Abstrak Muhammad Shohib, 2009, Taubat Sebagai Metode Dasar Psikoterapi Islam, Universitas Muhammadiyah Malang, Dalam Kegiatan Temu Ilmiah Psikologi Islami, Bandung Fenomena kehidupan modern yang sering kita lihat dan dengar merupakan salah satu tragedi manusia dengan kehidupan modernnya. Kesulitan materi kini telah berubah kesulitan non materi (psikologis). Banyak orang yang bergelimang harta telah kehilangan jati diri dan banyak orang yang kekurangan harta juga mengabaikan norma susila. Angka bunuh diri, kekerasan dan hilangnya kesadaran diri kolektif telah meningkat seiring dengan berubahnya gaya hidup. Hal ini muncul karena setiap diri individu sudah kehilangan jati diri, visi misi kehidupan dan mengalami kehampaan spiritual, sehingga yang muncul adalah kegelisahan, kecemasan, ketakutan dan ketidakpastian yang mengiri setiap langkah kehidupan. Salah satu sumber utama terjadinya problem psiko-sosial ini adalah maraknya perbuatan dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh manusia. Orang sudah tidak mampu lagi membedakan kebenaran dan keburukan dan senang dengan perbuatan buruk yang dilakukan. Intensitas perilaku dosa dan kesalahan ini telah membawa manusia dalam jurang kehampaan hidup dan mengganggu kesehatan mentalnya dikarenakan telah ternodanya hati (qalb) manusia. Hati sebagai cermin dalam meniti kehidupan telah berubah menjadi kusam dan hitam akibat banyaknya dosa yang diperbuat, baik yang berhubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan lingkungannya serta dengan dirinya sendiri. Untuk membersihkan hati (qalb) ini tidak ada cara lain kecuali meminta ampunan dengan taubat yang sebenar-benarnya. Taubat sebagai metode dasar psikoterapi Islami dapat dilakukan oleh para terapis atau orang-orang yang menginginkan berkembangnya potensi diri (pikir dan hati). Hal ini dapat dipahami dikarenakan dalam proses pertaubatan terdapat kombinasi fungis-fungsi kejiwaan yang meliputi adanya kesadaran, pengakuan dosa, penyesalan, komitmen dan perbuatan baik yang terus menerus. Taubat dapat berfungsi sebagai alat pembersih dosa, penguat perasaan dan pikiran dan pengembang potensi baik manusia, sehingga dengan proses taubat ini kondisi mental psikologis manusia dapat kembali sehat sesuai dengan kapasitas yang diberikan Tuhan. Psikoterapi Islami dengan metode dasar proses taubat ini membutuhkan 3 (tiga) elemen dasar untuk tingkat keberhasilannya yaitu klien (dan keluarga) yang bersungguh-sungguh menginginkan kesembuhan atau berkembangnya potensi diri, terapis yang memiliki ilmu dan keridhoaan Allah sang penggenggam hidup manusia, sehingga tercipta nuansa terapi Islami yang benar-benar dapat membawa perubahan mental psikologis klien (dan keluarganya).
Kata kunci : taubat, dasar psikoterapi Islami
1. Pendahuluan
Fenomena masyarakat modern saat ini membuat sebagian pengamat perilaku dan para ahli ilmu psikologi mengalihkan pandangan bukan hanya pada teori-teori yang telah berkembang saat ini yang berdasarkan pandangan dunia barat, tetapi juga mulai dikembangkan pandangan dari dunia Islam. Berbagai perilaku negatif yang nampak hari ini akibat pola pikir dan cara menjalani hidup yang tidak sesuai dengan nilai agama dan norma kesusilaan yang berkembang sesuai dengan budaya lokal masyarakat. Maraknya penyimpangan perilaku akibat gangguan emosi, kepribadian, kognitif maupun gangguan yang berkaitan dengan penggunaan zat telah banyak kita jumpai di masyarakat. Bahkan penyimpangan perilaku sosial yang berakibat pada perilaku bunuh diri, kriminalitas, kekerasan dan asusila juga menghiasa berita media masa setiap hari. Dalam menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut telah banyak solusi ditawarkan dan bahkan dilakukan oleh berbagai pihak yang terkait, baik dalam bentuk penyembuhan (pengobatan), pencegahan dan perbaikan keadaan oleh institusi terkait, masyarakat, keluarga dan individu yang terlibat dalam munculnya masalah tersebut. Keluarga sebagai unit terkecil seringkali berupaya mengusahakan penyembuhan apabila ada anggota keluarganya yang mengalami gangguan-gangguan, baik dengan cara mengajaknya ke ahli medis, psikologis sampai ke spiritualis. Berbagai upaya telah dilakukan, ada yang berhasil dan ada pula yang belum berhasil. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakatpun telah memberikan perhatian yang sangat besar manakala terjadi penympangan atau gangguan perilaku dan mental di lingkungannya sendiri. Dalam aspek yang lebih luas (makro), terkadang kita jumpai juga upaya lembaga
atau
masyarakat
yang
mengupayakan
perbaikan
kondisi
akibat
penyimpangan perilaku social yang mengarah kepada munculnya ketidakteraturan masyarakat, bahkan terjadinya bencana dengan mengarahkan kepada jejak spiritual yaitu mengajak kembali kepada agamanya masing-masing yang diawali dengan
pertaubatan (taubat nasional). Hal ini diilhami dari pemikiran bahwa apa yang terjadi dalam masyarakat kita (ketidakteraturan dan bencana) akibat kesalahan atau dosa yang telah banyak diperbuat oleh anggota masyarakatnya, sehingga Tuhan memberikan pelajaran dalam bentuk peringatan atau cobaan yang akan diterima oleh semua anggota masyarakat (sebuah bangsa).
