ADOPSI DALAM HUKUM ISLAM DAN HUKUM INDONESIA Sainul STAIN Jurai Siwo Metro Email :
[email protected]
Abstract This essay reveal about the procedure of adoption (adoption) in accordance with Islamic law and the legal status of adopted children in force in Indonesia. In Law No. 23 of 2002 on Child Protection determined that the removal of the child should not be decided in religion and blood relationship with the adoptive child’s biological parents. Setting Government Regulation No. 54 Year 2007 on the Implementation of Child Adoption namely that the procedures for adoption between Indonesian citizen that a child can lift a maximum of 2 (two) times the distance of at least 2 (two) years. For the validity of the appointment of a child in Indonesia, after a request for adoption through the procedures of the rules in the legislation that exists, adoptions subsequently passed through the last step, namely the presence of a court decision issued by the court in the form of a court warrant or known by the judgment declaratory, that statement from judges that the adopted child is legitimate as a foster child of the adoptive parents who apply for adoption. Court decisions also covers the legal status of the adopted child in the family. The concept of appointment of a child in Islamic law does not recognize adoption of children in the sense of being a child of the absolute, being that there are only allowed or susruhan to
352 Sainul
maintain with the aim of treating the child in terms of love of giving a living, education or services in all the needs that are not treated as biological children ( nasab). In the Islamic concept, the appointment of a child should not be cut off nasab between the child with his biological parents is based on the Qur’an Surat Al-Ahzab verse 4,5,37, and 40. This was later associated with the legal consequences arising is about marriage and inheritance system. In marriage a priority nasab guardian for girls is his own father. In inheritance, adopted children does not include the heirs and vice versa, which amount is 1/3 (one third) part of the legacy. Keywords: Adoption, children, inheritance, court, marriage Abstrak Tulisan ini mengungkap tentang prosedur pengangkatan anak (adopsi) menurut hukum Islam dan status hukum anak angkat yang berlaku di Indonesia. Dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ditentukan bahwa pengangkatan anak tersebut harus seagama dan tidak memutuskan hubungan darah anak angkat dengan orang tua kandungnya. Pengaturan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yaitu bahwa tata cara pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia bahwa seorang dapat mengangkat anak paling banyak 2 (dua) kali dengan jarak waktu paling singkat 2(dua) tahun. Untuk sahnya pengangkatan anak di Indonesia, setelah permohonan pengangkatan anak melalui prosedur dari aturan dalam perundang-undangan yang ada, pengangkatan anak selanjutnya disahkan melalui langkah terakhir yaitu dengan adanya putusan pengadilan yang dikeluarkan oleh pengadilan dengan bentuk penetapan pengadilan atau dikenal dengan putusan deklarator, yaitu pernyataan dari Majelis hakim bahwa anak angkat tersebut adalah sah sebagai anak angkat dari orang tua angkat yang mengajukan permohonan pengangkatan anak. Putusan pengadilan juga mencakup mengenai status hukum ISTINBATH November 2015
Adobsi dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia ...
353
dari anak angkat dalam keluarga. Konsep pengangakatan anak dalam hukum Islam tidak mengenal pengangkatan anak dalam arti menjadi anak kandung secara mutlak, sedang yang ada hanya diperbolehkan atau susruhan untuk memelihara dengan tujuan memperlakukan anak dalam segi kecintaan pemberian nafkah, pendidikan atau pelayanan dalam segala kebutuhan yang bukan memperlakukan sebagai anak kandung (nasab). Dalam konsep Islam, pengangkatan seorang anak tidak boleh memutus nasab antara si anak dengan orang tua kandungnya berdasarkan Alquran Surat Al-Ahzab ayat 4,5,37, dan 40. Hal ini kelak berkaitan dengan akibat hukum yang ditimbulkan yaitu mengenai perkawinan dan system waris. Dalam perkawinan yang menjadi prioritas wali nasab bagi anak perempuan adalah ayah kandungnya sendiri. Dalam waris, anak angkat tidak termasuk ahli waris begitu juga sebaliknya, yang besarnya adalah 1/3 ( sepertiga ) bagian dari harta peninggalan. Kata kunci : Adopsi, anak, waris, pengadilan, perkawinan
Pendahuluan Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.1 Tujuan perkawinan adalah untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi, untuk membentengi ahlak yang luhur, untuk menegakkan rumah tangga yang islami, untuk meningkatkan ibadah kepada Allah, dan untuk mencari keturunan yang shalih dan shalihah.2 Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil, yang terdiri dari seorang ayah, Ibu dan anak. Kenyataannya tidak selalu ketiga unsur ini terpenuhi, sehingga kadang-kadang terdapat suatu keluarga yang tidak 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1 2 http://sigeulis.blogspot.com/2008/10/ditulis-oleh-ir-drs-abu-ammarmm-agama.html, diakses 10 Agustus 2015
Jurnal Hukum, Vol. 12 Nomor 2
354 Sainul
mempunyai anak, dengan demikian dilihat dari eksistensi keluarga sebagai kelompok kehidupan masyarakat, menyebabkan tidak kurangnya mereka yang menginginkan anak, karena alasan emosional, sehingga terjadilah perpindahan anak dari satu kelompok keluarga ke dalam kelompok keluarga yang lain (pengangkatan anak/adopsi).
