MARGARETHA DAN SYURYAWATI: ADOPSI TEKNOLOGI PRODUKSI JAGUNG
Adopsi Teknologi Produksi Jagung dengan Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu pada Lahan Sawah Tadah Hujan Maize Production Technology Adoption Based on Integrated Crop Management Approaches on the Rainfed Lowland Margaretha SL. dan Syuryawati Balai Penelitian Tanaman Serealia Jl. Dr. Ratulangi No. 274, Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia * E-mail:
[email protected] Naskah diterima 7 Juni 2016, direvisi 28 Maret 2017, disetujui diterbitkan 3 April 2017
ABSTRACT Maize production technology based on Integrated Crop Management (ICM) was introduced to Mandalle village, Pangkep District, South Sulawesi in 2005 to 2008. In 2009 within the development area on the rainfed lowland, study was conducted to measure the rate of technology adoption based on ICM, and to study its socio-economic impact on the farmers. Results showed, among the nine introduced technology components only the proper rates of fertilization optimum plant spacing were not fully adopted by farmers. Technology components variety, land preparation, soil drainage, irrigation, weeding, pest and disease control and the use of corn sheller, all had been adopted. Lamuru and BISI varieties are feasible to be recommended, due to their high yield and good acceptance by farmers. Lamuru variety gave higher profit than did BISI variety, and its the cost of production for Lamuru was lower that that of BISI. The R/C value was >1, B/C was larger that 1, and MBCR was 0.70. The maize farming during the dry season had created land leasing, farmers’ group and partnership between farmers and traders and corn sheller ranting, which had reduced the unemployment and urbanization in the village. Keywords: Maize, rainfed areas, technology production, adoption.
ABSTRAK Pengembangan teknologi produksi jagung melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dilaksanakan di Desa Mandalle, Kabupaten Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2005– 2008. Pada tahun 2009, di area pengembangan teknologi dilakukan penelitian tingkat adopsi teknologi produksi jagung dengan pendekatan PTT, pada areal lahan sawah tadah hujan dan penelitian dampak adopsi teknologi terhadap sosial ekonomi petani yang terlibat dalam proses pengembangan PTT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari sembilan komponen teknologi yang diintroduksikan hanya dosis pupuk secara tepat dan jarak tanam optimal yang belum diadopsi oleh petani. Komponen varietas, penyiapan lahan, drainase, pengairan, penyiangan, pemberantasan hama/penyakit dan penggunaan alat pemipil telah diadopsi dengan baik. Varietas Lamuru dan BISI layak untuk dianjurkan karena produktivitasnya tinggi dan penerimaan petani yang baik. Varietas Lamuru memberi keuntungan
yang lebih besar (Rp 4.005.280/ha) dari varietas BISI (Rp 2.121.360/ ha). Biaya produksi/kg biji pipilan varietas Lamuru lebih rendah dari biaya produksi varietas BISI yaitu Rp 831/kg biji, R/C >1 (2,05), B/C >1 (1,05), dan MBCR 0,70. Varietas Lamuru dari segi biaya produksi lebih efisien dan menguntungkan dibandingkan varietas Bisi. Terbentuknya kelembagaan sewa lahan, sewa alat pipil, kemitraan, dan kelompok petani jagung juga mengurangi pengangguran dan urbanisasi. Kata kunci: Jagung, lahan sawah tadah hujan, teknologi produksi dan adopsi.
PENDAHULUAN Jagung bersifat multiguna, selain untuk pangan dan pakan juga dapat digunakan sebagai bahan baku bioetanol untuk subsitusi bahan bakar minyak premium. Permintaan akan jagung terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara produksi belum mampu mecukupi kebutuhan nasional sehingga impor dalam 2013 ratarata 3,4 juta ton/tahun (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan 2014). Produktivitas jagung di tingkat petani masih rendah, baru mencapai 4,8 t/ha (BPS 2014), sedangkan di tingkat penelitian dapat mencapai 6,0–10 t/ha, bergantung pada kondisi lahan dan teknologi yang diterapkan (Adnyana et al. 2007, Aqil et al. 2014, Sutoro 2015). Penerapan teknologi budi daya jagung oleh petani umumnya masih parsial, dan anjuran teknologi digeneralisasi di seluruh agroekosistem. Memadukan sejumlah komponen teknologi sesuai dengan kondisi lingkungan tumbuh tanaman diharapkan dapat meningkatkan produktivitas, efisiensi produksi, dan pendapatan usahatani jagung. Peningkatan produkivitas dan pendapatan petani diharapkan menjadi titik ungkit bagi upaya pengembangan jagung. 53
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 1 NO. 1 2017
Budi daya jagung dengan pendekatan PTT diharapkan mampu meningkatkan produktivitas dan pendapatan. PTT bukan paket teknologi, tetapi pendekatan dalam budi daya jagung yang menekankan pada pengelolaan tanaman, lahan, air dan organisme pengganggu tanaman secara terpadu dengan mempertimbangkan hubungan sinergis dan komplementer antarkomponen teknologi dan sumber daya setempat. Hasil jagung pada penelitian PTT di Desa Ajjakang, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan, rata-rata 4,52 t/ha dengan keuntungan Rp 4.723.300/ha (Hadijah 2010), sementara di Kabupaten Pangkep rata-rata 5,67 t/ha dengan keuntungan rata-rata Rp 7.240.000/ha (Margaretha dan Zubachtirodin 2010). Di Kabupaten Bolaan Mongondow, Sulawesi Utara, Tamburian et al. (2011) mengemukakan bahwa hasil jagung yang dibudidayakan dengan pendekatan PTT mencapai 7,0– 7,8 t/ha, 54% lebih tinggi dibanding tanpa PTT. Hal yang sama dikemukakan oleh Hutapea (2012) dan Asnawi (2014) bahwa usahatani padi sawah dengan pendekatan PTT memiliki produktivitas dan efisiensi yang lebih tinggi dibanding non-PTT. Kondisi berbeda dilaporkan oleh Pakasi et al. (2014) bahwa usahatani jagung dengan pendekatan PTT di Kabupaten Minahasa. Sulawesi Utara, menunjukkan tingkat efisiensi yang tidak berbeda dengan tanpa PTT. Inovasi PTT mengintegrasikan berbagai komponen teknologi yang terdiri atas komponen dasar dan pilihan. Komponen dasar meliputi: varietas unggul baru, benih bermutu dan berlabel, populasi tanaman 66.000–75.000 rumpun/ha, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman dan status hara tanah, sedang komponen pilihan meliputi penyiapan lahan, pembuatan saluran drainase, pemberian bahan organik, pembumbunan, pengendalian gulma secara mekanis atau dengan herbisida kontak, pengendalian hama dan penyakit serta teknologi pascapanen yang sesuai dengan kondisi lahan dan sosial ekonomi masyarakat setempat (Balitsereal 2013). Balitsereal mengembangkan inovasi PTT di lahan sawah tadah hujan pada tahun 2005 di Kabupaten Pangkep seluas 3 ha. Pada tahun 2008 pengembangan inovasi PTT jagung diperluas menjadi 20 ha. Pada tahun 2009 diharapkan petani sudah mandiri dalam menerapkan komponen teknologi pengelolaan tanaman jagung. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat adopsi teknologi produksi jagung melalui pendekatan PTT pada lahan sawah tadah hujan dan dampaknya terhadap sosial ekonomi masyarakat setempat.
