ABSTRAKSI
Terdapat dampak negatif pada beberapa bidang yang ditimbulkan sampah dan pengelolaan sampah di perkotaan di Indonesia masih sangat buruk memperparah dampak yang ditimbulkan. Melihat peran pemulung terhadap pengurangan volume sampah perkotaan cukup tinggi, penulis merasa perlu mengkaji pengelolaan sampah yang dilakukan pemulung dan dampak nilai tambah ekonomi yang ditimbulkan terhadap ekonomi rumah tangga pemulung. Penelitian bersifat deskriptif kualitatif dengan metode fenomenologi yang melalui proses Reading and Coding, Data Reduction, Data Displaying dan Interpreting. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di kawasan TPA Supit Urang Kota Malang, menunjukkan bahwa ; Pemulung sampah mengelola sampah dengan cara menyortir hasil pulungan sampah berdasarkan jenisnya, kemudian menjualnya kepada pengepul sampah. Terdapat dua jenis pendapatan yang diterima pemulung, yaitu pendapatan berupa uang dan pendapatan berupa barang dan jasa. Implikasi ekonomi pendapatan berupa uang yang diterima pemulung menyebabkan meningkatnya kesejahteraan ekonomi rumah tangga pemulung melalui meningkatnya anggaran belanja rumah tangga pemulung, sedangkan implikasi ekonomi pendapatan berupa barang dan jasa yang diterima pemulung menyebabkan meningkatnya kesejahteraan ekonomi rumah tangga pemulung melalui berkurangnya pengeluaran pemenuhan kebutuhan rumah tangga pemulung, yang secara tidak langsung meningkatkan anggaran belanja rumah tangga pemulung.
Kata kunci : Pemulung, Sampah, Pengelolaan sampah, Nilai tambah ekonomi
A. Latar Belakang Terdapat banyak permasalahan lingkungan yang belum dikelola dengan baik, salah satu permasalahan lingkungan yaitu permasalahan sampah. Permasalahan sampah merupakan hal yang krusial. Bahkan permasalahan sampah dapat dikatakan sebagai masalah kultural karena dampaknya terhadap berbagai aspek kehidupan, mulai bidang kesehatan, pembangunan, sosial ekonomi, hingga politik. Dampak pengelolaan sampah yang kurang baik pada beberapa bidang adalah contoh konkret bahwa pengelolaan sampah yang kurang baik telah merugikan berbagai aspek. Sehingga mencari solusi dan penyelesaiannya merupakan suatu keharusan untuk dilakukan. Memang lingkungan memiliki daya dukung dan daya tampung yang dapat menyeimbangkan/memperbaiki kembali kondisi lingkungan dengan sendirinya, namun proses daya dukung dan daya tampung memiliki batas tertentu dan membutuhkan pelestarian dari manusia guna memaksimalkan daya dukung dan daya tampungnya. Tingginya tingkat produksi sampah menjadi salah satu penyebab semakin parahnya dampak yang ditimbulkan oleh sampah, hasil penelitian yang dilakukan oleh National Urban Development Strategy (NUDS) dalam Sudrajat (2006:9) di beberapa kota di Indonesia pada tahun 2003 menunjukkan bahwa rata-rata setiap orang memproduksi sampah sekitar 0,5 Kg/hari. Produksi sampah beberapa kota di Indonesia tahun 2003 dapat dilihat pada tabel 1. Perkotaan yang menjadi pusat aktivitas masyarakat menjadi tempat paling banyak menimbulkan permasalahan sampah. Dengan kepadatan penduduk yang tinggi, sudah barang tentu sampah yang dihasilkan juga lebih banyak dari pada tempat lain. Tingginya aktifitas diperkotaan telah menjadi daya tarik tersendiri bagi para pendatang untuk melakukan urbanisasi, sehingga semakin lama peningkatan kepadatan penduduk diperkotaan dapat dipastikan akan selalu tejadi. Diperkirakan sekitar 2/3 dari jumlah penduduk bertempat tinggal didaerah perkotaan. Selain itu, penanganan sampah perkotaan yang telah dilakukan masih sangat buruk. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Tim Penulis Penebar Swadaya (2008), pada tahun 2004, baru sekitar 41,28 persen sampah perkotaan terangkut petugas, 35,59 persen dibakar, 7,97 persen ditimbun, 1,15 persen diolah menjadi kompos dan sisanya 14,01 persen dibuang sembarangan. Adapun penanganan sampah perkotaan di Indonesia tahun 2004 dapat dilihat pada tabel 2.
1
2
Tabel 1 : Produksi Sampah Beberapa Kota di Indonesia Tahun 2003 No Kota Jumlah Penduduk Produksi Sampah 1 Jakarta 9.783.308 4.892 ton/hari 2 Surabaya 2.913.973 1.457 ton/hari 3 Bandung 2.603.855 1.301 ton/hari 4 Bekasi 577.958 789 ton/hari 5 Tangerang 1.466.596 733 ton/hari 6 Semarang 1.454.932 727 ton/hari 7 Malang 828.710 414 ton/hari 8 Surakarta 534.079 267 ton/hari 9 Denpasar 485.538 243 ton/hari 10 Yogyakarta 442.824 221 ton/hari 11 Bogor 308.246 154 ton/hari 12 Cirebon 267.986 133 ton/hari 13 Sukabumi 135.338 67 ton/hari 14 Magelang 126.500 63 ton/hari 15 Cianjur 105.931 53 ton/hari Sumber : NUDS dalam Sudrajat, 2006 Berbicara mengenai penanganan sampah, tak dapat dilepaskan dari keterlibatan pemulung sampah yang sangat membantu mengurangi volume sampah. Di Kota Malang yang merupakan kota terbesar kedua di Jawa Timur setelah Surabaya, peran pemulung dalam pengurangan volume sampah sangat sentral, berdasarkan data Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang Tahun 2010, diketahui bahwa pengurangan volume sampah oleh aktifitas pemulung diperkirakan mencapai 3,99 persen ditingkat kelurahan, 3,8 persen di Tempat Pembuangan Sementara (TPS), dan untuk di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sekitar 3,08 persen dari total sampah masuk TPA. Tabel 2 : Penanganan Sampah Perkotaan di Indonesia Tahun 2004 Penanganan Sampah (%) Tahun Diangkut Dibakar Ditimbun Diolah Lainnya Total 41,28 35,59 7,97 1,15 14,01 100 2004 Sumber : BPS dalam Tim Penulis Penebar Swadaya, 2007 Cukup besarnya pengurangan volume sampah yang dapat dilakukan pemulung sampah membuat peran pemulung dalam penanganan sampah perlu didukung. Oleh karena itu, penulis merasa perlu meneliti nilai tambah ekonomi sampah pada rumah tangga pemulung, guna melihat kesejahteraan ekonomi rumah tangga pemulung. Penulis memilih lokasi penelitian di kelurahan Mulyorejo kecamatan Sukun kota