Pembahasan A. Pengertian Adopsi Pengangkatan Anak (Adopsi) dari segi bahasa (etimologi) yaitu asal usul kata, Adopsi berasal dari bahasa Belanda “Adoptie”3 atau Adoption (Bahasa Inggris) yang berarti pengangkatan. Sehingga sering dikatakan “Adopstion of a child” yang artinya pengangkatan atau pemungutan anak.4 Pengertian adopsi menurut istilah (terminologi), dapat dikemukakan definisi para ahli; antara lain: 1. Hilman Hadi Kusuma mendefinisikan: “Anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.”5 2. Mahmud Syaltut mendefinisikan anak angkat ada dua definisi:
3
h. 174
R.Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
4 Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah (Berbagai Kasus yang Dihadapi “Hukum Islam” Masa Kini), (Jakarta : Kalam Mulia, 2003), h. 90 5 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 5
ISTINBATH November 2015
Adobsi dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia ...
355
“Adopsi adalah seseorang yang mengangkat anak yang sudah diketahuinya bahwa anak tersebut anak orang lain lalu diperlakukannya seperti anaknya sendiri baik dalam kasih sayang, pendidikan ataupun dalam perbelanjaan. Hanya saja orang tersebut tidak memasukkan nasab anak itu ke dalam nasabnya dan tidak dianggap sebagai keturunannya.6
“Adopsi adalah adanya seseorang yang tidak memiliki anak kemudian menjadikan seorang anak sebagai anak angkatnya, padahal ia mengetahui bahwa anak itu bukan anak kandungnya, lalu ia menjadikannya sebagai anak yang sah. 7 Definisi Mahmud Syaltut di atas mengenai anak angkat dapat dipahami bahwa pengertian anak angkat dibagi menjadi 2: definisi pertama merupakan pengangkatan anak yang telah dibenarkan dan dianjurkan dalam hukum Islam sedangkan definisi kedua meupakan pengangkatan anak yang tidak dibenarkan dan tidak dianjurkan dalam hukum Islam. 3. Soeroso menyatakan bahwa secara garis besar adopsi dapat dibagi dua : a. Pengangkatan anak (Adopsi) dalam arti luas yakni pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa sehingga antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat timbul hubungan antara anak angkat sebagai anak sendiri dan orang tua angkat sebagai orang tua sendiri. b. Pengangkatan anak (Adopsi) dalam arti terbatas yakni pengangkatan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri dan hubungan antara anak yang diangkat dan 6 Mahmud Syaltut, Al-Fatawa, Alih Bahasa: Bustami A. Gani, Zaini Dahlan, (Djakarta: Bulan Bintang, 1973), h.79 7 Ibid., Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, h.92
Jurnal Hukum, Vol. 12 Nomor 2
356 Sainul
orang tua angkat hanya terbatas pada hubungan sosial saja.8 4. Kompilasi Hukum Islam pasal 171 (f) menjelaskan bahwa: Anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.9 5. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa: Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.10 Pemeliharaan terhadap anak orang lain dalam Perundangundangan disebut dengan pengangkatan anak (Adopsi), dari segi etimologi yaitu asal usul kata, Adopsi berasal dari bahasa Belanda “Adoptie”11 atau Adoption (Bahasa Inggris) yang berarti pengangkatan dalam kamus bahasa Indonesia Adopsi adalah pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri12. Sehingga sering dikatakan “Adopstion of a child” yang artinya pengangkatan atau pemungutan anak.13
B. Sejarah Perkembangan Adopsi Sejarah adopsi atau pengangkatan anak sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi Muhammad SAW. R.Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, h. 176 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007) h.156 10 Peraturan Pemerintah RI Tentang Pengangkatan Anak Nomor 54 Tahun 2007 8 9
11
h. 174
R.Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2005),
12 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 9 13 Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah (Berbagai Kasus yang Dihadapi “Hukum Islam” Masa Kini), (Jakarta: Kalam Mulia, 2003), h. 90
ISTINBATH November 2015
Adobsi dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia ...
