Analisa Water Based Mud Dengan Aditif Barit dan KCl Berdasarkan Analisa Toksisitas: Pengujian TCLP dan LC50 – 96 jam
Nisa Logana Miranti1, Setyo Sarwanto Moersidik1, Cindy Rianti Priadi1, dan Panca Wahyudi2
1
Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia
2
Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi LEMIGAS, Jakarta, 12230, Indonesia
E-mail:
[email protected]
Abstrak
Lumpur bor berbasis air dengan aditif Barit (B) dan KCl (K) berpotensi toksisitas, sehingga Lemigas berupaya melakukan pencegahan berdasarkan pengujian TCLP dan LC50 – 96jam terhadap Penaeus monodon. Kondisi uji disesuaikan pada Sumur Bangau #1 di Sesulu PSC, Selat Makassar. Dengan kombinasi Bmin, Bmax, Kmin, dan Kmax, konsentrasi Cu pada setiap formula (Bmin-Kmin: 26,17 ppm; Bmin-Kmax: 39,74 ppm; Bmax-Kmin: 21,47 ppm; Bmax-Kmax: 31,7 ppm) dan Pb pada Bmin-Kmin (9,369 ppm) melewati baku mutu lingkungan. LC50 Formula Bmin-Kmin memenuhi baku mutu lingkungan (44.058 ppm), sedangkan Formula Bmax-Kmax tidak (13.269 ppm). Hal ini dipengaruhi oleh komposisi logam berat, toksisitas KCl, dan kondisi lingkungan. WBM jenis ini lebih baik digunakan pada pengeboran off-shore.
Water Based Mud Analysis with Barite and KCl as Additives Based on Toxicity Analysis: TCLP and LC50 – 96 hours Tests Abstract Water based mud with Barite (B) and KCl (K) as additives have toxicity potential, therefore Lemigas performed testing prevention effort based on TCLP and LC50 – 96 hours on Penaeus monodon. Testing condition environment was adapted to Sumur Bangau #1 at Sesulu PSC, Makassar Strait. Cu concentration in Bmin, Bmax, Kmin, and Kmax combinations (Bmin-Kmin: 26,17 ppm; Bmin-Kmax: 39,74 ppm; Bmax-Kmin: 21,47 ppm; Bmax-Kmax: 31,7 ppm) and Pb in Bmin-Kmin (9,369 ppm) are abouve the threshold. LC 50 Bmin-Kmin Formula did fulfill the threshold (44.058 ppm) while Bmax-Kmax formula did not (13.269 ppm) It is influenced by heavy metals composition, KCl toxicity, and environmental condition. This type of WBM is better used in off-shore drilling operation. Keywords: LC50 – 96 hour; Penaeus monodon; TCLP; Toxicity; Water Based Mud
Analisa water..., Nisa Logana Miranti, FT UI, 2014
1. Pendahuluan Lumpur pemboran merupakan faktor yang penting dalam proses pemboran, hal ini dikarenakan lumpur ini dapat menentukan kecepatan pemboran, efisiensi, keselamatan, dan biaya pemboran itu sendiri. Terdapat tiga macam lumpur bor yang digunakan pada kegiatan pemboran, yaitu Water Based Mud (WBM), Oil Based Mud (OBM), dan Synthetic Oil Based Mud (S-OBM) (Rubiandini, 2011). Dalam menciptakan sifat lumpur bor yang baik dalam pengerjaan pemboran, terdapat susunan aditif yang ditambahkan (Mahto dan Sharma, 2004). Namun, dalam aditif – aditif tersebut terkandung beberapa logam berat yang berdampak buruk pada lingkungan (Smith dkk, 1999) dalam (Ossai dkk, 2010). Untuk itu di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri ESDM No. 045 tahun 2006 tentang Pengelolaan Lumpur Bor, Limbah Lumpur, dan Serbuk Bor pada Kegiatan Pengeboran Minyak dan Gas Bumi, sebelum lumpur bor wajib melakukan uji LC50 – 96 jam dan/atau uji TCLP (Toxicity Characteristic Leaching Procedure) untuk mengetahui kadar toksisitas dan kandungan logam berat yang terdapat pada lumpur tersebut. Setelah pengerjaan pemboran ditemukan kandungan logam berat dan toksisitas yang tinggi pada limbah lumpur bor dan/atau cutting sehingga dibutuhkan biaya pengolahan yang cukup tinggi untuk hal tersebut. Menurut Burden dkk (2013) dalam memilih sistem lumpur agar ramah lingkungan terhadap fluida dengan kemampuan teknis yang sama, salah satunya harus dilihat dari dampak tiap komponen penyusunnya dan ramgkum penggunaannya serta dampak limbah dari sistemnya. Menurut Effendi dkk (2011), untuk menyempurnakan penelitian toksisitas limbah pengeboran minyak selain dengan melakukan uji toksisitas LC50 adalah dengan melakukan uji TCLP untuk mengetahui karakteristik dari limbah terutama logam berat. Berdasarkan hal tersebut PPPTMGB Lemigas ingin melakukan upaya pencegahan pencemaran dengan membuat lumpur bor berbasis air atau Water Based Mud (WBM) yang ramah lingkungan dengan prioritas aditif Barit dan KCl berdasarkan analisa toksisitas yaitu dengan pengujian TCLP dan LC50 – 96 jam terhadap Penaeus monodon. Konteks WBM ramah lingkungan dalam hal ini adalah WBM yang setelah digunakan dapat secara aman dibuang ke lingkungan pada saat menjadi limbah WBM atau limbah lumpur bor dan/atau cutting.