2. Dosa a. Pengertian Dosa dan kesalahan merupakan masalah penting yang menjadi fokus perhatian dalam ajaran dan nilai-nilai Islam karena keduanya menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungannya, manusia dengan Tuhannya dan manusia (individu) dengan dirinya sendiri. Bahkan dosa dan kesalahan juga berkaitan dengan ketentraman, kesejahteraan dan kebahagiaan seeorang atau ketidaktenangan, penderitaan dan ketidakbahagiaan (kesengsaraan). Hal inilah yang sering dibicarakan oleh Islam dan menjadi tugas utama pendakwah dalam masyarakat yaitu menghindarkan setiap diri (anggota masyarakat) dalam jebakan dosa dan kesalahan sehingga menjadi diri yang tenang dan tenteram serta terbentuknya masyarakat yang damai dan sejahtera. Dalam Al-Qur’an dosa dan kesalahan diistilahkan dengan berbagai bentuk misalnya dengan perbuatan menyeleweng atau menyimpang dari ketentuan Allah (al khothi’at), perbuatan dosa, noda atau maksiat (Adz dzanb), perbuatan jelek (al sayyi’at), perbuatan fasik (al fusuq), perbuatan maksiat (al ishya), perbuatan merusak (al fasad) atau perbuatan durhaka (al ism). Perbuatan dosa sering diidentikkan dengan perbuatan melanggar larangan Allah atau berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan hukum-Nya secara sengaja sedang perbuatan salah diidentikkan dengan perbuatan menyalahi aturan yang secara umum dilakukan secara tidak sengaja. Dosa menurut sifat dasarnya dapat dibagi dalam 3 (tiga) bagian yaitu : (1) Berhubungan dengan sifat manusia yang terdiri dari empat bagian yaitu :
a. Sifat rububiyah (berhubungan dengan sifat ketuhanan), misalnya sifat sombong, bermegah-megahan, gila pujian atau berlagak seperti Tuhan yang memiliki kekuatan dan kekuasaan atas segala sesuatu. b. Sifat syaithaniyah (berhubungan dengan sifat-sifat syetan), misalnya dengki, zalim, licik, tipu daya, tidak jujur, fitnah, iri hati, permusuhan, menyuruh pada perbuatan keji dan mungkar dan mengajak kepada kesesatan. c. Sifat bahimiyah/hayawaniyyah (berhubungan dengan sifat hewan), misalnya penyimpangan seksual, zina, mencuri dan memakan harta orang lain atau mengumpulkan harta untuk kepentingan hawa nafsunya. d. Sifat sabu’iyyah ( berhubungan dengan sifat binatang buas ), misalnya marah, sadis, menyerang dan melanggar hak orang lain, mencaci maki, membunuh, merampas, ingin menghancurkan orang lain dan merusak. (2) Berhubungan dengan obyeknya yang dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga ) bagian yaitu : a. Dosa antara manusia dengan Allah, misalnya meninggalkan sholat dan puasa b. Dosa antara manusia dengan orang lain (hak-hak masyarakat dan lingkungannya), misalnya membunuh orang, tidak membayar zakat, menyelewengkan harta, mencela kehormatan dan merebut hak orang lain. c. Dosa dengan dirinya sendiri, misalnya mendzolimi diri, merusak diri dan kehormatannya. (3) Berhubungan dengan bahaya dan mudharatnya terdiri dari 2 (dua) yaitu dosa kecil dan dosa besar Dalam memahami dosa kecil dan dosa besar ini para ulama memberikan pendapat yang berbeda berdasarkan perspektif pandangannya masing-masing, misalnya berdasarkan jenis kadar kerusakan yang ditumbulkannya, jumlah perilakunya maupun obyek dosanya. Namun demikian semua sepakat bahwa
ada dosa besar dan kecil dalam pembagian dosa tersebut serta dosa kecil dapat menjadi besar begitu pula sebaliknya tergantung sikap dan perilaku seseorang yang mengikuti perbuatan tersebut, misalnya meremehkan dosa kecil, melakukannya dengan senang dan sering atau segera menyesali dan bertaubat dari dosa besarnya.