357
Mahmud Syaltut menjelaskan, bahwa tradisi pengangkatan anak sebenarnya jauh sebelum Islam datang telah dikenal oleh manusia, seperti pada bangsa Yunani, Romawi, India, dan berbagai bangsa pada zaman kuno. Di kalangan bangsa arab sebelum Islam (masa jahiliah) istilah ini dikenal dengan At-Tabanni dan sudah ditradisikan secara turun temurun.14 Yusuf Qaradhawi mengemukakan tentang pandangan terhadap peraturan Jahiliyah ini bahwa pengangkatan anak adalah suatu pemalsuan terhadap realita. Suatu pemalsuan yang menjadikan seseorang terasing dari lingkungan keluarganya. Anak angkat dapat bergaul bebas dengan perempuan keluarga baru itu dalih sebagai mahram, padahal hakikatnya mereka itu sama sekali orang asing. Istri dari ayah yang memungut bukan ibunya sendiri, begitu juga anak perempuannya, saudara perempuannya atau bibinya. Anak angkat sendiri sebenarnya orang asing dari semuanya itu. Anak angkat ini dapat menerima waris dan menghalangi keluarga dekat asli yang mestinya berhak menerima.15 Dalam surat Al-Ahzab ayat 4-5 dijelaskan: “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang Sebenarnya dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”(Q.S.Al-Ahzab:4-5.)16 Ibid, h.27 Yusuf Qaradhawi, Halal dan Haram, Alih Bahasa : Tim Penerbit Jaba’ (Bandung: Jabal, 2009), h. 231 16 Departemen Agama RI, AL-Hikmah AL-Qur’an dan Terjemah, (Bandung: Penerbit Diponegoro, 2007), h. 415 14 15
Jurnal Hukum, Vol. 12 Nomor 2
358 Sainul
Surat Al-Ahzab ayat 4 sampai 5 mengandung pengertian bahwa Allah melarang pengangkatan anak (adopsi) yang menisbatkan segala-galanya kepada nama bapak angkatnya, persamaan hak waris dan hubungan mahram serta perwalian perkawinan. Anak angkat itu hanya sekedar anak pemeliharaan atau anak asuh yang tidak bisa disamakan dengan status anak kandung. Pengangkatan anak di Indonesia telah menjadi kebutuhan masyarakat dan menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan, karena menyangkut kepentingan orang perorang dalam keluarga. Maka di keluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda Staatsblad Nomor 129 Tahun 1917, yang mengatur tentang pengangkatan anak, Di jelaskan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) dan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007. Selain itu pengaturan teknisnya banyak tersebar dalam bentuk SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung). Pengangkatan anak diatur dalam Pasal 39 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 mengatur dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. 3. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. 4. Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. 5. Dalam hal asal-usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.17 Islam membolehkan melakukan pengangkaan anak dengan prinsip tolong menolong. Seperti mengasuh anak yatim, miskin, terlantar dan lain-lain, yang perlakukan seperti anak Undang-Undang Perlindungan Anak. UU RI No. 23 Th. 2002. (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.16 17
ISTINBATH November 2015
Adobsi dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia ...
359
kandungnya sendiri tanpa memisahkan hubungannya dari orang tua kandungnya, dengan maksud beribadah kepada Allah. Penjelasan di atas dibenarkan oleh hukum Islam dan diperkuat dengan peraturan-peraturan yang ada di Indonesia baik dalam bentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dan lain sebagainya. Masyarakat arab di masa Jahiliyah dan begitu juga bangsabangsa lainnya, banyak yang menisbatkan orang lain dengan nasabnya dengan sesukanya, yaitu dengan jalan mengambil anak angkat. Seorang laki-laki boleh memilih anak-anak kecil untuk dijadikan anak, kemudian diproklamirkan. Maka si anak tersebut menjadi satu dengan anak-anaknya sendiri dan satu keluarga, sama-sama senang dan sama-sama susah dan mempunyai hak yang sama.18 Imam Al-Qurtubi menyatakan bahwa sebelum kenabian, Rasulullah SAW. Sendiri pernah mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anak angkatnya, bahkan tidak lagi memanggil Zaid berdasarkan nama ayahnya (Haritsah), tetapi ditukar oleh Muhammad. Dengan nama Zaid bin Muhammad. Pengangkatan Zaid sebagai anaknya ini diumumkan oleh Muhammad. Di depan kaum Quraisy. Muhammad juga menyatakan bahwa dirinya dan Zaid saling mewarisi. Zaid kemudian dikawinkan dengan Zainab binti Jahsy putri Aminah binti Abdul Muththalib, bibi Muhammad. 19 Kemudian setelah Muhammad diutus menjadi Rasul, turunlah wahyu menjelaskan masalah Pengangkatan anak dalam Q.S. AlAhzab: 4-5 Dalam hadits dari ‘Aisyah Radhiyallohu ‘Anha ia berkata, ‘Sahlah binti Suhail bin ‘Amr mendatangi Rasulullah Shollallohu ‘alaihi wa sallam-kala itu ia masihmenjadi istri Abu Hudzaifah bin ‘Utbah-lalu bekata, “Sesungguhnya Salim masuk kepada kami dan kami merasa risih, kami telah menganggapnya seperti anak sendiri. Dan Abu Hudzifah telah mengadopsinya sebagai anak sebagaimana Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam mengadopsi 18 Qaradhawi Yusuf, Halal dan Haram, Alih Bahasa : Tim Penerbit Jaba’ (Bandung: Jabal, 2009), h. 230-231 19 Andi Syamsu Alam, M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 22-23
Jurnal Hukum, Vol. 12 Nomor 2
360 Sainul
Zaid sebagai anak, maka Allah menurutnkan: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan memakai nama bapak-bapak mereka, tulah yang lebih adil di sisi Allah.20 Sebelum Rasulullah diutus menjadi rasul, beliau mengangkat Zaid ibn Haritsah sebagai anak angkatnya. Zaid adalah seorang budak yang ditawan oleh Khalil, seorang penduduk Tihamah, dari tanah Syam. Zaid dibeli oleh Hakim ibn Hizam ibn Khuwailid, lalu diberikan kepada makciknya, Siti Khadizah. Khadijah memberikan Zaid tersebut kepada Nabi, maka Nabi pun memerdekakan dia dan menjadikannya sebagai anak angkat.21
