AKTUALISASI NILAI BUDAYA LOKAL DALAM KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN DI KOTA PALOPO Skripsi S-1 Program Studi Ilmu Pemerintahan
Oleh:
FAHRI REZKI RAHMAN E 121 08 006
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013
LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI
AKTUALISASI NILAI BUDAYA LOKAL DALAM KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN DI KOTA PALOPO Yang Diajukan Oleh : FAHRI REZKI RAHMAN E 121 08 006
Telah Disetujui Oleh: Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. H. A. Gau Kadir, M.A 19501017 198003 1 001
Dr. Muh. Tamar, M.Psi. 19641231 199002 1 004
Mengetahui,
Ketua Jurusan Politik/Pemerintahan FISIP UNHAS
Dr. H. A. Gau Kadir, M.A 19501017 198003 1 001
LEMBARAN PENERIMAAN Skripsi AKTUALISASI NILAI BUDAYA LOKAL DALAM KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN DI KOTA PALOPO yang dipersiapkan dan disusun oleh FAHRI REZKI RAHMAN E 121 08 006 telah diperbaiki dan dinyatakan telah memenuhi syarat oleh panitia ujian skripsi pada Program Studi Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar, pada hari Jumat, 05 Juli 2013 Menyetujui : PANITIA UJIAN Ketua
: Dr. H. A. Gau Kadir, M.A.
(
)
Sekretaris
: Rahmatullah, S.IP, M.Si.
(
)
Anggota
: Dr. H. A. Syamsu Alam, M.Si.
(
)
Anggota
: Dr. Muh. Tamar, M.Psi
(
)
Anggota
: Drs. A. M. Rusli, M.Si
(
)
Pembimbing I
: Dr. H. A. Gau Kadir, M.A.
(
)
Pembimbing II
: Dr. Muh. Tamar, M.Psi
(
)
KATA PENGANTAR “Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh” Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkah dan limpahan nikmat serta rahmat-Nya, sehingga skripsi yang berjudul
Aktualisasi
Nilai
Budaya
Lokal
Dalam
Kepemimpinan
Pemerintahan di Kota Palopo dapat penulis selesaikan. Ibarat pepatah, tak ada mawar yang tak berduri, penulis menyadari sepenuhnya bahwa di dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi teknik penulisan maupun dari segi isinya. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis butuhkan demi penyempurnaan berikutnya. Pada kesempatan ini pula, penulis tak lupa menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1.
Kedua Orang Tuaku tercinta Ayahanda Drs. Machmuddin dan Ibunda St. Juharni. Yang tak pernah lelah mencurahkan limpahan kasih sayang, cinta, pengorbanan, dan do’a yang tiada henti kalian panjatkan untuk ananda. Maafkan jika ananda selalu membuat ayah dan ibu sedih atau marah. Semoga Allah senantiasa memberikan limpahan rahmat dan keselamatan untukmu. Kepada saudara-saudaraku, serta seluruh keluarga besarku yang telah memberikan dukungan dan bantuan yang begitu besar sehingga segalanya dapat terselesaikan.
2.
Prof. Dr. dr. Idrus Patturusi, Sp. Bo, FICS, selaku Rektor Universitas Hasanuddin yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan studi Strata Satu (S1) di Kampus Universitas Hasanuddin.
3.
Prof. Dr. Hamka Naping, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Hasanuddin beserta seluruh stafnya.
4.
Dr. H. A. Gau Kadir, MA, selaku Ketua Jurusan Ilmu Politik Dan Ilmu Pemerintahan FISIP UNHAS beserta seluruh stafnya.
5.
Bapak Dr. H. A. Gau Kadir, M.A selaku pembimbing I dan Bapak Dr. Muh. Tamar, M.Psi selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
6.
Kepada para penguji yang telah menguji penulis dalam ujian hasil penelitian, di ucapkan banyak terima kasih.
7.
Segenap Dosen pengajar dan staf pegawai di lingkungan FISIP UNHAS khususnya jurusan Ilmu Pemerintahan yang pernah memberikan ilmu dan bantuan kepada penulis.
8.
Yang tersayang Radiyatullah S. Kom, atas seluruh dorongan, dukungan dan bantuan yang sangat besar kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT membalas segala yang telah kau berikan kepada penulis dan dapat dibukakan pintu jodoh bersama dengan penulis.
9.
Kepada segenap Keluarga Bapak Dr. Johansyah Mansyur, M.Si dan Ibu Prof. Dr. Indar Arifin, M.Si atas bimbingan dan bantuannya kepada penulis bersama dengan kanda Oki dan adinda Olan, di ucapkan banyak terima kasih.
10. Sahabat karibku Zulfadli Ramli dan Rafika yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis selama menjalani proses kuliah sampai dengan saat ini. Semoga engkau cepat selesai juga kawanku. Dan saudariku Lidyana M. Djufri bersama dengan keluarga kecilnya atas dukungannya kepada penulis, semoga engkau menjadi keluarga yang sakinah dan mawaddah, serta dikaruniai seorang anak perempuan. Dan selamat dalam persalinan. 11. Keluarga besar Alumni MTs.N Model Palopo, khususnya angkatan 2005 atas kebersamaannya selama ini, semoga kebersamaan itu tetap terjaga. 12. Keluarga Besar Alumni PGA/MAN Palopo, khususnya Angkatan 2008, jurusan IPA 1, atas kebersamaan yang telah terjaga sampai saat ini, semoga akan tetap terus bersama hingga tua nanti. 13. Kepada saudara-saudaraku Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP UNHAS Glasnost 08 “satu generasi satu perjuangan”, Nandar, Ancha, Anjar, Amin, yang selalu bersama dalam gerbong wisuda sambil main PS, Indah, Icha, Vanty Ketua angkatan Anita Nurak si Maumere belahan jiwanya Wandy, Tyana, Upi, Rhara, Luthfi,
Ayu, Akram, Eka, Dhayat, Farid, Avri, 2D/Dina_Desy, Aya, Satriah, Chaca, Kira, Mitha, Zahra, Fhonna, Emi, Laila, Rini, Fitri, Dina, Haswan, Collenk’, Alfred, Dedi, Ashar, Agus, Reski, Acul, Kukuh, Enal, Miskat, Akmal, Gafur, , Aswardi, Afgan, Edi, Bandi, Reksa, Reza, Umman, Aan, Yayat, Herwin, dan Uki. Tak akan pernah habis cerita dan kisah tentang kita. Glasnost “Never ending story”. 14. Untuk keluarga kecilku di Bumi Orang HIMAPEM FISIP UNHAS, Kybernologi04, ka Erno, ka Araz, ka Acho, ka Ulla, ka Wawan Revolusioner05,
ka
Anchy,
ka
Adi
“korlap”,
ka
Adi
Hermawansyah, Recpublica06, ka Imha, ka Ummu, ka Chycie, ka Rudi Renaissance07, Aufklarung09, dan Volkgeist10, fraternity11, angkatan12. 15. Saudara-saudariku di UKM Bola Basket FISIP UNHAS, semoga tetap jaya dan prestasinya semakin meningkat. 16. Wakil Walikota Palopo (Rahmat Masri Bandaso), Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (A. Sakti Raja), Camat Telluwanua (Herman Rahim), Camat Wara (M. Samil Ilyas), Camat Wara Selatan (Suriani A. Kaso), Lurah Jaya (Fahruddin), Lurah Lagaligo (Hasruddin), Lurah Sampoddo (Arham), beserta dengan stafnya masing-masing dan beberapa tokoh adat dan masyarkat atas bantuannya dalam proses penyusunan skripsi ini dalam hal pemberian informasi dan data-data penelitian.
17. Teman-teman
KKN
Reguler
Gelombang
80,
khususnya
Kabupaten Bantaeng, Kecamatan Bissappu, Kelurahan Bonto Jaya, Cilo, Opi, Iman, Nelson, Juna, Riska atas kebersamaannya selama menjalani masa KKN. Dan Bapak Ibu Posko yang telah memberikan perhatian dan dorongan dalam masa menjalani KKN. 18. Adik-adik teman satu kontrakan atas bantuan dan dukungannya kepada penulis. 19. Teman-teman The Gamers Manakarra atas kebersamaan yang telah terjalin selama ini, semoga solidaritasnya tetap terjaga. 20. Kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan study yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. Akhirnya penulis berharap bahwa apa yang disajikan dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan Ilmu pengetahuan. Semoga kesemuanya ini dapat ibadah di sisi-Nya. Amin.
Sekian dan terimakasih Wassalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Makassar, Juni 2013
Penulis
ABSTRAK FAHRI REZKI RAHMAN. Aktualisasi Nilai Budaya Lokal Dalam Kepemimpinan Pemerintahan di Kota Palopo (dibimbimg oleh Dr. H. A. Gau Kadir, M.A dan Dr. Muh. Tamar, M.Psi). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sekaligus menggambarkan bagaimana pemahaman pemimpin pemerintahan tentang nilai budaya lokal, bagaimana aktualisasi nilai budaya lokal dalam kepemimpinan pemerintahan, dan pengaruh posisi jabatan struktural dalam mengaktualisasikan nilai budaya lokal di Kota Palopo. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara, dan studi dokumen. Kemudian data dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep otonomi daerah dalam pelaksanaannya tidak menjamin eksistensi nilai budaya lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah khususnya Kota Palopo, terkait dengan variabel nilai budaya lokal adele, lempu, dan getteng, terhadap pemahaman dan aktualisasi nilai tersebut dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi selaku pemimpin pemerintahan. Pemimpin pemerintahan yang dimaksudkan dalam penelitian ini, ternyata tidak semua paham dan aktualisasikan akan nilai tersebut, yang mana dari 8 (delapan) informan yang ada hanya 2 (dua) yang dapat disimpulkan memahami dan mengaktualisasikan nilai budaya lokal tersebut. Hal ini didasarkan atas penilaian yang berlandaskan pada proses pemahaman dan berlanjut pada aktualisasi atau pelaksanaan. Sehingga atas dasar kesimpulan tersebut, representasi jabatan struktural yang ditarik dalam penelitian ini, tidak berpengaruh terhadap pengaktualisasian nilai budaya lokal adele.lempu, dan getteng, dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, khususnya terkait dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing pemimpin pemerintahan yang dimaksud. Kata kunci : pemahaman dan aktualisasi nilai budaya lokal
ABSTRACT FAHRI REZKI RAHMAN. Actualization of Cultural Values in Local Government Leadership of Palopo city (guided by Dr. H. A. Gau Kadir, M.A and Dr. Muh. Tamar, M.Psi). This study aims to determine at once illustrate how government leaders about the value of understanding the local culture, how the actualization of local cultural values in the leadership of the government, and the influence of structural positions in local cultural values actualize of Palopo city. Data collection methods used were observation, interviews, and document research. Then the data were analyzed qualitatively. Results of this study indicate that the concept of regional autonomy in the implementation does not guarantee the existence of local cultural values in governance in particular areas Palopo city, variables associated with local cultural values adele, lempu, and getteng, the understanding and actualization of the values in the principal duties and functions as government leaders. Government leaders intended in this study, not all will understand and actualize these values, which of the 8 (eight) informant that there are only 2 (two) can be inferred understand and actualize the value of the local culture. It is based on an assessment that is based on understanding the process and continue on the actualization or execution. So on the basis of these conclusions, drawn representation of structural positions in this study, does not affect the local culture adele.lempu actualizing values, and getteng, in conducting the affairs of government, particularly in relation to the duties and functions of each government leaders in question. Keywords: understanding and actualization of local cultural values
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL ……………………………………………………
i
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………
ii
HALAMAN PENERIMAAN ………………………………………….
iii
KATA PENGANTAR …………………………………………………
iv
ABSTRAK …………………………………………………………….
ix
ABSTRAC …………………………………………………………….
x
DAFTAR ISI ………………………………………………………….
xi
DAFTAR TABEL …………………………………………………….
xv
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………….
xvii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………..
xviii
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang …………………………………………………
1
1.2
Rumusan Masalah …………………………………………….
10
1.3
Tujuan Penelitian ………………………………………………
10
1.4
Manfaat Penelitian …………………………………………….
11
1.5
Kerangka Konseptual …………………………………………
11
1.6
Metode Penelitian
1.6.1 Lokasi Penelitian …………………………………. ……
15
1.6.2 Dasar dan Tipe Penelitian …………………………….
15
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data ……………………………
17
1.6.4 Informan Penelitian …………………………...............
18
1.6.5 Analisis Data……………………………………………
19
1.7. Defenisi Operasional 1.7.1. Pemahaman dan Aktualisasi…………………………
20
1.7.2. Nilai-nilai Budaya Lokal……………………………….
21
1.7.3. Kepemimpinan Pemerintahan di Kota Palopo……...
23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
2.2.
2.3.
2.4.
Defenisi Pemahaman dan Aktualisasi 2.1.1. Pemahaman………………………………………….
33
2.1.2. Aktualisasi…………………………………………….
35
Nilai Budaya Lokal 2.2.1. Konsep Nilai Budaya……………………………….
36
2.2.2. Orientasi Nilai Budaya………………………………
39
Kepemimpinan Pemerintahan 2.3.1. Konsep Kepemimpinan………………………….
43
2.3.2. Konsep Pemerintahan…………………………..
57
Telaah Historikal Nilai Budaya Lokal di Kota Palopo (Nasehat Maccae ri Luwu kepada La Baso)………………………………….. 63
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1.
Sejarah Singkat Berkembangnya Kota Palopo………….
3.2.
Deskripsi Umum Kota Palopo
94
3.2.1. Kondisi Geografis……………………………………
97
3.2.2. Luas wilayah…………………………………………
99
3.2.3. Topografi dan Kelerengan…………………………
99
3.2.4. Kondisi Demografis…………………………………
100
3.2.5. Kondisi Sosial Budaya…………………………….
101
3.2.6. Kondisi Pemerintahan……………………………..
105
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1.
Nilai Budaya Lokal Dalam Kepemimpinan Pemerintahan Di Kota Palopo 4.1.1. Konstruksi Nilai Budaya Lokal di Kota Palopo…….
4.2.
109
Pemahaman Pemimpin Pemerintahan tentang Nilai Budaya Lokal di Kota Palopo…………………………………………………… 130
4.3.
4.2.1. Adele……………………………………………………
135
4.2.2. Lempu………………………………………………..
141
4.2.3. Getteng………………………………………………
147
Aktualisasi Nilai Budaya Lokal dalam Kepemimpinan Pemerintahan di Kota Palopo………………………………………………..
156
4.3.1. Adele………………………………………………..
163
4.3.2. Lempu………………………………………………
167
4.3.3. Getteng…………………………………………….. 4.4.
169
Pengaruh Kedudukan Pemerintahan Dalam Mengaktualisasikan Nilai Budaya Lokal di Kota Palopo…………………………… 181
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.
Kesimpulan……………………………………………….. .
184
5.2.
Saran………………………………………………………..
185
DAFTAR PUSTAKA...................................................................
186
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
LATAR BELAKANG Proses transformasi tatanan global mengalami kemajuan yang
sangat pesat seiring dengan pesatnya kemajuan peradaban manusia. Proses ini membawa implikasi besar pada aktor-aktor di level global, nasional maupun lokal terutama berkaitan dengan institusionalisasi model masyarakat dunia yang semakin kuat, semakin dalam dan semakin terbuka. Dalam era globalisasi ini masyarakat diintegrasikan dengan segenap dimensi kehidupannya menjadi sebuah masyarakat global (global society) yang berpengaruh pada kemudahan pergerakan manusia, barang maupun arus informasi sehingga menciptakan dunia yang lebih terbuka dan mereduksi batas-batas negara. Dalam perkembangannya, Bangsa Indonesia dihadapkan dengan tantangan yang semakin besar dan kompleks sejalan dengan semakin derasnya arus perubahan dan kuatnya dampak globalisasi ini. Kondisi tersebut dapat berakibat negatif terhadap cara pandang Bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang majemuk hal ini bisa dilihat dari beberapa parameter berikut: pertama, adanya keragaman kultural (multikultural), kedua, aliansi etnik, dan ketiga, terorganisir secara etnik (Robushka dan Shepsel, 1972; IRE, 2002). Dalam kehidupan masyarakat
yang multietnis atau multikultural seperti Indonesia, kemajemukan tidak saja menyiratkan adanya perbedaan-perbedaan, tetapi juga didalamnya mengandung interaksi timbal-balik antar anggota masyarakat. Pada masyarakat seperti itu problem yang biasanya timbul adalah sulitnya mencapai kesepakatan dalam meletakan landasan sistem pemerintahan yang mapan, ditambah lagi dengan semakin kurangnya etika moralitas dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat dan dalam lingkup pemerintahan itu sendiri. Munculnya
krisis
moral
yang
diakibatkan
oleh
kurangnya
pemahaman, lemahnya sikap, dan makin melunturnya etika dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Pada saat yang bersamaan, derasnya arus globalisasi mengakibatkan makin menipisnya batas-batas negara, terutama dalam konteks sosial budaya sehingga tidak ada budaya yang steril dari pengaruh budaya global. Hal yang memprihatinkan adalah masyarakat memiliki kecenderungan lebih cepat mengadopsi budaya global yang negatif jika dibandingkan dengan budaya lokal yang positif dan produktif. Tampak bahwa lemahnya sikap dan daya kritis masyarakat mengakibatkan kurangnya kemampuan menyeleksi nilai dan budaya global sehingga terjadi pengikisan nilai-nilai lokal yang positif. Di sisi lain, globalisasi yang ditandai dengan pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi berpengaruh pada dinamika sosial dan budaya masyarakat sehingga nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan, keramahtamahan, dan rasa cinta tanah air yang pernah dianggap sebagai
kekuatan pemersatu dan ciri khas Bangsa Indonesia cenderung makin pudar bersamaan dengan menguatnya nilai-nilai materialisme. Pengalaman menunjukkan bahwa pengaruh globalisasi memang nyaris
tidak
mungkin
ditiadakan
oleh
Bangsa
manapun
karena
sesungguhnya pengaruh kebudayaan oleh Bangsa lain menajdi sebuah kebutuhan demi kemajuan Bangsa itu sendiri. Tetapi menerima begitu saja tanpa memilah dan memilih mana-mana yang mendatangkan manfaat dan mana yang merusak, mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai dengan karakter dan niali-nilai budaya asli Bangsa, mana yang positif mana yang negatif bagi kemajuan Bangsa, niscaya penerimaan kebudayaan Bangsa semacam itu akan mendatangkan kerugian nasional. Kebudayaan adalah roh Bangsa, jiwa atau semangat. Jiwa tak lain adalah sesuatu yang terutama dan menajdi sumber tenaga kehidupan. Sedangkan semangat adalah roh kehidupan yang menjiwai segala makhluk. Semangat itu dapat memberi kekuatan atau kemauan untuk bekerja (KUBI,2001). Kebudayaan sesunguhnya adalah unsur yang menjadi sumber kehidupan Bangsa. Sebagai roh Bangsa kebudayaan memberi kekuatan Bangsa atau memberi Bangsa
itu
bekerja
untuk
survive,
dorongan, semangat agar
untuk
mempertahankan
dan
memperkokoh eksistensinya, bukan saja dalam kemandiriannya sebagai Bangsa melainkan juga mampu bersaing dalam corporate competitive Bangsa.
Kebudayaan
adalah
jati
diri
Bangsa
dengan
demikian
kebudayaan Indonesia, keberagaman budaya Indonesia adalah penanda jati diri Bangsa Indonesia, sesuatu yang membedakan antara Bangsa Indonesia dengan Bangsa lain. Dari beberapa diantara kekayaan budaya yang ada di Indonesia, salah satunya adalah sebuah Kerajaan yang bernama Kerajaan Luwu. Luwu, daerah yang terletak di ujung utara Sulawesi Selatan. Selain terkenal dengan hasil alamnya yang melimpah (pertanian, perkebunan, tambang nikel, dll) juga memiliki torehan sejarah yang cukup menarik. Kitab I Lagaligo merupakan teks sastra peninggalan Kerajaan Luwu dan masih terpelihara keasliannya menjadi bukti betapa Kerajaan Luwu memiliki tradisi intelektual. Selain kitab I Lagaligo, beberapa peninggalan lainnya mempertegas kebesaran Luwu. Seperti, bangunan Kerajaan, masjid, batu nisan, dan masih banyak lagi. Menurut beberapa ahli sejarah, Luwu merupakan Kerajaan Bugis tertua sebelum berdirinya Kerajaan-Kerajaan lain di Sulawesi Selatan. Sekalipun masih terjadi perdebatan di antara ahli sejarah mengenai kapan fase awal Kerajaan Luwu dimulai Kitab I Lagaligo menyebutkan jika Luwu mampu menghegemoni beberapa Kerajaan yang ada di sekitarnya. Bahkan masuknya Islam di Sulawesi Selatan diawali dari Patimang (dulunya pusat Kerajaan Luwu) yang dibawa oleh Dato Sulaeman. Kehadiran Islam yang sebagian besar dibawa oleh pedagang muslim mengindikasikan Luwu memiliki hubungan ekonomi dengan daerah lain di luar Sulewesi Selatan saat itu. Semenjak kedatangan Islam, Luwu menjadi
daerah yang mengedepankan nilai-nilai religius. Walau sebenarnya sebelum kedatangan Islam di Luwu, masyarakat Luwu mempunyai kepercayaan terhadap ketuhanan yang kental. Kepercayaan terhadap ketunggalan Tuhan diterjemahkan dalam konsep Dewata Seuwae. Sejarah Luwu tidak dapat dilepaskan dari tokoh Sawerigading, meski sebagian orang menganggap tokoh Sawerigading hanya sebuah mitos belaka. Tapi bagi masyarakat Luwu, Sawerigading merupakan simbol kebesaran nama Luwu. Ia dikenal dengan ajaran-ajaranya. Sawerigading merupakan penggambaran manusia setengah dewa yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai langit (Ilahiah). Beberapa ajarannya masih dipegang oleh sebagian pemangku adat yang ada di Luwu. Ajarannya antara lain adele (adil), lempu (jujur), tengeng (benar), getteng (teguh). Setelah Sawerigading tidak ada, Kerajaan Luwu terus mengalami perkembangan tanpa meninggalkan ajaran Sawerigading. Struktur birokrasi di Kerajaan Luwu boleh dibilang cukup mapan untuk ukuran sebuah Kerajaan pada saat itu. Berbagai perangkat birokrasi yang ada memudahkan kerja sistem pemerintahan. Perangkat adat itu antara lain Pakatenni Ada’, Ada Asera, dan Ada Sapulo Dua (Moh Ali Fadillah dkk, 2000). Pakatenni Ada’ (pemangku adat utama) merupakan badan eksekutif yang berada di bawah raja. Terdapat juga Opu Pabbicara sebagai juru bicara dan Opu Tomarilalang yang menjalankan fungsi kehakiman.
Ada Asera (adat sembilan) menjalankan fungsi legislatif, yang mana mereka semua merupakan perwakilan rakyat. Ada Asera terdiri dari anak tellue yaitu Opu Ma’dika Ponrang, Opu Ma’dika Bua, dan Opu Ma’dika Baebunta. Selain anak tellue ada juga bendera tellue, yang merupakan perwakilan prajurit, pekerja, dan anak bangsawan. Dan batebate tellue yaitu perwakilan para pendatang. Ada sappulo dua (adat dua belas), yaitu adat sembilan ditambah dengan perwakilan golongan kaum agamawan. Adanya struktur birokrasi tersebut menjadi bukti bahwa proses demokrasi bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Luwu. Pengambilan kebijakan Kerajaan bukan sepenuhnya menjadi otoritas raja melainkan melibatkan masyaratkan lewat perwakilannya di Ada’ Asera. Perangkat adat tadi agak mirip struktur birokrasi yang ada di Negara modern saat ini. Perubahan yang cepat di luar Luwu, juga berdampak signifikan terhadap Luwu. Semangat otonomi daerah, menjadikan Luwu terbagi dalam empat kabupaten/kota. Keempat daerah tersebut antara lain kabupaten Luwu, Kota palopo, Kabupaten Luwu Utara, dan Kabupaten Luwu Timur. Kerajaan Luwu yang dulunya menjadi kendali atas roda pemerintahan di Luwu kini beralih ke pemerintah empat kabupaten/kota tersebut. Kerajaan Luwu (sekalipun masih ada) kini tinggal nama saja. Jika mencoba bertanya kepada anak-anak sekolah tentang siapa Datu Luwu saat ini maka sebagian besar atau malah semuanya akan menjawab tidak tahu. Berbeda dengan daerah lain di Indonesia yang
merupakan daerah bekas Kerajaan seperti kesultanan Jogja yang masih memegang teguh nilai-nilai budaya dan tidak melupakan sejarahnya, generasi di Luwu sebagian besar justru melupakan sejarahnya. Kecintaan
daerah
lain
terhadap
budayanya
tercermin
dari
keingintahuan mereka atas sejarah, ini dapat diwujudkan dengan menggelar pagelaran budaya. Di Jogja, tiap tahun diadakan festival keraton sebagai bentuk kecintaan mereka akan budaya lokal. Karya sastra I Lagaligo yang menjadi bukti intelektualitas masyarakat Luwu dahulu yang telah berada di Belanda. Sehingga untuk mempelajarinya harus menempuh jarak yang cukup jauh ke Belanda. Hal Ini seharusnya menjadi tamparan yang keras bagi masyarakat
Luwu. Orang asing saja ingin
mempelajari budaya Kerajaan Luwu, sementara masyarakat asli justru melupakan dan meninggalkannya. Kehilangan identitas budaya Luwu yang mendera generasi mudanya selain karena arus globalisasi yang begitu kuat juga karena tak adanya “counter” dilakukan terhadap budaya asing tersebut. Bukankah penjajahan baru akan terjadi jika yang dijajah rapuh secara internal. Bila, generasi muda Luwu memahami secara mendalam empat ajaran tadi, yaitu adele (adil), lempu (jujur), tengeng (benar), getteng (teguh), budaya asing tak akan dengan mudah merasuki setiap generasi muda Luwu. Nilai budaya lokal tersebut juga seperti yang termaksud dalam salah satu falsafah masyarakat Luwu yaitu Toddopuli Temmalara dan sebagai bentuk ajaran atau nasehat yang di berikan oleh Tomaccae ri Luwu kepada La
Manessa To Akkarangeng (La Baso) yang pernah menjadi Datu (Raja) Soppeng dan sebagai pedoman dan landasan dalam menjalankan sistem kerajaannya. Menemukan kembali identitas budaya Luwu menjadi suatu yang “wajib” dilakukan bukan hanya generasi muda namun semua elemen masyarakat
Luwu
termasuk
pemerintah.
Budaya
asing
yang
menghegemoni, mengakibatkan teralienasinya para pemuda Luwu dari lingkungan sekitarnya. Keterasingan ini disebabkan budaya asing yang masuk adalah hasil rekayasa untuk mengeksploitasi masyarakat secara ekonomi. Parahnya, proses ini berlangsung tanpa disadari. Sehingga dampak yang dapat ditimbulkan adalah semakin melemahnya etika dan moralitas masyarakat Luwu dalam menjalani kehidupan bermasyarakat dan berpemerintahan. Hal tersebut ditandai dengan lunturnya nilai-nilai budaya lokal yang seharusnya menjadi pedoman dalam bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan, kini hanya sebatas pengetahuan awam, bahkan ironisnya nilai-nilai budaya lokal dapat terlupakan. Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan di atas mengenai beberapa nilai yang menjadi landasan dalam melaksanakan segala bentuk aspek kehidupan termasuk dalam penyelenggaraan pemerintahan, penulis tertarik untuk mengangkat sebuah judul yaitu “Aktualisasi Nilai Budaya Lokal dalam Kepemimpinan Pemerintahan di Kota Palopo”. yang terkait dengan nilai budaya lokal adele, lempu dan getteng. 1.2.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dilihat pernyataan dan gambaran mengenai kurangnya kesadaran pemerintah dan masyrakat akan kebudayaan yang dilahirkan oleh sejarah dan mengandung nilai-nilai sosial yang dapat dijadikan landasan dalam interaksi dan hubungan sosial kemasyarakatan dan pemerintahan. Oleh karena itu, maka yang menjadi fokus perhatian penulis pada penelitian ini, adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pemahaman pemimpin pemerintahan tentang nilai budaya lokal di Kota Palopo? 2. Bagaimanakah pemimpin pemerintahan mengaktualisasikan nilai budaya lokal di Kota Palopo? 3. Apakah posisi atau kedudukan pemerintahan mempengaruhi aktualisasi nilai budaya lokal di Kota Palopo? 1.3.
TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk
mengetahui
sekaligus
menggambarkan
bagaimana
pemahaman pemimpin pemerintahan tentang nilai budaya lokal di Kota Palopo 2. Untuk
mengetahui
sekaligus
menggambarkan
bagaimana
aktualisasi nilai budaya lokal dalam kepemimpinan pemerintahan di Kota Palopo. 4. Untuk mengetahui sekaligus menggambarkan apakah posisi atau kedudukan pemerintahan mempengaruhi aktualisasi nilai budaya lokal di Kota Palopo. 1.4.
MANFAAT PENELITIAN
1. Secara akademis, hasil dari penelitian ini kiranya dapat menjadi salah
satu
bentuk
sumbangsih
bagi
pengembangan
ilmu
pemerintahan. Dan diharapkan dapat memberi rekomendasi tambahan literatur atau referensi tentang studi aktualisasi nilai budaya lokal dalam kepemimpinan pemerintahan di Kota Palopo. 2. Secara praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan evaluasi bagi pemimpin dalam menjalankan atau menyelenggarakan roda pemerintahan di Kota Palopo dalam hal aktualisasi nilai budaya lokal. 3. Secara metodologi, hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu bentuk dorongan moril pada penelitian selanjutnya dan tentunya mempunyai kajian dan pembahasan yang serupa. 1.5.
KERANGKA KONSEPTUAL Luwu sebagai sebuah wilayah yang otonom (Kerajaan), sejak
periode
Galigo
hingga
Lontaraq,
telah
berperan
penting
dalam
membangun tatanan masyarakat di beberapa wilayah. Berbagai wilayah, utamanya
di
Sulawesi
Selatan
bahkan
kerap
menghubungkan
keturunannya atau keberadaan Kerajaannya dengan Luwu. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa Luwu merupakan akar kebudayaan yang telah berintegrasi dalam wilayah kesadaran masyarakat pendukungnya. Disadari atau tidak, keagungan dan kearifan sejarah dan kebuadayaan Luwu telah menjadi kekuatan tersendiri dalam
menyerap dan mentransformasikan berbagai anasir kebudayaan dari luar yang kemudian berintegrasi dalam sebuah harmonisasi kebudayaan. Meski demikian, kekuatan tersebut dewasa ini telah mengalami reduksi struktural. Bahkan secara horisontal, sejarah terlebih kebudayaan Luwu terus mengalami alienasi dari masyarakatnya sendiri. Kondisi ini semakin diperparah oleh adanya kecenderungan terjadinya proses politisasi sejarah dan kebudayaan. Hal ini tentunya juga akan menjadikan sejarah dan kebudayaan Luwu mengalami keterasingan dari pusat kesadaran masyarakat Luwu sendiri. Selain itu, nilai-nilai budaya lokal sebagai salah satu bentuk kearifan lokal yang dimiliki oleh Kerajaan luwu. Pada pelaksanaannya mengalami penurunan secara drastis akibat dilupakannya nilai-nilai yang seharusnya menjadi landasan dalam praktek moralitas. Hal ini ditandai dengan lemahnya pemahaman masyarakat Luwu, tentang budaya lokal yang tentunya mengandung unsur-unsur nilai yang begitu berharga untuk kemudian di aktualisasikan dalam kehidupan bermasyrakat. Oleh karena itu, pada penelitian kali ini, penulis mencoba mengangkat hal-hal yang terkait dengan nilai-nilai yang dahulunya menjadi panutan dalam praktek kehidupan masyarakat, khususnya pada penyelenggaraan sistem pemerintahan pada masa Kerajaan Luwu. Dengan fokus penelitian pada wilayah Kota Palopo sebagai salah satu bagian sekaligus to ware (pusat) pemerintahan Kerajaan Luwu dan
barometer perkembangan Luwu. Dalam hal ini terkait mengenai pengaktualisasian
nilai-nilai
budaya
lokal
dalam
kepemimpinan
pemerintahan di Kota Palopo. Berdasarkan dari deskripsi di atas, maka untuk mempermudah arah penelitian dan penulisan skripsi nantinya, penulis akan memberikan gambaran tentang skema kerangka konsep. Skema tersebut dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut.
Nilai Budaya Lokal : KERAJAAN LUWU
(To maccae Ri Luwu) 1. Adele (Adil) 2. Lempu (Jujur) 3. Getteng (Teguh)
OTONOMI DAERAH
Rumusan Masalah I & I
PEMERINTAHAN KOTA PALOPO Pemimpin Pemerintahan :
Aturan Formal TUPOKSI
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Walikota/Wakil Walikota Dinas kebudayaan & Pariwisata Camat Wara Selatan Camat Wara Camat Telluwanua Lurah Sampoddo, Kec. Wara Selatan Lurah Lagaligo, Kec. Wara Lurah Jaya, Kec. Telluwanua
Rumusan Masalah III
SISTEM PEMERINTAHAN KOTA PALOPO
SKEMA KERANGKA KONSEPTUAL 1.6.
