ANALISIS DETERMINAN STATUS GIZI ANAK 0-23 BULAN PADA DAERAH MISKIN DI JAWA TENGAH DAN JAWA TIMUR
BUNGA CHRISTITHA ROSHA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Analisis Determinan Status Gizi Anak 0-23 Bulan Pada Daerah Miskin Di Jawa Tengah Dan Jawa Timur” adalah benar-benar karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, 15 Agustus 2010
Bunga Ch. Rosha NRP. I151080131
ABSTRACT
BUNGA CHRISTITHA ROSHA. Analysis of Nutritional Status Determinant of 0-23 Months Age’s Children among Poor Areas in Central and East Java. Supervised by HARDINSYAH and YAYUK FARIDA BALIWATI.
The aim of the study was to analyzed determinant factors of nutritional status children of 0-23 months in poor areas of Central and East Java. This study used Riskesdas 2007 data. Samples was 932 children 0-23 months. Nutritional status was measured by z-score of weight for age (W/A) and height for age (H/A). The data analyzed using a logistic regression. The results showed that 13,3 percent of the children were underweight (W/A), and 28.8 percent of the children were stunted (H/A). The determinant factors of underweight were number of toddlers in the family, environmental sanitation and nutrient adequacy; meanwhile determinant factors for stunting were child’s age, sex and urban-rural and mother education level.
Keywords: underweight, stunting, determinant factors, poor areas
RINGKASAN
BUNGA CHRISTITHA ROSHA. Analisis Determinan Status Gizi Anak 0-23 Bulan pada Daerah Miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dibimbing oleh HARDINSYAH dan YAYUK FARIDA BALIWATI.
Masalah underweight dan stunting merupakan masalah gizi yang serius di Indonesia. Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi underweight sebesar 18,4 persen sedangkan stunting 36,8 persen. Bila berdasarkan Riskesdas
prevalensi underweight
dibandingkan dengan target pencapaian program
perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN) tahun 2015 sebesar 20 persen dan target Millenium Development Goals (MDGs) untuk Indonesia sebesar 18,2 persen, maka secara nasional target-target tersebut sudah terlampaui. Namun pencapaian tersebut belum merata di beberapa propinsi dan kabupaten kota. Masalah gizi disebabkan oleh kemiskinan, namun permasalahan gizi juga dipengaruhi oleh faktor lainnya. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk meneliti faktor determinan yang mempengaruhi status gizi anak. Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai faktor determinan yang berisiko terhadap underweight dan stunting anak 0-23 bulan di daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu data Riskesdas 2007 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Sampel yang dipilih adalah anak usia 0-23 bulan yang berasal dari kabupaten kota dengan kategori miskin (>16,5 persen) di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kriteria lainnya adalah sampel harus memiliki kelengkapan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Kemudian dari 2702 populasi anak usia 0-23 bulan yang tinggal di wilayah miskin yang memenuhi kriteria kelengkapan data yang dibutuhkan didapatkan 932 sampel yang berasal dari 40 kabupaten kota di Jawa tengah dan Jawa Timur. Underweight dan stunting diukur berdasarkan indeks BB/U dan TB/U. Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan distribusi data yaitu frekuensi masing-masing variabel baik variabel dependent (status gizi balita) maupun
variabel
independent
(karakteristik
keluarga,
karakteristik
ibu,
karakteristik anak, sanitasi lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, penyakit infeksi dan asupan gizi. Analisis bivariat dilakukan dengan membuat tabel silang antara masing-masing variabel bebas dan variable terikat dengan tujuan untuk memperoleh gambaran variable bebas yang mana yang diduga ada hubungannya dengan status gizi balita. Uji statistik yang digunakan dalam analisis bivariat ini adalah chi square, yaitu untuk menguji kemaknaan hubungan atau perbedaan dengan tingkat kepercayaan 95%, dengan kriteria nilai P : P > 0,05 menunjukan hubungan tidak bermakna, P < 0,05 menunjukkan hubungan bermakna. Untuk menarik kesimpulan akhir penelitian dilakukan analisis regresi logistik binary. Melalui analisis regresi logistik akan dihitung odd ratio (OR) yaitu untuk memperkirakan besarnya risiko underweight dan stunting yang disebabkan oleh faktor risiko. Hasil penelitian menunjukkan kejadian gizi kurang sebesar 13,3 persen sedangkan stunting 28,8 persen. Prevalensi underweight dan stunting pada usia > 6 bulan lebih tinggi dibandingkan usia < 6 bulan. Analisis statistik mengunakan chi square
menujukkan faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan
underweight (p<0,05) adalah jumlah balita dalam keluarga dan sanitasi lingkungan sedangkan faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan stunting adalah wilayah tempat tinggal, pendidikan ibu, usia anak dan jenis kelamin anak. Analisis regresi logistik menunjukkan faktor determinan underweight adalah jumlah balita dalam keluarga, sanitasi lingkungan dan asupan gizi sedangkan faktor determinan stunting adalah wilayah tempat tinggal, pendidikan ibu, usia anak dan jenis kelamin. Upaya
yang
dapat
dilakukan
untuk
menanggulangi
permasalah
underweight antara lain : Pertama, peningkatan ketersediaan pangan dalam rumah tangga sehingga anak mendapatkan makanan sesuai dengan kebutuhanya. Anak usia > 6 bulan diberikan makanan tambahan selain ASI (PMT-ASI) sedangkan untuk anak usia 0-6 bulan cukup diberikan ASI eksklusif. Selain itu dibutuhkan peran pemerintah dalam meningkatkan komunikasi informasi eduksi (KIE) masyarakat mengenai pangan dan gizi melalui melalui penyuluhan, konseling, dan sebagainya yang dapat dilakukan di ruang-ruang publik seperti puskesmas, posyandu, perkumpulan warga, pengajian dan lain-lain. Kedua, meningkatkan
kesadaran masyarakat untuk memiliki sanitasi yang baik melalui penyuluhan yang dilakukan oleh instansi terkait, selain itu pemerintah dan masyarakat bersamasama melakukan perbaikan sarana dan prasarana kebersihan yang dapat mendukung terjadinya sanitasi lingkungan yang memadai. Ketiga, memperkuat kembali program keluarga berencana (KB) agar keluarga merencanakan anak dengan baik sehingga jarak kelahiran anak tidak terlalu dekat. Upaya untuk menanggulangi permasalah stunting, antara lain : Pertama, pemerintah dan masyarakat fokus terhadap penanganan stunting pada usia dan jenis kelamin anak yang dianggap berisiko tinggi yaitu anak usia > 6 bulan dan berjenis kelamin laki-laki. Untuk usia dan jenis kelamin anak yang berisiko rendah yaitu anak usia < 6 bulan dan berjenis kelamin perempuan dilakukan upaya-upaya pencegahan agar terhindar dari stunting. Kedua, peningkatan pendidikan ibu melalui program pemerintah kejar paket A agar ibu yang berpendidikan rendah dapat melek huruf sehingga dapat mengakses informasi mengenai gizi dan kesehatan yang kemudian informasi tersebut dipraktikan dalam keluarga. Ketiga, peningkatan sanitasi kebersihan diharapkan dapat mengurangi risiko penyakit infeksi di wilayah pedesaan dan dibukanya lapangan pekerjaan yang lebih bervariasi di wilayah pedesaan diharapkan dapat berimbas pada pemenuhan kebutuhan gizi dan makanan keluarga. Kedua hal ini diharapkan dapat mencegah terjadinya stunting di pedesaan. Dalam rangka penyempurnaan pengembangan instrumen pengukuran dalam Riskesdas yang akan datang, kedepan perlu: ditentukan metode pengukuran konsumsi untuk anak usia 0-23 bulan yang sesuai dan lebih sensitif dari metode recall 24 jam, sehingga konsumsi anak dapat menggambarkan status gizi anak baik berdasarkan indeks BB/U maupun TB/U. Metode recall 24 jam yang digunakan pada Riskesdas 2007 kurang sensitif untuk melihat status gizi berdasarkaan indeks TB/U. Terkait pengukuran penyakit infeksi yang diderita anak kiranya perlu dilakukan pemeriksaan secara klinis agar didapatkan kepastian penyakit yang diderita anak karena jika hanya berdasarkan diagnosis dan identifikasi
gejala
rentan
terjadi
kesalahan
ketika
mendiagnosis
mengidentifikai gejala. Kata kunci : underweight, stunting, faktor determinan, wilayah miskin
dan
@ Hak cipta milik IPB, Tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS DETERMINAN STATUS GIZI ANAK 0-23 BULAN PADA DAERAH MISKIN DI JAWA TENGAH DAN JAWA TIMUR
BUNGA CHRISTITHA ROSHA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Penelitian
: Analisis Determinan Status Gizi Anak 0-23 Bulan Pada Daerah Miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur
Nama Mahasiswa
: Bunga Christitha Rosha
NRP
: I151080131
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. H. Hardinsyah, M.S. Ketua
Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, M.S. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Gizi Masyarakat
Dekan Sekolah Pascasarjana
Drh.M.Rizal M.Damanik,M.RepSc.Ph.D Prof.Dr.Ir.Khairil A.Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 16 Juli 2010
Tanggal Lulus :
Penguji Luar Komisi pada Tesis : Ir. Eman Sumarna, MSc
PRAKATA
Alhamdulillahirobbil’aalamiin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik. Tesis ini berjudul “Analisis Determinan Status Gizi Anak 0-23 Bulan Pada Daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur”. Tesis ini dapat diselesaikan atas bantuan doa dan dukungan, semangat, arahan, bimbingan dan kerjasama dengan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, M.S dan Dr. Ir. Yayuk Farida Baliwati, M.S selaku komisi pembimbing yang telah memberikan banyak masukan berupa arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Ucapan terimakasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Ir. Eman Sumarna, MSc selaku Kasubid Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia yang bertindak sebagai penguji luar komisi pada ujian tesis atas masukan dan sarannya sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Ucapan terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada kedua orangtua, suami, dan anak atas segala ridho, doa, pengorbanan dan limpahan kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis. Terima kasih juga penulis haturkan untuk teman-teman seangkatan Pasca Gizi Masyarakat (GMS) juga teman–teman di Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan atas bantuan dan doanya. Penulis meyakini bahwa tesis ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu penulis menerima kritik dan masukan untuk peningkatan dan pengembangan penelitian yang lebih luas. Atas segala perhatian dan masukannya penulis mengucapkan terimakasih. Semoga penelitian ini bermanfaat untuk banyak pihak.
Bogor, 15 Agustus 2010 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bekasi pada tanggal 26 Januari 1982. Penulis merupakan putri pertama dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Roeshadi Wijaya dan Ibu Rosmala. Penulis juga merupakan istri dari Fauzi Rabani sekaligus ibu dari Hilya Aisyah Rabani. Tahun 2004 penulis lulus dari Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto jurusan Sosiologi dengan menyandang gelar Sarjana Sosial. Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis juga tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dari tahun 2006 sampai sekarang.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL…………………………………………………………………..v DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………. vi DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………………..vii PENDAHULUAN...……………………………………………………………….. 1 Latar Belakang……………………………………………………………... 1 Tujuan ………….………………………………………………………….. 4 Manfaat ……………………………………………………………………. 5 TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………………… 6 Permasalahan Gizi Pada Balita……………………….……………………. 6 Status Gizi Balita…………………………………………………………... 9 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita……………………. 11 KERANGKA PEMIKIRAN………………………………………………………..19 METODE……………………..…………………………………………………… 22 Sumber Data, Waktu dan Tempat…………………………………………. 22 Cara Pengambilan Sampel…………………………………………………. 24 Pengolahan Data…………………………………………………………… 27 Analisis Data…………………………………………................................ 29 Definisi Operasional……………………………………………………….. 31 HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………………………………. 34 Keadaan Umum Wilayah………………………………………………….. 34 Karakteristik Keluarga..……………………………………………………. 35 Karakteristik Ibu…………………………………………………………… 36 Karakteristik Anak…………………………………………………………. 38 Sanitasi Lingkungan……………………………………………………….. 39 Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)...……………………………….. 39 Akses dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan……………………………. 40
Penyakit Infeksi……………………………………………………………. 41 Asupan Gizi………………………………………………………………... 42 Status gizi Anak……………………………………………………………. 43 Faktor yang berhubungan dengan Underweight Anak 0-23 Bulan.............. 43 Faktor yang berhubungan dengan Stunting Anak 0-23 Bulan……………. 49 Faktor Determinan Underweight Anak Usia 0-23 Bulan…………………. 54 Faktor Determinan Stunting Anak Usia 0-23 Bulan ………………………. 57 KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………………………. 61 Kesimpulan………………………………………………………………… 61 Saran……………………………………………………………………….. 62 DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………… 64 LAMPIRAN……………………………………………………………………….. 68
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1. Perbandingan masalah gizi kurang pada balita pada beberapa negara di Asia, 2001…………………………………………………………………. 7 2. Jumlah balita gizi buruk dan gizi kurang berdasarkan Susenas 1989-2003………………………………………………………...………... 8 3. Prevalensi stunting balita berdasarkan Survei Gizi dan Kesehatan HKI tahun 1999-2002 dan Riskesdas 2007………………………………………9 4. Angka kecukupan gizi anak usia 0-3 tahun ……………………………….. 18 5. Daftar kabupaten/kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dijadikan wilayah penelitian………………………………………………………….. 22 6. Daftar data yang tidak lengkap……………………………………………. 25 7. Daftar kabupaten/kota dan jumlah sampel di Jawa Tengah dan Jawa Timur………………………………………………………………….26 8. Pengolahan data……………………………………………………………. 27 9. Contoh tabel 2x2…………………………………………………………… 29 10. Sebaran sampel berdasarkan karakteristik rumah tangga…………………. 35 11. Sebaran sampel berdasarkan karakteristik ibu…………………………….. 38 12. Sebaran sampel berdasarkan karakteristik anak…………………………… 39 13. Sebaran sampel berdasarkan sanitasi lingkungan………………………… 39 14. Sebaran sampel berdasarkan PHBS……………………………………….. 40 15. Sebaran sampel berdasarkan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan………………………………………………………………….. 41 16. Sebaran sampel berdasarkan penyakit infeksi anak……………………….. 42 17. Sebaran sampel berdasarkan asupan gizi anak…………………………….. 42
18. Sebaran sampel berdasarkan status gizi…………………………………… 43 19. Faktor-faktor yang berhubungan dengan underweight anak 0-23 bulan ….. 48 20. Faktor-faktor yang berhubungan dengan stunting anak 0-23 bulan ..…….. 53 21. Faktor determinan underweight anak 0-23 bulan ……………..…………. 56 22. Faktor determinan stunting anak 0-23 bulan ……………………………… 59
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Kerangka konsep UNICEF dalam menanggulangi masalah gizi………….. 19 2. Kerangka pemikiran operasional………………………………………….. 21 3. Alur pengambilan sampel…………………………………………………. 24
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Daftar pertanyaan yang diambil dari quesioner Riskesdas 2007……… 68 2. Skoring sanitasi lingkungan…………………………………………..... 95 3. Skoring PHBS………………………………………………………….. 98 4. Skoring akses terhadap pelayanan kesehatan………………………….. 99 5. Skoring pemanfaatan pelayanan kesehatan……………………….……100 6. Skoring penyakit infeksi anak……………………………………….....102 7. Hasil tabulasi silang antar variabel……………………………..……....103
LAMPIRAN
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pembangunan di Indonesia saat ini mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 yang memiliki lima tujuan pokok. Salah satu tujuan pokok dari RPJPN adalah terwujudnya bangsa yang berdaya saing untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera dengan salah satu indikasinya yaitu peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) (www.indonesia.go.id) Sumber daya manusia adalah investasi berharga dalam pembangunan. Oleh karena itu SDM haruslah berkualitas yang dicirikan dengan fisik yang tangguh, mental yang kuat, sehat dan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu indikator yang digunakan untuk menilai kualitas sumber daya manusia adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM ditentukan oleh tiga faktor utama, yaitu pendidikan, ekonomi dan kesehatan yang sangat erat kaitannya dengan status gizi masyarakat (Departemen Kesehatan 2006). Berdasarkan laporan UNDP, pada tahun 2007 pencapaian IPM Indonesia menempati rangking 111 dari 182 negara di dunia. (UNDP, 2009) Rendahnya IPM di Indonesia disebabkan oleh permasalahan gizi dan kesehatan di masyarakat (Azwar, 2004). Permasalahan gizi masyarakat antara lain underweight (gizi kurang) dan stunting (anak pendek). Salah satu pencetus permasalahan kurang gizi adalah kemiskinan. Proporsi anak underweight dan anak stunting berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentase anak yang kekurangan gizi; makin tinggi pendapatan, makin kecil persentasenya. Hubungannya bersifat timbal balik, kurang gizi berpotensi sebagai penyebab kemiskinan melalui rendahnya pendidikan dan produktivitas. Sebaliknya, kemiskinan menyebabkan anak tidak mendapat makanan bergizi yang cukup sehingga kurang gizi (Soekirman, 2005). Permasalahan underweight dan stunting berdampak terhadap pertumbuhan, perkembangan dan produktifitas. Bahkan stunting yang kronik tidak dapat lagi dipulihkan. Ini artinya stunting pada anak membuat anak tidak mungkin lagi mengejar ketinggalan pertumbuhan dikemudian hari. Menetapnya stunting pada
2
anak dapat meningkatkan risiko penyakit infeksi, penyakit kronik, dan kematian anak serta menurunkan produktifitas kerja ketika dewasa. Masalah gizi jika tidak ditangani akan menimbulkan masalah yang lebih besar, bahkan kedepannya Bangsa Indonesia akan mengalami lost generation (Soekirman 2005). Anak usia 0-23 bulan merupakan anak yang termasuk dalam masa kehidupan yang sangat penting sehingga perlu perhatian yang serius. Pada masa ini berlangsung proses tumbuh kembang yang sangat pesat yaitu pertumbuhan fisik dan perkembangan psikomotorik, mental dan sosial. Stimulasi psikososial harus dimulai sejak dini dan tepat waktu untuk tercapainya perkembangan psikososial yang optimal. Pada masa ini anak perlu memperoleh zat gizi dari makanan sehari-hari dalam jumlah yang tepat
dan kualitas yang baik. Oleh
karena itu keterlambatan intervensi kesehatan, gizi dan psikososial mengakibatkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki dikemudian hari (Soekirman 2005). Berdasarkan hasil Riskesdas 2007 prevalensi nasional underweight adalah 18,4 persen sedangkan prevalensi nasional stunting sebesar 36,8 persen. Bila prevalensi underweight dibandingkan dengan target Millenium Development Goals (MDGs) untuk Indonesia sebesar 18,5 persen maka secara nasional targettarget tersebut sudah terlampaui, namun pencapaian tersebut belum merata di beberapa propinsi dan kabupaten kota. Prevalensi stunting jika dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN) tahun 2015 sebesar 20 persen maka target ini belum tercapai dengan baik dan menunjukkan permasalahan stunting masih tinggi di Indonesia (Depkes 2008). Tidak meratanya pencapaian target penurunan prevalensi underweight dan stunting tersebut terlihat dari data Riskesdas 2007 yang menunjukan prevalensi underweight dan stunting di Jawa Tengah sebesar 16,0 persen dan 36,4 persen sedangkan di Jawa Timur 17,4 persen dan 34,8 persen. Walaupun prevalensi di Propinsi Jawa Tengah dan
Jawa Timur di bawah prevalensi nasional tetapi
pencapaian ini tidak merata di beberapa kabupaten kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pencapaian yang tidak merata ini bisa dilihat di beberapa wilayah kabupaten kota yang termasuk kedalam wilayah miskin tetapi memiliki prevalensi underweight yang tinggi di atas prevalensi propinsi, misalnya Demak 21,5
3
persen dan Jember 30,4 persen. Adapun wilayah kabupaten kota yang termasuk dalam wilayah miskin yang memiliki prevalensi underweight yang rendah di bawah prevalensi propinsi yaitu Banyumas 10,1 persen dan
Bondowoso 8,7
persen. Wilayah kabupaten kota yang termasuk wilayah miskin dan memiliki prevalensi stunting yang tinggi adalah Rembang 49,6 persen dan Pamekasan 51,8 persen. Adapun prevalensi stunting yang rendah adalah Grobogan 21,8 persen dan Tulung Agung 27,5 persen. (Depkes 2008) Dalam RPJMN Kesehatan 2010-2014 disebutkan bahwa kebijakan dan program perbaikan gizi dan kesehatan diprioritaskan pada keluarga miskin. Pada tahun 2007 sebesar 16,5 persen atau lebih dar 37 juta penduduk Indonesia tergolong miskin (BPS, 2007). Kemiskinan di Jawa Tengah dan Jawa Timur masih tinggi karena Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan wilayah yang luas sehingga memiliki jumlah penduduk yang besar dan kepadatan penduduk yang tinggi. Jumlah penduduk miskin di Jawa Tengah sebesar 20,4 % sedangkan di Jawa Timur sebesar 19,9 % (BPS, 2007). Permasalahan underweight dan stunting
ditentukan oleh faktor yang
mempengaruhinya. Faktor tersebut pada tiap daerah bisa berbeda satu sama lain. Ada faktor yang mempengaruhi dan ada faktor yang kurang berpengaruh terhadap status gizi anak. UNICEF (1997) menyatakan faktor penyebab permasalahan gizi pada anak terdiri dari faktor penyebab langsung (immediate cause) yaitu asupan makanan yang tidak cukup dan penyakit yang diderita anak. Faktor penyebab yang mendasari (underlying cause) yaitu tidak cukup akses terhadap pangan, pola asuh anak yang tidak memadai, dan akses pelayanan kesehatan dan sanitasi air bersih yang tidak memadai. Faktor penyebab dasar (basic cause) adalah kuantitas dan kualitas sumber daya potensial yang ada di masyarakat misalnya : manusia, ekonomi, lingkungan, organisasi, dan teknologi. Penelitian Sandjaja (2001) yang dilakukan di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Gunung Kidul menunjukan bahwa faktor yang berperan nyata dalam underweight anak antara lain adalah faktor ibu, pola asuh anak, keadaan kesehatan anak, dan konsumsi makanan anak. Mahgoup (2006) dalam penelitiannya di Afrika menunjukkan faktor yang mempengaruhi status underweight adalah jumlah balita dalam rumah tangga, jenis kelamin anak,
tingkat pendidikan ibu dan
4
pendapatan. Alberto dan Francesco (2007) underweight
dan
angka
kematian
di
dalam penelitiannya mengenai beberapa
negara
berkembang
mengidentifikasi empat faktor terdekat yang mendasar yaitu kesehatan lingkungan, pendidikan perempuan,
status relatif perempuan, dan produksi
makanan perkapita. Faber dan Benade (1998) melakukan penelitian di Afrika Selatan, hasilnya menunjukan bahwa anak yang berasal dari keluarga miskin banyak yang mengalami stunting sejak bayi karena penyakit infeksi yang diderita dan kurangnya asupan makanan yang bergizi. Semba et al (2008) dalam penelitiannya di Indonesia dan Bangladesh menunjukan bahwa baik pendidikan ibu dan ayah merupakan penentu kuat stunting. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Judith dan Stan (1996) di Metro Cebu, Filipina menunjukkan pendidikan ibu, kepemilikan televisi atau radio, status sosial ekonomi rumah tangga mempengaruhi stunting. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji dan menganalisis faktor determinan status gizi anak 0-23 bulan pada daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal ini ditunjang dengan tersedianya data hasil Riskesdas 2007 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Tujuan Tujuan penelitian ini antara lain : 1. Mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik keluarga, karakteristik ibu, karakteristik anak, sanitasi lingkungan, PHBS, akses pelayanan kesehatan, pemanfaatan pelayanan kesehatan, status penyakit infeksi dan asupan gizi. 2. Menganalisis
underweight anak 0-23 bulan pada daerah miskin di Jawa
Tengah dan Jawa Timur berdasarkan analisis bivariat. 3. Menganalisis stunting anak 0-23 bulan pada daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur berdasarkan analisis bivariat. 4. Menganalisis determinan underweight anak 0-23 bulan pada daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur berdasarkan analisis multivariat. 5. Menganalisis determinan stunting anak 0-23 bulan pada daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur berdasarkan analisis multivariat.