C. Adopsi dalam Ajaran Islam Jalan yang ditunjukkan oleh Tuhan itu ialah syariat Islam. Maka segala peratura yang lain, termasuk peraturan orang kafir yang dijalankan dalam dunia Islam, mengangkat anak orang lain jadi anak sendiri, bukanlah jalan yang benar. Islam telah mengadakan aturan sendiri dalam menjaga nasab dan keturunan, sehingga apabila seseorang meninggal dunia sudah ada ketentuan pembagian harta pustaka (faraidh). Namun mengangkat anak orang lain jadi kepada anak angkat itu adalah melanggar pula kepada ketentuan hak milik yang telah ditentukan syari’at. Di Indonesia sebagai negeri yang 350 tahun lamanya dijajah diakui pula peraturan pengangkatan anak itu, sebagai sisa dari peraturan belanda itu, nyatalah mereka melanggar syariatnya sendiri. Inilah yang diperingatkan Tuhan kepada RasulNya pada ayat pertama surat ni, agar Rasul jangan mengikut kepada kafir dan munafik.22 Islam mensyariatkan sistem hubungan keluarga atas asas alami dan sesuai tabiat keluarga, menentukan ikatan-ikatannya, dan menjadikannya jelas dan tidak bercampur aduk serta tidak ada cacat di dalamnya. Kemudian Islam membatalkan adat adopsi 20 Al-Muhaddits Asy-Syaikh Muqbal bin Hadi, Shohih Ababun Nuzul, Penerjemah Agung Wahyu, (Depok: Meccah, 2006), h. 315-316 21 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’an Majid An-Nuur, Jilid 4, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000), h. 3252 22 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8, (Singapura Pustaka Nasional PTE LTD, 2003), h. 5631
ISTINBATH November 2015
Adobsi dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia ...
361
dan mengembalikan hubungan nasab kepada sebab-sebabnya yang hakiki, yaitu hubungan darah, orang tua dan anak yang benar dan hakiki.23 Hubungan itu merupakan hubungan perasaan dan adab. Ia tidak memiliki konsekuensi-konsekuensi lazim dan keharusankeharusan seperti saling mewarisi dan membayar diyat yang semua itu merupakan konsekuensi-konsekuensi hubungan darah. Hal itu dilakukan agar para anak angkat tersebut tidak bebas begitu saja dan diacuhkan tanpa ikatan sama sekali dalam masyarakat setelah hubungan adopsi dihapuskan. Nash ini, “...Dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka...”, dapat menggambarkan betapa kacau-balaunya institusi keluarga pada masyarakat jahiliah dan kebejatan dalam hubungn seksual. Kekacauan dan kebejatan inilah yang ingin dikoreksi dan dibenarkan oleh Islam dengan membangun sistem keluarga atas fondasi hubungan ornag tua kandung. Juga dengan membangun sistem masyarakat di atas asas keluarga yang sehat, aman, dan benar.24 Setelah berusaha untuk mengembalikan nasab kepada hakikatnya, maka orang-orang yang beriman tidak akan dipersalahkan pada kondisi-kondisi yang tidak memungkinkan untuk meneliti nasab yang benar.25 Ayat di atas menjelaskan bahwa yang bertentangan dengan ajaran Islam adalah mengangkat anak (adopsi) dengan memberikan status yang sama dengan anak kandungnya sendiri.26 Jika kita renungkan ungkapan al-Qur’an yang bersih ini, yaitu kalimat “Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri), yang demikian itu hanyalah perkataanmu (sendiri), yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja.” Kalimat ini memberi pengertian, bahwa pengakuan anak angkat itu hanya omong kosong, di belakangnya tidak ada realita sedikitpun. Perkataan mulut tidak dapat mengalirkan darah ke Sayyid Quthb, Tafsir Fi Zhilali Qur’an, Jilid 9, Penerjemah As’ad Yasin ed, al, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h. 220 24 Ibid, h. 221 25 Muderis Zaini, Op. Cit, h. 221 26 Muderis Zaini, Op. Cit, h.53 23
Jurnal Hukum, Vol. 12 Nomor 2
362 Sainul
dalam urat dan tidak dapat membentuk perasaan kebapakan ke dalam hati seseorang. Tidak pula mengalir dalam kalbu anak angkat jiwa kehalusan sebagai anak asli. Anak angkat tidak dapat mewarisi keistimewaan-keistimewaan khusus dari ayah angkatnya dan ciri-ciri keluarga, baik jasmaniah, intelektual maupun kejiwaannya.27 Dalam ayat 37 artinya: “Dan (ingatlah), ketika kamu Berkata kepada orang yang Allah Telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) Telah memberi nikmat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid Telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anakanak angkat itu Telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi” (Q.S. AlAhzab: 37).28 Para Ulama fikih sepakat menyatakan bahwa Hukum Islam melarang praktek pengangkatan anak yang memiliki implikasi yuridis seperti pengangkatan anak yang dikenal oleh hukum Barat/hukum sekuler dan praktek masyarakat Jahilyah: yaitu pengangkatan anak yang menjadikan anak angkat menjadi anak kandung, anak angkat terputus hubungan hukum dengan orang tua kandungnya, anak angkat memiliki hak waris sama dengan hak waris anak kandung, orang tua angkat menjadi wali mutlak terhadap anak angkat. Hukum Islam hanya mengakui pengangkatan anak dalam pengertian beralihnya kewajiban untuk memberikan nafkah sehari-hari, mendidik, memelihara, dan lain-lain, dalam konteks beribadah kepada Allah SWT.29 Nabi Muhammad SAW bersabda: Qaradhawi Yusuf, Op. Cit, h. 231 Ibid, h. 423 29 Andi Syamsu Alam, M. Fauzan, Op. Cit, h.43-44 27 28
ISTINBATH November 2015
Adobsi dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia ...