54
BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Juni 2009 di Desa Mandalle, Kecamatan Mandalle, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, yang merupakan daerah pengembangan inovasi PTT jagung sejak tahun 2005 sampai 2008. Penelitian dilaksanakan dalam bentuk survei terstuktur. Sumber data yang dikumpulkan berasal dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan mewawancarai 25 petani responden yang diambil secara acak (simple random sampling) menggunakan kuesioner yang telah dirancang sebelumnya. Data sekunder diperoleh dari desk study, instansi terkait, dan tokoh masyarakat setempat. Data yang dikumpulkan adalah komponen teknologi PTT jagung yang diterapkan petani pada lahan sawah tadah hujan. Komponen teknologi yang diteliti meliputi: 1) varietas unggul Lamuru, 2) benih berkualitas, 3) penyiapan lahan, tanpa olah tanah + herbisida, 4) pembuatan saluran drainase dan distribusi air, 5) populasi tanaman optimal sekitar 66.000 tanaman/ha, jarak tanam 75 cm x 40 cm (dua tanaman/rumpun), 6) pemupukan 300 kg/ha urea + 200 kg/ha Phonska, 7) pengairan dengan sumber air dari sumur/pompanisasi, 8) penyiangan manual. 9) Pengendalian OPT, dan 10) penggunaan alat pemipil jagung. Teknik Analisis Data yang terkumpul ditabulasi untuk selanjutnya dianalisis menggunakan metode analisis keuntungan, R/C rasio, B/C rasio, MBCR, dan Break Event Point (BEP) . Untuk mengetahui tingkat adopsi komponen teknologi PTT digunakan analisis Chi Square (X2). m n Analisis keuntungan: Π = Σ Yi.PYi – Σ Xi.Pxi, i=1 i=1 m Analisis R/C rasio = Σ Yi.PYi i=1
Analisis B/C rasio =
n
Σ Xi.Pxi,
i=1
m
n
i=1
i=1
Σ Yi.PYi – Σ Xi.Pxi
n
Σ Xi.Pxi
i=1
R/C ratio > 1: Usahatani jagung efisien karena penerimaan yang diperoleh lebih besar dari pengeluaran R/C ratio = 1: Impas (penerimaan sama dengan pengeluaran)
MARGARETHA DAN SYURYAWATI: ADOPSI TEKNOLOGI PRODUKSI JAGUNG
R/C ratio < 1: Usahatani jagung tidak efisien karena penerimaan lebih kecil dari pengeluaran. di mana: Π = Keuntungan (Rp/ha) Σ = Jumlah dari i ke m atau i ke n Yi = Produksi (kg/ha) PYi = Harga produksi (Rp/ha) Xi = Biaya usahatani (Rp/ha) PYi = Harga input (Rp/ha) i …..n = Banyaknya input yang ditambahkan i…...m = Banyaknya output yang diperoleh. Keuntungan Teknologi Baru (BISI) – Keuntungan Teknologi Lama (Lamuru) Analisis MBCR = ————————————————— Biaya teknologi Baru (BISI) – Biaya Teknologi Lama (Lamuru) di mana: MBCR >1: Usahatani jagung layak diusahakan MBCR <1: Usahatani jagung tidak layak diusahakan Analisis Titik Impas/Break Event Point (Heriyanto dan Rozi 1994) Titik impas atas dasar produksi TFC BEP (Y) = ————— Py – AVC di mana: TFC = Total biaya tetap PY = Harga produksi AVC = Rata-rata biaya variabel = TVC/Y TVC = Total biaya variabel Y = Produksi (kg) Titik impas atas dasar nilai uang TFC BEP (Rp) = ——————— TVC 1 – ———— R di mana: TFC = Total biaya tetap TVC = Total biaya variabel R = Penerimaan Titik Impas berdasarkan luas usaha/garapan BEP (ha) = Q/Y * 1 ha di mana: Q = Produktivitas lahan di lokasi penelitian Y = Produksi jagung hasil penelitian
Analisis Chi Square (Sujana 1989) (fo-ft)2 X = Σ ————— ft 2
di mana: X2 = Chi square Σ = Jumlah
fo = frekuensi yang diamati ft = frekuensi yang diharapkan
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Daerah Penelitian Kabupaten Pangkep termasuk wilayah Pantai Barat Sulawesi Selatan. Musim hujan terjadi pada Oktober sampai Maret dan musim kemarau pada April sampai September. Pola tanam petani responden sebelum dan sesudah introduksi inovasi PTT jagung dapat dilihat pada Gambar 1. Sebelum introduksi inovasi PTT jagung, pola tanam pada lahan sawah tadah hujan adalah padipalawija-bera, padi-sayuran-bera, dan padi-bera. Palawija dan sayuran ditanam dalam luasan kecil sesuai dengan ketersediaan air. Setelah introduksi inovasi PTT jagung, pola tanam pada lokasi penelitian adalah padijagung. Setelah panen padi, lahan umumnya dibiarkan bera, petani mencari tambahan pendapatan ke Kota Pangkep atau Makassar bekerja sebagai tukang becak, buruh bangunan atau tukang kayu. Beberapa petani yang terlibat dalam pengembangan inovasi PTT jagung memanfaatkan lahan bera dan mencurahkan tenaga keluarganya untuk usahatani jagung. Sumber air untuk pengairan tanaman adalah sumur yang dibangun di sekitar areal pertanaman dengan bantuan alat-mesin pompa. Tingkat Adopsi Komponen Teknologi Varietas Unggul dan Benih Bermutu Komponen teknologi yang direkomendasikan pada program PTT antara lain adalah varietas unggul Lamuru dengan benih berkualitas. Setelah program PTT berakhir (MT 2009), petani umumnya menggunakan jagung hibrida varietas BISI (Tabel 1). Sebanyak 88% petani responden menggunakan varietas BISI dan sisanya 12% varietas Lamuru. Masih ada 19% petani yang belum mengetahui varietas Lamuru, dan 64% sudah pernah menggunakan. Petani memilih varietas BISI bukan karena tidak mau menanam varietas Lamuru seperti yang direkomedasikan pada program PTT sebelumnya, namun karena pada saat tanam tidak tersedia benih varietas Lamuru sebagaimana dijelaskan oleh 76% responden. Benih
