Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 9 / No. 1 / Januari 2014
Sikap Ibu Rumah Tangga Terhadap Tes HIV/AIDS di Sleman Yogyakarta Nanik Setiyawati*), Zahroh Shaluhiyah**), Kusyogo Cahyo***) *) Politeknik Kesehatan Kemenkes Jurusan Kebidanan Yogyakarta Korespondensi:
[email protected] **) Magister Promosi Kesehatan Universitas Diponegoro ***) Bagian Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKM UNDIP ABSTRAK Kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga semakin meningkat dan di Kecamatan Sleman telah terdapat kasus kematian ibu rumah tangga. Tes HIV/AIDS menjadi pintu gerbang program penanganan dan pencegahan HIV/AIDS, namun belum ada kunjungan masyarakat untuk VCT di Puskesmas Sleman. Penelitian ini untuk mengetahui sikap ibu rumah tangga terhadap tes HIV/AIDS di Sleman. Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan Focus Group Discussion (FGD) dan triangulasi dengan indepth interview. Informan berjumlah 48 orang yang terbagi dalam 8 kelompok FGD dan informan sekunder 2 orang untuk triangulasi. Analisis data dengan content analysis. Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa seluruh kelompok ibu rumah tangga mendukung tes HIV/AIDS. Kelompok ibu rumah tangga dengan suami bukan kelompok rentan tertular HIV menganggap ibu rumah tangga tidak mungkin tertular HIV dan laki-lakilah yang harus tes HIV. Hanya kelompok ibu rumah tangga yang berdomisili di desa peduli HIV/AIDS yang tahu tentang definisi, penyebab, penularan, pengobatan, perawatan HIV/AIDS dan tes HIV/AIDS. Sikap seluruh kelompok ibu rumah tangga terhadap tes HIV/AIDS dipengaruhi oleh sikap suami terhadap tes HIV/AIDS. Kata kunci : sikap, ibu rumah tangga, tes HIV/AIDS ABSTRACT Attitudes Towards Testing For HIV/AIDS Among Housewife In Sleman Yogyakarta; Cases of HIV/AIDS on housewives is increasing and in Sleman district there have been cases of death of a housewife. HIV/AIDS testing is the gateway program management and prevention of HIV/AIDS, but no visits to the health center VCT in Sleman. Study was to determine the attitude of the housewife to test HIV/AIDS in Sleman. This research is a qualitative research Focus Group Discussion (FGD) and triangulation with indepth interview. Informants totaling 48 people, divided into 8 groups of FGD and 2 people for triangulation. Data analysis with content analysis. The results of this study illustrate that the entire group of housewives support HIV/AIDS test. The group housewife with a husband instead of contracting HIV vulnerable groups considered unlikely housewives infected with HIV and men who have an HIV test. Only the group of housewives who live in the village of care HIV/AIDS who knows about the definition, causes, transmission, treatment HIV/AIDS and HIV/AIDS testing. The attitude of the whole group of housewives to test for HIV/AIDS affected by the husband’s attitude towards HIV/AIDS test. Keywords: Attitudes, housewife, testing for HIV / AIDS
56
Sikap Ibu Rumah Tangga ... (Nanik S, Zahroh S, Kusyogo C) PENDAHULUAN Lebih dari 150 negara di dunia telah melaporkan adanya penyakit infeksi Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency Syndrom (HIV/AIDS). HIV/AIDS merupakan pembunuh nomor empat di dunia dengan usia penderita paling banyak berada pada rentang usia 15 sampai dengan 49 tahun. Seringkali penyakit HIV/AIDS terlambat diketahui karena orang sering tidak mengetahui jika dirinya sudah terinfeksi. Kelompok paling rentan terkena infeksi HIV/AIDS adalah perempuan muda (Susilowati, 2011). Hasil surveilans perilaku di beberapa kota di Indonesia menunjukkan bahwa lebih dari separuh kelompok lelaki dengan mobilitas tinggi membeli jasa seks setahun terakhir ini. Sebagian besar lelaki tersebut mempunyai pasangan tetap yaitu isterinya. Diperkirakan ada sekitar 7-10 juta lelaki pelanggan penjaja seks di Indonesia, namun kurang dari 10 persen yang mau melindungi dari risiko penularan dengan menggunakan kondom secara teratur pada setiap kegiatan seks komersial (PPNI, 2002). Peningkatan kasus HIV/AIDS di Indonesia dalam 4 tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Data dari Ditjen Pengendalian Penyakit Menular dan Pengendalian Lingkungan (PPM dan PL) Kementerian Kesehatan RI, tahun 2008 ditemukan kasus HIV sebanyak 489 kasus, AIDS sebanyak 4969 kasus (Depkes, 2008). Sedangkan tahun 2011 meningkat yatiu kasus HIV sebanyak 21031 kasus dan untuk AIDS sebanyak 4162 kasus (Depkes, 2011). Persentase kasus AIDS baru pada perempuan pada bulan Juni 2006 adalah 16,9% dan tahun 2011 meningkat menjadi 35,1%. Diantara perempuan yang terinfeksi HIV/AIDS di Indonesia periode tahun 2006-2011, ibu rumah tangga menduduki peringkat pertama (Kemenkes, 2011). Daerah Istimewa Yogyakarta yang merupakan salah satu propinsi di Indonesia