363
“Dari Abu Dzar r.a Bahwasannya ia mendengar Rasulullah SAW, bersabda: “Tidak seorang pun yang mengakui (membanggakan diri) kepada orang yang bukan bapak yang sebenarnya, sedangkan ia megnetahui benar bahwa orang itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kuruf. Dan barangsiapa yang telah melakukan hal itu maka bukan dari golongan kami (kalangan kaum muslimin), dan hendaklah dia menyiapkan sendiri tempatnya dalam api neraka” (HR. Bukhori Muslim).30 Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary mengemukakan bahwa: Islam dengan tegas mengharamkan perbuatan itu karena: 1. Memungut anak adalah suatu kebohongan di hadapan Allah dan dihadapan masyarakat manusia, dan hanya merupakan kata-kata yang diucapkan berulang kali, tetapi tidak mungkin akan menimbulkan kasih sayang yang sesungguhnya sebagaimana yang timbul di kalangan ayah, ibu dan keluarga yang sebenarnya. Allah berfirman: “Yang demikian itu hanyalan perkataanmu yang kamu ucapkan saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarhya dan Dia menunjukkan jalan yang benar” (QS. Al-Ahzab: 4). Jadi, memungut anak hanyalah mengucapkan kata-kata yang tidak menunjukkan kebenaran dan hanya mencampuradukkan keturunan, yang kelak menyebabkan hilangnya kebenaran dan runtuhnya ikatan keluarga yang asli. Mungkin ini akan mengakibatkan kutukan Allah, sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah:
Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam, Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, (Jakarta: Darul Falah, 2002), h. 827 30
Jurnal Hukum, Vol. 12 Nomor 2
364 Sainul
“Barangsiapa yang mendakwahkan dirinya sebagai anak dari seseorang yang bukan ayahnya, maka kepdanya ditimpakan laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya. Kelak pada hari kiamat Allah tidak menerima amalan-amalannya, baik yang wajib ataupun yang sunat” (HR. Bukhari). 2. Memungut anak sering dijadikan sebagai suatu cara untuk menipu dan menyusahkan kaum keluarga. Misalnya, seorang laki-laki memungut anak yang akan menjadi pewaris dari harta kekayaannya. Dengan demikian berarti orang itu tidak memberikan bagian dari hartanya kepada saudara-saudaranya dan ahli waris yang lain, yang mempunyai hak dalam harta pusaka itu menurut ketentuan Allah. Hal inilah yang menyebabkan perbuatan itu dilarang. 3. Memungut anak dan menetapkan statusnya sama dengan anak kandung kadang-kadang menjadi beban dan tugas yang berat bagi keluarga ayah angkatnya. Bila ayah angkatnya meninggal, maka keluarganya bertugas memberi nafkah kepadanya. Hal tersebut menyebabkan pelimpahan tugas-tugas kepada keluarga yang sama sekali tidak ada hubungan darah dengan anak pungut. Kemudian, pada gilirannya mengakibatkan haramnya apa yang halal atau sebaliknya, karena anak pungut itu lantas menjadi muhrim dari wanita-wanita dari keluarga yang sebenarnya bukan muhrimnya. Anak angkat lalu merasa boleh melihat bagian-bagian tubuh mereka yang sebenarnya tidak boleh dilihatnya. Di pihak lain menyebabkan ia tidak boleh menikah dengan wanita-wanita yang sebenarnya halal dinikahinya. Demikianlah seterusnya, banyak kerancuan dan kerusakan hubungan keluarga karena anak pungut.31 Pendapat Majelis Ulama Indonesia yang dituangkan dalam Surat Nomor U-335/MUI/VI/82 tanggal 18 Sya’ban 1402 H/10 Juni 1982 yang ditandatangani oleh Ketua Umum K.H. M. Syukeri Ghazali, sebagai berikut: Chuzaimah T. Yanggo, Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam Kontemporer. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), h. 122-123 31
ISTINBATH November 2015
Adobsi dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia ...