55
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 1 NO. 1 2017
(a)
Curah Hujan (mm)
CH (mm)
HH (hr)
1000 800 600 400 200 0
25 20 15 10 5 0 Jan Feb Mrt
Hari Hujan (hr)
Apr Mei Jun Jul Agst Sept Okt Nop Des Bulan
Pola tanam sebelum introduksi PTT jagung (b)
Pola I
Pola II
Pola III
Padi
Palawija
Padi
Sayuran
Padi
Bero
Bero
Bero
Bero
Pola tanam sesudah introduksi PTT jagung
Padi
Jagung
Gambar 1. Curah hujan (a) dan pola tanam (b) pada lahan sawah tadah hujan, di Desa Mandalle, Kecamatan Mandalle, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, 2005-2009.
jagung yang tersedia pada waktu tanam adalah varietas hibrida BISI yang merupakan bantuan dari Dinas Pertanian setempat. Dafid (2012) mengatakan, tersedianya benih unggul diharapkan meningkatkan produktivitas dan kualitas produksi jagung. Oleh karena itu, upaya peningkatan produksi harus didukung oleh ketersediaan benih bermutu tinggi dari varietas unggul. Mutu benih tersebut mencakup mutu genetik, mutu fisik, dan mutu fisiologis. Penyiapan Lahan Penyiapan lahan dilakukan tanpa olah tanah (TOT) agar air tanah yang masih tersedia setelah panen padi dapat
56
dimanfaatkan untuk budi daya jagung. Hal ini juga tidak mengganggu tekstur tanah dan menjaga kelembaban tanah untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Tingkat adopsi teknologi penyiapan lahan oleh petani responden disajikan pada (Tabel 2). Tabel 2 menunjukkan teknologi TOT + herbisida masih diterapkan oleh 92% responden dengan alasan hemat tenaga dan biaya (44%). Informasi teknologi ini diperoleh petani dari peneliti dan penyuluh pertanian. Akil et al. (2007) mengemukakan bahwa pada daerah dengan curah hujan terbatas, penanaman jagung tidak dapat ditunda karena tanaman berpotensi mengalami kekeringan atau bahkan gagal panen. Kondisi tanah
MARGARETHA DAN SYURYAWATI: ADOPSI TEKNOLOGI PRODUKSI JAGUNG
Tabel 1. Tingkat adopsi varietas unggul dan sumber benih jagung di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, 2009.
Tabel 2. Tingkat adopsi teknologi penyiapan lahan di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, 2009.
Uraian
Uraian
n=25
(%)
Varietas yang digunakan • Lamuru • BISI
3 22
12 88
Alasan menggunakan • Bantuan Diperta • Turunan • Benih varietas Lamuru tidak ada
6 3 19
24 12 76
Sumber benih • Peneliti Balitsereal • Diperta • Keltan/teman
2 21 2
8 84 8
Tingkat adopsi • Tidak tahu • Tahu/pernah melihat • Tertarik • Pernah menggunakan • Masih menggunakan
4 1 1 16 3
16 4 4 64 12
n adalah jumlah responden yang dipilih mewakili petani jagung
pada lokasi penelitian mengeras pada musim kemarau dan lengket pada musim hujan. Dalam kondisi demikian, penyiapan lahan dengan teknik tanpa olah tanah dapat diterapkan. Saluran Drainase Pada awal introduksi inovasi PTT jagung, Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal) selain membuat saluran drainase juga membuat beberapa sumur untuk memenuhi kebutuhan air tanaman, terutama pada musim kemarau. Sebanyak 76% responden masih menggunakan rekomendasi ini (Tabel 3). Sebanyak 72% petani responden melakukan pembuatan drainase dengan alasan untuk menghindari tanaman tergenang pada musim hujan (48%), memperlancar pengairan tanaman (16%), dan mempermudah pemberian air (16%). Hal ini menunjukkan sebagian besar petani telah memahami perlunya saluran drainase. Menurut Widiasmadi (2007), saluran drainase dengan perlakuan pasir pada tanah dengan gradasi tertentu dapat memperlancar pengaliran air ke petak pertanaman dan selanjutnya pembuangan air ke luar petakan. Pembuatan sumur di areal pertanaman dapat disejalankan dengan pembuatan saluran drainase yang disesuaikan dengan konstruksi sumur dan aliran permukaan air tanah. Jarak Tanam Komponen teknologi jarak tanam yang digunakan disesuaikan dengan kondisi lahan, varietas, dan musim
n=25
(%)
Penyiangan lahan • Tanpa olah tanah tanpa herbisida • Olah tanah maksimum • Olah tanah minimum • Tanpa olah tanah, aplikasi herbisida
1 0 1 23
4 0 4 92
Alasan menggunakan • Mencegah gulma • Hemat tenaga dan biaya • Mempercepat pertumbuhan tanaman • Tidak komentar
3 11 3 8
12 44 12 32
Sumber informasi • Peneliti Balitsereal • Penyuluh Pertanian • Keltan/teman • Sendiri
9 16 2 2
36 64 8 8
Tingkat adopsi • Tidak tahu • Tahu/pernah melihat • Tertarik • Pernah menggunakan • Masih menggunakan