5
Manfaat Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat antara lain : 1. Diketahuinya faktor determinan underweight dan stunting anak 0-23 bulan pada daerah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur. 2. Menjadi bahan pertimbangan bagi Kementerian Kesehatan dalam merumuskan kebijakan dan program pencegahan underweight dan stunting. 3. Adanya publikasi hasil penelitian sehingga dapat memberikan informasi bagi masyarakat.
6
TINJAUAN PUSTAKA
Permasalahan Gizi Pada Balita Gizi merupakan hal penting dalam pembangunan, karena gizi adalah investasi dalam pembangunan. Gizi yang baik dapat memicu terjadi pembangunan yang pesat karena tingginya produktifitas kerja. Sebaliknya jika masalah gizi banyak terdapat dalam suatu masyarakat hal ini dapat menghambat pembangunan dan menimbulkan kerugian yang tidak terhingga (Soekirman, 2005). Permasalahan gizi sangat berkaitan erat dengan masalah kemiskinan. Peningkatan ekonomi masyarakat akan berdampak terhadap peningkatan status gizi. Peningkatan ekonomi masyarakat dapat menurunkan masalah gizi dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, mengurangi biaya kematian dan kesakitan, kedua melalui peningkatan produktifitas. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Soekirman (2005) yaitu kemiskinan memiliki hubungan timbal balik dengan permasalahan gizi. Kurang gizi berpotensi sebagai penyebab kemiskinan melalui rendahnya pendidikan dan produktivitas. Sebaliknya, kemiskinan menyebabkan anak tidak mendapat makanan bergizi yang cukup sehingga kurang gizi. Tahun 2004 sekitar 50 persen penduduk Indonesia pada semua kelompok usia mengalami masalah kekurangan gizi baik dalam keadaan sakit maupun sehat. Kejadian kekurangan gizi cenderung dikesampingkan, padahal secara perlahan dapat berdampak pada tingginya angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka kematian balita dan rendahnya umur harapan hidup (Atmarita, 2004). Pada tahun 2001, prevalensi underweight dan stunting di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Tabel 1 menunjukkan pada tahun 2001 prevalensi underweight ( BB/U) <-2SD) pada balita di Indonesia sebesar 26,1 persen, sementara Malaysia dan Thailand masing-masing sebesar 18,3 persen dan 18,6 persen. Cina sebagai negara yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi memiliki permasalahan underweight sebesar 9,6 persen. Negara-negara miskin seperti Bangladesh dan India menghadapi permasalahan underweight yang tinggi dibandingkan negara lainnya sebesar 47.8 persen dan 47.0 persen.
7
Tabel 1 Perbandingan masalah gizi kurang pada balita pada beberapa negara di Asia, 2001 Negara Prevalensi Prevalensi Prevalensi BBLR Underweight Stunting (%) (%) (%) Bangladesh 47,8 44,8 30,0 India 47,0 45,6 25,5 Kamboja 45,9 46,0 8,9 Pakistan 38,2 21,4 Myanmar 36,0 37,2 16,0 Vietnam 33,1 36,4 18,9 Srilangka 33,0 17,0 17,0 Indonesia 26,1 42,6 7,7 Thailand 18,6 16,0 7,2 Malaysia 18,3 Cina 9,6 16,7 5,9 Sumber : Atmarita (2004) Analisis Situasi Gizi dan KesehatanMasyarakat Tabel 1 juga menunjukan prevalensi stunting pada balita di Indonesia sebesar 42,6 persen. Ini menunjukkan Indonesia memiliki permasalahan stunting yang cukup tinggi. Sama halnya dengan Indonesia, Bangladesh, India dan Kamboja juga memiliki prevalensi stunting yang tinggi sebesar 44,8 persen, 45,6 persen dan 46,0 persen. Negara dengan prevalensi stunting yang rendah antara lain Thailand sebesar 16,0 persen dan Cina sebesar 16,7 persen. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) prevalensi balita gizi buruk dari tahun 1989 sampai tahun 1995 meningkat tajam, lalu cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003 (Tabel 2). Sedangkan prevalensi balita gizi kurang dari tahun 1989 sampai tahun 2000 mengalami penurunan, lalu cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003. Untuk prevalensi balita yang mengalami status gizi buruk dan gizi kurang dari tahun 1989 sampai tahun 2000 mengalami penurunan, lalu cenderung fluktuatif sampai dengan tahun 2003. Tahun 2003 prevalensi balita gizi buruk dan gizi kurang mencapai 27,5 persen.
8 Tabel 2 Jumlah balita gizi buruk dan gizi kurang berdasarkan Susenas 1989-2003 Tahun
1989 1992 1995 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Total
Total
Penduduk
Balita
Jumlah Gizi
Gizi
Buruk
Kurang
Prevalensi (%) Total
Gizi
Gizi
Buruk
Kurang
177,614,965 21,313,796 1,342,769 6,643,510 7,98,279 6.3 185,323,458 22,238,815 1,607,866 6,302,480 7,910,346 7.2 195,860,899 21,544,699 2,490,567 4,313,249 6,803,816 11.6 206,398,340 20,639,834 2,169,247 3,921,568 6,090,815 10.5 209,910,821 19,941,528 1,617,258 3,639,329 5,256,587 8.1 203,456,005 17,904,128 1,348,181 3,066,977 4,415,158 7.5 206,070,543 18,134,208 1,142,455 3,590,573 4,733,028 6.3 208,749,460 18,369,952 1,469,596 3,545,401 5,014,997 8.0 211,463,203 18,608,762 1,544,527 3,572,882 5,117,409 8.3 Sumber : Atmarita (2004) : Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat
31.2 28.3 20.0 19.0 18.3 17.1 19.8 19.3 19.2
Kronisnya masalah gizi kurang pada balita di Indonesia ditunjukkan pula dengan tingginya prevalensi stunting. Tabel 3 menunjukkan berdasarkan survey gizi dan kesehatan HKI tahun 1999-2001 prevalensi balita stunting dari tahun 1999-2002 di wilayah pedesaan di delapan propinsi masih berkisar antara 30-40 persen begitu juga dengan prevalensi balita stunting di wilayah kumuh perkotaan di empat kota menunjukan prevalensi balita stunting tergolong tinggi berkisar antara 27-40 persen. Tabel 3 menunjukkan Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan propinsi yang memiliki prevalensi stunting paling tinggi untuk wilayah pedesaan pada tahun 1999-2002 yaitu mencapai 48 persen. Pada tahun 2000 dan 2001 untuk wilayah perkotaan, Makasar merupakan kota dengan prevalensi stunting tertinggi, masing masing mencapai 43,1 persen dan 42,6 persen. Untuk membandingkan dengan hasil survey gizi kesehatan HKI tahun 1999-2001 di atas, maka pada tabel 3 juga ditampilkan hasil Riskesdas 2007 pada wilayah yang terdapat pada tabel 3. Berdasarkan data Riskesdas 2007 prevalensi stunting di Nusa Tenggara Barat (NTB) sebesar 43,7 persen. Semarang merupakan kota dengan prevalensi tinggi yaitu 29,0 persen. Untuk lingkup nasional, propinsi yang memiliki prevalensi stunting paling tinggi adalah Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar 46,7 persen.
Total 37.5 35.6 31.6 29.5 26.4 24.7 26.1 27.3 27.5
9
Tabel 3 Prevalensi stunting balita berdasarkan survei gizi dan kesehatan HKI tahun 1999-2001 dan Riskesdas 2007 Wilayah Tahun 1) 1) 1999 2000 2001 1) 2002 1) 2007 2) Sumatera Barat 36,5 37,9 37,0 37,2 36,5 Lampung 27,3 29,5 30,4 38,7 Banten 28,4 31,0 33,0 37,4 38,9 Jawa Barat 30,7 33,0 33,4 35,4 35,4 Jawa Tengah 36,0 30,8 29,5 29,0 36,4 Jawa Timur 34,5 34,9 33,5 31,2 34,8 NTB 44,0 46,9 48,2 48,8 43,7 Jakarta 31,0 28,8 26,7 Semarang 30,2 28,2 29,0 Surabaya 27,7 27,9 24,8 Makasar 43,1 42,6 26,9 Sumber : 1)Atmarita (2004)Analisis Situasi Gizi dan Kesehatan Masyarakat 2) Riskesdas 2007 Menurut data Riskesdas 2007 prevalensi nasional underweight adalah 18,4 persen. Sedangkan prevalensi nasional stunting sebesar 36,8 persen. Bila dibandingkan dengan target pencapaian program perbaikan gizi pada Rencana Pembangunan Jangka Menegah Nasional (RPJMN) tahun 2015 sebesar 20 persen dan target Millenium Development Goals (MDGs) untuk Indonesia sebesar 18,5 persen, maka secara nasional target untuk underweight terlampaui, namun pencapaian tersebut belum merata di 33 propinsi. Prevalensi stunting yang masih tinggi di atas 20 persen menunjukkan adanya permasalahan di masyarakat yang harus segera ditangani.
Status Gizi Balita Masa balita merupakan proses pertumbuhan yang pesat dimana memerlukan perhatian dan kasih sayang dari orang tua dan lingkungan. Disamping itu balita membutuhkan zat gizi yang seimbang agar status gizinya baik dan proses pertumbuhan tidak terhambat, karena balita merupakan kelompok umur yang paling menderita akibat kekurangan gizi (Santoso dan Lies, 2004 ). Status gizi pada saat bayi dapat memberi andil terhadap status gizi anakanak bahkan sampai masa dewasa. Menurut Riyadi (1995) Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh
10
konsumsi, penyerapan (absorbs) dan penggunaan (utilization) zat gizi makanan yang ditentukan berdasarkan ukuran tertentu. Mengingat pentingnya status gizi pada masa bayi maka orang tua dalam hal ini ibu mempunyai peran penting untuk dapat mengendalikan agar status gizi anak dapat mencapai optimal serta mempertahankan status gizi yang sudah baik agar tetap di zona aman ( tidak kekurangan gizi atau kelebihan gizi). Oleh karena itu diperlukan penilaian status gizi anak yang dilakukan secara berkelanjutan. Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan cara antropometri, konsumsi pangan, biokimia dan klinis. Cara mana yang akan digunakan sangat tergantung pada tahapan dan keadaan gizi seseorang yang akan dinilai status gizinya. Dari ketiga cara penilaian ini, antropometri merupakan cara yang paling sederhana dan praktis untuk penilaian status gizi (Riyadi, 1995). Hal ini disebabkan pada pengukuran dengan antropometri prosedur pemeriksaannya lebih mudah dan harga peralatannya juga relatif murah. Menurut Riyadi (1995), pengukuran status gizi dengan menggunakan antropometri dapat memberikan gambaran tentang status konsumsi energi dan protein seseorang. Oleh karena itu, antropometri sering digunakan sebagai indikator status gizi yang berkaitan dengan masalah kurang energi-protein. Nyoman (2001) menyatakan indeks antropometri yang sering digunakan ada tiga yaitu : 1) Berat badan menurut umur (BB/U) untuk menilai underweight Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan meningkat mengikuti pertambahan umur. Sebaliknya dalam keadaan abnormal, terdapat dua kemungkinan peningkatan berat badan yaitu dapat meningkat cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik berat badan ini, maka indeks BB/U digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi.
11
2) Tinggi badan menurut umur (TB/U) untuk menilai stunting Tinggi
badan
merupakan
parameter
yang
menggambarkan
keadaan
pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur. Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak dalam waktu yang lama. 3) Berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) untuk menilai wasting Berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan berat badan dengan kecepatan tertentu. Ketiga indeks ini dapat digunakan untuk melihat status gizi balita. Indeks BB/U merupakan indeks untuk menilai status gizi anak akibat dari kekurangan asupan gizi. Oleh karena itu secara umum indeks BB/U mengindikasikan adanya gangguan gizi. Indeks TB/U merupakan indeks yang menggambarkan status
gizi anak balita akibat keadaan yang berlangsung lama, misalnya
kekurangan asupan gizi atau sakit dalam waktu lama. Oleh karena itu indeks TB/U mengindikasikan permasalahan gizi kronis. Indeks BB/TB merupakan indeks untuk menilai status gizi anak balita akibat kekurangan asupan gizi atau terkena penyakit infeksi dalam waktu yang singkat. Oleh karena itu indeks BB/TB mengindikasikan permasalahan gizi akut (Depkes, 2009).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Balita Menurut UNICEF (1997) ada dua faktor yang menjadi penyebab langsung permasalahan gizi, ketidakmampuan dan kematian anak di negara-negara berkembang yaitu asupan makanan yang tidak cukup dan penyakit yang diderita oleh anak. Faktor-faktor yang menjadi penyebab yang mendasari permasalahan gizi pada level keluarga adalah tidak cukup akses terhadap pangan, pola asuh anak yang tidak memadai dan akses pelayanan kesehatan dan sanitasi air bersih yang tidak memadai. Penyebab dasar permasalahan gizi di level masyarakat adalah kuantitas dan kualitas sumber daya potensial yang ada di masyarakat misalnya : manusia, ekonomi, lingkungan, organisasi, dan teknologi.
12
Dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi status gizi yang akan dianalisis yaitu faktor karakteristik keluarga terdiri dari wilayah tempat tinggal, jumlah anggota keluarga dan jumlah balita dalam keluarga. Faktor karakteristik ibu meliputi usia ibu, pendidikan ibu dan status bekerja ibu. Faktor karakteristik anak yaitu umur dan jenis kelamin. Faktor lainnya yaitu faktor sanitasi lingkungan, faktor perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), faktor akses pelayanan kesehatan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, faktor penyakit infeksi anak, serta faktor asupan gizi anak. Kaitan antara faktor yang akan dianalisis dalam penelitian ini dengan faktor penyebab permasalahan gizi, ketidakmampuan dan kematian anak berdasarkan kerangka konsep Unicef (1997) adalah asupan gizi dan penyakit infeksi merupakan penyebab langsung. Sanitasi, PHBS, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan merupakan penyebab yang mendasari permasalahan gizi pada level keluarga. Faktor karakteristik keluarga, karakteristik ibu dan karakteristik anak merupakan penyebab dasar permasalahan gizi di level masyarakat yang berkaitan dengan kuantitas dan kualitas sumber daya manusia di masyarakat.
Faktor Karakteristik Keluarga Secara teoritis permasalahan gizi banyak terjadi pada rumah tangga miskin. Namun tidak menutup kemungkinan permasalahan gizi juga terjadi pada rumah tangga yang memiliki kemampuan ekonomi yang mapan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayat (2005) di Indonesia menyatakan bahwa rumah tangga yang memiliki pengeluaran total lebih dari dua juta rupiah sebulan terdapat juga kasus gizi kurang pada balita, sebaliknya kasus gizi lebih juga terjadi pada rumah tangga miskin yang memiliki pengeluaran dibawah 500.000 rupiah sebulan sebesar 32 persen. Soekirman (2005) menyatakan bahwa kemiskinan merupakan akar terjadinya permasalahan gizi. Kemiskinan memiliki hubungan timbal balik dengan permasalahan gizi. Kurang gizi berpotensi sebagai penyebab kemiskinan melalui rendahnya pendidikan dan produktivitas. Sebaliknya, kemiskinan menyebabkan anak tidak mendapat makanan bergizi yang cukup sehingga kurang
13
gizi. Mahgoup (2006) dalam penelitiannya di Botswana menemukan sebesar 53,3 persen rumah tangga memiliki pendapatan bulanan di bawah 400 Pula (setara 87 US $) yang merupakan rentang terendah dalam penelitian. Hal ini menempatkan mereka berada pada golongan miskin dalam masyarakat. Seiring meningkatnya pendapatan pada rumah tangga ini, maka kejadian gizi buruk menurun secara signifikan sebesar 18,1 persen. Suhardjo (2003) menyatakan bahwa hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang sangat miskin, akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika yang harus diberi makanan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang besar tersebut. Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin paling rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Sebab seandainya besar keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda memerlukan pangan relatif lebih banyak dari pada anak-anak yang lebih tua. Dengan demikian anakanak yang muda mungkin tidak diberi cukup makan. Selain anak-anak, wanita yang sedang hamil dan menyusui juga merupakan kelompok yang rawan akan kekurangan gizi. Apabila mereka hidup dalam keluarga dengan jumlah yang besar dan kesulitan dalam persediaan pangan tentunya masalah gizi akan timbul (Suhardjo, 2003) Pembagian pangan yang tepat kepada setiap anggota keluarga sangat penting untuk mencapai gizi yang baik. Pangan harus dibagikan untuk memenuhi kebutuhan gizi setiap orang dalam keluarga. Anak, wanita hamil dan menyusui harus memperoleh sebagian besar pangan yang kaya akan protein. Semua anggota keluarga sesuai dengan kebutuhan perorangan, harus mendapat bagian energi, protein dan zat-zat gizi lain yang cukup setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan (Suhardjo, 2003).
14
Penelitian yang dilakukan oleh Chaudury (1984) di Bangladesh menunjukan pertambahan jumlah keluarga akan memberikan dampak merugikan kepada status gizi anggota keluarga, termasuk anak berusia dibawah dua tahun, sebab hal tersebut akan menurunkan pendapatan perkapitanya. Dengan kata lain, alokasi makanan tiap anak akan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga. Demikian pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Wray dan Aquire dalam Jus at (1991) di Guatemala menemukan bahwa status gizi anak berhubungan dengan ukuran keluarga dalam jumlah total anak-anak, tetapi hasil penelitian Megawangi (1991) di tiga propinsi di Indonesia menunjukan bahwa ukuran keluarga tidak berpengaruh pada status gizi anak balita walaupun jumlah anggota keluarga yang besar diperkirakan akan mempengaruhi status gizi.