365
1. Adopsi yang tujuan pemeliharaan, pemberian bantuan dan lain-lain yang sifatnya untuk kepentingan anak angkat dimaksud adalah boleh saja menurut hukum Islam. 2. Anak-anak yang beragama Islam hendaknya dijadikan anak angkat (adopsi) oleh ayah/ibu angkat yang beragama Islam pula, agar ke-Islamannya itu ada jaminan tetap terpelihara. 3. Pengangkatan anak angkat (adopsi) tidak akan mengakibatkan hak kekeluargaan yang biasa dicapai dengan nasab keturunan. Oleh karena itu adopsi tidak mengakibatkan hak waris/wali mewali, dan lain-lain. Oleh karena itu ayah/ibu angkat jika akan memberikan apa-apa kepada anak angkatnya hendaklah dilakukan pada masa masih sama-sama hidup sebagai hibah biasa. 4. Adapun adopsi yang dilarang adalah: a. Adopsi oleh orang-orang yang berbeda agama, misalnya Nasrani dengan maksud anak angkatnya dijadikan pemeluk agama Nasrani, bahkan sedapat-dapatnya dijadikan pemimpin agama itu. b. Pengangkatan anak angkat Indonesia oleh orang-orang Eropa dan Amerika atau lain-lainnya, biasanya berlatar belakang seperti tersebut di atas. Oleh karena itu hal ini ada usaha untuk menutup adopsi.32 Menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut: a. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua biologis dan keluarga. b. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat, melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya. c. Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara langsung kecuali sekadar sebagai tanda pengenal/alamat. 32
Chuzaimah T. Tanggo, Hafiz Anshari AZ, Op. Cit, h.125-126 Jurnal Hukum, Vol. 12 Nomor 2
366 Sainul
d. Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak angkatnya.33 Akibat Hukum Pengangkatan Anak yang Dilarang dalam Islam yang ditimbulkan dari pengangkatan anak (adopsi) yang dilarang dan harus dihindari, antara lain: a. Menghindari terganggunya hubungan keluarga berikut hak-haknya. Pengangkatan anak berarti kedua belah pihak (anak angkat dan orang tua angkat) telah membentuk keluarga baru yang mungkin akan mengganggu hak dan kewajiban keluarga yang telah ditetapkan Islam. b. Menghindari terjadinya kesalahpahaman antara yang halal dan yang haram. Masuknya anak angkat ke dalam salah satu keluarga tertentu, dan dijadikan sebgai anak kandung, maka ia menjdi mahram, dalam arti anak angkat tidak boleh menikah dengan orang yang sebenarnya boleh dinikahinya. Bahkan sepertinya ada kebolehan baginya melihat aurat orang lain yang seharusnya haram dilihatnya. c. Masuknya anak angkat ke dalam keluarga orang tua angkatnya bisa menimbulkan permusuhan antara satu keturunan dalam keluarga itu. Seharusnya anak angkat tidak memperoleh warisan tetapi menjadi ahli waris, sehingga menutup bagian yang seharusnya dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya. d. Seandainya Islam membolehkan lembaga pengangkatan anak, maka akan membuka peluang bagi orang mengangkat anak yang berbeda agama dengannya, yang mengakibatkan berbaurnya agama dalam satu keluarga. Akibat hukum lain pun akan muncul, seperti larangan agama untuk saling mewarisi jika salah satu pihak beragama Islam dan pihak lian tidak. Isa juga terjadi perpindahan agama atau pemaksanaan agama tertentu secara tidak langsung kepada anak angkat. Hal ini sangat dilarang oleh Al-Qur’an.34 33 34
Muderis Zaini, Op. Cit, h. 54 Andi Syamsu Alam, M. Fauzan, Op. Cit, h. 51-52
ISTINBATH November 2015
Adobsi dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia ...