Malang, pemilihan lokasi penelitian karena kota Malang termasuk kota besar dan memilih kelurahan Mulyorejo kecamatan Sukun karena di kelurahan Mulyorejo terdapat TPA Supit Urang dan pemukiman pemulung sampah disekitar TPA Supit Urang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengelolaan sampah agar menjadi barang ekonomi yang dilakukan pemulung di Kota Malang dan untuk mengetahui implikasi ekonomi dari pengelolaan sampah pada rumah tangga pemulung di Kota Malang B. Hasil Penelitian Terdahulu Riswan dkk (2010) dalam penelitiannya di Kabupaten Hulu Sungai Selatan menunjukkan bahwa rata-rata sampah rumah tangga yang dihasilkan sebanyak 1,46 liter per orang perhari atau 0,38 kilogram per orang perhari, yang terdiri dari 47 persen sampah organik, 15 persen kertas, 22 persen plastik, serta 16 persen logam dan sebagainya. Pengelolaan sampah rumah tangga di Kecamatan Daha Selatan belum dilaksanakan secara optimal. Tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, perilaku terhadap kebersihan lingkungan, pengetahuan tentang perda persampahan, serta kesediaan membayar retribusi sampah berkorelasi positif dengan cara pengelolaan sampah rumah tangga. Santoso (2005) dalam penelitiannya di Kabupaten Banyumas menunjukkan bahwa TPA Kemutug Lor setiap hari menerima sampah sebanyak 36 meter kubik, dengan kegiatan pemulungan sampah kering yang mempunyai nilai ekonomi sebanyak 21 jenis, yang mempunyai nilai jual paling
3
mahal adalah tembaga yang memiliki harga Rp17.000 perkilogram dan yang paling murah adalah beling yang memiliki Rp150 perkilogram. Total pendapatan sampah kering oleh 16 orang pemulung selama 7 hari sebanyak 265,95 kiloggram dengan nilai ekonomi Rp544.445, rata-rata pendapatan pemulung Rp5.000 per orang perhari. Ramadhan (2009) dalam penelitiannya di Kota Depok menunjukkan bahwa keberadaan TPAS Cipayung menyebabkan penurunan kualitas lingkungan sehingga menimbulkan biaya kompensasi yang bersedia diterima setiap keluarga sebesar Rp54.300,00 perbulan. Faktor-faktor yang mempengaruhi biaya tersebut adalah tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, jarak rumah dari TPAS, besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menanggulangi dampak negatif dan pendapatan. Kusuma (2009) dalam penelitiaanya di Kota Malang menunjukkan usaha pengomposan sampah organik memiliki nilai benefit-cost 1,25 dan titik impas tercapai saat produksi kompos mencapai 9.124,4 kilogram. Keuntungan ekonomi dari aktifitas daur ulang rata-rata sebesar Rp1.327 perkilogram sampah anorganik dan memberikan kesempatan kerja kepada 1.705,95 orang pemulung dengan rata-rata pendapatan Rp46.435 perhari. Mardiana dkk. (2008) dalam penelitiannya di Kota Medan menunjukkan bahwa timbulan sampah Kota Medan Tahun 2008 sebanyak 1.369,9 ton perhari atau 5.479,6 M3 yang terdiri dari 48,2 persen sampah organik dan 51,8 persen anorganik, rata-rata sampah yang dibuang oleh masyarakat 11,5 kilogram per rumah tangga perhari. Terdapat 18 jenis sampah anorganik yang dihasilkan rumah tangga di Kota Medan yang memiliki nilai ekonomis, yang dikelompokkan dalam 7 kategori, yaitu : plastik, kaleng, kertas, kaca, besi, tembaga, dan aluminium. Kegiatan yang dapat dijadikan usaha alternatif dalam rangka peningkatan pendapatan keluarga antara lain yaitu (a) pengomposan; (b) pengepul plastik kresek dan PE; dan (c) daur ulang kertas. Pembuatan kompos dari sampah organik membuka peluang usaha rumah tangga, dengan harga pupuk kompos Rp750 perkilogram, berdasarkan analisis usaha, break even point dicapai pada produksi 180 kilogram per hari. Usaha mengepul plastik kresek dan PE sebagai alternatif peluang bisnis rumah tangga dengan harga jual Rp1.000–Rp2.000 perkilogram, berdasarkan analisis usaha, break even point dicapai pada harga Rp. 1.044 perkilogram. Kerajinan tangan dari kertas daur ulang membuka peluang bisnis rumah tangga, dengan harga jual Rp2000 perbuah, berdasarkan analisis usaha, break even point dicapai pada harga Rp270 perbuah. C. Metodologi Penelitian Penelitian ini bersifat studi deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif, berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati didukung dengan studi literatur atau studi kepustakaan berdasarkan pendalaman kajian pustaka berupa data dan angka, sehingga realitas dapat dipahami dengan baik. Lokasi penelitian dilakukan di kelurahan Mulyorejo kecamatan Sukun kota Malang. Peneliti memilih lokasi penelitian di kota Malang karena kota Malang termasuk kota besar dan termasuk kota yang maju di bidang pariwisatanya, dan memilih lokasi penelitian di kelurahan Mulyorejo kecamatan Sukun karena di kelurahan Mulyorejo terdapat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Supit Urang dan pemukiman pemulung sampah disekitar TPA Supit Urang. Dengan dipilihnya lokasi tersebut, diharapkan dapat membantu peneliti dalam melakukan penelitian lebih mendalam mengenai nilai ekonomi sampah pada rumah tangga pemulung. Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya dan berdasarkan rumusan masalah serta tujuan penelitian, maka unit analisis dalam penelitian ini adalah proses pengelolaan sampah dan nilai tambah ekonomi sampah pada rumah tangga pemulung di kawasan TPA Supit Urang Kelurahan Mulyorejo Kecamatan Sukun Kota Malang. Berdasarkan unit analisis yang telah dikemukakan di atas, maka pihak-pihak yang akan dijadikan informan dalam penelitian ini adalah para pelaku pengelolaan sampah yang berhubungan secara langsung dengan pemulung, meliputi : a. Pihak pemulung sampah, yaitu pemulung yang intens melakukan aktifitas memulung sampah selama satu minggu penuh di TPA Supit Urang pada saat penelitian berlangsung. Diharapkan intensitas pemulung dalam memulung sampah menggambarkan pemulung sampah yang menjadikan aktifitas memulung sebagai pekerjaan utama dalam mendapatkan penghasilan.