Faktor karakteristik Ibu Menurut
Hurlock (1999) ibu yang berumur muda cenderung kurang
memperhatikan kebutuhan anak. Ibu yang berusia muda masih miskin pengetahuan dan pengalaman tentang pertumbuhan dan perkembangan anak. Pengetahuan ibu muda umumnya diperoleh dari orang tua sehingga masih mengalami ketergantungan dalam hal perawatan dan dalam memperhatikan anak. Sebaliknya ibu yang berumur tua lebih dapat memainkan peran dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Ibu merupakan pendidik pertama dalam keluarga, untuk itu ibu perlu menguasai berbagai pengetahuan dan keterampilan. Pendidikan ibu di samping merupakan modal utama dalam menunjang perekonomian rumah tangga juga berperan dalam pola penyusunan makanan untuk rumah tangga. Tingkat pendidikan akan mempengaruhi konsumsi melalui pemilihan bahan pangan. Ibu yang berpendidikan lebih tinggi cenderung memilih makanan yang lebih baik dalam jumlah dan mutu dibandingkan mereka yang berpendidikan
rendah
(Moehji, 1995). Penelitian yang dilakukan oleh Mahgoup (2006) di Bostwana, Afrika menunjukan hubungan yang kuat antara kenaikan tingkat pendidikan ibu dengan penurunan angka gizi kurang pada anak-anak. Hal ini sejalan dengan penelitian
15
yang dilakukan Chaudury
(1984) di Bangladesh yang menunjukan bahwa
pendidikan ibu berpengaruh positif terhadap asupan protein dan rasio kecukupan protein pada anak pra sekolah, terutama anak yang berusia muda (tahun pertama kehidupannya). Wanita sebagai pekerja mempunyai potensi dan sudah dibuktikan dalam dunia kerja yang tidak kalah dengan pria. Sebagai pekerja, masalah yang dihadapi wanita lebih berat dibandingkan pria. Karena dalam diri wanita lebih dahulu harus mengatasi urusan keluarga, suami, anak dan hal-hal lain yang menyangkut urusan rumah tangganya (Anoraga, 2005 ). Pada kenyataannya cukup banyak wanita yang tidak cukup mengatasi masalah itu, sekalipun mempunyai kemampuan teknis cukup tinggi. Kalau wanita tidak pandai menyeimbangkan peran ganda tersebut akhirnya balita akan terlantar (Anoraga, 2005). Ibu yang sudah mempunyai pekerjaan penuh tidak lagi dapat memberikan perhatian penuh terhadap anak balita, apalagi untuk mengurusnya. Meskipun tidak semua ibu bekerja tidak mengurus anaknya, akan tetapi kesibukan dan beban kerja yang ditanggung ibu dapat menyebabkan berkurangnya perhatian ibu dalam menyiapkan hidangan yang sesuai untuk balitanya. Dalam sebuah penelitian menunjukkan bahwa seringkali terjadi ketidaksesuaian antara konsumsi zat gizi terutama energi dan protein dengan kebutuhan tubuh pada kelompok anak yang berusia diatas satu tahun (Moehji,1995) Penelitian di wilayah kumuh Bostwana yang dilakukan oleh Mahgoup (2006) menunjukkan bahwa anak yang tinggal bersama orang tua tunggal (bersama ibunya saja) signifikan terkena wasting, stunting, dan underweight. Hal ini dikarenakan ibu berperan ganda sebagai pencari nafkah juga sebagai ibu rumah tangga. Karena peran ganda ini ibu tidak dapat secara penuh dan fokus untuk mengurus anak sehingga anak lebih rentan terkena permasalahan gizi.
Faktor Karakteristik Anak Faktor anak yang berperan nyata terhadap risiko kurang gizi adalah riwayat berat badan lahir yang rendah, adanya penyakit infeksi yaitu batuk, pilek, dan tanda-tanda klinis kurang gizi. Risiko kurang gizi lebih tinggi bila konsumsi
16
semua zat gizi pada anak rendah. Riwayat kelahiran juga berperan dalam risiko kurang gizi antara lain tempat lahir dan penolong persalinan (Sandjaja, 2001). Penelitian pada keluarga-keluarga petani di pedesaan Bangladesh oleh Chen, Hug dan D’Souza (dalam Ai Nurhayati, 2000) menyimpulkan bahwa terdapat disparitas dalam konsumsi pangan diantara perempuan dan laki-laki pada setiap kelompok umur termasuk umur balita, dimana konsumsi pangan anak lakilaki lebih tinggi dari anak perempuan yang kemudian akibat dari dispritas pangan ini menyebabkan permasalahan gizi lebih besar terjadi pada anak perempuan. Berbeda dengan hal tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Mahgoup (2006) di Botswana, Afrika menunjukan tingkat permasalahan gizi di kalangan anak-anak usia di bawah tiga tahun yaitu wasting, stunting dan underweight, semuanya secara signifikan umum terjadi diantara anak laki-laki dibandingkan perempuan.
Faktor Sanitasi Lingkungan dan Akses Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Keadaan sanitasi lingkungan yang kurang baik memungkinkan terjadinya berbagai jenis penyakit. Penyakit-penyakit yang terjadi antara lain adalah diare dan infeksi saluran pernafasan. Apabila anak menderita penyakit tersebut, penyerapan zat-zat gizi akan terganggu dan akhirnya mengakibatkan penurunan berat badan. Bila terjadi dalam waktu lama maka anak akan menderita kurang gizi (Supriasa, 2002). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Triska (2005) yang menyatakan bahwa akibat sanitasi yang tidak memadai menyebabkan semakin tingginya penyakit infeksi yang akan berpengaruh terhadap kesehatan. Andersen (2005) melaporkan bahwa kondisi sanitasi lingkungan di negaranegara berkembang berada pada kategori buruk. Kondisi sanitasi yang buruk mempertinggi kejadian penyakit infeksi. Keadaan ini menyebabkan tingginya prevalensi gizi kurang. Perilaku hidup yang tidak sehat memicu terjadinya sanitasi lingkungan yang buruk dan memudahkan anak mengalami penyakit infeksi. Pelayanan kesehatan adalah keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan, dokter dan rumah sakit. Kendala keluarga dan masyarakat dalam
17
memanfaatkan secara langsung pelayanan kesehatan yang tersedia adalah jarak pelayanan kesehata jauh, tidak mampu membayar, kurang pendidikan dan pengetahuan. Hal ini berdampak terhadap status gizi anak (Sunarya, 2005) Menurut Arimond dan Ruel (2004), keluarga dengan pendapatan yang memadai dapat memenuhi kebutuhan asupan makannya juga mempunyai akses yang baik terhadap pelayanan kesehatan serta memiliki lingkungan yang sehat dapat terhindar dari gizi kurang.
Faktor Penyakit Infeksi Anak Anak-anak di negara berkembang terutama pada tahun-tahun pertama dari kehidupan mereka sering menderita penyakit infeksi. Penyakit infeksi memiliki pengaruh yang besar terhadap pertambahan berat badan anak balita. Penelitian di Guatemala Amerika Tengah yang dilakukan oleh Rodhe (1979) menunjukkan bahwa ada hubungan erat antara infeksi dan kegagalan untuk menambah berat badan. Infeksi yang sering terjadi pada anak balita adalah infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) dan infeksi saluran pencernaan yaitu diare. Berdasarkan data yang diambil dari berbagai kota dan kabupaten yang mewakili daerah ekonomi rendah, sedang dan tinggi ditemukan bahwa pola penyakit utama masih didominasi oleh penyakit-penyakit infeksi. ISPA menempati urutan pertama di semua daerah baik kabupaten atau kota disusul oleh penyakit lain seperti malaria dan penyakit kulit. Data WHO menunjukan bahwa setiap tahun kurang lebih 11 juta balita di seluruh
dunia meninggal karena
penyakit infeksi seperti ISPA, diare, malaria, dan campak. Ironisnya, 54 persen dari kematian tersebut berkaitan dengan adanya kurang gizi (BAPPENAS, 2004). Sandjaja (2001) dalam penelitiannya menunjukan faktor yang berperan nyata terhadap resiko kurang gizi adalah riwayat berat badan lahir yang rendah, adanya penyakit infeksi yaitu batuk, pilek, penyakit kulit, dan tanda-tanda klinis kurang gizi. Sedangkan penyakit yang tidak berperan nyata antara lain : campak, bronchitis, penyakit mata, telinga dan lainnya.
18
Faktor Asupan Gizi Gizi merupakan kebutuhan setiap mahluk hidup agar mampu melakukan proses tumbuh kembang. Kecukupan asupan gizi ditentukan dengan kecukupan energi dan protein yang dikonsumsi setiap orang per hari. Energi dan protein yang dibutuhkan tubuh setiap hari bergantung pada kualitas, kuantitas dan jenis makanan yang dikonsumsi. Sayogya (2006) menyatakan kuantitas menunjukan kuantum masing-masing zat gizi terhadap kebutuhan tubuh. Apabila kekurangan akan menimbulkan kondisi gizi kurang dan sebaliknya apabila berlebihan akan menimbulkan gizi lebih. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) tahun 2004 menganjurkan kecukupan gizi rata-rata anak 0-3 tahun sebagai berikut : Tabel 4 Angka kecukupan gizi anak usia 0-3 tahun No
Kelompok Berat Badan Umur (Kg) 1 0-6 bulan 6 2 7-12 bulan 8,5 3 1-3 tahun 12 Sumber : WNPG 2004
Tinggi Badan (cm) 60 71 90
Energi (Kkal) 550 650 1000
Protein (g) 10 16 25
Adi (2005) dalam penelitiannya yang dilakukan di Kecamatan Gunung Pati, Semarang menunjukan resiko kekurangan energi protein (KEP) pada balita yang konsumsi energinya kurang dari 80 persen AKG sebesar 6,9 kali lebih besar dari balita yang konsumsi energinya lebih dari 80 persen AKG. Sementara itu Hidayat (2005) menyatakan perubahan asupan gizi tergantung pada tingkat pendidikan ibu. Semakin tinggi tingkat pendidikan ibu, maka peningkatan gizi semakin tinggi. Wishik dan Vynckt (1976) menyatakan faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi adalah sumber makanan, ketersediaan makanan, tempat menyimpan makanan, konsumsi dan kualitas konsumsi.
19
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Konsep UNICEF (1997) telah mengembangkan kerangka konsep sebagai salah satu strategi dalam menanggulangi permasalahan gizi. Dalam kerangka tersebut ditunjukkan bahwa permasalahan gizi, ketidakmampuan, dan kematian anak disebabkan oleh penyebab langsung (immediate cause), penyebab yang mendasari (underlying cause) dan penyebab dasar (basic cause). Untuk lebih jelasnya dapat dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini : Dampak
Penyebab langsung
Penyebab yang mendasari di level keluarga
Permasalahan Gizi, Ketidakmampuan dan Kematian
Asupan makanan tidak cukup
Penyakit
Tidak cukup akses pada pangan
Pola asuh anak tidak memadai
Sanitasi dan pelayanan kesehatan dasar tidak memadai
Kuantitas dan kualitas sumberdaya masyarakat : manusia, ekonomi, organisasi Penyebab dasar di level masyarakat
Sumberdaya potensial : lingkungan, teknologi, manusia
Gambar 1 Kerangka konsep UNICEF dalam menanggulangi masalah gizi.
20
Menurut UNICEF (1997) ada dua faktor yang menjadi penyebab langsung (immediate cause) permasalahan gizi, ketidakmampuan dan kematian anak di negara-negara berkembang, yaitu asupan makanan yang tidak cukup dan penyakit yang diderita anak. Faktor yang menjadi penyebab yang mendasari (underlying cause) masalah kekurangan gizi pada level keluarga adalah tidak cukup akses terhadap pangan, pola asuh anak yang tidak memadai dan akses pelayanan kesehatan dan sanitasi air bersih yang tidak memadai. Sedangkan penyebab dasar (basic cause) adalah kuantitas dan kualitas sumber daya potensial yang ada di masyarakat misalnya manusia, ekonomi, lingkungan, organisasi, dan teknologi. Status gizi anak dipengaruhi oleh beberapa faktor determinan. Pada penelitian dengan menggunakan data Riskesdas 2007 ini akan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi balita pada daerah dengan karakteristik kemiskinan tinggi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Adapun alurnya sebagai berikut : Karakteristik keluarga pertama akan mempegaruhi asupan gizi dan penyakit infeksi kemudian faktor-faktor ini secara langsung akan mempengaruhi status gizi. Kedua, karakteristik keluarga akan mempengaruhi sanitasi lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), serta akses pemanfaatan pelayanan kesehatan. Kemudian keempat faktor ini akan mempengaruhi penyakit infeksi anak secara langsung akan mempengaruhi status gizi. Sama halnya dengan faktor karakteristik keluarga di atas, faktor ibu pertama akan mempegaruhi asupan gizi kemudian faktor ini secara langsung akan mempengaruhi status gizi. Kedua, faktor ibu akan mempengaruhi sanitasi lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), serta akses pemanfaatan pelayanan kesehatan. Kemudian keempat faktor ini akan mempengaruhi penyakit infeksi anak secara langsung akan mempengaruhi status gizi. Faktor anak akan mempengaruhi asupan gizi dan penyakit infeksi kemudian kedua faktor ini secara langsung akan mempengaruhi status gizi. Faktor sanitasi lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), serta akses pemanfaatan pelayanan kesehatan akan mempengaruhi penyakit infeksi anak. Kemudian faktor ini secara langsung akan mempengaruhi status gizi. Faktor asupan gizi dan penyakit infeksi secara langsung mempengaruhi status gizi.
21
Kedua faktor ini bisa juga saling mempengaruhi misalnya asupan gizi mempengaruhi faktor penyakit infeksi kemudian faktor ini akan mempengaruhi status gizi dan sebaliknya faktor penyakit infeksi mempengaruhi asupan gizi kemudian faktor ini akan mempengaruhi status gizi. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2 di bawah ini : Karakteristik Anak : Usia Jenis kelamin
Karakteristik Keluarga: Wilayah tempat tinggal Jumlah anggota keluarga Jumlah balita
Karakteristik Ibu: Usia ibu Pendidikan ibu Pekerjaan ibu
Sanitasi Lingkungan
Perilaku PHBS Ibu
Akses dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan
Penyakit Infeksi
Asupan Gizi
STATUS GIZI BALITA
Gambar 2 Kerangka pemikiran operasional.
22
METODE
Sumber Data, Waktu dan Tempat Penelitian ini menggunakan data sekunder yang bersumber dari hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2007. Data yang digunakan untuk dianalisis antara lain : faktor karakteristik keluarga (wilayah tempat tinggal, jumlah anggota keluarga, jumlah balita dalam keluarga), karakteristik ibu (usia ibu, pendidikan ibu, status bekerja ibu), faktor karakteristik anak (umur anak, jenis kelamin), faktor sanitasi lingkungan, faktor perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), faktor akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, faktor penyakit infeksi anak, faktor asupan gizi dengan status gizi balita pada daerah dengan karakteristik kemiskinan tinggi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pengolahan dan analisis data dilakukan pada bulan Februari - Mei 2010. Lokasi meliputi Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, dimana akan diambil kabupaten kota yang memiliki karakteristik wilayah dengan tingkat kemiskinan tinggi yaitu persen kemiskinan kabupaten kota diatas persen kemiskinan nasional (> 16,5 %). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5 di bawah ini : Tabel 5 Daftar kabupaten kota di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang dijadikan wilayah penelitian No Kabupaten % Prevalensi Prevalensi Kota Penduduk Underweight Stunting Miskin 1 Temanggung 16.55 13.25 32,3 2 Magelang 17.37 13.35 35,4 3 Boyolali 18.06 16.59 25,8 4 Kab. Tegal 18.50 17.68 38,7 5 Pati 19.79 15.21 42,2 42,2 6 Pekalongan 20.31 21.07 7 Purworejo 20.49 11.60 40,8 8 Kendal 20.70 14.12 42,0 9 Batang 20.79 16.98 40,1
23
Lanjutan tabel 5 No Kabupaten Kota
% Penduduk Miskin 10 Sragen 21.24 11 Klaten 22.27 12 Banyumas 22.46 13 Cilacap 22.59 14 Pemalang 22.79 15 Demak 23.50 16 Wonogiri 24.44 17 Grobogan 25.14 18 Brebes 27.93 19 Purbalingga 30.24 20 Kebumen 30.25 21 Rembang 30.71 22 Wonosobo 32.29 23 Magetan 16.87 24 Kediri 18.98 25 Pasuruan 19.88 26 Madiun 20.98 27 Jombang 21.21 28 Trenggalek 22.79 29 Ngawi 23.33 30 Nganjuk 23.79 31 Gresik 23.98 32 Bondowoso 24.23 33 Lamongan 25.79 34 Bojonegoro 26.37 35 Probolinggo 27.42 36 Tuban 28.51 37 Bangkalan 31.56 38 Pamekasan 32.43 39 Sumenep 32.98 40 Sampang 39,42 Sumber : Data BPS 2007 dan Riskesdas 2007
Prevalensi Underweight
Prevalensi Stunting
17.17 21.22 10,03 12.64 21.49 21.49 11.74 10.27 21.04 12.87 14.10 18.47 15.04 9.65 12.29 19.34 15.65 19,42 13.45 12.90 20.99 15.99 8.70 16.01 13.23 24.61 18.69 24.42 27.06 29.38 31,16
39,4 41,1 26,8 26,2 40,3 42,9 29,6 21,8 48,7 36,1 34,6 49,6 39,6 45,0 28,7 28,9 31,8 39,6 33,0 38,8 34,5 28,4 33,2 39,7 33,5 32,3 37,7 41,9 51,8 47,9 48,0
24
Cara Pengambilan Sampel Sampel dalam penelitian ini dipilih dengan cara purposive sampling. Kriteria inklusi
penetapan sampel meliputi anak usia 0-23 bulan, wilayah
kabupaten kota dengan karakteristik wilayah kemiskinan tinggi (> 16,5 %) dan memiliki kelengkapan data seperti : data konsumsi, data berat badan dan tinggi badan anak, serta data lain yang menjadi varibel penelitian ini. Berikut disajikan alur pengambilan sampel : Wilayah Jawa Tengah Wilayah Jawa Timur kriteria inklusi : memiliki anak 0-23 bulan Anak Usia 0-23 bulan di Jateng-Jatim = 4.737 anak (73 kabupaten/kota) Æ populasi
Anak Usia 0-23 bulan di Jateng-Jatim = 2.702 anak (40 kabupaten/kota) Æ populasi
Sampel anak 0-23 bulan di Jateng-Jatim yang digunakan = 932 sampel (40 kabupaten/kota)
kriteria inklusi : tinggal di wilayah kabupaten/kota miskin (>16,5%)
kriteria inklusi : kelengkapan data konsumsi, BB, TB dan data lain yang dijadikan variabel
Gambar 3 Alur pengambilan sampel.
25
Pada proses pengambilan sampel dalam penelitian ini terdapat anak usia 023 bulan yang akan dijadikan sampel tereliminasi karena tidak memenuhi kriteria inklusi yang disyaratkan dalam proses pengambilan sampel. Adapun kriteria inklusi dalam proses pengambilan sampel antara lain : keluarga yang memiliki anak usia 0-23 bulan, tinggal di wilayah kabupaten kota miskin (>16,5%) dan memiliki kelengkapan data seperti data berat badan, tinggi badan, data konsumsi, dan data lainnya yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Tabel 6 menyajikan daftar data yang tidak lengkap besarta jumlahnya, sebagai berikut : Tabel 6. Daftar data yang tidak lengkap No.
Data Tidak Lengkap
Jumlah
Keterangan
1
Berat badan
41
berat badan tidak ditimbang
2
Tinggi badan
72
tinggi badan anak tidak diukur
3
jumlah anggota keluarga
4
jumlah anggota tidak terdata
4
Umur ibu
199
umur ibu tidak terdata
5
Pendidikan ibu
199
pendidikan ibu tidak terdata
6
Pekerjaan ibu
199
pekerjaan ibu tidak terdata
7
Sanitasi lingkungan
3
*kualitas
fisik
berwarna,
air
:
keruh,
berasa,
berbau,
berbusa tidak terdata =3 8
PHBS
190
*cuci tangan sebelum makan, cuci
tangan
menyiapkan
sebelum
makanan,
cuci
tangan setelah menceboki bayi, cuci tangan setelah BAB yang tidak terdata = 190 9
Asupan gizi
1705
*usia 0-6 bulan yang tidak memiliki data konsumsi sebesar 249 anak *usia 7-23 bulan yang tidak memiliki data konsumsi sebesar 1456 anak
Sumber : data Riskesdas 2007 diolah
26
Setelah melewati beberapa tahap pengambilan sampel dengan memenuhi kriteria inklusi dari 2.702 populasi anak usia 0-23 bulan yang tinggal di 40 kabupaten kota yang tergolong miskin (>16,5%) di Jawa Tengah dan Jawa Timur didapatkan 932 sampel yang memenuhi kriteria inklusi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah ini : Tabel 7 Daftar kabupaten/kota dan jumlah sampel di Jawa Tengah dan Jawa Timur No Kabupaten Jumlah Jumlah % Kota Populasi Sampel Sampel 1 Temanggung 63 13 1,4 2 Magelang 58 24 2,6 3 Boyolali 69 14 1,5 4 Kab. Tegal 83 44 4,7 5 Pati 69 34 3,6 6 Pekalongan 110 34 3,6 7 Purworejo 53 17 1,8 8 Kendal 63 27 2,9 9 Batang 89 21 2,3 10 Sragen 63 20 2,1 11 Klaten 64 24 2,6 12 Banyumas 87 50 5,4 13 Cilacap 80 35 3,8 14 Pemalang 85 44 4,7 15 Demak 58 25 2,7 16 Wonogiri 55 16 1,7 17 Grobogan 72 10 1,1 18 Brebes 97 30 3,2 19 Purbalingga 86 30 3,2 20 Kebumen 73 47 5,0 21 Rembang 34 9 1,0 22 Wonosobo 66 29 3,1 23 Magetan 52 11 1,2 24 Kediri 86 11 1,2 25 Pasuruan 55 10 1,1 26 Madiun 45 13 1,4 27 Jombang 77 38 4,1 28 Trenggalek 59 4 0,4 29 Ngawi 19 11 1,2 30 Nganjuk 66 21 2,3 31 Gresik 95 59 6,3 32 Bondowoso 46 13 1,4
27
Lanjutan tabel 7 No Kabupaten Jumlah Kota Populasi 33 Lamongan 67 34 Bojonegoro 71 35 Probolinggo 68 36 Tuban 47 37 Bangkalan 77 38 Pamekasan 80 39 Sumenep 40 40 Sampang 75 Jumlah 2702 Sumber : data Riskesdas 2007 diolah
Jumlah Sampel 13 25 14 11 24 24 7 6 932
% Sampel 1,4 2,7 1,5 1,2 2,6 2,6 0,8 0,6 100
Pengolahan Data Status Gizi diukur dengan menggunakan indeks BB/U dan TB/U yang diinterpretasikan berdasarkan tabel baku WHO 2005. Sedangkan variabel wilayah tempat tinggal, jumlah anggota keluarga, jumlah balita, usia ibu, pendidikan ibu, status bekerja ibu, umur anak, jenis kelamin anak, faktor sanitasi lingkungan, faktor perilaku hidup bersih (PHBS), faktor akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, penyakit infeksi anak serta asupan gizi anak akan dianalisis sesuai jenis data yang digolongkan ke dalam variabel katagorik dengan skala pengukuran nominal dan ordinal. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini Tabel 8 Pengolahan data NO 1.
