AKU MERASA AMAT DICINTAI Sudah hampir satu jam aku berdiri di depan cermin kamarku. Merapikan jilbab, pakaian dan sepatu. Kebiasaan baruku semenjak resmi menjadi warga kota ini. Ya, aku warga baru disini. Baru 2 bulan. Aku diterima disalah satu perguruan tinggi negeri ternama di Indonesia. Aku masih ingat saat pertama kali menemukan namaku di surat kabar. Sungguh perasaan luar biasa yang tidak mampu aku lukiskan. Betapa bahagianya kedua orang tuaku saat aku menceritakan pada mereka bahwa aku diterima, mengingat aku adalah anak satu-satunya dari ayah dan ibuku. “Put?”, terdengar suara seseorang dari balik pintu kamarku yang membuyarkan lamunanku. Dari suaranya aku yakin dia adalah Dita, teman dekatku sejak hari pertama aku datang di kota ini. “Ya, tunggu sebentar.”, jawabku singkat seraya meraih tas dan membuka pintu kamar. “Wah! seperti biasa, cantik”, ujar Dita. Aku hanya bisa tersenyum sambil mengunci pintu kamar. Ini sudah kesekian kalinya aku mendengar orang lain memuji parasku. Aku memang beruntung, aku dilahirkan dengan kulit putih, dan berwajah cantik, perawakanku juga sangat proporsional untuk remaja putri seusiaku. Aku dan Dita segera keluar dan mempercepat langkah kami karena waktu sudah menunjukkan pukul 9.40 dan kelas kami dimulai pukul 9.50. Jarak rumah kontrakanku dan Dita dengan kampus hanya berjarak 5 menit jalan kaki. Kami sengaja memilih tempat tidak terlalu jauh dengan kampus agar tidak menghabiskan banyak energi. Kaki kami sudah mencapai lantai gedung fakultas kami. Terpaan udara dingin gedung ini sedikit menyejukkan badanku yang mulai gerah setelah diajak berduel dengan panasnya cuaca hari ini.
Taqiyah Dinda Insani_FEB_UA
“Hai Putri!”, sapa beberapa teman padaku. Satu lagi yang kusuka dari tempat ini. disini aku terkenal, mungkin karena aku cantik, atau mungkin karena mareka memang ramah, yang jelas, disini aku merasa berharga. Sekitar 2 menit kemudian aku sudah berada di kelas dan duduk di kursiku. Seperti biasa, Dita selalu duduk disampingku. Dosen belum datang, dan sudah bisa dipastikan dalam keadaan seperti ini kelas akan riuh dengan suara mahasiswa. “Putri, nanti sepulang kuliah ada acara tidak?”, tanya Rei padaku sambil mengambil posisi duduk di bangku yang masih kosong di sampingku. Sontak kelasku menjadi hening, sesaat kemudian kembali bergemuruh dengan sorakan pada kami berdua. Wajar, Rei adalah salah satu mahasiswa baru paling populer di kampusku, apa lagi alasannya kalau bukan karena dia kaya dan tampan. “Sepertinya kosong, ada apa?”, jawabku singkat karena agak risih dengan sorakan teman-teman sekelasku yang semakin menjadi-jadi. “Mm… aku mau mengajak kamu keluar siang ini. Sekalian makan bersama.”, katanya lirih. “Tapi aku ajak Dita ya?”, jawabku sambil tersenyum pada Rei. Rei memandang ke arah Dita, terdiam sejenak, lalu mengiyakan permintaanku. Setelah itu dia segera bangkit dan kembali ke kursinya dengan ekspresi wajah yang sukar untuk kuterka apa maknanya. Teman-teman semakin gaduh menyoraki kami berdua, tapi semua kembali tenang katika Bu Ira, dosen kami, memasuki ruang kelas. Kuliah hari ini berjalan seperti biasa, seperti hari-hari sebelumnya. Dan seperti biasa pula aku memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Aku punya alasan kuat untuk menjalankan pendidikanku ini dengan sungguh-sungguh. Tentu saja godaan untuk mengesampingkan kuliah dengan mengikuti beragamnya pergaulan anak-anak di kota ini cukup kuat untuk menggoyahkanku. Namun setiap kali teringat wajah rang tuaku di kampung yang sekarang pasti sedang berusaha keras untuk membiayai kuliahku, aku tak sanggup untuk menghianatinya.
