ANALISIS FAKTOR PENYEBAB RENDAHNYA PELAPORAN INSIDEN KESELAMATAN PASIEN DI RUMAH SAKIT Ag. Sri Oktri Hastuti1 1
Akper Panti Rapih Yogyakarta
ABSTRACT Patient Safety is a global and national issue, an important component of the quality of the health services , as a basic principle in patient care as well as a critical component of quality management in the hospital.The attenttion of the public on patient safety is driven by the high number of incidence on Adverse Event ( AE ) in the hospital. The incidence reports is the beginning of the learning process that can lead to decreasing level and prevention on reoccuring the incidence . The problem is that the AE cases are rare to be reported and if it is reported then only on serious/severe cases. The cases of mild injury or Near Miss (NM) is almost never be reported . This study was aimed to explore the causal of the low reporting on incident reports at Panti Rapih hospital .Using a cross - sectional approachment and accidental sampling tecnique, 68 nurses
were gathered to become the respondences of this study .The results of the study showed that there was no significant relationship between age , sex , length of employment , educational background, knowledge level , colleagues attitudes with the Patient Safety incident reports, but the attitude of the leader (head nurse) was associated with the reporting of Patiens Safety Incidents with p value = 0,011 . The study then recommended that the hospital management should always inform Patient Safety programs through providing some trainings about the importance of incident reporting , workflow , and reporting methods to the analysis and implementation of all nurses and the head nurse should be given refreshing / training on leadership , particularly in relation to how to build a culture of safety for every department.
Keywords : Patient Safety ( PS ) , Adverse Event ( AE ) , Patient Safety Incidents , Incident Reporting.
1
PENDAHULUAN Keselamatan Pasien/KP (Patient Safety) merupakan issue Global dan Nasional dan merupakan komponen penting dari mutu pelayanan kesehatan, sebagai prinsip dasar dalam pelayanan pasien serta menjadi komponen kritis dalam manajemen mutu RS.3 Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Depkes RI bekerjasama dengan perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) telah menetapkan Standar Akreditasi Rumah Sakit dengan menggabungkan dengan standar Joint Commision International (JCI) yang memasukkan unsur keselamatan pasien didalamnya.Kejadian Nyaris Cedera (KNC) merupakan suatu kejadian akibat melaksanakan suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission), yang dapat mencederai pasien tetapi cedera serius tidak terjadi karena keberuntungan. Kejadian Tak Diinginkan (KTD) merupakan suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu tindakan (commission) atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission) dan bukan karena “underlying desease” atau kondisi pasien.Perhatian dan Fokus terhadap Keselamatan Pasien ini didorong oleh masih tingginya angka KTD atau AE di rumah sakit baik secara Global maupun Nasional. KTD yang terjadi di berbagai negara diperkirakan sekitar 3 – 16. %.3 hampir 50 % diantaranya adalah kejadian yang dapat dicegah.3 Data KTD di
Indonesia masih sangat sulit diperoleh secara lengkap dan akurat, tetapi dapat diasumsikan tidaklah kecil. Banyaknya jenis obat, jenis pemeriksaan, alat, prosedur pengobatan, dan jumlah karyawan dalam berbagai profesi yang memberikan pelayanan di rumah sakit memungkinkan untuk terjadinya KTD dan KNC, jika tidak dikelola dengan hati-hati. Apabila terjadi 1 (satu) KTD berat berarti telah terjadi 25 KTD ringan dan 300 near miss (KNC).3 Data menunjukkan bahwa insidensi keselamatan pasien sebesar 28, 3 % dilakukan oleh perawat, untuk itu perawat harus menyadari perannya sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam mewujudkan patient safety.1 Yang menjadi persoalan adalah kejadian tersebut jarang dilaporkan, jika dilaporkan biasanya hanya KTD yang bersifat serius atau berat, sementara KTD yang bersifat ringan atau nyaris cedera hampir tidak pernah dilaporkan. Pelaporan insiden merupakan awal dimulainya proses pembelajaran yang berdampak pada penurunan bahkan pencegahan insiden terulang. Jika pembelajaran ini berhasil, maka secara signifikan diyakini bahwa statistik KTD dan KNC akan menurun di rumah sakit dan terciptalah asuhan yang lebih aman. Untuk memulai kegiatan pelaporan ini, perlu dibuat suatu sistem pelaporan insiden di rumah sakit meliputi kebijakan, alur pelaporan, formulir pelaporan dan prosedur pelaporan yang harus disosialisasikan pada seluruh karyawan. Insiden yang dilaporkan adalah kejadian yang sudah 2