Variabel Kode Kuesioner Kategori Status Gizi RKD07.IND Blok XI Underweight Anak No. 1 dan 2a 0= gizi baik(≥-2SD) (lampiran 1) 1= gizi kurang (< -2SD) Stunting 0 = normal (≥-2SD) 1 = stunting (< -2SD)
Faktor Karakteristik Keluarga 2 Wilayah RKD07.RT Blok I No.5 Tinggal (lampiran 1) 3 Jumlah RKD07.RT Blok II No. Anggota 2 (lampiran 1) Keluarga 4 Jumlah RKD07.RT Blok II No. Balita 4 (lampiran 1)
0 =desa 1= kota 0 = ≤ 4 orang 1 = >4 orang 0 = 1 balita 1 = 2-3 balita
28
Lanjutan tabel 8 Faktor Karakteristik Ibu 5 Usia RKD07.RT Blok No. 5 (lampiran 1) 6
Pendidikan
RKD07.RT Blok No. 7 (lampiran 1)
7
Status RKD07.RT Blok Bekerja Ibu No. 8 (lampiran 1) Faktor Karakteristik Anak 8 Usia anak RKD07.RT Blok No. 5 (lampiran 1)
IV 0 = 31-50 tahun 1 = 13-19 tahun 2 = 20-30 tahun IV 0 = tinggi (jika ibu tamat SMA dan Perguruan Tinggi) 1 = rendah (jika ibu tidak pernah sekolah da tidak tamat SD, tamat SD dan tamat SMP) IV 0 = tidak bekerja 1 = bekerja IV
0 = 0-6 bulan 1 = 7-12 bulan 2 = 13- 18 bulan 4 = 19-23 bulan IV 0 = laki-laki 1 = perempuan
9
Jenis Kelamin
RKD07.RT Blok No. 4 (lampiran 1)
10
Faktor Sanitasi Faktor PHBS Faktor Akses Pelayanan Kesehatan Faktor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Faktor Penyakit Infeksi Faktor Asupan Gizi
RKD07.RT Blok VII No.1-14 (lampiran 1) RKD07.IND Blok X D08-D09 (lampiran 1) RKD07.RT Blok VI No. 1a-3 (lampiran 1)
11 12
13
14 15
0= baik (≥41) 1= kurang (<41) 0= baik (≥13) 1= kurang (<13) 0= mudah (≥13) 1= sulit (<13)
RKD07.RT Blok VI 0= baik (≥24) No. 4-11 (lampiran 1) 1= kurang (<24) RKD07.IND Blok X B03-B18 (lampiran 1)
0 = tidak infeksi (=18) 1 = infeksi (<18)
RKD07.GIZI Blok VIII 0 = baik (MAR 80%-100%) No. 3 (lampiran 1) 1= kurang (MAR < 80%)
Sumber : data Riskesdas 2007 diolah
29
Analisis Data Analisis Univariat Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan distribusi data yaitu frekuensi masing-masing variabel baik variabel dependent (status gizi balita) maupun variabel independent
yang meliputi wilayah tempat tinggal, jumlah
anggota keluarga, jumlah balita dalam keluarga, usia ibu, pendidikan ibu, status bekerja ibu, umur anak, jenis kelamin anak, sanitasi lingkungan, perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, penyakit infeksi serta asupan gizi anak.
Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan dengan membuat tabel silang 2x2 antara masing-masing variabel bebas dan variabel terikat dengan tujuan untuk menghitung nilai odd ratio (OR), yaitu resiko relatif antara kelompok underweight dan stunting dengan kelompok gizi baik atau normal. Contoh tabel 2x2 seperti di bawah ini : Tabel 9 Contoh tabel 2x2 Faktor Resiko
Stunting
Normal
Jumlah
Kategori 1 Kategori 2 Jumlah Odds
a b a+c=m1 a/c
c d b+d=m2 b/d
a+b=n1 c+d=n2
OR = a/c b/d
= ad/bc
Keterangan : OR=1 Tidak ada hubungan antara faktor resiko dengan stunting OR <1 Faktor resiko dapat menurunkan kejadian stunting OR >1 Faktor resiko dapat menaikan stunting
30
Uji kemaknaan digunakan metode chi square. Dalam menentukan variabel yang dapat masuk ke dalam analisis logistik, maka kriteria tingkat kemaknaan statistik yang dianjurkan adalah p < 0,05. (Selvin, 1996)
Analisis Multivariat Untuk menarik kesimpulan akhir penelitian, akan dilakukan perhitungan analisis multivariat. Pada studi ini dipergunakan analisis logistic regression (regresi logistik) karena keluaran variabel data bersifat dikotomi. Adapun persamaan regresi logistiknya : Y = Log
F
= β0 + βFK+ βFI+ βFA+ βFPI+ βFAG+ βFAPK+ βFPPK+ βFS+ βFPHBS+€
1-F
Keterangan : F = Fungsi kumulatif β0 = Intercept βFK = Faktor Keluarga βFI = Faktor Ibu βFA = Faktor Anak βFPI = Faktor Penyakit Infeksi βFAG = Faktor Asupan Gizi βFAPK = Faktor Akses Pelayanan Kesehatan βFPPK = Faktor Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan βFS = Faktor Sanitasi βFPHBS = Faktor PHBS €=galat
31
Definisi Operasional Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut : Daerah miskin adalah wilayah kabupaten/kota dengan karakteristik kemiskinan tinggi diatas persen kemiskinan nasional (>16,5%) menurut BPS, 2007. Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat dari pemakaian, penyerapan dan penggunaan makanan. Indeks status gizi yang digunakan adalah BB/U dan TB/U dengan kategori : BB/U yaitu gizi baik (≥-2SD) dan underweight (< -2SD) sedangkan TB/U yaitu normal (≥-2SD) dan stunting (< -2SD). Faktor karakteristik keluarga adalah karakteristik yang melekat pada keluarga yang dapat menggambarkan kondisi keluarga tersebut yang meliputi wilayah tempat tinggal, jumlah anggota keluarga dan jumlah anak balita dalam keluarga. Wilayah tempat tinggal adalah wilayah dimana keluarga menetap atau tinggal yang kemudian dikategorikan menjadi desa dan kota. Penetapan wilayah tinggal sampel ini didasarkan data BPS 2007. Jumlah anggota keluarga adalah jumlah orang
yang menjadi
tanggungan
dalam suatu keluarga. Pengkategorian jumlah anggota keluarga menjadi keluarga dengan < 4 orang dan keluarga dengn ≥ 4 orang. Jumlah balita dalam keluarga adalah jumlah balita yang menjadi tanggungan dalam suatu keluarga. Pengkategorian jumlah balita dalam keluarga menjadi keluarga dengan 1 balita dan keluarga dengan 2-3 balita. Faktor karakteristik ibu adalah karakteristik yang melekat pada ibu yang meliputi usia ibu, pendidikan ibu dan status bekerja ibu. Usia ibu adalah lama hidup ibu dalam tahun. Pengkategorian usia menjadi ibu usia 13-19 tahun, ibu usia 20-30 tahun, ibu usia 31-50 tahun. Pendidikan ibu adalah tingkat pendidikan formal yang pernah ditempuh ibu. Pengkategorian pendidikan ibu menjadi pendidikan tinggi (jika ibu tamat SLTA dan Perguruan Tinggi) dan pendidikan rendah (jika ibu tidak pernah sekolah, tidak tamat SD, tamat SD, tidak tamat SLTP dan tamat SLTP) Status bekerja ibu adalah kondisi dimana ibu melakukan kegiatan atau bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Pengkategorian status bekerja ibu menjadi tidak bekerja dan bekerja.
32
Faktor karakteristik anak adalah karakteristik yang melekat pada anak yang meliputi usia dan jenis kelamin anak. Usia anak adalah lama hidup anak dalam bulan. Pengkategorian usia anak menjadi anak usia 0-6 bulan, anak usia 7-12 bulan, anak usia 13-18 bulan dan anak usia 19-23 bulan. Jenis kelamin anak adalah perbedaan organ seks anak. Jenis kelamin dikelompokan menjadi laki-laki dan perempuan. Sanitasi lingkungan adalah keadaan yang berhubungan dengan kebersihan lingkungan misalnya akses air bersih, tempat pembuangan limbah, sumber pencemaran, ketersediaan sarana kebersihan, dan lain-lain yang kemudian diskoring dan dikategorikan menjadi sanitasi lingkungan baik (≥ 41) dan sanitasi lingkungan kurang (jika nilai < 41). (skoring dapat dilihat pada lampiran 2) Perilaku hidup sehat dan bersih (PHBS) adalah perilaku yang dicerminkan dengan mencuci tangan : sebelum makan, sebelum menyiapkan makanan, setelah BAB atau menceboki bayi dan setelah memegang binatang yang kemudian diskoring dan dikategorikan menjadi PHBS baik (≥ 13) dan PHBS kurang (jika nilai < 13). (skoring dapat dilihat pada lampiran 3) Akses pelayanan kesehatan adalah akses yang dapat dijangkau dalam pelayanan kesehatan seperti jarak tempuh dan waktu tempuh sampel ke tempat pelayanan kesehatan serta ketersediaan angkutan umum menuju tempat pelayanan kesehatan yang kemudian diskoring dan dikategorikan menjadi akses mudah (≥ 13) dan akses sulit (jika nilai < 13). (skoring dapat dilihat pada lampiran 4) Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah perilaku memanfaatkan pelayanan kesehatan seperti mengunjungi posyandu, memantau pertumbuhan anak, imunisasi, periksa kesehatan dan lain-lain kemudian diskoring dan dikategorikan menjadi pemanfaatan pelayanan kesehatan baik (≥24) danpemanfaatan pelayanan kesehatan kurang (jika nilai <24). (skoring dapat dilihat pada lampiran 5) Penyakit infeksi anak adalah dalam 1 bulan terakhir sampel didiagnosis oleh tenaga kesehatan (dokter, perawat atau bidan) mengidap salah satu atau lebih penyakit infeksi : ISPA,TB paru, malaria, diare, typhoid, pneumonia, dan DBD yang kemudian diskoring dan dikategorikan menjadi menderita infeksi (jika sampel didiagnosis menderita satu atau lebih penyakit infeksi dengan nilai < 18 )
33
dan tidak infeksi (jika sampel didiagnosis tidak menderita penyakit infeksi apapun dengan nilai =18). (skoring dapat dilihat pada lampiran 6) Asupan gizi adalah jumlah konsumsi makanan anak dalam 1 hari (24 jam) yang kemudian dihitung Mean Adequacy Ratio (MAR). Hasil recall 1x24 jam anak 023 bulan menunjukkan kurang lebih terdapat 18 zat gizi yang terdiri dari energi, protein,Vit A, D, E, C, thiamin, riboflavin, niacin, folat, firidoksin, B12, kalsium, fosfor, magnesium, besi, seng dan mangan. Hasil MAR dikategorikan menjadi asupan baik (80%-100%) dan asupan kurang (<80%). Adapun tahapan penghitungannya sebagai berikut : 1. Menentukan AKG zat gizi sesuai usia Stándar BB menurut AKG x AKG zat gizi BB anak 2. Menentukan NAR (Nutrient Adequacy Ratio) Nilai zat gizi yang dikonsumsi Nilai AKG zat gizi 3. Setelah NAR setiap zat gizi diketahui, berlaku syarat truncated 1 Jika nilai NAR > 1 maka dianggap 1, misal : NAR Energi = 0,04 Æ 0,04 Jika nilai NAR = 1 maka tetap bernilai 1, misal: NAR Protein = 1,5Æ 1 Jika nilai NAR < 1 maka digunakan nilai NAR asli, misal: NAR Fe = 1Æ1 4. Kemudian menentukan MAR NAR zat gizi yang sudah di turncated Jumlah zat gizi Setelah ditemukan nilai MAR berlaku cut of point untuk MAR yaitu : Baik Jika MAR 80 % - 100 % Kurang Jika MAR < 80 %
34
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah provinsi yang terletak di Pulau Jawa. Jawa Tengah terletak di bagian tengah Pulau Jawa dengan ibukotanya adalah Semarang. Jawa Tengah berada pada 8º 30' - 5º 40' Lintang Selatan dan 108º 30' 111º 30' Bujur Timur. Provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Jawa Barat di
sebelah barat, Samudra Hindia dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah selatan, Jawa Timur di sebelah timur, dan Laut Jawa di sebelah utara. Luas wilayahnya 32.548 km², atau sekitar 25,04 persen dari luas pulau Jawa. Jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah berjumlah 31.820.000 (2005) dengan kepadatan 977 jiwa/km². Masyarakat Jawa Tengah terdiri dari Suku Jawa, Suku Sunda, Suku
Tionghoa. Agama yang dianut masyarakatnya adalah Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kejawen (sumber : www.jawatengah.go.id). Jawa Timur adalah sebuah provinsi di bagian timur Pulau Jawa dengan ibukotanya adalah Surabaya. Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Selat Bali di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Provinsi Jawa Tengah di barat. Wilayah Jawa Timur juga meliputi Pulau Madura, Pulau Bawean, Pulau Kangean serta sejumlah pulau-pulau kecil di Laut Jawa dan Samudera Hindia (Pulau Sempu dan Nusa Barung). Luas wilayahnya 47.922 km² dan jumlah penduduknya 37.070.731 jiwa (2005). Jawa Timur memiliki wilayah terluas di antara enam provinsi di Pulau Jawa dan memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua di Indonesia setelah Jawa Barat. Masyarakat Jawa Timur terdiri dari Suku Jawa, Suku Sunda, Suku Tionghoa. Agama yang dianut masyarakatnya adalah Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kejawen (sumber: www. jawatimur.go.id)
35
Karakteristik Keluarga Wilayah Tempat Tinggal Wilayah tempat tinggal meliputi wilayah
kota dan desa. Tabel 10
menunjukkan dari 932 sampel sebesar 63,7 persen tinggal di wilayah pedesaan sedangkan 36,3 persen tinggal di wilayah perkotaan. Tabel 10 Sebaran sampel berdasarkan karakteristik keluarga No Peubah 1 Wilayah Tempat Tinggal Desa Kota Total 2 Jumlah anggota keluarga <= 4 orang >4 orang Total 3 Jumlah balita dalam keluarga 1 balita 2-3 anak balita Total *mean±std ** min-max
n
%
594 63,7 338 36,3 932 100 4,95±1,56* 2-15** 427 45,8 505 54,2 932 100 1,16±0,38* 1-3** 792 85,0 140 15,0 932 100
Jumlah Anggota Keluarga Rata-rata jumlah anggota rumah tangga adalah 4,95±1,56 dengan kisaran antara 2–15 orang. Apabila jumlah anggota rumah tangga dikelompokan menjadi keluarga dengan jumlah anggota ≤ 4 orang dan keluarga dengan jumlah anggota > 4 orang, maka lebih dari setengah jumlah sampel yaitu 54,2 persen berasal dari keluarga dengan jumlah anggota > 4 sedangkan 45,8 persen termasuk keluarga dengan jumlah anggota ≤ 4 orang (Tabel 10). Masih adanya jumlah anggota keluarga yang lebih dari empat orang dikarenakan di daerah penelitian masih ada keluarga yang merupakan keluarga luas (extended family), dimana terdiri dari keluarga inti ditambah kakek, nenek dan sanak saudara lainnya seperti paman, bibi, sepupu dan lainnya. Bentuk keluarga ini mempunyai keuntungan dan kerugian bagi rumah tangga itu sendiri. Keuntungan dari
bentuk keluarga luas adalah adanya
perhatian, pengawasan serta perawatan dari anggota keluarga yang lain terhadap anak, selain orang tua anak terutama bagi ibu yang bekerja. Kerugiannya, apabila
36
sumber daya yang tersedia dalam keluarga itu terbatas, maka hal tersebut akan mempengaruhi ketersediaan bahan pangan. Selain itu kepadatan dalam rumah dapat mengganggu kesehatan anak baduta yang rawan dengan berbagai infeksi.
Jumlah Balita Dalam Keluarga Tabel 10 menunjukkan rata-rata jumlah balita dalam rumah tangga adalah 1,16±0,38 dengan rentang antara 1-3 balita. Sebesar 85 persen rumah tangga sampel memiliki hanya satu anak balita sedangkan 15 persen lainnya merupakan rumah tangga yang memiliki 2-3 anak balita. Masih adanya keluarga yang memiliki jumlah anak balita 2-3 dalam keluarga karena ibu tidak merencanakan kelahiran anak dengan baik sehingga jarak antara anak yang satu dengan yang lain terlalu dekat. Kerugian dari jarak anak yang teralu dekat adalah ibu tidak adil dalam memberikan perawatan dan kasih sayang kepada anak. Ibu lebih memperhatikan anak yang lebih muda usianya sehingga anak yang lebih tua cenderung tidak terurus.
Karakteristik Ibu Usia Ibu Rata-rata usia ibu 28,60 ± 6,19 dengan rentang usia antara 13-50 tahun. Usia ibu diklasifikasikan berdasarkan kelompok usia remaja (13-19 tahun), dewasa muda (20-30 tahun), dewasa madya (31-50 tahun), dewasa lanjut (51-75 tahun) dan lansia (≥76 tahun) menurut Turner JS dan Helms DB (1991), diacu dalam Gabriel (2008). Berdasarkan klasifikasi tersebut maka sebagian besar ibu terkategori berusia dewasa muda sebesar 58,7 persen. Ibu paling sedikit terdistribusi pada usia remaja yaitu sebesar 5,0 persen. Sisanya sebesar 36,3 persen terdistribusi pada usia dewasa madya (Tabel 11). Usia ibu yang tergolong usia remaja dan dewasa muda dapat menjadi pengahambat dalam proses perawatan anak. Ibu berusia remaja dan dewasa muda cenderung kurang memperhatikan kebutuhan anaknya. Ibu yang berusia remaja dewasa muda masih miskin pengetahuan dan pengalaman tentang pertumbuhan dan perkembangan anak. Pengetahuan ibu berusia remaja dan dewasa muda umumnya diperoleh dari ibunya sehingga masih mengalami ketergantungan pada
37
ibunya dalam hal perawatan dan dalam memperhatikan anak. Sebaliknya ibu yang tergolong usia dewasa madya dapat memainkan peran dalam pertumbuhan dan perkembangan anak karena ibu pada golongan usia ini sudah dewasa dan memiliki pengalaman dalam merawat anak terdahulu sehingga ibu dapat memainkan perannya dengan baik.
Pendidikan Ibu Tabel 11 menunjukkan ibu dengan pendidikan rendah sebesar 73,9 persen, sedangkan
26,1 persen ibu lainnya
berhasil
menempuh pendidikan tinggi.
Pendidikan ibu yang rendah dikarenakan tingkat ekonomi keluarga yang rendah menyebabkan ibu tidak dapat menempuh pendidikan hingga tingkat tinggi bahkan tidak mengecap pendidikan sama sekali. Waktu yang seharusnya digunakan untuk menuntut ilmu digunakan untuk bekerja, membantu orang tua bahkan mengurus rumah tangganya sendiri karena ibu menikah di usia belia. Pendidikan ibu yang rendah ini dapat mempengarahui tingkat pengetahuan ibu dan akhirnya berimbas pada kesehatan dan status gizi anak. Ibu yang berhasil menempuh pendidikan tinggi datang dari keluarga dengan tingkat ekonomi baik dan memiliki orangtua yang berpendidikan tinggi pula. Kondisi inilah yang menunjang ibu dapat menyelesaikan pendidikan sampai tingkat tinggi. Ibu tidak dibebankan untuk membantu perekonomian keluarga, tetapi dimotivasi untuk mencapai pendidikan tinggi. Setelah menyelesaikan pendidikan tinggi barulah ibu menentukkan pilihannya untuk bekerja atau menikah.