2. Tinjauan Teoritis WBM jenis KCl – Polymer PHPA memiliki susunan aditif yang penting untuk ditambahkan yaitu prehidrasi bentonit sebagai viscosifier dan pengendalian filtrasi, KCl sebagai sumber
Analisa water..., Nisa Logana Miranti, FT UI, 2014
penghambat dari ion K+, NaOH sebagai pengendali alkalinitas dari ion K+, Starch sebagai pengendali filtrasi, PAC sebagai pengendali filtrasi, lignosulfonat sebagai deflokulan, dan lignit sebagai pengendali filtrasi dalam konsisi tekanan tinggi dengan temperatur tinggi (Amoco Coorporation, 1975). Logam berat terdapat pada lumpur dan dapat mengontaminasi lokasi pemboran serta lokasi pembuangan limbah lumpur bor jika barit digunakan. Untuk itu konsentrasinya harus dipantau dan dikendalikan selama pembuangan dan material terkait harus digunakan secukupnya (Burden, 2013). Setelah dibuang dari pengoperasian pemboran, serbuk bor yang mengandung lumpur dan material pemberat akan berakhir di dasar laut di mana beberapa logam akan bergerak menuju pori – pori air dan beresiko untuk organisme yang hidup di dalam atau dekat dengan permukaan sedimen tersebut (Ruus dkk, 2005) dalam (Schaaning dkk, 2010). Kontaminasi lingkungan yang terjadi akibat lumpur pemboran bisa juga terjadi pada saat limbah lumpur bor disimpan dalam mud pit. Penggunaan lumpur non toksik ini juga mengurangi kemungkinan pencemaran air tanah apabila terjadi limpasan air hujan dari mud pit. Menurut Wang dkk (2009) Pb bisa diabsorpsi oleh badan manusia melalui pernafasan, pencernaan, kontak kulit, atau transfer via plasenta dan fokusan utamanya menyerang sistem syaraf. Menurut Purcell dan Peters (1998) dalam Wright dan Welbourn (2002) pengaruh perak pada manusia yang paling signifikan adalah argyria (memutihnya kulit), toksisitas perak yaitu
kematian,
produktivitas
yang
menurun,
dan
perubahan
reproduksi
telah
didemonstrasikan di laboratorium terhadap tanaman dan binatang. Menurut Burden (2013) elemen logam berat dapat ditemukan secara alamiah dalam mined mineral yang digunakan dalam aditif lumpur pemboran, contohnya pada barit sebagai agen pemberat dalam lumpur pemboran dan menurut Bieler dkk (1993) biasanya lumpur polimer menggunakan barit sebagai agen pemberatToksisitas didefinisikan sebagai suatu kemampuan yang melekat pada satu zat kimia untuk membuat pengaruh yang merugikan pada organisme – organisme hidup (Mansyur, 2004). Menurut Burden dkk (2013) pada KCl – PHPA Polimer Muds yang diperhatikan dampak lingkungannya adalah KCl karena fluida ini akan mengandung salinitas yang tinggi, kemudian klorida tidak dapat terdegradasi secara biologis di lingkungan karena penggunaannya sebagai nutrient untuk tanaman sangat kecil dan ion K+ yang tinggi dapat membunuh ikan. Berdasarkan Permen ESDM No. 45 tahun 2006 pengujian kadar logam berat dibutuhkan untuk kegiatan pengeboran on-shore atau pengeboran di darat. Pengujian yang dilakukan adalah uji TCLP pada limbah lumpur bor. Dalam penelitian Mulyono dkk (1996) pengujian TCLP yang digunakan terdapat perbedaan hasil pada saat larutan ekstraksi yang digunakan
Analisa water..., Nisa Logana Miranti, FT UI, 2014
berbeda, hal ini dikarenakan terdapat perbedaan tingkat keasaman pada larutan tersebut. Untuk pengujian toksisitas akan dilaporkan dalam konsentrasi substansi dalam air yang menyebabkan kematian setengah dari organisme yang terekspos dalam jangka waktu biasanya 96 jam dan konsentrasi tersebut disebut LC50 (Reis, 1996). Data toksisitas dari bioassay akan dijadikan sebagai bahan untuk merepresentasikan pengaruh material tersebut pada makhluk hidup di perairan sekitarnya (Effendi dkk, 2011). Dalam American Petroleum Institute (1981), bioassay pada organisme laut dengan Cr3+, nilai LC50 – 96 jamnya sekitar 53 mg/L pada ikan yang masih muda dan nilai LC50 – 96 jam pada invertebrata oleh Cr6+ sekitar 3,0 mg/L.
3. Metode Penelitian 3.1. Sampel Sampel yang digunakan dipersiapkan oleh Lemigas yaitu aditif barit yang berasal dari dua produk (PT. WM dan PT. TR) dan KCl berasal dari dua produk (PT. BHI dan PT. SE) sebagai prioritas kombinasi aditif pada WBM jenis KCl – Polymer PHPA.
Untuk
mengondisikan sebagai WBM terdapat bahan – bahan penyusun selain Barit dan KCl yaitu Air Aqua, Bentonit, XCD – Polymer, PAC – LV, Starch, KOH, Resinex, Soltex, Oxygen Scavenger, Biocide, dan PHPA – P dengan kecepatan mixing tertentu (PPPTMGB Lemigas, 2014). Pada pengujian LC50 – 96 jam terdapat beberapa aditif yang tidak dicampurkan karena pengujian ini bertujuan untuk memfokuskan toksisitas Barit dan KCl. Berbeda dengan pengujian TCLP yang ingin membuktikan apakah Barit dan/atau KCl menyumbangkan kandungan logam berat terbesar ataukah aditif penyusun lainnya. Bahan penyusun WBM pada pengujian LC50 – 96 jam selain Barit dan KCl adalah Air Aqua, Bentonit, XCD Polymer, PAC – LV, Starch, dan PHPA – P. Sampel yang digunakan pada penelitian kali ini berdasarkan kombinasi tingkat kandungan logam berat Barit (B) dan KCl (K) yaitu Formula Bmin-Kmin, Bmin-Kmax, Bmax-Kmin, dan Bmax-Kmax untuk pengujian TCLP dan Formula Bmin-Kmin serta Bmax-Kmax untuk pengujian LC50 – 96 jam. Sesuai dengan konteks WBM ramah lingkungan, maka terjadi penyesuaian pengerjaan pengeboran untuk mengondisikan sampel sebagai limbah lumpur bor. Dalam hal ini WBM tersebut dikondisikan dengan suhu 250oF dan tekanan 100 psi sesuai dengan API RP 13B1 (2003) dan disebut sebagai after hot-rolled WBM. 3.2. Pengujian TCLP pada After hot-rolled WBM Pengujian TCLP ini berdasarkan metode 1311 USEPA dengan pertimbangan kondisi pengeboran on-shore dengan ICP – OES sebagai pemeriksa kandungan logam berat
Analisa water..., Nisa Logana Miranti, FT UI, 2014
3.3. Pengujian LC50 – 96 jam pada After hot-rolled WBM Pengujian LC50 – 96 jam ini berdasarkan Baroid fluids handbook (1997) metode Baroid 2500 ml 25303 dengan binatang uji Penaeus monodon berumur 10 hari dengan kondisi uji menyesuaikan kondisi lingkungan Sumur Bangau #1 di Sesulu PSC, Selat Makassar tahun 2003 (untuk tolak ukur pengujian). 3.4. Variabel Penelitian Variabel bebas yang digunakan adalah konsentrasi seri geometrik pada WBM untuk pengujian LC50 – 96 jam (0% ; 0,2% ; 0,4% ; 0,8% ; 1,6% ; 3,125% ; 6,25%) dan kombinasi Barit dan KCl pada formula WBM untuk pengujian TCLP. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah baku mutu TCLP logam berat dengan baku mutu LC50 – 96 jam sesuai dengan Permen ESDM No. 45 tahun 2006. Variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengondisian faktor – faktor lingkungan selama pengujian LC50 – 96 jam yang disesuaikan dengan Sumur Bangau #1 di Sesulu PSC, Selat Makassar tahun 2003. 3.5. Analisis Hasil Pada penelitian ini metode pengolahan data yang dilakukan adalah metode kuantitatif dan deskriptif. Metode kuantitatif digunakan untuk menentukan komposisi WBM yang diinginkan sesuai dengan latar belakang masalah penelitian ini dianalisa dari hasil pengujian yang telah dilakukan. Metode deskriptif menggunakan Environmental Risk Assessment untuk mengintegrasikan hasil pengujian terhadap pengondisian lingkungan jika WBM jenis tersebut digunakan atau dibuang ke lingkungan.