b. Dosa dan kondisi psikologis manusia Rasulullah SAW. menyampaikan bahwa dosa merupakan sesuatu yang terasa menggelisahkan jiwa dan kamu tidak mau menampakkannya kepada orang lain. Selanjutnya Beliau menambahkan bahwa perbuatan baik adalah suatu perbuatan yang membuat jiwa tenteram dan hati menjadi tenang, dan perbuatan dosa adalah perbuatan yang menjadikan jiwa goncang dan hati gusar, sekalipun kamu mendapatkan nasehat dari ahli fatwa (HR. Imam Ahmad). Melihat hadist tersebut diatas dapat kita pahami bahwa perbuatan dosa sangat berhubungan dengan kondisi psikologis seseorang. Dosa dan kesalahan dalam bentuk apapun, baik yang berhubungan dengan Allah, dengan lingkungan dan sesama manusia serta dengan dirinya sendiri akan membuat ketidaktenangan, kegelisahan dan perasaan bersalah. Bahkan pada beberapa kasus tertentu seseorang yang dengan sengaja (sadar) melakukan perbuatan jelek akan berusaha menyembunyikannya dari orang lain dan hal ini dapat merangsang kegelisahan dan stress yang berkepanjangan karena membutuhkan energi untuk menghindarkan diri agar tidak diketahui oleh orang lain. Dosa (pelanggaran) yang dilakukan berhubungan dengan orang lain tentunya akan memberikan dampak psiko-sosial yang lebih berat dibandingkan dengan pelanggaran yang berhubungan dengan Allah maupun dengan dirinya sendiri. Hal ini dikarenakan ada kewajiban mengembalikan hak-hak orang lain yang telah diambil atau dirusak dan membutuhkan kerelaannya sebagai syarat ampunan dari Allah SWT. Disamping itu pelanggaraan yang berhubungan dengan orang lain juga akan
mengganggu pola hubungan atau komunikasi antara sesama manusia dan pada akhirnya akan dapat mengganggu sistem social kemasyarakatan yang telah ada. Meskipun ada perbedaan kondisi psikologis antara dosa (pelanggaran) yang dilakukan seseorang berhubungan dengan Allah, sesama manusia dan lingkungannya serta dirinya sendiri, pada hakekatnya setiap dosa yang dilakukan manusia akan meninggalkan bekas (noda hitam) dalam kalbunya. Semakin banyak dosa yang dilakukannya maka semakin banyak noda hitam yang melekat dalam kalbu (qalb) sehingga akan mengotori kejernihan hatinya. Kotornya hati akibat dosa yang dilakukan akan berpengaruh kuat terhadap munculnya perilaku negatif seseorang karena hati (qalb) merupakan raja yang dapat memerintahkan segala bentuk perilaku yang akan muncul. Begitu pula dengan emosi dan pikiran negatif lainnya yang muncul dapat mengganggu kejernihan perasaan dan pikiran seseorang. Nyatalah bahwa ketika seseorang banyak melakukan dosa (pelanggaran) maka seluruh pikiran, perasaan dan perilakunya mengalami gangguan (tidak sesuai dengan fitrahnya). Ia akan semakin jauh dari nilai-nilai agama dan norma kesusilaan tanpa ia sadari serta lambat laun akan menjauhkan dirinya dari kesadaran untuk kembali kepada sistem nilai dan norma yang baik. Melihat kenyataan ini maka perbuatan dosa yang dilakukan seseorang akan mengganggu keseimbangan pola pikir, perasaan dan perilaku seseorang, sehingga tidak dijumpai ketentraman dan ketenangan batin. Justru yang muncul adalah kegelisahan dan ketidaktenangan yang mengarah pada munculnya gejala psikologis yang lebih parah (berat). Kondisi ini apabila terus dipertahankan (qalbun mayyit) dapat memunculkan penyakit jiwa (anti sosial dan spiritual) sehingga seseorang tidak dapat lagi membedakan sesuatu yang baik dan buruk. Bahkan sudah terpecahnya kepribadian (disharmonisasi pikiran-perasaan-perilaku) dapat membawa penyakit jiwa yang berat.