367
D. Adopsi dalam Hukum Indonesia Pengaturan tentang pengangkatan anak diatur antara lain di KUHPerdata (Untuk Golongan Tionghoa dan Timur Asing), diatur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) dan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007. Selain itu pengaturan teknisnya banyak tersebar dalam bentuk SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung). 1. Anak Angkat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak mengenal masalah adopsi yang diatur dalam KUHPerdata adalah adopsi atau pengangkatan anak di luar kawin yakni dalam KUHPerdata buku I bab XII bagian ke III pasal 280 sampai dengan 290. ketentuan ini boleh dikatakan tidak ada hubungannya sama sekali dengan adopsi karena KUHPerdata tidak mengenal adopsi, maka bagi orang-orang Belanda sampai sekarang tidak dapat mengangkat anak secara sah. Supaya dapat memenuhi tuntutan masyarakat Pemerintah Belanda tahun 1917 mengeluarkan Staatsblad Nomor 129 pasal 5 sampai dengan 15 yang khususnya mengatur masalah adopsi atau anak angkat. Bagi golongan masyarakat Tionghoa. Sejak itulah Staatsblad 1917 nomor 129 menjadi ketentuan hukum tertulis yang mengatur adopsi bagi kalangan masyarakat Tionghoa yang biasa dikenal dengan golongan Timur Asing.35 Soeroso mengungkapkan bahwa yang boleh mengadopsi dan boleh di adopsi di atur dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 sebagai berikut: a. Masyarakat yang boleh mengadopsi diatur dalam Stb 1917 No. 129 Pasal 5 ayat (1) yang menyebutkan bahwa seorang laki-laki beristri atau pernah beristri tak mempunyai anak laki-laki yang sah dalam garis laki-laki baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena pengangkatan, boleh mengangkat seorang anak laki-laki sebagai anaknya. 35
Muderis Zaini, Op. Cit. h. 33 Jurnal Hukum, Vol. 12 Nomor 2
368 Sainul
b. Pada ayat 2 disebutkan, bahwa pengangkatan anak yang demikian harus dilakukan oleh seorang laki tersebut, bersama-sama dengan istrinya atau jika dilakukannya setelah perkawinannya dibubarkan oleh dia sendiri. Sedangkan ayat 3 menyatakan, apabila kepada seorang perempuan janda yang tidak telah kawin lagi, dan oleh suaminya yang telah meninggal dunia tidak ditinggalkan seorang keturunan sebagai termaktub ayat ke satu pasal ini, maka bolehlah ia mengangkat seorang laki sebagai anaknya. Jika sementara itu si suami yang telah meninggal dunia, dengan surat wasiat telah menyatakan tak menghendaki pengangkatan anak oleh istrinya, maka pengangkatan itupun tak boleh dilakukannya. c. Ketentuan di atas, maka yang boleh mengangkat anak adalah sepasang suami istri yang tidak mempunyai anakanak laki, seorang duda yang tak mempunyai anak lakilaki, asal saja janda yang bersangkutan tidak ditinggalkan berupa amanah yaitu berupa surat wasiat dari suaminya yang menyatakan tidak menghendaki pengangkatan anak. Di sini tidak diatur secara konkret mengenai batasan usia dan orang yang belum kawin untuk mengangkat anak. d. Pasal 6 dan 7 mengatur tentang siapa saja yang dapat diadopsi. Pasal 6 menyebutkan yang boleh diangkat hanyalah orang-orang Tionghoa laki-laki yang tidak beristri pun tak beranak, serta yang tidak telah diangkat oleh orang lain. Pasal 7 ayat 1 menyebutkan, orang yang diangkat harus paling sedikit 18 tahun lebih muda daripada usia suami dan paling sedikit 15 tahun lebih muda daripada usia suami dan paling sedikit 15 tahun lebih muda daripada si istri atau si janda yang mengangkatnya. Sedang ayat 2 mengemukakan, bahwa apabila yang diangkat itu seorang keluarga sedarah, baik yang sah maupun keluarga di luar kawin, maka keluarga tadi karena angkatannya terhadap moyang kedua belah pihak bersama, harus memperoleh derajat keturunan yang sama pula dengan derajat keturunannya, sebelum keluarga sedarah diangkat.36 36
Soeroso, Op. Cit, h. 180
ISTINBATH November 2015
Adobsi dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia ...
369
2. Anak Angkat dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Pengangkatan anak diatur dalam Bab VIII Bagian kedua pasal 39 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 mengatur ketentuan sebagai berikut: a. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan Perundang-undangan yang berlaku. b. Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. c. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. d. Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. e. Dalam hal asal-usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas pendudukan setempat.37 f. Penjelasan ayat ini menerangkan bahwa: “Ketentuan ini berlaku untuk anak yang belum berakal dan bertanggung jawab, dan penyesuaian agamanya dilakukan oleh mayoritas penduduk setempat (setingkat desa atau kelurahan) secara musyawarah. Dan telah diadakan penelitian yang sungguh-sungguh”.38 Hukum menjamin bahwa hak anak untuk mengetahui identitasnya dilakukan oleh orang tua angkatnya, maka Pasal 40 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 ini mewajibkan kepada orang tua angkat untuk: a. Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya. b. Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan 37 Undang-undang Perlindungan Anak. UU RI No. 23 Th. 2003. (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.16 38 Ibid, h. 43
Jurnal Hukum, Vol. 12 Nomor 2
370 Sainul
memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.39 c. Penjelasan ayat ini menerangkan bahwa: “yang dimaksud dengan kesiapan dalam ketentuan ini diartikan apabila secara psikologis dan psikososial diperkirakan anak telah siap. Hal tersebut biasanya dapat dicapai apabila anak sudah mendekati usia 18 (delapan belas) tahun”.40 3. Anak Angkat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 tahun 1983 ini mengatur tentang pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia (WNI). Isinya selain menetapkan pengangkatan yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dan orang tua angkat (private adoption), juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan yang sah/belum menikah (single parent adoption). Jadi, jika Anda belum menikah atau Anda memutuskan untuk tidak menikah dan Anda ingin mengadopsi anak, ketentuan ini sangat memungkinkan Anda untuk melakukannya.41
Simpulan Dalam hukum Islam pengangkatan anak dibenarkan dengan syarat tidak melekatkan nasab kepada anak angkat sehingga hukumnya tidak mempengaruhi kemahraman dan kewarisan. Hal ini dipahami dari dalil surah al-Ahzab ayat 37, dimana asbabun nuzulnya adalah ketika Nabi saw diperintah Allah saw untuk menikahi Zainab yang merupakan bekas isteri dari anak angkatnya yang bernama Zaid. Islam mengakui bahwa pengangkatan anak adalah hal yang mulia karena sama halnya menolong anak-anak yang membutuhkan pertolongan seperti pengangkatan terhadap anak yatim piatu. 39 Elfa Murdiana, Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, (Bandung: Citra Umbara, 2003), h. 21 40 Ibid, h. 57 41 http://www.lbh-apik.or.id/adopsi.htm
ISTINBATH November 2015
Adobsi dalam Hukum Islam dan Hukum Indonesia ...