terjadi, potensial terjadi ataupun yang nyaris terjadi. Masalah yang sering muncul dalam pelaporan insiden, diantaranya adalah laporan masih dipersepsikan sebagai “pekerjaan tambahan” perawat, laporan sering disembunyikan/underreport karena takut disalahkan, terlambat dalam pelaporan, dan laporan miskin data karena ada budaya blame culture . Rumah Sakit Panti Rapih adalah rumah sakit swasta tipe B yang berada di wilayah Yogyakarta yang menempatkan pasien sebagai fokus utama dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Dengan telah dibentuknya tim keselamatan pasien dan telah dideklarasikannya program keselamatan pasien di RS Panti Rapih menunjukkan dukungan & kesungguhan pihak manajemen dalam pencanangan program keselamatan di rumah sakit. Saat ini tim keselamatan pasien secara aktif telah mengadakan berbagai macam kegiatan yang bertujuan menurunkan insiden keselamatan. Mengacu pada hasil penelitian terhadap budaya keselamatan sebelumnya , khususnya dalam aspek pelaporan insiden mendapatkan respon positif dari responden sebesar 21, 09 %.5 Dari data tersebut dapat diasumsikan bahwa belum seluruh karyawan RS Panti Rapih melakukan pelaporan insiden keselamatan yang terjadi di unitnya. Berdasarkan uraian tersebut, penelitian ini difokuskan pada permasalahan rendahnya pelaporan insiden, yaitu factor-faktor apa saja yang mempengaruhi rendahnya pelaporan insiden keselamatan di
rumah sakit. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang beberapa factor yang dimungkinkan mempunyai pengaruh terhadap rendahnya pelaporan insiden yang terdiri dari usia responden, jenis kelamin, masa kerja, tingkat pendidikan, pengetahuan, pelatihan tentang keselamatan pasien, sikap teman sekerja dan sikap atasan dalam kegiatan pelaporan insiden di rumah sakit. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan crosssectional. Populasi adalah seluruh perawat yang bekerja di gedung rawat inap Elisabeth Gruyters (EG) RS Panti Rapih Yogyakarta, yaitu sejumlah 120 perawat. sedangkan sampel dalam penelitian ini sejumlah 68 perawatTeknik pengambilan sampel adalah Non Random Sampling yaitu secara accidental sampling yaitu mengambil responden yang kebetulan ada saat dilakukan pengambilan data berasal dari 4 ruangan yang terdiri dari perawat ruang EG I sejumlah 18 orang, ruang EG II sejumlah 17 orang, ruang EG III sejumlah 16 orang dan ruang EG IV sejumlah 17 orang dengan kriteria inklusi yaitu perawat yang tidak menduduki jabatan struktural setingkat kepala ruangan. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti dengan cara menyebarkan kuesiner kepada 68 responden yang tersebar di seluruh ruangan Elisabeth Guyters I, II , III dan IV sesuai dengan tujuan penelitian. 3
Pengumpulan data dilakukan selama 2 hari yaitu pada tanggal 24 dan 25 Agustus 2013. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah berupa kuesioner yang disusun oleh peneliti dengan berdasarkan teori yang terkait. Untuk menjaga validitas dan reliabilitas alat ukur ini telah diujicobakan dahulu kepada 24 orang perawat sebelum digunakan untuk pengambilan data yang sesungguhnya. Hasil uji coba menunjukkan nilai Cronbach’s Alpha 0,712. Instrumen ini terdiri dari instrumen A yang berisikan pertanyaan terkait dengan demografi responden meliputi ; umur, jenis kelamin, pendidikan terakhir, lama bekerja di
RS, pelatihan yang pernah diikuti dan frekuensi melaporkan insiden dalam 12 bulan terakhir. Instrumen B terdiri dari 10 pertanyaan yang dapat mengukur pengetahuan responden terkait dengan pelaporan insiden keselamatan pasien di rumah sakit, sedangkan instrumen C berisikan kuesioner untuk mengetahui persepsi responden terkait dengan sikap teman sekerja dan sikap atasan (kepala ruang) dalam kejadian pelaporan insiden keselamatan di rumah sakit. Untuk mengetahui sikap teman terkait dengan pelaporan insiden tercermin dalam 7 pertanyaan, sedangkan untuk mengukur sikap/dukungan atasan dalam pelaporan insiden keselamatan pasien terdiri atas 12 pertanyaan.