0 2 0 0 23
0 8 0 0 92
n adalah jumlah responden yang dipilih mewakili petani jagung
Tabel 3. Tingkat penerapan saluran drainase pada lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, 2009. Uraian
n = 25
(%)
Pembuatan saluran drainase • Ya • Tidak
18 7
72 28
Alasan pembuatan saluran drainase • Menghindari tanaman tergenang • Memperlancar air • Mempermudah pemberian air • Tidak komentar
11 4 4 6
48 16 16 24
Sumber informasi • Peneliti • Penyuluh pertanian • Kelti/teman • Orang tua • Sendiri
4 11 3 1 2
16 44 12 4 8
Tingkat Adopsi • Tidak tahu • Tahu/pernah melihat • Tertarik • Pernah menggunakan • Masih menggunakan
0 5 2 0 18
0 20 8 0 72
n adalah jumlah responden yang dipilih mewakili petani jagung
tanam. Pada musim kemarau, jarak tanam yang digunakan lebih rapat dibanding musim hujan. Hal ini disebabkan karena pada musim kemarau penguapan air lebih tinggi dan untuk mengurangi penguapan air digunakan jarak tanam rapat. Jarak tanam yang dianjurkan dalam program 57
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 1 NO. 1 2017
Tabel 4. Tingkat adopsi jarak tanam jagung pada lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, 2009.
Tabel 5. Tingkat adopsi teknologi pemupukan jagung di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, 2009.
Uraian
Uraian
n = 25
(%)
Jarak tanam petani • Anjuran, 75 cm x 40 cm • Di luar anjuran
9 16
36 74
Jumlah biji/lubang • 1 biji • 2 biji
2 23
8 92
Alasan menggunakan jarak tanam • Target dapat dicapai • Besar buahnya • Mudah dilakukan • Pertanaman tumbuh baik • Tidak Komentar
1 1 1 3 19
4 4 4 12 76
Sumber informasi • Peneliti • Penyuluh pertanian • Keltan/teman • Orang tua • Produsen benih
9 8 10 0 1
36 32 40 0 4
0 6 4 6 9
0 24 16 24 36
Tingkat adopsi • Tidak tahu • Tahu/pernah melihat • Tertarik • Pernah menggunakan • Masih menggunakan
n adalah jumlah responden yang dipilih mewakili petani jagung
PTT jagung adalah 75 cm x 40 cm, dua biji per lubang. Setelah program PTT jagung berakhir, jarak tanam yang diterapkan petani bervariasi (Tabel 4). Tingkat adopsi jarak tanam anjuran (75 cm x 40 cm) oleh petani responden adalah 36%, 92% di antaranya menggunakan dua biji/lubang. Sebanyak 74% petani responden menggunakan jarak tanam 80 cm x 40 cm karena lebih praktis. Tingkat adopsi jarak tanam bergantung pada sumber informasi seperti teman/ kelompok tani (40%), peneliti (36%), dan penyuluh (32%). Rambitan (2004) mengatakan bahwa pengaturan jarak tanam bertujuan untuk menekan persaingan tanaman dalam pengambilan zat hara, air, dan cahaya matahari agar dapat berproduksi optimal. Girsang dalam Yulisma (2011) mengatakan bahwa pengaruh jarak tanam terhadap hasil biji memperlihatkan fungsi kuadratik. Pemupukan Dosis pupuk anjuran dalam PTT jagung adalah 200 kg/ ha Ponska + 300 kg/ha urea. Teknologi ini hanya diadopsi oleh 24% petani responden, sedangkan 76% lainnya menggunakan pupuk bukan anjuran dan bahkan sebagian petani tidak menggunakan pupuk sama sekali (Tabel 5). 58
n = 25
(%)
6 14 5
24 56 20
1 3 2 1 4 1
8 12 8 4 16 4
Sumber informasi • Peneliti • Penyuluh pertanian • Keltan/teman • Lainnya
4 12 8 1
16 48 32 4
Sumber pupuk • Peneliti • Penyuluh pertanian • Keltan • Toko tani
0 8 12 5
0 32 48 20
Tingkat adopsi • Tidak tahu • Tahu/pernah melihat • Tertarik • Pernah menggunakan • Masih menggunakan
0 11 3 6 5
0 44 12 24 20
Jenis dan dosis pupuk • Sesuai anjuran (200 kg Ponska + 300 kg/ha urea • Bukan anjuran • Tidak menggunakan pupuk Alasan tidak menggunakan dosis anjuran • Mahal • Produksi tinggi • Informasi dari teman • Mau coba • Pertumbuhan tanaman baik • Pengalaman
n adalah jumlah responden yang dipilih mewakili petani jagung
Tabel 5 menunjukkan 56% petani menggunakan pupuk dengan jenis dan dosis bukan anjuran, bahkan 20% petani tidak menggunakan pupuk dengan alasan mahal. Sebanyak 12% dan 15% petani yang menggunakan jenis dan dosis pupuk anjuran adalah dengan alasan produksi tinggi dan pertumbuhan tanaman lebih baik. Mapegau (2010) menyimpulkan bahwa pemupukan N dan P dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil jagung. Pemupukan N dengan dosis 90 kg/ha hingga 135 kg/ha dan pemupukan P pada dosis 46 kg/ha hingga 69 kg/ha P2O5 menghasilkan pertumbuhan yang lebih baik dengan bobot biji kering tertinggi. Pengairan Lokasi penelitian di Desa Mandalle didominasi oleh lahan sawah tadah hujan yang pada musim kemarau umumnya tidak ditanami karena tanah pecah-pecah. Teknologi yang diintroduksikan pada program PTT jagung adalah membuat sumur pompa di areal pertanaman agar lahan dapat dimanfaatkan setelah panen padi. Dalam program PTT jagung, pemberian air pada pertanaman direkomendasikan enam kali (Tabel 6).