Taqiyah Dinda Insani_FEB_UA
Tak terasa lembar demi lembar bukuku telah terisi penuh dengan catatan-catatan yang kubuat dari penjelasan Bu Ira. Dita yang sedari tadi terlihat gelisah, mungkin karena sudah jenuh dengan kelas ini mulai membuat coretan-coretan yang sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya dengan mata kuliah kali ini pada buku catatannya sambil sesekali melirik jam dinding yang tergantung tepat di atas papan tulis. “Sabar! Masih 15 menit lagi”, bisikku pada Dita. Dan dia hanya bisa tersenyum kecut padaku. Mungkin baginya 15 menit terasa seperti satu jam. Aku tahu pasti Dita tidak begitu menyukai mata kuliah ini. “Baiklah Saudara-saudara, saya rasa sekian dulu untuk hari ini. Selebihnya silahkan Anda dalami secara mandiri.” Kata Bu Ira kemudian yang disambut dengan helaan nafas panjang dari sebagian besar mahasiswa di ruangan ini. “Aduuhhh, akhirnya selesai juga...”, kata Dita sambil menumpukan seluruh berat tubuhnya pada sendaran kursi. Aku masih merapikan buku dan kertas catatanku hari ini, ketika Rei tiba-tiba sudah berada di depan bangkuku dan bertanya,”Put, pergi sekarang yuk!” “Sholat dulu ya?”, pintaku padanya. “Hmm, boleh. Aku tunggu kamu di bawah ya?”, jawab Rei. “Sama Dita”, selorohku padanya. Yang kemudian disambut dengan anggukan kepala oleh Rei dan dia segera menghilang dibalik pintu kelas. “Put, aku yakin Rei itu bermaksud kencan dengan kamu hari ini. Kenapa harus mengajak aku segala sih?” Tanya Dita sambil mendekatkan wajahnya kearahku. “Kamu seperti baru kenal aku saja.”, jawabku singkat sambil mencolek dagu Dita,”Yuk sholat!” Kami langsung melangkahkan kaki menuju masjid kampus yang letaknya tak terlalu jauh dengan gedung fakultas kami. Sesampainya disana aku segera
Taqiyah Dinda Insani_FEB_UA
mangambil air wudhu dan segera menunaikan salah satu kewajibanku pada Sang Pencipta. Seusai sholat aku dan Dita segera menemui Rei yang ternyata sudah siap dengan mobilnya di depan masjid. Aku segera masuk mobil dan duduk di kursi depan, di samping Rei, sedangkan Dita duduk di bangku belakang. Selama lima menit awal perjalanan kami bertiga dimakan sepi, belum ada satupun dari kami yang mulai mengangkat pembicaraan, sampai akhirnya Rei bertanya, ”Putri, kamu mau makan dimana?” “Terserah kamu, kan kamu yang mengajak.”, jawabku sambil sedikit menoleh kearahnya. “Tapi kan aku mau kamu yang memilih tempatnya.” “Terserah kamu saja Rei.” “Duuuhhh, kalian berdua ini ribet banget sih. Mau makan saja repot. Sudah, makan di foodcourt mall depan tuh, biar dekat.” Potong Dita yang kelihatannya agak kesal dengan tingkahku dan Rei, yang kemudian Rei langsung menolehkan kepala hingga Dita berada dalam jangkauan matanya dan berkata,”Kamu sudah lapar sekali ya Dit? hahaha” Rei segera merapatkan mobilnya ke arah pintu masuk tempat parkir. Beberapa saat kemudian kami telah mendapat tempat parkir dan kami segera menuju foodcourt untuk makan siang. Aku sudah duduk di kursiku dan tinggal menunggu Rei membawakan pesanan kami. Aku menunggu sambil memperhatikan sekitar. Dari semenjak pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, aku sering melihat anak-anak remaja seusiaku memakai celana ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya. Kalau kutanya pada teman-temanku mereka bilang lebih terlihat seksi jika menggunakan calana seperti itu. Yah, tidak hanya mereka, akupun juga berpikir demikian. Namun itu sangat berbeda dengan styleku.