Tabel 1 Kisi-kisi kuesioner penelitian Analisis Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien No
Aspek
Favorable
Unfavorable
1
Pengetahuan
1, 2, 3, 4,7, 8
5, 6, 9, 10
2
Sikap Teman
6, 7
1, 2, 3, 4,5,
3
Sikap Atasan
7, 9, 10, 12
1, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 11,
Setelah data terkumpul selanjutnya dilakukan analisisa dengan menggunakan software SPSS 15. Adapun analisa data yang digunakan dalam penelitian adalah analisa univariat dan analisa bivariate. Analisa Univariat digunakan untuk mendeskripsikan beberapa
karakteristik tenaga keperawatan yang meliputi usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, masa kerja, dan pelatihan yang pernah diikuti, sedangkan analisa Bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variable. Uji statistic yang digunakan pada data kategorik untuk mengetahui ada 4
tidaknya hubungan pada data kategorik adalah menggunakan Mann-Whytney dan uji statistik yang digunakan pada data numerik adalah uji statistik Spearman. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini membahas gambaran factor-faktor yang
mempengaruhi rendahnya pelaporan insiden keselamatan pasien di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, tahun 2013.Berdasarkan hasil pengumpulan data dapat dideskripsikan distribusi factor-faktor penyebab rendahnya pelaporan Insiden Keselamatan Pasien yang disajikan pada masing-masing table.
Analisa Univariat : Tabel 2 Distribusi Frekuensi Faktor Usia Kategori Frekuensi Persentase ------------------------------------------------------------------------------------------------------------17-25 tahun 26 38, 2 26-35 tahun 27 39, 7 7 10, 3 36- 45 tahun ➢ 45 tahun 8 11, 8 Jumlah 68 100, 0 Berdasarkan table 2 dapat diketahui bahwa kelompok usia 26-37 tahun merupakan kelompok yang terbanyak, yaitu sebesar 39, 7 %, kelompok usia 38-45 tahun menduduki jumlah yang
paling sedikit, yaitu 11, 08 %. Hal ini menunjukkan bahwa perawat di gedung EG RS Panti Rapih paling banyak adalah berusia dewasa muda.
5
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Faktor Jenis Kelamin Kategori Frekuensi Persentase ------------------------------------------------------------------------------------------------------------Laki-laki 5 7, 2 Perempuan 63 92, 6 Jumlah 68 100, 0
Berdasarkan table 3 dapat diketahui bahwa, kelompok laki-laki memiliki jumlah yang relatif sedikit, yaitu sebasar 7,4 % jika dibandingkan dengan kelompok perempuan yang memiliki jumlah terbanyak, yaitu 92,6
%. Berdasarkan data tersebut bisa dinyatakan bahwa perawat yang bekerja di Gedung Elisabeth Gruyters RS Panti Rapih sebagian besar adalah perempuan.
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Faktor Masa Kerja Kategori Frekuensi Persentase ------------------------------------------------------------------------------------------------------------0-3 tahun 30 44, 1 4-6 tahun 7 10, 3 7-10 tahun 14 20, 6 11-14 tahun 4 5, 9 ➢ 15 tahun 13 19, 1 Jumlah
68
Tabel 4 menunjukkan bahwa perawat dengan masa kerja 0-3 tahun merupakan jumlah yang terbanyak, yaitu sebesar 44, 1 %, disusul
100, 0 kemudian yaitu perawat yang memiliki lama kerja 3-10 tahun yaitu sebanyak 20, 6 %.
