Tersedia online di: http://ejournal.uin-suka.ac.id/jurnal/volume/MSW
La Jamaa: Advokasi Hak-hak Istri dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Islam Musawa,15(1), 2016
ADVOKASI HAK-HAK ISTRI DALAM RUMAH TANGGA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM La Jamaa Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ambon
[email protected]
Abstract Marriage gives material and immaterial rights to the wife in the household. But in social reality, many wives do not enjoy the rights of material and non-material, because the husband does not carry out his obligations responsibly. Therefore, forms of Islamic legal protection of the rights of the wife must be studied. The analysis focuses on advocacy for the rights of wives for dowry, living fulfillment, and a sense of security, in the perspective of Islamic law, to better protect the wife.
Keywords: Rights of the wife, advocacy, Islamic law Pendahuluan Islam merupakan agama rahmatan lil ’alâmîn, membawa kedamaian dan kesejahteraan bagi semua makhluk di alam semesta ini. Selaras dengan hal itu, ajaran Islam memadukan antara urusan ukhrawi yang berdimensi ilahiah dan sakral dengan urusan duniawi yang berdimensi insani dan profan. Dengan demikian eksistensi ajaran Islam pada umumnya dan hukum Islam pada khususnya tidak sekedar berada dalam tataran teoritis, namun mampu membumi dalam realitas kehidupan manusia. Hukum Islam sebagai bagian dari totalitas ajaran Islam merupakan rambu-rambu bagi umat Islam khususnya dan manusia pada umumnya dalam menjalani lalu lintas kehidupan. Hukum Islam mengatur semua aktivitas manusia sejak lahir di alam ini hingga meninggal, sejak tidur hingga bangun kembali, termasuk rumah tangga yang dibangun melalui pernikahan. Pernikahan merupakan institusi yang mengikat dua insan yang berbeda jenis kelamin, karaktek dan kebiasaan dalam satu tujuan mulia, mewujudkan rumah tangga yang bahagia. Istri mengemban tanggung jawab yang tak ringan dalam kehidupan rumah tangga terutama dalam kaitannya dengan fungsi mengandung, melahirkan dan menyusui serta memelihara anakanaknya. Bahkan istri berkewajiban pula melayani suaminya. Sebab itu istri mendapat hak-hak
yang seimbang dengan kewajibannya dari suami, untuk meraih kebahagiaan hidup berumah tangga. Hal itu berarti kebahagiaan rumah tangga bukan monopoli suami, akan tetapi merupakan hak bersama antara suami dengan istri. Bahkan kebahagiaan rumah tangga mustahil bisa diwujudkan tanpa adanya jalinan kasih sayang antara suami dan istri yang tetap menghargai hak-hak kedua belah pihak. Namun demikian sering muncul peristiwa pelanggaran hak-hak istri dalam rumah tangga, sehingga istri merasakan rumah tangganya bukan lagi baytî jannatî (rumahku surgaku), melainkan baytî nâr (rumahku seperti neraka). Karena itu Nabi saw pada satu sisi menganjurkan pernikahan kepada pemuda muslim, namun pada sisi lain anjuran itu tetap memperhatikan aspek kemampuan calon suami dalam memenuhi hak-hak calon istrinya.1 Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa relasi suami istri dalam perkawinan merupakan mitra yang sejajar dan bukan relasi subordinasi dari suami dan mengabaikan hakhak istri. Karena itu istri memiliki hak-hak dalam rumah tangga, baik berkaitan dengan nafkah, tempat tinggal, maupun rasa aman. Namun Lihat Abû al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairî al-Naisaburi, Sahîh Muslim, cet. ke 1; I (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992), 6. 1
Copyright 2016, MUSAWA, p-ISSN 1412-3460, e-ISSN: 2503-4596
83
Musãwa, Vol. 15, No. 1 Januari 2016
demikian realitas menunjukkan fakta sebaliknya, sebab tidak sedikit istri yang diabaikan hakhakya sehingga dia harus berusaha keras memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan anak-anaknya lantaran suaminya tidak memberikan nafkah. Bahkan tidak sedikit suami yang menyalahgunakan izin poligami tanpa memenuhi kebutuhan istri-istri dan anaknya. Jika istri berani menuntut hak nafkah kepada suami, suami tak segansegan mengancamnya, baik secara psikologis maupun fisik.2 Ironisnya mayoritas pelaku dan korbannya adalah muslim, sehingga muncul kesan seolah-olah hukum Islam tidak memberikan advokasi terhadap hak-hak istri dalam rumah tangga. Tulisan ini memilih fokus pada advokasi hak-hak material, baik mahar maupun nafkah, dan hak-hak non material (rasa aman dan pemenuhan kebutuhan seksual secara layak dan bermartabat) istri dalam perspektif hukum Islam. Advokasi Hak-hak Isteri Perspektif Hukum Islam Hak-hak istri yang diatur dalam syariat Islam dalam garis besarnya ada dua macam; hak yang bersifat material (lahiriah) dan hak bersifat non material (batiniah). Hak-hak istri pada dasarnya merupakan kewajiban bagi suami. Advokasi Hak-hak Isteri yang Bersifat Material Manusia adalah makhluk yang memiliki unsur jasmani dan rohani. Karena manusia membutuhkan materi untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya (kebutuhan lahiriah), dan hal-hal non materi untuk memenuhi kebutuhan batiniahnya. Begitu pula isteri, ia sangat membutuhkan materi untuk menopang hidupnya. Dalam ikatan pernikahan pemenuhan kebutuhan lahiriah isteri menjadi kewajiban suami. Di antara kewajiban lahiriah suami dan menjadi hak isteri tersebut, adalah:
Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Kata saduqât dalam ayat di atas merupakan jamak dari kata sidaq, suduq, dan sadûqah, yang berarti mahar atau maskawin. Pada asalnya kata dasar kalimat ini (s-d-q) berarti kekuatan pada sesuatu. Mahar disebut sadaq, sebab hal itu mengisyaratkan adan kesungguhan dan kebenaran kemauan dari seseorang yang meminang. Mahar adalah pemberian yang wajib diberikan oleh calon suami kepada istrinya saat akan melangsungkan pernikahan, baik berupa uang maupun barang, sebagai bukti keikhlasannya menikahi calon istrinya.3 Mahar juga menjadi simbol kesungguhan suami memenuhi tanggungjawabnya dalam memenuhi hak-hak material istri dan anaknya,4 serta pertanda kebenaran dan kesungguhan cinta suami kepada istrinya.5 Sebab itu mahar tidak dapat dipersepsikan sebagai nilai atau harga seorang istri. Mahar merupakan pemberian suami kepada istri yang ditentukan oleh syariat. Dengan demikian, pemberian mahar merupakan tanda kasih sayang dan menjadi bukti adanya ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membangun rumah tangga.6 Berdasarkan redaksi ayat di atas menunjukkan, bahwa mahar wajib dibayarkan oleh suami kepada istrinya. Hal itu diperkuat oleh firman Allah Q.S. al-Nisa [4]: 24
Artinya: …Maka isteri-isteri yang telah kamu ni’mati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, cet. ke 3, II (Jakarta: Departemen Agama RI, 2009), 114-115. 4 Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’ân: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, cet. ke 12 (Bandung: Mizan, 2001), 156. 5 Lihat Abû al-Fadl Syihab al-dîn al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, IV (Beirut: Ihyâ’ al-Turaú al-‘Arabî, 1985), 77. 6 Lihat Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, II: 117. 3
Mahar Menurut al-Qur’an, istri memiliki hak materil istri menerima mahar dari suaminya, sesuai firman Allah Q.S. al-Nisa [4]: 4 Lihat Putusan Perkara Pidana Pengadilan Negeri Ambon Nomor 56/Pid.B/2008/PN.AB, tanggal 30 April 2008, 2-3. 2
84
La Jamaa: Advokasi Hak-hak Istri dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Islam
mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat ini menunjukkan bahwa mahar bukanlah imbalan dari suami semata, atau kerelaan perempuan untuk menjadi istrinya, melainkan sebagai tanda cinta dan keikhlasan suami kepada istrinya, yang menurut QS al-Nisa: 4 mahar itu sebagai suatu pemberian. Sebab itu jika terjadi perbedaan antara jumlah mahar yang dijanjikan dengan yang diberikan, maka istri boleh merelakan sebagian mahar itu. Mahar wajib dibayarkan sebelum akad nikah atau sebelum hubungan biologis suami istri, bahkan menurut mazhab Hanafiah, wajib dibayarkan setelah suami istri mengasingkan diri dalam sebuah tempat yang tertutup. Mahar yang telah ditetapkan jumlahnya boleh ditambah, dikurangi atau dihapuskan atas kerelaan kedua belah pihak.7 Meskipun mahar merupakan simbol atau lambang tanggungjawab dan cinta suami kepada istrinya, namun mahar harus berupa materi minimal atau barang senilai harga sebuah cincin besi, seperti yang diisyaratkan Nabi saw kepada seorang pemuda miskin yang tak mampu memberi mahar berupa materi, Nabi saw bersabda:
Lihat ibid., 147-148. Abul A’la Almaududi, Huqûq al-Zaujaini, terj. Abu ‘Amir ‘Izza Rasyid Isma’il, Menjaga Keutuhan Rumah Tangga Islami dengan Menjaga Hak Suami Isteri (Yogyakarta: Absolut, t.t.), 121.
8 Artinya: “Lihatlah walaupun sebentuk cincin dari besi.” Lalu dia pergi kemudian kembali lagi seraya berkata: “Tidak ada wahai Rasulullah bahkan cincin besi pun tidak ada, hanya ini sarungku (Sahl berkata, ia memiliki selembar sarung), maka wanita itu bisa mendapat separuhnya.” Rasulullah saw bertanya lagi: “Apa yang bisa kau perbuat dengan sarungmu itu? Karena jika kau memakainya maka ia tak bisa memakainya?” Orang itu lalu duduk cukup lama, lalu ia berdiri pergi dan Rasulullah saw menyuruh memanggilnya. Setelah ia datang, beliau bersabda: “Apa saja yang kau bisa dari Al-Qur’an?” Ia Menjawab: “Saya bisa surat ini, surat ini dan surat ini,” ia menghitung surat-surat yang ia bisa. Beliau saw bertanya: “Apakah kau hafal surat-surat itu?” Ia menjawab: Ya. Beliau bersabda: “Bawalah wanita itu karena aku telah menikahkan kau dengan mahar Al-Qur’an yang kau hafal itu [HR Bukhari dan Muslim].