yang dikenal sebagai kota pelajar dan kota pariwisata memiliki tingkat lalu lintas manusia yang sangat tinggi yang membawa serta berbagai kebudayaan dan sangat memungkinkan terjadinya berbagai perilaku berisiko tertular atau menularkan HIV dan AIDS (PPDIY, 2010). Serosurvei tahun 2004 terhadap populasi berisiko tinggi di Kota Yogyakarta, saat ini Yogyakarta telah masuk pada level epidemi terkonsentrasi (concencrated epidemic level) (Subroto, 2009). Pada pertengahan tahun 2011 jumlah kasus HIV sebanyak 1418 kasus dan AIDS sebanyak 536. Prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduk pada tahun 2008 untuk propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebesar 7,5 berada pada peringkat 10 dan meningkat pada tahun 2011 menjadi 15,5 pada peringkat nomor 8 (Depkes, 2011). Laporan surveylans kasus HIV/AIDS provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1993-2011 diperoleh data jumlah perempuan yang terinfeksi HIV/AIDS adalah 322 atau sekitar 35%. Berdasarkan data seluruh penderita HIV/AIDS ibu rumah tangga menduduki peringkat keempat yaitu sebanyak 150 kasus dimana peringkat pertama adalah pekerjaan tidak diketahui sebanyak 488 kasus, profesional non medis sebanyak 195 kasus, dan peringkat ketiga adalah wiraswasta sebanyak 157 kasus. Hal ini menunjukkan kasus HIV/ AIDS khususnya di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta telah memasuki ranah rumah tangga (Dinkes DIY, 2012). Populasi risiko tertular HIV/AIDS di Kabupaten Sleman menunjukkan angka tertinggi dibandingkan dengan daerah lain di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pesatnya perkembangan tempat hiburan di Sleman dimanfaatkan untuk bisnis prostitusi. Sejumlah salon dan tempat pijat yang memberikan layanan plus mulai bermunculan (Susanto, 2008). Penolakan atau bungkam mengenai HIV sudah menjadi norma di masyarakat. HIV adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan 57
Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 9 / No. 1 / Januari 2014 beronset lambat, menyebabkan kondisi sakit dan berakibat kematian. Kebanyakan orang tidak mengetahui bagaimana HIV bisa ditularkan secara tidak rasional takut tertular dari orang terinfeksi HIV. Penularan HIV sering dihubungkan dengan pelanggaran moral yang berkaitan dengan perilaku seksual, sehingga orang yang terinfeksi HIV dicap telah melakukan hal yang buruk. Sikap seperti ini yang membuat kasus HIV/AIDS sulit ditangani karena belum diketahuinya atau status HIV disembunyikan, sehingga tidak dapat dilakukan upaya penanggulangan HIV/AIDS. Cara untuk mengetahui apakah seseorang sudah positif terinfeksi HIV atau tidak dengan melakukan tes HIV. Tes HIV merupakan upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi kasus HIV/AIDS (Susilowati, 2011). Puskesmas Sleman secara resmi membuka layanan VCT pada bulan April 2011 berupa layanan konseling sebelum dan setelah tes HIV. Pelaksanaan tes HIV dilakukan di RSUD Sleman. Berbagai upaya telah dilakukan Puskesmas Sleman untuk mensosialisasikan HIV/AIDS dan VCT ke masyarakat namun belum ada kunjungan masyarakat secara sukarela untuk melakukan tes HIV/AIDS atau datang ke layanan VCT di Puskesmas Sleman. Salah satu desa di Kecamatan Sleman yaitu desa Pandowoharjo berhasil menjadi juara I desa Peduli HIV/AIDS tingkat Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta namun di desa lain yang juga berada di kecamatan Sleman pada tanggal 30 Oktober 2011 terdapat kasus kematian ibu rumah tangga dengan anemia kronis, diare kronis, stomatitis, badan sangat kurus dengan pemeriksaan HIV positif. Diduga ibu rumah tangga tersebut tertular HIV/AIDS dari suaminya yang mempunyai riwayat sering berganti pasangan seksual. Data dari bagian kependudukan dan pemerintahan Kecamatan Sleman menyatakan jumlah perempuan di kecamatan Sleman bulan Desember 2011 lebih banyak daripada jumlah penduduk laki-laki yaitu 58