MARGARETHA DAN SYURYAWATI: ADOPSI TEKNOLOGI PRODUKSI JAGUNG
Tabel 6. Tingkat penerapan teknologi pengairan tanaman jagung pada lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, 2009.
Tabel 7. Tingkat penerapan penyiangan tanaman jagung pada lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, 2009.
Uraian
Uraian
n = 25
(%)
Pemberian air • Saat tanam • 2 minggu setelah tanam • 40 hari setelah tanam • Sesuai kondisi lapangan
3 2 3 17
12 8 12 68
Frekuensi pemberian • 6 x (rekomendasi) • 3x • 2x • Lainnya
1 10 10 4
4 40 40 16
Sumber pengairan • Irigasi • Pompanisasi • Hujan
0 25 0
0 100 0
Alasan pemberian • Sesuai kebutuhan tanaman • Tenaga dan biaya terbatas • Biaya mahal • Kekeringan • Tidak komenetar
6 1 1 2 15
Sumber informasi pemberian • Peneliti • Penyuluh pertanian • Kelompok tani/teman • Sendiri Tingkat adopsi • Tidak tahu • Tahu/pernah melihat • Tertarik • Pernah menggunakan • Masih menggunakan
n = 25
(%)
Cara penyiangan • Konvensional (tangan) • Sabit • Herbisida
0 5 20
0 20 80
Frekuensi penyiangan • 3x • 2x • 1x • Lainnya
2 15 8 0
8 60 32 0
Alasan penyiangan • Tenaga kerja dan modal kurang • Kondisi lapangan • Mengurangi gulma • Rumput mati • Tidak komentar
2 4 1 2 16
8 16 4 8 64
24 4 4 8 60
Sumber informasi • Peneliti • Penyuluh pertanian • Keltan/sesama petani • Sendiri
10 10 3 2
40 40 12 8
4 10 2 9
16 40 8 36
Tingkat adopsi • Tidak tahu • Tahu • Tertarik • Pernah mencoba • Masih menggunakan
0 4 3 3 15
0 16 12 12 60
0 15 6 1 3
0 60 24 4 12
n adalah jumlah responden yang dipilih mewakili petani jagung
Meski demikian hanya 4% petani yang mengairi tanaman sesuai rekomendasi PTT. Hal ini disebabkan pada awal pertanaman masih ada hujan bahkan banjir, sehingga pemberian air hanya 2-3 kali oleh 80% petani dengan alasan sesuai dengan kebutuhan tanaman. Hal ini senada dengan pendapat Sudiana et al. (2012) bahwa pertanaman jagung selama pertumbuhan hanya memerlukan dua kali pengairan kalau tidak turun hujan, yaitu pada saat menjelang tanaman berbunga dan saat pengisian biji. Sumber air berasal dari sumur pompa dan informasi pemberian air diperoleh dari paneliti (20%), penyuluh pertanian (44%), keinginan sendiri (36%), dan dari keltan/teman (16%). Prabowo et al. (2014) mengasumsikan bahwa budi daya jagung pada lahan sawah hanya satu kali setelah panen padi, sumber air adalah sumur pompa yang dapat meningkatkan indeks pertanaman.
n adalah jumlah responden yang dipilih mewakili petani jagung
Penyiangan Penyiangan bertujuan untuk membersihkan lahan dari tanaman pengganggu (gulma). Waktu penyiangan yang tepat, meskipun hanya dilakuan sekali, tanaman jagung masih mampu berproduksi dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan bebas gulma selama pertumbuhan tanaman. Persaingan gulma dengan tanaman jagung umumnya terjadi pada 1/4-1/3 masa pertumbuhan pertanaman. Setelah program PTT jagung berakhir di lokasi pengembangan, petani tetap melakukan penyiangan menggunakan herbisida (Tabel 7). Dari 80% petani yang telah melakukan penyiangan, hanya 60% yang sampai pada tingkat mengadopsi rekomendasi PTT. Penyiangan dilakukan dua kali, yaitu pada saat tanaman berumur 20 HST dan 45 HST. Sebanyak 16% petani melakukan penyiangan sesuai kondisi pertumbuhan gulma di lapangan. Sebagian besar petani (64%) tidak memberi komentar yang menunjukkan mereka belum memahami arti penyiangan. Menurut Simamora (2008), penyiangan tanaman jagung pada umur 7 HST memberikan hasil
59
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 1 NO. 1 2017
yang lebih baik. Hal ini menunjukkan penyiangan pada 7 HST dapat menekan gulma pada periode kritis meskipun tumbuh kembali setelah 20 HST. Penyiangan pada 21 HST menurunkan hasil jagung 15% atau 1.14 t/ ha dibandingkan dengan penyiangan pada 7 HST.