Hadis atas menunjukkan, bahwa pemberian mahar berupa sebentuk cincin besi dapat dianggap sebagai standar mahar bagi fakir miskin. Hal itu menunjukkan sifat fleksibilitas hukum Islam dalam penentuan mahar. Dengan demikian yang dapat dijadikan mahar adalah segala sesuatu yang memiliki nilai dan halal serta bermanfaat bagi isteri baik berupa material maupun non material (jasa), misalnya hafalan al-Qur’an, mengajarkan al-Qur’an kepada istri atau jasa lainnya sesuai dengan keinginan istri. Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa mahar merupakan hak mutlak dari istri sehingga dia berhak memprotes terhadap tindakan orang yang membatasi jumlah maharnya. Jelasnya, hukum Islam tidak menentukan ukuran khusus tentang besar kecilnya mahar, sehingga pada saat khalifah Umar bin Khattab berencana membatasi jumlah mahar maksimal 40 uqyah, kontan ide Umar itu dikritik seorang perempuan yang vokal mengatakan, bahwa Umar tidak berhak memberi batasan mahar. Perempuan yang kritis itu mengajukan dalil firman Allah Q.S. al-Nisa [4]: 21
7
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mugirah bin Bardizbah al- Bukhârî, Sahîh al-Bukhârî, cet. ke 1 (Beirut: Dâr al- Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1992), V: 464. 8
85
Musãwa, Vol. 15, No. 1 Januari 2016
Artinya: Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Maka Umarpun menjawab; imra-atun asâbat wa rajulun akhma (perempuan itu telah berkata benar dan si lak-laki (Umar) telah keliru). 9 Padahal pada saat mengeluarkan ide membatasi jumlah mahar itu, Umar berkedudukan sebagai khalifah kedua. Hal itu berarti, bahwa ide Umar bukan dalam kapasitas pribadi, melainkan kebijakan seorang khalifah (kepala negara). Namun demikian Umar tidak arogan memaksakan kebijakannya dan justru bersedia mengakui ide (kebijakan)nya itu keliru. Padahal Umar pernah mengatakan:
Artinya: ‘Janganlah kamu berlebih-lebihan dalam memberi mahar kepada perempuan/istri, karena jika dia perempuan yang mulia di dunia atau yang terpelihara di akherat, maka orang yang paling utama dalam menghormati perempuan di antaramu adalah Nabi saw. Padahal Rasulullah saw memberi mahar kepada para istrinya dan menerima mahar anak perempuannya tidak lebih dari 12 uqiyah. (HR. Lima imam hadis).10
Fleksibilitas jumlah mahar relevan dengan konteks sosiologis umat Islam yang berbeda, baik ruang maupun waktu sekaligus mewujudkan kemaslahatan umat. Jika kebijakan khalifah Umar menetapkan jumlah maksimal mahar 40
Lihat Abul A’la Almaududi, Menjaga Keutuhan Rumah Tangga, 148-149. 10 Lihat Faisal bin Abdil Aziz Ali Mubarak, Bustân alAkhbâr Mukhtacar Nail al-Aumâr, terj. Mu’ammal Hamidy, dkk., Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadis-Hadis Hukum, cet. ke 3, V (Surabaya: Bina Ilmu, 2001), 2232. 9
86
uqiyah11 itu tidak dikoreksi oleh perempuan yang kritis tersebut, maka akan dianggap sebagai standar maksimal yang harus diberlakukan dalam setiap ruang dan waktu bagi umat Islam, sebab kebijakan Umar itu dikeluarkan dalam kapasitasnya sebagai khalifah, sehingga mengikat bagi umat Islam. Daya ikatnya secara hukum bukan saja terhadap umat Islam di jazirah Arab pada masa itu, namun akan berlaku juga untuk untuk umat Islam di luar jazirah Arab dalam setiap kurun waktu. Keluwesan kebijakan khalifah Umar tersebut dapat dimaknai sebagai tanggungjawab seorang pemimpin negara dalam menjaga hak-hak individual warga negaranya, tanpa membedakan jenis kelamin. Jika Umar memaksakan kebijakannya dalam membatasi jumlah mahar tersebut, maka kebijakan itu akan merampas hak-hak individual perempuan terhadap mahar yang menjadi haknya sebagai istri. Sebagai hak individual, istri berhak menentukan sendiri bersama suami jumlah mahar yang akan diserahkan suami kepadanya. Hak itu tidak bisa diambil alih oleh pemerintah. Sebab itu kebijakan pemerintah harus membawa kemaslahatan kepada rakyatnya, sesuai kaidah fiqh: tacarrufu al-imâm ‘ala al-râ’iyati manûmun bi al-maclahah (kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus berorientasi kepada kemaslahatan rakyatnya).12 Hal itu mengandung fleksibilitas bagi perempuan dalam menentukan maharnya sesuai dengan status sosial istri dan kemampuan ekonomi suaminya, sehingga jumlah mahar perempuan dari keluarga kaya yang bersuamikan orang kaya, wajar saja dia menerima mahar sebuah rumah mewah, mobil mewah atau perhiasan mahal. Namun hal itu tidak bisa dijadikan standar oleh perempuan kaya namun bersuamikan orang yang berpenghasilan menengah ke bawah, apalagi perempuan miskin yang bersuamikan orang miskin. Jelasnya, bahwa mahar itu harus sesuai dengan status 4 uqiyah = 16 dirham. Jadi, 40 uqiyah = 160 dirham. Lihat Abul A’la Almaududi, Menjaga Keutuhan Rumah Tangga, 291. 12 Jalâluddîn al-Sayutî, Al-Asybah wa al-Nahair fî Qawâ’id wa Furû’ al-Syafi’î, cet. ke 1 (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1979), 134. 11
La Jamaa: Advokasi Hak-hak Istri dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Islam
sosial perempuan (istri), tidak boleh mengurangi derajat sosial pihak perempuan (istri).13 Karena itu kesepakatan penentuan jumlah mahar antara suami istri tidak identik dengan prinsip tawar menawar dan kerelaan dalam jual beli antara pembeli dengan penjual. Pemahaman terhadap jumlah mahar yang fleksibel itu telah membumi dalam realitas kehidupan umat Islam di Indonesia. Jumlah mahar yang menjadi tradisi tiap daerah berbedabeda. Meskipun ada masyarakat daerah tertentu yang menetukan besar mahar yang memungkinkan istri bisa hidup mandiri jika suami menceraikannya, namun jumlahnya berdasarkan kesepakatan antara suami istri. Realitas tersebut juga menunjukkan keluwesan hukum Islam dalam tataran praktis, sesuai dengan kaidah hukum Islam: taghayyaru al-fatwâ wa ikhtilâfuhâ bi hasbi taghayyuri al-azminati wa alamkinati wa al-ahwâl wa al-niyyâti wa al-‘awâid (fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat, keadaan, niat dan adat kebiasaan). 14 Sehingga hukum Islam dapat memberikan kemaslahatan kepada umatnya yang cocok pada segala waktu dan ruang (ºalihun likulli zaman wa makan). Karena itu pula ayat 21 surat al-Nisa mengandung larangan suami mengambil kembali mahar yang telah diberikan kepada istrinya. Suami juga dilarang menarik kembali harta lainnya yang telah diberikan kepada istrinya.15 Dalam kaitan itu al-Jilânî mengemukakan, bahwa mahar merupakan hak milik istri, yang tidak bisa direkayasa sebagai barang pinjaman atau sewaan dari suami kepada istri.16 Karena itu pula mahar itu merupakan pemberian secara sukarela, spontan tanpa paksaan dari suami kepada istrinya.17 Kepemilikan istri terhadap mahar bersifat hakiki, sebab itu mahar harus berupa materi yang konkrit dan bisa dimiliki secara langsung dan bisa dimanfaatkan. Lihat‘Abd al-Qâdir al-Jilânî, Tafsîr al-Jilânî, I (Istanbul: Markaz al- Jilânî li al-Buhuœ al-‘Ilmiyyah, 2009), 383. 14 Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, I’lâm al-Muwâqi’în ‘an Rabb al-‘Àlâmîn, III (Beirut: Dâr al-Jayl, t.t.), 3. 15 Lihat Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, II: 135. 16 Lihat al-Jilânî, Tafsîr al-Jilânî, I: 383. 17 Lihat al-Alûsî, Rûh al-Ma’ânî, IV: 77. 13
Ketentuan itu pada hakekatnya merupakan bentuk advokasi hukum Islam terhadap kepemilikan istri atas mahar dari kesewenangan suami atau kerabat istri. Dengan demikian advokasi hukum Islam bukan saja memberikan hak istri menentukan jumlah mahar yang berhak dia terima, namun juga melalui pelarangan suami mengambil kembali mahar yang telah diberikan kepadanya tanpa keikhlasan istri. 18 Sehingga istri memiliki kemandirian dalam mendayagunakan mahar yang dimilikinya, tanpa intervensi pihak lain. Karena itu pula istri bebas memberikan mahar kepada orang lain atas kemauannya sendiri, termasuk kepada suaminya. Begitu juga yang menjadi tradisi masyarakat kecamatan Salahutu dan Leihitu di Pulau yang menganjurkan perempuan (istri) menyerahkan sebagian mahar yang telah diterimanya kepada ibunya sebagai “pengganti air susu ibu,” bukanlah dalam konteks perampasan mahar, melainkan hanya sebagai sarana pendidikan keluarga.19 Hal itu berarti, hukum Islam sangat menghormati hak ekonomi perempuan (istri) sebagaimana yang dicontohkan oleh khaliah Umar bin Khattab. Nafkah Menurut al-Qur’an pernikahan bertujuan untuk membentuk rumah tangga yang harmonis (sakinah) yang dilandasi oleh rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah). Salah satu cara membangun dan menjaga keharmonisan suami istri itu adalah pelaksanaan hak dan kewajiban antar setiap anggota dalam rumah tangga. 20 Keharmonisan rumah tangga mustahil bisa tercapai tanpa adanya kesadaran dan kepedulian Muhammad Rasyid al-Uwayyid, Min Ajli Tahrir Haqiqi li al-Mar’ah, terj. Ghazali Mukri, Pembebasan Perempuan, cet. ke 1 (Yogyakarta: ‘Izzah Pustaka, 2002), 37. 19 Pemberian sebagai mahar kepada ibunya sebagai tanda “berbakti” kepada ibunya sekaligus mengingatkan anak perempuan yang telah menjadi berstatus istri terhadap pengorbanan ibunya sejak mengandung hingga membesarkannya. Mahdi Malawat, Tokoh Masyarakat Desa Mamala, “wawancara,” Ambon, 31 Januari 2016. 20 Lihat M. Nur Kholis Setiawan, Pribumisasi Al-Qur’an Tafsir Berwawasan Keindonesiaan, cet. ke 1 (Yogyakarta: Kaukaba, 2012), 25. 18