penduduk perempuan sebanyak 32.648 orang sementara penduduk laki-laki sebanyak 31.614. Berdasarkan informasi dari kader di kecamatan Sleman belum adanya kesadaran masyarakat di kecamatan Sleman untuk melakukan tes HIV/AIDS walaupun sudah terdapat kasus kematian ibu karena mereka masih menganggap bahwa HIV/AIDS adalah penyakit pekerja seks komersial yang merupakan penyakit kotor sedangkan mereka merasa aman dan bersih karena di daerah mereka tidak terdapat lokalisasi dan mereka tidak pernah bersinggungan dengan para pekerja seks. Selain itu masih ada ketakutan dicap negatif oleh masyarakat jika datang ke puskesmas untuk melakukan tes HIV/AIDS. Informasi yang diperoleh dari bidan di Puskesmas Sleman menyatakan meskipun di wilayah mereka tidak terdapat lokalisasi namun ada perilaku berisiko yang dilakukan masyarakatnya yaitu pada kelompok petani yang menggunakan wanita pekerja seks di daerah Bantul dan Kulonprogo. Pada malam hari ketika mereka mengairi sawah, mereka bersama-sama bersepeda datang ke sekitar sungai Progo yang terdapat WPS dengan tarif murah. Berdasarkan hal tersebut mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai sikap ibu rumah tangga terhadap tes HIV/AIDS di Sleman, Yogyakarta. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan focus group discussion (FGD) sebanyak 8 kelompok ibu rumah tangga yaitu kelompok I adalah, ibu rumah tangga dengan suami pekerjaan rentan tertular HIV/AIDS (sopir, buruh luar kota), kelompok II adalah, ibu rumah tangga dengan suami pekerjaaan rentan tertular HIV/AIDS (militer, pelayaran, swasta luar kota), kelompok III adalah, ibu rumah tangga dengan suami bukan termasuk kelompok rentan tertular HIV/AIDS, kelompok IV adalah, ibu rumah tangga yang hamil dengan suami pekerjaaan rentan tertular HIV/AIDS,
Sikap Ibu Rumah Tangga ... (Nanik S, Zahroh S, Kusyogo C) kelompok V adalah, ibu rumah tangga yang hamil dengan suami bukan termasuk kelompok pekerjaaan rentan tertular HIV/AIDS, kelompok VI adalah, ibu rumah tangga usia reproduksi sehat, kelompok VII adalah, ibu rumah tangga yang tinggal di desa peduli HIV/ AIDS (desa Pandowoharjo) dan kelompok VIII adalah, ibu yang tinggal di luar desa peduli HIV/AIDS. Dalam penelitian ini teknik sampel non probabilitas yaitu purposive sampling. Purposive sampling adalah pengambilan sampel sumber data dengan memilih sampel yang dianggap kaya informasi, dianggap paling tahu tentang masalah yang akan diteliti (Sugiyono, 2011). Informan primer sebanyak 48 orang dengan kriteria telah mendapatkan sosialisasi tentang HIV/AIDS dan memenuhi kriteria kelompok FGD. Triangulasi dalam penelitian ini dilakukan triangulasi sumber dan triangulasi teknik pengumpulan data yaitu dengan indepth interview kepada 2 orang bidan yaitu bidan Puskesmas Sleman sebagai tim penanggulangan HIV/AIDS dan bidan Poskesdes Pandowoharjo. Penelitian dilakukan sejak bulan Mei sampai Juni 2012. Data penelitian dianalisis menggunakan analisis kualitatif bersifat terbuka yang menggunakan proses induktif, artinya dalam pengujian hipotesa-hipotesa bertitik tolak dari data yang terkumpul kemudian disimpulkan. Proses berfikir induktif dimulai dari data yang terkumpul kemudian diambil kesimpulan secara umum (Sudarti, 2000). Analisis data dalam penelitian ini dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah selesai di lapangan. Analisis data menggunakan metode content analysis. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik informan Karakteristik informan dalam penelitian ini berdasarkan usia, kelompok I, II dan VII sebagian besar informan berusia di atas 35 tahun,
kelompok III dan VIII seluruh informan berusia di atas 35 tahun serta kelompok IV, V dan VI seluruh informan berusia antara 20 sampai 35 tahun. Berdasarkan agama sebagian besar kelompok ibu rumah tangga beragama Islam. Berdasarkan pendidikan terakhir sebagian besar informan berpendidikan SMA. Berdasarkan pekerjaan suami, sebagian besar informan kelompok I mempunyai suami dengan pekerjaan buruh luar kota dan sebagian kecil adalah sopir. Separuh dari informan kelompok II mempunyai suami dengan profesi militer dan sebagian kecil adalah pelayaran. Sebagian besar informan kelompok III dan V mempunyai suami dengan pekerjaan PNS (Pegawai Negeri Sipil). Sebagian besar informan kelompok IV dan VI mempunyai suami dengan pekerjaan buruh swasta. Separuh informan kelompok VII mempunyai suami dengan pekerjaan swasta dan separuh informan kelompok VIII mempunyai suami dengan pekerjaan PNS. Sikap Ibu Rumah Tangga terhadap tes HIV/ AIDS Berdasarkan hasil diskusi pada kelompok II dan III seluruh informan menyatakan tes HIV penting untuk mengetahui status HIV seseorang namun pada kelompok I hanya sebagian besar informan menyatakan bahwa tes HIV itu penting. Kelompok V menyatakan belum mengetahui tentang tes HIV karena belum pernah mendapatkan sosialisasi tes HIV dan belum tahu bagaimana tes HIV. Seluruh informan menyetujui tes HIV sebagai prosedur wajib dalam periksa kehamilan untuk antisipasi penularan dan pengobatan bayinya namun dari kelompok VI menambahkan tes pada ibu hamil asalkan ada keringanan biaya atau gratis. Pertanyaan tentang pendapat ibu mengenai tes HIV, jawaban informan diataranya sebagai berikut:
59
Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 9 / No. 1 / Januari 2014 “Kalau saya tetap perlu kita nggak tahu siapa yang sudah kena kan nggak ada bedanya kecuali kalau sudah parah baru kelihatan” (LAS, 42 tahun, suami militer) Seluruh informan pada kelompok I dan II menyatakan orang yang harus melakukan tes HIV adalah mereka yang termasuk dalam kelompok risiko tinggi (high risk people) dan kelompok rentan. Kelompok III menyatakan hanya laki-laki yang harus tes HIV. Kelompok IV menyatakan yang harus tes HIV adalah kelompok narkoba, PSK (Pekerja Seks Komersial), ibu hamil, laki-laki yang suka gontaganti pasangan seks, dan semua orang. Sedangkan menurut pendapat kelompok V adalah mereka yang suka pergaulan bebas, pengguna narkoba, PSK, istri-istri dan ibu hamil. Menurut kelompok VI yaitu pada semua orang khususnya PSK, orang yang suka ganti pasangan dan ibu hamil. Kelompok VII menyatakan kelompok risiko tinggi dan kelompok rentan sedangkan kelompok VIII kelompok berisiko tinggi tertular HIV yaitu PSK, pecandu narkoba dan separuh menyatakan kelompok rentan yaitu ibu hamil, sopir dan istri-istrinya. Pertanyaan tentang siapa yang harus melakukan tes HIV, menurut jawaban informan diantaranya adalah sebagai berikut: “Tes HIV itu perlu terutama mereka yang berisiko supaya bisa tahu tertular atau tidak sehingga tidak menularkan pada orang lain” (EV, 25 tahun, suami swasta ) “Suami yang berisiko yang nggak pernah pulang sepengetahuan saya terutama sopir-sopir “ (ANI, 37 tahun, suami PNS) “...ibu hamil, karena biar tahu janin yang dikandungnya itu positif apa tidak” (MRN, 35 tahun, suami buruh) 60
“...PSK ada pengguna narkoba terus yang suka gonta-ganti pasangan” (UMR, 34 tahun, suami swasta) ...termasuk ibu-ibu rumah tangga gini apalagi suaminya kita nggak setiap hari pulang” (LIN, 39 tahun, suami sopir) Seluruh kelompok ibu rumah tangga mendukung jika tes HIV diwajibkan pada ibu hamil dan termasuk dalam rangkaian pemeriksaan kehamilan. Mereka menyatakan pendapat bahwa tes HIV pada ibu hamil sebaiknya merupakan prosedur yang wajib dilakukan pada saat pemeriksaan kehamilan dengan berorientasi pada kesehatan ibu dan bayinya, demi bayi yang dikandungnya, namun harapannya tes HIV tidak memberatkan secara biaya. Alasan seseorang bersedia melakukan tes HIV/AIDS pada informan kelompok I, II dan III adalah karena mereka ingin mengetahui status HIV, bebas biaya tes HIV serta ada ajakan kader atau bersama dengan teman-teman untuk tes HIV. Pada informan kelompok II alasan tes HIV juga karena mempunyai pengetahuan yang baik dan telah mendapatkan informasi baik tentang HIV maupun tentang tes HIV serta adanya kesadaran diri untuk melakukan tes HIV. Kelompok IV adalah mereka yang merasa berisiko, biaya gratis, suami kelompok rentan, dan ingin mengetahui status HIVnya. Menurut kelompok V dan VI adalah agar tahu status HIV dan dari kelompok VI menambahkan untuk mencegah penularan terutama ke bayi dan karena jenis pekerjaanya berisiko tinggi tertular HIV. Menurut kelompok VII karena kesadaran individu kemudian faktor luar seperti motivasi, biaya dan cara mengajak. Kelompok VIII menyatakan alasan orang tes HIV adalah karena gratis dan ada temannya. Sedangkan alasan seseorang tidak bersedia seluruh kelompok menyatakan merasa aman tidak tertular HIV. Pada kelompok I melakukan tes HIV/AIDS menurut sebagian besar informan adalah karena mereka takut terhadap hasil tes,
Sikap Ibu Rumah Tangga ... (Nanik S, Zahroh S, Kusyogo C) takut terhadap stigma yang ada dan tidak tahu tempat pelayanan tes HIV/AIDS. Sedangkan pada kelompok II alasan orang tidak bersedia tes HIV adalah karena malas jika harus mengantri, biaya mahal, percaya dengan pasangan dan kurangnya informasi tentang HIV serta tingkat pendidikan yang rendah. Informan kelompok III berpendapat karena takut dan malu. Alasan orang tidak mau tes HIV menurut informan karena biaya takut hasil, takut prosedur dan takut stigma. Menururt informan kelompok VII adalah biaya, merasa aman dan tidak punya kesadaran serta pengaruh luar (tokoh dan teman) sedangkan menurut kelompok VIII karena malu, takut, petugas dan tidak tahu tempat tes. Pendapat informan tentang alasan orang bersedia dan tidak bersedia tes