METODE PENELITIAN
1.6.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini berlokasi di wilayah Kota Palopo, sebagai bagian dari Kerajaan Luwu. Untuk penarikan sampling Kelurahan dan Kecamatan ditarik berdasarkan pembagian wilayah yang dibagi atas dua bagian yaitu wilayah batas daerah atau pinggiran kota dan tengah kota sebagai sentral kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Dengan fokus beberapa instansi yaitu Kelurahan Sampoddo dan Kecamatan Wara Selatan sebagai batas sebelah selatan Kota Palopo, Kelurahan Jaya dan Kecamatan Telluwanua sebagai batas sebelah utara, Kelurahan Lagaligo dan Kecamatan Wara sebagai wilayah tengah kota. Kemudian
Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata sebagai SKPD yang khusus menangani tentang kebudayaan yang terkait dengan penelitian ini, dan Kantor Walikota Palopo sebagai instansi pucuk strukutral di Kota Palopo. 1.6.2. Dasar dan Tipe Penelitian Penelitian ini, bersifat deskriptif dengan metode analisis kualitatif, ,sedangkan dasar penelitian yang digunakan yaitu observasi dan wawancara yang bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dari sejumlah informan yang dianggap dapat memberikan informasi yang berhubungan dengan masalah penelitian. Penelitian Kualitatif adalah suatu pendekatan yang mengungkap situasi sosial tertentu dengan
mendeskripsikan kenyataan secara benar, di bentuk oleh kata-kata berdasarkan tehnik pengumpulan dan analisis data yang relevan yang diperoleh dari situasi yang alamiah. Penelitian kualitatif memiliki karateristik dengan mendeskripsikan suatu keadaan yang sebenarnya, tetapi laporannya bikan sekedar bentuk laporan suatu kejadian tanpa suatu interpretasi ilmiah. (Miles dan Huberman dalam Djam’an Satori dan Aan Komaria 2010:39) Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini, meliputi : 1. Tahap pengumpulan data yaitu proses memasuki lingkungan penelitian dan melakukan pengumpulan data penelitian. 2. Tahap reduksi data yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada
penyederhanaan,
pengabstrakan,
dan
transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis dari lapangan. 3. Tahap
pengajian
data
yaitu
pengajian
informasi
untuk
memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. 4. Tahap
penarikan
kesimpulan/vertikasi
yaitu
penarikan
kesimpulan dari data yang telah dianalisis. Pendekatan kualitatif menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu (dalam konteks tertentu). Pendekatan kualitatif, lebih mementingkan proses dibandingkan dengan hasil akhir; oleh karena itu
urutan-urutan kegiatan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi dan banyaknya gejala-gejala yang ditemukan. Tujuan utama penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif adalah mengembangkan pengertian, konsep-konsep, yang akhirnya menjadi teori, tahap ini dikenal sebagai grounded theory researce (Sarwono, 2003 dalam Djam’an Satori dan Aan Komaria, 2010:39). 1.6.3. Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder : 1. Data Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber asalnya, data primer di peroleh melalui : a. Observasi
yaitu
pengumpulan
data
dalam
kegiatan
penelitian yang dilakukan dengan mengamati kondisi yang berkaitan dengan obyek penelitian. b. Interview atau Wawancara mendalam (in dept interview) yaitu mengadakan wawancara dengan informan yang bertujuan untuk menggali informasi yang lebih mendalam tentang
berbagai
aspek
yang
berhubungan
dengan
permasalahan penelitian. 2. Data Sekunder, adalah data yang telah diolah sebelumnya yang
diperoleh
dari
studi
kepustakaan,
maupun
dokumentasi. Adapun data skunder diperoleh melalui :
studi
a. Studi pustaka, yaitu bersuber dari hasil bacaan literatur atau buku-buku atau data terkait dengan topik penelitian. Ditambah penulusuran data online, dengan pencarian data melalui fasilitas internet. b. Dokumentasi, yaitu arsip-arsip, laporan tertulis atau daftar inventaris yang diperoleh terkait dengan penelitian yang dilakukan. Menurut Arikunto (1998 : 236 ), dokumentasi adalah “ Mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda, dan sebagainya.” 1.6.4. Informan Penelitian Di dalam penelitian ini, yang menjadi informan penelitian terdiri dari beberapa pihak yang berdasarkan pertimbangan dinilai memiliki kualitas dan ketepatan untuk berperan sebagai subjek penelitian sesuai dengan tuntutan
karakteristik
pengembangan (purposive
masalah
informan
sampling
penelitian.
penelitian
tecnique),
Teknik
dilakukan
kemudian
penarikan
secara
jumlah
dan
dan
bertujuan jenisnya
dikembangkan secara “snowball sampling tecnique” bergulir sampai tercapainya kejenuhan data dimana informasi/data telah terkumpul secara tuntas (Lincoln dan Guba dalam Sadia, 2001). Adapun yang menjadi informan dalam pelaksanaan penelitian adalah :
Walikota Palopo Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palopo Kepala Kecamatan Telluwanua Kepala Kecamatan Wara Kepala Kecamatan Wara Selatan Kepala Kelurahan Jaya Kepala Kelurahan Lagaligo Kepala Kelurahan Sampoddo Tokoh budaya/adat Tokoh Masyarakat 1.6.5. Analisis Data Dalam
menganalisa
data
yang
diperoleh,
peneliti
akan
menggunakan teknik analisa secara deskriptif kualitatif yakni data yang diperoleh akan dianalisis dan disajikan dalam bentuk kata-kata lisan maupun tertulis. Teknik ini bertujuan menggambarkan secara sistematis fakta-fakta dan data-data yang diperoleh. Serta hasil-hasil penelitian baik dari hasil obsrvasi dan wawancara maupun studi literatur untuk memperjelas gambaran hasil penelitian. 1.7.
DEFINISI KONSEPTUAL Setelah beberapa konsep diuraikan dalam hal yang berhubungan
dengan kegiatan ini, maka untuk mempermudah dalam mencapai tujuan
penelitian perlu disusun definisi operasional yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini antara lain : 1.7.1. Pemahaman dan Aktualisasi Pemahaman yang dimaksud yaitu suatu proses, cara memahami, cara mempelajari baik-baik supaya paham dan pengetahuan banyak, serta lebih mendalami arti dan maknanya. Sehingga dapat diartikan bahwa pemahaman adalah suatu cara atau proses memahami sebuah konsep yang diawali dengan pengetahuan, penerjemahan/ penafsiran, dan memaknai secara ekstrapolasi. Kemudian dari proses pemahaman itu lalu diwujudkan dalam bentuk tindakan atau pelaksanaan daripada konsep tersebut. Dalam hal ini aktualisasi yang dimaksud sesuai dengan arti kata adalah pelaksanaan. Yaitu segala sesuatu yang menyangkut dengan pelaksanaan dan didasari dengan pemahaman tentang sebuah konsep yang kemudian dituangkan dalam kegiatan subyek penelitian yang dimaskudkan dalam penelitian ini. 1.7.2. Nilai-nilai Budaya Lokal Yang dimaksud adalah nilai-nilai lokal yang menjadi landasan dan panutan sebagai bentuk warisan nilai dari sejarah Kerajaan Luwu. Adapun nilai-nilai yang di maksud adalah : Adele (adil)
Adele (adil) yang dimaksud adalah tidak ada lagi perlakuan berbeda dalam memperlakukan orang lain atau sesamanya. Konsep keadilan yang diaktualisasikan di dalam konsep kepemimpinan raja-raja Luwu sejak dahulu bersandar pada filosofi yang dikemukakan oleh I Sehe Makkunrai yaitu Siwennimi adele mapparenta datu-e padami patappulo wenni sempajangnge. Yang artinya: “Pemerintah yang berbuat adil dalam semalam sama halnya empat puluh malam mendirikan sembahyang.” Lempu (jujur) Adapun yang dimaksud dengan jujur menurut pemikiran Maccae Ri Luwu sebagai tolak ukur daripada nilai Lempu (jujur) tersebut, yaitu: -
Orang yang bersalah padanya dimaafkan
-
Dia dipercaya dan tidak mengkhianati kepercayaan itu
-
Tidak serakah atau tidak menginginkan yang bukan haknya
-
Tidak dituntutnya suatu kebaikan, kalau hanya dia yang menikmatinya, hanya untuk kepentingan pribadinya.
Getteng (Teguh) Yang dimaksud dengan getteng (teguh) meupakan suatu perilaku yang memegang teguh prinsip-prinsip yang telah
dibuatnya
dan
berlandaskan
pada
nilai-nilai
kebenaran
(tongeng). Selain itu, sesuai dengan pemikiran Maccae Ri Luwu, ada beberapa bentuk perilaku yang dapat mengindikasikan seseorang itu memiliki sifat getteng (teguh), yakni : -
Tidak mengingkari janji dan tidak melangkahi (mengkhianati) perjanjian
-
Tidak mengurai barang jadi
-
Tidak mengubah keputusan
-
Ketika mengadili, nanti telah putus barulah berhenti.
1.7.3. Kepemimpinan Pemerintahan di Kota Palopo Yang dimaksud kepemimpinan pemerintahan dalam penelitian ini adalah
bagaimana
pemimpin
pemerintahan
memahami
dan
mengaktualisasikan nilai budaya lokal dalam lingkup Tugas Pokok dan Fungsinya, sebagai sebuah konsep kepemimpinan yang menjadi warisan dari Kerajaan Luwu, dalam menjalankan atau menyelenggarakan sistem pemerintahan di Kota Palopo. Dan adapun Pemimpin Pemerintahan yang dimaksud sebagai subyek penelitian yaitu beberapa pemimpin yang berada pada struktural pemerintahan daerah dan terdiri atas Wakil Walikota, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 3 (tiga) orang Camat, dan 3 (tiga) orang Lurah. Untuk pengambilan sampling 3 (tiga) orang camat dan Lurah didasarkan pada metode penarikan letak wilayah antara tengah kota
sebagai pusat atau sentral kegiatan pemerintahan dan daerah pinggir kota atau batas wilayah. Kemudian yang dimaksud dengan kedudukan dalam pemerintahan pada bagian ini yaitu posisi kedudukan berdasarkan pada hirarki jabatan struktural dalam wilayah pemerintahan tingkat Kabupaten/Kota, yang disebut dengan tingkatan Eselon, dan khususnya pada wilayah Kota Palopo. pemimpin pemerintahan tersebut yaitu : 1. Eselon I b yaitu Wakil Walikota 2. Eselon II b yaitu Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata 3. Eselon III a yaitu Camat 4. Eselon IV a yaitu Lurah Tugas Pokok dan Fungsi Aparat Kelurahan, berdasarkan PP No. 41 Tahun 2007 dan Perda Kota Palopo No. 02 Tahun 2009 Lurah : 1. Tugas Pokok : Menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang meliputi kegiatan pemerintahan kelurahan, pemberdayaan masyarakat, pelayanan kepada masyarakat, ketentraman dan ketertiban umum, pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum dan pembinaan terhadapa lembaga kemasyarakatan. 2. Fungsi :
-
Penyusunan program dan kegiatan kelurahan
-
Penggerak partisipasi masyarakat dalam pembangunan kelurahan
-
Pengkoordinasian kegiatan pemberdayaan masyarkat
-
Penyelenggara pelayanan masyarakat
-
Pengkoordinasian
kegiatan
pembinaan
lembaga
kemasyarakatan -
Pengkoordinasian penyelenggaraan pemerintahan kelurahan
Tugas Pokok dan Fungsi Aparat Kecamatan, berdasarkan PP No. 41 Tahun 2007 dan Perda Kota Palopo No. 02 Tahun 2009 Camat : 1. Tugas pokok : Melaksanakan
sebagian
urusan
otonomi
daerah
yang
dilimpahkan oleh Walikota serta menyelenggarakan tugas umum
pemerintahan
pemberdayaan
yang
meliputi
masyarakat,
upaya
koordinasi
kegiatan
penyelenggaraan
ketentraman dan ketertiban umum, penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan, pemeliharaan sarana dan fasilitas
pelayanan
umum,
penyelenggaraan
kegiatan
pemerintahan ditingkat kecamatan, membina penyelenggaraan pemerintahan
kelurahan
dam
melaksanakan
pelayanan
masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan kelurahan. 2. Fungsi : -
Penyusunan rencana dan program kerja berdasarkan tugas pokok dan fungsinya. Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan sesuai kewenangan yang dilimpahkan oleh Walikota.
-
Pemberian petunjuk dan arahan kepada sekretaris, seksi dan bawahan lainnya sesuai bidangnya masing-masing.
-
Pengevaluasian dan penilaian prestasi kerja sekretaris, seksi dan bawahan lainnya dalam rangka pembinaan karir.
-
Penetapan kebijakan dalam rangka pelimpahan kewenangan kepada lurah.
-
Pengkoordinasian
kegiatan-kegiatan
penyelenggaran
pelayanan lintas kelurahan -
Pelaksanaan koordinasi atas kegiatan instansi vertical dan dinas daerah dalam wilayah kecamatan
-
Pelaksanaan pembinaan ketentraman dan ketertiban dengan koordinasi
aparat
keamanan
terkait
dalam
wilayah
kecamatan. -
Pelaksanaan
pembinaan
dalam
rangka
koordinasi
perencanaan, pengendalian dan evaluasi pembangunan lintas kelurahan.
-
Pembinaan pelaksanaan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat kelurahan meliputi: perekonomian, pertanian, perindustrian,
koperasi,
dan
penataan
lingkungan
berdasarkan kondisi dan potensi wilayah. -
Pelaksanaan
pembinaan
kemasyarakatan
meliputi:
kesejahteraan pembinaan
sosial
keagamaan,
pendidikan dan keterampilan masyarakat, kesehatan dan sarana sosial kemasyarakatan lainnya, serta memfasilitasi kelancaran produksi barang dan jasa public. -
Pengkajian dan penyusunan strategi pembangunan di segala bidang secara berkesinambungan dengan melibatkan seluruh tokoh masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyarkat.
-
Pelaksanaan tugas dalam pembuatan akta tanah dan pengupayaan
penyelesaian
segala
permasalahan
pertanahan serta mengkoordinasikan dengan unit terkait. -
Pelaskanaan
pembinaan
kebersihan,
keindahan
dan
pelestarian lingkungan hidup bagi masyarakat. -
Pelaksanaan
pembinaan
administrasi
bidang
umum,
kepegawaian, keuangan dan perlengkapan untuk menunjang pelaksanaan tugas pokok dan fungsi.
-
Pelaksanaan pendataan, penataan sumber-sumber pajak dan retribusi daerah serta sumber lainnya dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah.
-
Pemberian
saran
alternatif
kepada
Walikota
untuk
kelancaran tugas. -
Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh atasan.
-
Pembuatan laporan pelaksanaan tugas.
Tugas Pokok dan Rincian Tugas Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, berdasarkan Perda Kota Palopo No. 09 Tahun 2009, Pasal 3 : 1. Dinas kebudayaan dan Pariwisata dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah. 2. Kepala Dinas kebudayaan dan Pariwisata mempunyai Tugas Pokok : membantu Walikota dalam melaksanakan kewenangan Desentralisasi di Bidang Kebudayaan dan Pariwisata serta melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Walikota. 3. Dalam melaksanakan Tugas Pokok dimaksud pada Pasal 3 ayat (2), peraturan ini, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, mempunnyai rincian tugas : a. Membantu merumuskan
Walikota
dalam
kebijakan
menyusun
pembangunan
program yang
dan
mengacu
kepada dokumen bidang Kebudayaan dan Pariwisata.
b. Melaksanakan dan memfasilitasi kegiatan kebudayaan dan pariwisata yang meliputi bidang adat istiadat, kesenian dan kepariwisataan serta tugas lain yang diberikan oleh Walikota. c. Melaksanakan dan mengkoordinasikan rencana program dan kegiatan baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang terhadap sektor pemerintah, swasta dan masyarakat. d. Memfasilitasi
pelaksanaan
pengembangan
serta
kepariwisataan yang meliputi kebudayaan, kesenian, dan pariwisata. e. Mengkoordinasikan kerja sama dengan instansi dan pihak terkait dalam rangka pelaksanaan program dan kegiatan bidang kebudayaan dan pariwisata. f. Menyusun
rencana
program
kegiatan
tahunan
dan
mengevaluasi program kegiatan yang telah dilaksanakan. g. Pendistribusian tugas dan pemberian petunjuk pelaksanaan tugas kepada bawahan serta mengevaluasi hasil kerjanya. h. Membuat laporan hasil kegiatan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta memberi saran pertimbangan kepada ketua untuk menjadi bahan dalam penentuan kebijakan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan; b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang; c. penyelenggaraan
ketertiban
umum
dan
ketentraman
masyarakat; d. penyediaan sarana dan prasarana umum; e. penanganan bidang kesehatan; f. penyelenggaraan pendidikan; g. penanggulangan masalah sosial; h. pelayanan bidang ketenagakerjaan; i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j.
pengendalian lingkungan hidup;
k. pelayanan pertanahan; l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan p. urusan
wajib
lainnya
yang
diamanatkan oleh
peraturan
perundang-undangan. Dalam pasal 27 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dijelaskan tentang kewajiban Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. meningkatkan kesejahteraan rakyat; c. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; d. melaksanakan kehidupan demokrasi; e. menaati
dan
menegakkan
seluruh
peraturan
perundangundangan; f. menjaga
etika
dan
norma
dalam
penyelenggaraan
pemerintahan daerah; g. memajukan dan mengembangkan daya saing daerah; h. melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baik. i. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan daerah; j.
menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertikal di daerah dan semua perangkat daerah;
k. menyampaikan
rencana
strategis
penyelenggaraan
pemerintahan daerah di hadapan Rapat Paripurna DPRD. l. memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintah, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan
penyelenggaraan
masyarakat.
pemerintahan
daerah
kepada
Tugas Wakil Kepala Daerah diantaranya tertuang dalam pasal Pasal 26 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang meliputi:
a. membantu
kepala
daerah
dalam
menyelenggarakan
pemerintahan daerah; b. membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup; c. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi; d. memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/atau desa bagi wakil kepala daerah kabupaten/kota; e. memberikan saran dan pertimbangan kepada kepala daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah daerah; f. melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya yang diberikan oleh kepala daerah; dan g. melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.5.
Defenisi Pemahaman dan Aktualisasi
2.5.1. Pemahaman Pemahaman berasal dari kata paham yang mempunyai arti mengerti benar, sedangkan pemahaman merupakan proses perbuatan cara memahami (Em Zul, Fajri & Ratu Aprilia Senja, 2008 : 607-608). Pemahaman berasal dari kata paham yang artinya (1) pengertian; pengetahuan yang banyak, (2) pendapat, pikiran, (3) aliran; pandangan, (4) mengerti benar (akan); tahu benar (akan); (5) pandai dan mengerti benar. Apabila mendapat imbuhan me- i menjadi memahami, berarti : (1) mengerti benar (akan); mengetahui benar, (2) memaklumi. Dan jika mendapat imbuhan pe- an menjadi pemahaman, artinya (1) proses, (2) perbuatan, (3) cara memahami atau memahamkan (mempelajari baik-baik supaya paham) (Depdikbud, 1994: 74). Sehingga dapat diartikan bahwa
pemahaman adalah suatu proses, cara memahami cara mempelajari baikbaik supaya paham dan pengetahuan banyak. Menurut Bloom : “Here we are using the tern “comprehension“ to include those objectives,
behaviors,
understanding
of
the
or
responses
literal
which
message
represent
contained
an
in
a
communication.“ Artinya : Disini menggunakan pengertian pemahaman mencakup tujuan, tingkah laku, atau tanggapan mencerminkan sesuatu pemahaman pesan tertulis yang termuat dalam satu komunikasi. (Bloom Benyamin, 1975: 89). (Nana Sudjana, 1992: 24) menyatakan bahwa pemahaman dapat dibedakan kedalam 3 kategori, yaitu : 1. tingkat terendah adalah pemahaman terjemahan, mulai dari menerjemahkan dalam arti yang sebenarnya, mengartikan dan menerapkan prinsip-prinsip, 2. tingkat
kedua
menghubungkan
adalah
pemahaman
bagian-bagian
penafsiran
terendah
dengan
yaitu yang
diketahui berikutnya atau menghubungkan beberapa bagian grafik dengan kejadian, membedakan yang pokok dengan yang tidak pokok dan
3. tingkat ketiga merupakan tingkat pemaknaan ektrapolasi Memiliki pemahaman tingkat ektrapolasi berarti seseorang mampu melihat
dibalik
yang
tertulis,
dapat
membuat
estimasi,
prediksi
berdasarkan pada pengertian dan kondisi yang diterangkan dalam ide-ide atau simbol, serta kemempuan membuat kesimpulan yang dihubungkan dengan implikasi dan konsekuensinya. Sejalan dengan pendapat diatas, (Suke Silversius, 1991: 43-44) menyatakan bahwa pemahaman dapat dijabarkan menjadi tiga, yaitu : 1. menerjemahkan (translation), pengertian menerjemahkan disini bukan saja pengalihan (translation), arti dari bahasa yang satu kedalam bahasa yang lain, dapat juga dari konsepsi abstrak menjadi suatu model, yaitu model simbolik untuk mempermudah orang mempelajarinya. Pengalihan konsep yang dirumuskan dengan kata –kata kedalam gambar grafik dapat dimasukkan dalam kategori menerjemahkan, 2. menginterprestasi (interpretation), kemampuan ini lebih luas daripada menerjemahkan yaitu kemampuan untuk mengenal dan memahami ide utama suatu komunikasi, 3. mengektrapolasi (Extrapolation), agak lain dari menerjemahkan dan menafsirkan, tetapi lebih tinggi sifatnya. Ia menuntut kemampuan intelektual yang lebih tinggi. 2.5.2. Aktualisasi
Aktualisasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah disusun secara matang dan terperinci. Secara sederhana aktualisasi bisa diartikan pelaksanaan atau penerapan. Majone dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2002), mengemukakan aktualisasi sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky (dalam Nurdin dan Usman, 2004:70) mengemukakan bahwa ”aktualisasi adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan”. Pengertian aktualisasi sebagai aktivitas yang saling menyesuaikan juga dikemukakan oleh Mclaughin (dalam Nurdin dan Usman, 2004). Adapun Schubert (dalam Nurdin dan Usman, 2002:70) mengemukakan bahwa ”aktualisasi adalah sistem rekayasa.” Pengertian-pengertian
di
atas
memperlihatkan
bahwa
kata
aktualisasi bermuara pada aktivitas, adanya aksi, tindakan, atau mekanisme suatu sistem. Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa aktualisasi bukan sekadar aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara sungguh-sungguh berdasarkan acuan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan. Esensinya aktualisasi adalah suatu proses, suatu aktivitas yang digunakan untuk mentransfer ide/gagasan, program atau harapan-harapan yang dituangkan dalam bentuk perilaku atau tindakan yang nyata. 2.6.
Nilai Budaya Lokal
2.6.1. Konsep Nilai Budaya
Theodorson dalam Pelly (1994) mengemukakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang abstrak, yang dijadikan pedoman serta prinsip – prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Keterikatan orang atau kelompok terhadap nilai menurut Theodorson relatif sangat kuat dan bahkan bersifat emosional. Oleh sebab itu, nilai dapat dilihat sebagai tujuan kehidupan manusia itu sendiri. 2.6.2. Teori-teori nilai dan Pengukurannya. Beberapa teori mengenai nilai dalam psikologi lintas budaya antara lain : Teori rokeach Rokeach memandang nilai sebagai suatu keyakinan yang relatif stabil dalam perwujudannya dapat di jadikan menjadi dua kategori yaitu: a. Nilai instrumental Nilai sebagai alat atau instrumental dapat bersifat dua macam yaitu sebagai nilai moral adalah nilai yang berkaitan dengan tingkah laku yang berhubungan intrapersonal terhadap hati nurani. Sedangkan sebagai nilai kompetensi atau aktualisasi diri adalah nilai instrumental yang fokusnya lebih bersifat pribadi dan tidak terlalu kelihatan berkaitan langsung dengan moralitas. Jika terjadi pelanggaran terhadap nilai kompetensi akan berakibat adanya perasaan malu karena ketidak mampuan diri.
b. Nilai Terminal. Di bagi menjadi dua macam yaitu bersifat pribadi yaitu nilai di pusatkan pada diri sendiri dan bersifat sosial yaitu nilai yang di pusatkan pada
masyarakat.
Berdasarkan survey nilai rokeach (dalam robbins, 1996) masing-masing perangkat nilai terdiri atas 18 item nilai individu yaitu : a. Nilai instrumental yang merujuk pada modus perilaku yang lebih di sukai atau cara mencapai nilai terminal. Aspek yang terkandung di dalamnya adalah : ambisius/giat bekerja, berwawasan luas, mampu, efektif, riang gembira, bersih, berani, memaafkan, bekerja tuk kesejahteraan orang lain, jujur, imaginatif, dan lain sebagainya b. Nilai terminal merujuk ke keadaan akhir eksistensi yang sangat di inginkan. Aspek yang terkandung di dalamnya adalah hidup nyaman, hidup menggairahkan, rasa berprestasi, dunia damai, dunia yang indah, kesempatan yang sama untuk semua, keamanan keluarga, kemerdekaan, kebahagiaan, harmoni, persahabatan sejati. Teori ini memiliki kelebihan yaitu : mudah dalam administrasi p[enyelenggaraannya dan responden poada umumnya tertarik. Selain itu teori ini juga
memliki kelemahan yaitu prosedur ranking hanya
memberikan informasi tentang kepentingan relatif dari nilai-nilai yang berbeda dan bukan kepentingan absolut. Terlebih tiap nilai hanya di
sajikan dalam bentuk item tunggal karena lebih baik jika di gunakan item ganda untuk tiap-tiap nilai sehingga akan lebih valid. Masalah nilai budaya dan kaitannya dalam pembangunan wilayah berkaitan dengan hampir seluruh aspek kehidupan manusia dan masyarakat. Dengan demikian, jelas sekali bahwa penelitian ini tidak mungkin membicarakan ruang lingkup yang demikian luasnya, hal ini disebabkan oleh karena keterbatasan waktu dan kemampuan penulis untuk
melakukan
hal
itu.
Untuk
menghindari
kesimpangsiuran
pemahaman, maka ada baiknya terlebih dahulu dijelaskan apa yang dimaksud dengan nilai – nilai budaya itu. Menurut Koentjaraningrat (1987:85) nilai budaya terdiri dari konsepsi – konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai hal – hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara – cara, alat – alat, dan tujuan – tujuan pembuatan yang tersedia. Clyde Kluckhohn dalam Pelly (1994) mendefinisikan nilai budaya sebagai konsepsi umum yang terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku yang berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan tentang hal – hal yang diingini dan tidak diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan orang dengan lingkungan dan sesama manusia.
Sementara itu Sumaatmadja dalam Marpaung (2000) mengatakan bahwa pada perkembangan, pengembangan, penerapan budaya dalam kehidupan, berkembang pula nilai – nilai yang melekat di masyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya. Selanjutnya, bertitik tolak dari pendapat diatas, maka dapat dikatakan bahwa setiap individu dalam melaksanakan aktifitas sosialnya selalu berdasarkan serta berpedoman kepada nilai – nilai atau system nilai yang ada dan hidup dalam masyarakat itu sendiri. Artinya nilai – nilai itu sangat banyak mempengaruhi tindakan dan perilaku manusia, baik secara individual, kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut. Suatu nilai apabila sudah membudaya didalam diri seseorang, maka nilai itu akan dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk di dalam bertingkahlaku. Hal ini dapat dilihat dalam kehidupan sehari – hari, misalnya budaya gotong royong, budaya malas, dan lain – lain. Jadi, secara universal, nilai itu merupakan pendorong bagi seseorang dalam mencapai tujuan tertentu. Sementara itu secara umum ahli – ahli social berasumsi bahwa orientasi nilai budaya merupakan suatu indicator bagi pemahaman tentang kemampuan sumber daya dan kualitas manusia. Dalam konsep manusia seutuhnya yang mencakup dimensi lahiriah dan rohaniah, orientasi nilai
merupakan salah satu factor yang ikut membentuk kondisi dan potensi rohaniah manusia. 2.6.3. Orientasi Nilai Budaya Kluckhohn dalam Pelly (1994) mengemukakan bahwa nilai budaya merupakan sebuah konsep beruanglingkup luas yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga suatu masyarakat, mengenai apa yang paling berharga dalam hidup. Rangkaian konsep itu satu sama lain saling berkaitan dan merupakan sebuah sistem nilai – nilai budaya. Secara fungsional sistem nilai ini mendorong individu untuk berperilaku seperti apa yang ditentukan. Mereka percaya, bahwa hanya dengan berperilaku seperti itu mereka akan berhasil (Kahl, dalam Pelly:1994). Sistem nilai itu menjadi pedoman yang melekat erat secara emosional pada diri seseorang atau sekumpulan orang, malah merupakan tujuan hidup yang diperjuangkan. Oleh karena itu, merubah sistem nilai manusia tidaklah mudah, dibutuhkan waktu. Sebab, nilai – nilai tersebut merupakan wujud ideal dari lingkungan sosialnya. Dapat pula dikatakan bahwa
sistem nilai
budaya suatu masyarakat
merupakan wujud
konsepsional dari kebudayaan mereka, yang seolah – olah berada diluar dan di atas para individu warga masyarakat itu. Ada lima masalah pokok kehidupan manusia dalam setiap kebudayaan yang dapat ditemukan secara universal. Menurut Kluckhohn dalam Pelly (1994) kelima masalah pokok tersebut adalah: (1) masalah hakekat hidup, (2) hakekat kerja atau karya manusia, (3) hakekat
kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar, dan (5) hakekat dari hubungan manusia dengan manusia sesamanya. Berbagai kebudayaan mengkonsepsikan masalah universal ini dengan berbagai variasi yang berbeda – beda. Seperti masalah pertama, yaitu mengenai hakekat hidup manusia. Dalam banyak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Budha misalnya, menganggap hidup itu buruk dan menyedihkan. Oleh karena itu pola kehidupan masyarakatnya berusaha untuk memadamkan hidup itu guna mendapatkan nirwana, dan mengenyampingkan segala tindakan yang dapat menambah rangkaian hidup kembali (samsara) (Koentjaraningrat, 1986:10). Pandangan seperti ini sangat mempengaruhi wawasan dan makna kehidupan itu secara keseluruhan. Sebaliknya banyak kebudayaan yang berpendapat bahwa hidup itu baik. Tentu konsep – konsep kebudayaan yang berbeda ini berpengaruh pula pada sikap dan wawasan mereka. Masalah kedua mengenai hakekat kerja atau karya dalam kehidupan. Ada kebudayaan yang memandang bahwa kerja itu sebagai usaha untuk kelangsungan hidup (survive) semata. Kelompok ini kurang tertarik kepada kerja keras. Akan tetapi ada juga yang menganggap kerja untuk mendapatkan status, jabatan dan kehormatan. Namun, ada yang berpendapat bahwa kerja untuk mempertinggi prestasi. Mereka ini berorientasi kepada prestasi bukan kepada status.
Masalah ketiga mengenai orientasi manusia terhadap waktu. Ada budaya yang memandang penting masa lampau, tetapi ada yang melihat masa kini sebagai focus usaha dalam perjuangannya. Sebaliknya ada yang jauh melihat kedepan. Pandangan yang berbeda dalam dimensi waktu ini sangat mempengaruhi perencanaan hidup masyarakatnya. Masalah keempat berkaitan dengan kedudukan fungsional manusia terhadap alam. Ada yang percaya bahwa alam itu dahsyat dan mengenai kehidupan manusia. Sebaliknya ada yang menganggap alam sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk dikuasai manusia. Akan tetapi, ada juga kebudayaan ingin mencari harmoni dan keselarasan dengan alam. Cara pandang ini akan berpengaruh terhadap pola aktivitas masyarakatnya. Masalah kelima menyangkut hubungan antar manusia. Dalam banyak kebudayaan hubungan ini tampak dalam bentuk orientasi berfikir, cara bermusyawarah, mengambil keputusan dan bertindak. Kebudayaan yang
menekankan
hubungan
horizontal (koleteral)
antar
individu,
cenderung untuk mementingkan hak azasi, kemerdekaan dan kemandirian seperti terlihat dalam masyarakat – masyarakat eligaterian. Sebaliknya kebudayaan yang menekankan hubungan vertical cenderung untuk mengembangkan orientasi keatas (kepada senioritas, penguasa atau pemimpin). Orientasi ini banyak terdapat dalam masyarakat paternalistic (kebapaan). Tentu saja pandangan ini sangat mempengaruhi proses dinamika dan mobilitas social masyarakatnya.
Inti permasalahan disini seperti yang dikemukakan oleh Manan dalam Pelly (1994) adalah siapa yang harus mengambil keputusan. Sebaiknya dalam system hubungan vertical keputusan dibuat oleh atasan (senior)
untuk
semua
orang.
Tetapi
dalam
masyarakat
yang
mementingkan kemandirian individual, maka keputusan dibuat dan diarahkan kepada masing – masing individu. Pola orientasi nilai budaya yang hitam putih tersebut di atas merupakan pola yang ideal untuk masing – masing pihak. Dalam kenyataannya terdapat nuansa atau variasi antara kedua pola yang ekstrim itu yang dapat disebut sebagai pola transisional. Kerangka Kluckhohn mengenai lima masalah dasar dalam hidup yang menentukan orientasi nilai budaya manusia. Meskipun cara mengkonsepsikan lima masalah pokok dalam kehidupan manusia yang universal itu sebagaimana yang tersebut diatas berbeda – beda untuk tiap masyarakat dan kebudayaan, namun dalam tiap lingkungan masyarakat dan kebudayaan tersebut lima hal tersebut di atas selalu ada. 2.7.
Kepemimpinan Pemerintahan
2.7.1. Konsep Kepemimpinan 2.7.1.1.
Pengertian
Kepemimpinan berasal dari kata pimpin yang memuat dua hal pokok yaitu: pemimpin sebagai subjek dan yang dipimpin sebagai objek. Kata pimpin mengandung pengertian mengarahkan, membina atau
mengatur, menuntun dan juga menunjukkan ataupun mempengaruhi. Pemimpin mempunyai tanggung jawab baik secara fisik maupun spiritual terhadap keberhasilan aktivitas kerja dari yang dipimpin, sehingga menjadi pemimpin itu tidak mudah dan tidak akan setiap orang mempunyai kesamaan di dalam menjalankan ke-pemimpinannya. Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pemimpin. Seorang
pemimpin
adalah
seseorang
yang
mempunyai
keahlian
memimpin, mempunyai kemampuan mempengaruh pendirian/pendapat orang atau sekelompok orang tanpa menanyakan alasan-alasannya. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat rencanarencana,
mengkoordinasi,
melakukan
percobaan
dan
memimpin
pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama-sama. Namun ada beberapa pengertian kepemimpinan, antara lain: Kepemimpinan adalah pengaruh antar pribadi, dalam situasi tertentu dan langsung melalui proses komunikasi untuk mencapai satu atau beberapa tujuan tertentu (Tannebaum, Weschler and Nassarik, 1961, 24). Kepemimpinan adalah sikap pribadi, yang memimpin pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan yang diinginkan. (Shared Goal, Hemhiel & Coons, 1957, 7). Kepemimpinan adalah suatu proses yang mempengaruhi aktifitas kelompok yang diatur untuk mencapai tujuan bersama (Rauch & Behling, 1984, 46).
Kepemimpinan
adalah
kemampuan
seni atau
tehnik
untuk
membuat sebuah kelompok atau orang mengikuti dan menaati segala keinginannya. Kepemimpinan adalah suatu proses yang memberi arti (penuh arti kepemimpinan) pada kerjasama dan dihasilkan dengan kemauan untuk memimpin dalam mencapai tujuan (Jacobs & Jacques, 1990, 281). 2.7.1.2.
Latar Belakang Sejarah Kepemimpinan
Pada dasarnya suatu kepemimpinan muncul bersamaan dengan adanya peradaban manusia yaitu sejak zaman Nabi dan nenek moyang disini terjadi perkumpulan bersama yang kemudian bekerja sama untuk mempertahankan hidupnya dari kepunahan, sehingga perlu suatu kepemimpinan. Pada soal itu seorang yang dijadikan pemimpin adalah orang yang paling kuat, paling cerdas dan paling pemberani. Jadi kepemimpinan muncul karena adanya peradaban dan perkumpulan antara beberapa manusia. 1. Sebab munculnya kepemimpinan Mengenai
sebab-musabab
munculnya
pemimpin
telah
dikemukakan berbagai pandangan dan pendapat yang mana pendapat tersebut berupa teori yang dapat dibenarkan secara ilmiah, ilmu pengetahuan atau secara praktek. Munculnya pemimpin dikemukan dalam beberapa teori, yaitu; Teori pertama, berpendapat bahwa seseorang akan menjadi pemimpin karena ia dilahirkan untuk menjadi pemimpin; dengan kata lain
ia mempunyai bakat dan pembawaan untuk menjadi pemimpin. Menurut teori ini tidak setiap orang bisa menjadi pemimpin, hanya orang-orang yang mempunyai bakat dan pembawaan saja yang bisa menjadi pemimpin. Maka munculah istilah “leaders are borned not built”. Teori ini disebut teori genetis. Teori
kedua,
mengatakan
bahwa
seseorang
akan
menjadi
pemimpin kalau lingkungan, waktu atau keadaan memungkinkan ia menjadi pemimpin. Setiap orang bisa memimpi asal diberi kesempatan dan diberi pembinaan untuk menjadi pemimpin walaupun ia tidak mempunyai bakat atau pembawaan. Maka munculah istilah “leaders are built not borned”. Teori ini disebut teori social. Teori ketiga, merupakan gabungan dari teori yang pertama dan yang kedua, ialah untuk menjadi seorang pemimpin perlu bakat dan bakat itu
perlu
dibina
supaya
berkembang.