371
Namun meskipun adopsi anak adalah perbuatan yang mulia, harus dipahami bahwa ada batas-batas yang harus ditaati dan tidak boleh dilanggar. Seperti karena tidak mempengaruhi kemahraman, maka tidak dibenarkan jika anak tersebut sudah baligh diperlakukan seperti anak sendiri. Secara legal, adopsi atau pengangkatan anak dikuatkan berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri. Adopsi secara legal mempunyai akibat hukum yang luas, antara lain menyangkut perwalian dan pewarisan. Sejak putusan ditetapkan pengadilan, maka orang tua angkat menjadi wali bagi anak angkat, dan sejak saat itu, segala hak dan kewajiban orang tua kandung beralih kepada orang tua angkat. Kecuali bagi anak angkat perempuan yang beragama Islam, bila dia akan menikah, maka yang menjadi wali nikah hanyalah orang tua kandung atau saudara sedarah. Adopsi juga dapat dilakukan secara illegal, artinya adopsi yang dilakukan hanya berdasarkan kesepakatan antar pihak orang tua yang mengangkat dengan orang tua kandung anak yag diangkat. Adopsi secara illegal inilah yang disinyalir sebagai celah untuk kasus jual beli anak (trafficking). Dalam Staatblaat 1917 No. 129, akibat hukum dari pengangkatan anak adalah anak tersebut secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat, dijadikan anak yang dilahirkan anak perkawinan orang tua angkat. Akibatnya adalah dengan pengangkatan tersebut, anak terputus hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan karena kelahiran, Oleh karena itu, secara otomatis, hak dan kewajiban seorang anak angkat sama dengan anak kandung harus merawat dan menghormati orang tua, layaknya orang tua kandung, dan anak angkat berhak mendapatkan hak yang sama dengan anak kandung orang tua angkat.
DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 2007 Ali Bassam, Abdullah bin Abdurrahman, Syarah Hadits Pilihan Bukhari Muslim, Jakarta: Darul Falah, 2002 Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Tafsir Al-Qur’an Majid Jurnal Hukum, Vol. 12 Nomor 2
372 Sainul
An-Nuur, Jilid 4, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2000 Bukhari, Shahih Bukhari, Jakarta: Al-Maktabah Al-Śamilah, 2006 Departemen Agama RI, AL-Hikmah AL-Qur’an dan Terjemah, Bandung: Penerbit Diponegoro, 2007 Hafiz Anshary AZ, Chuzaimah T. Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994 Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 8, Singapura Pustaka Nasional PTE LTD, 2003 http://sigeulis.blogspot.com/2008/10/ditulis-oleh-ir-drs-abuammar-mm-agama.html, diakses 10 Agustus 2015 M. Fauzan, Andi Syamsu Alam, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta: Kencana, 2008 Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah (Berbagai Kasus yang Dihadapi “Hukum Islam” Masa Kini), Jakarta : Kalam Mulia, 2003 Muqbal bin Hadi, Al-Muhaddits Asy-Syaikh, Shohih Ababun Nuzul, Penerjemah Agung Wahyu, Depok: Meccah, 2006 Murdiana, Elfa, Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Bandung: Citra Umbara, 2003 Peraturan Pemerintah RI Tentang Pengangkatan Anak Nomor 54 Tahun 2007 Qaradhawi, Yusuf, Halal dan Haram, Alih Bahasa : Tim Penerbit Jaba’ Bandung: Jabal, 2009 Quthb, Sayyid, Tafsir Fi Zhilali Qur`an, Jilid 9, Penerjemah As’ad Yasin ed, al, Jakarta: Gema Insani, 2004 R.Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2005 Syaltut, Mahmud, Al-Fatawa, Alih Bahasa: Bustami A. Gani, Zaini Dahlan, Djakarta: Bulan Bintang, 1973 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2002 Undang-Undang Perlindungan Anak. UU RI No. 23 Th. 2002. (Jakarta: Sinar Grafika, 2009) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 1 Zaini, Muderis, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2002
ISTINBATH November 2015