Pekerjaan Ibu Ibu yang tidak bekerja atau berperan hanya sebagai ibu rumah tangga jumlahnya lebih besar yaitu 67,3 persen dibandingkan dengan ibu bekerja yang hanya sebesar 32,7 persen. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 11. Keuntungan ibu yang tidak bekerja adalah anak-anak mendapatkan perhatian ibu secara penuh, sehingga proses perawatan anak dapat berjalan dengan baik. Sedangkan ibu yang bekerja memiliki keuntungan yaitu membantu menambah pendapatan keluarga sehingga kesejahateraan meningkat, sayangnya perhatian terhadap anak menjadi terganggu. Anak tidak mendapatkan perhatian dan kasih
38
sayang secara penuh, biasanya proses perawatan anak diserahkan kepada pembantu, nenek, anak yang lebih besar atau anggota keluarga lainnya yang tinggal satu atap. Hal ini cukup membantu ibu dalam perawatan dan pengawasan anak ketika ibu bekerja. Ibu memainkan peran dalam perawatan dan pengawasan anak dalam waktu yang terbatas, yaitu pada malam hari dan waktu libur kerja. Tabel 11 Sebaran sampel berdasarkan faktor karakteristik ibu No Peubah 1 Usia ibu 13-19 tahun 20-30 tahun 31-50 tahun 51-75 tahun ≥ 76 tahun Total 2 Pendidikan Tinggi Rendah Total 3 Status Bekerja Tidak bekekerja Bekerja Total *mean±std **min-max
n % 28,60±6,19* 13-50** 47 5,0 547 58,7 338 36,3 0 0 0 0 932 100 243 689 932
26,1 73,9 100
627 305 932
67,3 32,7 100
Karakteristik Anak Usia dan Jenis Kelamin Anak Tabel 12 menunjukkan rata-rata usia anak sebesar
11,97±5,49 dengan
rentang usia antara 0 – 23 bulan. Sebaran usia 0-6 bulan sebesar 19,5 persen, usia 7-12 bulan sebesar 39,4 persen, usia 13-18 bulan sebesar 25,4 persen, usia 19-23 bulan sebesar 15,7 persen. Lebih dari setengah jumlah anak yaitu 53,8 persen merupakan anak laki-laki sedangkan jumlah anak perempuan sebesar 46,2 persen. Anak usia 0-6 bulan lebih banyak dengan jenis kelamin laki-laki sebesar 20,4 persen. Anak usia 7-12 bulan lebih banyak dengan jenis kelamin perempuan sebesar 43,2 persen. Sedangkan anak dengan usia 13-18 bulan dan 19-23 bulan lebih banyak berjenis kelamin laki-laki masing-masing sebesar 27,3 persen dan 16,2 persen (Lampiran 7)
39
Tabel 12 Sebaran sampel berdasarkan karakteristik anak No Peubah 1 Usia anak 0-6 bulan 7-12 bulan 13- 18 bulan 19-23 bulan Total 2 Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Total *mean±std **min-max
n 11,97±5,49* 182 367 237 146 932
% 0-23** 19,5 39,4 25,4 15,7 100
501 431 932
53,8 46,2 100
Sanitasi Lingkungan Sanitasi lingkungan rumah tangga dengan kategori baik sebesar 38,2 persen dan sebagian besar sanitasi lingkungan masuk kategori kurang sebesar 61,8 persen (Tabel 13 ). Masih besarnya sanitasi yang kurang karena minimnya sarana yang mendukung seperti ketersediaan tempat sampah, kepemilikan jamban dalam rumah, penampungan air limbah yang belum dikelola dengan baik. Sedangkan untuk jarak tempuh dan waktu tempuh ke tempat sumber air mudah terjangkau dan tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama. Tabel 13 Sebaran sampel berdasarkan sanitasi lingkungan Peubah Sanitasi Lingkungan Baik Kurang Total
n
%
356 576 932
38,2 61,8 100
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) Perilaku hidup bersih dan sehat dicerminkan dengan perilaku mencuci tangan yang dilakukan sebelum makan, mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan, mencuci tangan setelah buang air besar (BAB) dan mencuci tangan setelah memegang binatang serta perilaku buang air besar (BAB) di jamban. Tabel 14 menunjukkan 75,5
persen ibu memiliki perilaku hidup dan bersih
kurang baik, sedangkan 24,5 persen ibu lainnya sudah mampu mempraktikan
40
perilaku hidup bersih dan sehat. Perilaku hidup bersih dan sehat yang sering diabaikan ibu adalah mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan, dan praktik perilaku hidup bersih yang sudah diterapkan dengan baik adalah mencuci tangan setelah buang air besar. Tabel 14 Sebaran sampel berdasarkan PHBS Peubah PHBS Baik Kurang Total
n
%
228 704 932
24,5 75,5 100
Akses dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan merupkan dua hal yang saling berhubungan. Akses yang mudah dijangkau maka akan meningkatkan peran serta masyarakat dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada. Berbeda dengan hal tersebut, dalam penelitian ini akses pelayanan kesehatan pelayanan kategori mudah sebasar 86,6 persen sedangkan akses kategori sulit hanya sebesar 13,4 persen. Tetapi sebesar 58,2 persen peran sampel dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan kurang baik sedangkan 41,8 persen lainnya sudah memanfaatkan pelayanan kesehatan dengan baik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 15. Masih banyaknya sampel yang belum memanfaatkan pelayanan kesehatan dengan baik karena masih adanya ibu yang bekerja sehingga waktu untuk membawa anak ke tempat pelayanan kesehatan seperti posyandu untuk kegiatan imunisasi, pemantauan kesehatan dan penimbangan sangat sempit. Ibu yang tidak bekerja dan memiliki waktu luang juga masih ada yang tidak memanfaatkan posyandu karena minimnya pengetahuan mereka mengenai pentingnya pemberian imunisasi, pemantauan kesehatan dan penimbangan bagi anak.
41
Tabel 15 Sebaran sampel berdasarkan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan Peubah Akses pelayanan kesehatan Mudah Tidak Mudah Total
n
%
807 125 932
86,6 13,4 100
Pemanfaatan pelayanan kesehatan Baik Kurang Total
390 542 932
41,8 58,2 100
Penyakit Infeksi Penyakit infeksi mempengaruhi secara langsung status gizi dan kesehatan anak. Anak yang menderita penyakit infeksi selain mempengaruhi daya imun juga mengurangi nafsu makan yang kemudian akan berpengaruh pada status gizi. Sebesar 36,3 persen sampel menderita penyakit infeksi, sedangkan 63,7 persen lainnya tidak infeksi (Tabel 16). Berdasarkan kelompok usia, anak dengan usia 0-6 bulan yang menderita penyakit infeksi sebesar 18,3 persen. Sedangkan anak usia 7-12 bulan, anak usia 13-18 bulan dan anak usia 19-23 bulan yang menderita penyakit infeksi masingmasing sebesar 40,8 persen, 27,2 persen dan 13,6 persen. Berdasarkan jenis kelamin, anak laki-laki lebih besar jumlahnya yang menderita penyakit infeksi dibandingkan anak perempuan yaitu masig-masing sebesar 57,4 persen dan 42,6 persen (Lampiran 7). Penyakit infeksi yang paling banyak diderita sampel adalah ISPA dan diare. Penyakit infeksi ini disebabkan oleh masih rendahnya sanitasi, perilaku PHBS serta pemanfaatan pelayanan kesehatan yang tidak optimal. Anak yang tinggal dalam rumah tangga dengan sanitasi yang buruk ditambah dengan perilaku PHBS ibu dan keluarga yang buruk
rentan dengan penyakit infeksi. Keadaan ini
diperparah dengan tidak tertanggulanginya anak yang menderita infeksi karena orangtua tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada dengan optimal. Sehingga banyak kejadian infeksi yang berujung pada kematian.
42
Tabel 16 Sebaran sampel berdasarkan penyakit infeksi yang diderita anak Peubah n % Penyakit Infeksi Tidak infeksi 594 63,7 Infeksi 338 36,3 Total 932 100
Asupan Gizi Selain penyakit infeksi, asupan gizi juga mempengaruhi status gizi anak. Anak yang tidak terpenuhi kebutuhan akan gizi maka akan terganggu status gizinya. Sebesar 90,1 persen sampel memiliki asupan gizi yang kurang sedangkan 9,9 persen termasuk memiliki asupan gizi yang baik (Tabel 17). Berdasarkan kelompok usia, anak usia 0-6 bulan yang memiliki asupan gizi kurang sebesar 18,7 persen. Sedangkan anak usia 7-12 bulan, anak usia 13-18 bulan dan anak usia 19-23 bulan yang memiliki asupan gizi kurang masingmasing sebesar 39,5 persen,
25,5 persen dan
16,3 persen (Lampiran 7).
Berdasarkan jenis kelamin, jumlah anak laki-laki yang memiliki asupan gizi kurang lebih besar dibandingkan anak perempuan masing-masing sebesar 53 persen dan 47 persen. Masih tingginya angka asupan gizi sampel yang masuk kategori kurang dikarenakan ekonomi keluarga dan penyakit infeksi yang diderita anak. Rumah tangga yang miskin memiliki daya beli yang rendah sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan akan pangan keluarga, hal ini tentu akan mempengaruhi status gizi anak. Sedangkan penyakit infeksi secara langsung akan mempengaruhi daya imun serta nafsu makan anak. Hal ini akan berimbas pada status gizi anak. Tabel 17 Sebaran sampel berdasarkan asupan gizi anak Peubah Asupan Gizi Baik Kurang Total
n
%
92 840 932
9,9 90,1 100
43
Status Gizi Anak Tabel 18 menunjukkan rata-rata Z-score sampel berdasarkan indeks status gizi BB/U -0,03±2,02 dengan rentang -5,61 – 6,90. Sebesar 13,3 persen sampel merupakan anak dengan underweight sedangkan 86,7 persen lainnya adalah anak dengan gizi baik. Rata-rata Z-score sampel berdasarkan indeks status gizi TB/U sebesar -0,33±2,92 dengan rentang -6,60–6,62. Anak dengan stunting 28,8 persen sedangkan 71,2 persen lainnya adalah anak dengan tinggi normal. Berdasarkan kelompok usia anak dan jenis kelamin, anak usia 7-12 bulan lebih banyak memiliki status underweight dan stunting masing-masing sebesar 39,5 persen dan 37, 3 persen. Baik underweight maupun stunting lebih banyak diderita oleh anak laki-laki masing-masing sebesar 54,0 persen dan 60,4 persen. Tabel 18 Sebaran sampel berdasarkan status gizi. Status Gizi BB/U Gizi baik Underweight Total TB/U Normal Stunting Total *mean±std **min-max
n -0,03±2,02* 808 124 932 -0,33±2,92 * 664 268 932
% -5,61 – 6,90** 86,7 13,3 100 -6,60 – 6,62** 71,2 28,8 100
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Underweight Anak 0-23 Bulan Analisis dilakukan untuk melihat hubungan dari faktor-faktor yang meliputi faktor karakteristik keluarga, faktor karakteristik ibu, faktor karakteristik anak, faktor sanitasi lingkungan, faktor perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), faktor akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, faktor penyakit infeksi anak, serta faktor asupan gizi anak dengan underweight. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan underweight (P<0,05) adalah jumlah balita dalam keluarga dan sanitasi lingkungan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 19. Wilayah tempat tinggal yang tidak kondusif dapat berpengaruh terhadap status gizi anak.
Tabel 19 menunjukkan anak yang tinggal di wilayah desa
memiliki status underweight sebesar 61,3 persen, sedangkan anak yang tinggal di
44
kota sebesar 38,7 persen. Hal ini disebabkan karena sanitasi lingkungan yang kurang baik, penyakit infeksi yang diderita anak dan asupan gizi anak yang kurang masih besar jumlahnya di wilayah pedesaan daripada di wilayah perkotaan (Lampiran
7).
Sanitasi
lingkungan
yang
kurang
baik
dapat
memicu
berkembangnya penyakit infeksi dan akhirnya penyakit infeksi dapat menyebabkan terjadinya underweight pada anak. Asupan gizi yang kurang diduga disebabkan karena rendahnya kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan asupan gizi anak. Asupan gizi yang kurang dapat menyebabkan terjadinya underweight
pada anak. Hasil uji statistik menunjukan tidak ada hubungan
bermakna antara wilayah tempat tinggal dengan status gizi (p>0,05). Jumlah anggota keluarga yang besar diperkirakan akan mempengaruhi status gizi. Tabel 19 menunjukkan anak yang berasal dari keluarga dengan jumlah anggota > 4 orang memiliki status underweight sebesar 57,3 persen, sedangkan 42,7 persen lainnya diderita oleh anak yang berasal dari keluarga dengan jumlah anggota keluarga ≤4 orang. Tingginya anak yang berasal dari keluarga dengan jumlah anggota >4 orang menderita underweight karena anak harus berbagi makanan dengan anggota keluarga lainnya, apalagi jika makanan yang tersedia dalam keluarga terbatas dalam jumlah dan mutu, tentu hal ini menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan gizi anak. Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara jumlah anggota keluarga dengan status gizi (p>0,05) Jumlah balita dalam keluarga juga merupakan faktor resiko status gizi anak. Penelitian yang dilakukan oleh Mahgoup (2006) di Afrika menunjukan permasalahan gizi lebih besar terjadi pada anak yang berasal dari rumah tangga dengan dua anak balita. Berbeda dengan hal tersebut, Tabel 19 menunjukkan anak yang berasal dari keluarga yang memiliki balita hanya 1 balita saja menderita underweight sebesar 77,4 persen, sedangkan 22,6 persen lainnya berasal dari keluarga dengan 2-3 balita. Fenomena ini diduga karena frekuensi anak yang berasal dari keluarga dengan 2-3 balita lebih kecil
jumlahnya dibandingkan
dengan anak yang berasal dari keluarga dengan 1 balita, sehingga kemungkinan anak yang underweight banyak terdistribusi pada anak yang berasal dari keluarga dengan 1 balita saja. Hal ini didukung dengan hasil tabulasi silang antara variabel sanitasi lingkungan, penyakit infeksi dan asupan gizi dengan variabel jumlah
45
balita dalam keluarga menunjukkan sanitasi lingkungan yang kurang baik, penyakit infeksi yang diderita anak dan asupan gizi anak yang kurang masih besar jumlahnya terdapat pada anak yang berasal dari keluarga dengan 1 balita daripada anak yang berasal dari keluarga dengan 2-3 balita (lampiran 7). Uji statistik menunjukkan hubungan bermakna antara jumlah balita dalam rumah tangga dengan status gizi (p<0,05). Peran ibu sangat penting dalam menjaga status gizi anak. Tabel 19 menunjukkan anak yang memiliki ibu dengan usia 20-30 tahun memiliki status underweight sebesar 55,6 persen. Sebesar 71,8 persen anak memiliki status underweight berasal dari ibu yang pendidikannya rendah. Ibu yang tidak bekerja memiliki anak dengan underweight sebesar 71,8 persen. Fenomena yang menarik disini adalah anak yang memiliki ibu yang tidak bekerja memiliki anak underweight yang lebih besar jumlahnya daripada ibu yang bekerja. Secara teori ini tentu bertentangan, karena ibu yang tidak bekerja memiliki waktu yang lebih banyak untuk melakukan pengawasan dan perawatan terhadap anak sehingga anak bisa terhindar dari masalah underweight. Setelah ditelusuri dengan melakukan tabulasi silang ditemukan bahwa sanitasi lingkungan yang kurang baik, penyakit infeksi yang diderita anak dan asupan gizi anak yang kurang masih besar jumlahnya terdapat pada anak yang memiliki ibu yang tidak bekerja daripada anak yang memiliki ibu yang bekerja (Lampiran 7). Ibu yang bekerja diduga dapat memberikan sumbangan finansial terhadap keluarga sehingga dapat memenuhi kebutuhan akan gizi dan makanan keluarga,
dapat memfasilitasi
sarana dan prasarana kebersihan sehingga lingkungan menjadi bersih dan terhindar dari penyakit infeksi.
Hasil uji statistik menunjukkan baik usia,
pendidikan dan status bekerja ibu tidak memiliki hubungan bermakna dengan status gizi anak (p>0,05). Usia anak dan jenis kelamin dalam beberapa penelitian merupakan faktor yang berhubungan dengan status gizi. Tabel 19 menunjukkan sampel dengan usia 7-12 bulan memiliki status underweight sebesar 39,5 persen dan 54,0 persen diderita oleh anak laki-laki. Fenomena ini diduga karena frekuensi anak yang berada pada golongan usia 7-12 bulan lebih besar jumlahnya dari anak yang berada pada golongan usia 0-6 bulan, usia 13-18 bulan dan usia 19-23 bulan
46
sehingga kemungkinan anak yang gizinya kurang banyak terdistribusi pada anak yang berusia 7-12 bulan. Hal ini didukung dengan hasil tabulasi silang yang menunjukkan sanitasi lingkungan yang kurang baik, penyakit infeksi yang diderita anak dan asupan gizi anak yang kurang masih besar jumlahnya terdapat pada anak yang berusia 7-12 bulan daripada anak yang berada pada golongan usia anak lainnya. Untuk jenis kelamin, hasil tabulasi silang menunjukkan penyakit infeksi yang diderita anak dan asupan gizi anak yang kurang masih besar jumlahnya terdapat pada anak laki-laki daripada anak perempuan (Lampiran 7). Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan bermakna baik antara usia maupun jenis kelamin dengan status gizi (p>0,05). Sanitasi lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan faktor yang dapat mempengaruhi secara tidak langsung status gizi. Tabel 19 menunjukkan anak yang berasal dari keluarga dengan sanitasi kurang baik mengalami underweight sebesar 70,2 persen dan anak yang memiliki ibu dengan PHBS yang kurang baik mengalami underweight sebesar 76,6 persen. Hal ini dikarenakan sanitasi yang kurang baik dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) ibu yang kurang baik dapat memicu terjadinya penyakit infeksi, kemudian penyakit infeksi dapat menyebabkan underweight pada anak. Uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara sanitasi lingkungan dengan status gizi (p<0,05) sedangkan tidak ada hubungan bermakna antara perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan status gizi (p>0,05). Sarana pelayanan kesehatan memiliki peranan yang besar bagi kesehatan balita seperti sebagai tempat pemantauan pertumbuhan, tempat konsultasi dan pemeriksaan kesehatan, tempat imunisasi, pembagian vitamin dan suplemen dan sebagainya. Tabel 19 menunjukkan anak yang berasal dari kelurga dengan akses pelayanan kesehatan yang mudah menderita underweight sebesar 86,3 persen sedangkan anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat pemanfaatan pelayanan kesehatan yang kurang memiliki anak dengan underweight sebesar 60,5 persen. kedua hal ini diduga saling berhubungan kuat. Keluarga dengan akses pelayanan kesehatan yang mudah tidak dibarengi dengan kesadaran untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia diduga merupakan alasan yang menyebabkan permasalahan underweight pada keluarga dengan akses mudah lebih tinggi
47
jumlahnya daripada pada keluarga yang lebih sulit akses ke tempat pelayanan kesehatan (Lampiran 7). Uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna baik antara akses pelayanan kesehatan dengan status gizi (p>0,05) maupun pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan status gizi (p>0,05). Penyakit infeksi memiliki pengaruh yang besar terhadap terhambatnya pertambahan berat badan anak balita dan pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi anak. Penyakit infeksi bisa disebabkan oleh sanitasi lingkungan yang kurang baik dan asupan gizi yang kurang. Tabel 19 menunjukkan anak yang tidak menderita infeksi terkena underweight sebesar 62,1 persen. Fenomena ini diduga karena adanya faktor lain yang menyebabkan anak yang tidak infeksi mengalami status gizi kurang. Setelah dilakukan tabulasi silang ditemukan bahwa anak yang tidak menderita infeksi memiliki asupan gizi yang kurang lebih besar daripada anak yang infeksi. Hal inilah yang diduga menyebabkan anak yang tidak infeksi terkena underweight (Lampiran 7). Anak yang tidak menderita penyakit infeksi tetapi memiliki asupan gizi yang kurang berpeluang underweight karena asupan gizi yang kurang secara langsung dapat menyebabkan underweight. Uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara penyakit infeksi yang diderita anak dengan status gizi (p>0,05). Asupan gizi berpengaruh langsung terhadap status gizi. Tabel 19 menunjukkan anak dengan asupan gizi yang kurang memiliki status underweight sebesar 95,2 persen. Asupan gizi yang kurang disebabkan karena ketersediaan sumber makanan dalam keluarga terbatas dalam jumlah dan mutu. Selain itu karena penyakit infeksi yang diderita anak menyebabkan anak kehilangan nafsu makan dan berimbas pada asupan gizi. Uji statistik menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan gizi anak dengan status gizi (p>0,05).