Kemungkinan
untuk
mengembangkan bakat ini tergantung kepada lingkungan, waktu dan keadaan. Teori ini disebut teori ekologis. Teori keempat, disebut teori situasi. Menurut teori ini setiap orang bisa menjadi pemimpin, tetapi dalam situasi tertentu saja, karena ia mepunyai kelibihan-kelebihan yang diperlukan dalam situasi itu. Dalam situasi lain dimana kelebihan-kelebiahannya itu tidak diperlukan, ia tidak akan menjadi pemimpin, bahkan mungkin hanya menjadi pengikut saja. Dengan demikian seorang pemimpin yang ingin meningkatkan kemampuan dan kecakapannya dalam memimpin, perlu mengetahui
ruang lingkup gaya kepemimpinan yang efektif. Para ahli di bidang kepemimpinan telah meneliti dan mengembangkan gaya kepemimpinan yang berbeda-beda sesuai dengan evolusi teori kepemimpinan. Untuk ruang lingkup gaya kepemimpinan terdapat tiga pendekatan utama yaitu: pendekatan sifat kepribadian pemimpin, pendekatan perilaku pemimpin, dan pendekatan situasional atau kontingensi. 2.7.1.3.
Tipe dan Gaya kepemimpinan
Pemimpin itu mempunyai sifat, kebiasaan, watak dan kepribadian sendiri yang khas. Sehingga tingkah laku dan gayanyalah yang membedakan dirinya dengan orang lain. Gaya pasti akan selalu mewarnai perilaku dan tipe kepemimpinannya. Para tokoh sarjana membagi tipe kepemimpinan menjadi 8 : 1. Tipe kharismatik 2. Tipe paternalistic 3. Tipe militeristis 4. Tipe otokratis 5. Tipe Lousser Faire 6. Tipe Populistis 7. Tipe Administratif 8. Tipe Demokratis
W.J. Raddin dalam artikelnya what kind of manager menentukan watak dan tipe pemimpin atau tiga pola dasar, yaitu : Berorientasikan tugas ( task orientation ) Berorientasikan hubungan kerja ( relationship orientation ) Berorientasikan hasil yang efektif ( effectives orientation ) Berdasarkan penonjolan ketiga orientasi tersebut, dapat ditentukan 8 tipe kepemimpinan dan memiliki sifat-sifat tersendiri, yaitu : 1. Tipe deserter ( pembelot ) 2. Tipe birokrat 3. Tipe misionaris 4. Tipe developer ( pembangun ) 5. Tipe otokrat 6. Benevolent autocrat ( otokrat yang bijak ) 7. Tipe compromiser ( kompromis ) 8. Tipe eksekusi. 2.7.1.4.
Syarat-Syarat Kepemimpinan
Konsepsi mengenai persyaratan kepemimpinan selalu berkaitan dengan 3 hal antara lain : Kekuasaan Ialah kekuatan, otoritas dan legalitas yang memberikan wewenang kepada pemimpin guna mempengaruhi dan menggerakkan bawahan untuk berbuat sesuatu.
Kewibawaan Ialah kelebihan, keunggulan, keutamaan sehingga orang mampu “mbawani” akan mengatur orang lain, sehingga orang tersebut patuh pada pemimpin dan tersedia melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. Kemampuan Yaitu : segala daya, kesanggupan, kekuatan dan kecakapan atau ketrampilan teknis maupun sosial, yang dianggap melebihidan kemampuan anggota biasa. Stoq Dill dalam bukunya “Personal Factor Associated With Leadership” menyatakan bahwa pemimpin itu harus memiliki beberapa kelebihan yaitu : -
Kapasitas
-
Pretasi
-
Tanggung jawab
-
Partisipasi
-
Status Sedangkan
menurut
Earl
Nightingale
dan
Whitf
Schult
mengemukakan bahwa seorang pemimpin harus memiliki kemampuan dan syarat sebagai berikut : -
Kemandirian
-
Besar rasa ingin tahu
-
Multi – terampil atau memiliki kepandaian beraneka ragam
-
Memiliki rasa humor, antusiasme tinggi, suka berkawan
-
Selalu ingin mendapatkan yang sempurna
-
Mudah menyesaikan diri ( beradaptasi )
-
Sabar dan ulet
-
Komunikatif serta pandai berbicara
-
Berjiwa wiraswasta
-
Sehat jasmaninya, dinamis, sanggup dan berani mengambil risiko
-
Tajam firasatnya dan adil pertimbangannya
-
Berpengetahuan luas dan haus akan ilmu pengetahuan
-
Memiliki motivasi tinggi
-
Punya imajinasi tinggi Dari beberapa kelebihan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
seorang pemimpin itu harus memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan anggota-anggotanya. Adab dengan kelebihan-kelebihan tersebut dia bisa berwibawa dan dipatuhi oleh bawahannya dan yang paling lebih utama adalah kelebihan moral dan akhlak. 2.7.1.5.
Teori Kepemimpinan
Kegiatan manusia secara bersama-sama selalu membutuhkan kepemimpinan. Untuk berbagai usaha dan kegiatannya diperlukan upaya yang terencana dan sistematis dalam melatih dan mempersiapkan pemimpin baru. Oleh karena itu, banyak studi dan penelitian dilakukan orang untuk mempelajari masalah pemimpin dan kepemimpinan yang menghasilkan berbagai teori tentang kepemimpinan. Teori kepemimpinan merupakan penggeneralisasian suatu seri perilaku pemimpin dan konsepkonsep kepemimpinannya, dengan menonjolkan latar belakang historis,
sebab-sebab timbulnya kepemimpinan, persyaratan pemimpin, sifat utama pemimpin, tugas pokok dan fungsinya serta etika profesi kepemimpinan (Kartini Kartono, 1994: 27). Teori kepemimpinan pada umumnya berusaha untuk memberikan penjelasan dan interpretasi mengenai pemimpin dan kepemimpinan dengan mengemukakan beberapa segi antara lain : Latar belakang sejarah pemimpin dan kepemimpinan Kepemimpinan muncul sejalan dengan peradaban manusia. Pemimpin dan kepemimpinan selalu diperlukan dalam setiap masa. Sebab-sebab munculnya pemimpin Ada beberapa sebab seseorang menjadi pemimpin, antara lain: a. Seseorang ditakdirkan lahir untuk menjadi pemimpin. Seseorang menjadi pemimpin melalui usaha penyiapan dan pendidikan serta didorong oleh kemauan sendiri. b. Seseorang menjadi pemimpin bila sejak lahir ia memiliki bakat kepemimpinan kemudian dikembangkan melalui pendidikan dan pengalaman serta sesuai dengan tuntutan lingkungan. Untuk mengenai persyaratan kepemimpinan selalu dikaitkan dengan kekuasaan, kewibawaan, dan kemampuan. 1. Teori-teori dalam Kepemimpinan a. Teori Sifat Teori ini bertolak dari dasar pemikiran bahwa keberhasilan seorang pemimpin ditentukan oleh sifat-sifat, perangai atau ciri-ciri yang dimiliki pemimpin itu. Atas dasar pemikiran tersebut timbul anggapan bahwa
untuk menjadi seorang pemimpin yang berhasil, sangat ditentukan oleh kemampuan pribadi pemimpin. Dan kemampuan pribadi yang dimaksud adalah kualitas seseorang dengan berbagai sifat, perangai atau ciri-ciri di dalamnya. Ciri-ciri ideal yang perlu dimiliki pemimpin menurut Sondang P Siagian (1994:75-76) adalah: – pengetahuan umum yang luas, daya ingat yang
kuat,
rasionalitas,
obyektivitas,
pragmatisme,
fleksibilitas,
adaptabilitas, orientasi masa depan; – sifat inkuisitif, rasa tepat waktu, rasa kohesi yang tinggi, naluri relevansi, keteladanan, ketegasan, keberanian, sikap yang antisipatif, kesediaan menjadi pendengar yang baik,
kapasitas
integratif;
–
kemampuan
untuk
bertumbuh
dan
berkembang, analitik, menentukan skala prioritas, membedakan yang urgen dan yang penting, keterampilan mendidik, dan berkomunikasi secara efektif. Walaupun teori sifat memiliki berbagai kelemahan (antara lain : terlalu bersifat deskriptif, tidak selalu ada relevansi antara sifat yang dianggap unggul dengan efektivitas kepemimpinan) dan dianggap sebagai teori yang sudah kuno, namun apabila kita renungkan nilai-nilai moral dan akhlak yang terkandung didalamnya mengenai berbagai rumusan sifat, ciri atau perangai pemimpin; justru sangat diperlukan oleh kepemimpinan yang menerapkan prinsip keteladanan. b. Teori Perilaku
Dasar pemikiran teori ini adalah kepemimpinan merupakan perilaku seorang individu ketika melakukan kegiatan pengarahan suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan. Dalam hal ini, pemimpin mempunyai deskripsi perilaku: Perilaku
seorang
bawahan mendukung,
pemimpin
memiliki
ciri
membela,
yang
ramah
cenderung
mementingkan
tamah,mau
berkonsultasi,
mendengarkan,
menerima
usul
dan
memikirkan kesejahteraan bawahan serta memperlakukannya setingkat dirinya. Di samping itu terdapat pula kecenderungan perilaku pemimpin yang lebih mementingkan tugas organisasi. Berorientasi kepada bawahan dan produksi perilaku pemimpin yang berorientasi kepada bawahan ditandai oleh penekanan pada hubungan atasan-bawahan, perhatian pribadi pemimpin pada pemuasan
kebutuhan
bawahan
serta
menerima
perbedaan
kepribadian, kemampuan dan perilaku bawahan. Sedangkan perilaku pemimpin yang berorientasi pada produksi memiliki kecenderungan
penekanan
pada
segi
teknis
pekerjaan,
pengutamaan penyelenggaraan dan penyelesaian tugas serta pencapaian tujuan. Pada sisi lain, perilaku pemimpin menurut model leadership continuum pada dasarnya ada dua yaitu berorientasi kepada pemimpin dan bawahan. Sedangkan berdasarkan model grafik kepemimpinan, perilaku setiap pemimpin dapat diukur melalui dua dimensi yaitu
perhatiannya terhadap hasil/tugas dan terhadap bawahan/hubungan kerja. Kecenderungan
perilaku
pemimpin
pada
hakikatnya
tidak
dapat
dilepaskan dari masalah fungsi dan gaya kepemimpinan (JAF.Stoner, 1978:442-443) c. Teori Situasional Keberhasilan
seorang
pemimpin
menurut
teori
situasional
ditentukan oleh ciri kepemimpinan dengan perilaku tertentu yang disesuaikan
dengan
tuntutan
situasi
kepemimpinan
dan
situasi
organisasional yang dihadapi dengan memperhitungkan faktor waktu dan ruang. Faktor situasional yang berpengaruh terhadap gaya kepemimpinan tertentu menurut Sondang P. Siagian (1994:129) adalah •
Jenis pekerjaan dan kompleksitas tugas;
•
Bentuk dan sifat teknologi yang digunakan;
•
Persepsi, sikap dan gaya kepemimpinan;
•
Norma yang dianut kelompok;
•
Rentang kendali;
•
Ancaman dari luar organisasi;
•
Tingkat stress;
•
Iklim yang terdapat dalam organisasi. Efektivitas kepemimpinan seseorang ditentukan oleh kemampuan
“membaca”
situasi
yang
dihadapi
dan
menyesuaikan
gaya
kepemimpinannya agar cocok dengan dan mampu memenuhi tuntutan
situasi tersebut. Penyesuaian gaya kepemimpinan dimaksud adalah kemampuan menentukan ciri kepemimpinan dan perilaku tertentu karena tuntutan situasi tertentu. Sehubungan dengan hal tersebut berkembanglah model-model kepemimpinan berikut: a. Model kontinuum Otokratik-Demokratik Gaya dan perilaku kepemimpinan tertentu selain berhubungan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, juga berkaitan dengan fungsi kepemimpinan tertentu yang harus diselenggarakan. Contoh: dalam hal pengambilan keputusan, pemimpin bergaya otokratik akan mengambil keputusan sendiri, ciri kepemimpinan yang menonjol ketegasan disertai perilaku yang berorientasi pada penyelesaian tugas.Sedangkan pemimpin bergaya demokratik akan mengajak bawahannya untuk berpartisipasi. Ciri kepemimpinan yang menonjol di sini adalah menjadi pendengar yang baik disertai perilaku memberikan perhatian pada kepentingan dan kebutuhan bawahan. b. Model ” Interaksi Atasan-Bawahan” Menurut model ini, efektivitas kepemimpinan seseorang tergantung pada interaksi yang terjadi antara pemimpin dan bawahannya dan sejauhmana interaksi tersebut mempengaruhi perilaku pemimpin yang bersangkutan. Seorang akan menjadi pemimpin yang efektif, apabila: * Hubungan atasan dan bawahan dikategorikan baik; * Tugas yang harus dikerjakan bawahan disusun pada tingkat struktur yang tinggi; * Posisi kewenangan pemimpin tergolong kuat.
c. Model Situasional Model ini menekankan bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang tergantung pada pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat untuk menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan jiwa bawahan. Dimensi kepemimpinan yang digunakan dalam model ini adalah perilaku pemimpin yang berkaitan dengan tugas kepemimpinannya dan hubungan atasan-bawahan. Berdasarkan dimensi tersebut, gaya kepemimpinan yang dapat digunakan adalah : •
Memberitahukan;
•
Menjual;
•
Mengajak bawahan berperan serta;
•
Melakukan pendelegasian.
d. Model ” Jalan- Tujuan ” Seorang pemimpin yang efektif menurut model ini adalah pemimpin yang mampu menunjukkan jalan yang dapat ditempuh bawahan. Salah satu mekanisme untuk mewujudkan hal tersebut yaitu kejelasan tugas yang harus dilakukan bawahan dan perhatian pemimpin kepada kepentingan dan kebutuhan bawahannya. Perilaku pemimpin berkaitan dengan
hal
tersebut
harus
merupakan
faktor
motivasional
bagi
bawahannya. e. Model “Pimpinan-Peran serta Bawahan” : Perhatian utama model ini adalah perilaku pemimpin dikaitkan dengan proses
pengambilan
keputusan. Perilaku
pemimpin
perlu
disesuaikan dengan struktur tugas yang harus diselesaikan oleh bawahannya. Salah satu syarat penting untuk paradigma tersebut adalah adanya serangkaian ketentuan yang harus ditaati oleh bawahan dalam menentukan bentuk dan tingkat peran serta bawahan dalam pengambilan keputusan. Bentuk dan tingkat peran serta bawahan tersebut “didiktekan” oleh situasi yang dihadapi dan masalah yang ingin dipecahkan melalui proses pengambilan keputusan. 2.7.2. Konsep Pemerintahan 2.7.2.1.
Pemerintah
Secara etimologis, pemerintah berasal dari perkataan perintah. Menurut Kamus Bahasa Indonesia kata-kata tersebut mempunyai arti sebagai berikut: a.
Pemerintah adalah perkataan yang bermaksud menyuruh melakukan sesuatu.
b.
Pemerintah adalah kekuasaan memerintah suatu Negara atau badan tertinggi yang memerintah Negara.
c.
Pemerintah
adalah
perbuatan
(cara,
hal,
urusan,
dan
sebagainya) pemerintah. Dalam kepustakaan Inggris dijumpai kata “Goverment” yang diartikan sebagai “pemerintah” atauapun sebagai “pemerintahan”. Samuel Edward Finer yang dikutip oleh S. Pramudji, menyatakan bahwa istilah Government paling sedikit mempunyai empat arti, yaitu:
a.
Menunjukkan
kegiatan
atau
proses
pemerintah,
yaitu
melaksanakan kontrak atas pihak lain (the activity or the process of government) b.
Menunjukkan masalah-masalah Negara dalam mana kegiatan atau proses di atas dijumpai.
c.
Menunjukkan orang-orang (maksudnya pejabat-pejabat) yang dibebani tugas-tugas untuk memerintah.
d.
Menunjukkan cara, metode, atau system dengan mana suatu masyarakat tertentu diperintah.
Menurut C.F Strong dalam bukunya Modern Political Constitution, yang dimaksud dengan pemerintah adalah lembaga atau organisasi yang melekat kewenangan untuk melaksanakan kekuasaan Negara. Juga merupakan lembaga yang memiliki tanggung jawab guna melaksanakan keamanan dari ancaman baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Karenanya pemerintah harus memiliki : a.
Kemampuan untuk mengawasi angkatan bersenjata;
b.
Kewenangan untuk membuat undang-undang;
c.
Kekuasaan financial, yaitu kewenangan untuk memungut pajak dan cukai atau bentuk pungutan-pungutan lain dari rakyat guna biaya mempertahankan Negara serta menjalankan hukum.
2.7.2.2.
Pemerintahan
Adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintahan dalam arti luas. Menurut S. E. Finer istilah pemerintahan paling tidak memiliki empat hal yaitu: a.
Menunjukkan
kegiatan
atau
proses
memerintah,
yaitu
melaksanakan pengawasan atau pihak atau lembaga lain; b.
Menunjukkan
permasalahan-permasalahan
Negara
atau
proses memilih terhadap masalah-masalah yang dijumpai; c.
Menunjukkan cara-cara atau metode atau system yang digunakan untuk mengatur masyarakat.
Jadi uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemerintah dalam arti luas adalah kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh Badanbadan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif serta Kepolisian dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan. Sedangkan dalam arti sempit adalah kegiatan-kegiatan pemerintah yang dilakukan oleh Badan Eksekutif guna mencapai tujuan pemerintah. 2.7.2.3.
Jabatan Struktural dalam Pemerintahan
Jabatan Struktural adalah jabatan yang secara tegas tercantum dalam struktur organisasi yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jabatan struktural dibagi ke dalam tingkatan-tingkatan yang disebut eselon.
1. Eselon I
Eselon i merupakan hirarki jabatan struktural yang tertinggi, terdiri dari 2 jenjang: eselon ia dan eselon ib. Jenjang pangkat bagi eselon i adalah terendah golongan iv/c dan tertinggi golongan iv/e.
Ini
berarti
berpangkat
secara
pembina
kepangkatan,
yang
makna
personelnya
sudah
kepangkatannya adalah
membina dan mengembangkan. Di tingkat provinsi, maka eselon i dapat dianggap sebagai pucuk pimpinan wilayah (provinsi) yang berfungsi sebagai penanggungjawab efektivitas provinsi yang dipimpinnya. Hal itu dilakukan melalui keahliannya dalam menetapkan kebijakan-kebijakan pokok yang akan membawa provinsi mencapai sasaran-sasaran jangka pendek maupun jangka panjang. 2. ESELON II Eselon ii merupakan hirarki jabatan struktural lapis kedua, terdiri dari 2 jenjang: eselon iia dan eselon iib. Jenjang pangkat bagi eselon ii adalah terendah golongan iv/c dan tertinggi golongan iv/d. Ini berarti secara kepangkatan, personelnya juga sudah berpangkat
pembina
yang
makna
kepangkatannya adalah
membina dan mengembangkan. Di tingkat provinsi, maka eselon ii dapat dianggap sebagai manajer puncak satuan kerja (intansi). Mereka mengemban fungsi sebagai penanggungjawab efektivitas instansi
yang
dipimpinnya
melalui
keahliannya
dalam
perancangan dan implementasi strategi guna merealisasikan implementasi kebijakan-kebijakan pokok provinsi. 3. ESELON III Eselon iii merupakan hirarki jabatan struktural lapis ketiga, terdiri dari 2 jenjang: eselon iiia dan eselon iiib. Jenjang pangkat bagi eselon iii adalah terendah golongan iii/d dan tertinggi golongan iv/d. Ini berarti secara kepangkatan, personelnya juga berpangkat pembina atau penata yang sudah mumpuni (penata tingkat i) sehingga
tanggungjawabnya
adalah
membina
dan
mengembangkan. Di tingkat provinsi, eselon iii dapat dianggap sebagai manajer madya satuan kerja (intansi) yang berfungsi sebagai penanggungjawab penyusunan dan realisasi programprogram yang diturunkan dari strategi instansi yang ditetapkan oleh eselon ii. 4. ESELON IV Eselon iv merupakan hirarki jabatan struktural lapis keempat, terdiri dari 2 jenjang: eselon iva dan eselon ivb. Jenjang pangkat bagi eselon iv adalah terendah golongan iii/b dan tertinggi golongan iii/d. Ini berarti secara kepangkatan, personelnya berpangkat penata yang sudah cukup berpengalaman. Makna kepangkatannya adalah menjamin mutu. Oleh karenanya di tingkat provinsi, eselon iv dapat dianggap sebagai manajer lini satuan kerja (instansi) yang berfungsi sebagai penanggungjawab
kegiatan yang dioperasionalisasikan dari program yang disusun di tingkatan eselon iii. Kemudian dalam PP 41 Tahun 2007 tentang organisasi perangkat daerah, Eselon Jabatan Perangkat Daerah Kabupaten/Kota pada Pasal 35, disebutkan: 1. Sekretaris daerah merupakan jabatan struktural eselon IIa. 2. Asisten, sekretaris DPRD, kepala dinas, kepala badan, inspektur, direktur rumah sakit umum daerah kelas A dan kelas B, dan direktur rumah sakit khusus daerah kelas A merupakan jabatan struktural eselon IIb. 3. Kepala kantor, camat, kepala bagian, sekretaris pada dinas, badan dan inspektorat, inspektur pembantu, direktur rumah sakit umum daerah kelas C, direktur rumah sakit khusus daerah kelas B, wakil direktur rumah sakit umum daerah kelas A dan kelas B, dan wakil direktur rumah sakit khusus daerah kelas A merupakan jabatan struktural eselon IIIa. 4. Kepala bidang pada dinas dan badan, kepala bagian dan kepala bidang pada rumah sakit umum daerah, direktur rumah sakit umum daerah kelas D, dan sekretaris camat merupakan jabatan struktural eselon IIIb. 5. Lurah, kepala seksi, kepala subbagian, kepala subbidang, dan kepala unit pelaksana teknis dinas dan badan merupakan jabatan structural eselon IVa.
6. Sekretaris kelurahan, kepala seksi pada kelurahan, kepala subbagian pada unit pelaksana teknis, kepala tata usaha sekolah kejuruan dan kepala subbagian pada sekretariat kecamatan merupakan jabatan struktural eselon IVb. 7. Kepala tata usaha sekolah lanjutan tingkat pertama dan kepala tata usaha sekolah menengah merupakan jabatan struktural eselon Va. 2.8.
Telaah Historikal Nilai Budaya Lokal di Kota Palopo Nasehat Maccae ri Luwu kepada La Baso Dalam sejarah disebutkan bahwa sebelum La Manasse To
Akkarangeng (La Baso) dinobatkan menjadi Datu Soppeng, ia meminta waktu untuk pergi belajar konsep ketatanegaraan kepada To Ciung Maccae ri Luwu pada Abad XVI. Yang dimaksud dengan To Ciung Maccae ri Luwu yaitu La Menggu To Mennang. Dalam organisasi pemerintahan Kerajaan Luwu sejak Pajung/Datu Luwu sampai Pajung/Luwu terakhir (Andi Jemma) mengalami beberapa kali perubahan yang substansial. Perubahan ini terjadi pertama kali periode We Tenri Rawe, Pajung/Datu XVI. Pada masa pemerintahannya, beliau di bantu oleh La Menggu Tomennang yang memangku jabatan sebagai Makkadangnge Tana ri Ware’ (Opu Patunru). La Menggu Tomennnang inilah yang mengajukan usul kepada Pajung/Datu agar dilakukan perubahan pada struktur Pakkatenni Ade’. Perubahan ini dimaksudkan unutk menambah kesempurnaan Pabbate’-bate’ (aparat).
Adapun susunan organisasi pada masa pemerintahan We Tenri Rawe, Pajung/Datu XIV, sebagai berikut: I.
Pemimpin yang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam kedatuan Luwu. 1. Datu Pajung sebagai Kepala Pemerintahan Kerajaan. 2. Cenning,
Wakil
Pajung/Datu
dalam
persidangan
bilamana
Pajung/Datu berhalangan di samping itu dapat menumumankan perang. II.
Pakkatenni Ade’ yang bertugas melaksanakan Pemerintahan yang mempunyai personil 4 orang yaitu: 1. Opu Patunru (Perdana Mentri) 2. Opu Pabbicara (Mentri Kehakiman) 3. Opu tomarilaleng (Mentri Dalam Negri) 4. Opu Balirante (Opu Kesra)
III.
Ade’ Asera yang mempunyai personil 9 orang: A. Anak Tellue adalah Kepala Pemerintahan Wilayah yang terdiri: 1. Makole Baebunta yang berkedudukan di Baebunta. 2. Madika Bua yang berkedudukan di Bua 3. Madika Ponrang yang berkedudukan Ponrang B. Bendera Tellue yang terdiri dari tiga personil: 1. Anri Guru Anak Arung (Wakil dari kaum bangsawan) 2. Anri Guru Atto Riolong (Wakil dari angkatan bersenjata) 3. Anri Guru Pampawa Epu (Wakil dari kaum buruh/petani)
C. Bate-Bate Tellue terdiri dari 3 personil: 1. Matoa Wage 2. Matoa cenrana 3. Matoa Laleng Tonro Jabatan
tersebut
dia
atas,
khusus
mengurusi
orang-orang
transmigrasi, baik di daerah Bone, Sopppeng, Wajo, termasuk Lilina Luwu, Limpona Ware pada zaman itu. Karena La Menggu To Mennang telah melakukan penyempurnaan Pabbate’-bate’ itulah, oleh Datu/Pajung Luwu, La Menggu To Mennang diberi gelar penghormatan sebagai To Maccae ri Luwu. Penghargaan ini di berikan sebagai penghormatan atas keahlian yang dimilki La Menggu Tomennang dalam ketatanegaraan. Kemapuan La Menggu To Mennnag sebagai seorang ahli ketatanegaraan ini memang telah memberikan warna lain bagi Kerajaan Luwu. Jasanya dalam membangun konsep ketatanegaraan di Kerajaan Luwu dipandang sangat bermanfaat, bukan hanya di Kerajaan Luwu, tetapi juga Kerajaan_kerajaan lain, utamanya yang ada di Sulawesi Selatan. Hal ini terlihat ketika seseorang bangsawan bernama La Baso To Akkarangeng menangguhkan pengangkatannya sebagai Datu di daerah Soppeng sebelum datang di Luwu untuk belajar kepada To Maccae’ ri Luwu. Setelah kembali ari Luwu menemui To Maccae ri Luwu barulah
beliau bersedia dinobatkan sebagai Datu di Soppeng. Hal ini termuat dalam Lontaran. Adapun percakapan To Maccae ri Luwu dengan La Baso To Akkarangeng kurang lebih sebagai berikut: Makkedai La Baso (Toakkaraneng), “Ia uakkatai o, Nene, aga gau’mu pekka to’gi taro bicaramu namaraja tannae ri
Luwu’?”
(Berkata La Baso’ (Toakkarangeng): “Adapun maksud saya kemari, Nenek (untuk menanyakan) apa yang engkau lakukan dan bagaimana ketentuan peradilanmu, sehingga negeri Luwu’ ini besar?”) Makkedai
Tomaccae’:
Ola’ku
uakkolaki,
sibawa
uattutuinnai
pengaderengnge lima mpuangenge.” (berkata Tomaccae ri Luwu’: “Takaranku kupakai menakar serta kujaga peradatan lima jenis.” Makkadai La Baso’:”Pakkugi muakkolakinna ola’mu,pekku to’gi muattuinna pangaderenge lima mpuangenge?” (Berkata La Baso’:”Apa maksudnya engkau menakar dengan takaranmu, dan bagaimana pula maksudnya engkau menjaga lima peradatan jenis?”) Makkedai Tomaccae ri Luwu’: “Iana uakkeda ola’ku uakkolaki, de upaliwuriwi taue narekko tennakodoiwi lliwuriwi. Deto upapawai taue ri tennaulewe. Deto upakennaiwi taue dua dadoso’,deto upatenniwi dua alu. (Berkata Tomaccae ri Luwu’: “Yang saya maksudkan dengan takaranku kupakai menakar, ialah tidak kusuruh seseorang tidur pada suatu tempat,
jika ia senang tidur di tempat tersebut. Tidak juga kubebani seseorang yang tidak disukainya. Tidak juga kusuruh seseorang membawa sesuatu yang tidak sesuai dengan kemampuannya. Tidak juga kukenakan pada seseorang dua beban yang berat;tidak juga kusuruh ia mengerjakan dua pekerjaan yang sama.) Naia riasennge pangadereng,lima mpuangenngi. Seuani, ade’ maraja. Maduanna ade’ pura onro. Matellunna tuppu. Maeppana wari’. Malimanna rapang. Ianaro ualitutui ala upasisapi-sapii; sibawa upa’ gettena becci’ pura
utaroe.
(Adapun yang disebut peradatan lima jenisnnya, Pertama ialah adat agung. Kedua, adat yang telah mantap. Ketiga, ialah pengurutan. Keempat,
ialah
peringkat/pemilah.
Kelima,
ialah
undang-
undang/peraturan. Itulah yang kujaga jangan sampai kupertukarkan; serta kurentang garis pelurus yang tekah kutetapkan.”) Makkedai La Baso’: “Aga riapa’ gettengi becci’?” (Berkata La Baso’: “Untuk apa tali pelurus itu dibentangkan?”) Makkedai Tomaccae ri Luwu’: “Eppa tau ri pa’gettengi becci’. Seunai, tomatawannge.
Maduanna,
Maeppana, tobenngoe.”
to
majekkoe.
Matellunna,
Tomaccae.
(Berkata Tomaccae ri Luwu’: “Empat jenis tali pelurus itu dibentangkan. Pertama, ialah orang yang kuat. Kedua, untuk orang yang curang. Ketiga, untuk orang yang pintar. Keempat, untuk orang yang dungu.”) Makkedai La Baso’ : “ Aga palorang welareng, pa’daungraung kaju?” (Berkata La Baso’: “Apa yang menjalin persaudaraan, dan mendatangkan kemakmuran?”) Makeddai Tomaccae ri Luwu’: “Ripariajangngi ri ajannge, riparilau ri laue, riparimaniannge, ri pariase’-I ri ase’-e, ripariawai ri awae.” (Berkata Tomaccae ri Luwu’:”Ditempatkan di Barat
yang Barat, di
Tempatkan di Timur yang Timur, di tempatka di Selatan yang Selatan, di tempatkan di atas yang di Atas, Di bawah yang bawah.” “Aga Lamperi Sunge’, Nene?” (“Apa yang Memeperpanjang Umur, Nenek?”) Naia Lamperi Sunge’, Lempue. Eppa Gau’na tomalempue. Seunai, risalaie na’dampeng.
Maduanna,
riparennuangie
tennapajekkoi.
Bettuanna
risanresie tennapabell.eang. Matellunna temmangoainngi taniae anunna. Maeppana, tesesse’ deceng rekko alena podecengngi.” (“Adapun yang memperpanjang umur, ialah kejujuran. Empat jenisnya orang jujur. Pertama, orang yang bersalah padanya tapi ia maafkan. Kedua, dipercayai dan tidak mencurangi. Artinya ia dijadikan saudara dan
tidak mengkhianati. Ketiga, tidak serakah terhadap apa yang bukan miliknya.
Keempat,
tidak
mencari
kebaikan
jika
hanya
ia
akan
menikmatinya..”) “Aga sa’binna lempue, Nene?” (“Apa yang menjadi bukti kejujuran itu, Nenek?”) “Arua sa’binna lempue. Seuani napariwawoi ri wawoe. Maduanna, napariawai ri awae. Matellunna, naparioloi ri oleo. Malimanna, napariabioi abioe.
Malimanna
napariataui ataue. Maenanna, naparimunriwi ri
parilalengngi ri lalennge.” (“Delapan hal yang menjadi bukti kejujuran itu. Pertama, diataskannya yang
diatas.
Kedua,
dibawahkannya
yang
di
bawah.
Ketiga,
didepankannya yang di depan. Keempat, dikirikannya yang di kiri. Kelima, dikanankannya yang di kanan. Kenam, di belakangkannya yang dibelakang. Ketujuh, dibiarkannya di luar yang diluar. Kedelapan, ditempatkannya didalam yang memang di dalam.”) “Aga pasawe tau, Nene, pa’biuja olokolo’?” (“Apa yang membanyakkan orang, Nenek; mengembangbiakkan hewan?”) “Iana ritu gettennge. Eppa gau’na gettennge. Seuani, tessalaie janci enrennge tessoaosi ulu ada. Maduanna, tellukkae anu pura enrennge teppnrae assituseng. Matellunna, narekko ma’bicarai, purapi napajaiwi. (“Itulah kteguhan hati. Empat jenisnya keteguhan hati. Pertama, tidak
mengingkari janji dan tidak melangkahi persetujuan. Kedua, tidak menguranmgi barang jadi, serta tidak mengubah kesepakatan. Ketiga, jika ia mengadili nanti telah putus baru ia berhenti.) Arua sa’binna gettennge. Seuani, teppale’bie ada. Matellunna, palettu’e passurong. Maeppana, poadae ada oatuju. Malimanna pugau’e gau’ makenna tuttureng, ssaroi mase ri salasanae. Maruana, pakatuaialena ri silalennae. (Delapan
bukti
ketabahan
itu.
Pertama
tidak
menambah-nambah
perkataan. Kedua, tidak mengurangi perkataan. Ketiga, melaksanakan suruhan. Keempat, mengucapkan perkataan benar. Kelima, melakukan perbuatan yang bermanfaat. Keenam, melaksanakan pekerjaan yang berpatutan, serta kata-katanya. Ketujuh, membantu orang lain menurut wajarnya. Kedelapan, merendah-rendahkan menurut patutnya.) “Aga pasawei bua-buana aju-kajunnge, namapato llapole sangiangseri?” (“Apa yang menjadikan buah pepohonan banyak, serta panen berhasil?”) “Eppa uwangenna pasawe ase pa’ daung raung kaju. Seuani mappemalipi pa’bicarae. Maduanna made-e. matellunna massenai taue ri laleng mpanua. Maeppana depa sapana sangias seri ri wannue (“Empat hal yang mendatangkan panen dan menjadikan pepohonan berdaun. Pertama, jika hakim berpantang. Kedua, raja yang memerintah baik terhadap isi rumahnya. Ketiga, bersatu rakyat dalam negeri. Keempat, tidak terdapat pantangan Sangiang Seri dalam negeri.)
Naia deceng ri aleng mpolana arung mangkua’-e, patampuangenngi. Seuanni malempue. Maduanna magettenngi. Matelluna tenaaja-ajai lalempolana arunnge. Maeppana tennaenrekiwi bolana arung mangkau’-e waramparang rigau’ bawang. (Mengenai kebaikan isi rumah raja yang memerintah, ada empat jenisnya. Pertama, ialah kejujuran. Kedua, keteguhan hati. Ketiga, tidak ia jamah isi rumahnya. Keempat, tidak masuk ke rumah raja barang yang tidak halal.) Naia masseuana taue, aruai uangenna. Riaseng mattau seua, seuani massiturui rui ri lalempanua. Maduanna, sialempurengngi. Matellunna, siakkeda tongengngi. Maeppana, siakkeda tongengengngi. Maeppana, siasirii. Malimanna, ja Nauru, deceng Nauru. Maenenna, sitereng ri bulue, tessinoreng
ri
lompo’e.
mapitunna
tessicirinnaiangngiri
salasanae.