87
Musãwa, Vol. 15, No. 1 Januari 2016
dalam melaksanakan kewajiban untuk mewujudkan hak pasangannya. Dengan demikian dibutuhkan adanya saling pengertian yang baik antara suami istri. Kewajiban suami secara materil yang menjadi hak istri adalah nafkah (nafaqah). Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap istrinya dalam bentuk materi, sebab term nafaqah berkonotasi materi. Kata nafaqah berasal dari kata anfaqa secara bahasa bermakna berkurang ( ), atau hilang atau pergi (). Jika kata ini dikaitkan dengan perkawinan mengandung makna “sesuatu yang dikeluarkan dari hartanya untuk kepentingan istrinya sehingga menyebabkan hartanya menjadi berkurang.” Dengan demikian nafkah adalah pemberian yang wajib dilaksanakan suami kepada istrinya selama dalam ikatan pernikahan.21 Nafkah pada hakekatnya merupakan kompensasi yang harus ditanggung suami terhadap peran istri merawat, dan mendidik anak-anak yang secara tidak langsung membatasi kesempatan istri bekerja dan mendapatkan penghasilan.22 Istri berhak mendapatkan nafkah dari suaminya mencakup belanja, pakaian dan tempat tinggal. Hak nafkah istri tersebut bukan disebabkan oleh karena istri membutuhkannya dalam kehidupan rumah tangga, namun hal itu merupakan hak yang muncul dengan sendirinya tanpa dikaitkan dengan kondisi istri. Jelasnya, meskipun istri kaya, namun dia tetap berhak menerima nafkah dari suaminya. Nafkah yang menjadi hak istri itu mencakup kebutuhan pokok bagi kehidupan suatu rumah tangga, sebab tidak nyaman kehidupan rumah tangga tanpa pangan, sandang, dan papan. Bahkan jumhur ulama memasukkan alat kebersihan dan wangi-wangian ke dalam kelompok yang wajib dibiayai suami, begitu juga peralatan tempat tidur sesuai tradisi daerah setempat. Jika istri tidak biasa memberikan Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, cet. ke 3 (Jakarta: Kencana, 2011), 165. 22 Lihat Aminah Wadud, Qur’an and Women: Rereading the Sacred Text from a Women’s Perspective (New York, Oxford: Oxford University Press, 1999), 70, dalam Nur Hidayah, “Reinterpretasi Hak-Hak Ekonomi Perempuan dalam Islam,” Jurnal Ilmu Syariah Ahkam, Vol. XIV, No.1 (2014), 91. 21
88
pelayanan dan terbiasa menggunakan jasa pembantu, maka suami wajib menyediakannya.23 Hak istri atas nafkah dari suami tersebut didasarkan pada firman Allah Q.S. al-Baqarah [2]: 233
Artinya: Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu (istri) dengan cara yang ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.
Ayat ini mengandung isyarat, bahwa nafkah yang diterima istri dapat dimusyawarahkan sehingga pada satu sisi dapat memenuhi hak istri dan pada sisi lain tidak membebani suami di luar batas kesanggupannya. Hal itu diisyaratkan dengan lafal bi al-ma’rûf. Term al-ma’rûf bermakna sesuatu yang sudah menjadi tradisi masyarakat, sehingga suami tidak dibebani memberikan nafkah kepada istri di luar batas kemampuannya. 24 Sebab itu standar kelayakan nafkah sangatlah kondisional, berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, antara seorang perempuan (istri) dengan perempuan (istri) lainnya, baik disebabkan perbedaan status sosial istri maupun tradisi yang berlaku di daerah istri. Dengan demikian pemberian nafkah berupa makanan, dan pakaian kepada istri harus dilakukan secara ma’rûf seperti yang dijelaskan dalam penggalan makna ayat berikut yaitu “seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya,” yakni Jangan sampai ayah mengurangi hak yang wajar bagi seorang ibu dalam pemberian nafkah dan penyediaan pakaian, karena mengandalkan kasih sayang ibu kepada anaknya. Dan juga seorang ayah 23
Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam,
169. Lihat Lilik Ummi Kaltsum, “Hak-Hak Perempuan dalam Pernikahan Perspektif Tafsir Sufistik: Analisis Terhadap Penafsiran Al-Alûsî dan ‘Abd al-Qâdir alJilânî,”Journal of Qur’ân and Hadîth Studies, Vol. 2, No. 2 (2013), 180 24
La Jamaa: Advokasi Hak-hak Istri dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Islam
yang bahagia, sehingga anak-anak dapat tumbuh dan berkembang secara baik dan berkualitas. Hak istri terhadap nafkah ini telah dilegislasi oleh beberapa negara muslim di dunia, di antaranya dalam Hukum Keluarga Syria pasal 71 menentukan, bahwa nafkah meliputi sandang, pandangan dan papan dan sejenisnya yang baik sesuai dengan ketentuan yang ada dalam masyarakat. Begitu juga dalam Hukum Keluarga Tunisia yang dalam pasal 52 diatur, bahwa besar jumlah nafkah disesuaikan dengan kemampuan Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana suaminya dan diperhatikan status istri serta kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu biaya hidup yang wajar saat itu.27 Hal yang sama dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk diatur dalam pasal 80 ayat (4) Undang-Undang menyempitkan (hati) mereka.’ RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kewajiban suami memberikan nafkah dan bahwa sesuai dengan penghasilannya suami tempat tinggal kepada istrinya pada hakekatnya menanggung: a. nafkah, kiswah dan tempat erat kaitannya dengan upaya mewujudkan kediaman bagi istri; b. biaya rumah tangga, biaya tujuan pernikahan (mendapatkan ketenangan perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan hidup, cinta dan kasih sayang serta pergaulan yang anak; c. biaya pendidikan bagi anak. Relevan dengan uraian di atas mayoritas baik dalam rumah tangga). Tujuan pernikahan tersebut dapat diwujudkan jika ditopang dengan ulama berpendapat, bahwa istri berhak menetercukupinya nafkah istri dalam kehidupan rima nafkah sejak dimulainya hubungan biologis rumah tangga. Dengan demikian kewajiban suami istri atau tamkin. Namun menurut ulama nafkah bertujuan untuk mengokohkan dan Zahiriah, istri telah berhak menerima nafkah mewujudkan tujuan pernikahan dalam syariat dari suaminya sejak akad nikah, bukan dari Islam.26 Tempat tinggal atau rumah yang layak tamkin.28 Pandangan mayoritas ulama itu telah bagi hak istri, dapat berupa hak milik, sewaan dilegislasi dalam pasal 80 ayat (5) Undangatau pinjaman yang menjadi tanggungjawab Undang Perkawinan, bahwa kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) suami. Tempat tinggal atau rumah merupakan huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada kebutuhan primer suami isteri di samping tamkin sempurna dari istrinya. Terlepas dari pro kontra mulai berlakunya makanan dan pakaian. Karena di dalam rumah itulah mereka dapat membina dan memadu hak istri menerima nafkah, namun semua cinta kasih, sebagai tempat suami isteri melekat- ulama sepakat, bahwa istri berhak menerima kan ikatan batin, menyimpan rahasia keluarga nafkah. Dengan demikian istri mempunyai hak dan menyatukan cita-cita dan harapannya. untuk menuntut nafkah dari suaminya jika Keberadaan rumah sebagai tempat tinggal juga suami melalaikan kewajibannya tanpa alasan berpengaruh terhadap pertumbuhan anak. yang benar secara hukum. Dalam kaitan ini Karena kepribadian seorang anak dibentuk hukum Islam memberikan kesempatan kepada secara dini di dalam lingkungan rumah tangga. istri untuk mengambil sendiri harta suami untuk Keberadaan rumah sebagai tempat tinggal akan memenuhi kebutuhan diri dan anak-anaknya mempengaruhi terbentuknya rumah tangga menderita karena ibu menuntut sesuatu di atas kemampuan sang ayah dengan dalih kebutuhan anak yang disusukannya.25 Di samping itu istri juga berhak mendapatkan tempat tinggal yang disediakan suaminya, seperti yang dijelaskan firman Q.S. al-Thalaq [65]: 6
Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic Countries Text and Comparative Analysis (New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987), 145; dalam Masnun Tahir, “Hak-Hak Perempuan dalam Hukum Keluarga Syria dan Tunisia,” dalam Jurnal Al-Mawarid, Edisi XVIII (2008), 213. 28 Lihat ibid., 168. 27
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, cet. ke 4, I (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 505. 26 Lihat Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, 167. 25
89
Musãwa, Vol. 15, No. 1 Januari 2016
tanpa izin suaminya, seperti diungkapkan dalam hadis Rasulullah saw:
29 Artinya: Dari Aisyah, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah mengadu kepada Rasulullah saw. lalu berkata: “Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan seorang laki-laki kikir, tidak memberi nafkah yang cukup kepadaku dan anakku, kecuali saya mengambil nafkah dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah tindakanku itu merupakan dosa?” Maka Rasulullah saw. bersabda: “Ambillah nafkah yang dapat mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu secara layak [HR Muslim].