HIV diantaranya adalah sebagai berikut: “Gratis mbak jadi gak perlu mengeluarkan uang.. orang sini kalau disuruh yang mbayar-mbayar pada gak mau....” (SUS, 47 tahun, suami PNS) “Biasanya dianter tokoh atau kader nanti kan bareng-barang mau datang” (HAR, 37 tahun, suami wiraswasta) “Selain takut HIV mengerikan kalau saya juga takut nanti ketahuan...” (WHY, 31 tahun, suami buruh luar kota) “Iya juga bisa nggak tahu mau tes kemana, gek wis isin dulu meh takon” (TUM, 43 tahun, suami buruh luar kota) “...masih ada yang menganggap aku nggak bakal keno jadi nggak mau tes, suamiku setialah...wah hari gini kalau kita masih pegang omongan suami harus waspada” (TYS, 47 tahun, suami swasta)
“HIV masih tabu...nanti kalau tes dikira kenapa-kenapa jadi daripada isin mending gak usah tes.....petugasnya tidak bisa jaga rahasia” (SUS, 47 tahun, suami PNS) Pendapat tentang prosedur tes HIV adalah seluruh kelompok ibu rumah tangga menyatakan konseling perlu dilakukan dengan memperhatikan privasi dalam konseling baik privasi secara ruangan atau tempat dan petugas juga harus bisa menjaga rahasia. Kelompok III berpendapat konseling akan menambah pengetahuan dan mendapat dukungan mental sehingga lebih siap untuk tes HIV. Tempat konseling adalah yang nyaman dan ada ruang khusus konseling. Bagi sebagian besar informan kelompok I menyatakan ada tempat khusus konseling HIV yang tenang dan nyaman sehingga informan dapat lebih terbuka dengan konselor, selain itu tempat konseling juga harus mudah dijangkau oleh transportasi. Materi konseling sebelum tes HIV adalah yang berkaitan dengan HIV/AIDS, tes HIV/AIDS, pengobatan serta dukungan secara psikis. Petugas konseling yang diharapkan informan adalah yang ramah, sabar, bisa diajak berdiskusi, dapat menjaga rahasia dan mempunyai pengetahuan yang baik khususnya tentang HIV dan telaten. Menurut kelompok VI, petugas harus punya kepribadian sabar, ramah selain itu menguasai ilmu khususnya tentang HIV/ AIDS serta berjenis kelamin yang sama dengan orang yang akan tes HIV. “Mbayangke HIV saja sudah ngeri... apalagi ketahuan misal positif jadi ya bagus mbak kalau ada konseling biar lebih membuat tidak ngeri tapi kadang kita merasa malu ya kalau ketahuan jadi mungkin tempatnya jangan yang terbuka ada ruangan khusus, ya mungkin biar nggak ngeri, dijelaskan dulu HIV bagaimananya, petugasnya yang ramah biar nggak tambah ngeri...” (LAS, 42 tahun, suami militer) 61
Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 9 / No. 1 / Januari 2014 Menurut teori Reasoned-Action (FisbeinAjzen) sikap terhadap perilaku dipengaruhi adanya hasil pertimbangan untung dan rugi dari perilaku tersebut (Ogden, 2000). Meskipun informan belum mengetahui tentang tes HIV dan prosedur tes HIV namun mereka berpendapat tes HIV bisa memberi keuntungan bagi mereka, dengan tes HIV mereka dapat menambah pengetahuan tentang HIV/AIDS dan tes HIV, mengetahui status HIV sehingga dapat mencegah segera khususnya pada ibu hamil agar bayi yang dikandungnya dapat ditangani segera. Sedangkan kerugian tes HIV menurut informan adalah rasa takut, malu, biaya serta waktu. Namun bagi informan kelompok desa siaga peduli HIV/AIDS mereka berpendapat tidak ada rugi melakukan tes HIV. Pertimbangan bahwa tes HIV memberikan keuntungan inilah yang menjadikan mereka mendukung adanya tes HIV terutama pada kelompok rentan dan tidak rentan tertular HIV/AIDS. Teori sosial kognitif menyatakan sikap dipengaruhi oleh faktor lingkungan baik lingkungan fisik maupun sosial (Bandura, 1962). Lingkungan fisik dari pendapat informan diantaranya bentuk layanan, tempat layanan yang mudah dijangkau dan biaya. Pada kelompok ibu rumah tangga dengan suami rentan (militer, pelayaran, swasta luar kota) mereka tidak mau tes HIV karena malas mengantri untuk mendapatkan pelayanan VCT. Dengan suami yang mobilitas tinggi dan secara ekonomi mampu mereka akan memilih pelayanan yang cepat. Berbeda dengan kelompok ibu rumah tangga dengan suami rentan (sopir, buruh luar kota) yang sangat mempertimbangkan biaya dalam tes HIV seperti biaya tes gratis, tempat yang mudah dijangkau transportasi. bagi kelompok ini biaya menjadi pertimbangan utama dalam tes HIV. Lingkungan sosial yang mempengaruhi sikap ibu adalah dukungan suami, teman, kader, tokoh masyarakat dan stigma HIV/AIDS. Dukungan dapat bersifat positif namun juga dapat bersifat negatif. Menurut kelompok I, II, III dan VIII 62