Maruanna sipattongenngiri akkuanae. Narrieanna ma’bulo silampa, mallibu ittelo. Ia buloe malib u rilaleng, Malibu risaliweng. Naia itteloe, mapute namalibu ttampu ulawu. Ulawue mancaji manu’. Manu’e si makkitelloreng itello. Aga naia riasennge Malibu ittello, de ma’ diolowi, deto ma’ dimunri (ngi) wi. (Mengenai kesatuan rakyat, ada delapan jenisnya yang disebut bersatu itu. Pertama, seia sekata mereka dalam negeri. Kedua, jujur mereka bersamanya. Ketiga, saling berkata benar diantara mereka. Keempat, mereka saling memalui. Kelima, dalam duka mereka bersatu, dalam suka mereka bersatu. Keenam, ke gunung sama mendaki, ke ranah sama
menurun. Ketujuh, tak berhitng-hitung di antara sesamanya. Kedelapan, mereka saling membenarkan apa adanya. Maka dinamailah mereka sebagai buluh sebatang, bundar bagaikan telur. Adapun telur itu, putih lagi bundar, intinya itulah menjadi ayam. Ayam itu lagi menghasilkan telur. Maka dinamai bundar bagaikan telur, tak ada yang mendahuluinya, tidak ada pula di belakangnya.) Naia
sapana
sangiasserie,
aruai.
Makkunraie
sionrong
woroane.
Maduanna, sionrennge ana’ daranna. Matellunna, tonasoppa’-e tekkena. Maeppana tomallaso pattie. Malimanna woroane sipara-para padanna woroane.
Maenenna
sisala-salae
Mapitunna temappemaliwi
padanna
tau
riraleng
mpanua.
ri bicarae. Maruanna maja ri laleng mpolai
arung
mangkau’e.”
(Adapun pantangan Sangiang Seri delapan jenisnya. Pertama, wanita hidup seketiduran pria (belum menikah). Kedua, hidup seketiduran saudara. Ketiga, orang yang seketiduran dengan hamba sahayanya. Keempat, wanita yang malasso pattie berzinah dengan memkai alat kelamin buatan. Kelima, pria hidup seketiduran sesamanya pria. Keenam, bersilang sengketa rakyat dalam negeri. Ketujuh, tidak berpantang dalam peradilan. Raja yang memerintah terhadap isi rumahnya.”) “Aga gau’ tenna’ dimunrungi sesakale?” (Perbuatan yang bagaimanakah tidak berakhir dengan penyesalan?”)
“Lima
mpungengi
tenna’dimunringi
sesekale.
Mula-mualanna
nawanawae, maduanna, tannge. Matellunna, pangilewe. Maeppana, sirie. Malimanna,
tike’-e.”
(“Lima hal yang tidak diakhiri dengan penyelasan. Pertama, panjang piker. Kedua, pertimbangan yang matang. Kemampuan memilih. Keempat, mempunyai malu. Kelima, kehati – hatian. Naia ssampoengi nawa – nawae, atakkalupangge. Naia ssampoengi tanngae amasairennge. Naia ssampoengi tike’-e, capa’-e. (adapun yang menutupi pikiran, ialah kelupaan. Adapun yang menutupi pertimbangan
ialah
kemarahan.
Yang
mentupi
rasa
malu
ialah
keserakahan. Yang menutupi kehati-hatian ialah kecerobohan.”) Naia gau’ patujue, enrennge ada patujue, kui ri tomapanre nawa-nawa. Naia winru sitinajae nasituju, kui ri topanre tanngae. Naia ada madaccennge tennasuromeoseng kui ri tomaccae. Naia ada majae, enrennge gau’ majae, kui ri topusae. Naia gau’ salae, enrennge ada salae, kui
ri
tobonngoe.”
(“Adapun perilaku yang benar dan perkataan yang benar, tempatnya pada orang yang panjang pikir. Adapun perbuatan yang patut dan tepat, tempatnya pada orang yang pertimbangannya matang. Adapun perkataan yang baik tidak serampangan, tempatnya pada orang pintar. Adapun perkataan yang buruk serta perilaku yang jelek, tempannya pada orang
sesat. Adapun perilaku yang salah serta perkataan yang salah, tempanya pada orang yang dungu.”) “Te’berang tau riala parewa ri tanae.” Lapa nariala parewa ri tanae eppapi mengkaiwi. Seuani, malempupi. Maduanna, kenawa-nawapi. Matellunna, sugipi. Maeppana waranipi. (“Tidak sembarang orang yang dijadikan alat Negara. Seseorang dapat dijadikan alat Negara, jika ia memiliki empat hal. Pertama, ia jujur. Kedua, ia berfikiran yang panjang. Ketiga, ia kaya. Keempat, ia pemberani.) Naiia tanranna tomalempue, seumi, ri asolae na’dampeng. Maduanna, ri parennuangie tennapacekoi. Matellunna, temmangoaiengi natania olona. Maeppana,
tennasese’
decennge
narekko
alenami
posecennge.
(Adapun tanda orang yang jujur. Pertama, orang yang bersalah padanya, tetapi dimaafkannya. Kedua, ia dipercaya dan tidak mengkhianat. Tiga, tidak serakah terhadap yang bukan haknya. Keempat, tidak dituntutnya suatu kebaikan jika hanya dia yang menikmatinya.) Naia tantanna tonawa-nawae, eppa toi. Seuani, sugi ada-adai. Maduanna, meloriwi ada patujui. Matellunna, meloie roppo-roppo narewe’. Maeppa’na, meloe laleng namatika.’ (Adapun tandanya orang yang berfikir panjang ada empat pula jenisnya. Pertama, ia menyukai perilaku yang benar. Kedua, ia menyukai perkataan
yang benra. Ketiga, jika menghadapi semak belukar ia kembali. Keempat, jika ia melalui jalan, ia berhati-hati.) Naia tenranna tosugie, eppa toi. Seuani, sugi ada-adai. Maduanna sugi nawa-nawai. Matellunna, sigi akkaresoi. Maeppana, sugi balancai. (Adapun tanda orang yang kaya, empat pula jenisnya. Pertama, ia kaya perkataan. Kedua, ia kaya fikiran. Ketiga, ia kaya akan pekrjaan. Keempat, ia kaya belanja.) Naia tenranna towarenie, eppa toi. Seuani, tettenre napolei ada maja ada madeceng.
Maduanna,
temmangkalingai
kereba
naengkalinga
toi.
Matellunna, temmetaui ripa’diolo enrennge ripa’dimunri. Maeppana, temmetaui mita bali.” (Adapun tandanya orang yang berani, empat pula jenisnya. Pertama, tiada gentar ia menerima perkataan jelek dan perkataan yang baik. Kedua, ia tidak mendengar berita tetapi didengarkannya juga. Ketiga, tak takut ia ditempatkan didepan atau di belakang. Keempat, tak takut ia menghadapi lawan.”) Makkedai La Baso Toakkarengeng: aga padecengiwi akkarungennge, Nene?” (Berkata La Baso’ Tokkarangeng:” apa yang memperbaiki kerajaan Nenek?”)
Makkedai Tomaccae ri Luwu’:”Aruai uwangenna. Seuani, malempupi’. Maduanna, makkeda tongengpi ‘. Mattelunna, magettengpi’. Maepana, malelengpi’.
Malimanna,
manyamengkinninnawapi’.
masempopi’.
Mapatunna,
Maenenna,
waranapi’.
Maruanna,
temmapassilaingengpi.’ (“Berkata To Maccae ri Luwu’: “Delapan jenisnya. Pertama, kita harus jujur. Kedua, kita harus berkata benar. Ketiga, kita harus teguh pendirian. Keempat, kita harus mawas diri. Kelima, kita harus bermurah hati. Keenam, kita harus peramah. Ketujuh, kita berani. Kedelapan, kita harus tidak pilih kasih.) Naia riasennge malempu, massuke’ ri alenai. Naia riasennge makkeda tongeng tennassurie belle timunna. Naia riasennge getting tassalaie janci. Naia
riasennge
maleleng
temmatiroi
nawa-nawanna
mitangngi
adecengengna Tanana. Naia riasennge masempo, mappanre painunnge ri esso ri wenni. Naia riasennge manyamengkinannawa, siinrennge warani teppassaranngengi temmappasilaingeng
amatengnge
(atuonnge).
napappada-pada
mui
Naia engakana
riasennge dena.
(Adapunyang disebut jujur, dirinya dijadikan ukuran. Adapun yang disebut berkata benar, tidak keluar perkataan bohong dari mulutnya. Adapun yang disebut teguh pendirian tidak akan ia meninggalkan janji. Adapun yang mawas diri, tidak terpejam matanya dalam berfikir mencarikan kebaikan untuk negerinya. Adapun yang disebut murah hati, ia menjamu siang dan malam. Adapun yang disebut peramah, berutang-piutang tetapi tidak
marah
bila
diingatkan.
Adapun
yang
disebut
pemberani,
tidak
dibedakannya kematian dengan kehidupan. Adapun yang disebut tidak pilih kasih dianggapnya sama saja adanya tidaknya.) Naia riasennge ade’ allibung, sitinajai rituppue, nasilasa ri wari’-e, nasellempu ri rapannge, namasse’ ri jancie. (Adapun yang disebut adat keterpaduan, berpatutan ia pada keserasian, wajar pada keperingkatan, sesuai ia dengan peraturan, teguh ia pada janji.) Naia riaseng bicara assituruseng saba’ riassiturusinna pasitinajai ri tuppue, enrennge pasilasai ri wari’-e, passellumpui ri rapannge, iana ritu natulekkeng janci. Nariaseng bicara tongeng tellu, saba’ riassiturusinna na pasiutte’I tellue, tuppue, wari’-e rapannge. (Adapun ia disebut permufakatan, karena disepakati membuatnya sepadam dengan keserasian, serta menjadikannya perpatutan dengan keperingkatan, bersesuiaian dengan peraturan. Itulah semua yang di sertai janji, maka disebut ia perihal kebenaran yang tiga, sebab disepakatinya untuk menjalin antara ketiganya, keserasian, keperingkatan, dan peraturan.) Makkedasi La Baso’: Kega riaseng tuppu, wari’ nennia rapang, Nene?” (Berkata lagi La Baso’: “Yang mana disebut keserasian, keperingkatan dan peraturan, Nenek?”)
Makkedai Tomaccae’: naia riaseng tuppu, iana ritu a’jello’ ri sitinajannae. Naia riaseng wari’, mappallasenngi ri salasannae. Mappassungenngi ri salasannae. Naia riasennge rapang, mappappadapadai ri sillempuna, mappassenrupai
ri
sellempuna,
mappa’dupai
ri
pura
llaloe.”
(Berkata To Maccae ri Luwu’: adapun yang disebut keserasian ialah merujuk kepada yang sepatutnya berbuat yang sewajarnya. Adapun yang disebut keperingkatan, ialah membedakan menurut sepatutnya. Ia menata menurut wajarnya. Adapun yang disebut peraturan ia menyamakan yang berpatutan, ia menyetarakan menurut wajarnya, ia membuktikan menurut apa yang pernah terjadi.”) Makkedatopi Tomaccae ri Luwu’:
“Naia
riasennge
allibung,
tellu
mpuangenngi. Seuani, riaseng mallibu itello manu’. Maduanna, mallibu bare’. Matellunna, mallibu bulo. (Berkata pula Tomaccae ri Luwu’: adapun yang disebut kebulatan, tiga jenisnya. Pertama, yang disebut bundadr bagaikan telur ayam. Kedua, bundarkan bagaikan beras. Ketiga, bulat bagaikan buluh.) Naia riasennge mallibu itello, allibunna taue ri laleng mpanua nasaba’ ma’cajinna ja Nauru deceng Nauru; tenriase’ tenriawa, tenriatau tenriabeo; tenriolo tenrimunri, tenrilaleng tenrisaliweng. Naia ittelloe ttampu’ ulawu; ulawue mancaji ana’. Naia rekko engka wanua simata mallibu ittello, asaweng napucappa’.
(Adapun yang disebut bundar telur, kebulatannya rakyat dalam negeri, karena meraka berjanji akan bersatu dalam suka dan duka; tidak di atas tidak di bawah; tidak di kanan tidak di kiri; tidak didepan tidak dibelakang; tidak didalam tidak diluar; adapun telur itu pada intinya; inti itu menjadi anak. Jika ada negeri tetap bundar bagaikan telur niscaya kemakmuranlah yang akan menjadi akibatnya.) Naia riasennge mallibu bare’, siallibunngi arunnge akkarungenna, nasaba’ a’jancingenna puannge na atae. Sitellengeng ri majae; siomporeng ri madecennge. Anging puannge, raung kajui atae; nariwawa ri peri nyameng, ri mawe’, ri mabela. Ia-ia napoarajang puannge, napoatanngi atae. Tessikira-kirai atae, puannge; tessitaue lainnge. Ata tecconga macinnaiwi
anngatangenna
atanna.
Tessiala
olo
atae
puannge.
Tessiattampu’-tampukeng, tessiokkoreng wiwe. Apa ia bare’-e de tampu’na, deto wiwena. Libunnami nappunnai enrennge lampena. Aga naia riasennge mallibu bare’ malampei decenna, mannanennungeng lettu ri
pa’paddimunrinna.
(Adapun yang disebut bagaikan beras, berpalut dalam kebulatan antara raja dengan kerajaannya, karena perjanjian antara tuan dengan hambanya. Tenggelam bersama dalam keburukan; muncul bersama dalam kebaikan. Tuan adalah angin, daun pepohonan si hamba; dibawa dalam suka dan duka, jauh maupun dekat. Apa yang akan menjadi kebesaran sang raja, akan menjadi kekuatan bagi sang hamba. Tidak sdaling curiga, tidak saling memandang sebagai orang lain. Si hamba
tidak tengadah menginginkan kerajaan sang raja. Sang raja tidak merunduk
menginginkan
perhambaan
sang
hamba.
Tidak
saling
merampas hak antara tuan dan hamba. Tidak saling mendemdam, tidak saling memarahi, sebab beras itu tidak punya dendam dan tidak punya marah. Hanya kebulatan dan panjangnyalah yang menjadi miliknya. Maka yang disebut bundar bagaikan beras, berkepanjangan baiknya terus, sehingga kepada anak cucunya.) Naia riasenngemallibu bolu, tanae mallibu pada tana; arunnge pada arung. Naia pada na’canjinnge ja Nauru deceng Nauru. Tessitajengeng doko inanre. Makkedai siateppereng, malilu sipakainge’, mali siparappe’, nre’ba sipatokkong; tessitaro topasala; tessikukka taro, tessiala mana. Tenriatang tomallariang sellempurie anu malan. Ma’bola silellang, sipobaku sipowarang-parang. Pole ribakuna; tedong pole ri wakkenna. Tassikampae ri saliweng, tessigau’ mawatang. Tessitereng ri bulue. Tessinoreng ri lompo’-e. tessijellokeng rppo-rppo, tessiakkale’-kalekeng. Tessioti’ ittello, tessikajojo kalobeng. Puade’-I ade’na, pada ‘bicarai bicaranna, ia topa mallibui, tennawaw tomate, tennarette’ bessi, tennaluttureng rumpu api. Masape’te’dung, mapupu tekkeng. Malekko witi siakkuling-kulingeng misa gangkanna deceng pa’kangkanna. Makkuniro allibunna tanae pada tana, arunnge pada arung, nariasengna ma’bulo silampa. Naia namareppa’ siasolangengngi ri laleng ri saleng. Nasenni Tanana manguru deceng, manguru ja.”
(Adapun yang disebut bulat bagaikan buluh, negeri mneyatu dengan negeri, raja dnegan raja. Yang meraka pernjajika ialah satu dalam duka satu dalam suka. Tidak saling mneghalang perbakalan. Berkata saling mempercayai, khilaf saling mengingatkan, hnayut saling menyelamatkan, jatuh saling membangkitkan. Tidak saling menyembunyikan orang salah, tidak pula saling mengambili hak. Tidak saling berperkara; tidak akan mengurai yang sudah kukuh; tidak saling mnegambil warisan. Tak dicegat yang ,elarikan barang yang sudah sepatutnya berpisah. Berumah terpencil (tak ada yang mengganggu), satu khasanah satu harta benda. Saling hormat bagaikan tamu di rumah masing-masing. Harta benda dan hewan ternak
aman
ditempatnya.
Tidak
saling
menggeser
batas,
tidak
menggunakan kekuatan. Kegunung sama mendaki, kenegarai sama menurun. Tidak saling menunjukkan semak belukar (b uka aturan). Tidak akan sama mengambil telur di kandang, ikan dilubuk. Sama beradatkan adtnya, sama melaksanakan peradilannya. Meraka juga mufakat tidak saling membunuh., tidak saling mengangkat senjata, tak saling membakar. Mereka akan saling mengunjungi, hingga paying robek, tongkat aus, betis penat dan berkhir dengan kebaikan. Demikian itulah kebulatan antatra negeri dengan negeri dan rja dengan raj, sehingga disebut bulay bagaikan buluh sebatang. Sebab buluh itu bulat disalam dan bulat pula diluar. Mareka menamai negerinya bersatu dalam suka dan duka.) Makkadatopi Tomaccae ri Lueu’: “Accita tauo mumadeceng kalawing ati. Apa ia sininna deceng enrenge upe’-e, kumanengngi pole ritau madeceng
kalalwing atie. Apa’ iana rtu tau ri lalenna taue. Aja ia mualai pompala tomapperumae ri watakkalemu. Apa’ iatu matae, tomapperuma ritu. Majeppuha ritu ianatau pole rilalenna taue. Ia tona pakkitai mattae. Ia tina parengkalingai daucculie. Ia to pakedoi lilae. Ia muto paremmau. Iato makkita tekkemata-mata. Ia muto marengkalinga tekkeculing-culing. Ia muto makkeda tekalessu-lessu. Ia tona maremmau tekkemmau-emmau. Ia tona kedo tekkedo-kedo. Kedoisa nasitanaja, nasiratanna. Makkedai namattanetto; makkitai nasellempu. Marengkalingai ri silalennae. Mainge’I pura napogau’e, enrennge pura naengkalingae. Aga nainge’e ritu naonroi lampe porenngerang. Nariasenna taue tomainge’.” (Berkata juga Tomaccae ri Luwu’ kepada cucunya: “Berpandanganlah sebagai manusia dan perbaiki sikap jiwamu. Sebab semua kebaikan dan kemujuran, sumbernya ialah orang yang baik sikap jiwanya. Itlah yang sebenarnya yang disebut orang didalam orang. Jangan jadikan pokok, penghuni rumah yang menumpang padamu. Sebab adapun mata, telinga. Lidah, hidung, ia adalah penumpang. Sesungguhnya ia itu tamu dalam orang. Ia itulah yang mnejadikan mata melihat. Ia menjadikan telinga mendengar. Ia yang mnejadikan lidah bergerak. Ia juga penciuman. Ia yang melihat tidak sembarang melihat . ia juga mendengar tidak sembarang mendengar. Ia juga berkata tidak sembarang perkataan. Ia itu jugalah membaui tidak sembarang bergerak. Bergerak ia sepatutnya, sewajarnya. Berkata ia menurut patutnya; melihat ia menurut wajarnya. Mendengar ia seharusnya. Sadar ia akan apa yang pernah dilakukan,
dikatakan serta yang pernah didengar. Kesadaran itulah tempatnya ingatan. Maka dibuatlah seseorang sebagai orang yang sadar.” `”Lima mpuangengngi pera’dekiwi arunnge ri akkarungenna. (Lima hal yang menyebabkan seorang raja tetap tenang dalam kerajaan.) Seuani, malempui ri dewatae namalempu ripadanna arung, enrennge ri bali wanuanna. Kuae topa ri toriwawana. Nalempuri toi alena nennia’ lise’ bolana. Nalempuri maneng toi sininna naitae mata, nennia naengkalingae daucculi. Apa’ iami ritu riaseng malempu tongeng-tongeng, malempuri manenngengi sininna pura rirampewe. (Pertama, jujur ia terhadap dewata serta semua kepada sesamanya raja, terhadap negeri tetangganya serta kepada rakyatnya. Ia juga jujur terhadap dirinya dan kepada isi rumahnya. Jujur ia pula kepada semua yang dilihat mata dan didengar oleh telinga. Sebab yang dikatakan sebenarnya jujur, hanyalah meraka yang jujur kepada semua yang tersebut tadi.”) Maduanna, agi-agi niata
olona,
maelo napogau’ arunnge, iarega maelo napoada,
nakira-kirai
rimunrinna.
Nappatannangareng
topi
ri
pa’bicarana, enrennge ri tonawawae, kuae topa sikkie. Naiapa napogau’I enrennge napoada, nasiturusipi missenngengi, pangaja maccappakeng deceng. Apa’ sideceng-decengna jae pura riassiturusue. Sija-jana toni decennge
tenriassiturusie.
Sideceng-deceng
toni
assiloangeng
tessisesse’-sese’-e,
tessinoko-nokoe.
(Kedua, apa saja yang hendak dilakukan oleh seorang raja, atau mau ia katakan, dilihatnya yang ada didepannya dan ia memperkirakan apa yang ada di belangkangnya. Dipertimbangkannya pula kedapa para hakim dan kepada rakyatnya dan menanyai sikap jiwanya. Hal itu ia kerjakan atau ia katakan jika telah disepakati oleh mereka yang mengetahui nasehat yanga berujung kebaikan. Sebab keburukan yang baik adalah yang tidak disepakti. Dan kebaikan yang buruk ialah yang tidak disepakati. Persahabatan yang baik ialah yang tidak saling menyesali dan tidak saling menggerutui. Matellunna, masempo pangkaukengngi pattulunna ri peri nyamenna taue ri salasannae. Masempo ada-ada ri akkeda-adanna sibawa pappangajana ri
silasannae.
Masempokkamasei;
masempo
paccirinnai,
sibawa
mappanre paining esso ri wenni. Ia pa tau riaseng masepo tongengtongeng mamalariengi pura ripuadae. (Ketiga, mudah ia
membantu orang dalam suka dan duka menurut
wajarnya. Mudah ia mneyapa serta memberi nasehat menurut patutnya. Mudah ia member kepada hambanya (rakyatnya), serta sangat pengasih dan penyayang, ia juga selalu member makan dan minum. Orang yang sungguh-sungguh pemurah, ialah meraka yang menyenangi perbuatan yang tersebut itu.)
Maeppana, magettengpi. Bettuanna tessalaie jajnci, nagetteng toi ala masorosoi ulu ada, enrennge telluka bicara pura. Nagettenngitoi ala mesa’-e becci’. Na magettengto ala napale’bie pangkaukenna, enrennge arega ala nakurangie pangkaukenna. Namagettteng tona ala napakele’bie ada-adanna, iarega ala nakurangie ada-adanna; enrennge napakale’bie pakkitanna ri pura nitae. Tennapalle’bi toni pura naengkalingae, enrennge topa pa’dissengenna, ia-ianna pura naisseng. Iapa tau riaseng magetteng tongeng=tongeng, magettengieng sinina pura rirampe. (Keempat, teguh pendiriannya. Artinya, ia tidak meninggalkan janji. Ia juga teguh memagang ikrar (antara Negara) dan tidak akan mementahkan keputusan hakim. Ia teguh pada batas-batas yang sudah ditentukan, tidak melebih-lebihkan perbuatannya, dan tidak juga menguranginya. Ia juga teguh untuk tidak melebih-lebihkan perbuatannya, dan tidak juga menguranginya. Ia juga teguh untuk tidak melebih-lebihkan perkataannya, ataupun
menguranginya.
Ia
juga
tidak
akan
melebih-lebihkan
penglihatannya dari pada apa yang sudah dilihatnya. Demikian juga pendengarannya serta pengetahuannya dari pada apa yang telah diketahuinya. Orang teguh memegang apa yang sudah disebutkan tadi, itulah orang yang sungguh-sungguh pendiriannya.) Malimanna,
waranipi
arunnge.
Naia
towaranie
,
waraniwi
ttaro
pangkaukeng ri maperie, enrennge ri tennaperie ri akkuannae. Waraniwi passu ada matojo malemma ri sipato’nae. Waraniwi nrette’ bicara matere’ mapeca ri sitongonnae. Mappangajari tonarajae, enrennge ritobaiccu’e, ia-
ianna kuaromai nasagenaie. Warani toi ma’janci padanna arung iarega wanua, jagi decengngi , kuaro mai ri sitinajannae. Waraniwi makkita ri maloannge ri macike’-e ri matanrewe ri matunae, ri marajae ri baiccu’e, manyamange ri maperie, kua mai ri silasa nalettukie pakkita. Waraniwi mengkalinga ada maja, ada madeceng, sa’da maraja sa’da baiccu, mabela macawe’. Rekko’ nawaraningeng manengngi pura rirampe (we) nennia’ apura ripuadae, iana ritu arung malampe sunge’ namawija. Sawe tomaegana, ma’bija olokolo’na;, sawe bua-bua rianre (we). Mapatollao, pole sangiasseri. Tennauttamai abala (ri) wanuanna. Tenrikira-kira maja ripadanna arung. Riasiri ri bali wanuanna, namasero ria atau ri toriwawaini. Ia tona arung sugi napabeta-beta mammusu. Ariang pulanai akkarungenna. Manganre’ urai’ alau, maniang. Lettu ri pa’dimunring biretta madecenna. (Kelima, raja itu harus berani. Adapun orang yang berani, berani melakukan pekerjaan baik dalam kesulitan maupun dalam hal yang tidak sulit menurut patutnya. Berani ia mengucapkan perkataan yang keras maupun lemah lembut men urtu wajarnya. Berani ia memutuskan perkara yang
sulit
maupun
yang
sesuia
dengan
kebenaran.
Berani
ia
mengingatkan serta menasehati para pembesar maupun kepada orang awam sesuai dengan kemampuannya. Berani ia juga berjanji dengan sesamanya atau negeri, baik menyangkut kebaikan maupun kenuruukan menurut wajarnya. Berani ia melihat yang luas mauoun yang sempit, yang tignngi maupun yang rendah, yang besar maupun yang kecil, yang
,menyenangkan maupun yang susah, sampai sepatutnya dapat dilihat oleh mata. Berani ia mendengar perkataan yang jelek maupun yang baik suara yang keras maupun yang lembut, jauh maupun dekat. Jika seseorang berani terhadap semua yang sudah disebutkan itu, ia itulah raja yang panjang umur dan banyak anak. Berkembang rakyatnya, subur pohon buah-buahannya. Padi selalu menjadi. Ia disegani oleh negeri tetangganya serta oleh rakyatnya. Raja yang seperti itu pulalah kaya dan selalu menang dalam perang. Bertambah terus kerajaannya. Dipuji oleh semua orang, tersohor Barat, Timur dan Selatan. Berita baikknya sampai pada anak cucunya.”) Makkedai top Tomaccae ri Luwu’: “Ia topa upasengenko, Eppo; telluku ritu riparentangengngi akkarungengnge. Seuani, riparentai sibawa cenning atinna. Maduanna, riparentai sibawa sirina. Matelluna, riparentai sibawa tauna. (Berkata juma Tomaccae ri Luwu’:”Aku pesankan padamu juga. Cucuku; tiga hal dipakai memerintah negeri. Pertama, diperintah menurut kesenangannya. Kedua, diperintah ia dengan menjaga harga dirinya. Ketiga, diperintah ia dengan menjaga ketakutannya.) Naia ritu riparenta sibawa cenning ati, narekko riadekiangngi ade’pura onrona, enrennge ripalaloangngi ade’ abiasanna. Tenrilukkai bicara puranna. Tenrilawa mappada elo, enrennge pada ma’janci-jancci padanna maradeka. Tenripaturungi elo arung. Rialangngi atongengenna, natetenrei asalanna.
Tenripakennai
dua
dodoso’.
Tenripakkatenni
dua
alu.
Tenriwawa ri tenngelona. Tenripatiwiri tennaullewe, senrupanna topa kuaro
mai
pura
ri
rampewe.
(Yang dikatakan diperintah menurut kesenangannya ialah diadatkan kepadanya adatnya yang telah ada, serta dibiarkan ia mengikuti adat kebiasannya. Tidak dimentahkan perkataannya yang telah putus. Tidak dihalangi ia melakukan menurut kesukaan bersama, dan melakukan perjanjian diantara sesame mereka orang merdeka. Tidak dipaksakan kepada mereka kehendak raja. Dibela ia menurut kebenarannya, sehingga terangkat kesalahannya. Tidak diberikan dua beban berat. Tidak disuruh melaku-kan dua kewajiban yang sama. Tidak dibawa ia jika tidak dikehendakinya.
Tidak
disuruh
ia
membawa
barang
yang
tidak
disanggupinya dan yang sejenis dengan yang telah disebutkan itu) naia riparentanngi sibawa sirina, riamasewi ri olo teppatujunna; riraiangngi pakkamase ri munri apatujunna, ripalecei ri olo temmakkaresona; riraiangngi pappalece ri munri makkaresona, ia nresoiwi tomakkaresoi. Iatai lumuna tomakkalumue. Ria’dampengeng pulanai asalanna sakira-kira sitinajae, sitinajannae mupa ria’ dampengen rinina riada-ada, rininiriangngi ada-ada enrengngr pangkaukeng bati tau decenge. Bettuanna aja’ mupogau kengngi maka naposirie. Apa’ sirina muitu mupoatanngi. Mutaro (i) toi ininnawanna; muatepperi toi, muparennuangi toi tomakkininnawa tongennge ia-ia sitijannae ri alena. Ajo’to muppadai pa’dennuammu ri tomadeceng apolengennge ri tomaja appongennge. Apa’ ia tau madeceng ada-adanna mapute innong-kinnong satu. Naia bangsa mariawae
makkumua napatuju gau’na enrennge ada-adanna, ma’balo-balo mua satu tarogau’na, enrennge ada-adanna. Apa’ tello muatu kasiawang. Ia tonasa sakira-kira sitinajae ri alena muparennuangi. (Adapun yang dimaksudkan dengan perintah dengan menjaga harga diri mereka, ialah dikasihani ia sebelum berjasa; dibujuk ia sebelum bekerja, dimudahkan pekerjaan mereka yang bekerja. Perhatikanlah kegiatan orang yang bergiat. Dimaafkan kesalahan mereka yang masih patut dimafaatkan. Berhati-hati berkata dan bertindakl terhadap keturunan orang baik-baik. Artinya jangan melakukan sesuatu yang dapat mempermalukan mereka. Sebab rasa malunya (harga diri) itulah yang diperhambakan. Perhatikan pula klesungguhannya; percaya ia, beri kepadanya tanggung jawab kepada mereka yang bersungguh-sungguh, yang sesuai dengan keadaan dirinya. Jangan samakn pemberian tanggung jawb itu terhadap orang yang keturunannya baik dengan orang keturunannya buruk. Sebab berketurunan baik, smeuanya itu karena hati yang bersih. Orang yang berketurunan rendah,
jika
baik
perempamaan
dan
perkataannya,
berbelang-belang (tidak bersih) jugalah perbuatan dan perkataannya itu. Sebab ada tiga persembahan. Yang sesuai dengan dirinya sajalah yang diserahkan kedalam tanggung jawabnya.) naia ade’na Eppo, datue rekko engkai pura patuju kasiwianna, natassala ri panagaderennge, pakkompekengngi ade’na’julekkaiwi, rekko engka mui temma’ dusa’ ri pangadereng pura onrona tanamu. Naia tosugie enrennge pura patujue kasiwianna natassala ri pangadereng, akkarenngi ade’
nassellukiwi rekko engka mui temmadusa’ ri ade’ pura onronna tanamu, enrennge ri ade’ marajamu. Naia mua nasiapparimengi topura patujue jera itaue makkininnawa tongeng. Detona matti tau maelo mappangenre’ nawa-nawai apatujungenna. (Adapun adatnya, Cucuku; raja jika pernah ia berbuat baik, lalu bersalah didalam peradatan, ulurkan untuknya adat agar ia dapat melangkahinya, sejahu hal itu tidak merusak peradatan negerinya yang telah mantap. Adapun orang kaya yang telah berbuat baik, angkatlah baginya itu agar ia dapat menbyulukinya, karena itulah, kita berharap pada orang yang telah berjasa, sebab jera nannti orang yang bersungguh-sungguh. Tidak ada pula orang yang akan menariik perhatian pada perbuatan yang baik. Naia bicara makkue ro pole kuami ri arunnge makkamase. Nai ri ade’-e deisa makkamase; de toi mappalemma. Ia nakennai becci’, nattulekengngi janci, masape’ni masape’-e, mase’bo’ni mase’bo’-ew, purai adae. Ia ada’-e temmakkeana’, temmakeppo. Detoi apatujunnge.
Ia-ianna
kuaero
mattannga ri asungirennge, ri mai
sitinaja
riparentangengngi
akkarungennge sibawa tauna. Iana ritu narietau arunnge ri atanna, rekko tenrita alongkorenngi. Iatopa narekko napaitaiwi gau’ tessilolongenna ri napoadanato adae.” (Mengenai ketentuan hal yang seperti itu, terserah pada kebijaksanaan raja saja. Sebab adat tidak mengenal belas kasihan; tidaj juga iua mempermudah. Jika sesuatu sudah dikenakan peraturan dan diancam
hukuman, maka akan robeklah yang robek, berlubanglah yang berlubang dan akan putuslah perkataan. Sebab adat itu tidak beranak dan bercucu. Ia juga tidak memandang kekayaan dan jasa. Terhadap siapa saja, peraturan harus berlaku, dan dengan itulah negeri diperintah disertai wibawa. Adapun yang menyebabkan hamba takut kepada rajanya, ialah kalau raja
tidak di nilai buruk
oleh
rakyatnya.
Juga
jika
raja
memperlihatkan perbuatan yang tidak senonoh pada waktu mengucapkan perkataan.”) “ia topa upasengekko Eppo, aja’ mumacenning mpe’gang, aja’to mumapai we’gang. Apa’ ia narekko macenning mpe’ gangko riemmeko. Naia narekko mapai we’ gangko rilluakko.” (“Kupesankan juga kepadamu cucuku, janganlah engkau terlalu manis dan jangan pula engkau terlalu pahit. Sebab jika engkau telalu manis, engkau akan ditelan. Dan jika engkau terlalu pahit akan dimuntahkan.”)
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1.
Sejarah Singkat Berkembangnya Kota Palopo Palopo berkembang di awal-awal kerajaan Islam Luwu tumbuh.
Ketika itu Raja Luwu La Patiware Sultan Muhammad wafat dan digantikan anak mattola kedua(putera mahkota kedua), Patipasaung (1615-1637). Berdasarkan adat Luwu, anak mattola urutan pertama adalah Patiraja. Namun karena karakternya yang tidak terlalu disukai oleh kalangan bangsawan Islam (yang pada saat itu Islam adalah spirit Kerajaan Luwu), maka Patiraja tidak dipilih menjadi raja.
Terangkatnya
adik
Patiraja
(Patipasaung)
menjadi
raja
menimbulkan gejolak dalam Istana Luwu di Pattimang, Malangke. Beberapa petinggi istana yang mendukung Patiraja menolak keputusan
adat
yang
menaikkan
anak
mattola
kedua.
Akhirnya
Patiraja
meninggalkan Pattimang dan hijrah ke Kamanre (eks pusat Kerajaan Luwu masa Dewaraja yang berkuasa sekitar 1530). Di Kamanre, Patiraja mengumumkan dirinya sebagai Datu Luwu dan diterima oleh seluruh Kemadikaan Ponrang (Cilellang, Bajo, Noling hingga Larompong). Dengan demikian, pada saat itu, ada dua pusat kerajaan Luwu (Ware’), yaitu yang pertama Luwu wilayah pengaruh Malangke (Baebunta hingga Poso), yang kedua Luwu wilayah pengaruh Ponrang (berpusat di Kamanre) meliputi Bajo,
Ranteballa,
Kemadikaan
Bua
Larompong (meliputi
sampai
Kolaka,
Akkotongeng.