yang tidak melakukan pemberantasan berarti serangan hama dan penyakit belum merugikan. Margaretha et al. (2009) menyimpulkan bahwa pemilihan waktu tanam yang tepat dapat menekan serangan hama. Penggunaan Alat Pemipil
Pengendalian Hama dan Penyakit Pemberantasan hama dan penyakit bergantung pada kondisi pertanaman di lapangan, sehingga rekomendasi bervariasi sesuai dengan hama dan penyakit yang menyerang tanaman. Pada MT 2009, cara dan frekuensi pengendalian serta sumber informasi hama dan penyakit tanaman jagung dapat dilihat pada Tabel 8. Setelah program PTT jagung berakhir, hanya 20% petani yang masih melakukan pengendalian hama dan penyakit pada tanaman jagung, 48% hanya sampai pada tingkat mengetahui. Hama yang ada pada saat penelitian adalah hama tikus, sebagaimana yang dijelaskan oleh 28% petani, kemudian hama penggerek batang (16%). Oleh karena itu, 12% petani menggunakan cara pengendalian hama secara fisik, 20% secara mekanik, dan 24% menggunakan pestisida. Melihat banyaknya petani (44%)
Program PTT jagung tidak hanya mengintroduksikan teknologi budi daya (agronomi), tapi juga alat pemipil jagung. Tingkat penggunaan alat pemipil jagung oleh petani responden disajikan pada Tabel 9. Di awal pengembangan program PTT jagung pada lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, diintroduksikan alat pemipil jagung rancangan Balitsereal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 56% petani masih menggunakan alat pemipil yang diintroduksikan. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Umar (2011) bahwa alat pemipil jagung yang berkembang adalah corn sheller dengan kapasitas yang cukup besar karena dirancang untuk kapasitas kerja yang tinggi agar dapat mengatasi produksi jagung yang cukup tinggi di wilayah tersebut. Pendapatan dan Efisiensi Usahatani Jagung dan Padi
Tabel 8. Tingkat penerapan teknologi pengendalian hama dan penyakit tanaman jagung pada lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, 2009. Uraian
n = 25
(%)
Cara pemberian • Fisik • Mekanik • Kimia • Tidak menggunakan
3 5 6 11
12 20 24 44
Frekuensi pemberantasan • 3x • 2x • 1x • Tidak lakukan
0 1 3 21
0 4 12 84
Alasan pengendalian • Hama tikus • Hama penggerek batang • Semut • Tidak komentar
7 4 1 13
28 16 4 52
Sumber informasi • Peneliti • Penyuluh pertanian • Keltan • Sendiri • Tidak komentar
1 6 4 4 10
4 24 16 16 40
Tingkat adopsi • Tidak tahu • Tahu • Tertarik • Pernah mencoba • Masih menggunakan
0 12 2 6 5
0 48 8 24 20
n adalah jumlah responden yang dipilih mewakili petani jagung
60
Varietas jagung yang sudah dikenal dan disenangi petani adalah Lamuru. Namun pada saat tanam, benih varietas ini tidak tersedia, hanya cukup untuk beberapa petani, sehingga petani lainnya menanam varietas BISI, bantuan dari Diperta Kabupaten Pangkep. Hasil analisis usahatani jagung di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 10. Dari Tabel 10 terlihat bahwa petani yang menanam varietas BISI menggunakan pupuk yang berlebih, yakni 366 kg/ha urea dan 235 kg/ha phonska, sedang untuk Tabel 9. Tingkat penggunaan alat pemipil jagung oleh petani responden di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, 2009. Uraian
n = 25
(%)
Penjualan jagung dalam bentuk • Biji • Tongkol
22 3
88 12
Alasan pemipilan • Permintaan pembeli • Hemat tenaga • Tidak komentar
18 1 6
72 4 24
Tingkat penggunaan pemipil • Tidak tahu • Tahu • Tertarik • Pernah mencoba • Masih menggunakan
2 1 6 2 14
8 4 24 8 56
n adalah jumlah responden yang dipilih mewakili petani jagung
MARGARETHA DAN SYURYAWATI: ADOPSI TEKNOLOGI PRODUKSI JAGUNG
varietas Lamuru menggunakan pupuk dengan dosis 83 kg/ha phonska. Dosis pupuk yang direkomendasikan dalam program PTT jagung adalah 200 kg/ha urea + 300 kg/ha phonska. Hal ini mempengaruhi biaya sarana produksi dan hasil jagung. Biaya usahatani Rp 6.013.140/ha untuk varietas BISI dan Rp 3.826.620/ha untuk varietas Lamuru dengan produktivitas masingmasing 4.785 kg/ha dan 4.607 kg/ha. Aqil dan Arvan (2014) mengemukakan bahwa rata-rata hasil varietas Lamuru
5,6 t/ha sedang varietas BISI 7–9 t/ha. Petani sudah merasa puas dengan hasil yang dicapai. Sebanyak 12% petani mengatakan jenis dan dosis pupuk yang digunakan sudah memberi pertumbuhan yang baik dan hasil yang tinggi. Varietas Lamuru dan BISI dapat diusahakan karena produktivitas dan penerimaan yang diperoleh lebih besar dari BEP produktivitas (346 kg/ha dan 889 kg/ha) dan BEP penerimaan (Rp 266.200/ha dan Rp 1.512.500/ha).
Tabel 10. Analisis usahatani jagung varietas Lamuru dan BISI dalam program pengembangan PTT jagung di Desa Mandalle, Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, 2009. Jagung var. BISI
Jagung var. Lamuru
Uraian
Biaya tetap (TFC) • % Sewa lahan Biaya tidak tetap (TVC) Biaya sarana produksi • Benih (kg/ha) • Pupuk urea (kg/ha) • Pupuk Phonska (kg/ha) • Pupuk ZA (Kg/ha) • Pupuk KCl (kg/ha) • Herbisida (l/ha) • Bensin (l/ha) Jumlah biaya sarana produksi (Rp/ha) Tenaga kerja (HOK/ha) • Penyiapan lahan • Penanaman • Penyiangan/pembumbunan I • Penyiangan/pembumbunan II • Pemupukan I • Pemupukan II • Pengairan • Panen • Pengangkutan hasil panen • Pemipilan • Penjemuran Jumlah biaya tenaga kerja Total biaya tidak tetap (TVC) Total biaya (TC) Penerimaan (Rp/ha) Keuntungan (Rp/ha) R/C rasio B/C rasio MBCR varietas BISI terhadap varietas Lamuru BEP produktivitas (kg/ha) BEP penerimaan (Rp/ha) Rasio biaya/kg biji