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.1. Pengujian TCLP pada After hot-rolled WBM Pada pengujian ini terdapat penentuan tingkat keasaman pada sampel untuk menyesuaikan dengan kondisi lapangan. Menurut ALS Environmental (2000), metode pengujian TCLP yang sesuai untuk mengetahui kandungan logam berat di lingkungan yang berinteraksi dengan tanah adalah metode 1311 USEPA dimana memiliki nilai pH ±5. Untuk memastikan sampel tersebut sudah sesuai dengan kondisi yang ingin dicapai, dilakukan pengujian pH pada TCLP extract tiap formula. Tabel 1. pH TCLP extract dari Tiap Formula Setelah Preparasi TCLP TCLP extract daripH
Formula BminKmin 5,44
Formula BminKmax 5,25
Formula BmaxKmin 5,14
Analisa water..., Nisa Logana Miranti, FT UI, 2014
Formula BmaxKmax 5,08
Menurut Permen ESDM No. 45 Tahun 2006, untuk menentukan persyaratan areal pembuangan limbah lumpur bor dan serbuk bor di daratan hasil pengeboran on-shore, hasil kandungan logam berat wajib untuk memebuhi batas baku mutu lingkungan yang telah ditentukan pada lampiran peraturan terkait, berikut perbandingannya. Tabel 2. Perbandingan Hasil Uji TCLP dengan Baku mutu Lingkungan Permen ESDM No. 45 Tahun 2006 Logam Berat As Ba Cd Cr Cu Pb Hg Se Ag Zn
Baku Mutu Lingkungan 5 100 1 5 10 5 0,2 1 5 50
Formula BminKmin (ppm) 0,11 32,46 0 0 26,17 9,37 0 0 0 13,22
Formula BminKmax (ppm) 0,17 7,81 0 0 39,74 4,47 0 0,02 0 44,75
Formula BmaxKmin (ppm) 0,13 9,38 0 0 21,47 0,98 0 0 0 20,71
Formula BmaxKmax (ppm) 0,08 61,55 0 0 31,7 1,66 0 0 0 35,15
Melewati batas baku mutu lingkungan
Dari pengujian ini setiap formula tidak memenuhi baku mutu lingkungan dan persyaratan WBM ramah lingkungan, dikarenakan tidak dapat ditimbun kembali ke dalam sumur pengeboran dan harus dibuang pada tempat khusus yang memiliki permeabilitas lebih besar atau sama dengan 10-5 cm/detik. Hipotesa awal penelitian ini yaitu formula yang disusun oleh Bmin akan memiliki kandungan Pb yang melewati baku mutu lingkungan, sedangkan formula yang disusun oleh Bmax akan memiliki kandungan Cu, Pb, dan Ag yang melewati baku mutu lingkungan. Terdapat perbedaan dengan hasil yang didapatkan pada pengujian TCLP WBM, yaitu pada Formula Bmin-Kmin dan Bmin-Kmax memiliki kandungan Cu yang melewati baku mutu lingkungan dan kandungan Pb hanya melewati baku mutu lingkungan pada Formula Bmin-Kmin. Untuk Formula Bmax-Kmin dan Bmax-Kmax kandungan yang melewati baku mutu lingkungan hanyalah Cu sednagkan Pb dan Hg masih memenuhi baku mutu lingkungan. Hal ini terjadi karena disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: a. Terjadinya perubahan bentuk pada elemen logam berat terkait
yang dapat
diinterpretasikan dengan diagram EH-pH dengan menunjukkan bagaimana ion – ion logam berat tersebut secara bersamaan bergerak dalam kesetimbangan sesuai dengan kondisi pH dan EH (potensi redoks suatu elemen dari suatu larutan) yang diberikan (Stumm dan Morgan, 1996). Sesuai dengan kondisi penyimpanan sampel yaitu suhu
Analisa water..., Nisa Logana Miranti, FT UI, 2014
ruangan, maka dilakukan pendekatan dengan menggunakan data literatur standard electrode potential (EHo) yaitu potensi elektroda untuk mereduksi dalam kondisi standard (suhu 25oC, tekanan 1 atm, konsentrasi 1 M) dalam volt. Menurut Fanelli semakin tinggi EHo maka akan semakin tinggi atau kuat oxidizing agent- nya dengan membuat unsur atau ion lain kekurangan elektron dengan menangkap elektronnya. Urutan EHo dari Cu, Ag, dan Pb selaku kandungan logam berat yang melewati baku mutu lingkungan pada pengujian Barit dari tinggi ke rendah adalah Ag (+0,8 V), Cu (+0,52 V), dan Pb (-0,13 V).
Gambar 1. Diagram EH-pH Ag Gambar 2. Diagram EH-pH Cu Gambar 3. Diagram EH-pH Pb pada kondisi pH 5 pada kondisi pH 5 pada kondisi pH 5 Sumber : Geological Survey of Japan Open File Report No.419 yang dimodifikasi berdasarkan hasil penelitian, 2005
Dari kesepuluh logam berat yang diperiksa Ag merupakan urutan ketiga dengan 50% dalam bentuk Ag(s) dan 50% dalam bentuk Ag+ pada pH 5. Sesuai dengan nilai EHo-nya, Ag cenderung tereduksi dan dilihat dari persentase bentuknya maka Ag cenderung untuk mengendap. Untuk itu nilai Ag yang melewati baku mutu lingkungan pada Barit penyusun formula Bmax tidak terdeteksi pada pengujian Formula Bmax-Kmin dan Bmax-Kmax dikarenakan kondisi penyimpanan membuat Ag mengendap dan tidak terdeteksi pada saat pemeriksaan oleh ICP-OES. EHo Cu merupakan urutan keenam dan masih memiliki kecenderungan untuk reduksi. Pada kondisi pH 5, Cu berada pada tiga bentuk yaitu Cu(s) (35%), Cu+ (12,5%), dan Cu2+ (52,5%). Pada pengujian Barit penyusun WBM didapatkan Cu melewati baku mutu lingkungan pada penyusun formula Bmax, namun pada pengujian WBM didapatkan seluruh formula memiliki kandungan Cu yang melewati baku mutu lingkungan. Hal ini dapat tejadi karena pada saat pengujan Barit, Cu tidak terekstrak sebanyak pengujian WBM dikarenakan tidak diberikannya temperatur
Analisa water..., Nisa Logana Miranti, FT UI, 2014