4
b. Pihak pengepul sampah, yaitu pengepul yang intens melakukan aktifitas pembelian hasil pulungan sampah dari pemulung selama satu minggu penuh di TPA Supit Urang pada saat penelitian berlangsung. Diharapkan intensitas pengepul dalam membeli hasil pulungan sampah dari pemulung dapat menggambarkan pengepul sampah yang menjadi pasar utama pemulung dalam menjual hasil pulungan sampah. c. Pihak pengelola sampah, yaitu pihak-pihak yang aktif dalam pengelolaan TPA Supit Urang dan program pemberdayaan pemulung. Dalam hal ini, pengelolaan sampah Kota Malang dilakukan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data untuk penelitian ini, yaitu: a. Dokumentasi Metode pengumpulan data dengan menggunakan dan mempelajari catatan-catatan instansi dengan teliti. b. Observasi Suatu cara pengumpulan data dengan mengadakan pengamatan secara langsung kepada obyek penelitian. c. Wawancara Pengumpulan data yang dilaksanakan dengan menggunakan tanya-jawab secara langsung atau tatap muka dengan informan. d. Studi Kepustakaan (Library Research) Metode pengumpulan data dengan membaca literatur-literatur yang berkaitan dan menunjang baik secara langsung maupun tidak langsung dengan penelitian. Dengan menggunakan penelitian kualitatif, data-data yang telah didapat kemudian diklarifikasi ke dalam tabel-tabel. Untuk kemudian dianalisa menggunakan proses penalaran secara alamiah, penuturan, penafsiran, perbandingan dan kemudian penggambaran fenomena-fenomena yang terjadi secara apa adanya, guna dapat mengambil kesimpulan dan memberikan saran-saran dengan cara menguraikan dengan kata-kata. Dalam menganalisa data dalam penelitian ini, peneliti melalui beberapa proses, yaitu : a. Reading and Coding Reading and coding adalah membaca, mempelajari dan menuliskan gagasan dalam data yang diperoleh, baik melalui wawancara, observasi maupun dokumentasi. b. Data Reduction Data reduction atau reduksi data adalah pemilihan, penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang tercatat dilapangan. Dengan melakukan reduksi data, diharapkan menghasilkan data yang sesuai dan terklarifikasi secara jelas, tepat guna dan terorganisir. Reduksi data ini berlangsung selama penelitian dilaksanakan. c. Data Displaying Dalam proses data displaying, data-data yang telah didapat diproses dan disajikan berupa tabeltabel atau kalimat. Sehingga dari tabel-tabel maupun kalimat tersebut dapat mempermudah peneliti mengambil kesimpulan. d. Interpreting Interpreting yaitu proses untuk menyimpulkan hasil analisis dari data yang telah didapat. Data yang telah diperoleh dilapangan dianalisa menggunakan beberapa cara untuk mencapai validitas dan akuratisasi dan menyimpulkan hasil analisis data yang diperoleh peneliti selama penelitian dilakukan. Namun proses yang dilakukan oleh peneliti tidak harus berdasarkan urutan, bisa diulangulang dari proses satu kembali ke proses lainnya dan dilanjutkan ke proses-proses berikutnya yang dirasa perlu oleh peneliti untuk dilakukan. Data-data yang telah didapatkan dalam penelitian tentunya memerlukan pengujian agar data yang didapat tersebut reliabel dan valid. Hal ini diperlukan karena data yang tidak reliabel dan valid akan menyebabkan hasil yang diperoleh menjadi bias. Dalam penelitian ini data diuji kredibilitasnya dengan menggunakan triangulasi data atau pengecekan data dari berbagai sumber, cara atau waktu. Sugiyono (2011) menjelaskan terdapat 3 macam triangulasi, yaitu triangulasi sumber, triangulasi teknik dan triangulasi waktu. Triangulasi sumber merupakan cara untuk menguji kredibilitas data yang dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Triangulasi
5
teknik dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama namun dengan teknik yang berbeda, sedangkan triangulasi waktu dilakukan dengan cara melakukan pengecekan pada waktu dan kondisi berbeda. Dari beberapa macam triangulasi yang ada, maka peneliti memutuskan untuk melakukan triangulasi sumber yaitu menggunakan beberapa sumber informasi guna menyesuaikan dan memperkuat data, baik dalam metode pengumpulan data yang berbeda maupun menggunakan informan pendukung Namun apabila dalam proses penelitian ternyata ditemukan keadaan dimana harus menggunakan triangulasi lain, maka peneliti juga akan mempertimbangkan untuk menggunakan triangulasi yang sesuai. D. Pembahasan 1. Pengelolaan Sampah Sehingga Menjadi Barang Ekonomi yang Dilakukan Pemulung di Kota Malang Pengelolaan sampah yang dilakukan Dinas Kebersihan dan Pertamanan sebagian besar hanya dilakukan pada sampah organik seperti pembuatan kompos dan gas metan, hal ini salah satunya disebabkan oleh prosentase sampah organik yang jauh lebih besar dari sampah anorganik. Sebagaimana penuturan Bapak Dedi Pujiharjo : “Karena sebagian besar sampah adalah sampah basah (organik), sekitar 70 persenan.” Selain itu, pengolahan sampah organik lebih memungkinkan untuk dilakukan daripada pengolahan sampah anorganik, ketersediaan dan biaya peralatan menjadi salah satu alasan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang belum bisa melakukan pengolahan sampah anorganik. Sebagaimana pernyataan Bapak Dedi Pujiharjo berikut : “Kalau ngolah sampah kering (anorganik) kan alatnya macem-macem, dananya (yang dibutuhkan) juga nggak sedikit.” Oleh karena itu, Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang telah melangsungkan negosiasi dengan pihak swasta untuk melakukan pengolahan sampah berupa pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTS) di kawasan TPA Supit Urang. Berikut penuturan Bapak Dedi Pujiharjo : “Rencananya mau dibangun PLTS, tapi masih dibicarakan dengan investor.” Sejalan dengan pernyataan Bapak Dedi Pujiharjo, Bapak Pandri membenarkan rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTS) yang akan dibangun di area TPA Supit Urang. Bapak Pandri mengungkapkan : “Bulan lalu saya diundang ke balai Kota Malang, jadi perwakilan pemulung, katanya disini (TPA Supit Urang) mau dibangun pabrik listrik (PLTS).” Pernyataan Bapak Dedi Pujiharjo dan Bapak Pandri juga didukung pernyataan Bapak Hasyim berikut : “Iya, katanya mau dibangun pembangkit listrik (PLTS), tapi masih gak tau kapan.” Belum dilakukannya pengolahan sampah anorganik oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang memberikan kesempatan bagi pihak swasta dan masyarakat untuk mendapatkan pendapatan dengan mengelolanya, selain itu permintaan akan sampah anorganik sebagai faktor produksi barang daur ulang membuat sampah anorganik memiliki nilai ekonomi. Sebagaimana pernyataan beberapa informan berikut : Bapak Sahir : “Ya kita nyari (sampah), nanti kita jual ke pengepul.” Ibu Sumini : “Harganya (beli dari pemulung) tergantung (harga) dari jeragan (pihak pabrik daur ulang).” Pada umumnya, pemulung sampah memilih pekerjaan sebagai pemulung sampah karena sulit mendapatkan pekerjaan. Pemulung yang masuk dalam kategori ini, sebagian besar merupakan mantan buruh pabrik dan kuli bangunan. Sebagian yang lain tertarik dengan pekerjaan sebagai pemulung sampah karena ajakan keluarga yang telah merasakan hasil dari memulung sampah. Sesuai dengan pernyataan beberapa informan berikut : Pandri : “Daripada kerja dibangunan nggak tentu (ada pekerjaan setiap hari), mending saya mulung (sampah).”, “Teman-teman kebanyakan dulu (sebelum jadi pemulung sampah) ya kuli bangunan dan buruh pabrik.” “...kadang anak-anak ya juga ikut bantu (nyari sampah)” Sahir : “Orang gak ada kerjaan lain mas, mau gimana lagi.”