6
Table 5 Distribusi Frekuensi Faktor Tingkat Pendidikan Kategori Frekuensi Persentase ------------------------------------------------------------------------------------------------------------SPK 6 8, 8 D III Keperawatan 62 91, 2 S 1 Keperawatan 0 0
Jumlah Jika dilihat dari tingkat pendidikan, sebagian besar responden telah menyelesaikan pendidikan D III Keperawatan, yaitu sebesar 91, 2 %, dan sebesar 8, 8 % lulus dari pendidikan SPK. Dengan demikian
68
100, 0 dapat dinyatakan bahwa sebagian besar perawat yang bekerja di Gedung Elisabeth Gruyters RS Panti Rapih adalah lulus dari pendidikan D III Keperawatan.
Tabel 6 Distribusi Frekuensi Faktor Keikutsertaan dalam Pelatihan Program Keselamatan Pasien Kategori Frekuensi Persentase ------------------------------------------------------------------------------------------------------------Belum pernah mengikuti 24 35, 3 Pernah mengikuti 44 64, 7 Jumlah
68
Hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa sebagian besar responden telah mengikuti pelatihan tentang program keselamatan pasien, yaitu sebesar 64, 7
100, 0 %, sedangkan sisanya sebesar 35, 3 % belum berkesempatan mengikuti pelatihan.
7
Tabel 7 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Responden terkait dengan Pelaporan IKP Kategori Frekuensi Persentase -----------------------------------------------------------------------------------------------------------Kurang 2 2, 9 Sedang 7 10, 3 Tinggi 59 86, 8 Jumlah
68
Dari Tabel 7 dapat diketahui bahwa tingkat pengetahuan perawat terhadap pelaporan insiden sebagian besar ada dalam tingkat pengetahuan yang tinggi, yaitu sebesar 86, 8 % dan hanya
100, 0 sebesar 2, 9 % perawat yang memiliki pengetahuan dalam kategori rendah terkait dengan sistem pelaporan insiden keselamatan di RS Panti Rapih.
Tabel 8 Distribusi Frekuensi Sikap Teman Sekerja Dalam Pelaporan Inseden Keselamatan Pasien Kategori Frekuensi Persentase -----------------------------------------------------------------------------------------------------------Kurang Mendukung 8 11, 8 Mendukung 37 54, 4 Sangat Mendukung 23 33, 8 Jumlah
68
Berdasarkan Tabel 8 dapat diketahui bahwa sikap teman terhadap kejadian/insiden dan terhadap kegiatan pelaporan insiden adalah dalam
100, 0 katergori baik (mendukung), hal ini dirasakan oleh sebesar 36, 8 % responden.
8
Tabel 9 Distribusi Frekuensi Sikap Atasan Dalam Pelaporan Inseden Keselamatan Pasien Kategori Frekuensi Persentase ------------------------------------------------------------------------------------------------------------Kurang Mendukung 3 4, 4 Mendukung
25
36, 8
Sangat Mendukung
40
58, 8
Jumlah
68
100, 0
Berdasarkan pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa sebagian besar responden yaitu 58, 8 % merasakan bahwa atasannya sangat mendukung dalam kegiatan pelaporan IKP, dan hanya 4, 4 % responden yang merasakan bahwa atasannya masih kurang mendukung dalam kegiatan pelaporan insiden. Analisa Bivariat : Analisa Bivariat dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara dua variable. Uji statistic yang digunakan pada data
kategorik untuk mengetahui ada tidaknya hubungan pada data kategorik adalah menggunakan Mann-Whytney dan uji statiatik yang digunakan pada data numerik adalah uji statistik Spearman. Hubungan antara Faktor Usia, Jenis kelamin, Masa Kerja, Tingkat Pendidikan dan Keikutsertaan dalam Pelatihan Program Keselamatan Pasien, Pengetahuan terkait program keselamatan pasien, sikap teman sekerja dan sikap atasan terhadap pelaporan insiden keselamatan pasien (IKP) pasien akan disajikan pada table 10
9