Taqiyah Dinda Insani_FEB_UA
“Hei, bengong saja. Sedang memikirkan apa?” Tanya Rei sambil meletakkan makanan kami di atas meja yang langsung disambut tangan-tangan laparku dan Dita. “Tidak, mereka itu lho, kok bisa PD ya memakai pakaian seperti itu. Apa tidak sesak?”,kataku sambil memulai menyendok makananku. Dan kedua temanku ini reflek mengedarkan pandangannya. “Kalau kamu penasaran, lebih baik kamu coba saja Put? Kalau aku lihat sih sepertinya kamu tambah cantik jika memakai pakaian seperti itu.”, sahut Rei. “Iya Put, coba aja sekali-kali, seperti aku nih, pakaian seperti yang kamu pakai sekarang itu sudah bukan jamannya lagi. Yang modern itu ya yang sekarang sedang banyak dikenakan anak-anak muda.”,tambah Dita. Aku tetap meneruskan makanku tanpa menggubris dialog yang kemudian berlangsung diantara Dita dan Rei dan masih membahas masalah pakaian. Setelah kami selesai makan kami langsung kembali ke tempat parkir kemudian Rei mengantar aku dan Dita pulang. “Wah! Makasih ya Rei untuk traktirannya hari ini? Sering-sering saja mengajak makan bareng”, kata Dita pada saat turun dari mobil Rei, karena sudah sampai di depan rumah, sambil tersenyum jahil pada Rei yang sedang melongokkan kepalanya dari jendela mobil. “Kalau bukan karena Putri yang minta, kamu tidak akan aku ajak tahu”, balas Rei yang selanjutnya disambut tawa renyah kami bertiga. “Terimakasih ya Rei, kalau begitu aku dan Dita masuk dulu ya? Sampai besok!”, kataku “Sip deh. Sampai besok!”, jawab Rei yang kemudian mulai menjauhi rumah kami dan menghilang di tikungan depan. Sesaat kemudian aku dan Dita sudah berada dalam rumah dan kami segera mandi dan sholat ashar. Setelah sholat aku dan Dita duduk bersantai di depan TV.
Taqiyah Dinda Insani_FEB_UA
“Dit aku mau tanya sama kamu”, kataku membuka pembicaraan. “Tanya saja” “Soal baju, aku jadi ingin mencoba memakai baju seperti yang biasa kamu pakai”, kataku sambil menoleh ke arah Dita. “Wah! Boleh-boleh. Kapan kamu mau cari baju, atau nanti saja setelah maghrib, aku temani deh.”, kata Dita bersemangat, yang kemudian aku iyakan. Setelah sholat maghrib aku berangkat ke mall yang tadi siang aku datangi bersama dengan Dita. Di sana ia membantuku memilih baju dan celana, karena pengetahuanku masih sangat minim untuk masalah fashion. Kali ini Dita membelikanku 2 setelan lengkap dengan sepatu baru, yang aku baru tahu namanya hari ini yaitu high heels. Sesampainya di rumah aku langsung tidur mengingat besok aku ada kuliah pagi. Pagi ini aku dibantu Dita memakai baju baruku. Yang aku rasakan adalah, kesulitan luar biasa saat mengenakan celana jeans baruku. Tidak semudah aku memakai rok. Setelah selesai aku kembali memperhatikan bayangan dalam cermin di hadapanku. “Aku jadi merasa kurang percaya diri dengan dandanan seperti ini.”, bisikku. “Sudahlah, itukan katamu, cantik kok. Lebih cantik malah”, rayu Dita. Lalu kami segera berangkat menuju kampus. Sungguh diluar perkiraanku, setiap teman-teman yang berpapasan denganku mereka semua memujiku dengan mengatakan bahwa aku terlihat cantik hari ini. Dan itu sangat membuatku senang. Semenjak hari itu aku selalu berusaha mengikuti fashion, termasuk skinny jeans sekarang menjadi favoritku. Kemanapun aku pergi aku tak pernah lupa memakainya. Itu berjalan menyenangkan hingga hari kelulusanku. Akhirnya aku akan pulang ke tempat kelahiranku untuk bertemu dangan ayah dan ibuku yang
Taqiyah Dinda Insani_FEB_UA