6
: “Pemulung, itu satu keluarga, semua nyari (sampah) mas.” : “Kebanyakan ya semua (satu keluarga) nyari (sampah) mas.” Terlepas dengan berbagai latar belakang yang berbeda-beda, peran pemulung sampah terhadap pengurangan volume sampah di Kota Malang sangat sentral, sebagaimana Laporan Dinas Kebersihan dan Pertamanan tahun 2012, pemulung sampah di Kota Malang mampu mengelola 172 ton sampah dari total 612,43 ton sampah yang dihasilkan Kota Malang dalam setiap harinya. Besarnya peran pemulung sampah terhadap pengurangan volume sampah di Kota Malang, tidak terlepas dari pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemulung. Pengelolaan sampah yang dilakukan sebagian besar pemulung sampah di Kota Malang hanya sebatas mencari sampah, kemudian menyortirnya berdasarkan jenisnya, untuk kemudian langsung menjualnya kepada pengepul. Sesuai dengan pernyataan Bapak Pandri berikut : “Setelah kita nyari (sampah) ya langsung dijual ke pengepul.”, “ya (disortir) tergantung jenisnya mas.” Senada dengan pernyataan Bapak Pandri, Bapak Sahir juga mengungkapkan pengelolaan sampah yang dilakukan sebagai berikut : “Kita nyari (sampah), trus dipisah-pisah (disortir), trus dijual.” Selanjutnya, pengepul menerima sampah yang akan dijual oleh pemulung dan menyortir ulang sampah tersebut. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya kecurangan penambahan berat sampah dengan menambahkan air atau tanah, kecurangan penambahan berat sampah seperti ini lebih dikenal dengan istilah ngebom. Sebagaimana pernyataan Ibu Sumini : “Sebelum ditimbang, ya saya sortir ulang.”, “takut kena bom (kecurangan penambahan berat sampah) mas.” Senada dengan pernyataan Ibu Sumini, Bapak Hasyim membenarkan akan adanya pemulung nakal yang sering merugikan para pengepul. Bapak Hasyim Mengungkapkan : “Kalau banyak yang ngebom (melakukan kecurangan penambahan berat sampah) ya saya bisa rugi mas.” Secara umum proses pengelolaan sampah yang dilakukan pemulung dari barang yang tidak memiliki ekonomi hingga memiliki nilai ekonomi berawal dari adanya TPA Supit Urang yang menjadi tempat pembuangan akhir sampah dari seluruh Kota Malang, kemudian pemulung sampah mencari sampah yang dapat mereka jual dengan menyortirnya berdasarkan jenisnya, setelah itu pemulung menjualnya kepada pengepul sampah. Namun, sebelum menimbang sampah tersebut, pengepul melakukan penyortiran ulang untuk menghindari kecurangan penambahan berat sampah. Setelah proses penyortiran oleh pengepul selesai, maka pengepul akan menimbang sampah dan membayar sejumlah uang sesuai harga pasaran sampah berdasarkan jenisnya kepada pemulung sampah. Alur proses pengelolaan sampah oleh pemulung dapat dilihat pada Gambar 1. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pengelolaan sampah yang dilakukan pemulung sampah Kota Malang terhadap sampah yang kemudian menjualnya kepada pengepul sampah merupakan salah satu proses pengelolaan sampah dari barang yang tidak memiliki nilai ekonomi hingga memiliki nilai ekonomi. Pemilihan pengelolaan sampah berupa langsung dijualnya sampah hasil pulungan kepada pengepul sampah setelah disortir tidak terlepas dari lebih mudahnya proses pengelolaan sampah tersebut dari pengelolaan lainnya, bukan karena keterbatasan pengetahuan pemulung akan pengelolaan sampah dengan cara yang lain. Seperti yang diungkapkan Bapak Pandri berikut : “Ribet mas kalau masih dibawa pulang dulu, kalau langsung dijual kan langsung dapat uang.” Hal serupa mengenai alasan pemilihan pengelolaan sampah tersebut juga diungkapkan oleh Bapak Sahir, berikut penuturan beliau : “Kalau saya ya langsung dijual ke pengepul mas, berat kalau masih dibawa pulang.” Dari penuturan kedua informan tersebut menunjukkan pemulung memilih pengelolaan tersebut karena dirasa lebih mudah dalam pengerjaannya, bukan dikarenakan terbatasnya kemampuan pemulung dalam melakukan pengelolaan sampah dengan tipe pengelolaan lainnya. Hal tersebut tidak terlepas dari peran Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang dalam pemberdayaan pemulung yang telah membantu pemulung dalam mengenal beberapa pengelolaan sampah dengan cara mengelola sampah hingga memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Hasyim Sumini
7
Pengelolaan tersebut berupa pengelolaan sampah anorganik hasil pulungan pemulung dengan cara mengelompokkan jenis sampah secara lebih rinci, namun pengelolaan tersebut membutuhkan lebih banyak waktu untuk memotong-motong jenis sampah tertentu. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Bapak Dedi Pujiharjo berikut : “Kita (Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang) pernah mengenalkan pengelolaan sampah dengan menggolongkan sampah lebih rinci, contohnya gelas AQUA, itu terdiri dari 3 jenis plastik, kalau dipisah-pisah harganya lebih mahal.” Gambar 1 : Pengelolaan Pemulung Sampah
Sumber : Ilustrasi Peneliti, 2013 Hal senada dengan pernyataan Bapak Dedi Pujiharjo juga diungkapkan Bapak Pandri, beliau mengungkapkan : “Orang kantor (Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang) pernah ngajarin milah-milah sampah, nanti harganya bisa lebih mahal, tapi kan harus dibawa pulang dulu mas.” Pernyataan kedua informan tersebut menunjukkan masih memungkinkannya peningkatan nilai ekonomi sampah jika dikelola lebih lanjut, hal tersebut sesuai dengan pendapat Tim Penulis Penebar Swadaya (2008:6) yang menyatakan bahwa sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun alam yang belum memiliki nilai ekonomi.