Luwu
Tenggara
Sedangkan dan
pula
Palopo/Libukang) netral. Palopo kala itu merupakan perkampungan nelayan yang berpusat di Libukang.
Pada tahun 1616, perang saudara Luwu versi Pattimang versus Luwu versi Kamanre pecah. Perang ini terjadi selama kurang lebih 4 tahun, yang kemudian dikenal dengan Perang antara Utara dan Selatan. Hingga pada 1619, Maddika Bua berinisiatif untuk mencari solusi atas fenomena ini. Maka pada saat panen raya di Bua, Patiraja dan Patipasaung diundang oleh Maddika Bua. Mereka dibuatkan Baruga dengan 2 pintu masuk (utara-selatan). Pintu utara akan dimasuki oleh Patipasaung, dan pintu selatan oleh Patiraja. Mereka dipertemukan oleh Maddika Bua di ruang tengah baruga. Mereka kaget, lebih-lebih pada saat keduanya diserahi badik oleh Maddika Bua. Di ruang tersebut, hadir pula Madika Ponrang dan Makole Baebunta, yang kemudian oleh Madika Bua,
beliau mempersilahkan Patipasaung dan Patiraja untuk bertarung. Madika Bua berkata “Wahai kedua junjungan kami, sudah tahunan rakyat saling membunuh, janda telah banyak, anak yatim sudah tidak terbilang lagi. Ini adalah akibat Luwu diperintah dua raja. Kami hanya menghendaki seorang”.
Pada saat itu, Patiraja insyaf. Ia berkata kepada Patipasaung “Wahai adikku. Engkaulah yang disukai oleh orang banyak. Aku ini, abangmu telah hanyut dalam gelora nafsu kekuasaan. Aku khilaf. Sebagian rakyat telah aku ikutkan dalam diriku. Terimalah badik ini, dan terima pula penduduk Kamanre seluruhnya ke dalam Luwu yang damai, tenteram dan sejahtera. Biarlah aku abangmu kembali ke Gowa di mana kita dilahirkan. Siapa tahu, Dewata Allah Taala menerima diriku di tanah leluhur kita”.
Inilah peristiwa yang kemudian menyatukan kembali Luwu. Patipasaung kemudian memindahkan Ware’ ke Palopo yang termasuk wilayah Bua. Ia kemudian pula mengukuhkan ‘anak telluE’ sebagai pilar utama Luwu. Patipasaung menata struktur pemerintahan Luwu, dimana kadhi berperan penting. Perpindahan pusat kerjaan Luwu ke Palopo dilanjutkan dengan pendirian Masjid Jami’. Masjid Jami’ yang dibangun 1619 kemudian dinyatakan oleh masyarakat Luwu sebagai pusat Palopo, bahkan posi’ tana, dan Ka’bah di Mekkah sebagai palisu tana. Arsitektur Kota Palopo ditata dengan pendekatan agar suasana ‘marowa’ tercipta.
Empat puluh depa dari masjid dibangun pasar. Istana kediaman Datu juga 40 depa dari masjid. Jarak pasar dengan istana sekitar 80 depa. Dan antara ketiga bangunan itu adalah lapangan (di tengah). Arsitektur kota serupa kemudian dianjurkan di setiap wilayah kampung-kampung di Luwu. Demikianlah, Palopo kemudian menjadi pusat kerajaan Luwu hingga penjajah datang. Sejak pindahnya pusat kedatuan ke Palopo, sejak itu pula Palopo menjadi barometer perkembangan Luwu. Masyarakatnya bangga menjadi To Ware. Pada tahun 1900, penduduk kota Palopo berjumlah sekitar 12.000 jiwa dari keseluruhan penduduk Luwu yang kurang lebih berjumlah 400.000 jiwa (termasuk Poso dan Kolaka). Palopo terdiri atas Kampung Tappong (kampung paling ramai dengan 120 rumah), Mangarabombang, PonjalaE (100 rumah), Campa, Bone, Parumpang, Amassangeng, Surutanga, Pajalesang, Bola Sada, Batupasi, Binturu (7 rumah), Tompotikka, WaruE, Songka, Penggoli, Luminda, Kampong Beru, Balandai (7 rumah), Rampuang dan Pulau Libukang. Pada masa itu, Latana datu Luwu, Andi Kambo adalah rumah panggung kayu bertiang 88 buah (LangkanaE). Bangunan itu dirobohkan oleh Belanda, dan digantikan dengan bangunan berarsitektur eropa pada tahun 1920 (hampir bersamaan dengan Rumah Sakit). 3.2.
Deskripsi Umum Kota Palopo
3.2.1. Kondisi Geografis
Secara Geografis, Kota Palopo terletak antara 2 53’15” – 3 04’08” Lintang Selatan dan 120 03’34” Bujur Timur. Luas wilayah Kota Palopo sekitar 247,52 kilometer persegi atau sama dengan 0,39% dari luas wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Wilayah Kota Palopo sebagian besar merupakan dataran rendah dengan keberadaannya di wilayah pesisir pantai Seklitar 62,85% dari total luas daerah Kota Palopo, menunjukkan bahwa yang merupakan daerah dengan ketinggian 0-500 mdpl, sekitar 24,76% terletak pada ketinggian 501-1000 mdpl dan selebihnya sekitar 12,339% yang terletak diatas ketinggian lebih dari 1000 mdpl. Kependudukan geografis Kota Palopo berada pada posisi strategis sebagai titik simpul jalur transportasi darat dan laut poros Trans Sulawesi. Pada posisi ini Kota Palopo menjadi salah satu jalur distribusi barang jalur darat dari Makassar dan Pare-Pare menuju propinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Luwu Utara, Luwu Timur, sedangkan pada jalur transportasi laut Kota Palopo sudah menjadi salah satu pelabuhan laut menuju kota-kota Sulawesi Tenggara. Kedudukan geografis Kota Palopo sebagai wilayah Kota Palopo sebagai wilayah yang berada di pesisir Teluk Bone dimana sebagian besar kebutuhan air bersih didukung dengan keberadaan hutan yang sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Luwu dan Tana Toraja. Kondisi alam pada wilayah hulu khususnya perbatasan dengan kabupaten Luwu Tana Toraja sangat berpengaruh pada kondisi di Kota Palopo.
Secara administrasi Luas Wilayah Kota Palopo kurang lebih 247,53Km, luas wilayah ber-HPL/HGB yaitu 86,16 Km, luas kawasan kumuh yaitu 2,23 Km dan luas kawasan Hijau yaitu 183,16 Km Batas-batas administrasi Kota Palopo : Sebelah utara
: Kabupaten Luwu
Sebelah selatan : Kabupaten Luwu Sebelah Timur : Teluk Bone Sebelah Barat : Kabupaten Tana Toraja 3.2.2. Luas wilayah Luas wilayah administrasi Kota Palopo sekitar 247,52 kilometer persegi atau sama denagn 0.39% dari luas Propinsi Sulawesi Selatan. Dengan potensi luas wilayah seperi itu, oleh pemerintah Kota Palopo telah membagi wilayah Kota Palopo menjadi 9 kecamatan dan 48 kelurahan. 3.2.3. Topografi dan Kelerengan Kondisi permukaan tanah kawasan perkotaan (kawasan Build-up Area) cebderungf datar, linier sepanjang jalan jalur trans Sulawesi, dan sedikit menyebar pada arah jalan kolektor dan jalan lingkungan di wilayah perkotaan, sedangkan kawasan yang menjadi pusat kegiatan dan cukup padat adalah sekitar kawasan pasar (pusat perdagangan dan jasa), sekitar perkantoran, dan sepanjang pesisir pantai, yang merupakan
kawasan permukiman kumuh yang basah dengan kondisi tanah genangan dan pasang surut air laut. Secara garis besar keadaan topografis Kota Palopo ini terdiri dari 3 variasi yaitu daratan rendah sepanjang pantai, wilayah perbukitan bergelombanmg dan datar di bagian tengah, dan wilayah perbukitan dan pegunungan di bagian barat, selatan dan sebagian di bagian utara. 3.2.4. Kondisi Demografis Penduduk Kota Palopo menurut data Dinas Kependudukan Tahun 2010 telah mencapai 172.332 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak 86.401 jiwa dan perempuan sebanyak 85.931 jiwa. Sebaran penduduk terlihat tidak merata dan cukup bervariasi, dimana terdapat 3 (tiga) kecamatan dengan kepadatan penduduk terbilang padat jika dibandingkan dengan kecamatan lainnya, ketiga kecamatan yang dimaksud adalah kecamatan Wara dengan jumlah Penduduk 36.187 jiwa, Kecamatan Wara Timur dengan jumlah penduduj sebanyak 35.186 jiwa Kecamata Wara Utara dengan jumlah penduduk sebesar kepadatan
sedang
yaitu
21.183. tiga kecamatan dengan
Kecamatan
Mungkajang
dengan
jumlah
penduduk sebesar 9.081 jiwa, Kecamatan Sendana mencapai 7.294 jiwa dan Kecamatan Wara Barat sekitar 12.147 jiwa per Desember 2010.
Table 3.1 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan Tahun 2010 Jenis Kelamin No.
Jumlah
Kecamatan L
P
Penduduk
1.
Kecamatan Wara
18.033
18.154
36.187
2.
Kecamatan Wara Utara
10.534
10.649
21.183
3.
Kecamatan Wara Timur
17.571
17.615
35.186
4.
Kecamatan Wara Barat
6.197
5.950
12.147
5.
Kecamatan Wara Selatan
5.624
5.762
11.386
6.
Kecamatan Sendana
3.733
3.561
7.294
7.
Kecamatan Mungkajang
4.596
4.485
9.081
8.
Kecamatan Bara
12.835
12.821
25.656
9.
Kecamatan Telluwanua
7.278
6.934
14.212
86.401
85.931
172.332
TOTAL
Sumber : Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Palopo 3.2.5. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Kota Palopo pada dasarnya merupakan masyarakat yang religius, beradat dan berbudaya, bersifat heterogen dan menghargai kemajemukan dengan pola hidup perkotaan. Dilihat berdasarkan agama yang dianut, penduduk Kota Palopo mayoritas beragama Islam.
Fasilitas
peribadatan
merupakan
sarana
penunjang
yang
dibutuhkan untuk melakukan kegiatan keagamaan dan ritual bagi masyarakat. Jumlah dan jenis fasilitas peribadatan di Kota Palopo dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 3.2 Fasilitas Peribadatan di Kota Palopo Tahun 2010 No.
Jenis
Fasilitas Jumlah
Persentase
Peribadatan
(Unit)
(%)
1.
Mesjid
155
68,58
2.
Mushalla/Langgar
7
3,10
3.
Gereja
61
26,99
4.
Pura
1
0,44
5.
Vihara
2
0,88
226
100,00
JUMLAH Sumber : www.palopokota.go.id
Dalam rangka menciptakan dan mempertahankan suasana yang kondusif dan hubungan harmonis diantara pemeluk agama, maka Pemerintah Kota Palopo telah membentuk Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB), Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), Forum Muspida Kota Palopo sebagaimana
terealisasi melalui Pembentukan
Forum Komunilkasi Masalah Aktualisasi yang melibatkan semua unsur
Muspida dan Unit Kerja terkait, berdasarkan SK. Walikota Palopo Nomor : 163/III/2006 tanggal 18 Maret 2006. Fasilitas
Pendidikan
sangat
menentukan
mutu
dan
tingkat
pendidikan masyarakat, oleh sebab itu memerlukan ketersediaan pelayanan yang tidak hanya dari segi kuantitas tetap juga memperhatikan ketersediaan prasarana pendidikan, tenaga pengajar serta kurikulum pendidikan yang disajikan. Fasilitas pendidikan yang ada di Kota Palopo dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 3.3 Fasilitas Pendidikan di Kota Palopo Tahun 2010 No.
Jenis Fasilitas Pendidikan
Jumlah (Unit)
Persentase (%)
1.
TK Negeri/Swasta
38
21,23
2.
SDN/MIN/Swasta
75
41,90
3.
SLTP/MTsN/Swasta
22
12,29
4.
SLTA/MAN/Swasta
31
17,32
5.
Perguruan Tinggi/Akademi
13
7,26
179
100,00
Jumlah Sumber : www.palopokota.go.id
Upaya untuk memenuhi pelayanan kesehatan kepada masyarakat ditentukan oleh jumlah dan kualitas pelayanan kesehatan. Jumlah dan kualitas yang dimaksud berkaitan dengan jumlah fasilitas, jangkauan,
pelayanan, tenaga dan peralatan medis. Fasilitas kesehatan yang ada di Kota Palopo dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 3.4 Fasilitas Kesehatan di Kota Palopo Tahun 2010 No.
Jenis
Fasilitas Jumlah
Persentase
Kesehatan
(Unit)
(%)
1.
Rumah Sakit
4
2,22
2.
Puskesmas
9
5,00
3.
Pustu
25
13,89
4.
Rumah Sakit Bersalin
2
1,11
5.
Apotik/Toko Obat
37
20,56
6.
Dokter Praktek
55
30,56
7.
Posyandu
48
26,67
180
100,00
Jumlah Sumber : www.palopokota.go.id
3.2.6. Kondisi Pemerintahan
Kota Palopo, dahulu disebut Kota Administratip (Kotip) Palopo, merupakan Ibu Kota Kabupaten Luwu yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah ( PP ) Nomor Tahun 42 Tahun 1986
Seiring dengan perkembangan zaman, tatkala gaung reformasi bergulir dan melahirkan UU No. 22 Tahun 1999 dan PP 129 Tahun 2000, telah membuka peluang bagi Kota Administratif di Seluruh Indonesia yang telah memenuhi sejumlah persyaratan untuk dapat ditingkatkan statusnya menjadi sebuah daerah otonom.
Ide peningkatan status Kotip Palopo menjadi daerah otonom , bergulir melalui aspirasi masyarakat yang menginginkan peningkatan status kala itu, yang ditandai dengan lahirnya beberapa dukungan peningkatan status Kotip Palopo menjadi Daerah Otonom Kota Palopo dari beberapa unsur kelembagaan penguat seperti Surat Bupati Luwu No. 135/09/TAPEM Tanggal 9 Januari 2001, Tentang Usul Peningkatan Status Kotip Palopo menjadi Kota Palopo; Keputusan DPRD Kabupaten Luwu No. 55 Tahun 2000 Tanggal 7 September 2000, tentang Persetujuan Pemekaran/Peningkatan Status Kotip Palopo menjadi Kota Otonomi; Surat Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan No. 135/922/OTODA tanggal 30 Maret 2001 Tentang Usul Pembentukan Kotip Palopo menjadi Kota Palopo; Keputusan DPRD Propinsi Sulawesi Selatan No. 41/III/2001 tanggal 29 Maret 2001 Tentang Persetujuan Pembentukan Kotip Palopo menjadi Kota Palopo; Hasil Seminar Kota Administratip Palopo Menjadi
Kota Palopo; Surat dan dukungan Organisasi Masyarakat, Oraganisasi Politik, Organisasi Pemuda, Organisasi Wanita dan Organisasi Profesi; Pula
di
barengi
oleh
Aksi
Bersama
LSM
Kabupaten
Luwu
memperjuangkan Kotip Palopo menjadi Kota Palopo, lalu kemudian dilanjutkan oleh Forum Peduli Kota.
Akhirnya setelah Pemerintah Pusat melalui Depdagri meninjau kelengkapan administrasi serta melihat sisi potensi, kondisi wilayah dan letak geografis Kotip Palopo yang berada pada Jalur Trans Sulawesi dan sebagai pusat pelayanan jasa perdagangan terhadap beberapa kabupaten sekitar, meliputi Kabupaten Luwu, Luwu Utara, Tana Toraja dan Kabupaten Wajo serta didukung sebagai pusat pengembangan pendidikan di kawasan utara Sulawesi Selatan, dengan kelengkapan sarana pendidikan yang tinggi, sarana telekomunikasi dan sarana transportasi pelabuhan laut, Kotip Palopo kemudian ditingkatkan statusnya menjadi Daerah Otonom Kota Palopo .
Tanggal 2 Juli 2002, merupakan salah satu tonggak sejarah perjuangan pembangunan Kota Palopo, dengan di tanda tanganinya prasasti pengakuan atas daerah otonom Kota Palopo oleh Bapak Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia , berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2002 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota Palopo dan Kabupaten Mamasa Provinsii Sulawesi Selatan , yang akhirnya menjadi sebuah Daerah Otonom, dengan bentuk dan model pemerintahan serta
letak wilayah geografis tersendiri, berpisah dari induknya yakni Kabupaten Luwu.
Diawal terbentuknya sebagai daerah otonom, Kota Palopo hanya memiliki 4 Wilayah Kecamatan yang meliputi 19 Kelurahan dan 9 Desa. Namun seiring dengan perkembangan dinamika Kota Palopo dalam segala bidang sehingga untuk mendekatkan pelayanan pelayanan pemerintahan kepada masyarakat , maka pada tahun 2006 wilayah kecamatan di Kota Palopo kemudian dimekarkan menjadi 9 Kecamatan dan 48 Kelurahan.
Kota Palopo dinakhodai pertama kali oleh Bapak Drs. H.P.A. Tenriadjeng, Msi, yang di beri amanah sebagai penjabat Walikota (Caretaker) kala itu, mengawali pembangunan Kota Palopo selama kurun waktu satu tahun , hingga kemudian dipilih sebagai Walikota defenitif oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Palopo, untuk memimpin Kota Palopo Periode 2003-2008, yang sekaligus mencatatkan dirinya selaku Walikota pertama di Kota Palopo.
Pelayanan pemerintah Kota Palopo dalam tahun 2007, mengalami peningkatan yang cukup pesat, terlihat dari responsifitas pemerintah terhadap dinamika dan kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan efesiensi pelayanan umum pemerintahan, sehingga pada tahun 2006 administrasi pemerintah dimekarkan dari 4 kecamatan menjadi 9 kecamatan dan dari 28 kelurahan menjadi 48 kelurahan berdasarkan
Perda No. 3 Tahun 2005 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kecamatan dan Kelurahan di Kota Palopo. Disamping itu sebagai upaya untuk meningkatkan efektifitas pelayanan perizinan, Pemerintah Kota Palopo juga pada tahun 2007 telah melakukan pembentukan Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (KPTSP) Kota Palopo sebagai upaya untuk memantapkan pelayanan dan menunjang Visi Kota Palopo, Menjadi Satu Kota Pelayanan Jasa Terbaik di Kawasan Indonesia Timur. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah, maka saat ini unit kerja Pemerintah Kota Palopo terdiri dari 3 sekretariat, 7 Badan 16 Dinas, 4 kantor dan 1 Inspektorat, dengan dukungan aparatur sumber daya manusia berdasarkan golongan kepangkatan tahun 2008 berjumlah 4.474 orang terdiri dari 33 orang golongan I 1.267 orang golongan II , 1.949 orang golongan III, dan 1.126 golongan IV. Dilihat berdasarkan tingkat pendidikan yang di tamatkan PNS Kota Palopo terdiri dari 82 orang Sastra Dua, 1.847 orang strata satu, 845 Diploma I-III, 1.492 orang SMA, 49 orang SMP, dan 158 SD.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Nilai Budaya Lokal Dalam Kepemimpinan Pemerintahan Di Kota Palopo 4.1.1. Konstruksi Nilai Budaya Lokal di Kota Palopo Mentransformasi sebuah nilai, pemikiran atau ajaran masa lalu untuk kemudian ditarik dalam ranah kekinian memang merupakan sebuah pekerjaan yang tidak mudah. Upaya ini bahkan hanya dinilai sebagai sebuah proses beromantika tanpa harus tertarik dan tergugah untuk mewujudkannya sebagai sebuah konsep yang “ideal” dalam sistem kepemimpinan pemerintahan yang ada.
Realitas ini tidak dapat dipungkiri terjadi pada hampir semua sistem nilai yang kita (masyarakat Sulawesi Selatan) miliki, termasuk kearifan lokal tentang kepemimpinan. Sebab hampir semua konsepsi bernegara, dalam hal ini konsepsi tentang kepemimpinan kita telah diformat dalam sebuah paradigma Barat atau kultur lain. Bahkan jika kita terpaksa untuk menggali nilai-nilai dan ajaran kepemimpinan kuno dalam masyarakat, kita hanya berputar dalam ruang-ruang penyesuaian dengan nilai dan ajaranajaran yang sudah terdoktrin secara tegas dalam sistem bernegara kita.
Dalam konsep demokrasi misalnya, para ilmuwan, kebanyakan hanya mengakatakan bahwa konsep demokrasi yang ada sekarang sebenarnya juga telah lama diterapkan dalam sistem kepemimpinan masyarakat di Sulawesi Selatan. Jadi, kita hanya digiring untuk menyamakan apa yang kita miliki dengan apa yang telah kita adopsi
secara berlebihan dari kultur lain. Dalam keadaan demikian, maka semua tata nilai dan ajaran yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada masa
lampau
hanya
menjadi
bahan
perbandingan
tanpa
perlu
mengangkatnya menjadi sebuah ilmu pengetahuan apalagi harus diterapkan dalam sistem bernegara kita, meskipun hanya dalam lingkup yang lebih kecil.
Di
Sulawesi
kepemimpinan
Selatan,
dalam
pemikiran
pemerintahan,
politik, bertumbuh
utamanya
konsep
seiring
dengan
perkembangan pemikiran dan kondisi sosial masyarakat. Perkembangan konsep pemerintahan (kepemimpinan) di Sulawesi Selatan dapat dilihat berdasarkan tiga periode yakni (1) periode Galigo, (2) periode lontara’ dan (3) periode masuknya Islam.
Pada periode Galigo, konsep kepemimpinan dapat dirumuskan berdasarkan pandangan religio charismatic. Pada masa ini keberadaan dewa-dewa
sebagai
penguasa
di
bumi
mendominasi
kehidupan
masyarakat. Dalam periode ini dikisahkan bagaimana awal mulanya penciptaan dunia dan bagaimana usaha para dewa di langit dengan segala
kekuatan
super
yang
dimilikinya
berusaha
menempatkan
keturunannya di bumi sebagai penguasa. Dalam epos Galigo dengan jelas diceritakan bagaimana peran para dewa langit (keturunan Patoto’e atau Sang Penentu Nasib) membangun tatanan sosial di bumi. Di sini jelas sekali nampak bahwa peranan manusia biasa hampir tidak ada. Kalau pun
ada, mereka tidaklah mempunyai peranan penting dalam proses tersebut. Kehidupan di bumi pun kemudian dibangun pula oleh keturunan dewa dari Dunia Bawah (Peretiwi) yang menjadi pasangan dewa dari Dunia Atas (Boting Langi’).
Setelah diturunkannya kedua manusia-dewa tersebut, maka semua manusia yang tidak termasuk dalam golongan mereka hanya mampu menerima nasib. Tidak ada aturan yang dapat diberlakukan kecuali aturan dewata. Manusia biasa bukanlah subjek dalam kehidupan masyarakat. Segala sesuatu dimulai dan ditempatkan dari atas, menurut kehendak sang dewata. Dan manusia biasa pun kemudian menerima keadaan tersebut sebagai sesuatu yang semestinya memang demikian.
Pada periode Galigo ini, dengan jelas dapat dilihat bahwa sikap hidup manusia ditentukan oleh faktor-faktor yang ada diluar dirinya. Segala sesuatunya dinisbahkan pada kekuatan adikodrati (supranatural) sebagai sumber segala kekuasaan dan kepemimpinan. Dalam kondisi masyarakat demikian, kekuasaan dalam kelompok-kelompok masyarakat diserahkan pada orang-orang yang dianggap memiliki kekuatan gaib yang berasal dari penitisan dewa-dewa dari Boting Langi’ atau Peretiwi.
Berdasarkan kondisi masyarakat pada masa itu, pola pikir (konsep) kepemimpinan pun terbentuk. Kekuasaan kemudian menjadi absolut dan hanya menjadi milik dewa-dewa atau titisan dewa. Kekuasaan dikonsepsi berdasarkan aturan Kerajaan-Kerajaan dewa dan manusia biasa hanya
bisa mengikuti. Segala kekuasaan pimpinan dalam persekutuan hidup dan negara datang langsung dari Patoto’e (Yang Menentukan Nasib atas segala sesuatunya). Pemimpin diyakini sebagai dewa atau wakil dewa dan bertugas untuk memimpin, mengatur tata-tertib umat manusia dan manusia harus taat pada kekuasaan suci tersebut.
Dengan demikian, berkembang pula pemahaman dan menjadi kepercayaan rakyat bahwa seorang pemimpin dalam sebuah kelompok memiliki kekuatan sakti yang berasal dari dewa. Seorang pemimpin bukan hanya mempunyai kekuatan fisik, tetapi juga metafisik yang kemudian dianggap sebagai representasi kekuasaan langit dan bumi yang berkelanjutan dari dunia sampai sesudah mati.
Manusia
menghadapi
dunianya
secara
pasif
dan
dalam
kehidupannya mereka memahami bahwa apapun yang terjadi, mereka hanya mengikuti kosmos atau kodrat, sebagai sesuatu yang tak mungkin dilawan atau diubah secara seenaknya. Mereka beranggapan bahwa semuanya telah diatur oleh dewata dan atau titisannya yang menjadi penguasa (raja) di bumi.
Hal ini juga terjadi pada hubungan antara pemerintah dan yang diperintah. Hubungan ini dianggap semata-mata hanyalah kodrat yang tak dapat
dilawan.
Ketaatan
yang
diperintah
kepada
pemerintahnya;
kesetiaan yang dipimpin kepada pimpinannya dipandang sebagai kodrat suci yang telah berlaku tanpa sanggahan.
Meski bersifat absolut, namun pada periode Galigo ini, pemimpin juga berusaha memberikan tuntunan etik dan moral terhadap kegiatankegiatan duniawi kepada rakyatnya. Berbagai pola kepemimpinan pun dihadirkan dengan segala model etika yang sebaiknya dipatuhi dan dijalankan
oleh
rakyat.
Misalnya
saja dalam sure’ Galigo
yang
menceritakan ketika Batara Guru akan diturunkan ke bumi. Ketika itu para dewa terlebih dahulu melakukan musyawarah. Dalam musyawarah tersebut, titisan yang akan diturunkan ke bumi benar-benar merupakan keturunan yang memiliki kelebihan yang luar biasa, sehingga nantinya diharapkan mampu menjadi pemimpin yang baik dan melahirkan keturunan yang baik pula.
Hal ini nampak ketika I La Sangiang hendak diturunkan ke bumi. Para dewa yang ikut dalam musyawarah segera menolak. Hal ini disebabkan sifat I La Sangiang yang ugal-ugalan dan suka membuat keributan.
Selama ini ia selalu menginginkan perang di Boting Langiq dan tak mampu menghargai sesamanya datu. Bahkan ia selalu merasa hanya dirinyalah yang dianggap anak dewata di Rualletté, tak ada duanya. Selain itu, pekerjaannya hanyalah menyabung ayam andalannya. Dan ia selalu berbuat curang. Kalau ayamnya mati, ia pun membunuh ayam sesamanya raja yang mengalahkannya agar seri.”
Dan setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya Batara Guru terpilih sebagai keturunan Patoto’e yang akan diturunkan ke bumi. Batara Guru memang memiliki kepribadian yang paripurna dibanding semua saudara-saudaranya.
Sangat sulit mengambil keputusan ini, sebab ia telah kupersiapkan untuk menjadi raja di Rualletté. Ia memang sangat dibutuhkan, sebab dialah yang selalu membimbing sesamanya anak dewata di langit. Namun, biarlah kita turunkan saja anak sulung kita, Batara Guru, ke permukaan bumi. Semoga ia dapat membimbing penghuni bumi menyembah ke Boting Langiq dan menengadahkan tangan ke Pérétiwi.”
Walaupun demikian, kekuasaan dewa di dunia sangat mutlak terhadap apapun yang ada di bumi. Konsep kepemimpinan periode Galigo ini, bisa disebut sebagi paham teokrasi. Paham ini menganggap raja menjadi raja dan negara menjadi negara itu berkat kekuasaan dan kehendak Tuhan atau Dewa. Dengan pimpinan Tuhan, raja memimpin umat manusia agar tercapai ketertiban seperti yang dikehendaki oleh Tuhan. Negara sebagai negara hanyalah perwujudan dan pelaksanaan kuasa Tuhan semata-mata.
Pola kepemimpinan periode Galigo ini berlangsung selama ratusan tahun hingga semua keturunan dewa langit kembali ke langit dan tertutupnya pintu langit, sehingga dewa-dewa di langit tidak mudah lagi mondar mandir antara langit ke bumi. Pola kepemimpinan ini dapat
dikatakan berakhir pada masa setelah Sawerigading dan We Cudai ditarik turun ke Dunia Bawah (Peretiwi) untuk menjadi penguasa. Pada masa selanjutnya, semua keturunan dewa kembali ke langit dan diputuskanlah hubungan antara langit dan bumi. Adapun tokoh-tokoh dalam periode Galigo ini seperti Batara Guru, Batara Lattu’, Sawerigading, I La Galigo, dll.
Dalam manuskrip-manuskrip tua (lontara’) dijelaskan bahwa setelah terjadinya masa kekosongan kekuasaan (karena semua keturunan Batara Guru naik ke langit dan terputusnya hubungan antara langit dan bumi), maka kekacauan (sianre bale) pun terjadi selama 7 pariama. Pada masa itu, masyarakat tidak lagi mempunyai (pemimpin) pemerintahan yang mampu menjaga keamanan rakyat. Kelompok-kelompok kecil kekuasaan menjamur dan berlomba untuk saling menguasai. Masyarakat tak mempunyai pegangan (pemimpin), sebab selama ini masyarakat hanya menganggap bahwa keturunan dari penguasa langitlah (Dewata Patoto’e) yang berhak memerintah (berkuasa) di Bumi (Ale Lino). Karena tak adanya keturunan dari langit, maka kekuasaan pun tak terkendali dan terjadilah masa sianre bale.
Dalam kondisi tersebut, masyarakat kehilangan pegangan hingga datangnya kembali to manurung (orang yang dianggap sebagai keturunan dari langit). Setelah masa kegelapan tersebut, Simpurusiang (1268-1293) kemudian muncul sebagai penguasa di Luwu. Oleh masyarakat,
Simpurusiang masih dipercaya sebagai keturunan dewata yang turun dari langit (masih keturunan Sawerigading) yang turun ke bumi untuk menghentikan kekacauan dan mengatur pemerintahan. Sejak saat itulah sistem pemerintahan mulai berjalan dengan baik.
Konsep kepemimpinan di Sulawesi Selatan setelah masa sianre bale berlalu, ternyata belum mengalami perubahan yang signifikan. Masa sianre bale yang terjadi memang hanya disebabkan oleh tidak adanya keturunan dari langit yang turun memimpin seperti pada periode Galigo. Karenanya, konsep kepemimpinan seperti pada periode Galigo, pun masih menjadi pegangan kuat bagi masyarakat dalam menentukan pemimpin.
Pada periode setelah terputusnya hubungan antara penghuni langit dan bumi, masyarakat kemudian memasuki sebuah masa baru yang disebut periode lontara’. Oleh para ahli, periode lontara’ dan periode Galigo diantarai oleh masa sianre bale. Meski pada periode ini konsep kepemimpinan pada hakekatnya masih sama dengan periode Galigo (kepemimpinan dewa-dewa), namun peran manusia biasa (rakyat) telah menduduki tempat tersendiri dan menentukan. Manusia biasa telah mempunyai
hak
untuk
menentukan
siapa
yang
adakan
menjadi
pemimpinnya.
Konsep to manurung masa Galigo yang bersifat absolut kemudian mengalami pergeseran. Dalam proses penetapan seorang pemimpin,
rakyat dan calon pemimpin telah diikat oleh semacam kontrak politik. Adapun kontrak politik antara rakyat dan calon pemimpinnya yang kemudian banyak dipakai pada pengangkatan seorang raja di beberapa Kerajaan di Sulawesi Selatan kurang lebih sebagai berikut:
Rakyat: “Anginlah Engkau, dan kami daun kayu. Kemana engkau berhembus, ke situ pula kami ikut serta. Kehendakmu, menjadi kehendak kami pula. Apa nian titahmu, kami junjung. Perintahkanlah, kami penuhi. Mintalah dari kami dan kami akan memberimu. Engkau menyeru, kami datang. Terhadap anak-istri
kami
yang engkau cela,
kami
pun
mencelanya. Akan tetapi, pimpinlah kami ke arah ketenteraman, kesejahteraan dan perdamaian.”
To Manurung: “Kami menjunjungnya di atas batok kepala janjimu wahai orang banyak. Kami tempatkan dalam rumah keemasan, kemuliaan janjimu.
Kontrak politik antara rakyat dan calon pemimpin dalam periode lontara’ ini merupakan salah satu pembeda yang cukup jelas dengan konsep kepemimpinan (pemerintahan/ kekuasaan) pada periode Galigo. Pada periode ini, peran rakyat mulai kuat dan dapat menentukan seorang pemimpin. Meskipun pada hakekatnya mereka masih memegang kuat konsep kepemimpinan masa Galigo yang menganggap bahwa raja adalah dewa atau titisan dewa, namun kedudukan rakyat semakin kuat dan memegang peran penting.
Konsep to manurung pada periode lontara’ ini kemudian bertahan dan menjadi cikal bakal terbentuknya Kerajaan-Kerajaan selanjutnya, seperti Kerajaan Gowa, Kerajaan Bone, Kerajaan Soppeng dan beberapa Kerajaan lainnya. Meski ada juga beberapa Kerajaan yang tidak mengenal konsep to manurung, namun dalam silsilah Kerajaan yang mereka susun, selalu mempertautkan silsilah penguasanya dengan masa Galigo (Kedatuan Luwu).
Pada periode lontara’ ini konsep kepemimpinan berkembang berdasarkan pandangan tradisional dan patrimonial, meski beberapa to manurung yang muncul dan menjadi raja pertama di beberapa Kerajaan adalah seorang perempuan, misalnya di Kerajaan Gowa. Pada masa ini struktur pemerintahan semakin berkembang. Beberapa lembaga-lembaga mulai terbentuk sesuai dengan perkembangan pemikiran dan kebutuhan rakyat. Di Luwu, misalnya, berbagai lembaga-lembaga yang bertugas membantu tugas raja terbentuk dan kemudian menjadi pola bagi perkembangan lembaga-lembaga di beberapa Kerajaan, khususnya di Sulawesi Selatan.
Dialektika pemikiran tentang konsep kepemimpinan (pemerintahan) kemudian melahirkan sebuah lapisan masyarakat penguasa yang akan dijadikan cikal bakal penguasa. Lapisan masyarakat ini disebut anakarung atau anakareang. Bila dicermati dengan baik pelapisan masyarakat di Sulawesi Selatan pada umumnya dapat dibagi ke dalam tiga lapisan yakni
anakarung (lapisan raja beserta sanak keluarganya), maradeka (lapisan rakyat jelata atau rakyat kebanyakan) dan ata (sahaya).
Dalam pandangan Friedericy (1933) malah melihat pelapisan masyarakat Sulawesi Selatan pada hakekatnya hanya terdiri dari dua yakni anakarung dan maradeka. Adapun ata menurutnya hanya merupakan lapisan sekunder yang terjadi mengikuti pertumbuhan kehidupan Sulawesi Selatan. Selain itu, lapisan ini bisa juga muncul dan atau menjadi akibat dari sebuah peristiwa (kalah perang, kalah judi, punya utang yang tak mampu dibayar, dll).
Selain munculnya dua pelapisan dalam masyarakat di Sulawesi Selatan, perubahan terhadap konsep kepemimpinan (kekuasaan) juga terus
mengalami
perkembangan
sesuai
dengan
kebutuhan
dan
perkembangan pengetahuan. Berbagai pranata sosial terbentuk dan berkembang sejalan dengan fungsinya dan kebutuhan masyarakat. Masa ini berlangsung ratusan tahun hingga masuknya Islam dan menjadi agama Kerajaan.