sudah 4 tahun terakhir tidak pernah bertemu. Dan betapa terkejutnya kedua orang tuaku saat melihat penampilanku yang mungkin amat jauh dari bayangan mereka. Sesampainya dirumah ayah segera menarikku ke dalam dan menceramahi aku habis-habisan. Ibu yang sependapat dengan ayah tetapi juga tampak kasihan melihatku dimarahi oleh ayah, hanya bisa diam di salah satu sudut ruang tamu. “Ayah malu Putri! Malu melihat kamu berpakaian seperti ini! Ayah juga malu sama tetangga! Disekolahkan tinggi-tinggi malah jadi seperti ini!” kalimat yang serupa terus-menerus menggetarkan gendang telingaku. Sudah terlalu jenuh sontak aku membentak ayah,”Ini mode Yah! Jaman sekarang sudah tidak cocok lagi memakai seperti apa yang Ayah ajarkan! Ayah kolot!”, aku meraih tasku dan keluar meninggalkan rumah. Aku kembali menuju terminal untuk kembali ke kota. Aku masih amat merasa bersalah pada ayah. Padahal sudah satu tahun semenjak hari itu. Hari ini aku bertemu dengan Rei yang tak pernah kulihat sejak hari kelulusan. Aku pergi berdua dengannya. Dia sekarang agak berbeda. Tampak lebih lembut dari sebelumnya. Aku mendengar, setelah diwisuda Rei meluluskan keinginan orang tuanya untuk belajar agama. Aku menceritakan apa yang terjadi pada Rei, berharap dia bisa membantuku menyelesaikannya, mengingat dia jugalah yang dulu memberiku saran untuk memakai pakaian seperti ini. Diluar dugaan, Rei malah meminta maaf karena memberi saran buruk padaku dulu. Dia juga menasehatiku untuk kembali memakai pakaian yang longgar yang seperti dulu aku kenakan saat pertama kali masuk perguruan tinggi. Rei mengungkit soal hukum-hukum islam. Sama persis seperti yang ayah katakan padaku. Aku kesal Rei tidak mendukungku. Aku langsung berdiri dan pamit padanya. Aku tetap pada pendirianku, yaitu tetap menggunakan pakaian-pakaian semacam ini. Sampai akhirnya aku merasa ada yang salah pada perut bagian bawah. Aku pergi ke dokter untuk memastikan bahwa aku baik-baik saja.
Taqiyah Dinda Insani_FEB_UA
“Apa Anda sudah menikah?”, Tanya dokter itu padaku. “Belum dok, kenapa?”, kataku dengan suara tercekat. Kemudian kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir dokter cantik itu seolah melumpuhkan semua syaraf yang ada ditubuhku, melemaskan semua ototku, aku tak percaya pada apa yang kudengar. Aku mengalami kemandulan. Penyebabnya adalah keputihan yang sering aku alami yang dikarenakan terlalu sering mengenakan celana ketat. Aku nyaris pingsan. Pikiranku kembali pada kata-kata ayah, kata-kata Rei. Aku mengabaikan nasehat mereka. Saat aku kembali ke rumah, aku merapikan semua pakaianku yang ketat. Mengeluarkan kembali pakaian lamaku. Aku kembali menumpahkan air mataku. Aku segera mambawa beberapa baju dan pergi ke terminal untuk pulang bertemu ayah dan ibu dengan maksud memohon maaf pada mereka. Sesampainya di sana ayah dan ibu terlihat jauh lebih kurus. Mereka menangis bahagia melihatku pulang, terlebih dengan pakaian yang setidaknya lebih sopan dibandingkan dengan kepulanganku yang terakhir. Aku disana hanya selama 3 hari, karena Senin aku sudah harus mulai bekerja kembali. Dan aku tak menceritakan soal permasalahanku pada mereka. Aku takut membebani perasaan mereka. Saat aku kembali ke kantor, aku langsung di panggil atasanku. Dia menyuruhku mengganti pakaian seperti biasanya, Atasanku berkata bahwa tidak pantas untuk pekerjaanku memakai pakaian demikian, karena aku adalah seorang sekretaris direktur utama. Kemudian aku menolaknya dengan halus. Atasanku merasa tersinggung dengan penolakanku. Lalu aku diberi 2 pilihan, ingin tetap bekerja disini dengan berpakaian seperti biasanya, atau aku diberhentikan. Tentu saja aku tetap menolak untuk mengganti pakaianku, dan saat itu juga aku dipecat dari pekerjaanku. Aku sedang duduk di bangku taman salah satu masjid besar di kota ini. Saat ini aku merasa sedang berada di dasar roda kehidupanku. Aku merasa beban di pundakku ini sangat amat luar biasa beratnya. Aku masih merenung ketika aku
Taqiyah Dinda Insani_FEB_UA