Hadis ini menjadi dalil bahwa istri diberi dispensasi untuk mengambil sendiri nafkah dari harta suami tanpa sepengetahuannya. Dispensasi itu bertujuan untuk memungkinkan istri mendapatkan haknya dari suaminya yang pelit30 sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup istri dan anak secara layak, tanpa melampaui batas,31 serta tidak mengarah kepada jarîmah had pencurian. Kadar nafkah yang diambil itu disesuaikan dengan adat istiadat yang berlaku di suatu daerah sesuai ungkapan hadis itu: , serta disesuaikan pula dengan tingkat kemampuan ekonomi suami. Jika nafkah itu tidak ditentukan ukurannya, dapat diajukan kepada hakim untuk menentukan kadar yang mencukupi kebutuhan istri.32 Jadi, nafkah yang diambil sendiri oleh istri harus tetap dalam standar “layak,” baik untuk kebutuhan istri maupun kemampuan suami. Sehingga tidak
menyebabkan kezaliman terhadap suami (mengambil nafkah di luar batas kemampuan suami) dan juga tidak menimbulkan kezaliman bagi istri (yang diambil kurang dari kebutuhan istri dan anak-anaknya). Hadis tersebut juga memberikan petunjuk, bahwa istri yang merasa dizalimi suaminya terhadap hak nafkahnya, dapat melaporkan kasusnya kepada hakim atau pemerintah. Dalam kasus Hindun ini posisi Nabi Muhammad saw., dapat dipandang sebagai hakim,33 karena Nabi saw. memberikan putusan terhadap keabsahan tindakan Hindun. Nabi saw., tidak melakukan proses verbal dengan memanggil Abu Sufyan untuk didengar keterangannya (apakah laporan istrinya, Hindun benar atau dusta), karena sifat kikir dari Abu Sufyan telah diketahui oleh Nabi saw., sehingga Nabi saw. tidak perlu melakukan pemeriksaan kepada Abu Sufyan selaku tertuduh. Putusannya cukup didasarkan kepada keterangan saksi korban, dan keyakinan Nabi saw (pengetahuan hakim).34 Hal ini merupakan advokasi hukum Islam dalam menjaga hak nafkah istri dalam rumah tangga. Berdasarkan hadis Hindun binti Utbah di atas dapat dikemukakan, bahwa hukum Islam sangat memperhatikan hak istri dalam mendapatkan hak ekonomi dari suami, melalui pembebasan dari hukuman had pencurian terhadap istri yang terpaksa mengambil nafkah dari harta suami tanpa sepengetahuan suami yang pelit. Hal itu dapat ditelaah dari ungkapan Nabi saw.: yang berbentuk perintah (amar) yang menunjukkan “kebolehan” (ibâhah), bukan wajib terhadap tindakan istri (Hindun binti Utbah) berdasarkan hadis dalam riwayat lain: .
Rasulullah bertindak sebagai hakim dan mubalig dalam menyampaikan syariat Allah. Lihat Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, cet. ke 2 (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2002), 7-8. 34 Alat bukti dalam hukum Islam ada beberapa pendapat, antara lain menurut Samir ‘Âliyah, alat bukti ada enam dengan urutan: pengakuan, saksi, sumpah, qarinah, bukti berdasarkan indikasi-indikasi yang tampak dan pengetahuan hakim. Samir ‘Âliyah, al-Qadâ’ wa al-Urf fi al-Islâm (Beirut: Muassasah al-Jami’ah, 1986), 121. 33
29
Muslim, Sahih Muslim, II (Beirut: Dâr al-Fikr, 1992),
121. 30
Ibn Qudamah, al-Mugni, IX (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t.),
229. Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukan, Nail al-Auþâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr, VI (Beirut: Dâr alKutub al-’Ilmiyyah, t.t.), 323. 32 Yusuf Qardawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, cet. ke 3, I (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 677. 31
90
La Jamaa: Advokasi Hak-hak Istri dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Islam
Di sini terdapat kata: (tidak berdosa).35 Ini berarti istri yang mengambil nafkah dari harta suami tanpa sepengetahuan suaminya bukan merupakan jarimah had pencurian, sehingga istri dibebaskan dari hukuman had pencurian. Dalam kaitan ini Abu al-’Ainain mengatakan, bahwa jika salah seorang suami istri mengambil harta yang menjadi milik bersama, maka ulama fikih selain ulama Zahiriah sepakat, pencuri tidak dihukum potong tangan.36 Dalam kasus istri mengambil nafkah dari harta suami tanpa sepengetahuan suaminya pada hakekatnya istri hanya mengambil haknya, bukan mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya. Bahkan dalam kasus itu istri merupakan korban dari keengganan suami memberikan nafkah kepadanya. Pembebasan istri yang mengambil nafkah dari harta suami yang pelit tanpa sepengetahuan suaminya dari had potong tangan, merupakan bentuk advokasi hukum Islam terhadap hak nafkah istri. Dalam kaitan ini Rasyid Ahmad mengemukakan, bahwa advokasi terhadap hakhak orang-orang yang tidak sanggup melindungi diri mereka merupakan fungsi utama hukum. Hal ini sejalan dengan hukum Islam yang bertujuan menciptakan suatu masyarakat yang didasarkan pada rasa tanggungjawab moral, yang di dalamnya setiap warga masyarakat dapat mengembangkan kepribadiannya sesuai dengan ajaran agama.37 Bahkan sebaliknya, suami yang enggan memberikan hak nafkah kepada istrinya dapat dituntut di pengadilan. Menurut Imam Malik, bahwa suami yang tidak memberikan nafkah kepada istrinya, bisa diajukan perkaranya kepada pengadilan, dan pengadilan berwenang memberikan nasehat kepada suami itu. Jika nasehat itu tidak diperhatikan oleh suami, maka pengadilan berkewajiban memerintahkan suami memberikan nafkah kepada istri. Jika cara Ibn Hajar al-Asqalân, Fath al-Bârî Syarh Sahîh alBukhârî, IX (Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1989), 635. 36 Lihat ’Abd al-Fatâh Muhammad Abû al-‘Ainain, Uqûbat al-Sirqah fi al-Fiqh al-Islâm (Kairo: Dâr al-Kutub, 1982), 77-78. 37 Lihat Mochmad Sodik (ed.). Telaah Ulang Wacana Seksualitas (Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, Depag. R.I dan Mc-Gill-IISEP-CIDA, 2004), 311. 35
ini tidak mengubah sikap suami, maka pengadilan boleh memberikan sanksi kepada suami itu dengan cara memukul dengan tongkat.38 Pendapat lebih tegas dari Mazhab Hanafi, bahwa jika seorang suami tidak mau memberikan nafkah kepada istrinya, sedangkan suami berkemampuan dan mempunyai uang, maka negara berhak menjual hartanya secara paksa dan menyerahkan hasil penjualan itu kepada istrinya. Kalau tidak ada hartanya, negara berhak menahannya atas permintaan istri. Suami dalam keadaan seperti ini dapat dikategorikan sebagai seorang yang zalim. Suami boleh dihukum, hingga suami menyerahkan nafkahnya. 39 Asumsi ini sejalan dengan prinsip kesejahteraan dalam ajaran Islam. Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa bentuk advokasi terhadap hak nafkah istri dalam rumah tangga melalui tiga cara, yakni pertama, penentuan nafkah istri yang memenuhi standar hidup yang layak, sesuai dengan kemampuan suami. Kedua, adanya dispensasi hukum Islam kepada istri mengambil nafkah dari harta suami tanpa sepengetahuan suaminya, serta tindakan istri tersebut tidak dikategorikan sebagai jarîmah pencurian, sehingga istri bebas dari hukuman had potong tangan atau jarimah ta’zîr. Ketiga, penegakan hukum terhadap suami yang enggan memberikan hak nafkah kepada istri atas pengaduan dari istri, sehingga hak istri bisa diperoleh. Advokasi Hak-hak Non Material Istri Perspektif Hukum Islam Hak-hak non material istri dalam rumah tangga yang menjadi kewajiban suami berkaitan dengan rasa aman (psikologis) dan kebutuhan seksual. Berkaitan dengan rasa aman, istri berhak diperlakukan secara baik dan layak oleh suaminya seperti yang dijelaskan dalam firman Allah Q.S. al-Nisa [4]: 19;
Lihat Imâm Malik bin Anas al-Abah, al-Mudawwanah al-Kubrâ, II (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), 192-193. 39 Lihat ‘Alauddin Abû Bakr Mas’ûd al-Kâsân al-Hanafi, Kitab Badai’ al-‘ânai’ Tartib al-Syarâi,’ IV (Beirut: Dâr alKutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), 38. 38
91
Musãwa, Vol. 15, No. 1 Januari 2016
Artinya: Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
Menurut Amir Syarifuddin, bahwa yang dimaksudkan “pergaulan” dalam ayat di atas secara khusus adalah pergaulan suami istri termasuk hal-hal yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan seksual. Bentuk pergaulan yang diungkapkan dalam ayat itu diistilahkan dengan ma’rûf yang mengandung arti secara baik sedangkan bentuk yang ma’rûf itu dijelaskan secara detail oleh Allah. Dalam hal ini diserahkan kepada pertimbangan standar kepatutan menurut pandangan adat dan lingkungan sosial setempat.40 Ayat ini mengisyaratkan bahwa kebaikan pergaulan suami dengan isteri bukan sekedar tidak menyakiti perasaan istri, tetapi juga menahan diri dari semua sikap isteri yang tidak disenangi suami. Dalam hal ini ada ulama yang memahami ungkapan ayat dalam arti perintah untuk berbuat baik kepada isteri, baik yang dicintai maupun tidak dicintai lagi. Kata ma’rûf dipahami mencakup sikap tidak mengganggu, tidak memaksa, dan juga lebih dari itu yakni berbuat ihsân dan berbaik-baik kepadanya.41 Relasi suami kepada istri bukanlah ibarat pepatah “habis manis sepak dibuang,” melainkan relasi yang saling mendukung dan memberdayakan dalam mewujudkan kebahagiaan perkawinan. Karena itu relasi suami istri harus dibangun di atas landasan sakinah, yang dihiasi mawaddah dan rahmah. Sakinah bukan sekedar ketenangan lahiriah, yang tercermin pada kecerahan wajah, sebab hal itu bisa muncul akibat keluguan atau ketidaktahuan. Tetapi sakinah terlihat pada kecerahan air muka yang disertai dengan kelapangan dada, budi bahasa yang halus, yang dilahirkan oleh ketenangan batin yang dihasilkan menyatunya pemahaman dan kesucian hati.42 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, 160-161. M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, cet. ke 2, II (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 382. 42 Lihat M.Quraish Shihab, Pengantin Al-Qur’an, cet. ke 5 (Jakarta: Lentera Hati, 2007), 80-81. 40 41
92
Allah akan memberikan potensi untuk meraih mawaddah kepada pasangan suami istri melalui pernikahan. Sebab itu suami istri harus berjuang bersama untuk mewujudkan mawaddah itu dalam rumah tangga mereka. Mawaddah adalah cinta yang tampak dampak positifnya pada sikap, perlakuan seperti tampaknya kepatuhan yang didorong oleh rasa kagum dan hormat kepada seseorang, lantaran jiwa tidak menyimpan sisi negatif dari pasangannya, sehingga istri bisa diperlakukan secara baik dalam rumah tangga. Di samping itu suami istri harus bekerja sama membangun suasana rahmah, yang dititkberatkan pada usaha untuk saling memberdayakan potensi dan menutupi kekurangan masing-masing. Rahmah yang menghiasi jiwa seseorang dapat membendung keinginan yang berpotensi menyakiti pasangannya, sehingga dia rela berkorban demi cinta kepada pasangannya.43 Sebab itu suami yang memiliki rahmah tak akan tega berpoligami, meski dia mendambakan anak, sebab dia tahu istrinya akan tersakiti. Istri juga berhak dibimbing oleh suaminya dalam menghindari segala sesuatu yang mengantarkannya kepada perbuatan dosa atau maksiat, kesulitan atau bahaya, sebagaimana diisyaratkan dalam QS: qû anfusakum wa ahlikum nâra (peliharalah dirimu dan keluargamu dari neraka). Dalam ayat ini mengandung perintah untuk menjaga kehidupan beragama istrinya, dan ketaatan melaksanakan ajaran agama serta menjauhkan istri dari segala perbuatan yang dapat mengakibatkan kemurkaan Allah. Dalam kaitan itu istri berhak mendapatkan pendidikan agama dan pendidikan lain yang berguna bagi istri dalam kedudukannya sebagai istri. Berdasarkan uraian di atas, istri berhak mendapatkan hak non material, berupa perlakuan yang manusiawi dari suaminya. Hak ini lebih dititikberatkan pada rasa aman dan tenteram, bebas dari ancaman dan intimidasi dalam lingkup rumah tangga. Dalam rangka mewujudkan rasa aman terhadap istri, hukum Islam telah mengatur beberapa advokasi untuk menjaga rasa aman bagi istri.