dan tekanan untuk mengondisikan pengerjaan pemboran dan dilihat dari persentase bentuk Cu memiliki persentase yang besar dalam fase terlarut. Kondisi penyimpanan dengan suhu ruangan tidak begitu memengaruhi kandungan Cu karena konsentrasi Cu tetap melewati baku mutu lingkungan, hal ini mengindikasikan bahwa konsentrasi Cu pada WBM sangat tinggi. Pb menjadi urutan ketujuh dari kesepuluh logam berat dilihat dari EHo-nya dengan kecenderungan untuk sulit tereduksi. Bentuk Pb dalam kondisi pH 5 yaitu Pb(s) (20%) dan Pb2+ (80%) dan hal ini yang membuktikan kandungan Pb melewati baku mutu lingkungan pada pengujian Barit. Namun Pb hanya melewati baku mutu lingkungan pada Formula Bmin-Kmin pada pengujian WBM, hal ini terjadi karena keheterogenan WBM sehingga kemungkinan pada saat pengambilan sampel untuk diekstrak kandungan yang terambil tidak menyeluruh dan tidak merepresentasikan keseluruhan WBM. Sehingga terdapat kandungan Pb yang tidak terdeteksi pada pengujian TCLP after hot-rolled WBM. b. Kondisi penyimpanan TCLP extract dalam suhu ruangan selama 25 hari sebelum diperiksa kandungan logam beratnya oleh ICP-OES dapat memengaruhi perubahan bentuk logam berat itu sendiri. c. Diduga terdapatnya kandungan logam berat pada aditif – aditif lain penyusun WBM KClPolymer PHPA selain Barit dan KCl yang perlu diteliti lebih lanjut. Keberagaman aditif pada WBM sangat memengaruhi kandungan logam beratnya, hal ini ditunjukkan pada pengujian TCLP pada used mud yang terdapat di beberapa lokasi pengeboran di Indonesia didapatkan dengan pendekatan kondisi penelitian kali ini yaitu rentang konsentrasi Cr adalah 0,2 – 39,28 ppm dan Cu adalah 0,288 – 0,513 ppm (Mulyono, 1996). Rentang tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian kali ini karena diduga jenis WBM yang digunakan berbeda. Namun dengan jenis WBM yang sama dan kondisi pengujian yang sama juga didapatkan konsentrasi Ba dan Zn tinggi namun masih memenuhi baku mutu lingkungan, sedangkan konsentrasi Cu (98, 06 ppm) dan Pb (7,978 ppm) melewati baku mutu lingkungan (PPPTMGB Lemigas, 2014). 4.2. Pengujian LC50 – 96 jam pada After hot-rolled WBM Kondisi yang diberikan pada media uji LC50 – 96 jam disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang terdapat pada Pemboran Eksplorasi Sumur Bangau #1 di Sesulu PSC, Selat Makassar (2003) sebagai tolak ukur kondisi pembuangan limbah WBM ini. Kondisi temperatur pada penelitian kali ini adalah ±25oC dan salinitas yang diberikan ±36 ppt dengan aerasi selama 24 jam pada media uji. Pemilihan Penaeus monodon selaku biota uji berdasarkan penelitian
Analisa water..., Nisa Logana Miranti, FT UI, 2014
yang menunjukkan bahwa limbah hasil pengeboran di laut dapat membahayakan newborn species dari Penaeus monodon (Soegiyanto dkk, 2008). 120
100
Kontrol
80
1953,13 ppm
60
3906,25 ppm
40
7812,5 ppm
20
15625 ppm
0
31250 ppm
0
24
48
72
96 120
62500 ppm
Waktu Pemaparan (jam)
Gambar 4. Presentase Penaeus monodon yang Bertahan Selama 96 jam Pemaparan Formula BminKmin
Percent Survival(%)
Percent Survival (%)
120
100
Kontrol
80
1953,13 ppm
60
3906,25 ppm
40
7812,5 ppm
20
15625 ppm 31250 ppm
0 0
24 48 72 96 120
62500 ppm
Waktu Pemaparan (jam)
Gambar 5. Persentase Penaeus monodon yang Bertahan Selama 96 jam Pemaparan Formula Bmax-Kmax
Gambar 4 dan Gambar 5 menunjukkan persentase Penaeus monodon yang bertahan selama 96 jam setelah diberikan WBM dengan konsentrasi yang bervariasi. Sesuai hasil pengamatan, persentase kematian binatang uji tertinggi terdapat pada jam ke-24. Pada jam ke-24, Formula Bmin-Kmin mematikan binatang uji mencapai 30% pada konsentrasi 31.250 ppm dam 40% pada konsentrasi 62.500 ppm, sedangkan pada Formula Bmax-Kmax persentase kematian binatang uji mencapai 60% pada konsentrasi 15.625 ppm. Untuk jam ke-48 Formula BminKmin, persentase kematian binatang uji tertinggi yaitu 10% dari jam ke-24 atau bisa disebut mati satu ekor pada tiap bak media ujinya. Namun untuk Formula Bmax-Kmax, persentase kematian binatang ujinya lebih tinggi dibandingkan dengan Formula Bmin-Kmin, yaitu mencapai 30% pada konsentrasi 15.625 ppm dan 31.250 ppm Pada jam ke-72 baik Formula Bmin-Kmin dan Formula Bmax-Kmax persentase maksimum kematian binatang uji yaitu 15% pada konsentrasi 7.613 ppm dan 31.250 ppm (Formula Bmin-Kmin) serta pada konsentrasi 62.500 ppm (Formula Bmax-Kmax). Untuk jam ke-96, persentase kematian binatang uji pada Formula Bmin-Kmin tertinggi yaitu 10% pada konsentrasi 15.625 ppm, sedangkan pada Formula Bmax-Kmax yaitu 25% pada konsentrasi 19.530 ppm. Hal ini terjadi karena adanya pemaparan WBM dan perubahan kondisi lingkungan. Berdasarkan grafik konsentrasi oksigen terlarut pada Formula Bmin-Kmin terlihat oksigen terlarut cenderung menurun jauh pada jam ke-24 kemudian pada jam ke-48 konsentrasi oksigen terlarut meningkat kembali secara perlahan. Pada konsentrasi 0 ppm dan 1.963,13 ppm cenderung stabil dari jam ke-0 hingga ke-96. Hal ini juga terjadi pada media uji Formula Bmax-Kmax. Pulihnya konsentrasi oksigen terlarut pada media uji tetap menunjukkan
Analisa water..., Nisa Logana Miranti, FT UI, 2014
perbedaan antar media uji tergantung dengan banyaknya konsentrasi yang terdapat di masing
8,40
9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00
Kontrol
8,20
Kontrol
1953,13 ppm
8,00
1953,13 ppm
pH
Dissolved Oxygen (mg/L)
– masing media uji.