Dalam periode Islam, konsep pemerintahan di masyarakat Sulawesi Selatan, juga mengalami perubahan. Berbagai pranata sosial dibangun dengan landasan pemikiran Islam. Masuknya unsur sara’ dalam pangngadereng, misalnya, merupakan bagian yang cukup penting dalam perubahan sistem sosial kultural di masyarakat Sulawesi Selatan.
Pada periode ini, keberadaan seorang pemimpin yang masih dianggap sebagai keturunan dewa dan atau maddaratakkuq (berdarah putih/suci) semakin tergeser. Walau demikian, pemahaman masyarakat kuno periode Galigo dan lontara’ tentang pemimpin yang karismatik (mempunyai titisan dewa) masih nampak, hingga berakhirnya masa Kerajaan.
Dalam
banyak
manuskrip
tradisional
(lontara’),
konsepsi
kepemimpinan tradisional di Sulawesi Selatan diuraikan dengan cukup jelas. Paseng yang termaktub di awal tulisan ini adalah salah satu contohnya.
Paseng
tersebut
merupakan
sebagian
nasehat
yang
diucapkan To Ciung Maccae ri Luwu (penasehat Datu Luwu, Dewaraja Datu Kalali yang memiliki pengetahuan luas, utamanya dalam hal pemerintahan),
sekitar
abad
ke
15,
kepada
La
Manussa
To
Akkaranggeng, calon Datu Soppeng Sonrongpole. Sebelum menduduki tahta Kerajaan di Soppeng, La Manussa diperintahkan oleh ayahnya untuk berguru pada To Ciung Maccae ri Luwu mengenai ilmu, etika dan moralitas dalam kepemimpinan (pemerintahan).
Apa yang diucapkan oleh To Ciung Maccae ri Luwu kepada La Manussa To Akkaranggeng, seperti yang termaktub di awal tulisan ini, dalam
realitas
sosial
politik
masyarakat
Sulawesi
Selatan
telah
memberikan sedikit gambaran betapa dialektika dalam pemerintahan Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Selatan pada masa lalu utamanya dalam
pengambilan keputusan oleh penguasa utamanya setelah periode Galigo, berakhir pada keputusan orang banyak (rakyat). Suara rakyat dalam sistem politik masyarakat di Sulawesi Selatan merupakan penentu terakhir dari segala keputusan yang akan diambil oleh pemerintah (Kerajaan). Suara rakyat menjadi sesuatu yang sangat penting dalam dialektika politik di masyarakat Sulawesi Selatan.
Gambaran sosial politik masyarakat Sulawesi Selatan pada masa Kerajaan
tersebut,
cukup
unik
dan
agak
beda
dengan
konsep
pemerintahan Kerajaan di daerah-daerah lain. Sistem pemerintahan Kerajaan di Sulawesi Selatan jelas tidak begitu absolut dan otoriter seperti halnya dengan sistem Kerajaan lainnya.
Penyelenggaraan pemerintahannya malah bisa dianggap bersifat demokratis, yakni raja tidak mesti turun-temurun/anak raja sebelumnya (meski seorang raja masih harus keturunan bangsawan tinggi dan dipilih langsung oleh dewan adat), tapi dipilih dan diberhentikan oleh semacam Majelis Perwakilan/Permusyawaratan Rakyat. Prinsip-prinsip kerakyatan dalam kekuasaan ini dalam masyarakat Bugis dikenal dengan istilah mangelle’ pasang, yakni kekuasaan itu diibaratkan dengan air pasang yang naik ke pantai; suatu simbolisasi tentang kekuasaan yang berasal dari rakyat dan diserahkan kepada pemerintah agar dilaksanakan untuk kepentingan (keadilan, ketentraman dan kesejahteraan) rakyat. Di sinilah
letak keunikannya dibanding dengan sistem pemerintahan tradisionil lainnya, dan telah dipraktekkan selama ratusan tahun.
Jika ditarik dalam konsep bernegara saat ini, konsep ini bisa diidentikkan
dengan
konsep
demokrasi
yang
diterapkan
dalam
pemerintahan masa Yunani Kuno. Dalam konsep Yunani Kuno sebelum terbentuknya pemerintahan Athena yang demokratis, raja juga dianggap sebagai keturunan Dewa.
Di Sulawesi Selatan sendiri, ideologi politik mungkin belum dirumuskan sebagai sebuah ilmu pengetahuan dengan segala macam tetek-bengek metodologinya. Namun dalam konsep kepemimpinan, masyarakat
Sulawesi
Selatan
telah
menerapkan
sebuah
sistem
(kedaulatan rakyat) yang mampu membawa masyarakat ke arah yang lebih baik dengan lebih menitik-beratkan pada aspek etika dan moralitas kepemimpinan dalam pemerintahan.
Berlandas berbagai tata nilai kepemimpinan (pemerintahan) yang menitik-beratkan pada etika dan moralitas politik, Kerajaan-Kerajaan di Sulawesi Selatan pun membangun sistem pemerintahannya. Sistem kepemimpinan yang diterapkan dalam kehidupan bernegara masyarakat Sulawesi Selatan yang lebih menitik-beratkan pada aspek etika dan moralitas politik seorang pemimpin –sejak masa Galigo terlebih setelah masuknya Islam– inilah yang kemudian melahirkan pemimpin-pemimpin dengan kualitas moral yang baik.
Dalam berbagai manuskrip tentang kepemimpinan di Sulawesi Selatan, unsur etika dan moralitas kepemimpinan memang merupakan tolak ukur utama dalam menjalankan roda kekuasaan bagi seorang pemimpin. Hal ini, misalnya dapat dilihat dari beberapa pesan To Ciung Maccae ri Luwu kepada La Manussa To Akkaranggeng, calon Datu Soppeng Sonrongpole, sebelum menduduki tahta Kerajaan di Soppeng:
“Lima hal yang menyebabkan seorang raja tetap tenang dalam Kerajaannya. Pertama, jujur ia terhadap dewata serta kepada sesamanya raja, terhadap negeri tetangganya, serta kepada rakyatnya. Ia juga jujur terhadap dirinya dan kepada isi rumahnya. Jujur pula ia kepada semua yang dilihat mata serta yang didengar telinga. Sebab, yang dikatakan sebenarnya jujur, hanyalah mereka yang jujur kepada semua yang tersebut tadi.”
Kedua, apa saja yang hendak dilakukan oleh seorang raja, atau mau ia katakan, dilihatnya yang ada di depannya dan ia memperkirakan apa yang ada di belakangnya. Dipertimbangkannya pula kepada para hakim dan kepada rakyatnya dan menanyai sikap jiwanya. Hal itu dia kerjakan atau ia katakan jika telah disepakati oleh mereka yang mengetahui nasehat yang berujung kebaikan. Sebab, keburukan yang baik adalah yang disepakati. Dan kebaikan yang buruk ialah yang tidak disepakati. Persahabatan yang baik ialah yang tidak saling menyesali dan tidak saling menggerutui.
Ketiga, mudah ia membantu orang dalam suka dan duka menurut wajarnya. Mudah ia menyapa serta memberi nasehat menurut patutnya. Mudah ia memberi kepada hambanya (rakyatnya), serta sangat pengasih dan penyayang ia, lagi selalu memberi makan dan minum siang dan malam. Orang yang sungguh-sungguh pemurah, ialah mereka yang menyenangi perbuatan yang tersebut itu.
Keempat, teguh pendiriannya. Artinya, ia tidak meninggalkan janji. Ia juga teguh
memegang ikrar (antar negara) dan tidak akan
mementahkan keputusan hakim. Ia teguh pada batas-batas yang sudah ditentukan,
tidak
melebih-lebihkan
perbuatannya,
dan
tidak
menguranginya. Ia teguh juga untuk tidak melebih-lebihkan perkataannya, atau
pun
menguranginya.
Ia
juga
tidak
akan
melebih-lebihkan
penglihatannya daripada apa yang sudah dilihatnya. Demikian juga pendengarannya
serta
pengetahuannya daripada apa
yang
telah
diketahuinya. Orang yang teguh memegang apa yang sudah disebutkan tadi, itulah orang yang sungguh-sungguh pendiriannya.
Kelima, raja itu harus berani. Adapun orang yang berani, berani melakukan pekerjaan baik dalam kesulitan maupun dalam hal yang tidak sulit menurut patutnya. Berani ia mengucapkan perkataan yang keras maupun yang lemah lembut menurut wajarnya. Berani ia memutus perkara yang sulit maupun yang mudah sesuai dengan kebenaran. Berani ia mengingatkan serta menasehati para pembesar maupun kepada orang
awam sesuai dengan kemampuannya. Berani juga ia berjanji dengan sesamanya raja atau negeri, baik menyangkut kebaikan maupun keburukan menurut wajarnya. Berani ia melihat yang luas maupun yang sempit, yang tinggi maupun yang rendah, yang besar maupun yang kecil, yang menyenangkan maupun yang susah, sampai yang sepatutnya dilihat oleh mata. Berani ia mendengar perkataan yang jelek maupun yang baik, suara yang keras maupun yang lembut, jauh maupun dekat. Jika seseorang berani terhadap semua yang sudah disebutkan itu, ia itulah raja yang panjang umur dan banyak anak. Berkembang rakyatnya, berbiak ternaknya, subur pohon buah-buahannya. Padi selalu menjadi. Tidak ditimpa bencana negerinya. Tidak curiga raja tetangganya. Ia disegani oleh negeri tetangganya serta dipatuhi oleh rakyatnya. Raja yang seperti itu pulalah kaya dan selalu menang dalam perang. Bertambah terus Kerajaannya. Bertambah juga kebesarannya. Dipuji oleh semua orang, tersohor barat, timur, utara dan selatan. Berita kebaikannya sampai kepada anak cucunya.”
Apa yang diungkapkan To Ciung tersebut, merupakan unsur penting yang harus dipegang oleh seorang pemimpin (raja) dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Bahkan secara keseluruhan, To Ciung melihat bahwa kebaikan sebuah negeri juga harus didukung oleh seluruh alat negara dalam lingkup pemerintahan. Sebab selain seorang pemimpin (raja), para alat negara (aparat pemerintahan) juga memiliki peran penting
dalam membangun sebuah negara menjadi lebih baik. Sehingga aspek etika dan moralitas aparat negara juga harus diperhatikan.
Dalam realitas bernegara di Indonesia, tidak sedikit kasus yang dapat ditemui yang menunjukkan bagaimana bobroknya alat negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Mereka yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, malah lebih suka dilayani dan tak henti-hentinya membodohi
rakyat.
Kasus
pungutan
liar
atau
menggejalanya
kecenderungan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang banyak tersebar di semua instansi merupakan realitas yang tak dapat dipungkiri terjadi di negara ini. Bahkan saking bobroknya etika dan moral para aparat negara, instansi yang seharusnya mengurusi moral rakyat pun melakukan hal yang sama. Departemen Agama atau Departemen Pendidikan, misalnya, merupakan departemen yang menduduki peringkat teratas dari kasus korupsi yang terjadi di Indonesia.
Kondisi ini akan menjadikan negara, utamanya rakyat kehilangan jati diri dan disadari atau tidak akan mengalami disorientasi nilai etika dan moralitas. Karena itulah, tidak salah jika To Ciung juga mewanti-wanti keberadaan para aparat negara dalam menjalankan pemerintahan. To Ciung mengatakan:
“…Tidak sembarang orang yang dijadikan alat negara. Seseorang dapat dijadikan alat negara, jika ia memiliki empat hal. Pertama, ia jujur. Kedua, ia berpikiran panjang. Ketiga, ia kaya. Keempat, ia pemberani.
Adapun tanda orang yang jujur (1), pertama orang yang bersalah padanya, tetapi dimaafkannya. Kedua, ia percaya dan tidak mengkhianati. Ketiga, tidak serakah terhadap yang bukan haknya. Keempat, tidak dituntutnya suatu kebaikan jika hanya dia yang menikmatinya.
Adapun tandanya orang yang berpikir panjang (2), ada empat pula jenisnya. Pertama, ia menyukai perilaku yang benar. Kedua, ia menyukai perkataan yang benar. Ketiga, jika menghadapi semak belukar ia kembali. Keempat, jika ia melalui jalan, ia hati-hati.
Adapun tanda orang yang kaya (3), empat pula jenisnya. Pertama, ia kaya perkataan. Kedua, ia kaya pikiran. Ketiga, ia kaya pekerjaan. Keempat, ia kaya belanja.
Adapun tandanya orang yang berani (4), empat pula jenisnya. Pertama, tiada gentar ia menerima perkataan jelek dan perkataan yang baik. Kedua, ia tidak mendengar berita tetapi didengarkannya juga. Ketiga, tak takut ditempatkan di depan atau di belakang. Keempat tak takut ia menghadapi lawan.”
Konsep kepemimpinan yang berlandas pada etika dan moralitas ini dalam realitas pola kepemimpinan sekarang tidak lagi menjadi tolak ukur dalam
memilih
seorang
pemimpin.
Hal
ini
dikarenakan
adanya
kecenderungan untuk memisahkan moralitas (agama) dari konsep kepemimpinan.
Dalam nasehat
To
Ciung
kepada
La
Baso’ To
Akkarangeng tentang hal-hal yang dapat memperbaiki Kerajaan, dapat dilihat sebuah konsep bernegara yang seharusnya diwujudkan untuk memperbaiki negeri.
Berkata La Baso’ To Akkarangeng: “Apa yang memperbaiki Kerajaan, Nenek?”
Berkata To Maccaé ri Luwu: “Delapan jenisnya. Pertama, kita harus jujur. Kedua, kita harus berkata benar. Ketiga, kita harus teguh pendirian. Keempat, kita harus mawas diri. Kelima, kita harus bermurah hati. Keenam, kita harus peramah. Ketujuh, kita berani. Kedelapan, harus tidak pilih kasih.
Adapun yang disebut jujur, dirinya dijadikan ukuran. Adapun yang disebut berkata benar, tidak keluar perkataan bohong dari mulutnya. Adapun yang disebut teguh pendirian tidak akan ia meninggalkan janji. Adapun yang disebut mawas diri, tidak terpejam matanya dalam berpikir dan mencarikan kebaikan untuk negerinya. Adapun yang disebut murah hati, ia menjamu siang dan malam. Adapun yang disebut peramah, berutang-piutang tetapi tidak marah bila diingatkan. Adapun yang disebut pemberani, tidak dibedakannya kematian dengan kehidupan. Adapun yang disebut tidak pilih kasih, dianggapnya sama saja ada tidaknya….”
Begitu
banyaknya
konsep
kepemimpinan dalam manuskrip-
manuskrip tua (lontara’) yang ada di Sulawesi Selatan, hampir semuanya
menitik beratkan pada aspek etika dan moralitas yang harus menjadi pedoman bagi seorang pemimpin dalam melaksanakan tugasnya. Dalam pandangan tradisional masyarakat Sulawesi Selatan, baik buruknya (berberkahnya) sebuah negeri tergantung dari baik buruknya moralitas pemimpinnya.
Jika konsep demokrasi Yunani bisa survive hingga sekarang, mengapa konsep pemerintahan di Sulawesi Selatan yang lebih menitikberatkan pada aspek etika dan moralitas (pribadi sang pemimpin dan bukan hanya sistem) tidak mampu tumbuh dengan baik. Apakah karena selama ini sistem nilai yang dianut hanya menjadi milik kultur lain dengan menafikan sistem nilai yang ada di masyarakat Sulawesi Selatan sendiri. Ataukah memang sistem nilai yang ada di masyarakat Sulawesi Selatan telah lama hilang dan hanya menjadi benda mati dan tergeletak dalam kitab-kitab tua.
Transformasi nilai-nilai dan ajaran kepemimpinan kuno dalam kehidupan bernegara hanya mampu hadir sebagai wacana, dan akan hilang dengan sendirinya seiring dengan semakin derasnya sistem nilai yang datang dari luar. Berbagai konsep kepemimpinan yang dianut di Indonesia
telah
memarginalkan
sistem
nilai
dan
ajaran-ajaran
kepemimpinan dalam masyarakat Sulawesi Selatan. Karenanya, upaya untuk melakukan transformasi nilai-nilai kultural tersebut merupakan sebuah kerja keras. Meski demikian, upaya ini seharusnya dilakukan
melihat realitas nilai-nilai kultural kepemimpinan di Sulawesi Selatan yang semakin kehilangan ruh. Nilai-nilai etika dan moralitas yang ditawarkan dalam berbagai konsep kepemimpinan, sepertinya hanya merupakan lip service yang berujung pada kegagalan dogmatis.
Membangun kesamaan perspektif (yang akan diejawantahkan dalam berbagai dimensi kehidupan), akan nilai-nilai etika dan moralitas dalam kepemimpinan kuno yang tergeletak dalam kitab-kitab tua (lontara’), merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan untuk membangun dan mengembalikan nilai-nilai siri’ yang menjadi ruh dari segala tindakan manusia Sulawesi Selatan, khususnya di Kota Palopo.
Siri’ emmitu ri onroang ri lino,
Utettong ri ade’e
Najagainnami siri’na
Naia siri’e sunge’ naranreng,
Nyawa nakira-kira
(Hanya untuk siri’ kita hidup di dunia
Aku setia pada ade’
Karena dijaganya siri’ kita
Adapun siri’, jiwa ganjarannya
Nyawa taruhannya)
Siri’ emmitu riaseng tau
Narekko de’i siri’ta, taniaki tau, rupa tau mani’ asenna
(Hanya karena siri’ kita disebut manusia
Jika tidak memiliki siri’, kita bukan manusia, tapi hanya menyerupai manusia) 4.2. Pemahaman Pemimpin Pemerintahan tentang Nilai Budaya Lokal di Kota Palopo Pemahaman
adalah
suatu
proses,
cara
memahami,
cara
mempelajari baik-baik supaya paham dan mendapat pengetahuan banyak (Depdikbud, 1994: 74). Sedangkan menurut Bloom “Here we are using the tern “comprehension“ to include those objectives, behaviors, or responses which represent an understanding of the literal message contained in a communication.“ Artinya : Disini menggunakan pengertian pemahaman mencakup tujuan, tingkah laku, atau tanggapan mencerminkan sesuatu pemahaman pesan tertulis yang termuat dalam satu komunikasi. (Bloom Benyamin, 1975: 89). Nana Sudjana (1992: 24) menyatakan bahwa pemahaman dapat dibedakan kedalam 3 kategori, yaitu :
4. Tingkat
terendah
adalah
pemahaman
terjemahan,
mulai
dari
menerjemahkan dalam arti yang sebenarnya, mengartikan dan menerapkan prinsip-prinsip, 5. Tingkat kedua adalah pemahaman penafsiran yaitu menghubungkan bagian-bagian terendah dengan yang diketahui berikutnya atau menghubungkan
beberapa
bagian
grafik
dengan
kejadian,
membedakan yang pokok dengan yang tidak pokok dan 6. Tingkat ketiga merupakan tingkat pemaknaan ektrapolasi Memiliki pemahaman tingkat ekstrapolasi berarti seseorang mampu melihat
dibalik
yang
tertulis,
dapat
membuat
estimasi,
prediksi
berdasarkan pada pengertian dan kondisi yang diterangkan dalam ide-ide atau simbol, serta kemampuan membuat kesimpulan yang dihubungkan dengan implikasi dan konsekuensinya. Sehingga dapat diartikan bahwa pemahaman adalah suatu cara atau
proses
pengetahuan,
memahami
sebuah
penerjemahan/
konsep
penafsiran,
yang dan
diawali
dengan
memaknai
secara
ekstrapolasi. Kemudian dari proses pemahaman itu lalu diwujudkan dalam bentuk tindakan atau pelaksanaan daripada konsep tersebut. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dilihat bahwa dalam proses pemahaman, terdapat tiga tahap yang menjadi indikator seseorang dapat dikatakan paham akan sebuah konsep, yaitu diawali dengan pengetahuan yang dapat bersumber dari diri seorang individu atau kah dari luar individu
tersebut. Kemudian adanya proses internalisasi yang ditandai melalui tahap penafsiran atau penerjemahan, pemaknaan sederhana sehingga terbentuknya kesadaran akan pentingnya konspe tersebut. Selanjutnya dimaknai secara ekstrapolasi tentang konsep itu. Setelah tercapai pemahaman, konsep tersebut lalu diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan atau penerapan. Proses pemahaman seorang individu dapat dilihat dalam kerangka alur pemahaman sebagai berikut.
INDIVIDU KONSEP NILAI BUDAYA LOKAL
INTERNAL (REFERENSI)
KONSEP NILAI BUDAYA LOKAL
INDIVIDU
EKSTERNAL (INFORMASI)
INDIVIDU
INDIVIDU
GAMBAR 4.1. ALUR PROSES PEMAHAMAN INDIVIDU/PEMIMPIN Terkait dengan penelitian ini, penulis mencoba mendeskripsikan bagaimana pemimpin pemerintahan di Kota Palopo memahami nilai-nilai budaya lokal yang terdiri atas adele, lempu, dan getteng, dalam
menyelenggarakan pemerintahan. Lebih lanjut akan di bahas pada pembahasan berikut. 4.2.1. Adele Konsep
keadilan
yang
diaktualisasikan
di
dalam
konsep
kepemimpinan raja-raja Luwu sejak dahulu bersandar pada filosofi yang dikemukakan oleh I Sehe Makkunrai yaitu Siwennimi adele mapparenta datu-e padami patappulo wenni sempajangnge. Yang artinya: “Pemerintah yang berbuat adil dalam semalam sama halnya empat puluh malam mendirikan sembahyang.” Dari pengertian Konsep adele (adil) yang dipahami penulis berdasarkan pada filosofi Kerajaan Luwu adele (Adil) dapat diartikan sebagai sebuah tindakan atau perilaku yang tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada kebenaran, dan bertindak sepatutnya atau tidak sewenang-wenang. Menurut salah seorang Tokoh Budaya yang bernama Rahman Yahya, adele (adil) itu adalah sebuah perilaku yang tidak membeda-bedakan dan menyamaratakannya ke setiap orang. Hal ini sesuai dengan wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan tokoh budaya tersebut pada tanggal 05/02/2013, yang berbunyi: “aro adele agaukeng de’ na mappile pile na pappada ngasengngi tauwede” (Adele itu adalah perilaku yang tidak memilih-milih atau membedabedakan dan menyamaratakan semua orang) Secara universal konsep keadilan dapat diketahui secara luas oleh setiap kalangan masyarakat, termasuk para pemimpin pemerintahan. Di
mana pemimpin mengetahui bahwa keadilan adalah sebuah tindakan yang tidak membeda-bedakan dan memberikan pelayanan secara merata kepada setiap masyarakat. Namun sesuai dengan maksud dan tujuan dari penelitian ini yang mencoba mengangkat kearifan lokal sebagai falsafah ataupun spirit khusus dalam mengelola pemerintahan perlu adanya pemahaman tentang eksistensi nilai ini dalam budaya sebuah bangsa ataupun daerah terutama untuk kalangan pemimpin. Berikut hasil wawancara tentang pemahaman adele (adil) sebagai kearifan lokal dalam memandang konsep keadilan. Lurah Sampoddo (Arham) : “Yang dimaksud dengan adil yaitu adanya penyamarataan pembagian dan tidak membeda-bedakan.” (wawancara tanggal, 26/01/2013) Kemudian pertanyaan tentang sejauh mana pemahaman pemimpin terhadap konsep Adele (adil) juga diberikan kepada Lurah Jaya yang bernama Fahruddin dan dijawab sebagai berikut; “Yang dikatakan dengan adil adalah adanya penyamarataan pembagian sesuai dengan kebutuhan atau pada tempatnya.” (wawancara tanggal, 27/01/2013) Lebih lanjut beberapa pemimpin juga mengemukakan hal yang sama, berikut hasil wawancara dengan para informan lainnya : Lurah Lagaligo (Hasruddin): “Yaitu pemberian hak berdasarkan kinerja yang telah dilakukan. Pembagian tugas berdasarkan kemampuan atau latar belakang pendidikan atau kemampuannya.” (wawancara tanggal, 28/01/2013)
Camat Wara Selatan (Suriani A. Kaso) : “Yang dimaksud dengan adil yaitu tidak membeda-bedakan.” (wawancara tanggal, 27/01/2013) Camat Wara (M. Samil Ilyas): “Yang di maksud dengan adil yaitu ketika melayani masyarakat tidak membeda-bedakan, semua harus sama.” (wawancara tanggal, 01/02/2013) Wakil Walikota Palopo (Rahmat Masri B): “Yaitu keinginan masyarakat banyak, itulah yang harus dijunjung tinggi, adil dalam melaksanakan tugas.” (wawancara tanggal, 02/02/2013) Dalam wawancara yang berlangsung dengan informan, informan secara terus terang mengungkapkan bahwa beliau tidak pernah mendengar adanya nilai yang di maksud dalam bahasan ini. Hal ini ditandai ketika penulis mencoba menanyakan kepada informan tentang keberadaan nilai lokal ini sebelum melangkah ke proses tanya jawab, dan informan menjawab belum pernah mendengar tentang adanya nilai lokal adele. Para pemimpin pemerintahan tersebut dapat mengetahui adanya nilai lokal tersebut setelah penulis mendeskripsikan tentang nilai budaya lokal adele. Sementara, dalam proses pemahaman itu sendiri tahap awal yang harus di penuhi yaitu adanya pengetahuan tentang konsep nilai budaya lokal adele. Dan secara tidak langsung atas dasar ketidaktahuan, oleh karena sebelumnya belum pernah mendengar ataupun mengenal nilai adele, maka pemimpin tersebut telah gugur pada tahap ini. Sehingga penulis menyimpulkan bahwa Lurah Sampoddo, Lurah Jaya, Lurah
Lagaligo, Camat Wara, Camat Wara Selatan dan Wakil Walikota Palopo tidak paham dengan konsep nilai lokal adele dalam artian sesungguhnya. Beberapa pemimpin tersebut menunjukkan bahwa mereka memahami konsep Adele secara harfiah, bukan berdasarkan makna nilai kearifan lokal.
Disamping beberapa pemimipin pemerintahan yang dianggap oleh penulis tidak paham akan nilai lokal adele, ternyata masih ada juga yang paham. Hal ini ditandai penulis dari hasil wawancara bersama informan yang menyatakan bahwa, beliau telah mengenal nilai lokal adele, oleh karena sebelumnya telah mendengar langsung dari orang tua beliau sebagai bentuk pesan atau nasehat ketika berada di lingkungan selain rumah sendiri dan dalam menjalankan amanah sebagai pemimpin. Adapun wawancara yang dimaksud yaitu bersama dengan Camat Telluwanua yang bernama Herman Rahim yang dilaksanakan pada tanggal 27/01/2013, dengan isi wawancara sebagai berikut:
“berdasarkan pemahaman saya sebagai seorang camat adele atau adil ini adalah sebuah sifat dan tingkah laku yang tidak membedabedakan atau mendiskriminasi masyarkat. Hal ini sesuai dengan pesan atau nasehat yang pernah disampaikan oleh orang tua saya kepada saya, beliau mengatakan “adeleki nak, aje’ na kappile pile” (adil lah engkau nak, jangan lah suka memilih-milih). Sehingga prinsip atau nilai ini tetap menjadi sandaran dan saya jalankan dimanapun saya berada.” Menurut Theodorson dalam Pelly (1994) bahwa nilai merupakan sesuatu yang abstrak, yang dijadikan pedoman serta prinsip – prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku. Lebih lanjut camat
Telluwanua juga menyatakan bahwa nilai lokal adele ini adalah hal yang sangat penting untuk pahami oleh setiap pemimpin secara luas dan dapat menjadi sandaran atau landasan dalam menjalankan amanah dan tanggung
jawab,
terkhusus
di
Kota
Palopo.
Karena
disamping
mengajarkan nlai-nilai kebaikan, juga merupakan bentuk warisan nenek moyang dari Kerajaan Luwu sehingga sudah menjadi kewajiban untuk dijaga dan dilestarikan oleh para generasi penerusnya. Hal ini sesuai dengan wawancara yang berlangsung pada tanggal 27/01.2013, berikut penjelasannya : “nilai lokal adele ini adalah sebuah nilai yang sangat penting untuk dipahami oleh setiap pemimpin secara luas, khususnya di Kota Palopo sendiri. Oleh karena, nilai ini tentunya mengajarkan tentang nilai-nilai kebaikan dan merupakan nilai luhur yang menjadi warisan dari nenek moyang kita di Kerajaan Luwu. Jadi, kita sebagai generasi penerusnya wajib untuk terus menjaga dan melestarikan hal-hal seperti ini sebagai bentuk balas jasa kita kepada mereka, dan tetap bersandar pada nilai lokal adele dan lainnya dalam menjalankan kehidupan kita.” Salah satu informan yang juga merupakan pemimpin pemerintahan di wilayah Kota Palopo, dan penulis juga menganggap paham tentang nilai budaya lokal adele yakni bapak A. Sakti Raja. Beliau merupakan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang sempat diwawancarai penulis pada tanggal 01/02/2013. Adapun hasil wawancara dengan beliau sebagai berikut :
“Kerajaan Luwu merupakan salah satu Kerajaan terbesar di Sulawesi selatan. Tentu saja dalam proses penyelenggaraan sistem Kerajaan pada zamannya, kaya akan prinsip dan nilai-nilai yang mengajarkan kepada kita bagaimana cara berpemerintahan yang baik. Termasuk diantaranya nilai adele, lempu dan getteng.
Adapun yang dikatakan Nilai-nilai seperti ini sudah seringkali saya dengar dilingkungan adele (adil) yaitu penyamarataan pembagian dan tidak merugikan pihak manapun. Kerajaan yang bertempat di istana Luwu, apakah itu melalui percakapan dengan para orang tua kita yang masih ada sebagai saksi sejarah ataupun dengan tokohtokoh budaya yang paham betul dengan hal-hal seperti ini. Disamping itu, nilai ini juga sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai ajaran Agama. Oleh karena itu saya pribadi sebagai salah satu bagian dari keluarga Kerajaan merasa sangat wajib dan penting untuk tetap memegang teguh ajaran nilai lokal dari leluhur Kerajaan Luwu. Inilah bentuk tanggung jawab kita sebagai generasi penerus untuk tetap menjaga eksistensi kearifan lokal utamanya di Kota Palopo agar tetap terjaga dan terpelihara dan terus akan berlanjut ke generasi selanjutnya.” Dari hasil wawancara dengan bapak Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dapat dinilai bahwa pemahaman beliau sebelumnya telah dibangun di lingkungan Kerajaan, hal ini dapat dilihat dari penjelasan yang menyatakan nilai lokal adele dan lainnya telah seringkali didengar dari keluarga ataupun tokoh-tokoh budaya di istana Kerajaan Luwu. Oleh karena beliau merupakan keturunan bangsawan dari Kerajaan Luwu, dimana ketika pada sebelum proses wawancara, penulis sempat mendengarkan dari beberapa staf di kantor yang memanggil beliau dengan gelar kebangsawanan Kerajaan yaitu “opu”. Inilah yang kemudian membuat mengapa beliau paham dengan nilai lokal yang dimaksudkan oleh penulis. Berdasarkan jawaban-jawaban yang dikemukakan oleh kedua infrorman camat Telluwanua dan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata kesimpulan yang dapat diperoleh bahwa konsep adele yang
dipahami oleh pemimpin terkait dengan penyeragaman/tidak membedabedakan dalam pelayanan publik. 4.2.2. Lempu (Jujur) Adapun yang dimaksud dengan lempu (jujur) dalam konteks nilai budaya lokal yang berasal dari Kerajaan Luwu, sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh To Maccae ri Luwu, dari percakapannya dengan La Manasse To Akkarangeng (La Baso), yaitu : “Aga Lamperi Sunge’, Nene?” (“Apa yang Memeperpanjang Umur, Nenek?”) Naia Lamperi Sunge’, Lempue. Eppa Gau’na tomalempue. Seunai, risalaie na’dampeng.
Maduanna,
riparennuangie
tennapajekkoi.
Bettuanna
risanresie tennapabell.eang. Matellunna temmangoainngi taniae anunna. Maeppana, tesesse’ deceng rekko alena podecengngi.” (“Adapun yang memperpanjang umur, ialah kejujuran. Empat jenisnya orang jujur. Pertama, orang yang bersalah padanya tapi ia maafkan. Kedua, dipercayai dan tidak mencurangi. Artinya ia dijadikan saudara dan tidak mengkhianati. Ketiga, tidak serakah terhadap apa yang bukan miliknya.
Keempat,
tidak
mencari
kebaikan
menikmatinya..”) “Aga sa’binna lempue, Nene?” (“Apa yang menjadi bukti kejujuran itu, Nenek?”)
jika
hanya
ia
akan
“Arua sa’binna lempue. Seuani napariwawoi ri wawoe. Maduanna, napariawai ri awae. Matellunna, naparioloi ri oleo. Malimanna, napariabioi abioe.
Malimanna
napariataui ataue. Maenanna, naparimunriwi ri
parilalengngi ri lalennge.” (“Delapan hal yang menjadi bukti kejujuran itu. Pertama, diataskannya yang
diatas.
Kedua,
dibawahkannya
yang
di
bawah.
Ketiga,
didepankannya yang di depan. Keempat, dikirikannya yang di kiri. Kelima, dikanankannya yang di kanan. Kenam, di belakangkannya yang dibelakang. Ketujuh, dibiarkannya di luar yang diluar. Kedelapan, ditempatkannya didalam yang memang di dalam.”) Naiia tanranna tomalempue, seumi, ri asolae na’dampeng. Maduanna, ri parennuangie tennapacekoi. Matellunna, temmangoaiengi natania olona. Maeppana, tennasese’ decennge narekko alenami posecennge. (Adapun tanda orang yang jujur. Pertama, orang yang bersalah padanya, tetapi dimaafkannya. Kedua, ia dipercaya dan tidak mengkhianat. Tiga, tidak serakah terhadap yang bukan haknya. Keempat, tidak dituntutnya suatu kebaikan jika hanya dia yang menikmatinya.) Naia riasennge malempu, massuke’ ri alenai. Naia riasennge makkeda tongeng tennassurie belle timunna. (Adapunyang disebut jujur, dirinya dijadikan ukuran. Adapun yang disebut berkata benar, tidak keluar perkataan bohong dari mulutnya.)
`”Lima mpuangengngi pera’dekiwi arunnge ri akkarungenna. (Lima hal yang menyebabkan seorang raja tetap tenang dalam Kerajaan.) Seuani, malempui ri dewatae namalempu ripadanna arung, enrennge ri bali wanuanna. Kuae topa ri toriwawana. Nalempuri toi alena nennia’ lise’ bolana. Nalempuri maneng toi sininna naitae mata, nennia naengkalingae daucculi. Apa’ iami ritu riaseng malempu tongeng-tongeng, malempuri manenngengi sininna pura rirampewe. (Pertama, jujur ia terhadap dewata serta semua kepada sesamanya raja, terhadap negeri tetangganya serta kepada rakyatnya. Ia juga jujur terhadap dirinya dan kepada isi rumahnya. Jujur ia pula kepada semua yang dilihat mata dan didengar oleh telinga. Sebab yang dikatakan sebenarnya jujur, hanyalah meraka yang jujur kepada semua yang tersebut tadi.”) Adapun hasil wawancara dengan beberapa informan yang didapatkan oleh penulis, terkait dengan pemahaman nilai lempu (jujur) sebagai berikut “Yang dimaksud dengan jujur yaitu apa adanya dan menjalankan tanggung jawab atau amanah yang telah diberikan.” (Informan: Lurah Sampoddo (Arham), tanggal 26/01/2013) Dalam wawancara yang berlangsung dengan informan, informan secara terus terang mengungkapkan bahwa beliau tidak pernah mendengar adanya nilai yang di maksud dalam bahasan ini.