8
Lebih jelas Basriyanta menjelaskan tentang bagaimana sampah dapat memiliki nilai ekonomi, Basriyanta (2007:17) menyampaikan bahwa sampah merupakan barang yang dianggap sudah tidak terpakai dan dibuang oleh pemilik/pemakai sebelumnya, tetapi masih bisa dipakai kalau dikelola dengan prosedur yang benar. 2. Implikasi Ekonomi dari Pengelolaan Sampah pada Rumah Tangga Pemulung di Kota Malang Kebanyakan orang dihadapkan pada persoalan ekonomi untuk pertama kali dalam lingkungan rumah tangga, memang istilah ekonomi berasal dari lingkungan rumah tangga. Kata ekonomi dibentuk dari dua kata dalam bahasa asing (Yunani), yaitu “oikos” yang berarti rumah tangga dan “nomos” yang berarti aturan, tata atau ilmu. Sehingga arti kata ekonomi adalah aturan atau pedoman untuk mengatur rumah tangga (Gilarso, 2004:60). Tujuan dari adanya aturan atau pedoman yang mengatur rumah tangga yaitu untuk mencapai kesejahteraan, namun sangatlah sulit menilai kesejahteraan ekonomi masyarakat. Meskipun suatu rumah tangga memiliki penghasilan, kebutuhan selalu berkembang, sehingga dapat dikatakan kesejahteraan ekonomi tak akan pernah tercapai. Sebagaimana pendapat Gilarso (2004:61), Idealnya setiap rumah tangga mempunyai penghasilan yang cukup besar sehingga dapat membiayai semua kebutuhan hidupnya. Namun dalam kenyataan, hal ini masih jauh dari harapan. Sementara itu, kebutuhan dan keinginan berkembang demikian cepatnya sehingga berapapun besarnya penghasilan akan selalu tidak cukup untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan tersebut. Gambar 2 : Eksternalitas Positif
P : Price (Harga) Q : Quantity (Kuantitas) MR : Marginal Revenue (Keuntungan Marginal) MC : Marginal Cost (Biaya Marginal) MSB : Marginal Social Benefit (Keuntungan Sosial Marginal) Sumber : Sasongko & Banu, 2004 Disisi lain, Pigou dalam Sasongko & Banu (2004:147) berpendapat bahwa kesejahteraan ekonomi berarti kepuasan yang diturunkan dari penggunaan barang dan jasa yang dapat diperdagangkan. Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai kesejahteraan ekonomi, pengelolaan sampah yang dilakukan pemulung sampah telah menimbulkan pendapatan bagi pemulung sampah di kawasan TPA Supit Urang Kota Malang. Pendapatan yang timbul akibat adanya sampah menurut
9
ilmu ekonomi merupakan eksternalitas positif (Gambar 2), karena menimbulkan manfaat bagi pemulung sampah. Menurut Sasongko & Banu (2004:161), pada eksternalitas positif, manfaat marginal dilihat dengan marginal revenue perusahaan (MR). MR lebih rendah dari kurva manfaat sosial marginal (MSB). Karena perusahaan tidak memperhitungkan nilai dari manfaat terhadap munculnya kegiatan lain yang disebabkan oleh produk yang dihasilkan. Bila menggunakan syarat optimasi keuntungan perusahaan dimana MR=MC, maka produksi yang dihasilkan terlalu kecil, dimana seharusnya menggunakan syarat keseimbangan MSB=MC. Daerah b dalam Gambar 2 merupakan kerugian sosial yang dapat digambarkan. Pada eksternalitas positif adanya sampah menimbulkan kerugian sosial karena pelaku ekonomi yang melakukan transaksi kehilangan kesempatan untuk mendapatkan keuntungan, sedangkan pihak ketiga, dalam hal ini pemulung mendapatkan keuntungan karena memiliki pendapatan sampah. Berikut ini merupakan pendapatan pemulung sampah di kawasan TPA Supit Urang Kota Malang dan implikasi ekonominya pada rumah tangga pemulung : a. Pendapatan Pemulung Dalam Bentuk Uang, Meningkatkan Anggaran Belanja Rumah Tangga Pemulung Pengelolaan sampah yang dilakukan pemulung sampah di Kawasan TPA Supit Urang Kota Malang telah memberikan dampak adanya pendapatan pemulung, sesuai dengan yang diceritakan Bapak Pandri berikut : “Dari lima puluh ribu sampai seratus ribu.”, “Ya kadang ya bisa dua ratus ribu.”, “Paling tinggi tiga ratus ribu, tapi ya bisa setahun sekali.” Sejalan dengan yang disampaikan Bapak Pandri, Bapak Sahir mengungkapkan : “Kalau saya sekitar seratus ribu mas.”, “(Pemulung lain) paling kecil sekitar lima puluh (ribu), tapi ada juga yang bisa sampe dua ratus (ribu) tiga ratus (ribu) mas.” Sejalan dengan pernyataan yang disampaikan Bapak Pandri dan Bapak Sahir, data pembelian sampah dari pemulung sampah oleh pengepul sampah selama satu minggu berikut juga menunjukkan bahwa pengelolaan sampah yang dilakukan pemulung telah memberikan dampak timbulnya pendapatan pemulung dari hasil penjualan sampah pada pengepul sampah. Adapun data pembelian sampah dari pemulung sampah oleh pengepul sampah selama satu minggu dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 : Pendapatan Pemulung
Sumber : Penelitian Lapang, 2013 Hari kelima pada tabel di atas adalah hari minggu, meskipun pengepul meliburkan proses pembelian sampah, namun pemulung tetap melakukan aktifitas memulung sampah dan hasil pulungan dijual pada hari senin. Sehingga hasil penjualan pada hari keenam (senin) cenderung lebih besar bila dibandingkan dengan hari lainnya.
10
Berdasarkan pernyataan Bapak Pandri dan Bapak Sahir, beserta data pendapatan pemulung sampah diatas menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan pemulung berkisar antara Rp1.200.000,00 hingga Rp6.500.00,00 untuk setiap bulannya. Bapak Parman memiliki pendapatan terkecil dengan Rp288.000,00 perminggu, sedangkan pendapatan terbesar diperoleh oleh Bapak Yudi dengan Rp1.499.000,00 perminggu. Perbedaan pendapatan yang cukup jauh antara Bapak Parman dengan Bapak Yudi disebabkan beberapa faktor, diantaranya; usia, jam kerja dan pemilihan sampah yang dipulung. Sebagaimana penuturan Bapak Pandri berikut : “Kalau Bapak Parman kan orangnya sudah tua mas, selain itu Bapak Parman mulungnya kebanyakan sampai siang saja.”, “Ya bisa juga (tidak semua jenis sampah dipulung), kan Bapak Parman sudah tua, jadi yang berat-berat ditinggal, kebanyakan dapetnya plastik-plastik (plastik keras) sama kresek (plastik lunak) saja”, “Kalau Bapak Yudi itu orangnya kan masih sangat muda, nyari sampahnya juga sering sampai sore, dan semua jenis sampah seperti besi, tulang, aluminium semuanya diambil (dipulung) mas.” Berdasarkan pernyataan Bapak Pandri diatas menunjukkan bahwa faktor usia, jam kerja dan pemilihan sampah yang dipulung berpengaruh terhadap besarnya pendapatan pemulung sampah. Hal ini dikarenakan usia, jam kerja dan pemilihan jenis sampah mempengaruhi banyaknya hasil pulungan yang didapat pemulung dan jenis sampah tertentu yang memiliki nilai jual lebih tinggi dibandingkan dengan jenis sampah lainnya. Sehingga menyebabkan perbedaan pendapatan satu pemulung dengan pemulung lainnya. Dilain pihak, pendapatan sebesar itu tidak menjamin kesejahteraan ekonomi pemulung dapat tercapai, sebagaimana pendapat Gilarso (2004:61) yang menyatakan bahwa Idealnya setiap rumah tangga mempunyai penghasilan yang cukup besar sehingga dapat membiayai semua kebutuhan hidupnya. Namun dalam kenyataan, hal ini masih jauh dari harapan. Sementara itu, kebutuhan dan keinginan berkembang demikian cepatnya sehingga berapapun besarnya penghasilan akan selalu tidak cukup untuk memenuhi segala kebutuhan dan keinginan tersebut. Gambar 3 : Garis Budget Sebelum Memulung