3906,25 ppm 7812,5 ppm
0
24
48
72
96 120
3906,25 ppm
7,80
15625 ppm
7,60
31250 ppm
7,40
7812,5 ppm 15625 ppm 31250 ppm
0
62500 ppm
Waktu Pemaparan (jam)
24 48 72 96 120
62500 ppm
Waktu Pemaparan (jam)
Gambar 6. Konsentrasi Oksigen Terlarut pada Formula Bmin-Kmin Uji LC50 – 96 jam
Gambar 7. pH pada Formula Bmin-Kmin Uji LC50 – 96 jam
Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi sampel pada media uji, maka akan semakin rendah konsentrasi oksigen terlarutnya. Penurunan konsentrasi oksigen terlarut pada jam ke-24 oleh Formula Bmax-Kmax lebih drastis dibandingkan dengan Formula BminKmin,
hal
ini
membuktikan
bahwa
kandungan
Formula
Bmax-Kmax
memiliki
kecenderungan menurunkan konsentrasi oksigen terlarut lebih besar. Faktor – faktor yang menyebabkan konsentrasi oksigen terlarut dan pH menurun drastis pada jam ke-24 adalah a. Semakin tinggi konsentrasi after hot-rolled WBM akan semakin rendah tingkat absorpsi
8,50
Kontrol 1953,13 ppm
pH
8,00
3906,25 ppm
7,50
7812,5 ppm 15625 ppm
7,00 0 24 48 72 96 120 Waktu Pemaparan (jam)
31250 ppm 62500 ppm
Gambar 8. Konsentrasi Oksigen terlarut pada Formula Bmax-Kmax Uji LC50 – 96 jam
Dissolved Oxygen (mg/L)
oksigen (Sawyer, 2002),
10,00
Kontrol
8,00
1953,13 ppm
6,00
3906,25 ppm
4,00
7812,5 ppm
2,00
15625 ppm 31250 ppm
0,00 0
24 48 72 96 120
62500 ppm
Waktu Pemaparan (jam)
Gambar 9. pH pada Formula Bmax-Kmax Uji LC50 – 96 jam
b. Semakin tinggi konsentrasi sampel yang ditambahkan akan semakin tinggi salinitas pada media tersebut dan semakin tinggi salinitas suatu media akan menurunkan potensi kelarutan oksigen di dalam air (Lehigh Environmental, 2011), c. Semakin tinggi tingkat kekeruhan akan meningkatkan temperatur air dikarenakna partikel tersuspensi mengadsorbsi panas lebih banyak (USEPA, 2012). Semakin tinggi temperatur
Analisa water..., Nisa Logana Miranti, FT UI, 2014
dapat melarutkan oksigen lebih rendah (Lehigh Environmental, 2011). Namun semakin lamanya waktu pemaparan, masing – masing media uji mengalami penurunan kekeruhan, hal ini yang menyebabkan oksigen terlarut kembali meningkat, d. Menurunnya oksigen terlarut akibat dikonsumsi oleh biota uji menghasilkan karbon dioksida.Meningkatnya jumlah karbon dioksida terlarut dapat menurunkan pH (USEPA, 2012). Perubahan kondisi lingkungan ini yang menyebabkan kematian pada biota uji, namun dengan memulihnya konsentrasi oksigen terlarut (selaku faktor yang paling memengaruhi ketahanan biota uji) masih terdapat peningkatan persentase kematian pada biota uji. Hal ini disebabkan oleh dampak yang diberikan dari after hot-rolled WBM dilihat dari kandungan logam beratnya dan dampak iritasi yang ditimbulkan dari KCl. Menurut Reis (1996), konsentrasi garam yang tinggi dapat memengaruhi sistem muscoleskeletal dan menyebabkan iritasi pada mata, kulit, dan sistem pernapasan. Terlihat dari bangkai udang windu yang terdapat pada media uji, badan udang windu tersebut berwarna merah seperti terbakar. Hal tersebut mengindikasikan terjadinya iritasi pada biota uji tersebut. Pengolahan data untuk mendapatkan konsentrasi LC50 – 96 jam secara manual yaitu dengan menggunakan metode probit. Hubungan antara variabel yang digunakan pada analisa probit adalah linear dalam bentuk regresi (Effendi, 2011). Berikut adalah contoh pengolahan salah satu sampel (Formula Bmin-Kmin sampel pertama).
Gambar 10. Bangkai Penaeus monodon Berwarna Merah pada Bak 6 Formula Bmin-Kmin Sampel Kedua
Gambar 11. Bangkai Penaeus monodon Tidak Berwarna Merah pada Bak 2 Formula Bmin-Kmin Sampel Kedua
Dalam penelitian ini dapat diketahui bahwa after hot-rolled WBM Formula Bmin-Kmin dapat mematikan 50% populasi Penaeus monodon pada konsentrasi 44.058 ppm dan after hotrolled WBM Formula Bmax-Kmax dapat mematikan 50% populasi Penaeus monodon pada konsentrasi 13.269 ppm di perairan. Sesuai dengan penelitian LC50 – 96 jam dengan binatang uji yang sama oleh Effendi dkk (2011), nilai LC50 yang didapatkan terhadap cutting atau serbuk bor adalah 91.883 ppm termasuk ke dalam kategori hampir tidak toksik dan sesuai dengan baku mutu lingkungan yang terdapat pada Permen ESDM No. 45 tahun 2006. Namun pada penelitian serupa pada lumpur bor bekas dari pemboran lepas pantai terhadap Penaeus
Analisa water..., Nisa Logana Miranti, FT UI, 2014
mondon oleh Soegiyanto dkk (2008) berkisar pada konsentrasi 30.740 ppm sampai dengan 78.271 ppm. Tabel 3. Perhitungan Manual Nilai LC50 – 96 jam pada Formula Bmin-Kmin Konsentrasi Log konsentrasi Koreksi mortalitas Probit empiris (ppm) (a) (b) (c) 0 1.953 3,2907 0 0 3.905 3,5916 0 0 7.613 3,8816 14 3,92 15.625 4,1938 29 4,45 31.250 4,4949 29 4,45 62.500 4,7959 57 5,18 125.000 5,0969 86 6,08
x2 = a2
y2 = c2
x.y
10,829 12,899 15,216 17,288 20,204 23 25,978
0 0 15,216 18,663 20,002 24,843 30,989
0 0 15,216 18,663 20,002 24,843 30,989
Nilai LC50 – 96 jam = 44.278 ppm
Agar estimasi konsentrasi LC50 – 96 jam lebih akurat, maka data ini diolah juga dengan bantuan software SPSS Probit Analysis. Tabel 4. Estimasi LC50 – 96 jam dengan Metode Probit Manual dan Software SPSS Probit Analysis Rata – rata Rata – rata LC50 manual LC50 SPSS Estimasi After hot-rolled WBM LC50 manual LC50 SPSS (ppm) (ppm) LC50 (ppm) (ppm) Sampel 1 44.278 41.033,8 Formula 42.290 45.826 44.058 Bmin-Kmin Sampel 2 40.302 50.617,2 Sampel 1 12.388 7.248,2 Formula 14.438 12.100 13.269 Bmax-Kmax Sampel 2 16.488 16.951,7
Keduanya berada pada kategori hampir tidak toksik (Swan dkk, 1994) dalam (Effendi dkk, 2011) dan memenuhi baku mutu lingkungan yang diatur pada Permen ESDM No. 45 tahun 2006. Dari pengujian ini bisa diartikan berarti kombinasi aditif Barit dan KCl yang bisa digunakan pada pengeboran lepas pantai adalah Formula Bmin-Kmin yaitu Barit dari PT. WM dan KCl dari PT. SE.