43
Lihat ibid. 89-92.
La Jamaa: Advokasi Hak-hak Istri dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Islam
Fungsionalisasi Peran Juru Damai (Hakam) Istri memiliki perasaan yang halus yang terkadang mengakibatkan kesalahpahaman dengan suaminya. Kondisi tersebut pada tataran tertentu terkadang direspon oleh suami sebagai suatu sikap pembangkangan istri yang biasa dikenal dengan nusyûz. Dalam kaitan itu, hukum Islam memberikan rambu-rambu agar suami tidak melanggar hak asasi istri, khususnya rasa aman dari kesewenang-wenangan suaminya, seperti dijelaskan dalam firman Allah Q.S. alNisa [4]: 34;
Artinya: Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuanperempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sungguh Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.
Awal ayat ini menjelaskan kedudukan suami sebagai qawwâmûna ‘ala al-nisâ’. Kata qawwâmûn, diberi makna beragam oleh beberapa mufasir. Shakir mengartikannya dengan maintainers (pengatur), Yusuf Ali memaknainya dengan pretector (pelindung), Pichthall mengartikannya dengan in change of (penanggung jawab). 44 Dalam kaitan ini menurut Muhammad Abduh, suami mengemban tanggungjawab sebagai pelindung dan pembimbing (fungsi qiwâmah)
Lihat Mu’ammar Zayn Qadafy, “Visibilitas Hubungan Kemitraan pada Pola Interaksi Suami-Istri dalam Pandangan Asy-Syafi’i,” dalam Jurnal Gender dan Islam Musawa, Vol. 14, No.1 (2015), 102. 44
hanya bagi istri yang nusyûz, sebagaimana bunyi ayat sesudahnya.45 Kata nusyûz pada umumnya diartikan sebagai kemaksiatan, pembangkangan istri terhadap perintah suaminya,46 namun demikian pembangkangan pada hakekatnya ditujukan kepada Tuhan. Pandangan yang mengkhususkan istri sebagai pihak yang nusyûz bersifat distorsi, sebab suami juga berpotensi melakukan pembangkangan seperti diisyaratkan dalam firman Allah Q.S. al-Nisa [4]:128;
Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Ayat di atas menunjukkan, bahwa suami juga berpotensi melakukan nusyûz. Sebab itu suami harus takut kepada Allah, begitu juga istri harus takut kepada Allah, dan bukan takut kepada suami. Refleksi rasa takut kepada Allah akan mendorong perbuatan baik terhadap pasangannya, baik suami kepad istri maupun istri kepada suaminya, 47 dalam membangun harmoni kehidupan rumah tangga. AlTabathaba’i mengartikan nusyûz itu dengan fahisyah mubayyanah (zina yang telah terbukti).48 Jadi, istri yang nusyûz adalah istri yang terbukti telah melakukan zina. Namun nusyûz dikaitkan Lihat Muhammad Rasyid Rida, Tafsîr al-Manâr, V (Beirut: Dâr al-Ma’rîfah, 1973), 71-72. 46 Jalâluddîn al-Sayûtî dan Jalaluddin al-Mahallî, Tafsîr Jalâlayn, I (Bandung: PT Alma’arif, t.t.), 86. 47 Lihat Rahma Pramudya Nawang Sari, “NusyuzMarital Rape (KDRT) Perspektif Hukum Perkawinan Islam,” dalam Jurnal Ahwal, Vol.3, No.1 (2012), 175. 48 Lihat Sayyid Muhammad Husayn al-Tabamaba’i, alMizân fî al-Tafsîr, IV (Libanon: al-‘Alami, t.t.), 255. 45
93
Musãwa, Vol. 15, No. 1 Januari 2016
dengan pembangkangan terhadap semua perintah syariat. Terlepas dari perbedaan pemaknaan nusyûz tersebut, namun posisi suami sebagai pelindung itu memiliki konsekuensi logis dalam merespon sikap istrinya yang membangkang (nusyûz) secara bijak dan dilakukan secara bertahap sebagaimana diisyaratkan dalam ayat 34 surat al-Nisa di atas. Jelasnya, suami dapat menyadarkan istrinya yang dianggap membangkang itu secara bertahap, yakni langkah pertama dinasehati dengan kata-kata yang baik, nasehat-nasehat yang mengesankan dan bimbingan yang bijaksana. Kalau cara ini tidak berhasil, maka pindah ke cara kedua, suami menjauhinya dari tempat tidur, sebagai usaha untuk membangkitkan naluri kewanitaannya. Mudah-mudahan istri sadar dan kejernihan pikiran akan kembali. Jika langkah ini gagal, maka terpaksa menempuh langkah ketiga, diberi “penyadaran” dengan pukulan yang mendidik, tanpa menyakiti apalagi menyebabkan cedera.49 Jelasnya, meskipun suami diberi izin menyadarkan istrinya yang nusyûz dengan pukulan, namun pukulan itu hanyalah alternatif terakhir sebagai “pukulan mendidik,” dan bukan untuk menyakiti istri. Karena pada ujung ayat nusyûz itu terdapat ancaman terhadap orang-orang yang berbuat melampaui batas terhadap istrinya. Sebab itulah dibutuhkan keterlibatan pihak ketiga sebagai juru damai, yakni seorang dari pihak istri dan seorang dari pihak suami, yang biasa dikenal dengan hakamayn, sesuai ketentuan Q.S. al-Nisa [4]: 35;
Hakamayn pada hakekatnya bertugas mencari solusi, sehingga suami istri dapat hidup rukun dan damai lagi. Dengan demikian hakamayn berfungsi untuk mengatasi konflik suami istri.50 Hal itu berarti, hakamayn harus berupaya terwujudnya perdamaian suami istri.51 Sehingga hak istri untuk mendapatkan rasa aman senantiasa terjaga. Sebab itu menurut Quraish Shihab, fungsi utama hakam, adalah mendamaikan, 52 dan bukan untuk menceraikan. Di samping itu hakamayn dapat melindungi istri dari kesewenang-wenangan suaminya pada saat terjadi pertikaian mereka. Menurut Yusuf Qardawi, bahwa Islam melarang suami menghina istrinya53 Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa tujuan utama pensyariatan hakamayn adalah untuk melindungi istri dari kesewenangwenangan suaminya. Dalam pelaksanaan ketiga langkah yang dilakukan suami untuk menyadarkan istri yang nusyûz pun bisa dilibatkan hakamayn untuk mengawasi tindakan suami sehingga istri tetap mendapatkan rasa aman sebagai hak asasinya dalam rumah tangga. Tugas hakamayn, dalam hal ini adalah membantu suami istri menyelesaikan konflik rumah tangga secara aman dan nyaman sehingga suasana konflik suami istri bisa kondusif kembali. Dalam tahap pemberian nasehat kepada istri, hakamayn dapat membantu suami menasehati istri sebagai tindakan preventif secara bijaksana, dengan penuh kasih sayang, kecintaan, rahmat, dan rasa kebersamaan.54
Ismail Haqqi al-Buruswî, Tafsîr Rûh al-Bayân, terj. Syihabuddin, Terjemah Tafsir Ruhul Bayan, cet. ke 1, V (Bandung: CV Diponegoro, 1996), 75. 51 Muwafiq al-DÉn ibn Qudamah al-MaqdisÉ, al-KâfÉ fÉ al-Fiqh ‘Ala Maýhab Imâm al-Mubajjil Ahmad bin Hanbal, (Kairo: Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1998), III: 95. 52 Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, cet. ke 4, II (Jakarta: Lentera Hati, 2011), 522. 53 Lihat Yusuf Qardawi, Hady al-Islâm Fatawi Mu’aºirah, terj. As’ad Yasin, Fatwa-Fatwa Kontemporer, cet. ke 1, II (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 500. 54 ‘alih bin Ganim al-‘adani, Nusyûz Dawabiþuhu, Halatuhu Asbabuh, terj. Muhammad Abdul Ghofar E.M., Nusyuz Konflik Suami Istri dan Penanganannya, cet. ke 1 (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993), 50.