Y/Py : Pendapatan per harga barang Y (Kuantitas Y) Y/Px : Pendapatan per harga barang X (Kuantitas X) Sumber : Diadopsi dari Sasongko & Banu, 2004 Namun, pendapatan pemulung yang timbul karena pengelolaan sampah yang dilakukan pemulung telah memberikan implikasi ekonomi terhadap rumah tangga pemulung. Sebelum melakukan pengelolaan sampah, pemulung tidak memiliki pendapatan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Namun, kebutuhan rumah tangga merupakan suatu hal yang pasti dan pemenuhannya merupakan keharusan. Sehingga memaksa pemulung sampah melakukan
11
transaksi utang-piutang kepada pengepul sampah. Sebagamana yang diungkapkan Ibu Sumini berikut : “Pemulung utang dulu, nanti langsung motong hasil penjualan sampahnya.” Senada dengan penuturan Ibu Sumini juga diungkapkan Bapak Pandri. Bapak Pandri Mengungkapkan : “Kalau nggak punya uang ya utang dulu ke pengepul mas, nanti kalau udah dapat uang dari sampah bayar.” Berdasarkan pernyataan Ibu Sumini dan Bapak Pandri, maka garis budget pemulung sampah di kawasan TPA Supit Urang Kota Malang sebelum melakukan aktifitas memulung sampah dapat dilihat pada gambar 3. Dengan melakukan aktifitas memulung sampah, pemulung memiliki pendapatan dari hasil penjualan sampah kepda pengepul. Dengan begitu pemulung yang sebelumnya memiliki garis budget dari aktifitas utang-piutang dengan pengepul, kini memiliki garis budget dari pendapatan memulung sampah sendiri. Sehingga pemulung mengalami peningkatan pendapatan dari yang sebelumnya tidak memiliki pendapatan, kini memiliki pendapatan. Pendapatan pemulung sampah tersebut menyebabkan meningkatnya anggaran belanja rumah tangga pemulung, sebagaimana pendapat Lipsey dkk. (1995:205) yang menyatakan bahwa garis anggaran bergeser mendekati titik nol jika pendapatan turun dan menjauhi titik nol jika pendapatan naik. Pergeseran garis budget akibat dari adanya pendapatan pemulung pada rumah tangga pemulung dapat dilihat pada gambar 4. Gambar 4: Garis Budget Setelah Memulung Karena Pendapatan Dalam Bentuk Uang
Y/Py : Pendapatan per harga barang Y (Kuantitas Y) Y/Px : Pendapatan per harga barang X (Kuantitas X) Sumber : Diadopsi dari Sasongko & Banu, 2004 Peningkatan garis budget yang disebabkan pendapatan pemulung menyebabkan peningkatan kepuasan atau kesejahteraan ekonomi pemulung sampah, hal tersebut terlihat dengan bergesernya titik keseimbangan konsumen pemulung sampah seperti yang terlihat pada Gambar 5. Mengingat keseimbangan konsumen dihasilkan dari titik singgung antara kurva indiferen dengan garis budget. Sebagaimana Lipsey dkk. (1995:204) menyatakan bahwa kepuasan rumah tangga mencapai maksimum pada titik dimana kurva indiferen menyinggung garis anggaran. Pergeseran garis budget dari Y1X1 ke Y2X2 menyebabkan bergesernya titik keseimbangan konsumen dari titik a ke titik b, dengan pendapatan dari hasil memulung sampah pemulung dapat mencapai kurva indiferen yang lebih tinggi.
12
Gambar 5 : Keseimbangan Konsumen Setelah Memulung Karena Pendapatan Dalam Bentuk Uang
Y/Py : Pendapatan per harga barang Y (Kuantitas Y) Y/Px : Pendapatan per harga barang X (Kuantitas X) IC : Indiferen Curve (Kurva Indiferen) Sumber : Diadopsi dari Sasongko & Banu, 2004 Bergesernya titik keseimbangan konsumen dari yang lebih rendah ke yang lebih tinggi menunjukkan bahwa kepuasan atau kesejahteraan ekonomi pemulung meningkat. b. Pendapatan Pemulung Dalam Bentuk Barang dan Jasa, Mengurangi Pengeluaran Pemenuhan Kebutuhan Rumah Tangga Pemulung Selain menyebabkan timbulnya pendapatan dalam bentuk uang, pengelolaan sampah yang dilakukan pemulung sampah di Kawasan TPA Supit Urang Kota Malang juga menyebabkan timbulnya pendapatan dalam bentuk barang dan jasa. Berikut pendapatan dalam bentuk barang dan jasa yang diterima pemulung sampah di Kawasan TPA Supit Urang Kota Malang : 1. Gas Metan Teknologi perancangan gas methana atau gas bio sebenarnya sudah dikembangkan di Indonesia, tetapi fakta menunjukkan bahwa banyak diantara instalasi yang dibangun tidak berproduksi lagi, menurut pengamatan penulis, salah satu sebab yang mendasari kegagalan tersebut, karena petugas yang membuat instalasi maupun pemilik instalasi gas methana kurang memperhatikan terjadinya gas bio. Membangun instalasi gas bio, tidak cukup hanya penguasaan konstruksi bangunan, tetapi juga harus harus menguasai ilmu mikrobiologi, fisiologi dan lain-lain, yang mendasari proses fermentasi. Disamping itu, dalam rangka mengembangkan teknologi ini, aspek ekonomi dan sosial perlu dipertimbangkan, karena respon masyarakat terhadap teknologi ini, tidak lepas dari dasar pemikiran apakah aplikasi teknologi ini layak atau menguntungkan bagi masyarakat, dalam menilai apakah teknologi ini relevan untuk diaplikasikan, ada paling tidak dua indikator yang perlu diperhatikan. Pertama apakah secara ekonomis keberadaan instalasi gas methana layak, Kedua, manfaat non ekonomis yang ditimbulkan dengan adanya instalasi tersebut, antara lain dikaitkan dengan peningkatan kualitas lingkungan hidup serta ekosistem pertanian (Junus dalam Subeki, 2011). Manfaat non ekonomis yang ditimbulkan pengelolaan sampah menjadi gas metan jelas sangat baik terhadap lingkungan, karena mengurangi volume sampah dan bahaya yang dapat ditimbulkan jika gas metan tidak dikelola dengan baik, salah satu contohnya adalah terjadinya ledakan atau kebakaran di kawasan TPA. Secara ekonomi, gas metan dapat bermanfaat bagi masyarakat dan memiliki nilai jual cukup tinggi karena dapat dimanfaatkan sebagai pengganti gas elpiji dan dapat pula dimanfaatkan
13