Analisa water..., Nisa Logana Miranti, FT UI, 2014
4.3. Environmental Risk Assessment Dalam pembuatan Environmental Risk Assessment (ERA) ini didasari oleh latar belakang permasalahan penelitian ini dan hasil dari pengujian yang telah dilakukan. Menurut AFSC (1997) dalam Soleymani dan Azadi (2013), risk assessment menyuguhkan deskripsi ilmiah yang sistematis terhadap potensi dampak sejak pemaparan hingga mengontaminasi. Adapun bagian – bagian yang dijelaskan adalah formulasi masalah, karakterisasi pemaparan dan efek ekologi, serta karakterisasi resiko. Dalam penyusunan ERA ini, hanya berdasarkan hasil penelitian dan perbandingannya dengan literatur atau jurnal terkait yang memiliki kondisi serupa. ERA ini disesuaikan dengan data kondisi pemboran eksplorasi lepas pantai Sumur Bangau #1 di Sesulu PSC, Selat Makassar pada tahun 2003 sebagai tokal ukur dari ERA sesuai dengan hasil penelitian bahwa WBM KCl – Polymer PHPA lebih baik digunakan pada pengeboran off-shore. Data lokasi pengeboran off-shore ini diambil secara acak dengan penyesuaian kondisi uji dan lumpur bor yang digunakan. a. Formulasi Masalah Sesuai dengan latar belakang dari penelitian ini, masalah yang disuguhkan oleh PPPTMGB Lemigas adalah tingginya kandungan logam berat dan toksisitas dari limbah lumpur bor dan cutting sehingga membutuhkan biaya yang cukup tinggi dalam mengolahnya agar dapat menyesuaikan baku mutu lingkungan dan aman untuk dibuang ke lingkungan. Untuk memperkecil objek studi, WBM yang diuji berjenis KCl – Polymer PHPA sebagai WBM yan sering digunakan di beberapa lokasi pengeboran di Indonesia (Mulyono dkk, 1996), Berdasarkan komposisinya, maka dari jenis WBM ini diprioritaskan aditif yang dicurigai merupakan stressor terbesar ke linkgungan yaitu Barit dan KCl (Ruus dkk, 2005) dalam (Schaaning dkk, 2010). Dikarenakan biaya yang dibutuhkan dalam mengolah limbah lumpur bor serta cutting sangat tinggi, maka diupayakan untuk membuat lumpur bor jenis WBM yang ramah lingkungan sebagai upaya pencegahan terproduksinya limbah lumpur bor yang tidak ramah lingkungan. Sesuai dengan penelitian kali ini, disimpulkan bahwa WBM jenis KCl – Polymer PHPA lebih baik digunakan pada pengeboran off-shore dikarenakan uji TCLP yang melewai batas baku mutu lingkungan namun pada pengujian LC50 – 96 jam terhadap Penaeus monodon, Formula Bmin-Kmin memenuhi batas baku mutu lingkungan dengan substansi yang perlu diperhatikan dalam hal ini yaitu logam berat Cu, Pb, dan Ag, serta KCl. Kasus ini akan diimplementasikan sesuai dengan UKL-UPL Pemboran Eksplorasi Lepas Pantai Sumur Bangau #1 di sesulu PSC, Selat Makassar (Unocal, 2003). Dekat dengan lokasi pemboran, terdapat bebrapa daerah sensitif yaitu kawasan penangkapan ikan yang
Analisa water..., Nisa Logana Miranti, FT UI, 2014
dilakukan oleh nelayan Desa Manggar (sekitar 42 km dari lokasi sumur), kawasan pemukiman Desa manggar (jarak terdekat dari lokasi sekitar 60 km), kawasan terumbu karang di sekitar pesisir Teluk Balikpapan (jarak terdekat dari lokasi sekitar 76 km), dan kawasan hutan bakau di sekitar Teluk Balikpapan (jarak terdekat dari lokasi sekitar 76 km). Komponen biologis yang berpotensi terkena dampak adalah plankton, meningat kedalaman perairan mencapai 295 m. b. Karakterisasi Pemaparan Pemaparan logam berat dan KCl yang terdapat pada limbah WBM terhadap lokasi studi kasus yaitu melalui badan air dan makanan. Sesuai dengan pengujian TCLP dan LC50 – 96 jam pada peneliian ini substansi yang diperhatikan adalah Cu, Pb, Ag, dan KCl, maka keempat substansi ini yang akan menjadi fokusan karakterisasi. Rute pemaparan Cu terhadap makhluk hidup yaitu dengan cara teradsobrsi kulit, kontak mata, pernapasan, dan pencernaan dengan jangka waktu biodegradasi jangka panjang (ScienceLab.com, 2013). Untuk Pb rute pemaparannya terhadap makhluk hidup yaitu dengan cara teradsorbsi kulit, pernapasan, dan pencernaan dengan dampak karsinogenik pada binatang (ACGIH) dalam (ScienceLab.com, 2013) dan memungkinkan pada manusia (IARC) dalam (ScienceLab.com, 2013). Ag memiliki rute pemaparan terhadap makhluk hidup yaitu dengan cara teradsorbsi kulit, pernapasan, dan pencernaan serta dapat menyebabkan kulit argyria (US Research Nanomaterials, 2010). Rute pemaparan KCl terhadap makhluk hidup yaitu melewati pencernaan (Broadley James Corporation, 2000).
Analisa water..., Nisa Logana Miranti, FT UI, 2014
Gambar 12. Framework Ecological/Environmental Risk Assessment Sumber: www.epa.gov, 2014
c. Karakterisasi Dampak Sesuai dengan pengujian LC50 – 96 jam, LC50 Formula Bmin-Kmin adalah 44.058 ppm dan untuk Formula Bmax-Kmax adalah 13.269 ppm. Berdasarkan Permen ESDM No. 45 Tahun 2006 batas konsentrasi LC50 - 96 jam yang aman bagi kehidupan perairan yaitu lebih besar sama dengan 30.000 ppm. Berdasarkan Wojtanowicz (1991) dalam Reis (1996) konsentrasi LC50 – 96 jam dari WBM KCl – Polymer PHPA yang aman untuk kehidupan perairan adalah 33.000 ppm. Untuk itu,Formula Bmin-Kmin aman untuk kehidupan perairan jika digunakan, dan sebaliknya dengan Formula Bmax-Kmax. Konsentrasi KCl yang tinggi dapat menyebabkan dampak yang fatal bagi organisme perairan terutama embrio dan fetus, dikarenakan dapat mengiritasi mata, kulit, dan sistem respirasi. Nilai LC50 dengan salinitas tinggi yaitu 1.000 mg/l (Mount dkk, 1993) dalam (Reis, 1996). Dampak yang muncul pada pemboran off-shore dari penggunaan WBM ini adalah pada saat pembuangan limbah lumpur bor dan cutting. Pembuangan ini secara fisik dan ekologi dapat mempengaruhi organisme benur dengan mengubah karakteristik tipe sedimen yang terdapat pada perairan tersebut. Cutting juga dapat menipiskan telur ikan atau kepiting di perairan dan invertebrata lainnya seperti clam dan scallop. (Raychaudhury dan Santhost, 2013). Sesuai dengan hasil pengujian, terbbukti bahwa after hot-rolled WBM yang berperan sebagai limbah lumpur bor dapat menurunkan konsnetrasi oksigen terlarut yang bisa mematikan biota air yang terdapat di perairan terkait. Dampak kronis yang terjadi dari kontaminasi logam berat pada limbah lumpur bor dapat terakumulasi dalam sedimen dan menyebabkan perubahan tingkat komunitas yaitu beberapa tingkat organisme yang dapat beradaptasi akan hadirnya polutan tersebut, namun ada beberapa yang sensitif. Berdasarkan lokasi studi kasus, maka pemakaian WBM ini dapat berpotensi memengaruhi plankton dan orgnasime air lain pengonsumsi plankton. Dampak ini akan menyebar dalam jangka waktu yang lama tergantung dari mobilitas rantai makanan dari plankton itu sendiri yang dapat dijelaskan pada Gambar 13.