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud meng-adakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Yusuf Qardawi, al-Halâl wa al-Harâm fi al-Islâm, terj. Abu Sa’id al-Falahi dan Aunu Rafiq Shaleh Tamhid, Halal dan Haram, cet. ke 4 (Jakarta: Robbani Press, 2004), 233. 49
94
50
La Jamaa: Advokasi Hak-hak Istri dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Islam
Relevan dengan uraian tersebut, dapat dikatakan, bahwa surat al-Nisa ayat 35 yang menganjurkan untuk mengangkat hakam dalam menyelesaikan perselisihan suami istri itu diturunkan dengan semangat untuk menjaga hak asasi istri dalam rumah tangga, dan bukan menegaskan superioritas suami atas istri. 55 Jelasnya, bahwa walaupun secara tekstual ayat dan hadis tidak mengaturnya, namun secara kontekstual keberadaan lembaga hakamayn dapat difungsikan secara maksimal untuk melindungi istri dari tindakan yang mengancam rasa aman istri dalam lingkup rumah tangga. Karena hikmah pengutusan dua orang juru damai (hakamayn) tersebut adalah untuk mengantisipasi kezaliman, menghentikan perselisihan, menghindari pertikaian, menolak bencana, menghalangi pihak yang berbuat zalim, mengakhiri persengketaan, menyuruh berbuat baik dan mencegah kemungkaran. 56 Hal itu sangat penting dilakukan agar suami tidak melakukan tindakan kasar kepada istri dengan berdalih bahwa tindakannya itu merupakan perintah agama dalam al-Qur’an. Sehingga tidak terjadi tindakan kekerasan atas nama Tuhan, atau violence in God’s name seperti dikemukakan Oliver McTernan.57 Khalifah Umar bin Khattab sebenarnya telah memberikan teladan baik dalam memperlakukan istrinya dengan cara yang baik (mu’asyirah bi al-ma’ruf), seperti disebutkan dalam sebuah kisah bahwa seorang laki-laki mendatangi Umar untuk mengadukan tentang budi pekerti istrinya. Dia menunggu Umar di depan pintu rumahnya. Secara kebetulan, orang tersebut mendengar istri Umar sedang memarahinya, namun Umar tidak menanggapinya. Orang tersebut lalu berniat mau pulang dan berkata dalam hatinya, “Jika keadaan amirul mu’minin seperti ini, bagaimana dengan saya?” Tak lama kemudian Umar keluar dan melihatnya beranjak pergi. Lalu Umar memanggilnya, Mansour Fakih, Analisis Gender & Transformasi Sosial, cet. ke 10 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 133. 56 ‘alih bin Ganim al-‘adani, Nusyuz Konflik Suami Istri, 74. 57 Lihat Oliver McTernan, Violence in God’s Nama, Religion in an Age of Conflict, ed. ke 1 (London: Darton, Longman and Todd Ltd., 2003). 55
“apa keperluanmu?” Dia menjawab, “Wahai amirul mu’mini, sebenarnya saya datang untuk mengadukan kelakuan istriku dan perbuatannya kepada saya, namun saya mendengar hal yang sama pada istri anda, akhirnya saya pulang dan berkata dalam hati, “Jika keadaan amirul mu’minin seperti ini, bagaimana dengan saya?” Umar berkata kepadanya, “Wahai saudaraku, saya tetap bersabar atas (perbuatannya), karena itu memang kewajiban saya. Istri sayalah yang memasak makanan saya, membuatkan roti, mencucikan pakaian dan menyusui anak saya, sedangkan semua itu bukanlah kewajibannya.”58 Dengan demikian, hukum Islam telah memberikan advokasi terhadap upaya perwujudan hak rasa aman kepada istri dalam lingkup rumah tangga serta menyiapkan perangkat aturan yang menjamin terjaganya rasa aman bagi istri tersebut dengan melibatkan hakamayn. Larangan ‘Ila dan Zihar Berkaitan dengan hak rasa aman itu pula, hukum Islam telah mengatur hak istri mendapatkan kehangatan dari suaminya, terutama hubungan biologis suami istri. Terhadap masalah hubungan biologis suami istri, mazhab Malikiah berpendapat, bahwa suami wajib menggauli istrinya, selama tidak ada halangan. Sedangkan menurut Mazhab Syafi’iah, bahwa kewajiban suami menyetubuhi istrinya hanya sekali saja selama mereka menjadi suami istri. Karena hal itu merupakan hak suami. Namun suami tidak boleh membiarkan hasrat seksual istrinya, agar hubungan mereka tidak terganggu. Kewajiban tersebut untuk menjaga mental istri. Sedangkan menurut Mazhab Hanbali, suami wajib menggauli istrinya minimal sekali dalam empat bulan, bila tidak ada halangan, berdasarkan hukum ilâ’.59 Dengan demikian, para ulama fikih sepakat, bahwa suami wajib memenuhi hasrat seksual istrinya. Berdasarkan pendapat Mazhab Malikiah, berarti ketika seorang istri menghendaki Forum Kajian Kitab Kuning, Kembang Setaman Perkawinan Analisis Kritis Kitab ‘Uqud al-Lujjayn, cet. ke 1 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005), 105-106. 59 Lihat Wahbah al-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuh, VII (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1989), 329. 58
95
Musãwa, Vol. 15, No. 1 Januari 2016
hubungan biologis, suami wajib memenuhinya. Suami seharusnya tidak menyiksa istrinya dengan mengabaikan hasrat seksual istrinya, sebab dikuatirkan akan menjerumuskan istri kepada penyelewengan seksual (zina). Karena itulah hukum Islam melarang suami melakukan Ilâ’ dan zihâr lebih dari empat bulan.60 Ilâ’ adalah sumpah suami untuk tidak menggauli istrinya selama empat bulan atau lebih. Perlakuan suami dalam kasus ini akan sangat menyakiti istri. Demikian pula zihâr, biasa dilakukan kaum jahiliah untuk menghalangi hak-hak istrinya, suami mengatakan kepada istrinya, “bagiku engkau seperti punggung ibuku atau saudara perempuanku,”61 atau ungkapan lainnya. Zihâr juga dilakukan, jika seorang suami membenci istrinya dan tidak menginginkan istrinya menikah dengan orang lain, sehingga istri hidup terkatungkatung.62 Jelasnya, suami istri memiliki kewajiban yang harus ditunaikan kepada pasangannya. Dalam kaitan ini Habib al-Mawardi mengemukakan, bahwa Allah memberikan hak kepada istri yang harus ditunaikan suami, namun bisa dihentikan suami saat istri nusyûz, sebagaimana memberikan hak kepada suami yang harus ditunaikan istri, tetapi bisa dihentikan istri saat suami nusyûz. 63 Dengan demikian, tindakan suami melakukan ilâ’ dan zihâr, merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum Islam, sehingga harus dihentikan oleh pengadilan, agar istri dapat memperoleh hak-haknya. Hal itu berarti jika suami membangkang tidak mau memenuhi kewajibannya memberi nafkah, termasuk nafkah batin bagi istri yang sangat membutuhkannya, maka istri berhak mengajukan hal itu ke pengadilan untuk memaksa suaminya agar memberikan nafkah batin. Jika suami tetap membangkang, pengadilan bisa mempertimbangkan tindakan lain yang lebih Lihat Abû al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Basri, al-Hâwi al-Kabir, cet. ke 1, X (Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1994), 336. 61 Ibid., 411. 62 Al-Khaþib al-Syarbini, Mugnî al-Muhtaj, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), III: 352. 63 Abû al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib alMawardi al-Basri, al-Hâwi al-Kabir, cet. ke 1, IX (Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1994), 568.
menjamin keadilan bagi istri.64 Dengan demikian istri memperoleh keadilan dan kemanfaatan hukum. Hal ini sesuai dengan salah satu tujuan hukum Islam (maqâsid al-syari’ah), yaitu memelihara keturunan (hifz al-nasl). Bukankah banyak kasus istri yang terjerumus kepada zina akibat ditelantarkan oleh suaminya. Itu berarti, pembatasan waktu zihâr, dan ilâ’ sebenarnya erat kaitannya pula dengan usaha rasa aman kepada istri dari tindakan sewenang-wenang suaminya. Larangan Anal Seks Meskipun al-Qur’an membolehkan hubungan biologis suami istri dilakukan kapan saja dan dengan posisi apapun sesuai selera suami atau istri (fa’tû harúakum anna syi’tum), namun ada aturan yang harus dipatuhi, yaitu harus melalui farji (kemaluan istri) karena makna al-harœ, tidak lain dari farji. Karena itu suami dilarang (haram) melakukan anal seks dengan istrinya,65 apalagi memaksakan anal seks kepada istri akan menimbulkan ketidaknyamanan bagi istri bagi secara fisik maupun psikologis. Bahkan untuk memberikan advokasi hukum kepada istri secara maksimal, para ulama sependapat, bahwa suami yang melakukan anal seks kepada istrinya meskipun tidak dijatuhi hukuman had, namun tetap dijatuhi hukuman ta’zir. Menurut Imam Ahmad, Abu Yusuf dan Muhamamd bin Hasan al-Syaibani (dua murid Abu Hanifah), bahwa perbuatan suami tersebut dianggap zina yang seharusnya dikenai hukuman had. Namun karena yang menjadi objek anal seks itu istrinya sendiri, menimbulkan syubhat, sehingga hukuman had menjadi gugur dan suami hanya dijatuhi hukuman ta’zir.66 Jelasnya, bahwa tidak dikenai hukuman had atas suami yang menyetubuhi pada dubur istrinya.67 Menurut Malikiah, Syafi’iah dan Syi’ah Zaidiyah, anal seks suami dengan istrinya itu
60
96
Masdar F. Mas’udi, Islam & Hak-Hak Reproduksi Perempuan, cet. ke 2 (Bandung: Mizan 1997), 115. 65 Al-Syaukâni, Nail al-Auþâr, VI: 202. 66 ‘Abdul Qadir ‘Audah, al-Tasyri’ al-Jina’i al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’i, II (Beirut: Muassasah alRisalah, 1994), 353. 67 Al-Bahûti, Kasysyâf al-Qinâ’ ‘an Matn al-Iqnâ’, VI (Beirut: Dâr al-Fikr, 1982), 96. 64
La Jamaa: Advokasi Hak-hak Istri dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Islam
bukanlah jarimah zina, karena istri merupakan objek (tempat) persetubuhan bagi suami, dan suami bebas bersenang-senang dengan istrinya dengan cara apapun. Namun anal seks pada istri, adalah dilarang dalam hukum Islam. Dalam hal ini hukuman bagi suami masih diperselisihkan para ulama. Malikiah dan Zaidiyah berpendapat, bahwa suami dikenai hukuman ta’zir, sebab anal seks itu tetap merupakan perbuatan yang dilarang. Sedangkan menurut Syafi’iah, suami tidak dikenai hukuman ta’zir, kecuali jika ia mengulangi perbuatannya setelah adanya larangan dari hakim. Bagi Abu Hanifah, anal seks bukan zina, melainkan perbuatan maksiat yang diancam dengan hukuman ta’zir, baik dilakukan terhadap istri sendiri maupun orang lain.68 Begitu pula menurut al-Kuhaji, suami tidak dikenai hukuman had jika menyetubuhi istrinya pada saat haid, nifas, berpuasa, ihram. Karena keharaman persetubuhan tersebut bukan pada zatnya melainkan karena adanya sebab lain.69 Beberapa pendapat ulama Mazhab tersebut berkaitan dengan anal seks yang dilakukan suami kepada istrinya untuk bersenang-senang, dan kenikmatan bagi suami istri, bukan dilakukan dengan pemaksaan dari suami kepada istri. Karena anal seks yang dipaksakan kepada istri, akan mengakibatkan rasa sakit pada istri. Adanya unsur pemaksaan yang mengakibatkan penderitaan pada korban, maka suami (pelaku anal seks), layak dijatuhi hukuman. Bentuk hukumannya tergantung pertimbangan hakim (jarimah ta’zir). Adanya sanksi bagi suami yang melakukan anal seks kepada istrinya itu merupakan bentuk advokasi hukum Islam untuk menjaga rasa aman istri secara seksual. Dispensasi Poligami dengan Syarat yang Ketat Pada dasarnya pernikahan dalam hukum Islam menganut prinsip monogami namun membuka ruang dilakukannya poligami dengan syarat yang ketat. Dalam rangka mewujudkan rasa aman kepada istri (terpenuhinya hak-hak), hukum Islam mengizinkan suami berpoligami Lihat ‘Abdul Qadir ‘Audah, II: 354. al-KûhajÉ, Zâdul Muhtâj, IV (Beirut: Maktabah al‘Asriyyah, 1988), 201.