mereka bersedia tes HIV jika ada temannya atau diajak kader. Teman dan kader menjadi motivator positif untuk melakukan tes HIV/ AIDS. Sedangkan menurut kelompok ibu rumah tangga yang tinggal di desa siaga peduli HIV/ AIDS menyatakan provokasi negatif dari teman dan tidak ada contoh dari tokoh masyarakat menjadi alasan seseorang tidak bersedia untuk tes HIV. Untuk mengatasi rasa takut terhadap prosedur tes, hasil tes dan stigma dapat diatasi dengan pemberian informasi tentang HIV/AIDS dan tes HIV, dukungan teman, ajakan kader dan layanan VCT gratis. Menurut Utami menyatakan bahwa salah satu faktor pembentuk sikap adalah media (Utami, 2008). Selama ini penggambaran ODHA dan HIV/AIDS di media menakutkan, mematikan dan tidak ada obatnya akibatnya masyarakat memberikan cap negatif pada HIV/AIDS. Demikian pula dengan kelompok ibu rumah tangga yang menyatakan alasan tidak bersedia tes HIV/AIDS karena takut dengan hasil dan stigma yang ada. Dengan adanya informasi tentang HIV/AIDS dan tes HIV yang benar melalui media yang ada diharapkan mereka lebih siap dan tidak perlu takut untuk tes HIV. Pengetahuan tentang HIV/AIDS dan Tes HIV AIDS Berdasarkan tabel 1 tampak kelompok ibu rumah tangga yang berdomisili di desa peduli HIV/AIDS (kelompok VII) memiliki pengetahuan yang lebih jika dibandingkan dengan kelompok lain. Bagi kelompok ibu rumah tangga di desa peduli HIV/AIDS, tes HIV tidak memberikan kerugian dan sangat menguntungkan. Teori sosial kognitif menyatakan faktor personal yang termasuk pengetahuan dipengaruhi oleh adanya lingkungan fisik dan sosial. Pengetahuan informan pada kelompok desa siaga peduli HIV/AIDS terlihat lebih jika dibandingkan kelompok yang lain. Hal ini bisa terjadi karena di desa ini mendapatkan paparan informasi yang
Sikap Ibu Rumah Tangga ... (Nanik S, Zahroh S, Kusyogo C) lebih dibandingkan desa yang lain. Informasi yang mereka peroleh selain dari Puskesmas, mereka juga mendapatkan informasi dari PKBI dan menjadikan desa mereka sebagai binaan PKBI sejak desa mereka dicanangkan menjadi juara I desa Peduli HIV/AIDS tingkat Provinsi daerah Istimewa Yogyakarta. Sementara dari desa lain sosialisasi hanya dari Puskesmas saja. Poskesdes di desa ini memasukkan program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dalam program kerja Poskesdes. Salah satu faktor yang mempengaruhi pengetahuan adalah informasi atau media. Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).
Jelas sekali pada kelompok ibu rumah tangga yang berdomisili di desa Peduli HIV/AIDS mereka lebih banyak mendapatkan informasi sehingga pengetahuan mereka juga lebih baik. Selain itu di desa ini juga telah memanfaatkan media sebagai sarana sosialisasi HIV/AIDS diantaranya spanduk yang bertuliskan layanan VCT di depan Poskesdes mereka sehingga masyarakat tidak asing lagi mendengar istilah VCT dan HIV/AIDS. Saat ini Poskesdes sedang menyusun koran desa yang memuat informasi kesehatan termasuk HIV/AIDS yang rencananya akan dibagiakn gratis kepada warganya serta meluncurkan program PAJAK (Pandowoharjo Jaringan Komunikasi) yaitu memanfaatkan jaringan komunikasi seluler untuk memberikan informasi yang cepat kepada kadernya dan dapat diteruskan ke warganya.
Tabel 2. Pengetahuan Informan tentang HIV/AIDS dan Tes HIV/AIDS Informan tahu tentang:
I gejala, penularan pencegahan HIV siapa saja yang harus tes
II definisi HIV/ AIDS dan tes HIV gejala, penularan pencegahan HIV definisi tes, siapa yang harus tes, tempat tes
III gejala, penularan, pencegahan siapa yang harus tes
KELOMPOK IV V definisi HIV definisi, dan tes HIV, penyebab penularan penyebab, HIV penularan siapa yang HIV prosedur tes, harus tes orang yang tempat tes harus tes, tempat tes HIV
Belum tahu Penyebab tentang: HIV, pengobatan HIV/ AIDS definisi tes, prosedur tes, hasil, tempat tes Keuntungan tahu status, tes lebih siap untuk pengobatan, perawatan.
Pengobatan Penyebab prosedur,hasil HIV/ AIDS tes pengobatan definisi tes, prosedur, hasil tes.
Gejala, pengobatan hasil tes
tahu status HIV
tahu status HIV, menambah pengetahuan
tahu status, menambah pengetahuan pengalaman proteksi diri.
Kerugian tes
malu, takut stres waktu.
takut, malu, tidak tahu status, uang
biaya dan takut
gejala HIV pengobatan definisi tes, prosedur tes
tahu status HIV, menambah pengetahuan dapat diobati segera takut malu, biaya, (prosedur, depresi, hasil, stigma) beban pikiran
VI definisi, penyebab, penularan siapa yang harus tes hasil tes.
VII definisi, penyebab HIV, penularan HIV, gejala, pengobatan HIV prosedur tes, tempat tes hasil tes
gejala, tidak ada pengobatan HIV definisi tes HIV prosedur tes.
tahu status, menambah pengetahuan penanganan segera.