3. Taubat a. Pengertian Taubat dalam ajaran Islam memiliki pengertian yang sangat luas karena taubat menyangkut penataan kembali kehidupan manusia yang sudah berantakan dan perbaikan kembali mental seseorang yang sudah rusak akibat dosa yang diperbuat. Anjuran dan perintah taubat banyak kita jumpai dalam Al-Qur’an dan Hadist bahkan keutamaannya juga dibahas dalam ilmu syari’ah, tasawuf dan akhlak. Taubat dapat diartikan meminta ampun kepada Allah atas segala perbuatan dosa dan kesalahannya melebihi dari “istighfar”. Taubat juga diartikan sebagai pengakuan, penyesalan dan meninggalkan dosa serta berjanji tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut. Taubat bermakna telah meninggalkan perbuatan dosanya dan Allah telah mengampuni dan menyelamatkannya dari kemaksiatan. Taubat pada hakekatnya mempunyai 3 (tiga) makna yang saling berurutan yaitu mengandung pengetahuan dan kesadaran (‘ilm), kondisi hati (hal) dan tindakan (fi’l). Makna pertama (‘ilm) adalah timbulnya pengetahuan dan kesadaran akan besarnya bahaya perbuatan dosa yang ia lakukan. Apabila telah muncul pengetahuan dan kesadaran maka dalam hatinya akan merasa sedih dan takut kehilangan sesuatu yang dicintainya sehingga menimbulkan penyesalan yang teramat dalam. Jika perasaan ini menguasai hatinya maka akan timbul kehendak atau keinginan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang berkaitan dengan masa sekarang yaitu segera meninggalkan perbuatan dosa, berkaitan dengan masa datang yaitu tekad yang bulat untuk meninggalkan dosa selama-lamnya dan berkaitan dengan masa lampau yaitu cepat-cepat mengerjakan kembali kebaikan-kebaikan yang telah pernah ditinggalkan atau memperbaikinya kembali sepanjang masih dapat diperbaiki. Dengan demikian taubat dapat diartikan sebagai kesadaran yang diikuti dengan penyesalan dan keinginan kuat untuk meninggalkan perbuatan dosa dan berupaya memperbaiki kesalahan di masa lalu. Taubat adalah hak setiap manusia baik yang berdosa maupun tidak berdosa karena taubat dapat menyelamatkan manusia dari kehancuran dan memperoleh
ampunan dari Allah. Taubat juga menjadi pertanda bahwa adanya kemudahan dan kelapangan dalam beragama serta merupakan sumbangan Islam dalam memperbaiki tatanan diri manusia dan masyarakat melalui pengampunan dosa. Dengan bertaubat setiap diri (manusia) akan menyadari kesalahannya dan berusaha memperbaiki dirinya serta mengatur kembali ritme perilakunya dalam kehidupan bermasyarakat. Ada banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist yang membicarakan tentang makna dan pentingnya taubat serta anjuran untuk segera bertaubat (minta ampunan), antara lain : “Minta ampunlah kamu kepada Tuhanmu serta taubat, niscaya Ia akan memberi kesenangan yang sebaik-baiknya hingga sampai ajalmu….”(Hud : 31). “Bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung” (An Nur : 31) dan “Hai manusia ! bertaubatlah kamu kepada Allah, maka sesungguhnya aku bertaubat kepada Allah 100 kali sehari” (HR. Muslim).