dengan syarat harus mampu berlaku adil sebagaimana diatur dalam firman Allah Q.S. al-Nisa [4]: 3;
Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Suami yang akan berpoligami sudah harus bisa memprediksi dirinya mampu berbuat adil atau tidak, sebelum dia melaksanakan poligami, dan bukan dipahami bahwa kemampuan bersikap adil terhadap para istrinya akan diketahui setelah menjalani poligami. Sebab perempuan (istri) bukan kelinci percobaan dari suami untuk mengetahui mampu/tidaknya suami berlaku adil terhadap para istrinya. Jika demikian, suami akan seenaknya menceraikan istrinya setelah tahu dirinya tak bisa berlaku adil. Istri (terutama istri tua) rentan mengalami kesewenang-wenangan dari suaminya, sebab suami biasanya terlalu condong memperhatikan istri mudanya, sehingga istri tua dan anak-anaknya hidup merana. Karena itu ada tiga kelompok ulama yang berkompeten menafsirkan ayat di atas. Pertama, kelompok yang menafsirkan bahwa nikah dengan perempuan berapa pun jumlahnya boleh dengan berdalih bahwa kata al-nisa’ (perempuan) dalam ayat di atas menunjukkan bilangan yang banyak tak terhingga. Huruf waw dalam ayat itu menunjukkan penjumlahan sehingga bisa nikah sampai sembilan orang istri. Bahkan Nabi saw memberikan contoh dengan menikahi lebih dari empat orang perempuan secara poligami, padahal umatnya dianjurkan untuk mengikuti sunnah Nabi saw.70 Kedua, kelompok yang membatasi kebolehan poligami hanya sampai empat orang istri yang
68 69
70
Abû al-Fadl Syihabuddin al-Lusi, Rûh al-Ma’ânî, III:
192.
97
Musãwa, Vol. 15, No. 1 Januari 2016
didasarkan kepada riwayat sahabat Nabi saw bernama Ghailan yang memiliki 10 orang istri dan diperintahkan oleh Nabi saw untuk menahan empat orang istrinya dan menceraikan sisanya.71 Kelompok pertama dan kedua sepakat bahwa poligami boleh dengan syarat mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Ketiga, ulama kontemporer seperti Muhammad Abduh yang berpendapat, bahwa poligami tidak boleh. Kelompok ini sebenarnya membolehkan poligami asal suami mampu bersikap adil kepada para istrinya. Namun pada era modern ini sulit ditemukan laki-laki (suami) yang mampu berlaku adil kepada istrinya. Sebab suami lebih tertarik dan memperhatikan istri mudanya dengan menelantarkan istri tua bersama anakanaknya. 72 Pendapat senada dikemukakan Maulana Umar Ahmad Usmani yang memiliki pandangan yang sangat liberal tentang poligami. Menurut Maulana Ahmad, akar kata yang digunakan dalam bahasa Arab untuk pasangan adalah zauj, yang berarti suami atau istri. Hal itu bermakna satu suami dan satu istri. Istilah yang digunakan bahasa Arab untuk pernikahan adalah zawwaja, atau tazawwaja (saya menikah), yang mengandung makna dia menikahi satu perempuan, atau zawwajat, yang bermakna dia menikahi seorang laki-laki. Menurutnya, bahwa zawwaja tidak bisa diartikan bahwa pada satu sisi ada seorang laki-laki dan di sisi lain ada empat perempuan.73 Terlepas dari perbedaan pendapat para ulama tentang hukum poligami, namun semuanya sepakat, bahwa poligami hanya bisa dilakukan kalau suami mampu bersikap adil terhadap para istri dan anak-anaknya. Syarat adil bagi suami yang mau berpoligami dalam konteks keindonesiaan diimplementasikan dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yakni Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Lihat Malik bin Anas, Al-Muwatta (Beirut: Dar alFikr, 1989), 375. 72 Lihat Abu Yasid (ed.), Fiqh Realitas Respon Ma’had Aly terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer, cet. ke 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 347-348. 73 Lihat Asghar Ali Engineer,The Qur’an Women and Modern Society, terj. Agus Nuryanto, Pembebasan Perempuan, cet. ke 2 (Yogyakarta: LKiS, 2007), 208-209. 71
98
Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam. Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan mengatur, bahwa syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Pasal 56 ayat (1) menentukan bahwa suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Di samping pengetatan izin poligami, beberapa negara muslim di dunia menerapkan sanksi pidana terhadap pelanggarnya. Tunisia dalam pasal 18 Undang-Undang Nomor 3 tahun 1957 mengatur bahwa beristri lebih dari satu dilarang. Siapa saja yang menikah sebelum perkawinan pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi akan dikenakan hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim, atau terhadap kedua-duanya.74 Ketentuan yang sama diberlakukan di Pakistan. Dalam pasal 6 ayat (5) Ordonansi Hukum Keluarga Pakistan tahun 1961, bahwa seseorang yang melakukan perkawinan dengan orang lain tanpa izin dari Dewan Arbitrasi, maka dihukum penjara maksimal satu tahun atau denda maksimal 5.000 rupe atau kedua-duanya. Sanksi pidana satu tahun penjara kepada laki-laki yang berpoligami tanpa izin itu diberlakukan juga di Mesir.75 Sedangkan Indonesia hanya menerapkan sanksi yang tegas kepada PNS yang berpoligami tanpa izin Pengadilan. Aturan hukum keluarga di beberapa negara muslim tersebut menunjukkan adanya pengetatan izin poligami, dan bahkan melarang poligami. Pengetatan izin poligami dan sanksi bagi pelanggar poligami itu pada hakekatnya merupakan upaya advokasi terhadap hak-hak istri, baik hak rasa aman, hak pemenuhan kebutuhan ekonomi maupun seksual. Sehingga suami tidak menyalahgunakan dispensasi poligami untuk kesenangannya, sekaligus tidak menjurus kepada perampasan rasa aman (hak psikologis) dan hak ekonomi istri. Lihat Tahir Mahmood, Personal Law in Islamic,156 dalam Muhibbuthabry, “Poligami dan Sanksinya Menurut Perundang-undangan Negara-negara Modern,” dalam Jurnal Ilmu Syariah Ahkam, Vol. XVI, No. 1 (2016), 13. 75 Lihat ibid., 13-14. 74
La Jamaa: Advokasi Hak-hak Istri dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Islam
Simpulan Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut: Pertama, isteri memiliki dua hak dari dalam rumah tangga, yakni hak material dan hak non material. Hak material dari suaminya, berupa mahar dan nafkah. Meski mahar pada umumnya berupa materi namun mahar bukanlah harga dari seorang istri melainkan sebagai simbol, tanda cinta, keikhlasan dan tanggungjawab suami memenuhi kebutuhan hak-hak istri. Penentuan jumlah mahar atas kesepakatan suami istri sesuai dengan tradisi yang berlaku di daerahnya. Demikian pula nafkah, baik pangan, sandang maupun papan disesuaikan dengan status sosial istri dan kemampuan ekonomi suami. Sedangkan hak non material berupa hak diperlakukan secara baik oleh suaminya (rasa aman) dan hak dipenuhi kebutuhan seksualnya. Kedua, advokasi terhadap hak-hak istri dalam rumah tangga perspektif hukum Islam melalui beberapa upaya, yakni advokasi hukum untuk melindungi hak-hak material istri: (1) tidak adanya campur tangan pemerintah menentukan jumlah mahar, serta larangan pihak lain merampas mahar yang telah diterima istri; (2) jumlah nafkah istri didasarkan pada standar kebutuhan hidup layak istri sesuai kemampuan suaminya; (3) istri diberi dispensasi mengambil nafkah dari harta suami tanpa diketahui suaminya yang pelit. Tindakan istri tidak dikategorikan sebagai jarimah pencurian; (4) Istri bisa mengadukan suami yang enggan memberikan nafkah kepada pengadilan, yang memungkinkan istri bisa mendapatkan hak nafkahnya secara layak. Sedangkan advokasi hukum untuk melindungi hak-hak non material istri, yaitu: (1) istri berhak mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap suaminya yang enggan memenuhi kebutuhan seksualnya; (2) Larangan kepada suami melakukan ‘ila, dan zihar, kepada istrinya, sebab kedua tindakan tersebut akan mengakibatkan status istri menjadi mengambang serta penderitaan psikologis kepada istri; (3) Larangan suami melakukan anal seks kepada istrinya sebab selain dilarang Islam, anal seks akan menyakiti istri; (4) pengetatan izin poligami kepada suami agar tidak menelantarkan hak-hak istri dan anak-anaknya,