Analisa water..., Nisa Logana Miranti, FT UI, 2014
Gambar 13. Skema Mobilitas Kontaminan Limbah Lumpur Bor dan Cutting yang Dimodifikasi Berdasarkan Kondisi Lingkungan
d. Karakterisasi Resiko Untuk menentukan kategori resiko yang dapat dihasilkan dari after hot-rolled WBM hasil uji, maka digunakan metode quotient (Landis, Sofield, dan Yu; 2011).
Nilai 30.000 ppm diambil dari standar baku mutu nilai LC50 – 96 jam dari Permen ESDM No. 045/2006. Sesuai dengan quotient-nya dapat disimpulkan Formula Bmin-Kmin memiliki resiko yang rendah dan Formula Bmax-Kmax memiliki potensi reiko atau resiko yang tinggi sesuai dengan ketentuan dari Landis, Sofield, dan Yu (2011). Tabel 5. Kategori Resiko Berdasarkan Quotient Quotient Resiko >1 Berpotensi resiko atau beresiko tinggi =1 Berpotensi resiko <1 Resiko rendah
Dikarenakan ini merupakan studi kasus dan belum ada penelitian lapangan yang mengaplikasikan Formula yang diuji, maka konsentrasi akhir setelah pemaparan after hot-rolled WBM belum diketahui. Namun, dari hasil pengujian LC50 – 96 jam terlihat bahwa Formula Bmin-Kmin layak untuk digunakan dan Formula Bmax-Kmax tidak layak digunakan untuk pengeboran off-shore. Hal ini dikarenakan Formula Bmin-Kmin memiliki quotient 0,68 dan Formula Bmax-Kmax memiliki quotient 2,26. Berdasarkan lokasi pengeboran yang berada dekat beberapa daerah sensitif, hal ini dikhawatirkan
Analisa water..., Nisa Logana Miranti, FT UI, 2014
dapat memberikan dampak buruk bagi lingkungan terkhususnya pada daerah penangkapan ikan yang bisa memberikan probabilitas kontaminan ini masuk ke rantai makanan dan memengaruhi penduduk sekitar lokasi pengeboran. Sesuai dengan hasil uji bahwa dapat mengurangi tingkat absorpsi air terhadap oksigen, maka hal ini dapat membuat keanekaragaman hayati biota air yang terkait menjadi berkurang. Berdasarkan jenis ikan yang sering dikonsumsi oleh penduduk Desa manggar selaku kawasa penduduk paling dekat dengan lokasi pengeboran, bioakumulasi dari toksikan yang terdapat pada limbah lumpur bor di tubuh plankton dapat memengaruhi hingga tingkat manusia. Konsentrasi KCl yang masih aman pada perlakuan invertebrata yaitu berada pada konsentrasi 565 mg/l dengan salinitas rata – rata 35 ppt (Vickers, 1990) dalam (Reis, 1996). Menurut Mclntyre dkk (2008) dalam Solomon (2009) pada salmon yang terpapar oleh Cu selama 30 menit pada konsentrrasi 20 µg/L, dapat terserap oleh tubuhnya sebanyak 82% pada jaringan pernapasan. Normalnya Cu yang terdapat pada darah manusia berada pada rentang 120 – 140 µg/L dan dapat menunjukkan toksisitas jika konsentrasinya berada lebih tinggi dari rentang tersebut (Bradl, 2005; Wright and Welbourn, 2002) dalam (Solomon, 2009).
Gambar 14. Estimasi Rantai Makanan pada Lingkup Studi Kasus
Analisa water..., Nisa Logana Miranti, FT UI, 2014
Selain itu konsentrasi Pb yang masih aman untuk manusia adalah 250 ppb, namun untuk anak – anak berada pada rentang 50 – 100 ppb. Pada ikan konsentrasi melebihi 100 ppb dapat memengaruhi fungsi insang (Wright and Welbourn, 2002) dalam (Solomon, 2009). Pada saat akumulasi konsentrasi Pb pada badan air meningkat mencapai 5 mg/L, konsentrasi Pb pada jaringan tubuh ikan meningkat mencapai 10 – 20 mg/L (Tulasi dkk, 1992) dalam (ATSDR, 2014). Sesuai dengan database EPA pada tahun 1975 – 1979 didapatkan rata – rata konsentrasi Ag pada jaringan ikan adalah 0,225 mg/kg (Byrne dan Deleon, 1986) dalam (ATSDR, 2014). Pada air yang terkontaminasi logam berat, konsentrasi yang terdapat pada Penaeus monodon untuk kebanyakan logam berat kurang dari 1 µg/g kecuali Zn yaitu > 2µg/g (Hashmi, Mustafa, dan Tariq; 2002). Sangat sulit untuk menentukan pola yang berhubungan antara konsentrasi logam berat pada media dengan konsentrasi logam berat pada jaringan udang windu tersebut. Dari hasil penelitian terdahulu yang membandingkan konsentrasi logam berat pada media perairan dengan udang windu yang terdapat di dalamnya, tidak ditemukan secara kuantitatif hubungan antara konsentrasi logam berat dari habitat dengan jaringan udang windu itu sendiri (Hashmi, Mustafa, dan Tariq; 2002). Selain itu selaku biota uji yaitu Penaeus monodon atau udang windu masuk ke dalam kategori Crustacea yang akan dikonsumsi oleh ikan hasil tangkapan dan juga masyarakat di sekitar Desa Manggar. Dalam hal ini, dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui konsentrasi toksikan yang terdapat pada ikan hasil tangkapan tersebut dan berapa yang akan terakumulasi jika dikonsumsi oleh manusia agar dapat mengarakterisasi resiko yang terjadi pada manusia pengonsumsinya.