b. Taubat dan Fungsi-fungsi Kejiwaan Taubat merupakan usaha manusia untuk membebaskan dirinya dari pengaruh perbuatan dosa dan menata kembali kehidupannya. Taubat merupakan usaha mandiri yang dilakukan individu untuk membebaskan dirinya dari perasaan bersalah dan keinginan sendiri untuk memperbaiki keadaan. Permohonan ampunan dalam perilaku taubat dianjurkan untuk setiap dosa yang telah dilakukannya, sehingga manusia menyadari dengan sebenar-benarnya tentang konsekuensi pertaubatan terhadap dosa yang telah ia lakukan yaitu tidak mengulangi kembali perbuatan tersebut. Pada hakekatnya taubat jika dilihat dari aspek kejiwaan
adalah suatu
kombinasi dari fungsi-fungsi kejiwaan yang mampu merevitalisasi kondisi psikologis manusia. Fungsi-fungsi kejiwaan tersebut antara lain : (1) Kesadaran Seseorang yang akan melangkah pada proses pertaubatan yang sesungguhnya telah mempunyai pengetahuan yang sebenar-benarnya tentang keburukan akibat perbuatan yang telah dilakukan. Pengetahuan ini berasal dari pengalaman hidup yang telah dijalaninya, perjalanan hidup orang lain yang
mempunyai pengalaman perilaku yang sejenis dan bimbingan spiritual dari ulama yang mengingatkan akibat perilaku tersebut. Kedalaman pengetahuan yang telah dimiliki ini akan membawa pada tingkat kesadaran sepenuhnya tentang buruknya perilaku dosa dan maksiat, penerimaan diri yang sesungguhnya, menata kembali kehidupannya, mengadakan integrasi diri dengan orang lan dan lingkungannya, sehingga pada akhirnya dapat menemukan keterpaduan dirinya kembali setelah terpecah akibat perilaku dosa yang tidak ia sadari sebegitu besar pengaruhnya dalam kehidupan. Kesadaran ini pula yang akan menuntun seseorang untuk memahami keberadaan dirinya dan berpikir tentang Tuhannya untuk segera bertaubat. (2) Pengakuan dosa (al I’tiraf) Pengakuan dosa merupakan suatu unsur penting dalam proses pertaubatan. Pengakuan dosa adalah pengungkapan kembali perbuatan dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan secara benar dan jujur. Para sufi menyarankan agar dalam pengakuan dosa ini disebutkan sifat (jenis) dosa yang telah diperbuatnya sebagai hasil perenungan atas tingkat kesadaran yang telah dimiliki. Pengakuan dosa yang dilakukan secara benar dan jujur sangat penting dalam usaha mendapatkan kelegaan batin karena ini berarti ia telah merelakan perilaku dosa tersebut diakui secara lisan maupun batin sehingga akan menghilangkan tekanan kegelisahan akibat simpanan dosa tersebut. Dalam bahasan psikoanalisa kondisi ini dikenal dengan istilah katarsis (abreaction) yaitu suatu proses menghilangkan ketegangan jiwa atau pelepasan suatu perasaan yang terpendam dan pengalaman yang tidak disenangi dalam hidup melalui pengungkapan kembali dengan lisan, tulisan maupun hati apa yang menjadi kegundahan dan sumber kegelisahan tersebut. (3) Penyesalan (al Nadam) Fungsi kejiwaan yang lain dalam proses pertaubatan ini adalah menyesali perbuatan dosa yang telah diperbuat dan menyesali telah meninggalkan berbagai perilaku baik lainnya seiring dengan perjalanan watu yang telah
berlalu. Penyesalan (al nadam) merupakan bagian penting untuk proses menuju taubat. Rasul mengatakan bahwa rasa menyesal adalah arti dari taubat dan dapat menjadi kaffarat bagi dosa seseorang. Penyesalan disini memiliki nilai dinamis yang tidak berhenti pada masa lalu tetapi masa sekarang dan masa yang akan datang. Artinya penyesalan tersebut akan mengarahkan dirinya untuk berbuat yang lebih baik dengan menguatkan dan menyempurnakan keimanan dan ketakwaan. Penyesalan seperti ini dipahami dapat meluruskan kepribadian seseorang karena adanya sinkronisasi afeksi antara pengalaman masa lalu, masa sekarang dan masa yang akan datang. (4) Komitmen Komitmen merupakan sikap yang dimiliki seseorang untuk tetap berada dalam
lingkungannya
sebagai
hasil
interaksi
pemahaman
dan
pengalamannya. Penyesalan yang telah dialami oleh seseorang akan memunculkan keinginan yang kuat untuk bertahan pada suatu kondisi tertentu yaitu keinginan untuk tidak mengulangi perbuatan dosa yang pernah dilakukan, keinginan untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaan (berpedoman pada nilai agama) serta keinginan untuk memperbaiki diri melalui peningkatan amal ibadah yang selama ini banyak ditinggalkan. Komitmen ini memungkinkan seseorang tidak terlalu larut dalam penyesalan akibat dosa yang ia perbuat tetapi keluar dari diri yang sebelumnya menjadi diri baru yang seutuhnya. Komitmen akan mendorong seseorang berperilaku positif menuju hasil yang diinginkannya dan lebih dekat dengan perilaku baik yang diharapkan. (5) Perbuatan baik yang terus menerus Salah satu hasil nyata dari proses pertaubatan adalah berubahnya perilaku seseorang dari yang negatif menuju positif. Perilaku ini juga diiringi dengan perubahan perasaan dan kesadaran yang positif untuk tetap berpegang teguh pada tali Allah (agama). Perubahan ini akan nampak pada meluasnya pandangan hidup yang menempatkan Allah sebagai satu satu Dzat yang
memberikan dan memelihara kehidupannya, tidak merasa cemas dan takut menjalani hidup, pantang putus asa dan memelihara ketenangan hati. Perubahan ini juga akan nampak pada penghindaran diri dari perilaku buruk yang pernah dilakukan dan menjaga perilaku baik secara terus menerus baik yang berhubungan dengan Allah, dirinya sendiri maupun orang lain (lingkungannya) sehingga benar-benar menampakkan kepribadian yang baru (kembali kepada fitrah).