Tabel 10. Hubungan antara Usia, Jenis Kelamin, Masa Kerja, Tingkat Pendidikan dan Keikutsertaan dalam pelatihan program keselamatan pasien dengan Pelaporan IKP Variabel 1
2
3
4
5
6
7
8
Usia 17-25 tahun 26-35 tahun 36-45 tahun > 45 tahun Jumlah Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Lama bekerja 0-3 tahun 4-6 tahun 7-10 tahun 11-14 tahun > 15 tahun Jumlah Tingkat Pendidikan SPK D III S1 Jumlah Pelatihan PS -belum pernah -pernah mangikuti Jumlah Tingkat Pengetahuan - kurang - sedang - tinggi Jumlah Sikap teman sekerja
Jumlah Sikap atasan - kurang mendukung - mendukung - sangat mendukung
Responden F
%
26 27 7 8 68
38, 2 39, 7 10, 3 11, 8 100,0
5 63 68
7, 4 92, 6 100,0
30 7 14 4 13 68
44, 1 10, 3 20, 6 5, 9 19, 1 100,0
6 62 0 68
8, 8 91, 2 0 100,0
24 44 68
35, 3 64, 7 100, 0
2 7 59
2, 9 10, 3 86. 8
68
100,0
Sig. 0,630
0,414
0,330
0,645
0,571
0, 143
0, 935
68
100,0
3
4, 4
25 40
36, 8 58, 8
0, 011
10
Jumlah
Hubungan antara Usia dengan pelaporan IKP Hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa perawat di gedung EG RS Panti Rapih paling banyak berusia dewasa muda (usia antara 26-37 tahun), yaitu sebesar 39, 7 %. Usia dewasa muda adalah mencari kompetensi diri, kebahagiaan yang dicapai melalui kinerja.10 Pendapat lain menyatakan bahwa usia muda memiliki hubungan dengan produktivitas dimana produktivitas seseorang akan menurun seiring dengan semakin bertambahnya usia.9 Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara usia dewasa muda dengan pelaporan insiden keselamatan pasien (p= 0,630), Hal ini dapat diartikan bahwa perawat di gedung EG RS Panti Rapih, baik yang berusia dewasa muda ataupun yang berusia dewasa tua belum melaporkan kepada tim keselamatan rumah sakit jika terdapat kesalahan yang terjadi di ruangannya. Hubungan antara Jenis kelamin terhadap pelaporan IKP Perawat di gedung EG RS Panti Rapih paling banyak berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 92, 6 % (table 3), Pekerjaan perawat (profesionalitas) menuntut kepekaan, kepedulian dan ketelitian yang tinggi, hal ini sesuai dengan sosok perempuan. Seorang laki-laki memiliki kecenderungan untuk bekerja lebih
68
100,0
cepat dan kurang teliti. Jika dikaitkan dengan program keselamatan pasien di rumah sakit, petugas kesehatan yang teliti dan peka dapat mengantisipasi adanya insiden di rumah sakit.1 Hasil uji statistik menunjukkan nilai p= 0, 414 ( > 0,05) yang bisa dinyatakan bahwa jenis kelamin perawat tidak ada hubungan dengan pelaporan insiden. Hasil ini juga didukung oleh hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin perawat di RSUP Fatmawati dengan persepsi keselamatan pasien.6 Hubungan antara Tingkat pendidikan terhadap pelaporan IKP Sikap dan perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang diperolehnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perawat di gedung EG RS Panti Rapih, paling banyak lulus dari program Pendidikan D III Keperawatan, yaitu sebesar 91, 2 % (table 5). Sikap dan perilaku dalam memberikan asuhan keperawatan untuk perawat dengan tingkat pendidikan D III diharapkan lebih baik daripada lulusan SPK, demikian pula terkait dengan perilakunya dalam pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP) di ruangan dimana mereka berkarya. Hasil uji statistik tingkat pendidikan dan pelaporan IKP diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan, dibuktikan dengan nilai p= 143 ( > 0,005). Orang yang berpendidikan tinggi akan lebih rasional dan kreatif
11
serta terbuka terhadap hal-hal yang baru.
bekerja belum semuanya melaporkan jika terdapat KTD di unit kerjanya.