sebagai pembangkit listrik. Pemerintah Kota Malang saat ini hanya memanfaatkan gas metan yang dihasilkan untuk pengganti gas elpiji bagi warga sekitar TPA Kota Malang, khususnya para pemulung sampah. Gas metan diberikan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang melalui instalasi gas metan yang tersambung dengan kompor gas setiap rumah tangga pemulung yang berada di kawasan TPA Supit Urang. Dengan dibangunnya instalasi gas metan, pemulung tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk membeli gas elpiji. Sebagaimana penuturan Bapak Dedi Pujiharjo berikut : “Instalasi gas metan sudah terhubung ke rumah-rumah pemulung disekitar TPA.” Sejalan dengan pernyataan Bapak Dedi Pujiharjo, Bapak Pandri membenarkan akan adanya instalasi gas metan yang tersambung ke rumah-rumah pemulung. Bapak Pandri mengungkapkan : “Itu (gas metan) dari kantor (TPA Supit Urang) disalurkan ke rumah-rumah pemulung pakai paralon.” Pernyataan Bapak Dedi Pujiharjo dan Bapak Pandri juga didukung pernyataan Bapak Sahir yang mengungkapkan bahwa : “Iya, ada mas, enak, jadi saya tidak perlu lagi beli gas (elpiji). mau masak tinggal hidupkan kompor.” Berdasarkan pernyataan beberapa informan tersebut, selain mengurangi pengeluaran rumah tangga pemulung untuk membeli gas elpiji. Gas metan juga mempermudah kehidupan rumah tangga pemulung karena tidak perlu kebingungan akan kehabisan gas dan kehilangan waktu untuk membeli gas elpiji. Jika diperhitungkan secara ekonomis, keberadaan gas metan mampu menghemat pengeluaran setiap rumah tangga sekitar Rp50.000,00 perbulan. Sebagaimana penuturan Bapak Pandri berikut : “Kalau dulu sebelum dapat gas metan (tersambung ke rumah), saya bisa beli gas empat kali sebulan mas, setelah ada gas metan paling cuma ditarik (bayar) uang perawatan pipa penyaluaran gas saja lima ribu rupiah.” Selain itu, tidak terbatasnya sampah sebagai sumber utama gas metan, masih dapat dimanfaatkan untuk masyarakat luas dan pembangkit listrik, sehingga memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Disisi biaya, pembuatan instalasi gas metan tergolong murah karena masih sangat terjangkau, Berdasarkan Rencana Umum Pengadaan Barang dan Jasa Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang Tahun 2013, Pembangunan Instalasi Gas Metan memerlukan Biaya sebesar Rp200.000.000,00 dan Rp198.000.000,00 untuk pengadaan 300 kompor gas yang dibagikan kepada warga sekitar TPA Supit Urang beserta pembangunan salurannya. 2. Pupuk Organik (Kompos) Selain menghasilkan gas metan, pengelolaan sampah organik oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang juga menghasilkan pupuk organik atau yang lebih dikenal dengan nama kompos, cara pengomposan merupakan cara pemanfaatan sampah yang dapat menghasilkan pupuk yang memiliki nilai ekonomi. Dimasa mendatang, penggunaan kompos sebagai nutrisi tanaman akan sangat berarti dan memiliki prospek bisnis yang cerah. Kompos tidak hanya mengandung unsur hara makro (N, P dan K), unsur hara mikro (Fe, B, S dan Ca) pun terkandung lengkap didalamnya walaupun diakui kandungan haranya lebih sedikit dibanding pupuk kimia. Namun, bahan baku penyusun kompos melimpah ruah dan cara pembuatannya cukup sederhana (Tim Penulis Penebar Swadaya, 2008:35). Kompos yang dihasilkan Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang disediakan secara gratis untuk seluruh warga Kota Malang, termasuk rumah tangga pemulung yang membutuhkan untuk sekedar mempersubur lahan seperti taman atau bahkan sawah dan ladang. Sebagaimana penuturan Bapak Dedi Pujiharjo berikut : “Kita (Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang) juga mengolah sampah organik menjadi kompos, nanti komposnya diberikan kepada seluruh warga kota malang yang membutuhkan kompos tanpa dipungut biaya apapun, alias gratis.”
14
Sejalan dengan pernyataan Bapak Dedi Pujiharjo, Bapak Pandri membenarkan pemberian kompos secara gratis oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang. Bapak Pandri mengungkapkan : “Teman-teman (pemulung) kadang minta kompos ke kantor (TPA Supit Urang), saya juga pernah, untuk tanaman dibelakang rumah.” Pernyataan Bapak Dedi Pujiharjo dan Bapak Pandri juga didukung pernyataan Bapak Hasyim yang mengungkapkan bahwa : “Masyarakat sekitar kadang ya juga minta, dipakai untuk sawahnya.” Berdasarkan pernyataan beberapa informan tersebut, pupuk organik menjadi pendapatan berupa barang dan jasa bagi pemulung sampah di kawasan TPA Supit Urang sebagai pengganti pupuk kimia yang biasa digunakan untuk mempersubur tanah. 3. Sembako dan Pengobatan Gratis Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang bekerjasama dengan beberapa instansi pemerintah lain, instansi masyarakat, dan instansi pendidikan dalam menyalurkan bantuan berupa sembako kepada rumah tangga pemulung dengan tujuan dapat membantu perekonomian rumah tangga pemulung. Kondisi lingkungan TPA Supit Urang yang sangat kotor dan keberadaan sampah yang dapat menjadi sumber penyakit dapat menyerang kesehatan setiap orang yang berada di kawasan TPA Supit Urang, terlebih pemulung sampah yang berhubungan langsung dengan sampah. Hal tersebut mendorong beberapa instansi pemerintah, instansi masyarakat, dan instansi pendidikan untuk memberikan bantuan dalam bentuk pengobatan gratis kepada pemulung sampah. Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang sebagai instansi pemerintah yang bertugas sebagai pengelola utama sampah Kota Malang dan mewadahi pemulung di kawasan TPA Supit Urang dalam suatu paguyuban berperan sebagai fasilitator antara instansi pemberi bantuan dengan pemulung melalui paguyuban. Sebagaimana penuturan Bapak Dedi Pujiharjo berikut : “Dengan adanya paguyuban komunikasi antara Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang dengan pemulung semakin mudah, contohnya jika ada bantuan, kita (Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang) tinggal ngubungi Bapak Pandri (ketua paguyuban pemulung), nanti Bapak Pandri yang nginformasikan ke anggota-anggotanya.” Gambar 6 : Garis Budget Setelah Memulung Karena Pendapatan Dalam Bentuk Barang dan Jasa
Y/Py : Pendapatan per harga barang Y (Kuantitas Y) Y/Px : Pendapatan per harga barang X (Kuantitas X) Sumber : Diadopsi dari Sasongko & Banu, 2004
15
