubungan dan sesuai dengan konteks budaya bangsa Indonsia dan sesuai juga untuk usia peserta didik yang duduk di sekolah menengah atas, misalnya novel PDTN. Pemilihan novel PDTN karya Nawal El-Sa’adawi sebagai bahan ajar karena latar tempat novel ini adalah negara Mesir yang memiliki beberapa kesamaan dengan Indonesia, yaitu masyarakat yang hidup dengan sistem patriarki, sama-sama negara berkembang sehingga masalah-masalah kehidupan masyarakatnya pun tidak jauh berbeda dan sesuai dengan SK dan KD yang ada dalam kurikulum di sekolah menengah atas, yaitu menganalisis novel Indonesia/terjemahan.
128
Analisis Gender Novel Perempuan di Titik Nol Karya Nawal El Sadawi ...
Selanjutnya peserta didik diminta untuk menelaah novel berperspektif gender yang dipilih. Hasil telaah tersebut dihubungkan dengan kehidupan atau pengalaman nyata peserta didik yang bersumber dari fenomena-fenomena perspektif gender yang terjadi pada lingkungan dimana peserta didik berada atau merupakan pengalaman yang mungkin dialami oleh peserta didik sendiri.
Sebelum memulai pembelajaran, guru seharusnya membekali diri dengan teori-teori gender dan feminisme yang dapat diterima secara benar oleh peserta didik sehingga mereka tidak latah membuat kesalahan yang sama dalam memahami perspektif gender. Selanjutnya teori-teori gender dan feminisme yang dipahami guru di transfer kepada peserta didik melalui apresiasi novel berperspektif gender, yakni novel PDTN.
Novel PDTN memaparkan ketidakadilan gender yang dialami oleh tokoh utama (Firdaus) dalam tiga fase kehidupannya, yaitu fase sebelum menikah (masa kanakkanak), ketika menikah dan setelah menikah. Usia Firdaus yang masih 19 tahun sama dengan usia peserta didik yang duduk di kelas XII sekolah menengah akan lebih membantu mereka untuk menyelami kerasnya kehidupan yang harus dilalui Firdaus. Sehingga peserta didik dapat memaknai setiap ketidakadilan gender yang terjadi pada Firdaus sebagai sebuah pembelajaran yang dapat dikaitkan dengan kehidupan nyata mereka. Peserta didik dapat menelaah perspektif gender yang dialami Firdaus ke masyarakat Indonesia umumnya dan lingkungan masyarakat dimana peserta didik tinggal.
Keberpahaman yang benar tentang gender paling tidak dapat mencegah terjadinya ketidakadilan di lingkungan sekolah mereka. Sering kita dengar dan kita lihat di mass media tentang tindak pelecehan seksual yang dilakukan guru pada peserta didik, atau antar peserta didik atau bahkan komponen-komponen lain yang ada di lingkungan sekolah mereka. Hal itu tidak terjadi lagi kalau guru memberikan konsep-konsep dan teori-teori yang tepat dan benar. Sehingga tujuan pembelajaran model kontekstual dapat dicapai. Yakni pemaknaan isi cerita novel PDTN karya Nawal El-Sa’adawi yang isinya 129
Titin Ernawati
sarat dengan ketidakadilan gender dapat dihubungakan dengan kehidupan nyata para peserta didik sehingga mereka bisa mencegah terjadinya ketidakadilan gender pada diri mereka ataupun masyarakat lingkungan tempat tinggal mereka dan masyarakat lingkungan sekolah para peserta didik.
Perspektif gender yang ada dalam novel PDTN dapat diintegrasikan dalam pembelajaran sastra yang dipaparkan dalam SK dan KD kelas X, XI dan XII jurusan IPA dan IPS (tabel terlampir), karena keberpahaman peserta didik pada perspektif gender akan meminimalisir terjadinya praktek-praktek ketidakadilan gender dalam lingkup terkecil, yaitu keluarganya atau masyarakat lingkungannya secara luas. Berdasarkan SK dan KD pembelajaran sastra SMA di atas, terdapat beberapa SK dan KD yang bisa dintegrasikan dengan pembelajaran sastra berperspektif gender.
Pada SK dan KD pembelajaran sastra SMA kelas X semester 1 dan 2, yang dapat diintegrasikan dengan karya sastra berperspektif gender adalah karya sastra-karya sastra yang dapat berupa puisi atau cerpen sesuai dengan pembelajaran sastra yang diberikan. Sedangkan pada SK dan KD pembelajaran sastra SMA kelas XI semester 1 lebih memfokuskan pada pembelajaran sastra yang berjenis novel. Hal ini sesuai dengan penelitian yang sedang dilakukan sehingga pembelajaran sastra berperspektif gender dapat memilih novel Perempuan Di Titik Nol karya Nawal El-Sa’adwi sebagai bahan ajarnya. Apalagi dalam SK dan KD pembelajaran sastra SMA kelas XI semster I tercantum bahwa novel yang dikaji tidak hanya novel Indonesia tetapi juga novel terjemahan seperti novel PDTN karya Nawal El-Sa’adawi ini.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan temuan hasil penelitian, dapat diperoleh simpulan-simpulan bahwa perspektif gender yang terdapat dalam novel PDTN adalah 1) marginalisasi perempuan yang dipaparkan oleh Sa’adawi melalui tokoh Firdaus yang diabaikan dan tidak pernah diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki, 2) subordinasi perempuan, keberadaan 130
Analisis Gender Novel Perempuan di Titik Nol Karya Nawal El Sadawi ...