48
Tabel 19 Faktor-faktor yang berhubungan dengan underweight anak 0-23 bulan Peubah Wilayah tinggal Desa Kota Jumlah anggota keluarga ≤4 orang >4orang Balita dalam keluarga 1 balita 2-3 anak balita Usia ibu 13-9 tahun 20-30 tahun 31-50 tahun Pendidikan Tinggi Rendah Status Bekerja Tidak bekerja Bekerja Usia anak 0-6 bulan 7-12 bulan 13-18 bulan 19-23 bulan Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Sanitasi Lingkungan Baik Kurang Akses pelayanan kesehatan Mudah Tidak Mudah Pemanfaatan pelayanan kesehatan Baik Kurang Penyakit Infeksi Tidak infeksi Infeksi Asupan Gizi Baik Kurang Total
*signifikan p < 0,05
Status Gizi Gizi Baik Underweight n % n %
Total
P Value
n
% 0,61
518 290
64,1 35,9
76 48
61,3 38,7
594 338
63,7 36,3
374 434
46,3 53,7
53 71
42,7 57,3
427 505
45,8 54,2
696 112
86,1 13,9
96 28
77,4 22,6
792 140
85 15
41 478 286
5,1 59,2 35,8
6 69 49
4,8 55,6 39,5
47 547 338
5,0 58,7 36,3
208 600
25,7 74,3
35 89
28,2 71,8
243 689
26,1 73,9
538 270
66,6 33,4
89 35
71,8 28,2
627 305
67,3 32,7
163 318 207 120
20,2 39,4 25,6 14,9
19 49 30 26
15,3 39,5 24,2 21,0
182 367 237 146
19,5 39,4 25,4 15,7
434 374
53,7 46,3
67 57
54,0 46,0
501 431
53,8 46,2
319 489
39,5 60,5
37 87
29,8 70,2
356 576
38,2 61,8
700 108
86,6 13,4
107 17
86,3 13,7
807 125
86,6 13,4
341 467
42,2 57,8
49 75
39,5 60,5
390 542
41,8 58,2
517 291
64 36
77 47
62,1 37,9
594 338
63,7 36,3
86 722 808
10,6 89,4 100
6 118 124
4,8 95,2 100
92 840 932
9,9 90,1 100
0,52
0.01* 0,72
0,63 0,29 0,26
1,00
0,04* 1,00 0,64 0,75 0,05
49
Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Stunting Anak 0-23 Bulan Analisis dilakukan untuk melihat hubungan faktor karakteristik keluarga, faktor karakteristik ibu, faktor karakteristik anak, faktor sanitasi lingkungan, faktor perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), faktor akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, faktor penyakit infeksi anak, serta faktor asupan gizi anak dengan stunting. Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan bermakna dengan stunting (P<0,05) adalah wilayah tempat tinggal, umur dan jenis kelamin anak serta pendidikan ibu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 20. Wilayah tempat tinggal yang tidak kondusif dapat berpengaruh terhadap status gizi anak. Penelitian di wilayah kumuh kota Bostwana yang dilakukan oleh Mahgoup (2006) menunjukkan bahwa anak yang tinggal di wilayah ini signifikan terkena wasting, stunting, dan underweight. Tabel 20 menunjukkan sebesar 71,3 persen sampel yang tinggal di desa menderita stunting. Hal ini disebabkan karena sanitasi lingkungan yang kurang baik, penyakit infeksi yang diderita anak dan asupan gizi anak yang kurang masih besar jumlahnya di wilayah pedesaan daripada di wilayah perkotaan (Lampiran 7). Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan bermakna antara wilayah tempat tinggal dengan status gizi (p<0,05). Penelitian Megawangi (1991) di tiga propinsi di Indonesia menunjukan bahwa ukuran keluarga tidak berpengaruh pada status gizi anak balita walaupun jumlah anggota keluarga yang besar diperkirakan akan mempengaruhi status gizi. Jumlah balita dalam keluarga juga merupakan faktor risiko status gizi anak. Penelitian yang dilakukan oleh Mahgoup (2006) di Afrika menunjukkan permasalahan gizi lebih besar terjadi pada anak yang berasal dari rumah tangga dengan dua anak balita. Tabel 20 menunjukkan stunting sebesar 59,3 persen diderita anak yang berasal dari keluarga dengan jumlah anggota >4 orang. Sedangkan anak yang berasal dari keluarga dengan 1 anak balita saja menderita stunting sebesar 84,7 persen. Fenomena menarik yang terjadi adalah anak yang berasal dari keluarga dengan 1 balita lebih besar jumlahnya menderita stunting dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga dengan 2-3 balita. Hal ini diduga karena frekuensi anak yang berasal dari keluarga dengan 2-3 balita lebih
50
kecil jumlahnya dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga dengan 1 balita, sehingga kemungkinan anak yang stunting banyak terdistribusi pada anak yang berasal dari keluarga dengan 1 balita saja. Hal ini didukung dengan hasil tabulasi silang yang menunjukkan sanitasi lingkungan yang kurang baik, penyakit infeksi yang diderita anak dan asupan gizi anak yang kurang masih besar jumlahnya terdapat pada anak yang berasal dari keluarga dengan 1 balita daripada anak yang berasal dari keluarga dengan 2-3 balita (Lampiran 7). Hasil uji statistik menunjukan tidak ada hubungan bermakna baik antara jumlah anggota keluarga dengan status gizi (p>0,05) maupun antara jumlah balita dalam keluarga dengan status gizi (p>0,05). Peran ibu sangat penting dalam menjaga status gizi balita. Pryer et al (2003) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa usia ibu dan pendidikan ibu memiliki hubungan bermakna dengan status gizi anak. Tabel 20 menunjukkan ibu yang berusia 20-30 tahun memiliki anak stunting sebesar 56,7 persen. Anak yang berasal dari ibu dengan pendidikan rendah menderita stunting sebesar 80,6 persen. Sebesar 68,7 persen ibu yang tidak bekerja memiliki anak stunting. Fenomena yang menarik disini adalah anak yang memiliki ibu berusia 20-30 tahun memiliki anak stunting yang lebih besar jumlahnya daripada ibu berusia 31-50. Hal ini diduga karena frekuensi anak dengan ibu berusia 20-30 tahun lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan anak dengan ibu berusia 13-19 tahun dan 31-50 tahun, sehingga kemungkinan anak yang stunting banyak terdistribusi pada anak yang memiliki ibu berusia 20-30 tahun. Hal ini didukung dengan hasil tabulasi silang yang menunjukkan PHBS ibu kurang baik, sanitasi lingkungan yang kurang baik, penyakit infeksi yang diderita anak dan asupan gizi anak yang kurang masih besar jumlahnya terdapat pada anak yang memiliki ibu berusia 2030 tahun daripada anak yang memiliki ibu berusia13-19 tahun dan 31-50 tahun (Lampiran 7). Hasil uji statistik usia dan status bekerja ibu tidak berhubungan (P>0,05) sedangkan pendidikan ibu berhubungan dengan status gizi (p<0,05). Usia anak dan jenis kelamin dalam beberapa penelitian merupakan faktor yang berhubungan dengan status gizi. Anak laki-laki mendapat prioritas yang lebih tinggi dari pada anak perempuan. Dari penelitian diperoleh data bahwa kekurangan gizi banyak terdapat pada anak-anak perempuan dari pada anak laki-
51
laki (Khumaidi, 1989). Berbeda dengan hal tersebut, Mahgoup (2006) melakukan sebuah penelitian di daerah kumuh di Afrika menunjukan hasil bahwa kejadian underweight dan stunting secara signifikan lebih umum terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Tabel 20 menunjukkan anak usia 7-12 bulan menderita stunting sebesar 37,3 persen dan 60,4 persen diderita anak laki-laki. Fenomena ini diduga karena frekuensi anak yang berusia 7-12 bulan lebih besar jumlahnya dari anak berada pada kelompok usia lainnya sehingga kemungkinan anak yang stunting banyak terdistribusi pada anak yang berusia 7-12 bulan. Hal ini didukung dengan hasil tabulasi silang yang menunjukkan sanitasi lingkungan yang kurang baik, penyakit infeksi yang diderita anak dan asupan gizi anak yang kurang masih besar jumlahnya terdapat pada anak yang berusia 7-12 bulan daripada anak yang ada pada kelompok usia anak lainnya. Untuk jenis kelamin, hasil tabulasi silang menunjukkan penyakit infeksi yang diderita anak dan asupan gizi anak yang kurang masih besar jumlahnya terdapat pada anak laki-laki daripada anak perempuan (Lampiran 7). Hasil uji statistik menunjukkan
ada hubungan
bermakna baik usia maupun jenis kelamin dengan status gizi (p<0,05) Menurut Unicef (1997) sanitasi lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) merupakan faktor penyebab yang mendasari permasalahan status gizi. Tabel 20 menunjukkan anak yang berasal dari keluarga dengan sanitasi kurang baik menderita stunting sebesar 63,1 persen. Anak yang memiliki ibu dengan PHBS yang kurang baik menderita stunting sebesar 75,5 persen. Hal ini dikarenakan sanitasi yang kurang baik dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) ibu yang kurang baik dapat memicu terjadinya penyakit infeksi, kemudian penyakit infeksi yang tidak ditangani dapat menyebabkan stunting pada anak. Penyakit infeksi selain secara langsung dapat mengakibatkan stunting dapat juga mempengaruhi asupan gizi. Anak yang menderita penyakit infeksi akan terganggu nafsu makannya dan akhirnya akan menyebabkan anak stunting karena asupan gizi yang kurang. Uji statistik menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna baik antara sanitasi lingkungan dengan status gizi maupun perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dengan status gizi (p>0,05). Sarana pelayanan kesehatan memiliki peranan yang besar bagi kesehatan balita seperti sebagai tempat pemantauan pertumbuhan, tempat konsultasi dan
52
pemeriksaan kesehatan, tempat imunisasi, pembagian vitamin dan suplemen dan sebagainnya. Pemanfaatan pelayanan kesehatan berhubungan dengan kemudahan akses keluarga terhadap pelayanan kesehatan yang tersedia. Jarak pelayanan kesehatan yang jauh dari tempat tinggal dan alat transportasi yang tidak memadai merupakan kendala keluarga dalam menjangkau dan memanfaatakan pelayanan kesehatan. Sedangkan kendala keluarga dalam memanfaatkan secara langsung pelayanan kesehatan yang tersedia yaitu karena ketidakmampuan keluarga dalam membayar jasa pelayanan kesehatan, pendidikan dan pengetahuan masyarakat yang rendah mengenai pentingnya memanfaatkan pelayanan kesehatan. Tabel 20 menunjukkan anak yang berasal dari kelurga dengan akses pelayanan kesehatan yang mudah menderita stunting sebesar 84,0 persen sedangkan anak yang berasal dari keluarga dengan tingkat pemaanfaatan pelayanan kesehatan yang kurang memiliki anak stunting sebesar 60,4 persen. Kedua hal ini diduga saling berhubungan kuat. Keluarga dengan akses pelayanan kesehatan yang mudah tidak dibarengi dengan kesadaran untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia diduga merupakan alasan yang menyebabkan permasalahan stunting pada keluarga dengan akses mudah lebih tinggi jumlahnya daripada pada keluarga yang lebih sulit akses ke tempat pelayanan kesehatan. Uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna baik antara akses pelayanan kesehatan dengan status gizi maupun pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan status gizi (p>0,05). Penyakit infeksi memiliki pengaruh yang besar terhadap pertambahan berat badan anak balita dan pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi anak. Sandjaja (2001) dalam penelitiannya menunjukan faktor yang berperan nyata terhadap resiko kurang gizi adalah adanya penyakit infeksi seperti batuk, pilek, penyakit kulit, dan tanda-tanda klinis kurang gizi. Berbeda dengan hasil penelitian tersebut Tabel 20 menunjukkan anak yang tidak menderita infeksi juga dapat terkena stunting sebesar 61,9 persen. Fenomena ini diduga karena adanya faktor lain yang menyebabkan anak yang tidak infeksi mengalami status gizi kurang. Setelah dilakukan tabulasi silang ditemukan bahwa anak yang tidak menderita infeksi memiliki asupan gizi yang kurang lebih besar daripada anak yang infeksi. Hal inilah yang diduga menyebabkan anak yang tidak infeksi terkena stunting
53
(Lampiran 7). Uji statistik menunjukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara penyakit infeksi yang diderita anak dengan status gizi (p>0,05). Asupan gizi berpengaruh langsung terhadap status gizi. Wishik dan Vynckt (1976) menyatakan faktor
langsung yang mempengaruhi status gizi adalah
konsumsi dan kualitas konsumsi. Sandjaja (2001) dalam penelitiannya juga menunjukkan konsumsi makanan anak berperan nyata terhadap status gizi. Tabel 20 menunjukkan anak dengan asupan gizi yang kurang memiliki status stunting sebesar 91,8 persen. Asupan gizi yang kurang disebabkan karena ketersediaan sumber makanan dalam keluarga terbatas dalam jumlah dan mutu. Selain itu karena penyakit infeksi yang diderita anak menyebabkan anak kehilangan nafsu makannya dan berimbas pada asupan gizinya. Uji statistik menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna antara asupan gizi anak dengan status gizi (p>0,05). Tabel 20 Faktor-faktor yang berhubungan dengan stunting anak 0-23 bulan Peubah Wilayah tinggal Desa Kota Jumlah anggota keluarga ≤4 orang >4orang Balita dalam keluarga 1 balita 2-3 anak balita Usia ibu 13-9 tahun 20-30 tahun 31-50 tahun Pendidikan Tinggi Rendah Status Bekerja Tidak bekerja Bekerja Usia anak 0-6 bulan 7-12 bulan 13-18 bulan 19-23 bulan Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Sanitasi Lingkungan Baik Kurang PHBS Ibu Baik Kurang
Status Gizi Normal Stunting n % n %
Total
P Value
n
% 0,003*
403 261
60,7 39,3
191 77
71,3 28,7
594 338
63,7 36,3
318 346
47,9 52,1
109 159
40,7 59,3
427 505
45,8 54,2
565 99
85,1 14,9
227 41
84,7 15,3
792 140
85 15
35 395 234
5,3 59,5 35,2
12 152 104
4,5 56,7 38,8
47 547 338
5,0 58,7 36,3
191 473
28,8 71,2
52 216
19,4 80,6
243 689
26,1 73,9
443 221
66,7 33,3
184 84
68,7 31,3
627 305
67,3 32,7
147 267 158 92
22,1 40,2 23,8 13,9
35 100 79 54
13,1 37,3 29,5 20,1
182 367 237 146
19,5 39,4 25,4 15,7
339 325
51,1 48,9
162 106
60,4 39,6
501 431
53,8 46,2
257 407
38,7 61,3
99 169
36,9 63,1
356 576
38,2 61,8
161 503
24,2 75,8
67 201
25,0 75,0
228 704
24,5 75,5
0,05 0,96 0,56
0,004* 0,62
0,001*
0.01* 0,66 0,87
54
Lanjutan tabel 20 Peubah Akses pelayanan kesehatan Mudah Tidak Mudah Pemanfaatan pelayanan kesehatan Baik Kurang Penyakit infeksi Tidak infeksi Infeksi Asupan Gizi Baik Kurang Total * signifikan p<0,05
Status Gizi Normal Stunting n % n %
Total
P Value
n
% 0,16
582 82
87,7 12,3
225 43
84,0 16,0
807 125
86,6 13,4
284 380
42,8 57,2
106 162
39,6 60,4
390 542
41,8 58,2
428 236
64,5 35,5
166 102
61,9 38,1
594 338
63,7 36,3
70 594 664
10,5 89,5 100
22 246 268
8,2 91,8 100
92 840 932
9,9 90,1 100
0,40 0,51 0,33
Faktor Determinan Underweight Anak Usia 0-23 Bulan Berdasarkan hasil analisis regresi logistik dengan mengunakan binary logistik faktor determinan underweight anak usia 0-23 bulan (p<0,05) adalah jumlah balita dalam keluarga, sanitasi lingkungan dan asupan gizi anak (Tabel 21). Nilai R2 Nagelkerke sebesar 0,04. Nilai ini memberikan pengertian bahwa underweight pada anak usia 0-23 bulan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berpengaruh dalam penelitian ini sebesar 4 persen, selebihnya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Jumlah balita dalam keluarga akan mempengaruhi ibu dalam pembagian kasih sayang dan perawatan anak. Ibu yang memiliki anak balita lebih dari satu tidak bisa fokus dalam merawat anak dan tidak dapat membagi kasih sayang dan perhatian secara adil untuk anak. Ini akan menganggu proses tumbuh kembang anak dan juga melelahkan bagi ibu, apalagi jika ibu sendiri yang berperan dalam perawatan tanpa mendapatkan bantuan dari orang lain seperti pengasuh, saudara atau orangtua ibu.
Hasil regresi logistik menunjukkan anak yang berasal dari keluarga yang
memiliki balita 2-3 anak memiliki risiko sebesar 1,85 kali menderita underweight dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga yang memiliki 1 anak balita saja dengan nilai OR = 1,85 (1,12-3,03). Hasil uji ini menggambarkan bahwa di wilayah penelitian masih terdapat keluarga yang belum merencanakan jumlah anak dengan baik, ini terlihat masih adanya keluarga yang memiliki 2-3 anak balita. Sejalan dengan hasil penelitian ini, hasil penelitian Mahgoup (2006)
55
menunjukkan underweight lebih besar terjadi pada anak yang berasal dari rumah tangga dengan dua anak balita di wilayah Botswana, Afrika. Sanitasi lingkungan merupakan faktor yang menentukan status gizi anak. Sanitasi lingkungan yang buruk dapat memicu terjadinya penyakit infeksi yang akhirnya akan mempengaruhi status gizi anak. Hal ini sejalan dengan dengan penelitian yang dilakukan oleh Triska (2005) yang menyatakan bahwa akibat sanitasi yang tidak memadai menyebabkan semakin tingginya penyakit infeksi yang akan berpengaruh terhadap kesehatan. Menurut Arimond dan Ruel (2004) dalam penelitiannya menunjukkan keluarga yang memiliki lingkungan yang sehat dapat terhindar dari underweight. Pada penelitian ini sanitasi lingkungan juga memiliki pengaruh terhadap status gizi. Anak yang berasal dari keluarga dengan sanitasi kurang baik memiliki resiko 1,62 kali menderita underweight dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga dengan sanitasi yang baik dengan nilai OR = 1,62 (1,07-2,47). Hal ini karena sanitasi lingkungan yang kurang baik dapat mencetus berbagai penyakit infeksi yang pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi. Sanitasi kurang baik karena kesadaran keluarga yang rendah dan keterbatasan keluarga dalam kepemilikan sarana dan prasarana yang dapat mendukung terjadi sanitasi yang baik misalnya ketersediaan tempat sampah, saluran air yang baik, kepemilikan jamban atau MCK (mandi cuci kakus) yang memadai.
Jika keluarga tidak
memiliki sarana dan prasarana tersebut dipastikan keluarga tersebut rentan mengidap infeksi. Wishik dan Vynckt (1976) menyatakan faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi adalah sumber makanan, ketersediaan makanan, tempat menyimpan makanan, konsumsi dan kualitas konsumsi. Berbeda dengan hal tersebut Unicef (1997) memasukan asupan makanan yang tidak cukup sebagai penyebab langsung yang mempengaruhi permasalahan gizi. Hasil penelitian ini menunjukkan anak dengan asupan gizi yang kurang signifikan mempengaruhi underweight dengan OR= 2,46 (1,04-5,83). Ini menandakan anak dengan asupan gizi yang kurang memiliki risiko sebesar 2,46 kali menderita underweight dibandingkan dengan anak yang memiliki asupan gizi yang baik. Penyebab hal ini diduga karena pendapatan keluarga yang rendah
56
sehingga ketersediaan pangan di rumah tangga terbatas, ditambah keluarga memiliki jumlah anggota keluarga yang banyak sehingga tidak terpenuhi kebutuhan gizi dan makanan anak karena harus berbagi dengan anggota keluarga yang lain. Sejalan dengan hal tersebut Arimond dan Ruel (2004) menyatakan keluarga dengan pendapatan yang memadai dapat memenuhi kebutuhan asupan gizi dan dapat terhindar dari underweight. Tabel 21 Faktor determinan underweight anak usia 0-23 Peubah Wilayah tinggal (Desa = 0) Kota (1) Jumlah Anggota Kel (≤4 orang = 0) > 4 orang (1) Jumlah balita (1 balita = 0) 2-3 anak balita (1) Usia ibu ( 31-50 tahun =0) 13-9 tahun (1) 20-30 tahun (2) Pendidikan ibu (Tinggi= 0) Rendah (1) Bekerja (Tidak bekerja= 0) Bekerja (1) Usia anak (0-6 bulan=0) 7-12 bulan (1) 13-18 bulan (2) 19-23 bulan (3) Jenis kelamin (Laki-laki = 0) Perempuan (1) Sanitasi lingkungan (Baik = 0) Kurang (1) PHBS (Baik = 0) Kurang (1) Akses Yankes (Mudah = 0) Kurang (1) Pemanfaatan Yankes (Baik =0) Kurang (1) Infeksi anak (Tidak infeksi=0) Infeksi (1) Asupan gizi (Baik = 0) Kurang (1) Constant
*signifikan p < 0,05
B
OR (Exp B)
95% C.I. for Exp (B) Lower Upper
Sig
0,10
1,11
0,73
1,69
0,62
1,001
1,001
0,66
1,50
0,99
0,61
1,85
1,12
3,03
0,01*
-0,15 -0,12
0,85 0,88
0,33 0,58
2,17 1,32
0,74 0,54
-0,27
0,75
0,47
1,20
0.23
-0,32
0,72
0,47
1,11
0,14
0,29 0,26 0,55
1,34 1,29 1,74
0,75 0,69 0,91
2,39 2,42 3.32
0,31 0,41 0,09
-0,06
0,93
0,63
1,38
0,74
0,48
1,62
1,07
2,47
0,02*
0,02
1,02
0,63
1,65
0,91
0,05
1,05
0,58
1,87
0,86
0,13
1,14
0,77
1,70
0,49
0,11
1,12
0,75
1,67
0,57
0,90 -3,09
2,46 0,59
1,04
5,83
0,04* 0,000
57
Faktor Determinan Stunting Anak Usia 0-23 Bulan Hasil analisis regresi logistik dengan mengunakan binary logistik faktor determinan stunting adalah wilayah tempat tinggal, pendidikan ibu, usia anak dan jenis kelamin anak. Nilai R2
Nagelkerke sebesar 0,07 yang memberikan
pengertian stunting anak usia 0-23 bulan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berpengaruh dalam penelitian ini sebesar 7 persen, selebihnya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 22. Stunting berhubungan dengan wilayah tempat tinggal. Mahgoup (2006) dalam penelitiannya di Botswana menemukan bahwa kejadian wasting, stunting, dan underweight banyak terjadi di wilayah perkotaan yang kumuh. Tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan wilayah pedesaan terbebas dari permasalahan gizi. Masyarakat pedesaan yang masih memegang teguh budaya pembagian makanan lebih banyak untuk lelaki rentan terkena permasalahan gizi, terutama pada anak perempuan. Pada penelitian ini ditemukan anak yang tinggal di wilayah kota memiliki risiko lebih rendah 36 persen terhadap stunting dibanding anak yang tinggal di pedesaan dengan nilai OR=0,64 (0,46-0,89). Fenomena ini diduga karena wilayah kota adalah tempat dimana terbukanya lapangan pekerjaan yang lebih beragam sehingga orang tua lebih mudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih tinggi dari pekerjaan di desa. Hal ini memungkinkan orangtua untuk memenuhi kebutuhan gizi dan makanan anak sehingga terhindar dari stunting. Pendidikan ibu akan mempengaruhi pengetahuan mengenai praktik kesehatan dan gizi anak sehingga anak berada dalam keadaan status gizi yang baik. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi memiliki peluang lebih besar dalam mengakses informasi mengenai status gizi dan kesehatan
anak. Kemudian
informasi tersebut dipraktikan dalam proses perawatan anak yang akan berimbas pada status gizi dan kesehatan anak yang lebih baik. Judith dan Stand (1996) dalam
penelitiannya
di
Filipina
menunjukkan
bahwa
pendidikan
ibu
mempengaruhi kejadian wasting dan stunting. Sejalan dengan hal itu penelitian Mahgoup (2006) di Bostwana, Afrika menunjukkan hubungan yang kuat antara kenaikan tingkat pendidikan ibu dengan penurunan stunting diantara anak-anak.