Sejalan dengan penuturan Bapak Dedi Pujiharjo, Bapak Pandri Mengungkapkan : “Kalau ada bantuan seperti sembako atau pengobatan gratis nanti orang kantor (Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang) menghubungi saya, nanti saya sebarkan ke teman-teman (pemulung).”, “Macem-macem mas, kadang dari kampus, kadang dari perkumpulan gereja, kemarin ini ada bantuan sembako dari macung” Berdasarkan pernyataan Bapak Dedi Pujiharjo dan Bapak Pandri, menunjukkan bahwa pemulung di kawasan TPA Supit Urang mendapatkan pendapatan berupa pengobatan gratis dan sembako. Pada dasarnya, beberapa pendapatan dalam bentuk barang dan jasa yang diterima pemulung sampah di kawasan TPA Supit Urang Kota Malang akan mengurangi pengeluaran pemenuhan kebutuhan rumah tangga pemulung. Hal tersebut menyebabkan pendapatan yang seharusnya dianggarkan untuk barang dan jasa tersebut dapat dialihkan untuk kebutuhan lainnya, sehingga secara tidak langsung menyebabkan meningkatnya anggaran belanja rumah tangga pemulung. Pergeseran garis budget yang disebabkan pendapatan berupa barang dan jasa pemulung dapat dilihat pada gambar 6. Pendapatan pemulung dalam bentuk barang dan jasa tersebut menyebabkan meningkatnya anggaran belanja rumah tangga pemulung, sebagaimana pendapat Lipsey dkk. (1995:205) yang menyatakan bahwa garis anggaran bergeser mendekati titik nol jika pendapatan turun dan menjauhi titik nol jika pendapatan naik. Peningkatan garis budget yang disebabkan pendapatan pemulung menyebabkan peningkatan kepuasan atau kesejahteraan ekonomi pemulung sampah, hal tersebut terlihat dengan bergesernya titik keseimbangan konsumen pemulung sampah seperti yang terlihat pada Gambar 7. Gambar 7: Keseimbangan Konsumen Setelah Memulung Karena Pendapatan Dalam Bentuk Barang dan Jasa
Y/Py : Pendapatan per harga barang Y (Kuantitas Y) Y/Px : Pendapatan per harga barang X (Kuantitas X) IC : Indiferen Curve (Kurva Indiferen) Sumber : Diadopsi dari Sasongko & Banu, 2004 Mengingat keseimbangan konsumen dihasilkan dari titik singgung antara kurva indiferen dengan garis budget. Sebagaimana Lipsey dkk. (1995:204) menyatakan bahwa kepuasan rumah tangga mencapai maksimum pada titik dimana kurva indiferen menyinggung garis anggaran. Pergeseran garis budget dari Y2X2 ke Y3X3 menyebabkan bergeseranya titik keseimbangan konsumen dari titik b ke titik c, dengan pendapatan berupa barang dan jasa pemulung dapat mencapai kurva indiferen yang lebih tinggi, hal ini menunjukkan bahwa kepuasan atau kesejahteraan ekonomi pemulung meningkat.
16
Bergesernya titik keseimbangan konsumen dari yang lebih rendah ke yang lebih tinggi menunjukkan bahwa kepuasan atau kesejahteraan ekonomi pemulung meningkat. E. Kesimpulan dan Saran Berdasarkan hasil penelitian dan analisis mengenai pengelolaan dan implikasi ekonomi sampah pada rumah tangga pemulung di Kota Malang, dapat diambil beberapa kesimpulan, yaitu : 1. Pemulung sampah di kawasan TPA Supit Urang Kota Malang mengelola sampah yang tidak memiliki nilai ekonomi sehingga menjadi barang yang memiliki nilai ekonomi dengan cara menyortir hasil pulungan sampah berdasarkan jenisnya, kemudian menjualnya kepada pengepul sampah. 2. Terdapat dua jenis pendapatan yang diterima pemulung di kawasan TPA Supit Urang Kota Malang, yaitu pendapatan berupa uang dan pendapatan berupa barang dan jasa. 3. Implikasi ekonomi pendapatan berupa uang yang diterima pemulung di kawasan TPA Supit Urang Kota Malang menyebabkan meningkatnya kesejahteraan ekonomi rumah tangga pemulung melalui meningkatnya anggaran belanja rumah tangga pemulung. Sedangkan implikasi ekonomi pendapatan berupa barang dan jasa yang diterima pemulung di kawasan TPA Supit Urang Kota Malang menyebabkan meningkatnya kesejahteraan ekonomi rumah tangga pemulung melalui berkurangnya pengeluaran pemenuhan kebutuhan rumah tangga pemulung, yang secara tidak langsung meningkatkan anggaran belanja rumah tangga pemulung. Berdasarkan beberapa beberapa temuan dari penilitian ini, ada beberapa hal yang dapat dijadikan saran, yaitu : 1. Pemulung sampah melakukan pengelolaan lain terhadap sampah hasil pulungannya sehingga memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rumah tangga pemulung melalui peningkatan pendapatan yang diterima. 2. Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang dapat hadir dan berperan sebagai fasilitator dalam mengatur dan memberi masukan melalui paguyuban pemulung tentang tata cara pengelolaan sampah lain yang dapat dilakukan untuk mempertinggi nilai ekonomi sampah sehingga mempermudah pemulung sampah dalam menjalankannya. Daftar Pustaka Abdurrahman, Deden. 2008. Biologi. Bandung. Grafindo Media Pratama Budi, Hieronymus Santoso. 1998. Pupuk Kompos. Yogyakarta. Kanisius Basriyanta. 2007. Memanen Sampah. Yogyakarta. Kanisius Chandra, Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta. EGC Fauzi, Ahmad. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama Gilarso, T. 2004 Pengantar Ilmu Ekonomi Makro. Yogyakarta. Kanisius Kusuma, Iriana Dewi. 2008. Potensi dan Manfaat Ekonomi Pengolahan Sampah Padat di Kota Malang. Malang. Universitas Muhammadiyah Malang Lipsey, Richard G. dkk.1995. Pengantar Mikroekonomi Jilid 1. Jakarta. Binaputra Aksara Mardiana, Siti. Harso, E. dan Susilo F. 2009. Kajian Peluang Bisnis Rumah Tangga Dalam Pengelolaan Sampah Perkotaan Melalui Keterlibatan Masyarakat dan Swasta di Medan. Medan. Universitas Sumatra Utara Pearson, Scott dkk. 2005. Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia
17
Ramadhan, Aditha. 2009. Analisis Kesediaan Menerima Dana Kompensasi di TPA Sampah Cipayung Kota Depok. Bogor. Institut Pertanian Bogor Riswan, Rya H.S. dan Hadiyarto A. 2011, “Pengelolaan Sampah Rumah Tangga di Kecamatan Daha Selatan”, Jurnal Ilmu Lingkungan, Vol. 9, No. 1, Hal. 31-38. Santoso, Priyo. 2005. Studi Nilai Ekonomi Sampah Kering di TPA Sampah Desa Kemutug Lor Kecamatan Baturaden Kabupaten Banyumas. Jakarta. Universitas Indonesia Saraswati, Mila & Widianingsih, Ida. 2008. Be Smart Ilmu Pengetahuan Sosial. Grafindo Media Pratama Sasongko & Banu, Bambang Siswono. 2004. Teori Ekonomi Mikro. Malang. Universitas Negeri Malang Subeki, Nur. 2011. Development Of Gas Supply In Landfill Supit Urang To Support Of Flaring System Laboratory. Malang. Universitas Muhammadiyah Malang Sudrajat. 2006. Mengelola Sampah Kota. Jakarta. Penebar Swadaya Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung. Alfabeta Suherneti dkk. 2007. Pendidikan Lingkungan Hidup. Jakarta. Grasindo Tim Penulis Penebar Swadaya. 2008. Penanganan dan Pengolahan Sampah. Jakarta. Penebar Swadaya Tohar, M. 2000. Membuka Usaha Kecil. Yogyakarta. Kanisius