VIII Definisi penularan, siapa yang harus tes
Penyebab gejala, pengobatan prosedur tes, tempat tes hasil tes
tahu status tahu status HIV, HIV menambah pengetahuan pengalaman
takut tes dan tidak ada biaya
malu, biaya waktu
63
Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 9 / No. 1 / Januari 2014 Sikap terhadap Layanan VCT di Puskesmas Sleman Informan menyatakan alasan seseorang bersedia datang ke layanan VCT adalah jika biaya VCT gratis, ingin mengetahui tentang informasi HIV/AIDS, ingin mengetahui tentang status HIV dan adanya kesadaran untuk datang ke layanan VCT. Sementara kelompok VII menambahkan karena adanya dukungan tokoh masyarakat, ada yang mengajak dan cara mengajak sesuai dengan kondisi masyarakat sedangkan kelompok V menyatakan jika ada imbalan seperti mendapatkan sembako. Pendapat informan tentang alasan seseorang tidak bersedia datang ke layanan VCT adalah jika harus membayar, adanya rasa takut terhadap prosedur tes, takut terhadap hasil tes dan malu. Kelompok VII menambahkan yaitu tidak adanya dukungan suami dan tokoh masyarakat serta adanya provokasi negatif dari teman. Pendapat informan tentang hal tersebut dia atas tampak dalam pernyataan berikut: “Ada yang bilang kalau tahu jadi malah...orang jawa bilangnya gini mendingan aku ra ngerti daripada aku ngerti malah dadi pikiran” (WHY, 31 tahun, suami buruh luar kota) “...kalau saya kok yang berisiko tadi malah malu ya ke Puskesmas mungkin yang kesana justru kader-kader karena ingin tahu” (DEW,49 tahun, suami PNS) “Dia sadar, biasanya ibu-ibu muda yang punya pengetahuan lebih bagus” (LAS, 42 tahun, suami militer) “..malu juga bu, kan malu di pendaftaran bilang mau ke VCT padahal pendaftaran antri terus nanti juga kelihatan orang” (ANI, 37 tahun, suami PNS)
64
Sikap dipengaruhi adanya faktor lingkungan sosial (dukungan suami, pengaruh teman, tokoh masyarakata, kader, petugas) dan lingkungan fisik (sarana dan prasarana Puskesmas) (Bandura, 1962). Kelompok ibu rumah tangga menyatakan mereka bersedia datang ke Puskesmas jika biaya VCT gratis. Biaya menjadi salah satu penghambat bagi ibu rumah tangga memanfaatkan layanan VCT di Puskesmas namun di sisi lain Puskesmas tidak bisa memberikan layanan gratis karena ada aturan Perda yang sudah mengatur tarif pelayanan di Puskesmas. Sebagai solusinya Puskesmas mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak diantaranya PKBI. PKBI dapat memberikan layanan gratis VCT namun belum bisa memberikan layanan keseluruh desa di Kecamatan Sleman. Bagi kelompok desa peduli HIV/AIDS, dukungan tokoh masyarakat menjadi motivator mereka untuk memanfaatkan layanan VCT yang ada. Sikap tokoh masyarakat terhadap tes HIV/ AIDS dapat menjadi contoh bagi warganya untuk mau melakukan tes HIV. Namun sebaliknya tidak ada dukungan tokoh masyarakat terhadap tes HIV/AIDS seperti tidak memberikan informasi kepada warganya dapat membuat warganya khususnya ibu rumah tangga tidak mau datang ke layanan VCT di Puskesmas. Keyakinan Ibu Rumah Tangga terhadap Dukungan Suami, Teman dan Tokoh Masyarakat Seluruh informan yakin bahwa suami mendukung sikap mereka terhadap tes HIV. Kelompok IV, V dan VI kurang yakin teman dan tokoh masyarakat mendukung tes HIV bahkan bagi kelompok VI tokoh maysarakat kurang didengarkan oleh warganya. Seluruh informan menyatakan suami adalah orang yang paling berpengaruh pada sikap mereka terhadap tes HIV/AIDS. Pernyataan informan diantaranya sebagai berikut:
Sikap Ibu Rumah Tangga ... (Nanik S, Zahroh S, Kusyogo C) “Suami saya yang penting saya nggak neko-neko kalau untuk kesehatan mendukung “ (SUN, 32 tahun, suami swasta). “Ya mendukung, nek dalam keluarga harus saling mendukung mbombong.... petugasnya harus sosialisasi dulu ke masyarakat atau ke suami jadi bisa mengijinkan” (SUR, 44 tahun, suami PNS “Suami saya kebetulan dukuh juga... ya dia sangat mendukung buktinya pas saya pamit diskusi ini dia bilang mbok ibuibune yang lain yo diajak” (LIN, 34 tahun, suami wiraswasta) “Tempat saya ada yang nggak mendukung, ini tadi sebenarnya yang mau datang berdua tapi yang satu dibilangin bu dukuhe nggak usah datang saja nanti malah di tes segala malah dikira kenapa sudah dijaga saja hamilnya (MRN, 35 tahun, suami buruh). Seharusnya sosialisasi Puskesmas juga menyasar pada suami sebagai kepala keluarga dan sangat sesuai pada masyarakat dengan kultur patrilineal seperti di kecamatan Sleman ini. Dalam teori sosial kognitif, suami, teman dan tokoh mayarakat serta petugas kesehatan termasuk dalam kelompok lingkungan sosial yang mempengaruhi sikap ibu terhadap tes HIV. Jika suami mendukung tes HIV maka bisa dipastikan istri dan anggota keluarga lainnya dapat melakukan tes HIV, demikian pula sebaliknya jika suami tidak mendukung tes HIV, kemungkinan isteri dan anggota keluarga lain melakukan tes HIV sangat kecil. Dukungan teman biasanya terwujud dalam berasama-sama melakukan tes HIV dan ibu rumah tangga menyukai kegiatan yang ada temannya, namun secara keputusan tetap suamilah yang lebih berpengaruh. Bahkan adapula provokasi dari teman untuk tidak