Hubungan antara Masa kerja terhadap pelaporan IKP Masa kerja seseorang mempengaruhi keamanan dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien. Hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa perawat dengan masa kerja 0-3 tahun merupakan jumlah terbanyak, yaitu sebesar 44, 1 % (table 6). Perawat dengan masa kerja 0-3 tahun tergolong dalam kelompok perawat novist beginner yang memerlukan bimbingan dan pendampingan yang baik,11 sehingga dalam menjalankan profesinya mereka lebih percaya diri karena mereka belum memiliki pengalaman yang matang. Pendapat lain menyampaikan bahwa masa kerja memiliki hubungan dengan produktivitas dan tingkat absensi serta kepuasan kerja seseorang, senioritas merupakan masa seseorang menjalankan pekerjaan tertentu dimana terdapat hubungan yang positif antara semakin lama seseorang bekerja dengan tingkat produktivitas mereka.8 Jika dikaitkan dengan program keselamatan pasien, perawat dengan masa kerja sedikit memungkinkan untuk melakukan kesalahan sehingga memungkinkan untuk terjadinya KTD (Kejadian Yang Tidak Diharapkan). Hasil uji statistic menunjukkan bahwa masa kerja tidak berhubungan dengan pelaporan IKP, dibuktikan nilai p=0, 330 (> 0,05). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa semua perawat baik yang memiliki masa kerja yang cukup lama ataupun perawat yang baru
Hubungan antara keikutsertaan dalam pelatihan terhadap pelaporan IKP Peningkatan pemahaman adalah dampak yang diharapkan dengan diadakannya pelatihan. Hasil pengumpulan data menunjukkan bahwa sebagian besar perawat telah mengikuti pelatihan program keselamatan pasien (patient safety), yaitu sebesar 64,7 %. Perawat yang telah mengikuti pelatihan diharapkan memahami tentang keselamatan pasien dan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah tejadinya cedera pada pasien, termasuk juga tentang tata cara pelaporannya jika terjadi insiden. Adanya KTD dan KNC harus dilaporkan untuk mencegah terjadinya hal serupa baik diruangan dimana mereka bekerja ataupun di ruangan lain.2 Hasil uji statistik diperoleh data bahwa pelatihan tidak ada hubungannya dengan pelaporan IKP dengan nilai p=0, 571 ( > 0,05). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa antara perawat yang sudah mengikuti pelatihan dan yang belum mengikuti pelatihan tidak memiliki perbedaan dalam pelaporan IKP di gedung EG RS Panti Rapih, Hasil tersebut sesuai dengan hasil penelitian lain yang menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara perawat yang pernah mengikuti pelatihan dengan perawat yang belum pernah mengikuti pelatihan program keselamatan pasien.8
12
Hubungan antara Pengetahuan terkait program keselamatan pasien terhadap pelaporan IKP Pengetahuan yang tinggi membuat seseorang menjadi tahu termasuk dalam program keselamatan pasien dan pelaporan insiden. Jika dilihat dalam tabel sebelumnya (table 6) dapat diketahui bahwa tingkat pengetahuan perawat terhadap pelaporan insiden sebagian besar ada dalam tingkat pengetahuan yang tinggi, yaitu sebesar 86, 8 % dan hanya sebesar 2, 9 % perawat yang memiliki pengetahuan dalam kategori rendah terkait dengan sistem pelaporan insiden. Hasil uji statistic menunjukkan data bahwa tingkat pengetahuan tidak berhubungan dengan perilaku melaporan IKP dengan nilai (0, 143>p value 0,005). Hal ini kurang sesuai dengan pendapat yang menyatakan bahwa Pengetahuan merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi sebelum sseorang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan merupakan hal yang penting untuk terbentuknya perilaku/tindakan pada seseorang. Dari beberapa penelitian didapatkan bahwa tindakan yang tidak didasari oleh pengetahuan yang baik tidak akan menghasilkan hasil yang baik pula. Hubungan antara Sikap teman sekerja terhadap pelaporan IKP Bekerjasama secara tim dapat berfungsi sebagai barier terhadap bahaya yang ditimbulkan karena keterbatasan setiap anggota tim, selain itu setiap individu bisa saling mengingatkan, mengoreksi dan berkomunikasi secara baik dalam