Firdaus bagi suaminya lebih sebagai budak daripada sebagai istri karena perlakuan Syeikh Mahmoud pada Firdaus tak ubahnya seorang majikan pada budaknya, 3) stereotype perempuan, pelabelan Firdaus sebagai perempuan telah menyebabkannya harus mengalami penindasan dan ketidakadilan yang dialami sejak masa kanak-kanak hingga dia harus memasuki dunia prostitusi, 4) violence/kekerasan terhadap perempuan, kehidupannya dari masa kanak-kanak telah menjadi obyek seksual laki-laki yang dilakukan oleh pamannya, suaminya dan laki-laki hidung belang yang membayar pelayanannya dengan sejumlah uang, dan 5) akibat ketidakadilan gender yang dialami Firdaus menyebabkan dia mengalami masalah dengan perkembangan kejiwaannya.
Sebagai tokoh utama dalam novel ini Firdaus diperspektifkan sebagai 1) anak yang rajin, pintar dan kritis pada kesenjangan-kesenjangan yang dia lihat, dengar bahkan dialaminya, 2) istri yang teraniaya yang dihilangkan hak-haknya sebagai seorang istri, dan 3) obyek seksual yang terjadi sejak sebelum menikah, ketika menikah dan setelah menikah.
Melalui penganalisisan terhadap ketidakadilan gender yang terdapat dalam novel PDTN diharapkan dapat menambah wawasan siswa tentang bias gender yang bisa saja terjadi pada diri dan lingkungannya. Selain itu siswa mendapatkan pemahaman yang benar tentang perspektif gender dengan menggunakan teori-teori gender dan feminisme sehingga siswa bersikap lebih bijak, lebih kritis dan lebih dewasa dalam menghadapi ketidakadilan gender pada dirinya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial.
Saran Guna mengimplementasikan hasil penelitian ini di sekolah menengah atas, maka peneliti merumuskan konsep yang dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang digunakan. Adapun perumusan konsep tersebut sebagai berikut: 1. Melalui mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia peserta didik diharuskan untuk membaca novel yang isinya memaparkan tentang ketidakadilan gender. Misalnya, novel PDTN karya Nawal El-Sa‟adawi. Selain untuk menambah wawasan mereka 131
Titin Ernawati
tentang gender, novel ini juga dapat memperkaya aspek apresiasi sastranya terhadap karya sastra-karya sastra dunia. 2. Peserta didik yang duduk di sekolah menengah atas lebih siap untuk menerima konsep ideologi gender karena mereka dalam usia yang cukup matang untuk memahami
fenomena-fenomena
sosial
yang
terjadi
disekitarnya,
seperti
ketidakadilan gender. Sehingga peserta didik itu mampu mengaitkan antara teoriteori tentang gender dan feminisme dengan kesenjangan gender yang sering mereka lihat, mereka dengar atau bahkan mereka pernah mengalaminya. 3. Para pengajar sastra dituntut untuk memperkaya khasanah pemahaman teori kajian sastra mereka khususnya teori-teori gender dan feminisme yang nantinya digunakan untuk membedah isu-isu gender yang terdapat dalam sebuah novel yang berperspektif gender. 4. Mengintegrasikan perspektif gender ke dalam kurikulum yang digunakan di sekolah menengah atas sehingga cakupan mata pelajaran yang lain dapat tercapai melalui pembelajaran yang terintegrasi. 5. Menjadikan pembelajaran sastra berdasarkan perspektif gender sebagai metode kajian sastra yang mandiri. 6. Mengembangkan lebih lanjut model pembelajaran sastra berbasis kajian perspektif gender melalui pengaplikasian pada peserta didik sehingga menjadi model yang mantap dan memperkaya model pembelajaran sastra di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Arivia. (2010). Makalah Kuliah Umum di Universitas Indonesia: Filsafat, Hasrat, Seks Simon de Beauvoir. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. El-Sa’adawi, Nawal. (2002). Perempuan di Titik Nol. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Fakih, M. (2007). Analisis Gender Dan Transformasi Social. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Freud, Sigmund. (2003). Teori Seks (Penterjemah Apridanarto). Yogyakarta: Jendela.
132
Analisis Gender Novel Perempuan di Titik Nol Karya Nawal El Sadawi ...
Moleong, J. Lexy. (2011). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
133