melakukan tes HIV. Ada pendapat dari informan yang menyatakan mereka juga mendengarkan apa yang dikatakan tokoh masyarakat. Demikian pula suami cenderung juga mendengarkan apa kata tokoh mereka. Dalam penanggulangan HIV khususnya pada ibu rumah tangga, sebaiknya ada pendidikan kesehatan atau sosialisasi pada tokoh masyarakat sehingga tokoh bisa menggerakkan para suami untuk mendukung tes HIV. Hal nyata yang peneliti alami pada penelitian ini adalah adanya sikap dari tokoh masyarakat yang tidak mengijinkan warganya untuk hadir dalam FGD karena dengan alasan untuk menjaga warganya yang kebetulan kelompok ibu hamil agar tidak datang supaya lebih fokus pada kehamilannya saja dan khawatir jika ada apa-apa di belakangnya yang berhubungan dengan pandangan negatif tentang HIV/AIDS. Kekhawatiran ini bisa jadi karena tokoh masyarakat belum mengetahui tentang HIV/ AIDS yang justru ibu hamil sangat rentan dalam masalah penularan HIV, mereka dapat menularkan HIV ke bayinya namun pendapat dari tokoh masyarakat justru ibu hamil sebaiknya tidak usah ikut kegiatan seperti ini. Sikap ini dapat menjadi faktor penghambat dalam program pencegahan dan penanggulangan HIV khususnya program PMTCT (Prevention of Mother To Child Transmission). Namun ada pula yang tokoh masyarakat sangat mendukung warganya terbukti dengan menyatakan kalau bisa lebih banyak warganya yang dilibatkan dalam penelitian ini dan termasuk dari desa Pandowoharjo juga merencanakan akan mengeluarkan peraturan desa tentang penanggulangan HIV/AIDS di wilayah mereka. SIMPULAN Sikap ibu rumah tangga terhadap tes HIV bahwa seluruh informan mendukung pelaksanaan tes HIV. Sikap kurang baik terdapat pada kelompok ibu dengan suami tidak rentan tertular HIV/AIDS yaitu menganggap ibu tidak mungkin terkena HIV dan hanya laki-laki yang harus 65
Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 9 / No. 1 / Januari 2014 melakukan tes HIV. Sikap informan terhadap stigma ODHA adalah tidak ada diskriminasi dan mendukung ODHA, sedangkan stigma terjadi bila ODHA adalah pasangannya yaitu pada kelompok ibu rumah tangga dengan suami rentan tertular HIV/AIDS (militer, pelayaram, swasta luar kota), ibu rumah tangga desa peduli HIV/ AIDS dan ibu rumah tangga di luar desa peduli HIV/AIDS. Sikap terhadap layanan VCT adalah seluruh informan mendukung keberadaan layanan VCT di Puskesmas meskipun mereka belum mendapat sosialisasi. Sikap kurang baik terjadi pada kelompok ibu hamil dengan suami tidak rentan yang menganggap layanan VCT di Puskesmas sulit diterima karena masyarakat masih malu dan takut dianggap terkena HIV/ AIDS. Orang yang paling berpengaruh dalam sikap ibu terhadap tes HIV adalah suami. KEPUSTAKAAN Bandura, A. 1962. Social Learning Through Imitation. Dalam M.R. Jones (Ed), Nebraska Symposium On Motivation.Vol 10. University of Nebraska Press: Lincoln. Depkes. 2008. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia: Dilapor s.d. Desember 2008. Ditjen PPM dan PL Depkes RI: Jakarta. Depkes. 2011. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia: Dilapor s.d. Desember 2011. Ditjen PPM dan PL Depkes RI: Jakarta. Dinas Kesehatan Propisi Daerah Istimewa Yogyakarta. 2012. Data Kasus HIV&AIDS DIY. Yogyakarta. Kemenkes. 2011. Laporan Situasi Perkembangan HIV & AIDS di Indonesia, 30 Juni 2006 sampai dengan 30 Juni 2011. Jakarta. Jane,Ogden. 2000. Health Psychology A Text Book. Open University Press: BuckinghamPhiladelphia.
66
Notoatmodjo S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta: Jakarta. PPDIY. 2010. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 12 Tahun 2010 tentang Penanggulangan Human Immunodefficiency Virus (HIV) dan Acquired Immuno Defficiency Sindrome (AIDS). PPNI. 2002. Wanita Penjaja Seks, Pelanggannya dan HIV/AIDS. Pengurus Pusat PPNI: Jakarta. Subroto, Y. 2009. HIV/AIDS di Jogja Meningkat 200%. Diunduh tanggal 10 Maret 2009 dari SatuDunia.mht Sudarti Kresno,dkk. 2000. Aplikasi Metode Kualitatif dalam Penelitian Kesehatan. FKM UI: Jakarta. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta: Bandung. Susanto A. 2008. Populasi Risiko tertular HIVAIDS di Sleman Tertinggi. http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/10/ 13081197/populasi.risiko.tertular.hivaids. di.sleman.tertinggi Tana Susilowati. 2011. Modul Pengobatan dan Perawatan Pasien HIV dan AIDS Panduan Pelatihan Klinis Bagi Tenaga Kesehatan di Puskesmas dalam Pengobatan dan Perawatan Orang yang Terinfeksi HIV Bagian A (Bab I-V). Center for Health Policy and Social Change (CHPSC): Yogyakarta. Utami, Sri Rahayuningsih. 2011. Psikologi Umum 2. 2008. http//www.google.com diunduh 2 Februari 2011.