disertai dengan sanksi hukum dalam hukum keluarga pada beberapa negara muslim di dunia. Daftar Pustaka Abû al-‘Ainain, ’Abd al-Fatâh Muhammad. Uqûbat al-Sirqah fi al-Fiqh al-Islâmi. Kairo: Dâr al-Kutub, 1982. Almaududi, Abul A’la. Huqûq al-Zaujaini. Terj. Abu ‘Amir ‘Izza Rasyid Isma’il, Menjaga Keutuhan Rumah Tangga Islami dengan Menjaga Hak Suami Isteri. Yogyakarta: Absolut, t.t. al-Asbahi, Imâm Malik bin Anas. al-Mudawwanah al-Kubrâ. Beirut: Dar al-Fikr, t.t., II. Ash Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam, cet. ke 2. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2002. al-Asqalâni, Ibn Hajar. Fath al-Bari Syarh Sahih al-Bukhari, IX. Beirut: Dar al-Kutub al’Ilmiyyah, 1989. ‘Audah, ‘Abd. al-Qadir. al-Tasyri’ al-Jina’I al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’i, II. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994. ‘Âliyah, Samir. al-Qadâ’ wa al-Urf fi al-Islâm. Beirut: Muassasah al-Jami’ah, 1986 M. al-Bahûti. Kasysyâf al-Qinâ’ ‘an Matn al-Iqnâ’, VI. Beirut: Dâr al-Fikr, 1982. al-Basri, Abû al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi. al-Hâwi al-Kabir, cet. ke 1, IX, X. Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, 1994. al-Bukhârî, Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin al-Mugirah bin Bardizbah. Sahîh al-Bukhârî, cet. ke 1, V. Beirut: Dar al- Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1992. al-Buruswî, Ismail Haqqi. Tafsîr Rûh al-Bayân. Terj. Syihabuddin, Terjemah Tafsir Ruhul Bayan, cet. ke 1, V. Bandung: CV Diponegoro, 1996. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, cet. ke 3, III. Jakarta: Departemen Agama RI, 2009. Engineer, Asghar Ali. The Qur’an Women and Modern Society. Diterjemahkan oleh 99
Musãwa, Vol. 15, No. 1 Januari 2016
Agus Nuryatno, Pembebasan Perempuan, cet. ke 2. Yogyakarta: LKiS, 2007. Fakih, Mansour. Analisis Gender & Transformasi Sosial, cet. ke 10. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Forum Kajian Kitab Kuning. Kembang Setaman Perkawinan Analisis Kritis Kitab ‘Uqud al-Lujjayn, cet. ke 1. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2005. al-Hanafi, ‘Alauddin Abû Bakr Mas’ûd alKâsâni. Kitab Badai’ al-‘ânai’ Tartib alSyarâi’. Beirut: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyyah, t.t., IV, VII. Hidayah, Nur. “Reinterpretasi Hak-Hak Ekonomi Perempuan dalam Islam,” Jurnal Ilmu Syariah Ahkam, Vol. XIV, No.1 (2014). Ibn Qudamah. al-Mugni, IX. Beirut: Dar al-Fikr, t.t., Ibn Anas, Malik. Al-Muwatta. Beirut: Dar alFikr, 1989. Al-Jauziyah, Ibn al-Qayyim. I’lâm al-Muwâqi’în ‘an Rabb al-‘Àlâmîn, III. Beirut: Dâr alJail, t.t.. al-Jilânî, ‘Abd al-Qâdir. Tafsîr al-Jilânî, I. Istanbul: Markaz al- Jilânî li al-Buhuœ al‘Ilmiyyah, 2009. Kaltsum, Lilik Ummi. “Hak-Hak Perempuan dalam Pernikahan Perspektif Tafsir Sufistik: Analisis Terhadap Penafsiran Al-Alûsî dan ‘Abd al-Qâdir al-Jilâî,” Journal of Qur’ân and Hadîth Studies, Vol. 2, No. 2 (2013). al-Kûhaji. Zâdul Muhtâj, IV. Beirut: al-Maktabah al-’Asriyyah, 1988. al-Lusi, Abû al-Fadl Syihabuddin al-Sayyid Mahmud. Rûh al-Ma’ânî, III, IV. Beirut: Dar Ihyâ’ al-Turaœ al-‘Arabî, 1985. Mahmood, Tahir. Personal Law in Islamic Countries History, Text and Comparative Analysis. New Delhi: Academy of Law and Religion, 1987. al-Maqdisi, Muwafiq al-Din ibn Qudamah. alKâfi fi al-Fiqh ‘Ala Maýhab Imâm alMubajjil Ahmad bin Hanbal, III. Kairo: Dâr Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1998.
100
Mas’udi, Masdar F. Islam & Hak-Hak Reproduksi Perempuan, cet. 2. Bandung: Mizan 1997. McTernan, Oliver. Violence in God’s Nama, Religion in an Age of Conflict, ed. ke 1. London: Darton, Longman and Todd Ltd., 2003. Mubarak, Faisal bin Abdil Aziz Ali. Bustân alAkhbâr Mukhtacar Nail al-Aumâr, terj. Mu’ammal Hamidy, dkk. Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadis-Hadis Hukum, cet. ke 3, V. Surabaya: Bina Ilmu, 2001. Muhibbuthabry. “Poligami dan Sanksinya Menurut Perundang-undangan Negara-negara Modern,” Jurnal Ilmu Syariah Ahkam, Vol. XVI, No. 1 (2016). al-Naisaburi, Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi. Sahih Muslim, cet. ke 1, I, II. Beirut: Dâr al-Fikr, 1992. Putusan Perkara Pidana Pengadilan Negeri Ambon Nomor 56/Pid.B/2008/ PN.AB, tanggal 30 April 2008. Qadafy, Mu’ammar Zayn. “Visibilitas Hubungan Kemitraan pada Pola Interaksi SuamiIstri dalam Pandangan Asy-Syafi’i,” Jurnal Gender dan Islam Musawa, Vol. 14, No.1 (2015). Qardawi, Yusuf. Hady al-Islâm Fatawi Mu’asirah. Terj. As’ad Yasin, Fatwa-Fatwa Kontemporer, cet. ke 3,Jakarta: Gema Insani Press, 1999, I, II. Qardawi, Yusuf. al-Halâl wa al-Harâm fi al-Islâm. Terj. Abu Sa’id al-Falahi dan Aunu Rafiq Shaleh Tamhid. Halal dan Haram, cet. ke 4. Jakarta: Robbani Press, 2004. Rida, Muhammad Rasyid. Tafsîr al-Manâr, V. Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1973. al-‘adani, ‘alih bin Ganim. Nusyûz Dawabiþuhu, Halatuhu Asbabuh. Terj. Muhammad Abdul Ghofar E.M. Nusyuz Konflik Suami Istri dan Penanganannya, cet. ke 1. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1993. Sari, Rahma Pramudya Nawang. “Nusyuz-Marital Rape (KDRT) Perspektif Hukum Perkawinan Islam,” Jurnal Ahwal, Vol. 3, No.1 (2012).
La Jamaa: Advokasi Hak-hak Istri dalam Rumah Tangga Perspektif Hukum Islam
al-Sayumî, Jalaluddin. Al-Asybah wa al-Nasair fî Qawâ’id wa Furû’ al-Syafi’î, cet. ke 1. Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1979. al-Sayûtî, Jalâluddîn dan Jalaluddin al-Mahallî. Tafsîr Jalâlayn, I. Bandung: PT Alma’arif, t.t. Setiawan, M. Nur Kholis. Pribumisasi Al-Qur’an Tafsir Berwawasan Keindonesiaan, cet. ke 1. Yogyakarta: Kaukaba Adipantara, 2012. Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’ân: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, cet. ke 12. Bandung: Mizan, 2001. Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, cet. ke 4, I,II. Jakarta: Lentera Hati, 2005. Shihab, M. Quraish. Pengantin Al-Qur’an, cet. ke 5. Jakarta: Lentera Hati, 2007. Sodik, Mochmad (ed.). Telaah Ulang Wacana Seksualitas. Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, Depag. RI dan McGill-IISEP-CIDA, 2004. al-Syarbini, Al-Khaþib. Mugni al-Muhtaj, III. Beirut: Dar al-Fikr, t.t. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, cet. ke 3. Jakarta: Kencana, 2011.
al-Syaukani, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad. Nail al-Ausâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr, VI. Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, t.t. al-Tabamaba’i, Sayyid Muhammad Husayn. AlMizân fî al-Tafsîr, IV. Libanon: al‘Alami, t.t. Tahir, Masnun. “Hak-Hak Perempuan dalam Hukum Keluarga Syria dan Tunisia,” Jurnal Al-Mawarid, Edisi XVIII (2008). al-Uwayyid, Muhammad Rasyid. Min Ajli Tahrir Haqiqi li al-Mar’ah. Terj. Ghazali Mukri, Pembebasan Perempuan, cet. ke 1. Yogyakarta: ‘Izzah Pustaka, 2002. Wadud, Aminah. Qur’an and Women: Rereading the Sacred Text from a Women’s Perspective. New York, Oxford: Oxford University Press, 1999. Wawancara dengan Mahdi Malawat, Januari 2016. Yasid, Abu (ed.). Fiqh Realitas Respon Ma’had Aly terhadap Wacana Hukum Islam Kontemporer, cet. ke 1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. al-Zuhayli, Wahbah. Al-Fiqh al-Islâm wa Adillatuh, VII. Damaskus: Dâr al-Fikr, 1989.
101