5. Kesimpulan dan Saran Hasil dari penelitian pada WBM jenis KCl – Polymer PHPA yang merupakan hasil kombinasi aditif barit dan KCl selaku prioritas aditif untuk membentuk WBM ramah lingkungan adalah pada pengujian TCLP after hot-rolled WBM kandungan logam berat yang melewati baku mutu lingkungan pada Formula Bmin-Kmin adalah Cu (26,17 ppm) dan Pb (9,369 ppm), Formula Bmin-Kmax adalah Cu (39,74 ppm), Formula Bmax-Kmin adalah Cu (21,47 ppm), dan Formula Bmax-Kmax adalah Cu (31,7 ppm). Pada pengujian LC50 – 96 jam WBM dengan Formula Bmin-Kmin memiliki nilai LC50 memenuhi baku mutu lingkungan sebesar 44.058 ppm dan Formula Bmax-Kmax memiliki nilai LC50 yang tidak memenuhi baku mutu lingkungan sebesar 13.269 ppm. Faktor toksisitas WBM adalah tingginya kandungan logam berat pada Barit, efek peningkatan salinitas akibat kandungan KCl, dan menurunnya
Analisa water..., Nisa Logana Miranti, FT UI, 2014
kandungan oksigen terlarut. Sesuai dengan kondisi lapangan di Sesulu, Selat Makassar, dan Desa Manggar sebagai pemukiman terdekat dari lokasi, dampak lingkungan yang dapat terjadi yaitu berpotensi mengontaminasi plankton yang akan berbahaya jika masuk ke dalam rantai makanan. Pemaparan yang paling signifikan adalah jalur pencernaan dan dapat beresiko mengurangi tingkat absorpsi air terhadap oksigen. Referensi
ALS Environmental. 2000. Leachate Analysis Amoco Corporation. 1975. Amoco Production Company Drilling Fluids Mannual. API 13B1. Recommended Practice for Field Testing Water-Based Drilling Fluids. American Petroleum Institute, Washington, D.C.,3rd ed. November 2003. ATSDR. Potential of Human Exposure (Lead). (http://www.atsdr.cdc.gov/toxprofiles/tp13c6.pdf) diakses pada tanggal 27 Juni 2014 pada pukul 11.14 WIB ATSDR. Potential of Human Exposure (Silver). (http://www.atsdr.cdc.gov/toxprofiles/tp146c5.pdf) diakses pada tanggal 27 Juni 2014 pada pukul 11.42 WIB Baroid Company. 1997. Baroid Fluids Handbook Mud Testing Bleler R. 1990. Selecting a Drilling Fluid. Society of Petroleum Engineer Broadley James Corporation. 2000. Material Safety data Sheet Potassium Chloride Solution. Thomas. Irvine CA Burden, P., dkk. 2013. Drilling Fluid Selection Methodology for Environmentally Sensitive Areas. Belanda : SPE/IADC Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. 2006. Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral No. 45 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Lumpur Bor, Limbah Lumpur, dan Serbuk Bor pada kegiatan Pengemboran Minyak dan gas Bumi. Jakarta: Departemen ESDM Effendi H, Utama B.A, dan Wardiatno Y. 2011. Toksisitas Limbah Pengeboran Minyak Terhadap Benur Udang Windu (Penaeus monodon). Bogor : Indonesia Hashmi, M.I., Mustafa, S., dan Tariq, S.A. 2002. Heavy Metal Concentrations in Water and Tiger Prawn (Penaeus monodon) from Grow-out Farms in Sabah, North Borneo. Malaysia. Elsevier Science Ltd. Landis, W.G., Sofield, R.M., dan Yu, M.H. 2011. Introduction to Environmental Toxicology Molecular Substructures to Ecological Landscapes. CRC Press. Taylor & Francis Group Lehigh Environmental. 2011. The Investigation of Fish Habitat. Pennsylvania : Lehigh University Mahto, V dan Sharma, V.P. 2004. Rheological study of a water based oil well drilling fluid. India : Elsevier B.V Mansyur. 2004. Toxicology Effek – Effek yang Tidak Diinginkan. Indonesia : Universitas Sumatera Utara Mulyono, M, dkk. 1996. Heavy Metals in Water Base Drilling Muds used in Several Locations of Oil Fields in Indonesia. Indonesia : Society of Petroleum Engineer Ossai,C.I, dkk. 2010. An Appraisal of Soil Pollution in Oil and Gas Production Environment : A Case Study of Heavy Metal Concentration in Ebocha and Akri Oil Fields. China : Society of Petroleum Engineer PPPTMGB Lemigas. 2014. Formula KCl-Polymer PHPA dengan Suhu 250oF. Jakarta: Indonesia PPPTMGB Lemigas. 2014. Pengujian TCLP Lumpur Bor Bekas dan Cutting Mi Swaco. Jakarta: Indonesia
Analisa water..., Nisa Logana Miranti, FT UI, 2014
Raychaudhury. A dan Santhost. N. 2013. Risk Assessment and Mitigation Strategies for “ Off Shore Drilling” & “Up-Stream Activities” in The Oil & Gas Sector. SCHMRD : Pune Reis, J.C. 1996. Environmental Control in Petroleum Engineering. Houston, Texas : Gulf Publishing Company. Rubiandini, R. 2011. Teknik Operasi Pemboran I. Indonesia Sawyer, C., McCarty, P., dan Parkin, G. 2002. Chemitry for Environmental Engineering and Science. McGraw Hill Schaaning, M.T, dkk. 2010. Metal partitioning in llminite and barite based drill cuttings on seabed sections in a mesocosm laboratory. Brazil : Society of Petroleum Engineer ScienceLab.com. 2013. Material Safety Data Sheet Copper. Houston : Texas ScienceLab.com. 2013. Material safety Data Sheet Lead. Houston : Texas Soegianto A, Irawan B, dan Affandi M. 2008. Toxicity of Drilling Waste and Its Impact on Gill Structure of Post Larvae of Tiger Prawn (Penaeus monodon). Surabaya : Indonesia. IDOSE Publications Soleymani, M.R. dan Azadi B. 2013. Environmental Risk Assessment of Iranian Drilling Industry: Deficiencies in Regulations of national Iranian Drilling Company. Iran. Petrotex : American Journal of Oil and Chemical Technologies Solomon F. 2009. Impacts of Copper on Aquatic Ecosystems and Human Health. MINING.com Stumm, W. dan Morgan J.J. 1996. Aquatic Chemistry. New York. John Wiley & Sons, Inc Unocal. 2003. UKL-UPL Pemboran Eksplorasi Sumur Bangau #1 di Sesulu PSC, Selat Makassar. Jakarta : Lemigas US Reseaarch Nanomaterials. 2010. Silver Nanoparticles (Ag). Hoston. Texas USEPA. 1992. Toxicity Characteristic Leaching Procedure Method 1311 USEPA. 2012. Turbidity, Monitoring, and Assessment. (http://water.epa.gov/type/rsl/monitoring/vms55.cfm) diakses pada tanggal 2 Juni 2014 pada pukul 01.40 WIB USEPA. 2014. Framework Ecological/Environmental Risk Assessment. (http://www.epa.gov) diakses pada tanggal 2 Juni 2014 01.13 WIB Wang, L.K., dkk. 2009. Heavy Metals In The Environment. Boca Raton : Taylor & Francis Group, LLC. Wright, D.A dan Welbourn, P. 2002. Environmental Toxicology. United Kingdom : Cambridge University Press. Hal 21 dan Hal 320 – 346
Analisa water..., Nisa Logana Miranti, FT UI, 2014