58
Hasil penelitian ini menunjukkan ibu dengan pendidikan rendah berisiko 1,67 kali memiliki anak stunting dibandingkan ibu yang pendidikannya tinggi dengan nilai OR=1,67 (1,13-2,41). Sejalan dengan hasil penelitian ini Semba, et al (2008) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa pendidikan ibu merupakan penentu kejadian stunting di Indonesia dan Bangladesh. Usia adalah faktor internal anak yang mempengaruhi kejadian stunting. Menurut Khumaidi (1989) anak yang berusia lebih muda lebih rentan menderita kurang gizi karena distribusi makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan anak. Anggota keluarga pria yang lebih tua (senior) mendapatkan jumlah dan mutu susunan makanan yang lebih baik daripada anak-anak kecil dan wanita-wanita muda. Judith dan Stand (1996) dalam penelitiannya di Filipina menunjukkan bahwa faktor risiko stunting dan wasting terdapat pada anak usia < 6 bulan. Berbeda dengan hal tersebut hasil penelitian ini menemukan anak yang berusia > 6 bulan berisiko stunting. Anak usia 7-12 bulan berisiko 1,77 kali, anak usia 13-18 bulan berisiko 2,36 kali dan anak usia 19-23 bulan berisiko 2,73 kali menderita stunting dibandingkan anak berusia 0-6 bulan dengan nilai odd rasio masingmasing adalah OR=1,77 (1,13-2,76), OR=2,36 (1,48-3,80) dan OR=2,73 (1,634,56). Hal ini diduga karena anak usia 7-23 bulan yang menderita penyakit infeksi dan memiliki asupan gizi yang kurang dalam waktu lama cukup tinggi sehingga menyebabkan stunting. Mahgoup (2006) dalam penelitiannya menunjukan hasil bahwa kejadian wasting, stunting dan underweight secara signifikan lebih umum terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Sejalan dengan hal tersebut hasil penelitian ini menunjukkan anak perempuan memiliki risiko lebih rendah 30 persen terhadap stunting dibanding anak laki-laki dengan nilai OR=0,70 (0,52-0,94). Hal ini diduga karena faktor pola asuh ibu yang lebih memperhatikan anak perempuan karena perasaan emosional ibu serta kedekatan ibu terhadap anak perempuan. Anak perempuan dianggap anak yang lemah sehingga mendapatkan perhatian ekstra dibandingkan anak laki-laki yang dianggap lebih kuat, selain itu anak lakilaki cenderung memiliki aktifitas bermain yang lebih aktif dibandingkan anak
59
perempuan sehingga banyak energi yang keluar jika tidak diimbangi dengan asupan gizi dan makanan yang cukup dapat menjadi pencetus stunting. Menurut Unicef (1997) penyakit yang diderita anak dan asupan makanan yang tidak cukup penyebab langsung terjadinya permasalahan gizi. Sandjaja (2001) dalam penelitiannya menunjukan faktor yang berperan nyata terhadap resiko kurang gizi adalah adanya penyakit infeksi yaitu batuk, pilek, penyakit kulit, dan tanda-tanda klinis kurang gizi. Arimond dan Ruel (2004) menyatakan keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan asupan gizi dan makanan dapat terhindar dari kurang gizi. Berbeda dengan hasil penelitian tersebut, dalam penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara asupan gizi dengan stunting. Hal ini diduga disebabkan metode recall 1x24 jam yang digunakan dalam penelitian ini tidak sesuai untuk melihat pengaruh asupan gizi terhadap stunting karena defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang lama. Untuk penyakit infeksi anak dalam penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara infeksi anak dengan underweight maupun stunting. Hal ini kemungkinan karena tidak dilakukan pemeriksaan langsung secara klinis. Sampel dikatakan menderita infeksi dalam penelitian ini hanya berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan identifikasi gejala. Diagnosis dan identifikasi gejala yang tidak tepat berpotensi menghasilkan hubungan yang tidak signifikan dalam penelitian ini. Tabel 22 Faktor determinan stunting anak 0-23 bulan Peubah
Wilayah tinggal (Desa = 0) Kota (1) Jumlah Anggota Kel (≤4 orang = 0) > 4 orang (1) Jumlah balita (1 balita = 0) 2-3 anak balita (1) Usia ibu ( 31-50 tahun =0) 13-9 tahun (1) 20-30 tahun (2) Pendidikan ibu (Tinggi= 0) Rendah (1) Pekerjaan (Tidak Bekerja = 0) Bekerja (1)
B
OR (Exp B)
95% C.I. for Exp (B) Lower Upper
Sig
-0,44
0,64
0,46
0,89
0,009*
0,28
1,33
0,98
1,81
0,06
0,01
1,001
0,65
1,52
0,99
-0,41 -0,09
0,66 0,91
0,32 0,66
1,36 1,24
0,26 0,57
0,50
1,67
1,13
2,41
0,009*
-0,13
0,87
0,63
1,20
0,40
60
Lanjutan tabel 22 Peubah
Usia anak (0-6 bulan=0) 7-12 bulan (1) 13-18 bulan (2) 19-23 bulan (3) Jenis kelamin (Laki-laki = 0) Perempuan (1) Sanitasi lingkungan (Baik = 0) Kurang (1) PHBS (Baik = 0) Kurang (1) Akses Yankes (Mudah = 0) Kurang (1) Pemanfaatan Yankes (Baik =0) Kurang (1) Infeksi anak (Tidak infeksi=0) Infeksi (1) Asupan gizi (Baik = 0) Kurang (1) Constant
*signifikan p < 0,05
B
OR (Exp B)
95% C.I. for Exp (B) Lower Upper
Sig
0,57 0,86 1,005
1,77 2,36 2,73
1,13 1,48 1,63
2,76 3,80 4,56
0,01* 0,00* 0,00*
-0,35
0,70
0,52
0,94
0,02*
-0,05
0,94
0,69
1,29
0,72
-0,16
0,84
0,59
1,21
0,36
0,21
1,23
0,80
1,88
0,33
0,13
1,14
0,84
1,54
0,38
0,11
1,11
0,82
1,51
0,47
0,13 -1,77
1,19 0,17
0,71
2,00
0,50 0.000
61
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan 1. Faktor determinan underweight anak usia 0-23 bulan berdasarkan nilai odd rasio (OR) tertinggi ke terendah adalah : 1.1
Anak dengan asupan gizi yang kurang berisiko sebesar 2,46 kali menderita underweight dibandingkan dengan anak yang memiliki asupan gizi yang baik.
1.2
Anak yang berasal dari keluarga dengan sanitasi kurang baik berisiko 1,85 kali menderita underweight dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga dengan sanitasi yang baik.
1.3
Anak yang berasal dari keluarga yang memiliki balita 2-3 anak berisiko 1,62 kali menderita underweight dibandingkan dengan anak yang berasal dari keluarga yang memiliki 1 anak balita saja.
2. Faktor determinan stunting anak usia 0-23 bulan berdasarkan nilai odd rasio (OR) tertinggi ke terendah adalah : 2.1
Usia 7-12 bulan berisiko 1,77 kali, anak usia 13-18 bulan berisiko 2,36 kali dan anak usia 19-23 bulan berisiko 2,73 kali menderita stunting dibandingkan anak berusia 0-6 bulan.
2.2
Ibu dengan pendidikan rendah berisiko 1,67 kali memiliki anak stunting dibandingkan ibu yang pendidikannya tinggi.
2.3
Anak yang tinggal di wilayah kota memiliki risiko lebih rendah 36 persen menderita stunting dibandingkan anak yang tinggal di pedesaan.
2.4
Anak perempuan memiliki risiko lebih rendah 30 persen terhadap stunting dibandingkan anak laki-laki.
62
Saran 1. Berdasarkan hasil penelitian mengenai determinan underweight anak usia 0-23 bulan pada wilayah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur maka saran yang dapat diberikan antara lain : 1.1 Peningkatan ketersediaan pangan dalam rumah tangga sehingga anak mendapatkan makanan sesuai dengan kebutuhanya. Anak usia > 6 bulan diberikan makanan tambahan selain ASI (PMT-ASI) sedangkan untuk anak usia 0-6 bulan cukup diberikan ASI eksklusif. Selain itu dibutuhkan peran pemerintah dalam meningkatkan komunikasi informasi eduksi (KIE) masyarakat mengenai pangan dan gizi melalui melalui penyuluhan, konseling, dan sebagainya yang dapat dilakukan di ruang-ruang publik seperti puskesmas, posyandu, rumah sakit, perkumpulan warga, pengajian dan lain-lain. 1.2 Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memiliki sanitasi yang baik melalui penyuluhan yang dilakukan oleh instansi terkait, selain itu pemerintah dan masyarakat bersama-sama melakukan perbaikan sarana dan prasarana kebersihan yang dapat mendukung terjadinya sanitasi lingkungan yang memadai. 1.3 Memperkuat kembali program keluarga berencana (KB) agar keluarga merencanakan anak dengan baik sehingga jarak kelahiran antara anak pertama dengan anak selanjutnya tidak terlalu dekat. 2. Berdasarkan hasil penelitian mengenai determinan stunting anak usia 0-23 bulan pada wilayah miskin di Jawa Tengah dan Jawa Timur maka saran yang dapat diberikan antara lain: 2.1 Pemerintah dan masyarakat fokus terhadap penanganan stunting pada usia dan jenis kelamin anak yang dianggap berisiko tinggi yaitu anak usia > 6 bulan dan berjenis kelamin laki-laki. Untuk usia dan jenis kelamin anak yang berisiko rendah yaitu anak usia < 6 bulan dan berjenis kelamin perempuan dilakukan upaya-upaya pencegahan agar terhindar dari stunting.
63
2.2 Peningkatan pendidikan ibu melalui program pemerintah kejar paket A agar ibu yang berpendidikan rendah dapat melek hururf sehingga dapat mengakses informasi mengenai gizi dan kesehatan yang kemudian informasi tersebut dipraktikan dalam keluarga. 2.3 Peningkatan sanitasi kebersihan diharapkan dapat mengurangi risiko penyakit infeksi di wilayah pedesaan dan dibukanya lapangan pekerjaan yang lebih bervariasi di wilayah pedesaan diharapkan dapat berimbas pada pemenuhan kebutuhan gizi dan makanan keluarga. Kedua hal ini diharapkan dapat mencegah terjadinya stunting di pedesaan. 3. Dalam rangka penyempurnaan pengembangan instrumen pengukuran dalam Riskesdas yang akan datang, kedepan perlu : 3.1 Menentukan metode pengukuran konsumsi untuk anak usia 0-23 bulan yang sesuai dan lebih sensitif dari metode recall 24 jam, sehingga konsumsi anak dapat menggambarkan status gizi anak baik berdasarkan indeks BB/U maupun TB/U. Metode recall 24 jam yang digunakan pada Riskesdas 2007 kurang sensitif untuk melihat status gizi berdasarkaan indeks TB/U. 3.2 Terkait pengukuran penyakit infeksi yang diderita anak kiranya perlu dilakukan pemeriksaan secara klinis agar didapatkan kepastian penyakit yang diderita anak, karena jika hanya berdasarkan diagnosis dan identifikasi gejala rentan terjadi kesalahan ketika mendiagnosis dan mengidentifikai gejala.
64
DAFTAR PUSTAKA
Adi, Useini Moh. 2005. Penduga hubungan antara kurang gizi pada balita dengan kurang energi protein ringan dan sedang di wilayah Puskesmas Sekaran Kecamatan Gunung Pati Semarang [skripsi]. Semarang : Universitas Negeri Semarang. Andersen. 2005. Nutrition and development. USA : International Food Policy Research Institute. http;//www.ifpri.org [1 juni 2010]. Anoraga, Pandji . 2005. Psikologi Kerja. Jakarta: Rineka Cipta. Arimond M, Ruel M. 2004. Dietary diversity is associated with child nutritional status : evidence from 11 demographic and health surveys. J.Nutr.134 : 2579-
2585. Atmarita. 2004. Analisis situasi gizi dan kesehatan masyarakat. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII : Jakarta, 17-19 Mei 2004. Azwar, Azrul. 2004. Kecenderungan Masalah Gizi dan Tantangan di Masa Depan : Makalah disampaikan Pada Pertemuan Advokasi Program Perbaikan Gizi menuju Keluarga Sadar Gizi : Jakarta. [BAPPENAS] Badan Penyelenggara Pembangunan Nasional. 2004. Relevansi Paket Pelayanan Kesehatan Dasar dalam Pencapaian Target Nasional dan Komitmen Global. Jakarta. Begin F, Frongilo E, Delisle. 1999. Caregiver behaviors and resources influence child height-for-age in rural. J. Nutr.129:680-686 [BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Data dan Informasi Kemiskinan Tahun 2007 kabupaten/kota. Jakarta: BPS. Chaudhury RH. 1984. Determinants of dietary intake and dietary adequacy for pre-school children in Bangladesh. Food and Nutrition Bulletin. 6(4). The United Nations University [DEPKES] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Rencana Strategis Departemen Kesehatan Tahun 2005-2009. Jakarta: Departemen Kesehatan RI [DEPKES] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Hasil Riset Kesehatan Dasar. Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
65
[DEPKES] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009. Buku Saku Gizi : Kapankah Masalah Ini Berakhir? Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Faber M, Benade AJS.1998. Nutritional status and dietary practies of 4-24 month old children from a rural South African community. Public Health Nutrition : 2(2), 179-185.
Gabriel A. 2008. Perilaku keluarga sadar gizi (kadarzi) serta hidup bersih dan sehat ibu kaitannya dengan status gizi dan kesehatan balita di desa Cikarawang, Bogor. [skripsi]. Bogor : Institut Pertanian Bogor. Gabriel A, Schettino F. 2007. Child malnutrition and mortality in developing countries : evidence from a cross-country analysis. http/mpra.ub.unimuenchen.de/3132/ [ 10 januari 2010] Hidayat, Zainul. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi balita di Indonesia [Tesis]. Depok : Universitas Indonesia Hortensia Reyes et al. 2004. The family as a determinant Of stunting in children living in conditions Of extreme poverty : a case-control study. BMC Public Health. 4:57. 2004 Hurlock. 1999. Perkembangan Anak Jilid 2. Penterjemah : Tjandra M Zarkasih. Jakarta : Erlangga Judith AR, Stan B. 1996. Risk factors for wasting and stunting among children in Metro Cebu, Filipinnes. Am J Nutr :63:966-75.1996. Jus’at. 1991. Determinants of Nutritional Status of Pre School Children in Indonesia :Analysis of The National Socio Economic Survey (SUSENAS) 1987 [Thesis]. New York : Cornell University Khumaidi M. 1989. Gizi Masyarakat. Bogor : Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor Mahgoup et al. 2006. Factor affecting prevalence Of malnutrition among children under three years old age in Botswana. AJFAND. 6(1). Megawangi, R. 1991. Preschool aged nutritional status parameters for Indonesia, and their application to Nutrition–related policies [thesis]. Tufts University. Moehji S. 1995. Pemeliharaan Gizi Bayi dan Balita. Jakarta: Bharata. Nurhayati, Ai. 2000. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi anak usia 6-24 bulan di Kecamatan Bandung Kulon Kota Madya Bandung [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
66
Pryer J, Roger S, Rahman A. 2003. The epidemiology of good nutritional status among children from a population with high prevelance of malnutrition. Dhaka , Bangladesh. Public Health Nutrition : 7(2). 311-317 Riyadi, H. 1995. Prinsip dan Petunjuk Penilaian Status Gizi. Bogor. Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor Rodhe, J.E. 1979. Prioritas Pediatri di Negara Sedang Berkembang, Yogyakarta : Essentia Medica Sandjaja. 2001. Penyimpangan positif (positif deviance) status gizi anak balita dan faktor-faktor yang berpengaruh. Warta Litbang Kesehatan, Vol. 5 (3&4). Santoso S, Anne Lies. 2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta: Rineka cipta EGC. Sayogya. 1996. Menuju Gizi Baik yang Merata di Pedesaan dan di Yogyakarta : UGM Press.
Kota.
Selvin S. 1996. Statistical Analysis of Epidemiologi Data. Second Edition. Oxford : Oxford University Press Semba RD et al. 2008. Effect of parental formal education on risk of child stunting in Indonesia and Bangladesh: a cross-sectional study. Lancet. 26;371(9609):322-8. Soekirman et al. 2004. Penyimpangan Positif Masalah KEP di DKI Jakarta, Pedesaan Bogor Jawa Barat dan Lombok Timur NTB. Bogor : Puslitbang Gizi Soekirman. 2005. Perlu Paradigma Baru Untuk Menanggulangi Masalah Gizi Makro di Indonesia. http://www.gizi.net/makalah/download/profsoekirman.pdf. 9 [April 2009] Suhardjo. 2003. Perencanaan Pangan dan Gizi. Jakarta: Bumi Aksara Supriasa IDN et al. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran Triska SN, Lilis S. 2005. Hubungan sanitasi rumah dengan kejadian ISPA. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol.2 No. 1 Juli 2005 : 43-52. Universitas Airlangga Surabaya UNDP United Nations Development programme. 2009. Human Development Report 2004-2009. UNDP
67
[UNICEF] United Nations Children’s Fund. 1997. The care initiative assessment. Analysis and action to improve care for Nutrition. Newyork : Unicef Wishik S, Van Der Vynckt S. 1976. The use nutritional “positive deviants” to identifity approachesfor modification of dietary practices. Am. J. Public Health 66:38-42, 1976.
68
69
70
71
68
Lampiran 1
Daftar pertanyaan yang diambil dari Quesioner Riskesdas 2007 No
Kode Quesioner
Karakteristik Keluarga 1. RKD07.RT Blok I No.5
Pertanyaan
Klasifikasi desa/ kelurahan 1. Perkotaan 2. Pedesaan Banyak anggota keluarga Jumlah balita (umur dibawah 5 tahun)
2. RKD07.RT Blok II No. 2 3. RKD07.RT Blok II No. 4 Karakteristik Ibu 4. RKD07.RT Blok IV No. 5 Umur (tahun) 5. RKD07.RT Blok IV No. 7 Pendidikan tertiggi 1 = Tidak pernah sekolah 2 = Tidak tamat SD 3 = Tamat SD 4 = Tamat SLTP 5 = Tamat SLTA 6 = Tamat Perguruan tinggi 6. RKD07.RT Blok IV No. 8 Pekerjaan utama 1 = Tidak bekerja 2 = Sekolah 3 = Ibu Rumah Tangga 4 = TNI/Polri 5 = PNS 6 = Pegawai BUMN 7 = Pegawai Swasta 8 = Wiraswasta/pedagang 9 = Pelayanan Jasa 10 = Petani 11 = Nelayan 12 = Buruh 13 = Lainnya Karakteristik Anak 7. RKD07.IND Blok G No. Umur dalam bulan G01 a1 8.