4. Taubat dan Psikoterapi Islami a. Landasan dasar Seiring dengan perkembangan dunia modern saat ini banyak dijumpai trageditragedi kemanusiaan dan kehidupan modern yang menempatkan manusia posisi sebagai pelaku dan korban tragedi tersebut. Kemajuan yang telah dicapai saat ini seharusnya membawa kepada kemajuan kehidupan pribadi manusia bukan sebaliknya. Artinya kebahagiaan dan ketentraman semakin sulit dijangkau oleh orang-orang yang maju. Kesulitan material (harta duniawi) kini diganti dengan kesukaran mental (psikologis) sehingga menimbulkan beban jiwa yang semakin berat. Kegelisahan, ketegangan, ketidakpastian dan tekanan perasaan lebih terasa menekan sehingga mengurangi kebahagiaan. Kondisi ini telah lama bertahan akibat kebutuhan hidup yang semakin meningkat, sikap individualistik dan egois, persaingan gaya hidup dan didukung oleh keadaan yang tidak stabil. Individu yang terlarut dalam kondisi ini dapat dipastikan karena kehilangan kontrol atas kehidupannya sendiri yang bersumber hilangnya nilai-nilai spiritual dan visi keilahian. Orang yang telah lupa akan visi-misi hidup yang sebenarnya akan makin terpuruk dengan perilaku negatif yang tidak disadari telah dikerjakannya tersebut. Seseorang tidak dapat membedakan mana yang benar (dikehendaki oleh Tuhan) dan mana yang salah (diarahkan oleh syahwat). Keadaan ini dapat membahayakan kehidupan seseorang karena akan terjerumus pada perilaku bebas tidak berketuhanan (beragama). Ia tidak dapat lagi membedakan perilaku positif dan
negatif yang berhubungan dengan Tuhannya, sesama manusia (lingkungannya) dan dengan dirinya sendiri, sehingga perilakunya tidak berarah tujuan. Kondisi diatas merupakan cermin ketika seseorang dan masyarakatnya telah terjebak dalam perilaku dosa dan salah yang berkepanjangan. Dosa membuat hati manusia menjadi kotor, kusam dan hitam padahal hati berfungsi sebagai cermin diri guna mengetahui hakekat kebenaran. Dapat dibayangkan apabila hati (cermin) ini kotor oleh perbuatan dosa dan maksiat maka manusia tidak dapat lagi membedakan kebenaran dan keburukan, sehingga manusia akan menderita, hilangnya rasa bahagia, cinta dan sayang serta timbulnya rasa benci, dengki, sombong, marah dan gelisah. Perasaan, pikiran dan tingkah laku yang negatif ini memiliki muara dari perbuatan dosa dan kesalahan yang dilakukan oleh seseorang dengan objek dan kapasitas manapun. Dosa yang tergolong besar atau dosa kecil yang dilakukan terus menerus tentunya akan memberikan dampak yang lebih berat dibanding dosa kecil atau yang langsung disertai dengan perbuatan baik (proses pertaubatan). “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung” (An Nur : 31). Sedangkan hadist nabi menyebutkan : “ikutilah segera perbuatan buruk dengan kebaikan, agar kamu menghapuskannya”. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbuatan dosa dan salah yang mengakibatkan munculnya pikiran, perasaan dan perilaku negatif dapat diminimalkan dan bahkan dihapuskan dengan bersegara meminta ampunan dan bertobat kepada Allah. Ketika tobat diterima dan ampunan diberikan maka hati yang tadinya kotor lambat laun akan kembali bersih dan dapat dijadikan cermin kembali sehingga seseorang dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
b. Fungsi Taubat dalam Psikoterapi Islami Secara umum menurut Brammer (1982) fungsi psikoterapi mengarah pada reeducational
of
individual
mencari
persepsi
dan
perubahan
secara
jelas,
mengintegrasikan kedalam kehidupan sehari-hari dan memagari perasaan sedih yang