melaksanakan asuhan keperawatan yang lebih aman kepada pasien. Sebaliknya apabila anggota tim tidak bisa bekerjasama, komunikasi tidak harmonis,individu lebih mengutamakan egonya dan pembagian tugas tidak seimbang akan menciptakan peluang terjadinya kesalahan.3 Berdasarkan suatu penelitian diperkirakan 50-96 % KTD tidak dilaporkan, hal ini dapat terjadi karena berbagai macam alasan, diantaranya karena petugas enggan, tidak mau repot, takut hukuman atau sanksi, menyangkut harga diri, kesibukan ataupun alasan lainnya. Sistem pelaporan yang baik diantaranya adalah pelapor tidak di blamming, naming ataupun shamming oleh teman-teman yang mengetahui secara langsung kejadiannya ataupun atasannya secara langsung. Sikap teman-teman seruangan sangat mempengaruhi seseorang dalam pembentukan budaya kerja dalam hal ini budaya keselamatan pasien. Jika seluruh teman-temannya mengetahui pentingnya pelaporan insiden dan sudah terbiasa melaporkan jika terjadi insiden di ruangannya, semestinya kondisi ini mendukung untuk terbentuknya pelaporan IKP jika terjadi insiden di ruangan tersebut dalam arti semua peduli dan mendukung siapapun yang mengalami ataupun mengetahui segera melaporkan kejadian tersebut baik yang berupa KTD ataupun KNC.3 Dari hasil pengumpulan data dapat diketahui bahwa sikap teman terhadap kejadian/insiden dan terhadap kegiatan pelaporan insiden adalah dalam katergori baik (mendukung), hal 13
ini dirasakan oleh sebesar 36, 8 % responden. Perawat memiliki peran yang dominan dalam mencegah kesalahan pengobatan dengan membangun budaya keselamatan pasien, pelaporan kejadian, mendidik diri sendiri dan sesame perawat, memberikan rekomendasi tentang pembakuan suatu prosedur dan kebijakan serta keterlibatan dalam identifikasi masalah.3 Dari hasil uji statistik diketahui bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara sikap teman-teman diruangan terhadap pelaporan IKP yang ditunjukkan dengan nilai p= 0, 935 ( > 0.05). Jika dilihat dari hasil pengumpulan data, sikap teman seruangan sebagian besar mendukung dalam kejadian insiden dan pembuatan pelaporan, namun sikap-sikap yang baik tersebut belum dapat memberikan dampak terhadap perilaku melaporkan. Hubungan antara Sikap atasan terhadap pelaporan IKP Kepemimpinan merupakan kegiatan mempengaruhi orang lain untuk bekerja dan mencapai tujuan organisasi. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien di rumah sakit juga menjadi standar kelima dalam Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit di Indonesia.3 Perawat harus menyadari perannya sehingga sehingga dapat berpartisipasi aktif dalam mewujudkan patient safety, namun kerja keras perawat tidak dapat tercapai secara optimal, namun jika tidak didukung oleh sarana, prasarana, manajemen RS dan tenaga kesehatan lainnya.1 Terwujudnya pelaporan IKP, selain dipengaruhi oleh budaya
keselamatan yang terbentuk juga sangat dipengaruhi oleh sikap 3 atasannya. Pelaporan insiden yang baik, diantaranya adalah tidak menghukum, tidak memberi sanksi dan tidak memarahi terhadap siapa saja yang melakukan kesalahan ataupun melaporkan terjadinya kesalahan/insiden. Kesalahan/error yang terjadi di rumah sakit tidak semata-mata karena kesalahan individu melainkan harus dilihat sebagai kesalahan sistem. Untuk itu perlu dibangun relasi yang baik antara staf dan pihak manajemen (kepala ruang) sehingga jika terjadi sesuatu kejadian dapat mengurangi “sungkan” dan bisa bertindak jujur karena memiliki harapan untuk lebih 3 difahami. Hasil pengumpulan data terkait sikap atasan terhadap pelaporan insiden menunjukkan hasil bahwa sebagian besar responden yaitu 58, 8 % merasakan bahwa atasannya sangat mendukung dan 36, 8 % menyatakan mendukung dalam kegiatan pelaporan IKP, hanya 4, 4 % responden yang merasakan bahwa atasannya masih kurang mendukung dalam kegiatan pelaporan insiden. Sikap kepala ruang yang baik ini sungguh dirasakan oleh perawat pelaksana sebagai sesuatu yang “menjamin” bahwa mereka akan melaporkan jika terjadi suatu kejadian/IKP dengan segera dan tidak ragu-ragu ataupun merasa khawatir akan dampak yang mereka terima sebagi konsekuensi atas kesalahan yang mereka lakukan. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang 14