RKD07.RT Blok IV No. 4
1. Laki-laki
2. Perempuan
69
Sanitasi Lingkungan 9. RKD07.RT Blok VII No.1 RKD07.RT Blok VII No.2
10. RKD07.RT Blok VII No.3
11. RKD07.RT Blok VII No.4
12. RKD07.RT Blok VII No.6
13. RKD07.RT Blok VII No.7
14. RKD07.RT Blok VII No.9
15. RKD07.RT Blok VII No.10
Berapa jumlah pemakaian air untuk keperluan RT …… liter/hari Berapa jarak/ lama waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh air (pulang-pergi) a. Jarak… KM b. Lama…Menit Apakah di sekitr sumber air dalam radius <10 meter terdapat sumber pencemaran (air limbah/cubluk/tengki septic/sampah) 1. Ya 2. Tidak 3. Tidak ada sumber air Apakah air untuk kebutuhan rumah tangga diperoleh dengan mudah sepanjang tahun 1. Ya mudah 2. Sulit di musim kemarau 3. Sulit sepanjang tahun Bagaimana kualitas fisik air minum a. Keruh b. Berwarna c. Berasa d. Berbusa e. Berbau Apakah jenis sarana/tempat penampungan air minum sebelum dimasak? 1. Tidak ada langsung dari sumber 2. Wadah/tandon terbuka 3. Wadah/tandon tertutup Dimana tempat penampungan air limbah dari kamar mandi/tempat cuci/ dapur ? 1. Penampungan tertutup di pekarangan/SPAL 2. Penampungan terbuka di pekarangan 3. Penampungan di luar pekarangan 4. Tanpa penampungan (di tanah) 5. Langsung ke got/sungai Bagaimana saluran pembuangan air limbah dari kamar mandi/ dapur/ tempat cuci? 1. Saluran terbuka 2. Saluran tertutup 3. Tanpa saluran
70
Lanjutan lampiran 1 16. RKD07.RT Blok VII No.11
17. RKD07.RT Blok VII No.12 18. RKD07.RT Blok VII No.13
19. RKD07.RT Blok VII No.14
PHBS Ibu 20. RKD07.IND Blok X D08
21. RKD07.IND Blok X D09
Apakah tersedia tempat pembuangan sampah di luar rumah? 1. Ya 2. Tidak Jenis tempat pembuangan sampah di luar rumah? 1. Tempat sampah tertutup 2. Tempat sampah terbuka Apakah terdapat tempat sampah organik di dalam rumah? 1. Ya 2. Tidak Jenis tempat sampah organic di dalam rumah? 1. Tempat sampah tertutup 2. Tempat sampah terbuka
Apakah mencuci tangan pakai sabun? a. Sebelum makan b. Sebelum menyiapkan makanan c. Setelah BAB/menceboki bayi d. Setelah memegang binatang Dimana biasa buang air besar 1. Jamban 2. Kolam/sawah/selokan 3. Sungai/danau/laut 4. Lubang tanah 5. Pantai/tanah lapang/ kebun/ halaman 6. Lainnya……………………
Akses Pelayanan Kesehatan 22. RKD07.RT Blok VI No. Berapa jarak yang harus di tempuh ke sarana 1a pelayanan kesehatan terdekat (RS, Puskesmas, Pustu, Dokter praktek, Bidan praktek)? …….KM …..Meter 23. RKD07.RT Blok VI No. Berapa waktu tempuh ke sarana pelayanan 1b kesehatan terdekat (RS, Puskesmas, Pustu, Dokter praktek, Bidan praktek)? …….Menit 24. RKD07.RT Blok VI No. Berapa jarak yang harus di tempuh ke sarana 2a pelayanan kesehatan terdekat (Posyandu, Poskesdes, Polindes)? …….KM …..Meter
71
Lanjutan lampiran 1 25. RKD07.RT Blok VI No. Berapa waktu tempuh ke sarana pelayanan 2b kesehatan terdekat (Posyandu, Poskesdes, Polindes)? …….Menit 26. RKD07.RT Blok VI No. Apakah tersedia angkutan umum ke fasilitas 3 pelayanan kesehatan terdekat? 1. Ya 2. Tidak Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan 27. RKD07.RT Blok VI No. Apakah rumah tangga ini pernah memanfaatkan 4 pelayanan posyandu/poskesdes dalam 3 bulan terakhir ini ? 1. Ya 2. Tidak 28. RKD07.RT Blok VI No. Jika ya, jenis pelayanan kesehatan apa saja yang 5 diterima a. Penimbangan b. Penyuluhan c. Imunisasi d. KIA e. KB f. Pengobatan g. PMT h. Suplementasi gizi i. Konsultasi penyakit resiko 29. RKD07.RT Blok VI No. Apakah rumah tangga ini pernah memanfaatkan 7 pelayanan polindes/bidan desa dalam 3 bulan terakhir ini ? 1. Ya 2. Tidak 30. RKD07.IND Blok G No. Dalam 6 bulan terakhir berapa kali ditimbang? G02 ….. kali 31. RKD07.IND Blok G No. Apakah dalam 6 bulan terakhir mendapatkan G04 kapsul vitamin A? 1. Ya 2. Tidak 32 RKD07.IND Blok G No. Apakah mempunyai KMS? 1. Ya, dapat menunjukkan dengan catatan G07 imunisasi 2. Ya, dapat menunjukkan tnp catatan imunisasi 3. Ya, tidak dapat menunjukkan 4. Tidak punya
72
Lanjutan lampiran 1 33. RKD07.IND Blok G No. Apakah mempunyai KIA? 1. Ya, dapat menunjukkan dengan catatan G07 imunisasi 2. Ya, dapat menunjukkan tnp catatan imunisasi 3. Ya, tidak dapat menunjukkan 4. Tidak punya
Penyakit Infeksi Anak 34. RKD07.IND Blok X B01 35. RKD07.IND Blok X B03
36. RKD07.IND Blok X B05
37. RKD07.IND Blok X B07
38. RKD07.IND Blok X B10 39. RKD07.IND Blok X B15
Dalam 1 bulan terakhir pernah didiagnosis menderita ISPA oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/ bidan)? 1. Ya 2. Tidak Dalam 1 bulan terakhir pernah didiagnosis menderita Pneumonia oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/ bidan)? 1. Ya 2. Tidak Dalam 1 bulan terakhir pernah didiagnosis menderita Demam Typoid oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/ bidan)? 1. Ya 2. Tidak Dalam 1 bulan terakhir pernah didiagnosis menderita Malaria oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/ bidan)? 1. Ya 2. Tidak Dalam 1 bulan terakhir pernah didiagnosis menderita Diare oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/ bidan)? 1. Ya 2. Tidak Dalam 12 bulan terakhir pernah didiagnosis menderita TB Paru oleh tenaga kesehatan (dokter/perawat/ bidan)? 1. Ya 2. Tidak
Asupan Gizi 40. RKD07.GIZI Blok VIII Waktu Makan……… Masakan/Menu…………… No. 3 Jenis bahan Makanan……………. Banyaknya yang dikonsumsi Ukuran rumah tangga….. Berat (gram) Status Gizi 41 RKD IND Blok XI NO 1 Berat badan…….kg dan 2a TP/PB…………..cm
73
74
75
76
77
78
95
Lampiran 2
Skoring variabel sanitasi lingkungan No 1
2
3
4
Macam dan Indikator
Skor
Berapa jumlah pemakaian air untuk keperluan rumah tangga ? ≥ 50liter
3
< 50 liter
1
Berapa jarak untuk memperoleh air (pulang pergi) ≤ 1 KM
3
>1 KM
1
Berapa lama waktu untuk memperoleh air (pulang-pergi) < 30 menit
3
≥30 menit
1
Apakah di sekitar sumber air dalam radius < 10 meter terdapat sumber pencemaran air (air limbah/ tangki septic/ sampah) ?
5
Tidak
3
Ya
1
Apakah air untuk semua kebutuhan rumah tangga diperoleh dengan mudah sepanjang tahun
6
7
Ya (mudah)
3
Sulit
1
Air yang digunakan keruh Tidak
3
Ya
1
Berwarna Tidak
3
Ya
1
96
Lanjutan lampiran 2 8
9
10
11
Berasa Tidak
3
Ya
1
Berbusa Tidak
3
Ya
1
Berbau Tidak
3
Ya
1
Apakah Jenis sarana / tempat penampungan air minum sebelum di masak ?
12
Wadah
3
Tidak ada/ langsung dari sumber
1
Dimana tempat penampungan air limbah dari kamar mandi/tempat cuci/ dapur ? Penampungan tertutup/ terbuka di pekarangan/SPAL
3
Penampungan di luar pekarangan , tanpa penampungan/
1
ditanah/langsung ke got / sungai 13
Bagaimana saluran penampungan air limbah dari kamar mandi/ tempat cuci/ dapur ?
14
15
Tertutup
3
Terbuka
1
Apakah tersedia tempat pembuangan sampah di luar rumah Ya
3
Tidak
1
Tempat sampah tertutup Ya
3
Tidak
1
97
Lanjutan lampiran 2 16
Apakah tersedia tempat penampungan sampah basah (organik) di dalam rumah ?
17
Ya
3
Tidak
1
Tempat sampah tertutup Ya
3
Tidak
1
Ket : Skor 1=jawaban berisiko
Skor 3= jawaba tidak berisiko
Total pertanyaan =17 Dengan mentolerir 5 jawaban berisiko
maka diharapkan terdapat 12
jawaban tidak berisiko untuk menentukan cut of poin sanitasi lingkungan Æ17 - 5=12 . Adapun perhitungannya sebagai berikut : jawaban tidak berisiko 12x3=36 jawaban berisiko
5x1=5 41
Kategori : Baik Jika ≥ 41 Kurang Baik Jika nilai yaitu < 41
98
Lampiran 3
Skoring PHBS No 1
2
3
4
5
Macam dan Indikator
Skor
Mencuci tangan sebelum makan Ya
3
Tidak
1
Mencuci tangan sebelum menyiapkan makan Ya
3
Tidak
1
Mencuci tangan setelah BAB/ menceboki bayi Ya
3
Tidak
1
Mencuci tangan setelah memegang binatang Ya
3
Tidak
1
Tempat buang air besar di jamban Ya
3
Tidak
1
Ket : Skor 1=jawaban berisiko Skor 3= jawaba tidak berisiko Total pertanyaan =5 Dengan mentolerir 1 jawaban berisiko maka diharapkan terdapat 4 jawaban tidak berisiko untuk menentukan cut of poin PHBS Æ5 - 1=4. Adapun perhitungannya sebagai berikut: jawaban tidak berisiko 4x3=12 jawaban berisiko 1x1=1 13 Kategori : Baik Jika ≥ 13 Kurang Baik Jika < 13
99
Lampiran 4 Skoring akses terhadap pelayanan kesehaatan No 1
2
3
4
5
Macam dan Indikator
Skor
Berapa jarak yang harus ditempuh ke sarana pelayanan kesehatan terdekat (RS, Puskesmas, Pustu, Dokter praktek, Bidan praktek) ? < 1 KM > 5KM Berapa waktu tempuh ke sarana pelayanan kesehatan terdekat (Rumah sakit,Puskesmas, Pustu, Dokter praktek, Bidan Praktek)? ≤30 menit >30 menit Berapa jarak yang harus di tempuh ke sarana pelayanan kesehatan terdekat (Posyandu, Poskesdes, Polindes) ? <1 KM > 5 KM Berapa waktu tempuh ke sarana pelayanan kesehatan terdekat (Posyandu, Poskesdes, Polindes) ? ≤30 menit >30 menit Apakah tersedia angkutan umum ke fasilitas pelayanan kesehatan terekat? Ya Tidak
Ket : Skor 1=jawaban berisiko Skor 3= jawaba tidak berisiko Total pertanyaan =5 Dengan mentolerir 1 jawaban berisiko maka diharapkan terdapat 4 jawaban tidak berisiko untuk menentukan cut of poin Akses terhadap pelayanan kesehatan Æ5 - 1=4. Adapun perhitungannya sebagai berikut: jawaban tidak berisiko 4x3=12 jawaban berisiko 1x1=1 13 Kategori : Baik Jika ≥ 13 Kurang Baik Jika < 13
3 1 3 1 3 1 3 1 3 1
100
Lampiran 5 Skoring pemanfaatan pelayanan kesehatan No
Macam dan Indikator
1
Apakah rumah tangga ini pernah memanfaatkan pelayanan posyandu/
Skor
poskesdes dalam 3 bulan terakhir?
2
3
4
5
6
7
Ya
3
Tidak
1
Penimbangan 1-4 kali
3
Tidak pernah
1
Penyuluhan Ya
3
Tidak
1
Imunisasi Ya
3
Tidak
1
KIA Ya
3
Tidak
1
Suplementasi Gizi (Vit A, Fe, Multi gizi mikro Ya
3
Tidak
1
Apakah rumah tangga ini pernah memanfaatkan pelayanan polindes/ Bidan desa dalam 3 bulan terakhir? Ya
3
Tidak
1
101
Lanjutan lampiran 5 8
9
10
Dalam 6 bulan terakhir anak ditimbang ? Ya
3
Tidak tahu/ Tidak pernah
1
Apakah dalam 6 bulan terakhir anak mendapat vitamin A ? Ya
3
Tidak
1
Apakah mempunyai KMS/ buku KIA ? Ya
3
Tidak
1
Ket : Skor 1=jawaban berisiko
skor 3= jawaba tidak berisiko
Total pertanyaan =10 Dengan mentolerir 3 jawaban berisiko
maka diharapkan terdapat 7
jawaban tidak berisiko untuk menentukan cut of poin pemanfaatan pelayanan kesehatan Æ10 - 3=7 Adapun perhitungannya sebagai berikut: jawaban tidak berisiko 7x3=21 jawaban berisiko
3x1=3 24
Kategori : Baik Jika ≥ 24 Kurang Jika < 24
102
Lampiran 6 Skoring penyakit infeksi anak No 1
2
3
4
5
6
Macam dan Indikator
Skor
Didiagnosis tenaga kesehatan mengidap ISPA Ya
1
Tidak
3
Didiagnosis tenaga kesehatan mengidap TB Paru Ya
1
Tidak
3
Didiagnosis tenaga kesehatan mengidap Malaria Ya
1
Tidak
3
Didiagnosis tenaga kesehatan mengidap Diare Ya
1
Tidak
3
Didiagnosis tenaga kesehatan mengidap Typoid Ya
1
Tidak
3
Didiagnosis tenaga kesehatan mengidap Pneumonia Ya
1
Tidak
3
Ket : Skor 3= jawaban tidak berisiko
Skor 1 = jawaban berisiko
Total pertanyaan=6 Tidak infeksi = tidak mengidap satu penyakit infeksi pun Æ3x6= 18 Kategori : Tidak infeksi jika nilai = 18
Infeksi jika nilai <18
103
Lampiran 7
Hasil tabulasi silang antar variabel Tabulasi silang antara usia anak dengan jenis kelamin Usia anak
Jenis kelamin Laki-laki
Total
Perempuan
n
%
n
%
n
%
0-6 bulan
102
20,4
80
18,6
182
19,5
7-12 bulan
181
36,1
186
43,2
367
39,4
13-18 bulan
137
27,3
100
23,2
237
25,4
19-23 bulan
81
16,2
65
15,1
146
15,7
Total
501
100
431
100
932
100
Tabulasi silang antara usia anak dengan penyakit infeksi Usia anak
Penyakit infeksi Tidak infeksi
Total
Infeksi
n
%
n
%
n
%
0-6 bulan
120
20,2
62
18,3
182
19,5
7-12 bulan
229
38,6
138
40,8
367
39,4
13-18 bulan
145
24,4
92
27,2
237
25,4
19-23 bulan
100
16,8
46
13,6
146
15,7
Total
594
100
338
100
932
100
104
Tabulasi silang antara usia anak dengan asupan gizi Usia anak
Asupan gizi Baik
Total
Kurang
n
%
n
%
n
%
0-6 bulan
25
27,2
157
18,7
182
19,5
7-12 bulan
35
38,0
332
39,5
367
39,4
13-18 bulan
23
25,0
214
25,5
237
25,4
19-23 bulan
9
9,8
137
16,3
146
15,7
Total
92
100
840
100
932
100
Tabulasi silang antara wilayah tempat tinggal dengan sanitasi lingkungan Wilayah tempat tinggal
Sanitasi lingkungan Baik
Total
Kurang baik
n
%
n
%
n
%
Desa
186
52,2
408
70,8
594
63,7
Kota
170
47,8
168
29,2
338
36,3
Total
356
100
576
100
932
100
105
Tabulasi silang antara wilayah tempat tinggal dengan penyakit infeksi Wilayah tempat tinggal
Penyakit infeksi Tidak infeksi
Total
Infeksi
n
%
n
%
n
%
Desa
391
65,8
203
60,1
594
63,7
Kota
203
34,2
135
39,9
338
36,3
Total
594
100
338
100
932
100
Tabulasi silang antara wilayah tempat tinggal dengan asupan gizi Wilayah tempat tinggal
Asupan Gizi Baik
Total
Kurang baik
n
%
n
%
n
%
Desa
53
57,6
541
64,4
594
63,7
Kota
39
42,4
299
35,6
338
36,3
Total
92
100
840
100
932
100
Tabulasi silang antara status bekerja ibu dengan sanitasi lingkungan Status bekerja ibu
Sanitasi lingkungan Baik
Total
Kurang baik
n
%
n
%
n
%
Tidak bekerja
252
70,8
375
65,1
627
67,3
Bekerja
104
29,2
201
34,9
305
32,7
Total
356
100
576
100
932
100
106
Tabulasi silang antara status bekerja ibu dengan penyakit infeksi Status bekerja ibu
Penyakit infeksi Tidak infeksi
Total
Infeksi
n
%
n
%
n
%
Tidak bekerja
396
66,7
231
68,3
627
67,3
Bekerja
198
33,3
107
31,7
305
32,7
Total
594
100
338
100
932
100
Tabulasi silang antara status bekerja ibu dengan asupan gizi Status bekerja ibu
Asupan gizi Baik
Total
Kurang baik
n
%
n
%
n
%
Tidak bekerja
55
59,8
572
68,1
627
67,3
Bekerja
37
40,2
268
31,9
305
32,7
Total
92
100
840
100
932
100
107
Tabulasi silang antara usia anak dengan sanitasi lingkungan Usia anak
Sanitasi lingkungan Baik
Total
Kurang baik
n
%
n
%
n
%
0-6 bulan
61
17,1
121
21,0
182
19,5
7-12 bulan
140
39,3
227
39,4
367
39,4
13-18 bulan
96
27,0
141
24,5
237
25,4
19-23 bulan
59
16,6
87
15,1
146
15,7
Total
356
100
576
100
932
100
Tabulasi silang antara akses yankes dengan pemanfaatan yankes Akses Yankes
Manfaat Yankes Baik
Total
Kurang baik
n
%
n
%
n
%
Mudah
344
88,2
463
85,4
807
86,6
Tidak mudah
46
11,8
79
14,6
125
13,4
Total
390
100
542
100
932
100
108
Tabulasi silang antara penyakit infeksi dengan asupan gizi Penyakit Infeksi
Asupan gizi Baik
Total
Kurang baik
n
%
n
%
n
%
Tidak infeksi
57
62,0
537
63,9
594
63,7
Infeksi
35
38,0
303
36,1
338
36,3
Total
92
100
840
100
932
100
Tabulasi silang antara jumlah balita dengan sanitasi lingkungan Sanitasi lingkungan
Jumlah balita dalam keluarga
Baik
Total
Kurang baik
n
%
n
%
n
%
1 balita
301
84,6
491
85,2
792
85,0
2-3 balita
55
15,4
85
14,8
140
15,0
Total
356
100
576
100
932
100
Tabulasi silang antara jumlah balita dengan penyakit infeksi Jumlah balita dalam keluarga
Penyakit infeksi Tidak infeksi
Total
Infeksi
n
%
n
%
n
%
1 balita
500
84,2
292
86,4
792
85,0
2-3 balita
94
15,8
46
13,6
140
15,0
Total
594
100
338
100
932
100
109
Tabulasi silang antara jumlah balita dengan asupan gizi Asupan gizi
Jumlah balita dalam keluarga
Baik
Total
Kurang baik
n
%
n
%
n
%
1 balita
74
80,4
718
85,5
792
85,0
2-3 balita
18
19,6
122
14,5
140
15,0
Total
92
100
840
100
932
100
Tabulasi silang antara usia ibu dengan PHBS Usia ibu
PHBS Baik
Total Kurang baik
n
%
n
%
n
%
13-19 tahun
9
4,0
38
5,4
47
5,0
20-30 tahun
135
59,2
412
58,5
547
58,7
31-50 tahun
84
36,8
254
36,1
338
36,3
Total
228
100
704
100
932
100
110
Tabulasi silang antara usia ibu dengan sanitasi lingkungan Usia ibu
Sanitasi lingkungan Baik
Total
Kurang baik
n
%
n
%
n
%
13-19 tahun
15
4,2
32
5,6
47
5,0
20-30 tahun
202
56,7
345
59,9
547
58,7
31-50 tahun
139
39,1
199
34,5
338
36,3
Total
356
100
576
100
932
100
Tabulasi silang antara usia ibu dengan penyakit infeksi Usia ibu
Penyakit infeksi Tidak infeksi
Total
Infeksi
n
%
n
%
n
%
13-19 tahun
26
4,4
21
6,2
47
5,0
20-30 tahun
349
58,7
198
58,6
547
58,7
31-50 tahun
219
36,9
119
35,2
338
36,3
Total
594
100
338
100
932
100
111
Tabulasi silang antara usia ibu dengan asupan gizi Usia ibu
Asupan gizi Baik
Total
Kurang baik
n
%
n
%
n
%
13-19 tahun
2
2,2
45
5,3
47
5,0
20-30 tahun
58
63,0
489
58,2
547
58,7
31-50 tahun
32
34,8
306
36,5
338
36,3
Total
92
100
840
100
932
100
Tabulasi silang antara jenis kelamin dengan penyakit infeksi Jenis kelamin
Penyakit infeksi Tidak infeksi
Total
Infeksi
n
%
n
%
n
%
Laki-laki
56
60,9
445
53,0
501
53,8
Perempuan
36
39,1
395
46,2
431
46,2
Total
92
100
840
100
932
100
Tabulasi silang antara jenis kelamin dengan asupan gizi Jenis kelamin
Asupan gizi Baik
Total
Kurang baik
n
%
n
%
n
%
Laki-laki
307
51,7
194
57,4
501
53,8
Perempuan
287
48,3
144
42,6
431
46,2
Total
594
100
338
100
932
100
112
113
114
115
116
117
118
119