berasal dari pengalaman buruk di masa lalu. Sedangkan fungsi lainnya adalah bahwa psikoterapi dapat bertindak sebagai kuratif (penyembuhan), preventif (pencegahan) dan konstruktif (pemeliharaan & pengembangan). Dengan demikian fungsi psikoterapi dapat dikembangkan bukan hanya untuk seseorang yang mengalami kesulitan psikologis tetapi juga pengembangan diri untuk optimalisasi potensi yang dimiliki. Taubat yang memiliki kombinasi dengan fungsi-fungsi kejiwaan dapat mengisi bagian dalam fungsi psikoterapi Islam. Hal ini dapat dipahami dikarenakan dalam proses pertaubatan telah terbentuk berbagai fungsi positif kejiwaan yaitu : 1. Adanya keinginan untuk perubahan perilaku (kesadaran) 2. Terbukanya pintu evaluasi diri (pengakuan dosa) 3. Menguatnya perasaan positif (penyesalan) 4. Terbentuknya sikap hidup yang positif (komitmen) 5. Perubahan perilaku secara konsisten Secara umum gangguan mental (psikologis) seseorang banyak disebabkan oleh (a) perbuatan maksiat; (b) pelanggaran terhadap hukum (aturan) Allah baik yang berkaitan langsung dengan Allah dalam ibadah mahdhoh, dengan sesama manusia dan lingkungannya (muamalah) maupun dengan dirinya sendiri (mendholimi diri); (c) kesalahan dalam persepsi dan kehendak serta mensikapi kehidupan (disorientasi). Gejala-gejala gangguan mental yang ringan sampai berat merupakan proses berkelanjutan dari akibat dosa yang telah diperbuat. Semakin tinggi frekuensi dan kapasitas dosa dan kesalahan yang dilakukan akan mengakibatkan gangguan mental yang semakin berat dan kompleks. Fungsi taubat dalam psikoterasi Islam memegang peranan penting dalam proses penyembuhan dan mengembalikan kembali potensi fitrah yang dimiliki seseorang. Taubat yang dilakukan dengan benar (nasuha) dapat berfungsi sebagai : (1) Alat pembersih noda hitam dalam hati Pembersihan noda ini akan sangat membantu pemulihan mental-psikologis seseorang yang sedang mengalami gangguan (penyakit) mental. Hal ini dapat
dipahami bahwa noda hitam dalam hati (qalb) inilah yang menjadi sumber munculnya
gangguan
penyimpangan
pikiran-perasaan-perilaku
seseorang
sehingga dengan dibersihkan terlebih dahulu akan mengurangi noda dan dapat membantu proses pemulihan mental psikologis seseorang. Proses pembersihan awal ini dapat dilakukan dengan lisan (ucapan) memohon ampun kepada Allah dan dibarengi dengan aktifitas sholat taubat seperti yang dicontohkan oleh Nabi. (2) Penguat pikiran dan perasaan Proses pertaubatan yang diikuti dengan kegiatan pengakuan dosa (evaluasi diri) dan penyesalan dapat menumbuhkan pikiran dan perasaan positif. Hal ini dapat terlihat dengan tumbuhnya optimisme menjalani kehidupan, tidak putus asa, mampu mengenali dan menerima diri dengan lebih baik serta mampu berpikiran positif terhadap setiap kejadian. Tumbuhnya sifat seperti ini akan sangat membantu seseorang yang sedang menghadapi masalah atau gangguan mental dan ini merupakan langkah terbaik untuk mengatasi gangguan tersebut. Munculnya sifat positif tersebut dapat dikatakan sebagai kesembuhan tingkat awal para klien yang mengalami gangguan mental. (3) Pendorong berkembangnya potensi manusia Taubat dapat merangsang seseorang untuk meningkatkan amal perbuatannya melalui evaluasi diri, pemetaan dan perencanaan kegiatan baik lainnya baik yang pernah ditinggalkan maupun yang belum pernah dilakukan. Seseorang akan selalu mencari tambahan amal kebaikan untuk menutupi kesalahan (dosa) yang pernah dilakukan dan tidak ada hari tanpa menyempurnakan amal kebaikan. Kondisi ini dapat mengakibatkan terbukanya potensi diri yang selama ini tidak diketahui atau tertutup oleh perbuatan buruknya, sehingga memungkinkan akan melejitnya potensi diri yang dimiliki.