bermakna antara sikap atasan terhadap pelaporan IKP dengan p value 0,0011(< 0,05.)Jika dilihat dari hasil pelaporan insiden, belum semua perawat melakukan kegiatan pelaporan, hal ini dapat diasumsikan bahwa sebagian diantara perawat masih merasa takut dan khawatir akan “dipermalukan” dan mendapatkan hukuman/sanksi sebagai dampak dari kesalahan yang telah mereka lakukan.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang Analisis Faktor yang berhubungan dengan rendahnya pelaporan insiden keselamatan pasien (IKP) di Ruang Rawat Inap gedung Elisabeth Gruyters RS Panti Rapih Yogyakarta, dapat disimpulkan bahwa factor yang berhubungan dengan rendahnya pelaporan insiden keselamatan adalah sikap atasan dalam mendukung kegiatan pelaporan, sedangkan factor-faktor lainnya tidak menunjukkan ada hubungan seperti dalam paparan berikut ini : Tidak terdapat hubungan antara usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, masa kerja dan keikutsertaan dalam pelatihan dengan pelaporan insiden keselamatan pasien (IKP) (p value > 0,05). Ada hubungan yang signifikan antara sikap atasan (kepala ruang) dengan rendahnya pelaporan IKP di di gedung Elisabeth Gruyters RS Panti Rapih Yogyakarta (p value < 0,05).
Saran Disarankan kepada Tim keselamatan pasien rumah sakit untuk melakukan sosialisasi secara terus menerus tentang pentingnya pelaporan IKP kepada seluruh karyawan, jika perlu dengan mengadakan pelatihan secara khusus tentang bagaimana tatacara melaporkan dan melakukan analisis terhadap IKP dan untuk manajemen rumah sakit perlu mengadakan penyegaran terkait dengan leadership bagi kepala ruang agar dapat memahami dan menjadi role model bagi staf yang dipimpinnya dalam menciptakan budaya keselamatan pasien, dan memberi dukungan dalam pelaporan IKP. DAFTAR PUSTAKA / , Abdullah Yahya, Adib (2011), Materi Workshop Keselamatan Pasien dan Manajemen Risiko Klinis di RS Panti Rapih: langkah Keselamatan Pasien. 0, Arjaty D (2011), Materi Workshop Keselamatan Pasien dan Manajemen Risiko Klinis di RS Panti Rapih : Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien, 2008 1, Depkes RI (2008). Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) : Utamakan Keselamatan Pasien. Edisi 2 Jakarta : Depkes RI 2, Gillies, D.(2006). Manajemen Keperawatan : Suatu Pendekatan Sistem. Bandung : Yayasan IAPKP. 15
3, Hastuti, Sri Oktri, (2012). Penerapan Budaya Keselamatan Sebagai Upaya Mencegah Kejadian Yang Tidak Diharapakan di RS Panti Rapih Yogyakarta. 4, Hikmah, S. (2008). PersepsiStaf Mengenai “Patient Safety” di IGD RSUP Fatmawati.Skripsi. Tidak dipublikasikan. FKM-UI. 5, Joann Sorra, Veronica Nieva, Ph.D, Hospital Survey on Patient Safety Culture. AHRQ Publication No. 04-0041, September 2004 David Marx Consulting (2001), Patient Safety and the “just culture”: A Primer for Health Care Executives. The Trustees of Columbia University in the City of New York.
6, Marpaung, J. (2005). Persepsi Perawat Pelaksana Tentang Kepemimpinan Efektif Kepala Ruang Dan Hubungannya Dengan BUdaya Kerja perawat pelaksana dalam pengendalian mutu pelayanan keperawatan di ruang rawat inap RSUP Adam Malik Medan. FIK UI. Tesis. Tidak dipublikasikan. 7, Notoatmojo, S. (2005).Promosi Kesehatan, Teori dan Aplikasi, Cetakan Pertama, PT Rieneka Cipta, Jakarta. / . , Robbins, Stephen P. 2003. Perilaku Organisasi, Edisi ke-10. PT Index Kelompok Gramedia : Jakarta. / / , Tomey, Ann Marriner, Martha Raile Alliggod.(2006). Nursing Theory and Their Work (6 ed.), USA : Mosby Elsevier.
16