Fisik
Nilai (Rp)
Fisik
Nilai (Rp)
1 ha
484.000
1 ha
325.000
16 366 235 24 9 5 78
440.000 484.000 446.500 28.800 25.200 27.500 410.600
30 250 83 17 7 23
225.000 325.000 157.700 20.400 385.000 120.900
1.862.600 9 21 13 5 21 20 18 43 6 -
4.785
180.000 420.000 260.000 100.000 420.000 400.000 360.000 860.000 120.000 546.540 3.666.540 5.529.140 6.013.140 8.134.500 2.121.360
1,35 0,35 -0,70
1.234.000 5 17 1 15 3 19 32 -
4.607
100.000 340.000 20.000 300.000 60.000 380.000 640.000 427.620 2.267.620 3.501.620 3.826.620 7.831.900 4.005.280
2,05 1,05 889 1.512.500
1.257
346 266.200 831
Harga urea: Rp 1.300-1.400/kg Harga phonska: Rp 1.900/kg Harga ZA: Rp 1.200/kg Harga KCl: Rp 2.800/kg Harga ZA: Rp 1.200/kg Harga herbisida: Rp 55.000/kg Harga jagung pipil: Rp 1.700/kg Harga premium: Rp 5.000–5.500/l Upah panen: 10:1 dari hasil Harga gabah: Rp 2.062/kg (petani menjual dalam bentuk gabah, bukan beras) Harga benih jagung varietas BISI = Rp 27.500/kg Harga benih jagung varietas Lamuru = Rp 7.500 Biaya pengolahan tanah: Rp 800.000–900.000/ha
61
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 1 NO. 1 2017
Penggunaan varietas Lamuru memberi keuntungan yang lebih besar (Rp 4.005.280/ha) dan lebih efisien menggunakan sarana produksi. Hal ini terlihat nilai rasio biaya/kg biji pipilan kering yang lebih rendah dari varietas BISI, yaitu Rp 831/kg biji. Artinya, untuk menghasilkan 1 kg biiji pipilan kering diperlukan biaya Rp 831/kg, nilai R/ C >1 (2,05), nilai B/C >1 (1,05), dan nilai MBCR negatif 70. Petani umumnya menggunakan benih varietas BISI karena benih varietas Lamuru tidak tersedia sebagaimana yang dilaporkan oleh 76% petani responden, sedangkan 24% petani memperoleh benih varietas BISI dari Diperta Kabupaten Pangkep. Hal ini menjadi masukan bagi Balitsereal untuk membantu penyediaan benih varietas Lamuru dalam jumlah yang memadai agar dapat memenuhi kebutuhan petani di daerah pengembangan PTT jagung. Varietas Lamuru selain berdaya hasil tinggi juga toleran kekeringan. Penelitian Santoso et al. (2013) di Kabupaten Sumenep menunjukkan dari hasil jagung 4,93 t/ha diperoleh keuntungan Rp 6.944.099/ha. Menurut penelitian Mahdiana et al. (2010) dari 3,90 t/ha hasil jagung diperoleh keuntungan Rp 2.104.950/ha. Sementara itu, Sudiana et al. (2012) melaporkan beberapa keuntungan pemanfaatan lahan pada musim kemarau untuk budi daya jagung. Pertama, hasil cukup tinggi. Kedua, brangkasan (batang dan daun) jagung dapat dimanfaatkan untuk hijauan pakan ternak, khususnya sapi. Ketiga, tingkat kesuburan lahan dapat terjaga karena adanya pergiliran tanaman. Keempat, produktivitas lahan meningkat sehingga pendapatan petani juga meningkat. Tingkat Adopsi Teknologi Jagung Petani responden telah mengadopsi komponen teknologi PTT jagung dengan tingkat yang berbeda dan secara statistik juga berbeda (Tabel 11) . Komponen teknologi yang sangat nyata diadopsi petani adalah varietas, TOT + herbisida, drainase, Tabel 11. Tingkat adopsi komponen teknologi produksi jagung di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, 2009. Penerapan teknologi Komponen teknologi
df
X2hit
X20,01
X20.05
df
Varietas Lamuru TOT + herbisida Drainase Jarak tanam Dosis pupuk Pemberian air 6 kali Penyiangan Pemberantasan h/p Alat pemipil
4 2 2 3 3 3 3 3 4
31,6** 28,8** 21,4** 1,40ns 5,56ns 18,36** 16,44** 8,44* 23,20**
13,277 9,200 9,210 11,345 11,345 11,345 11,345 11,345 13,085
9,488 5,991 5,991 7,815 7,815 7,815 7,815 7,815 9,488
2 3 3 3 2 2 2 2 1
62
pengairan, penyiangan, dan alat pemipil jagung, sedang komponen teknologi pemberantasan hama dan penyakit diadopsi secara nyata. Komponen teknologi jarak tanam dan dosis pupuk tidak nyata diadopsi petani responden.
KESIMPULAN Setelah program PTT jagung berakhir, komponen teknologi yang masih diadopsi petani pada lahan sawah tadah hujan di Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan adalah TOT + herbisida (84%), pembuatan saluran drainase (76%), penyiangan (60%), pemberantasan hama dan penyakit (20%), jarak tanam 75 cm x 40 cm dengan dua tanaman/lubang (32%), dosis pupuk: 300 kg/ha urea + 200 kg/ha Phonska (20%), varietas Lamuru (12%) dan pengairan (12%) (pemberian air 6 x), dan alat pemipil (56%). Berdasarkan perhitungan BEP hasil (346 kg/ha dan 889 kg/ha) dan BEP penerimaan (Rp 266.200/ha dan Rp 1.512.500/ha), varietas Lamuru dan BISI layak diusahakan karena memberi keuntungan yang tinggi. Penggunaan varietas Lamuru memberi keuntungan yang lebih tinggi (Rp 4.005.280/ha). Balitsereal diharapkan dapat memproduksi benih jagung varietas Lamuru agar tersedia bagi petani dalam program pengembangan PTT jagung. Selain berdaya hasil tinggi varietas Lamuru juga toleran kekeringan. Pengembangan PTT jagung, pada lahan sawah tadah hujan dapat meningkatkan produktivitas lahan dan pendapatan petani serta memberdayakan tenaga kerja setempat dan mengembangkan kelembagaan kelompok tani jagung, serta kelembagaan ekonomi lainnya.
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih disampaikan kepada Ir. Zubachtiroddin MS., selaku penanggung jawab RPTP, Ir. A.F. Fadhly, MS. dan Ir. Agustina Buntan selaku penanggung jawab ROPP yang sudah memasuki masa purnabakti.