“Yaitu penyamarataan pembagian sesuai dgn kebutuhan atau pada tempatnya.” (informan: Lurah Jaya (Fahruddin), tanggal 27/01/2013). Lurah Lagaligo (Hasruddin): “Yaitu pemberian hak berdasarkan kinerja yang telah dilakukan. Pembagian tugas berdasarkan kemampuan atau latar belakang pendidikan atau kemampuannya. Pengambilan keputusan berdasarkan pada tingkat kebutuhan.” (wawancara tanggal, 28/01/2013) Camat Wara Selatan (Suriani A. Kaso): “Yang dimaksud dengan jujur yaitu terbuka dan apa adanya serta harus lurus dalam bertindak dan berfikir.” (wawancara tanggal, 27/01/2013) Camat Wara (M. Samil Ilyas): “Yang dikatakan jujur yaitu apa yang di ucapkan harus sesuai dengan perbuatan, dan sesuai dengan kenyataan.” (wawancara tanggal, 01/02/2013) Wakil Walikota Palopo (Rahmat Masri B): “Yang dimaksud dengan jujur yaitu tidak menyalahgunakan wewenang atau apa yang telah di bebankan kepadanya. Tidak korupsi.” (wawancara tanggal, 02/02/2013) Berdasarkan pada proses dan hasil wawancara beberapa informan diatas, seperti halnya dengan nilai adele dalam proses wawancara mulai dari awal penulis menanyakan tentang keberadaan nilai lokal tersebut di Kota Palopo mereka kemudian menjawab tidak tahu dan sebelumnya tidak pernah mendengarkan adanya nilai lokal adele dan lempu. Informan tersebut dapat mengetahuinya ketika penulis menjabarkan tentang nilai tersebut, namun setelah itu mereka hanya dapat mejelaskannya secara harfiah atau arti kata dari nilai tersebut, bukan berdasarakan pada makna
sebenarnya yang sesuai dengan maksud dalam nilai Kerajaan Luwu. Sehingga dengan alasan tersebut penulis menanggap bahwa beberapa informan diatas tidak paham dengan nilai lokal lempu. Tidak semua pemimpin yang dimasukkan oleh penulis sebagai informan dianggap tidak paham, di sisi lain ternyata masih ada yang paham dan berikut hasil wawancara dengan informan yang dimaksud : Camat Telluwanua (Herman Rahim): “Berkaitan dengan nilai lempu ini orang tua saya pernah menyampaikan sebuah pesan kepada saya, beliau berkata mallempuko nak, aja’na mu maccikko-cikko (jujurlah kau anakku, jangan suka mengambil barang yang bukan milikmu). Namun, ketika kita kembangkan maskud dari nilai ini, itu sangat luas seperti apa adanya dan melaksanakan amanah yang telah di berikan. Kemudian dalam melaksanakan pemerintahan dan pengambilan keputusan harus berdasarkan kepentingan masyarakat. Bekerja sesuai dengan mekanisme dan aturan yang ada. Setiap pengelolaan keuangan harus berdasarkan mekanisme yang ada dan harus dipertanggung jawabkan. Selain itu, Meluruskan atau menengahi masyarkat yang bersengketa masalah tanah. Tidak berpihak pada siapapun dan membuat keputusan yang bisa disepakati semua pihak, dengan kata lain melalui mekanisme musyawarah mufakat. Sehingga tidak ada masyarakat yang dirugikan. Dalam pelaksanaan pembangunan saya menginput semua aspirasi dari masyarakat sesuai dengan kebutuhannya tanpa ada yang ditutup-tutupi.” (wawancara tanggal, 27/01/2013) Dari pengertian pemahaman, dapat dilihat bahwa sesorang dapat dikatakan paham ketika memenuhi tahapan dalam proses pemahaman yang terdiri dari tahu, kemudian dilanjutkan dengan penerjemahan atau penafsiran, hingga pada tahap ekstrapolasi atau pengembangan makna sebuah konsep. Terkait dengan hasil wawancara penulis bersama dengan camat Telluwanua, capaian pemahaman akan nilai lempu telah sampai pada tahap ekstrapolasi, hal ini ditandai oleh penulis ketika beliau mampu
mengembangkan makna dari nilai lempu yang didasarkan atas pesan yang di sampaikan kepadanya melalui orang tuanya. Bukan hanya camat Telluwanua yang mampu memahami secara konseptual akan nilai lempu tersebut, salah satu informan yakni A. Sakti Raja yang merupakan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata di Kota Palopo, oleh penulis menyimpulkan bahwa beliau Paham tentang nilai lempu yang berasal dari Kerajaan Luwu. Hal ini sesuai dengan wawancara yang dilaksanakan pada tanggal 01/02/2013) sebagai berikut. “Naia riasennge malempu, makkeda tongeng tennassurie belle timunna. (yang dikatakan dengan jujur adalah berkata benar dan tidak mengeluarkan perkataan bohong dari mulutnya). Bahasa ini adalah bahasa yang pernah saya dengarkan dari orang tua dan tokoh budaya dilingkungan istana Luwu. Jawaban itu hanya sedikit dari arti lempu, keika kita kembangkan dapat ditemukan makna dari lempu itu sendiri, diantaranya yaitu apa adanya dan Apa yang dilakukan harus berlandaskan pada aturan dan norma yang ada. Seperti dalam hal ketika ingin menyampaikan sesuatu, di sampaikan apa adanya, seperti pembagian tugas, berusaha untuk tidak menutupi sesuatu, dan senantiasa terbuka. Dalam hal memanage bawahan, semuanya di atur berdasarkan kinerja dan kemampuannya. Dan pembagian tugas di bagi berdasarkan kemampuannya dalam bekerja kemudian ditempatkan di bidangnya.” (wawancara tanggal, 01/02/2013) Dari hasil wawancara tersebut diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam hal pemahaman camat telluwanua dan kepala dinas merupakan pemimpin yang masih memahami nilai-nilai lokal yang di maksudkan pada tulisan ini. Dengan indikasi bahwa beliau sebelumnya telah mengetahui adanya nilai lokal tersebut dari informasi orang lain, dan menganggap bahwa nilai tersebut sangat penting untuk kemudian dipahami oleh setiap pemimpin khususnya di Kota Palopo. Nilai lempu
yang di pahami oleh informan yaitu tidak mengeluarkan perkataan bohong, menjalankan amanah yang telah diberikan, tidak mengambil barang yang bukan haknya, apa adanya, meluruskan hal-hal yang bermasalah dan menempatkan sesuatu pada tempatnya. 4.2.3. Getteng (Teguh) Adapun yang dimaksud dengan getteng (teguh) dalam konteks nilai budaya lokal yang berasal dari Kerajaan Luwu, sesuai dengan konsep yang dikemukakan oleh To Maccae ri Luwu, dari percakapannya dengan La Manasse To Akkarangeng (La Baso), yaitu : “Aga pasawe tau, Nene, pa’biuja olokolo’?” (“Apa yang membanyakkan orang, Nenek; mengembangbiakkan hewan?”) “Iana ritu gettennge. Eppa gau’na gettennge. Seuani, tessalaie janci enrennge tessoaosi ulu ada. Maduanna, tellukkae anu pura enrennge teppnrae assituseng. Matellunna, narekko ma’bicarai, purapi napajaiwi. (“Itulah kteguhan hati. Empat jenisnya keteguhan hati. Pertama, tidak mengingkari janji dan tidak melangkahi persetujuan. Kedua, tidak menguranmgi barang jadi, serta tidak mengubah kesepakatan. Ketiga, jika ia mengadili nanti telah putus baru ia berhenti.) Arua sa’binna gettennge. Seuani, teppale’bie ada. Matellunna, palettu’e passurong. Maeppana, poadae ada oatuju. Malimanna pugau’e gau’ makenna tuttureng, ssaroi mase ri salasanae. Maruana, pakatuaialena ri
silalennae. (Delapan
bukti
ketabahan
itu.
Pertama
tidak
menambah-nambah
perkataan. Kedua, tidak mengurangi perkataan. Ketiga, melaksanakan suruhan. Keempat, mengucapkan perkataan benar. Kelima, melakukan perbuatan yang bermanfaat. Keenam, melaksanakan pekerjaan yang berpatutan, serta kata-katanya. Ketujuh, membantu orang lain menurut wajarnya. Kedelapan, merendah-rendahkan menurut patutnya.) Maeppana, magettengpi. Bettuanna tessalaie jajnci, nagetteng toi ala masorosoi ulu ada, enrennge telluka bicara pura. Nagettenngitoi ala mesa’-e becci’. Na magettengto ala napale’bie pangkaukenna, enrennge arega ala nakurangie pangkaukenna. Namagettteng tona ala napakele’bie ada-adanna, iarega ala nakurangie ada-adanna; enrennge napakale’bie pakkitanna ri pura nitae. Tennapalle’bi toni pura naengkalingae, enrennge topa pa’dissengenna, ia-ianna pura naisseng. Iapa tau riaseng magetteng tongeng=tongeng, magettengieng sinina pura rirampe. (Keempat, teguh pendiriannya. Artinya, ia tidak meninggalkan janji. Ia juga teguh memagang ikrar (antara Negara) dan tidak akan mementahkan keputusan hakim. Ia teguh pada batas-batas yang sudah ditentukan, tidak melebih-lebihkan perbuatannya, dan tidak juga menguranginya. Ia juga teguh untuk tidak melebih-lebihkan perbuatannya, dan tidak juga menguranginya. Ia juga teguh untuk tidak melebih-lebihkan perkataannya, ataupun
menguranginya.
Ia
juga
tidak
akan
melebih-lebihkan
penglihatannya dari pada apa yang sudah dilihatnya. Demikian juga
pendengarannya serta pengetahuannya dari pada apa yang telah diketahuinya. Orang teguh memegang apa yang sudah disebutkan tadi, itulah orang yang sungguh-sungguh pendiriannya.) Adapun hasil wawancara dengan informan yang didapatkan oleh penulis, terkait dengan pemahaman dan pelaksanaan nilai getteng (teguh) sebagai berikut : Lurah Sampoddo (Arham): “Yang dimaksud dengan teguh yaitu tetap berpegang pada pendirian.” (wawancara tanggal, 26/01/2013) Lurah Jaya (Fahruddin): “Yang dimaksud yaitu teguh dalam pendirian. Di tekan dari mana pun harus tetap pada aturan yang telah ditetapkan. Dan siapapun yang datangg untuk menekan atau menggoyahkan, saya harus tetap pada aturan yang telah di tetapkan.” (wawancara tanggal, 27/01/2013) Lurah Lagaligo (Hasruddin): “Teguh dalam pendirian. Apapun tanggung jawab yang diberikan di laksanakan berdasarkan koridor dan aturan yang telah berlaku. Konsisten pada aturan yang telah ditetapkan.” (wawancara tanggal, 28/01/2013)
Camat Wara Selatan (Suriani A. Kaso): “Konsisten dengan aturan yang telah di tetapkan oleh atasan.” (wawancara tanggal, 27/01/2013) Camat Wara (M. Samil Ilyas): “Yang dimaksud dengan getteng yaitu tegas dalam mengambil kebijakan.” (wawancara tanggal, 01/02/2013) Wakil Walikota (Rahmat Masri B):
“Yang dimaksud dengan getteng yaitu teguh dalam pendirian.” (wawancara tanggal, 02/02/2013) Sama halnya dengan nilai adele dan lempu, pemahaman akan nilai getteng
oleh
beberapa
informan
yang
merupakan
pemimipin
pemerintahan di Kota Palopo dalam penelitian ini hanya sebatas pemahaman awam, dalam artian mereka tidak mampu memaknai secara sesungguhnya berdasarkan konsep yang diajarkan dalam Kerajaan Luwu. Informan yang dimaksud yaitu Lurah Sampoddo, Lurah Jaya, Lurah Lagaligo, Camat Wara Selatan, Camat Wara dan Wakil Walikota Palopo. hal tersebut dapat diindikasikan ketika dalam proses wawancara, penulis mencoba menanyakan kepada semua informan sebagai awal atau pengantar wawancara tentang keberadaan nilai lokal getteng dan nilai lainnya. Namun kondisi yang ada, yakni mereka sebelumnya tidak pernah mendengar atau mengetahui adanya nilai tersebut, mereka dapat mengetahui setelah mendapat gambaran dari penulis. Sehingga jawaban yang didapatkan oleh penulis cuma berupa jawaban yang berdasarkan arti kata atau secara umum dari nilai tersebut, tidak berdasarkan arti dan makna sebenarnya yang sesuai dengan yang dimaksudkan dalam Kerajaan Luwu. Jawaban informan yang dimaksud dapat dilihat pada hasil wawancara diatas. Selanjutnya informan yang penulis simpulkan sebagai yang paham akan nilai budaya lokal getteng dengan indikator yang sama dengan nilai budaya lokal adele dan lempu sebelumnya, yaitu :
Camat Telluwanua (Herman Rahim), menyebutkan : Dari nasehat yang pernah saya dengarkan dari orang tua ataupun keluarga saya “Naia riasennge getting tassalaie janci” (Adapun yang disebut teguh pendirian tidak akan ia meninggalkan janji). Maksudnya bahwa ketika kita telah membuat komitmen atau janji harus ditepati dan harus terus dijaga sebagai bentuk konsistensi dalam menjalankan tugas. Kemudian tegas dalam menyikapi sesuatu. Ketika tidak tegas maka akan terjadi pembiaran dan susah untuk dikendalikan. Displin dengan peraturan yang ada, seperti ketika ada staff yang datang ke kantor terlambat atau tidak seuai dengan waktu yang ditentukan, maka akan saya tegur dan di perintahkan untuk menghadap dan diberikan pencerahan. Dan menegaskan untuk memakai papan nama sehingga mudah dikenali dan ketika ada yang membangkang di tegur sampai di berikan sanksi. Menjalankan amanah dengan penuh rasa tanggung jawab. Menyelesaikan kerusuhan yang pernah terjadi dengan cara mempertemukan tokoh masyarakat dan pemuda dan bersamasama mencari solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Setelah itu menegaskan agar kejadian tersebut tidak terulang lagi dan ketika terjadi lagi maka yang terlibat akan langsung kami berikan kepada pihak yang berwenang. Dan membuat pernyataan agar tidak mengulangi lagi hal-hal seperti itu.” (wawancara tanggal, 27/01/2013)
Kemudian Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (A. Sakti Raja) juga menyatakan : “Yang dimaksud dengan teguh yaitu Apabila sesuatu itu pantas untuk dilakukan, apapun resikonya harus dilaksanakan. Hal ini sejalan dengan nilai yang diajarkan dalam lingkungan Kerajaan Luwu. Kemudian ketika sesuatu telah diputuskan seperti itu dalam rapat atau pembagian tugas, meskipun ada yang komplain, namun saya tetap berada pada nilai dan aturan yang ada, dan tidak merubah apa yang telah di putuskan. Kemudian ketika rapat dengan bawahan dan masyarakat, apapun yang diputuskan dalam rapat tersebut harus menjadi keputusan yang harus dilaksanakan dan harus di taati. Kemudain menjalankan amanah sebagai kepala dinas dengan penuh rasa tanggung jawab.” (wawancara tanggal, 01/02/2013)
Dari hasil wawancara dengan informan yang paham akan nilai budaya lokal getteng dapat disimpulkan bahwa getteng yang dimaksud adalah tidak meninggalkan janji atau komitmen yang telah dibuat, konsisten dalam menjalankan amanah dan tanggung jawab, tegas dalam menindaki yang pantas, dan tidak merubah apa yang telah diputuskan. Hal ironis yang ditemukan dalam penelitian ini adalah adanya beberapa pemimpin pemerintahan yang belum memahami mengenai konsep nilai-nilai kepemimpinan budaya lokal secara komprehensif. Penyebab utamanya adalah mereka belum pernah mendengar tentang adanya nilai lokal tersebut. Pada kondisi yang lain, ada juga yang hanya sebatas pemahaman yang bersifat umum/awam. Dalam artian, mereka hanya dapat menjabarkan nilai tersebut dalam artian harfiah tetapi kurang mampu menjelaskan sesuai dengan arti yang sebenarnya berdasarkan konsep nilai budaya lokal yang tumbuh dan berkembang dari kebudayaan Kerajaan Luwu. Adanya kesadaran akan pentingnya nilai lokal tersebut merupakan salah satu hal yang megindikasikan bahwa para Pemimpin pemerintahan paham tentang nilai lokal yang ada. Hal tersebut sejalan dengan hasil wawancara penulis dengan informan yang paham dalam penelitian ini. Dimana informan tersebut menyatakan bahwa nilai budaya lokal adele, lempu dan getteng merupakan suatu konsep nilai yang sangat penting untuk dipahami bahkan dilaksanakan oleh para pemimpin pemerintahan khususnya di Kota Palopo. Oleh karena selain sebagai bentuk warisan
luhur dari nenek moyang Kerajaan Luwu juga nilai lokal tersebut sangat relevan dengan ajaran agama yang mengajarkan tentang nilai-nilai kebaikan dan budi pekerti yang luhur. Sehingga dapat dijadikan landasan dalam bertindak dan berperilaku utamanya dalam menyelenggarakan system pemerintahan khususnya di wilayah Kota Palopo demi untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan benar serta masih bersandar pada kearifan lokal daerah.
TABEL 4.1. TABEL HASIL REDUKSI DATA PEMAHAMAN PEMIMPIN PEMERINTAHAN TENTANG NILAI BUDAYA LOKAL ADELE, LEMPU, GETTENG DI KOTA PALOPO Informan Lurah Sampoddo
Lurah Lagaligo
Lurah Jaya Camat Wara Selatan
Adele Adil yaitu adanya penyamarataan pembagian, tidak membeda-bedakan Pemberian hak berdasarkan kinerja yang telah dilakukan, dan latar belakang pendidikan. Adil yaitu Penyamarataan pembagian Adil yaitu Tidak membeda-bedakan
Camat Wara
Adil yaitu Tidak membeda-bedakan
Camat Telluwanu a
adele sesuai dengan pesan atau nasehat yang pernah disampaikan oleh orang tua saya kepada saya, “adeleki nak, aje’ na kappile pile” (adil lah engkau nak, jangan lah suka memilihmilih). adele (adil) yaitu penyamarataan pembagian dan tidak merugikan pihak manapun.
Kepala Dinas Kebudaya an & Pariwisata
Pemahaman Lempu jujur yaitu apa adanya
Hasil Reduksi Data Getteng Yang dimaksud dengan teguh yaitu tetap berpegang pada pendirian
Yaitu pemberian hak berdasarkan kinerja yang telah dilakukan.
Teguh pendirian.
dalam
Yaitu penyamarataan pembagian Yang dimaksud dengan jujur yaitu terbuka dan apa adanya serta harus lurus dalam bertindak dan berfikir Yang dikatakan jujur yaitu apa yang di ucapkan harus sesuai dengan perbuatan, dan sesuai dengan kenyataan Sesuai dengan pesan orang tua saya lempu yaitu mallempuko nak, aja’na mu maccikko-cikko kau (jujurlah anakku, jangan suka mengambil barang yang bukan milikmu).
Yang dimaksud yaitu teguh dalam pendirian.
Naia riasennge malempu, makkeda tongeng tennassurie belle timunna. (yang
Konsisten dengan aturan yang telah di tetapkan oleh atasan
Tidak Paham, karena sebelumnya belum pernah mendengar nilai tersebut. Hanya mampu menjelaskan secara arti kata. Tidak Paham, hanya mampu menjelaskan secara harfiah atau arti kata dan selalu keluar dari konteks nilai lokal yang dimaksud. Tidak Paham, sebelumnya tidak mengetahui bahwa nilai tersebut ada. Tidak Paham, tidak mengetahui nilai tersebut ada, sehingga hanya menjelaskan secara harfiah.
Yang dimaksud dengan getteng yaitu tegas dalam mengambil kebijakan
Tidak Paham, hanya dapat menjelaskan secara arti kata bukan arti sesungguhnya yang berdasarkan konsep Kerajaan Luwu.
“Naia riasennge getting tassalaie janci” (Adapun yang disebut teguh pendirian tidak akan ia meninggalkan janji).
Paham, nilai lokal tersebut sebagai bentuk pesan atau nasehat dari orang tua dan dapat mengembangkan maknanya secara luas.
Yang dimaksud dengan teguh yaitu Konsisten
Paham, karena berasal dari keluarga Kerajaan Luwu, sudah menjadi kewajiban untuk mengetahui nilai budaya lokal dari Kerajaan Luwu
Wakil Walikota
Yaitu adil dalam melaksanakan tugas
dikatakan dengan jujur adalah berkata benar dan tidak mengeluarkan perkataan bohong dari mulutnya). Yang dimaksud dengan jujur yaitu tidak menyalahgunakan wewenang
sendiri.
Yang dimaksud dengan getteng yaitu teguh dalam pendirian
Tidak Paham, hanya dapat menjelaskan secara harfiah atau arti kata. Menjawab pertanyaan di luar konteks nilai budaya lokal yang dimaksud.
Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2013 Catatan : untuk lebih jelasnya lihat pada lampiran tabel 4.1
4.3.
Aktualisasi
Nilai
Budaya
Lokal
dalam
Kepemimpinan
Pemerintahan di Kota Palopo Aktualisasi ialah sebuah proses tindakan atau pelaksanaan untuk mewujudkan terlaksananya suatu hal yang telah disusun secara matang dan terperinci. Secara sederhana aktualisasi diartikan pelaksanaan atau penerapan. Dan juga dimaksudkan untuk menjadi sarana membuat sesuatu dan memberikan hasil yang bersifat praktis terhadap sesama. Kemudian berfungsi sebagai sebuah tindakan individu yang diarahkan pada tujuan serta ditetapkan, memastikan terlaksananya tujuan tersebut dan memberikan hasil yang bersifat praktis kepada sesama. Terkait dengan penelitian ini aktualisasi yang dimaksud adalah pelaksanaan atau penerapan tentang konsep nilai budaya lokal adele, lempu, getteng, oleh para pemimpin pemerintahan dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi), yang didasarkan atas pemahaman akan nilai lokal tersebut. Proses tersebut dapat dilihat dalam kerangka alur aktualisasi sebagai berikut.
INDIVIDU KONSEP NILAI BUDAYA LOKAL
INTERNAL (REFERENSI)
KONSEP NILAI BUDAYA LOKAL
INDIVIDU
EKSTERNAL (INFORMASI)
PENGETAHUAN DASAR
INDIVIDU
INTERNALISASI : PENAFSIRAN/PENERJEMAHAN PEMAKNAAN KESADARAN
EKSTRAPOLASI
INDIVIDU
INDIVIDU PAHAM
(PENGEMBANGAN MAKNA)
AKTUALISASI (PELAKSANAAN)
GAMBAR 4.2. ALUR PROSES AKTUALISASI
INDIVIDU
Pada pembahasan sebelumnya telah disimpulkan bahwa informan atau pemimpin pemerintahan yang memahami nilai budaya lokal adel, lempu dan getteng adalah Herman Rahim selaku Camat Telluwanua dan A. Sakti Raja yang merupakan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Dengan indikator kedua informan tersebut memenuhi tahapan-tahapan dalam proses pemahaman, yang diawali pada pengetahuan sampai dengan tahap pengembangan makna akan nilai budaya lokal yang dimaksud dalam penelitian ini. Aparatur
birokrasi
pemerintahan
didalam
menyelenggarakan
urusan pemerintahan, telah diatur dalam peraturan perundang-undangan, baik dalam bentuk UU, peraturan pemerintah maupun peraturan daerah yang dituangkan dalam bentuk tugas pokok dan fungsi. Yang dimaksud dengan tugas pokok adalah tugas yang paling pokok dan wajib dilaksanakan dari sebuah jabatan atau organisasi. Tugas pokok memberi gambaran tentang ruang lingkup atau kompleksitas jabatan atau organisasi
tersebut.
Sedangkan
fungsi
adalah
perwujudan
tugas
kepemerintahan di bidang tertentu yang dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan nasional. Fungsi juga dapat diartikan sebagai sekelompok aktivitas yang tergolong pada jenis yang sama berdasarkan
sifat
atau
pelaksanaannya.
Suatu
organisasi
menyelenggarakan fungsi-fungsi dalam rangka melaksanakan sebuah tugas pokok.
Sehubungan
dengan
tugas
pokok
dan
fungsi
aparatur
pemerintahan dalam wilayah pemerintahan daerah di Kota Palopo khususnya
camat
sebagai
pemimpin
dalam
lingkup
kecamatan,
disebutkan dalam PP No. 41 Tahun 2007 dan Perda Kota Palopo No. 02 Tahun 2009, yaitu : 3. Tugas pokok : Melaksanakan sebagian urusan otonomi daerah yang dilimpahkan oleh Walikota serta menyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang meliputi koordinasi kegiatan pemberdayaan masyarakat, upaya penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum, penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan, pemeliharaan sarana dan fasilitas pelayanan umum, penyelenggaraan kegiatan pemerintahan ditingkat
kecamatan,
membina
penyelenggaraan
pemerintahan
kelurahan dam melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan kelurahan. 4. Fungsi : -
Penyusunan rencana dan program kerja berdasarkan tugas pokok dan fungsinya. Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan sesuai kewenangan yang dilimpahkan oleh Walikota.
-
Pemberian petunjuk dan arahan kepada sekretaris, seksi dan bawahan lainnya sesuai bidangnya masing-masing.
-
Pengevaluasian dan penilaian prestasi kerja sekretaris, seksi dan bawahan lainnya dalam rangka pembinaan karir.
-
Penetapan kebijakan dalam rangka pelimpahan kewenangan kepada lurah.
-
Pengkoordinasian kegiatan-kegiatan penyelenggaran pelayanan lintas kelurahan
-
Pelaksanaan koordinasi atas kegiatan instansi vertical dan dinas daerah dalam wilayah kecamatan
-
Pelaksanaan pembinaan ketentraman dan ketertiban dengan koordinasi aparat keamanan terkait dalam wilayah kecamatan.
-
Pelaksanaan pembinaan dalam rangka koordinasi perencanaan, pengendalian dan evaluasi pembangunan lintas kelurahan.
-
Pembinaan
pelaksanaan
masyarakat
kelurahan
pembangunan meliputi:
dan
pemberdayaan
perekonomian,
pertanian,
perindustrian, koperasi, dan penataan lingkungan berdasarkan kondisi dan potensi wilayah. -
Pelaksanaan pembinaan kesejahteraan sosial kemasyarakatan meliputi: pembinaan keagamaan, pendidikan dan keterampilan masyarakat, kesehatan dan sarana sosial kemasyarakatan lainnya, serta memfasilitasi kelancaran produksi barang dan jasa public.
-
Pengkajian dan penyusunan strategi pembangunan di segala bidang secara berkesinambungan dengan melibatkan seluruh tokoh masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyarkat.
-
Pelaksanaan tugas dalam pembuatan akta tanah dan pengupayaan penyelesaian
segala
permasalahan
pertanahan
serta
mengkoordinasikan dengan unit terkait. -
Pelaskanaan pembinaan kebersihan, keindahan dan pelestarian lingkungan hidup bagi masyarakat.
-
Pelaksanaan pembinaan administrasi bidang umum, kepegawaian, keuangan dan perlengkapan untuk menunjang pelaksanaan tugas pokok dan fungsi.
-
Pelaksanaan pendataan, penataan sumber-sumber pajak dan retribusi daerah serta sumber lainnya dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah.
-
Pemberian saran alternatif kepada Walikota untuk kelancaran tugas.
-
Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh atasan.
-
Pembuatan laporan pelaksanaan tugas. Selanjutnya berdasarkan Perda Kota Palopo No. 09 Tahun 2009,
Pasal 3 Tugas Pokok dan Rincian Tugas Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata meliputi: 4. Dinas kebudayaan dan Pariwisata dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah. 5. Kepala Dinas kebudayaan dan Pariwisata mempunyai Tugas Pokok : membantu Walikota dalam melaksanakan kewenangan Desentralisasi
di Bidang Kebudayaan dan Pariwisata serta melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Walikota. 6. Dalam melaksanakan Tugas Pokok dimaksud pada Pasal 3 ayat (2), peraturan ini, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, mempunnyai rincian tugas : i. Membantu Walikota dalam menyusun program dan merumuskan kebijakan pembangunan yang mengacu kepada dokumen bidang Kebudayaan dan Pariwisata. j.
Melaksanakan
dan
memfasilitasi
kegiatan
kebudayaan
dan
pariwisata yang meliputi bidang adat istiadat, kesenian dan kepariwisataan serta tugas lain yang diberikan oleh Walikota. k. Melaksanakan dan mengkoordinasikan rencana program dan kegiatan baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang terhadap sektor pemerintah, swasta dan masyarakat. l. Memfasilitasi pelaksanaan pengembangan serta kepariwisataan yang meliputi kebudayaan, kesenian, dan pariwisata. m. Mengkoordinasikan kerja sama dengan instansi dan pihak terkait dalam
rangka
pelaksanaan
program
dan
kegiatan
bidang
kebudayaan dan pariwisata. n. Menyusun rencana program kegiatan tahunan dan mengevaluasi program kegiatan yang telah dilaksanakan. o. Pendistribusian tugas dan pemberian petunjuk pelaksanaan tugas kepada bawahan serta mengevaluasi hasil kerjanya.
p. Membuat laporan hasil kegiatan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta memberi saran pertimbangan kepada ketua untuk menjadi bahan dalam penentuan kebijakan. Berikut hasil wawancara penulis dalam hal aktualisasi nilai budaya lokal dengan beberapa informan yang terkait : 4.3.1. Adele (Adil) Camat Telluwanua : “Pelaksanaan nilai lokal adele dalam hal Yaitu adanya pemeretaan bagi semua wilayah kerja dalam melaksanakan program-program pemerintahan kemudian dapat dilihat dalam hal mendistribusi raskin, pemberian jamkesmas atau jamkesda, harus kepada yang memang berhak menerimanya. Kemudian dalam hal pembangunan sarana dan prasarana, dimana semua masyarakat berhak untuk menikmati dan mendapatkannya tanpa ada yang dibedakan.” (27/01/2013) Sesuai dengan Tupoksi Camat dari jawaban informan tersebut aktualisasi nilai budaya lokal terkait dengan. Penyusunan rencana dan program kerja berdasarkan tugas pokok dan fungsi dengan pertimbangan dari masukan seluruh pegawai kantor dan membangun infrastruktur sesuai dengan kebutuhan wilayah dan masyarakat tanpa membedabedakan. Pemberian petunjuk dan arahan kepada bawahan secara merata ke seluruh bawahan dan sesuai dengan kapabilitas masing-masing. Kemudian mengevaluasi kinerja mereka dalam rangka pembinaan karir secara adil dan tanpa membeda-bedakan. Kemudian penetapan kebijakan
dalam rangka pelimpahan kewenangan kepada lurah dilakukan atas dasar keadilan dan sesuai dengan kebutuhan kondisi saat itu. Pengkajian dan penyusunan strategi pembangunan di segala bidang secara berkesinambungan dengan melibatkan seluruh tokoh masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyarkat. Hal tersebut dapat dilihat dari pengakomodiran seluruh aspirasi masyrakat dalam rapat musrembang tanpa ada yang dibedakan kemudian menetapkan skala prioritas. Pelaksanaan tugas dalam pembuatan akta tanah dan pengupayaan penyelesaian segala permasalahan pertanahan serta mengkoordinasikan dengan unit terkait. Yang dilakukan dengan cara menyelesaikan masalah persengketaan tanah dengan membagi secara adil dan merata antar semua pihak. Hal ini sejalan dengan ungkapan Camat Telluwanua saat diwawancarai pada tanggal 27 januari 2013 bahwa : “pernah ada kasus sengketa tanah di masyarakat dalam hal kepemilikan tanah yang sudah lama kosong. Sehingga ada beberapa pihak yang saling mengklaim atas kepemilikan tanah tersebut, sehingga untuk menyelesaikan masalah tersebut kami selesaikan secara kekeluargaan dengan duduk bersama seluruh pihak. Setelah itu pembagian tanah tersebut dibagi secara adil dan merata kepada semua pihak sampai mereka menerima kesepakatan tersebut.” Selanjutnya informan lain yaitu Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata terkait aktualisasi nilai lokal adele, menerangkan : “Nilai adele saya laksanakan dalam hal ketika ingin membuat kegiatan, saya berupaya mengakomodir semua pegawai yang ada,
sesuai dengan fungsinya dan kompetensinya masing-masing, tanpa melihat apakah ada yang dekat dengan saya ataupun tidak. Dalam hal memanage bawahan, semuanya di atur berdasarkan kinerja dan kemampuannya. Dan pembagian tugas di bagi berdasarkan kemampuannya dalam bekerja kemudian ditempatkan di bidangnya. Kemudian ketika dalam rapat seluruh masukanmasukan di akomodir dan selanjutnya dipertimbangkan untuk dijadikan program tahunan.” (01/01/2013) Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palopo, dalam mengaktualisasikan nilai budaya
lokal
lempu
sesuai
dengan
tupoksinya
terkait
dengan
pendistribusian tugas dan pemberian petunjuk pelaksanaan tugas kepada bawahan serta mengevaluasi hasil kerjanya. Hal ini terlihat dari penejelasan beliau yang mengungkapkan bahwa mengakomodir seluruh pegawai yang ada di instansi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata sesuai dengan fungsi dan kompetensinya masing-masing tanpa membandingbandingkan atau membeda-bedakan atas dasar kedekatan personal. Kemudian dalam hal penyusunan program yang dilaksanakan bersama dengan birokrasi dalam kantor menginput seluruh masukan dari seluruh pihak tanpa membedakan, sebagai pertimbangan dan selanjutnya ditentukan dengan dasar skala prioritas. Salah satu bentuk kegiatan yang dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palopo yaitu pemilihan ana’ dara kallolo yang ditujukan kepada generasi muda dengan tujuan agar kebudayaan lokal tetap terjaga dan dikenal oleh para kaum muda. Dalam menentukan pilihan juara Dinas Kebudayaan dan Pariwisata mengutus para juri yang penilaiannya sangat menjunjung tinggi nilai adele adil , sehingga tindak
kecurangan dapat dihindari. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palopo dalam wawancara yang berlangsung tanggal 01 februari 2013, yakni : Dalam waktu dekat ini kami akan menyelenggarakan kegiatan pemilihan ana dara’ kallolo, bagi kalangan remaja atau kaum muda untuk tetap menjaga kelestarian kebudayaan lokal kita. Oleh karena itu dalam menilai para peserta kami mengirimkan para juri yang betul-betul menjunjung tinggi nilai adele (adil) dalam memberikan penilaian. Sehingga tindakan-tindakan kecurangan dapat terhindarkan dan tidak menimbulkan kecurigaan bagi para peserta. Diluar hasil wawancara penulis dengan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, ditemukan salah satu bentuk aktualisasi nilai lokal, ketika sebelum melaksanakan proses wawancara telah diadakan sebuah rapat tentang pengelolaan potensi pariwisata yang diikuti oleh kepala dinas, pihak swasta dan beberapa perwakilan dari masyarakat. Kemudian penulis sedikit mendapatkan informasi melalui perbincangan dengan pegawai di lingkup dinas tersebut. Sehingga penulis menyimpulkan salah satu bentuk aktualisasi nilai lokal adele dalam hal membangun dan mengkoordinasikan kerja sama dengan pihak swasta dalam mengelolah potensi sumber pariwisata di Kota Palopo. Yang mana dalam menetapkan kesepakatan mengenai pengelolaan lokasi wisata tersebut, beberapa perwakilan masyarakat dipanggil untuk memberikan masukan sebagai pertimbangan agar kepentingan masyarakat di sekitar lokasi pariwsata tersebut tetap di utamakan.