c. Implementasi dalam proses psikoterapi Islami Dalam realitas proses terapi yang berbasis ajaran Islam (psikoterapi Islami), proses pertaubatan dijadikan langkah awal untuk membantu klien (pasien)
mendapatkan kesembuhan atau berkembangnya potensi diri. Praktek yang dilakukan oleh terapis (studi di Balai Pengobatan Transformasi Malang) memperlihatkan bahwa sebelum klien diterapi ia dan atau keluarganya diminta sholat taubat dulu dan memperbanyak istighfar. Bagi klien yang masih dapat memandang realitas dengan baik sholat taubat, sholat hajat dan istighfar dilakukan sendiri, tetapi bagi klien yang tidak mampu lagi maka keluarga terdekat (keluarga inti) yang memintakan ampunan melalui sholat taubat dan hajat. Hal ini sesuai dengan keyakinan bahwa penyakit (gangguan) mental yang terjadi lebih banyak disebabkan kelalaian atau kedholiman diri (dosa) sehingga ia harus meminta ampun dan bertaubat dengan sungguh-sungguh untuk membuka hijab menutupi hati (qalb) sekaligus meminta pertolongan untuk disembuhkan. Proses pertaubatan ini tidak hanya berhenti melalui permohonan ampunan saja, tetapi bagi klien (dan keluarganya) yang berpenyakit ringan dianjurkan untuk memperbanyak ibadah sunnah di rumah (sholat & puasa) untuk mendekatkan diri kepada Allah agar muncul keridhaan dalam proses penyembuhan ini. Terapi kemudian dilanjutkan dengan terapi doa oleh terapis untuk meminta dimudahkan hilangnya gangguan mental-psikologis. Dalam pengalaman selama terapi, klien akan lebih mudah sembuh manakala ada kesungguhan dalam diri (dan keluarga) untuk lebih mendekat kepada Allah baik melalui ibadah mahdhoh maupun ghoiru mahdhoh (berinfak shodakoh dan memperbanyak ibadah sunnah). Apabila dalam diri klien ditemukan kaitannya atau pengaruhnya dengan fisik maka terapis akan memberikan ramuan herbal untuk membantu pemulihan fisik. Hal ini sesuai dengan kaidah ilmu kedokteran yang mengatakan bahwa fisik dan non fisik senantiasa berhubungan sehingga gangguan salah satu aspek akan mempengaruhi aspek yang lain. Psikoterapi Islami yang diterapkan senantiasa menyandarkan diri pada kesungguhan klien untuk memperoleh kesembuhan disamping pengharapan atas keridhoan dari Allah SWT, karena kita tidak tahu rencana yang telah disusun oleh Allah terhadap perjalanan hidup kita, namun sesungguhnya Allah tidak akan merubah kondisi manusia apabila kita tidak berusaha mengupayakannya.
Kesimpulan Taubat sebagai salah satu ajaran dalam Islam memiliki peran yang sangat penting dalam mengembalikan kesehatan mental dan mengembangkan potensi manusia. Sebagian besar gangguan mental yang terjadi dikarenakan dosa dan kesalahan yang telah diperbuat, sehingga menimbulkan kegoncangan dalam kehidupan seseorang. Proses pertaubatan yang baik (nasuha) dapat membantu seseorang membuka hijab hati (qalbu) untuk dapat mengetahui kembali kebenaran dan memberikan petunjuk untuk mengembangkan potensi diri dengan lebih baik. Taubat menjadi metode dasar psikoterapi Islam yang harus dilakukan untuk mengembalikan kefitrahan manusia. Dengan dibantu terapis yang memahami ilmu dengan baik, seorang klien dapat dibantu memperoleh kesehatan mental yang baik dan mengembangkan potensi yang selama ini tidak diketahui atau tertutupi. Namun demikian kegiatan ini juga tidak terlepas dari keridhaan Allah yang mengatur hidup manusia. Keseriusan klien (dan keluarga), penguasaan ilmu bagi terapis dan keridhoaan Allah menjadi trisula keberhasilan psikoterapi Islami.
Daftar Pustaka Al Ghajali, Rahasia Taubat : Hikmah, Hakikat dan Cara Bertaubat yang Benar. Karisma, Bandung, 2003 Al Jauziya, Ibnul Qayyim, Taubat Kembali Kepada Allah, Gema Insani, Jakarta, 2006 Asy Syahawi, Majdi Muhammad, The Secret of Istighfar, Gema Insani, Jakarta, 2009 Jaya, Yahya, Peranan Taubat dan Maaf alam Kesehatan Mental, Yayasan Pendidikan Islam Ruhama, Jakarta, 1992 Mandaru, MZ, Mukjizat Taubat, Diva Press, Yogyakarta, 2007 Mubin, Nurul, Menyingkap Misteri Energi Dosa, Diva Press, Yogyakarta, 2007 Sholeh, Muhammad, Bertaubat Sambil Berobat, Hikmah, Jakarta, 2008