merasakan sebuah tepukan mendarat di pundakku. Sedetik kemudian aku menoleh ke arah asal tepukan tersebut. “Rei?” “Kamu kenapa?”, dan kemudian dia begitu setia mendengarkan keluh kesahku. Aku senang Rei ada disini saat ini. Setidaknya ada orang yang bisa kuajak bicara. Tapi tentu saja aku tak menceritakan soal kondisi kesehatanku padanya. Setelah puas mengobrol dengan Rei aku pamit untuk kembali ke rumah. Menikmati harihari terakhir di kota ini karena aku sudah memutuskan untuk mengabdikan diri di kampung halamanku. Saat aku sedang asyik memandangi butiran-butiran air hujan dijendela rumahku hand phoneku berdering. Ada panggilan dari ayah. Ada apa ya? Begitu pikirku. Betapa terkejutnya aku mendengar apa yang ayah katakan dari sebrang sana. Ayah memintaku untuk segera kembali ke desa karena ada seseorang yang melamarku. Tidak biasanya ayah seantusias ini. Ayah bilang detilnya akan ayah ceritakan saat aku tiba disana. Aku kembali merasa tertekan. Aku tak tahu apa yang sebaiknya aku lakukan. Saat ini aku hanya bisa pasrah kepada Allah. Saat aku telah sampai di rumahku di kampung, ayah menghadiahkanku pakaian yang amat cantik. Ayah bilang malam ini ayah akan mempertemukan aku dengan orang yang ayah maksud. Malam ini aku benar-benar merasa akan ditelan bumi. Aku berusaha menenangkan diri. Sesaat kemudian masuklah beberapa orang ke dalam rumah mungil ini. Dan aku mengenal dengan baik siluet salah satu orang yang masuk ke dalam ruangan ini. Rei. Apa yang dia lakukan disini? Seingatku aku tak pernah memberikan alamatku padanya. Pertanyaanku segera terjwab saat ayah berkata bahwa Reilah yang melamarku. Rei adalah putra dari sahabat ayah dulu. Mungkin itu alasan kenapa ayah begitu bersemangat. Berbeda denganku. Aku memang menyimpan rasa padanya. Tetapi tidak mungkin dengan keadaanku sekarang.
Taqiyah Dinda Insani_FEB_UA
Setelah mereka menyampaikan maksud kedatangan mereka kemari, aku meminta diberi waktu berbicara berdua dengan Rei. Aku mengajak Rei ke teras rumah. Disana aku menceritakan semua yang terjadi pada diriku agar tak terjadi penyesalan dikemudian hari. Airmataku mengalir deras mengiringi setiap kalimat yang keluar dari bibirku. Dan sulit aku percaya. Rei menerimaku dengan semua kekuranganku. “Allah tidak akan meninggalkan hambaNya yang berusaha kembali padaNya. Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan hambaNya”, begitu kata Rei. Satu bulan kemudian Rei mengikrarkan janji suci di hadapan Allah dan orang tua kami. Pernikahan kami berlangsung sangat meriah. Tetapi tidak oleh hatiku. Aku amat tidak tenang. Aku merasa bersalah pada semua orang yang hadir disini. Tetapi lagi-lagi Rei mampu menenangkan hatiku. Sejak hari itu aku berpasrah diri kepada Allah. Memohon ampunanNya. akupun selalu mengingat kata-kata yang Rei selalu bisikkan padaku ‘Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi kemampuan hambaNya’ Namun hatiku merasa telah tak sanggup menerima cemoohan orang tentangku. Sudah 2 tahun usia pernikahan ini, dan aku belum diberi keturunan. Sangat menyakitkan hati setiap kali mendengar gunjingan orang. Terlebih saat melihat orang tuaku disindir oleh para tetangga. Suatu malam aku tak bisa tidur, mungkin sesaknya hati ini sudah tak mampu aku bendung. Aku menangis di hadapanNya meminta diberikan pengampunan dan penyudahan ujian ini. Dan tak bisa kupercaya, hari ini, 2,5 tahun setelah pernikahan, aku dinyatakan positif hamil. Aku akan memiliki keturunan. Sungguh. Aku tak bisa menghentikan derasnya airmataku. ‘Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan’. Hari ini, aku merasa ingin berteriak pada dunia, mengikrarkan kecintaanku padaNya. Dengan adanya hari ini, Aku merasa amat dicintai. Oleh Taqiyah Dinda Insani
Taqiyah Dinda Insani_FEB_UA