4.3.2. Lempu (Jujur) Camat Telluwanua : “Dalam melaksanakan pemerintahan dan pengambilan keputusan harus berdasarkan kepentingan masyarakat. Bekerja sesuai dengan mekanisme dan aturan yang ada. Setiap pengelolaan keuangan harus berdasarkan mekanisme yang ada dan harus dipertanggung jawabkan. Meluruskan atau menengahi masyarkat yang bersengketa masalah tanah. Tidak berpihak pada siapapun dan membuat keputusan yang bisa disepakati semua pihak. Dengan kata lain musyawarah mufakat. Sehingga tidak ada masyarakat yang dirugikan. Dalam pelaksanaan pembangunan saya menginput semua aspirasi dari masyarakat sesuai dengan kebutuhannya. Kemudian dalam memperbaiki saluran air untuk mencegah terjadinya banjir diwilayah pemerintahan saya. Yang sebelumnya tersumbat sekarang telah diperbaiki dan sudah lancar.” (wawancara tanggal 27/01/2013) Dari wawancara diatas, dalam mengaktualisasikan nilai getteng sesuai dengan tupoksi seorang camat yaitu, menjalankan segala amanah dan tanggung jawab yang telah diberikan dalam menyelenggarakan pemerintahan di tingkat kecamatan. Hal tersebut ditandai dari eksistensi beliau yang masih konsisten dalam menjalani jabatannya selaku camat. Sampai saat ini. Pemberian petunjuk dan arahan kepada bawahan secara terbuka dan apa adanya. Pengevaluasian dan penilaian prestasi kerja bawahan secara terbuka dan apa adanya. Pelimpahan kewenangan berdasarkan kemampuan lurah. Meluruskan atau menengahi masalah persengkataan tanah secara jujur. Ikut serta dalam membersihkan lingkungan bersama masyarakat. Melaporkan hasil pelaksanaan tugas secara jujur dan apa adanya. Selanjutnya dalam mengaktualisasikan nilai lokal lempu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palopo mengungkapkan :
Kepala
”Aktualisasi nilai lempu saya laksanakan seperti dalam hal ketika ingin menyampaikan sesuatu, di sampaikan apa adanya, seperti pembagian tugas.berusaha untuk tidak menutupi sesuatu, dan senantiasa terbuka. Dalam hal memanage bawahan, semuanya di atur berdasarkan kinerja dan kemampuannya. Dan pembagian tugas di bagi berdasarkan kemampuannya dalam bekerja kemudian ditempatkan di bidangnya.” (wawancara tanggal 27/01/2013) Dalam kaitannya dengan tupoksi Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisat Kota Palopo dalam mengaktualisasikan nilai lempu sesuai dengan hasil wawancara diatas, terlaksana dalam hal pendistribusian tugas berdasarakan kemampuan tanpa menutupi sesuatu dan pemberian petunjuk pelaksanaan tugas kepada bawahan serta mengevaluasi hasil kerjanya dengan terbuka dan apa adanya. Yang utama adalah pelaksanaan tugas dan tanggung jawab selaku Kepala Dinas sebagai sebuah amanah yang diberikan oleh atasan. Selain itu, menjaga hubungan kerja sama dan koordinasi dengan instansi atau organisasi yang lain dalam membuat sebuah kegiatan atau kah kesepakatan yang meliputi bidang adat istiadat, kesenian dan kepariwisataan. Wujud nyata bidang tersebut berdasarkan informasi yang didapatkan oleh penulis adalah kegiatan seminar yang bertemakan tentang kearifan lokal, pemilihan ana’ dara kallolo yang pada peniliainnya didasarkan atas nilai lempu (jujur), dan pembuatan kesepakatan pengelolaan potensi pariwisata di Kota Palopo yang melibatkan masyarakat setempat tanpa ada yang ditutupi.
4.3.3. Getteng (Teguh) Camat Telluwanua : “Tegas dalam menyikapi sesuatu. Ketika tidak tegas maka akan terjadi pembiaran dan susah untuk dikendalikan. Displin dengan peraturan yang ada, seperti ketika ada staff yang datang ke kantor terlambat atau tidak seuai dengan waktu yang ditentukan, maka akan saya tegur dan di suruh untuk menghadap dan diberikan pencerahan. Dan menegaskan untuk memakai papan nama sehingga mudah dikenali dan ketika ada yang membangkang di tegur sampai di berikan sanksi. Konsisten pada aturan yang berlaku. Menjalankan amanah dengan penuh rasa tanggung jawab. Menyelesaikan kerusuhan yang pernah terjadi dengan cara mempertemukan tokoh masyarakat dan pemuda dan bersamasama mencari solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. Setelah itu menegaskan agar kejadian tersebut tidak terulang lagi dan ketika terjadi lagi maka yang terlibat akan langsung kami berikan kepada pihak yang berwenang. Dan membuat pernyataan agar tidak mengulangi lagi hal-hal seperti itu.” (wawancara tanggal 27/01/2013) Terkait dengan Tupoksi camat, aktualisasi nilai lokal getteng ini dapat diketahui dalam hal penyusunan rencana dan program kerja berdasarkan tugas pokok dan fungsinya. Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan sesuai kewenangan yang dilimpahkan oleh Walikota dalam bentuk tetap berpegang teguh pada tanggung jawab yang diberikan oleh atasan dan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Pemberian petunjuk dan arahan kepada sekretaris, seksi dan bawahan
lainnya
sesuai
bidangnya
masing-masing.
Dalam
hal
menegaskan kepada bawahan unuk mentaati aturan dan norma yang ada dan memberikan sanksi ketika melanggar. Penetapan kebijakan dalam
rangka pelimpahan kewenangan kepada lurah dengan cara tetap konsisten terhadap kebijakan yang telah dibuat. Pengkoordinasian kegiatan-kegiatan penyelenggaran pelayanan lintas kelurahan dengan jalan memberikan teguran kepada lurah yang kurang maksimal dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pelaksanaan pembinaan ketentraman dan ketertiban dengan koordinasi aparat keamanan terkait dalam wilayah kecamatan terkait penyelesaian konflik antar warga dengan aparat kepolisian secara tegas. Kemudaian pelaksanaan tugas dalam pembuatan akta tanah dan pengupayaan penyelesaian segala permasalahan pertanahan serta mengkoordinasikan dengan unit terkait dengan cara memberikan ketegasan mengenai hasil keputusan persengketaan yang telah disepakati. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata : “Dilaksanakan dalam ketika telah diputuskan seperti itu dalam rapat atau pembagian tugas, meskipun ada yang complain, namun saya tetap berada pada nilai dan aturan yang ada, dan tidak merubah apa yang telah di putuskan. Kemudian ketika rapat dengan bawahan dan masyarakat, apapun yang diputuskan dalam rapat tersebut harus menjadi keputusan yang harus dilaksanakan dan harus di taati. Kemudain menjalankan amanah sebagai kepala dinas dengan penuh rasa tanggung jawab.”
Dari pemahaman Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tentang nilai getteng (teguh) adalah sebuah sifat yang melambangkan keteguhan atau konsistensi dan ketegasan. Ketika disinkronkan dengan tupoksi melalui hasil wawancara penulis dengan beliau bahwa aktualisasi nilai getteng dapat dilihat dari konsistensi beliau dalam menjalankan
amanah dan tanggung jawab sebagai Kepala Dinas. Ketegasan beliau dalam membuat kebijakan dan kesepakatan antara berbagai pihak. Kemudian dalam menjalani kesepakatan yang telah dibuat tetap menjadi pegangan dalam bertindak
dan menilai sesuai dengan kesepakatan
tersebut. Berikut disajikan tabel yang memuat seluruh hasil wawancara yang memuat hasil reduksi data dari jawaban informan terkait dengan aktualisasi nilai budaya lokal adele, lempu dan getteng dan tabel aktualisasi nilai tersebut berdasarkan tupoksi masing-masing informan.
TABEL 4.2. TABEL HASIL REDUKSI DATA AKTUALISASI NILAI BUDAYA LOKAL ADELE, LEMPU, GETTENG DALAM KEPEMIMPINAN PEMERINTAHAN DI KOTA PALOPO Informan Camat Telluwanua
Kepala Dinas Kebudayaa n & Pariwisata
Adele “Pelaksanaan nilai lokal tersebut dalam hal Yaitu adanya pemeretaan bagi semua wilayah kerja dalam melaksanakan program-program pemerintahan kemudian dapat dilihat dalam hal mendistribusi raskin, pemberian jamkesmas atau jamkesda, harus kepada yang memang berhak menerimanya. Kemudian dalam hal pembangunan sarana dan prasarana, dimana semua masyarakat berhak untuk menikmati dan mendapatkannya tanpa ada yang dibedakan.”
“Nilai tersebut saya laksanakan dalam hal ketika ingin membuat kegiatan, saya berupaya mengakomodir semua pegawai yang
Aktualisasi Lempu “Dalam melaksanakan pemerintahan dan pengambilan keputusan harus berdasarkan kepentingan masyarakat. Bekerja sesuai dengan mekanisme dan aturan yang ada. Setiap pengelolaan keuangan harus berdasarkan mekanisme yang ada dan harus dipertanggung jawabkan. Meluruskan atau menengahi masyarkat yang bersengketa masalah tanah. Tidak berpihak pada siapapun dan membuat keputusan yang bisa disepakati semua pihak. Dengan kata lain musyawarah mufakat. Sehingga tidak ada masyarakat yang dirugikan. Dalam pelaksanaan pembangunan saya menginput semua aspirasi dari masyarakat sesuai dengan kebutuhannya. Kemudian dalam memperbaiki dan menambah infrastruktur yang dibutuhkan.
Seperti dalam hal ketika ingin menyampaikan sesuatu, di sampaikan apa adanya, seperti pembagian tugas.berusaha untuk
Getteng “Tegas dalam menyikapi sesuatu. Ketika tidak tegas maka akan terjadi pembiaran dan susah untuk dikendalikan. Displin dengan peraturan yang ada, seperti ketika ada staff yang datang ke kantor terlambat atau tidak seuai dengan waktu yang ditentukan, maka akan saya tegur dan di suruh untuk menghadap dan diberikan pencerahan. Dan menegaskan untuk memakai papan nama sehingga mudah dikenali dan ketika ada yang membangkang di tegur sampai di berikan sanksi. Konsisten pada aturan yang berlaku. Menjalankan amanah dengan penuh rasa tanggung jawab. Menyelesaikan kerusuhan yang pernah terjadi dengan cara mempertemukan tokoh masyarakat dan pemuda dan bersamasama mencari solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. “Dilaksanakan dalam ketika telah diputuskan seperti itu dalam rapat atau pembagian tugas, meskipun ada yang complain, namun
Hasil Reduksi Data Terlaksana sesuai dengan tupoksi yang didasarkan pada regulasi atau aturan yang telah ditetapkan.
Terlaksana sesuai dengan tupoksi yang didasarkan pada regulasi atau aturan yang telah ditetapkan.
ada, sesuai dengan fungsinya dan kompetensinya masing-masing, tanpa melihat apakah ada yang dekat dengan saya ataupun tidak. Dalam hal memanage bawahan, semuanya di atur berdasarkan kinerja dan kemampuannya. Dan pembagian tugas di bagi berdasarkan kemampuannya dalam bekerja kemudian ditempatkan di bidangnya.”
tidak menutupi sesuatu, dan senantiasa terbuka. Dalam hal memanage bawahan, semuanya di atur berdasarkan kinerja dan kemampuannya. Dan pembagian tugas di bagi berdasarkan kemampuannya dalam bekerja kemudian ditempatkan di bidangnya.
saya tetap berada pada nilai dan aturan yang ada, dan tidak merubah apa yang telah di putuskan. Kemudian ketika rapat dengan bawahan dan masyarakat, apapun yang diputuskan dalam rapat tersebut harus menjadi keputusan yang harus dilaksanakan dan harus di taati. Kemudain menjalankan amanah sebagai kepala dinas dengan penuh rasa tanggung jawab.”
Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2013
Table 4.3 Tabel Hasil Aktualisasi Nilai Budaya Lokal Adele, Lempu, Getteng Berdasarkan Tupoksi Pemimpin Pemerintahan Informan
Tupoksi
Camat Telluwanua
Penyusunan rencana dan program kerja berdasarkan tugas pokok dan fungsinya. Penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan sesuai kewenangan yang dilimpahkan oleh Walikota.
Pemberian petunjuk dan arahan kepada sekretaris, seksi dan bawahan lainnya sesuai bidangnya masingmasing. Pengevaluasian dan penilaian prestasi kerja sekretaris, seksi dan bawahan lainnya dalam rangka pembinaan karir. Penetapan kebijakan dalam rangka pelimpahan kewenangan kepada lurah. Pengkoordinasian kegiatankegiatan penyelenggaran pelayanan lintas kelurahan
Pelaksanaan koordinasi atas kegiatan instansi vertical dan dinas daerah dalam wilayah kecamatan Pelaksanaan pembinaan ketentraman dan ketertiban dengan koordinasi aparat keamanan terkait dalam wilayah kecamatan. Pelaksanaan pembinaan dalam rangka koordinasi perencanaan, pengendalian dan evaluasi pembangunan lintas kelurahan. Pembinaan pelaksanaan pembangunan dan
Adele Penyusunan rencana dan program kerja berdasarkan tugas pokok dan fungsi dengan pertimbangan dari masukan seluruh pegawai kamtor. Pembangunan infrastruktur sesuai dengan kebutuhan wilayah dan masyarakat Pemberian petunjuk dan arahan kepada bawahan secara merata ke seluruh bawahan. Pengevaluasian dan penilaian prestasi kerja bawahan secara adil tanpa membedabedakan. Pelimpahan kewenangan kepada lurah secara adil. aktif mengkoordinasi kegiatan-kegiatan pelayanan dilintas kelurahan tanpa membeda-bedakan.
Aktualisasi Lempu
Getteng
Menjalankan segala amanah dan tanggung jawab yang telah diberikan dalam menyelenggarakan pemerintahan di tingkat kecamatan.
Tetap berpegang teguh pada tanggung jawab yang diberikan oleh atasan dan sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
Pemberian petunjuk dan arahan kepada bawahan secara terbuka dan apa adanya.
Menegaskan kepada bawahan unuk mentaati aturan dan norma yang ada dan memberikan sanksi ketika melanggar.
Pengevaluasian dan penilaian prestasi kerja bawahan secara terbuka dan apa adanya. Pelimpahan kewenangan berdasarkan kemampuan lurah.
Konsisten terhadap kebijakan yang telah dibuat. Memberikan teguran kepada lurah yang kurang maksimal dalam memverikan pelayanan kepada masyarakat.
Menyelesaikan konflik antar warga dengan aparat kepolisian secara tegas.
pemberdayaan masyarakat kelurahan meliputi: perekonomian, pertanian, perindustrian, koperasi, dan penataan lingkungan berdasarkan kondisi dan potensi wilayah. Pelaksanaan pembinaan kesejahteraan sosial kemasyarakatan meliputi: pembinaan keagamaan, pendidikan dan keterampilan masyarakat, kesehatan dan sarana sosial kemasyarakatan lainnya, serta memfasilitasi kelancaran produksi barang dan jasa public. Pengkajian dan penyusunan strategi pembangunan di segala bidang secara berkesinambungan dengan melibatkan seluruh tokoh masyarakat dalam rangka pemberdayaan masyarkat. Pelaksanaan tugas dalam pembuatan akta tanah dan pengupayaan penyelesaian segala permasalahan pertanahan serta mengkoordinasikan dengan unit terkait. Pelaskanaan pembinaan kebersihan, keindahan dan pelestarian lingkungan hidup bagi masyarakat. Pelaksanaan pembinaan administrasi bidang umum, kepegawaian, keuangan dan perlengkapan untuk menunjang pelaksanaan tugas pokok dan fungsi. Pelaksanaan pendataan, penataan sumber-sumber pajak dan retribusi daerah serta sumber lainnya dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah. Pemberian saran alternatif kepada Walikota untuk kelancaran tugas. Pelaksanaan tugas lainnya yang diberikan oleh atasan. Pembuatan laporan
Mengakomodir seluruh aspirasi masyrakat dalam rapat musrembang tanpa ada yang dibedakan kemudian menetapkan skala prioritas. Menyelesaikan masalah persengketaan tanah dengan membagi secara adil dan merata antar semua pihak.
Meluruskan atau menengahi masalah persengkataan tanah secara jujur.
Ikut serta dalam membersihkan lingkungan bersama masyarakat.
Melaporkan hasil
Memberikan ketegeasan mengenai hasil keputusan persengketaan.
pelaksanaan tugas.
Kepala Dinas Kebudayaa n dan Pariwisata
pelaksanaan tugas secara jujur dan apa adanya Menjalankan amanah yang diberikan Walikota dengan jujur dan penuh rasa tanggung jawab
Membantu Walikota dalam menyusun program dan merumuskan kebijakan pembangunan yang mengacu kepada dokumen bidang Kebudayaan dan Pariwisata. Melaksanakan dan memfasilitasi kegiatan kebudayaan dan pariwisata yang meliputi bidang adat istiadat, kesenian dan kepariwisataan serta tugas lain yang diberikan oleh Walikota. Melaksanakan dan mengkoordinasikan rencana program dan kegiatan baik jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang terhadap sektor pemerintah, swasta dan masyarakat. Memfasilitasi pelaksanaan pengembangan serta kepariwisataan yang meliputi kebudayaan, kesenian, dan pariwisata.
Mengkoordinasikan kerja sama dengan instansi dan pihak terkait dalam rangka pelaksanaan program dan kegiatan bidang kebudayaan dan pariwisata. Menyusun rencana program kegiatan tahunan dan mengevaluasi program kegiatan yang telah dilaksanakan.
Tetap teguh dalam menjalankan tugas selaku kepala dinas sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan
Melaksanakan dan memfasilitasi kegiatan seminar tentang kearifan lokal dengan organisasi mahasiswa dan kegiatan pemilihan ana’ dara kallolo yang ditujukan kepada generasi muda.
Memfasilitasi kegiatan ana’ dara kallolo’ dengan merekomendasikan tim juri yang beralandaskan pada keadilan dalam menilai peserta. Dan memfasilitasi rapat terbuka antar masyarakat dengan pihak swasta dalam pengelolaan lokasi pariwisata secara adil Menjalin kerja sama antar instansi maupun swasta dan organisasi lain dalam mengelolah lokasi wisata di Kota Palopo.
Memfasilitasi kegiatan ana’ dara kallolo’ dengan merekomendasikan tim juri yang beralandaskan pada kejujran dalam menilai peserta. Dan memfasilitasi rapat terbuka antar masyarakat dengan pihak swasta dalam pengelolaan lokasi pariwisata secara terbuka dan apa adanya
Memfasilitasi kegiatan ana’ dara kallolo’ dengan merekomendasikan tim juri yang beralandaskan pada nilai ketegasan dalam menilai peserta. Dan memfasilitasi rapat terbuka antar masyarakat dengan pihak swasta dalam pengelolaan lokasi pariwisata secara tegas.
Menegaskan bentuk kerja sama tersebut dalam bentuk surat atau MOU.
Pendistribusian tugas dan pemberian petunjuk pelaksanaan tugas kepada bawahan serta mengevaluasi hasil kerjanya.
Membuat laporan hasil kegiatan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata serta memberi saran pertimbangan kepada ketua untuk menjadi bahan dalam penentuan kebijakan.
Penempatan dan pemberian tugas kepada bawahan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki dan mengevaluasinya tanpa membedabedakan.
Penempatan dan pemberian tugas kepada bawahan sesuai dengan kemampuannya.
Membuat laporan hasil kegiatan secara jujur dan apa adanya.
Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2013
TABEL 4.4 HASIL REDUKSI DATA KLASIFIKASI HASIL PENELITIAN
Informan
Pemahaman dan Aktualisasi Nilai Adele (adil), Lempu (Jujur) dan Getteng (Teguh) Lurah Sampoddo Tidak Paham dan Aktualisasikan dalam artian secara umum Lurah Lagaligo Tidak Paham dan Aktualisasikan dalam artian secara umum Lurah Jaya Tidak Paham dan Aktualisasikan dalam artian secara umum Camat Wara Selatan Tidak Paham dan Aktualisasikan dalam artian secara umum Camat Wara Tidak Paham dan Aktualisasikan dalam artian secara umum Camat Telluwanua Paham dan Aktualisasikan sesuai dengan maknanya Kepala Dinas Kebudayaan Paham dan Aktualisasikan sesuai & Pariwisata dengan maknanya Wakil Walikota Tidak Paham dan Aktualisasikan dalam artian secara umum
Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2013
Pengaruh Terhadap Pelaksanaan Tupoksi Tidak Berpengaruh Tidak Berpengaruh Tidak Berpengaruh Tidak Berpengaruh Tidak Berpengaruh Berpengaruh Berpengaruh Tidak Berpengaruh
TABEL 4.5 TABEL HASIL REDUKSI DATA KATEGORI NILAI Informan
Pemahaman dan Aktualisasi Nilai Adele (adil), Lempu (Jujur) dan Getteng (Teguh) Lurah Sampoddo Tidak Paham dan Aktualisasikan dalam artian secara umum Lurah Lagaligo Tidak Paham dan Aktualisasikan dalam artian secara umum Lurah Jaya Tidak Paham dan Aktualisasikan dalam artian secara umum Camat Wara Selatan Tidak Paham dan Aktualisasikan dalam artian secara umum Camat Wara Tidak Paham dan Aktualisasikan dalam artian secara umum Camat Telluwanua Paham dan Aktualisasikan sesuai dengan maknanya Kepala Dinas Kebudayaan & Paham dan Aktualisasikan Pariwisata sesuai dengan maknanya Wakil Walikota Tidak Paham dan Aktualisasikan dalam artian secara umum
Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2013
Kategori Nilai (Nilai Instrumental dan Nilai Terminal) Nilai Instrumental Nilai Instrumental Nilai Instrumental Nilai Instrumental Nilai Instrumental Nilai Terminal Nilai Terminal Nilai Instrumental
Berdasarkan hasil wawancara yang dirangkum oleh penulis berkaitan dengan pelaksanaan nilai-nilai budaya lokal oleh pemimipin pemerintahan di kota Palopo, dari analisis penulis ada beberpa faktor yang mempengaruhi tingkat pelaksanaan dari nilai-nilai lokal yang di maksud, dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu faktor yang mendukung dan menghambat. Faktor yang mendukung 1. Nilai-nilai lokal tersebut merupakan hal yang sangat penting untuk di laksanakan
dalam
kehidupan
sehari-hari
utamanya
dalam
menjalankan roda pemerintahan oleh para pemimpin pemerintahan yang
ada
di
Kota
Palopo.
Hal
tersebut
sebagaimana
yang
dikemukakan oleh.. pada wawancara tanggal… bahwa : sdjkhdsn 2. Nilai-nilai lokal tersebut erat kaitannya dengan nilai-nilai agama Islam, dimana ketika dalam penelitian nilai tersebut seringkali dikaitkan nilai agama Islam. 3. Nilai-nilai budaya lokal tersebut juga mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan mendapat menjadi indikator terselenggaranya pemerintahan tersebut dengan baik di mata masyarakat dan bawahan.
4. Nilai-nilai tersebut merupakan salah satu bentuk warisan dari kebudayaan Kerajaan Luwu yang harus dijaga dan dilestarikan oleh para generasi penerus sehingga budaya atau kearifan lokal akan terus mengalir dan tidak terlupakan. Faktor yang menghambat : 1. Kurang kesadaran dan kemauan pemimpin pemerintahan untuk memahami nilai-nilai budaya lokal Kerajaan Luwu, khususnya wilayah Kota Palopo. 2. Kurangnya
peran
pemerintah
dalam
mensosialisasikan
dan
mengajarkan nilai-nilai budaya lokal kepada masyarakat khususnya kepada para pemimpin pemerintahan di Kota Palopo 3. Kuatnya pengaruh budaya asing yang masuk sehingga mengikis budaya asli yang ada (asimilasi), serta tercampurnya (akulturasi) budaya lokal dan asing tersebut. Kemudian ketika nilai budaya lokal adele, lempu dan getteng tidak dipahami dan dilaksanakan oleh para pemimpin pemerintahan, dalam menyelenggarakan pemerintahan akan menimbulkan berbagai dampak yang positif dan negatif bagi perkembangan sistem pemerintahan itu sendiri. Adapun dampak negatif yang mampu penulis rangkum dari hasil wawancara bersama seluruh informan dalam penelitian ini dan dari hasil kesimpulan analisis lapangan, yaitu :
1. Mendapatkan kendala dalam menjalankan roda pemerintahan 2. Tidak akan tercipta sebuah pemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih. 3. Pemerintahan tidak akan berhasil. 4. Masyarkat akan berteriak, bingung, dan membangkang. 5. Terjadinya tindak penyelewengan 6. Akan mendapatkan dosa besar. 7. Dapat mengakibatkan terjadinya konflik sosial 8. Merusak citra pemerintah dimata masyarakat sehingga masyarakat tidak akan percaya kepada pemerintah. 9. Dapat menyebabkan tindakan diskriminatif kepada masyarakat. Kemudian dari sisi positifnya akan berdampak sebagai berikut : 1. Masyarakat akan tenang dan percaya kepada pemerintah. 2. Akan di hargai oleh masyarakat. 3. Penyelenggaraan pemerintahan akan berhasil 4. Terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih 5. Meningkatkan citra pemerintah dimata masyarakat. 6. Pelayanan yang merata kepada seluruh lapisan masyarakat. 7. Kondisi sosial masyarakat akan kondusif. 4.4.
Pengaruh Kedudukan Pemerintahan Dalam Mengaktualisasikan Nilai Budaya Lokal di Kota Palopo
Adapun yang dimaksud dengan kedudukan dalam pemerintahan pada pembahasan ini yaitu kedudukan yang berdasarkan pada hirarki jabatan struktural dalam wilayah pemerintahan tingkat Kabupaten/Kota, yang disebut dengan tingkatan Eselon, dan khususnya pada wilayah Kota Palopo. Kemudian jabatan struktural adalah jabatan yang secara tegas tercantum dalam struktur organisasi yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dimana jabatan struktural tersebut dibagi ke dalam tingkatan-tingkatan yang disebut eselon. Dalam penelitian ini, penulis menarik beberapa iniforman yang merupakan pemimpin pemerintahan dalam struktur instansi. Masing-masing dari informan tersebut merupakan representasi dari jabatan struktural di Kota Palopo yang berdasarkan pada tingkat eselon. Yang terdiri atas eselon I, eselon II, eselon III, dan eselon IV. Adapun pemimpin pemerintahan yang dimaksud : 5. Eselon I b yaitu Wakil Walikota Kota Palopo 6. Eselon II b yaitu Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palopo 7. Eselon III a yaitu Camat Wara Selatan, Wara, dan Telluwanua 8. Eselon IV a yaitu Lurah Sampoddo, Lagaligo, dan Jaya. Hipotesa yang telah lahir di awal penelitian ini adalah terdapat perbedaan kuantitas maupun kualitas aktualisasi nilai budaya lokal adele,
lempu dan getteng oleh para pemimipin pemerintahan dalam menjalankan tupoksinya sesuai dengan jabatan masing-masing. Dimana ketika semakin tinggi jabatan seorang pemimpin maka semakin besar pula indeks aktualisasi nilai budaya lokalnya, ataukah semakin luas wilayah jabatannya semakin besar pula indeks aktualisasi nilai lokalnya. Dan sebaliknya, semakin rendah jabatan atau semakin kecil wilayah kepemimpinannya maka semakin kecil dan sempit pula indeks aktualisasi nilai budaya lokalnya. Namun dari hasil kesimpulan penulis yang diperoleh selama melakukan penelitian, sampai pada pembahasan ditemukan bahwa ternyata tidak ada pengaruh perbedaan posisi atau jabatan strukutral pemimpin pemerintahan dalam mengaktualisasikan nilai budaya lokal adele, lempu dan getteng. Hal tersebut didasari atas temuan penulis yang menyimpulkan, dari seluruh pemimpin pemerintahan yang dimasukkan dalam penelitian ini dan termasuk dalam jabatan struktural tingkat eselon, yang mana hanya 2 (dua) yang mengaktualisasikan nilai tersebut dan tentu saja diawali dengan pemahaman akan nilai itu sendiri. Sehingga 2 (dua) pemimpin tersebut tidak representatif dari hirarki jabatan struktural tingkat eselon dan membuat struktur yang ditarik oleh penulis tidak sesuai lagi dengan hasil yang didapatkan. Selanjutnya terkait dengan metode yang digunakan oleh penulis dalam menarik sampling camat dan lurah sebagai informan dalam penelitian ini
yaitu didasarkan atas pembagian ke dalam 3 (tiga) wilayah otoritasnya. Yaitu wilayah perbatasan sebelah selatan yang diwakili oleh Kecamatan Wara Selatan dan Kelurahan Lagaligo, wilayah tengah kota yang diwakili oleh Kecamatan Wara dan Kelurahan Lagaligo, kemudian wilayah batas sebelah utara yang diwakili oleh Kecamatan Telluwanua dan Kelurahan Jaya. Dengan asumsi bahwa terdapat perbedaan dalam mengaktualisasikan nilai budaya lokal adele, lempu dan getteng, dengan pertimbangan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan luas wilayah. Namun dalam hal ini, hasil analisis penulis penulis menyimpulkan bahwa asumsi tersebut tidak sesuai dengan yang didapatkan di lapangan dan dari hasil olah data. Dimana tidak ada pengaruh letak atau posisi wilayah seorang pemimpin dalam mengaktualisasikan nilai budaya lokal sesuai dengan tupoksinya masing-masing. Penulis menganggap bahwa hal ini tergantung dari individu masing-masing pemimpin tersebut untuk mau atau tidak mengaktualisasikan nilai budaya lokal tersebut.
BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Otonomi daerah pada penyelenggaraan pemerintahan daerah pada hakekatnya
dimaksudkan
untuk
mendekatkan
pemerintah
dengan
masyarakat yang ada di daerah, yakni dengan memberikan kewenangan pengelolaan pemerintahan daerah itu sendiri. Mekanisme ini menjadikan penyelenggaraan pemerintahan di daerah erat dengan makna nilai-nilai budaya lokal yang juga sebagai bentuk kearifan lokal daerah setempat. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa konsep otonomi daerah dalam pelaksanaannya tidak menjamin eksistensi nilai budaya lokal dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah khususnya Kota Palopo, terkait dengan variabel nilai budaya lokal adele, lempu, dan getteng, terhadap pemahaman dan aktualisasi nilai tersebut dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi selaku pemimpin pemerintahan. Pemimpin pemerintahan yang dimasukkan, tidak semua paham dan aktualisasikan nilai tersebut, yang mana dari 8 (delapan) informan yang ada hanya 2 (dua) yang dapat disimpulkan memahami dan mengaktualisasikan nilai budaya lokal tersebut. Sedangkan selebihnya hanya dapat dikategorikan sebagai informan yang tidak paham meskipun secara tidak sadar mereka mengaktualisasikan nilai
tersebut namun dalam artian secara umum. Hal ini didasarkan atas penilaian yang berlandaskan pada proses pemahaman dan berlanjut pada aktualisasi atau pelaksanaan. Dalam mengktualisasikan nilai budaya lokal tersebut ternyata tidak berpengaruh dalam posisi atau jabatan struktural tingkat eselon para pemimpin pemerintahan dalam penelitian ini. Oleh karena berdasarkan hasil temuan penulis, tidak semua informan paham dan aktualisasikan nilai budaya lokal tersebut dari representasi strukutur yang ada. 5.2. Saran Adapun saran sebagai kelanjutan dari kesimpulan diatas yang dimaksudkan untuk menjaga eksistensi nilai-nilai budaya lokal dalam menyelenggarakan pemerintahan oleh para pemimpin pemerintahan di wilayah Kota Palopo, yaitu : 1. Memasukkan
muatan
materi
tentang
kearifan
lokal
untuk
membangun pemahaman tentang nilai-nilai budaya lokal, dalam kegiatan-kegiatan pelatihan kepemimpinan yang ditujukan kepada pemimpin
struktural
sehingga
dapat
terwujud
dalam
bentuk
aktualisasi dalam menyelenggarakan pemerintahan khususnya diwilayah Kota Palopo.
2. Meningkatkan intensitas kegiatan-kegiatan yang bernuansa kearifan lokal yang ditujukan kepada para generasi muda sebagai calon pemimpin masa depan khususnya di Kota Palopo. 3. Memasukkan ke dalam kurikulum pembelajaran sekolah lebih spesifik, yang memuat tentang materi-materi kearifan lokal, sehingga dapat tetap terjaga dan berlanjut ke generasi berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP Unhas, 2009/2010, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Skripsi. Makassar FISIP Unhas
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi.eet2. Jakarta : PT. Raja Grafindo. Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan ILmu Sosial Lainnya. Jakarta : PT. Raja Grafindo. Kencana, Syafiie Inu 2005. Pengantar Ilmu Pemerintahan. Bandung: PT Refika Aditama Miles, B. Matthew dan Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif.eet1. Jakarta : Universitas Indonesia Press. Ndraha, Talidziduhu. 2003, Kybernology 2 (Ilmu Pemerintahan Baru), PT. Asdi Mahasatya, Jakarta. Syafiie, Inu Kencana. 2001. Pengantar Ilmu Pemerintahan (Edisi Revisi). Bandung : Revika Aditama Anwar, Idwar. 2007. Ensiklopedi Kebudayaan Luwu. Komunitas Kampung Sawerigading (KAMPUS). Pemerintah Kota Palopo. Pemerintah
Kabupaten Luwu Utara. Pemerintah Kabupaten Luwu Timur. PT INCO : Pustaka Sawerigading. Mallondjo,
Siodja
Daeng.
Sawerigading,
2008.
Sistem
Kedatuan
Pemerintahan
Luwu,
Catatan
dan
Masuknya
Tentang Islam.
Komunitas Sawerigading. Pemerintah Kota Palopo : Pustaka Sawerigading. Fadillah, Moh. Ali dan Sumantri, Iwan. 2000. Kedatuan Luwu, Perspektif Arkeolog, Sejarah dan Antropologi. Makassar : Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin. Insitut Etnografi Indonesia. Ibrahim, Anwar. 2003. Sulesana, Kumpulan Esai tentang demokrasi dan kearifan
lokal.
Makassar
:
Lembaga
Penerbitan
Universitas
Hasanuddin. Ranjabar, Jacobus. 2006. Sistem Sosial Budaya Indonesia, Suatu Pengantar. Bogor : Ghalia Indonesia. Koentjaraningrat. 2007. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia. Kartini Kartono. Dr. Pemimpin Dan Kepemimpinan, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1998. YW. Sunindhia, SH, Kepemimpinan Dalam Masyarakat Modern, Jakarta, PT.
Rineka Cipta, 1993. Winardi. Dr. SE, Asas-Asas Manajemen, Bandung, Alumni, 1979. Soeharto Rujiatmojo Drs. Ikhtisar Kepemimpinan Dalam Administrasi Negara Di Indonesia, 1984, Jakarta. Karjadi. M. Kepemimpinan ( Leadership ), Bogor, 1987. Tim Dosen Administrasi Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia, Manajemen Pendidikan, 2008, Alfabeta, Bandung. Deviton JA. The Interpersonal Communication Book, 7th Ed., Hunter College of The City University of New York, 1995.