DAFTAR PUSTAKA Adnyana, M.O., Zubactirodin, K. Kariyasa, S. Saenong, Subandi, dan M.S. Pabbage. 2007. Prospek dan arah pengembangan agribisnis jagung. Eds. Kedua. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Akil, M. dan H.A. Dahlan. 2007. Budi daya jagung dan diseminasi teknologi. Jagung. Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Asnawi, R. 2014. Peningkatan produktivitas dan pendapatan petani melalui model pengelolaan tanaman terpadu padi sawah di Kabupaten Pesawaran. Lampung. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan 14(1):44-52.
MARGARETHA DAN SYURYAWATI: ADOPSI TEKNOLOGI PRODUKSI JAGUNG
Aqil, M dan R.Y. Arvan. 2014. Deskripsi varietas unggul jagung. Maros: Balai Penelitian Tanaman Serealia. 45p. Balitsereal. 2013. Pedoman umum PTT jagung. Maros: Balai Penelitian Tanaman Serealia. 19p. Barus, H. 2014. Skripsi: Potensi peningkatan indeks pertanaman berdasarkan pola ketersediaan air irigasi di Sumatera Bagian Utara. Bogor: Institut Pertanian Bogor. BPS. 2014. Luas panen, produksi dan produktivitas komoditas palawija. Badan Pusat Statistik. http://www.bps.go.id. Diakses 27 November 2015. Dafid, Olfa. 2012. Varietas menentukan hasil produksi. Skripsi. Program Studi Hortikultura. Lampung: Politeknik Negeri Lampung. Hadijah, A .D. 2010. Peningkatan produksi jagung melalui penerapan inovasi pengelolaan tanaman terpadu. IPTEK Tanaman Pangan 5(1):64-73. Heriyanto dan F. Rozi. 1994. Ekonomi produksi usahatani jagung hibrida. Laporan Pelatihan Penanganan Parent Stock Inbrida dan Pembuatan Benih Hibrida Tanaman. BLPP Ketindan. Kerja sama Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional (P4N). Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang dan Balai Latihan Pegawai Pertanian Ketindan. Hutapea, Y. 2012. Efisiensi usahatani dengan pelaksanaan sekolah lapang pengelolaan tanaman terpadu padi. Jurnal Pembangunan Manusia 6(3):1-14. Mahdiana, M, S. Sulastri, dan H.S. Handayawati. 2010. Analisis pengaruh penggunaan factor produksi usahatani jagung (Zea mays L). Wacana 13(4):684-688. Mapegau. 2010. Pengaruh pemupukan N dan P terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung. Jurnal Penelitian Universitas Jambi. Seri Sains: 12(2):33-36. Margaretha, SL. 2009. Penentuan waktu tanam yang tepat dan kebersihan lingkungan mencegah serangan OPT belalang dan dampaknya terhadap pendapatan petani jagung di K abupaten Pangkep. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan XIX PEI, PFI, Komisariat Daerah Sulawesi Selatan di Balitsereal Maros. Perhimpunan Entomologi Indonesia. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros, 5 November 2008. Margaretha, S.L.dan Zubachtirodin. 2010. Evaluasi penerapan sistem pengelolaan tanaman secara terpadu pada lahan sawah tadah hujan. Iptek Tanaman Pangan 5(2):159-168.
Pakasi, C.B.D., L. Pangemanan, J.R. Mandel, dan N.N.I. Rompas. 2014. Efisiensi penggunaan faktor produksi pada usahatani jagung di Kecamatan Romboken. Kabupaten, Minahasa. ASE 7(2):51-60. Prabowo, A., S.S. Arif, L. Sutiarso, dan B. Purwantana. 2014. Model simulasi pengembangan sistem irigasi untuk tanaman jagung di lahan sawah dan lahan kering (studi kasus pada usahatani jagung di Kabupaten Kediri). Agritech. 34(2): 203-212. Purwanto, S. 2007. Perkembangan produksi dan kebijakan dalam peningkatan produksi jagung. Dalam: Jagung. Teknologi Produksi dan Pengembangan. Bogor : Pusat Penelitian Tanaman Pangan. p.456-461. Rambitan, V.M.A. 2004. Pertumbuhan dan hasil empat kultivar jagung semi (Baby Corn) dengan berbagai populasi tanaman pada inception jaringan. J. Agroland 11(1):11-17. Rukmana, R. 2010. Jagung: budidaya, pascapanen, dan penganekaragaman pangan. Semarang: Aneka Ilmu. Santoso, R, H. Sudarmadji, dan Awiyanto. 2013. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi jagung di Kabupaten Sumenep. Cemara 10(1):10-17. Simamora, T.J.L. 2008. Pengaruh waktu penyiangan dan jarak tanam terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman jagung (Zea Mays L.) varietas DK3, USU Repository © 2008. Soekartawi. 2011. Ilmu usahatani dan penelitian untuk pengembangan petani kecil. UI Pers. Sudjana. 1989. Metoda statistika. Bandung: Tarsito. Sudiana, M.I. dan N.G.A. Gde Eka Martiningsih. 2012. Penerapan teknologi jarak tanam dan varietas jagung hibrida berbasis semi organik. Jurnal Ngayah 3(4):34-43. Sutoro. 2015. Determinan agronomis produktivitas jagung. IPTEK Tanaman Pangan 10(1):39-46. Tamburian, Y., W. Rembang dan Bahtiar. 2011. Kajian usahatani jagung di lahan sawah setelah padi melalui pendekatan PTT di Kabupaten Bolmong. Sulawesi Utara. Seminar Nasional Balitsereal. Maros: Balai Penelitian Tanaman Serealia. Umar, S. 2011. Teknologi alat dan mesin pascapanen sebagai komponen pendukung usahatani jagung di lahan kering Kalimantan Selatan. Jurnal Agris 15(3):109-115. Widiasmadi, N. 2007. Metode drainase untuk stabilitas lereng lahan pertanian. Mediargo (1):21-39. Yulisma. 2011. Pertumbuhan dan hasil beberapa varietas jagung pada berbagai jarak tanam. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 30(3):196-203.
63
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 1 NO. 1 2017
64